Anda di halaman 1dari 32

POLITIK GLOBALISASI

(A-IPL-4)

TANTANGAN NASIONALISME BANGSA DI ERA GLOBALISASI:


STUDI KASUS PADA NEGARA PRANCIS DAN INDONESIA

Dosen Pengampu:
Amin Heri Susanto, Lc., MA. PhD

Disusun oleh:
Kelompok 4

Dandyra Dwi Agung Wicaksono (205120500111017)

Muhammad Arif Maulana (205120501111046)

Nabila Fitriya Fadhli (205120507111034)

Syeren Florensia Wullur (205120507111052)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2022
1
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Tuhan yang maha esa yang juga maha pengasih
lagi maha penyayang, serta puji dan syukur atas berkah dan karunia yang telah
diberikan olehnya. Kami mengucapkan terima kasih atas kemudahan yang telah
diberikan tuhan kepada kami, dan tak luput kami ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada bapak Amin Heri Susanto, LC, MA, Ph.D atas
kebaikanya yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kami khususnya
pada mata kuliah Politik Global.

Besar harapan kami makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua khususnya dalam bidang keilmuan sosial politik, kami sangat memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap
pembaca dapat memaafkan dan memakluminya serta dapat memberikan kritik dan
saran agar kami dapat terus berkembang dan memperbaiki diri.

Penulis

Malang, 22 Mei 2022

1
ABSTRAK

Nasionalisme merupakan suatu paham yang berkaitan dengan sikap


politik dari masyarakat yang memiliki kesamaan wilayah, budaya, bahasa,
cita-cita, ideologi, serta tujuan, sehingga paham ini menjadi paham kebangsaan.
Kehadiran globalisasi yang diiringi dengan kemajuan teknologi komunikasi dan
informasi yang semakin berkembang pesat tentu membawa tantangan tersendiri
bagi perkembangan nasionalisme. Tantangan terhadap nasionalisme tentu
dihadapi oleh berbagai negara, diantaranya negara Prancis dan Indonesia. Negara
Prancis yang merupakan negara multikulturalisme, menghadapi tantangan yang
muncul mengenai sekularisme yang menjadi prinsip sentral di kebijakan publik
Prancis. Selain Prancis, Indonesia yang juga merupakan negara multikultural
menghadapi tantangan nasionalisme yakni muncul konflik antar etnik maupun
antar agama, bahkan dalam perkembangannya sampai mengancam aspek
kebudayaan yang mengancam identitas jati diri Bangsa Indonesia. Tentunya
tantangan ini bukan menjadi hal yang mudah bagi kedua negara. Tujuan
penelitian ini selanjutnya akan menjelaskan dan mendeskripsikan bagaimana
tantangan nasionalisme yang dihadapi negara Prancis dan Indonesia di era
globalisasi.

Kata Kunci : Nasionalisme, Globalisasi, Prancis, Indonesia

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTARi
ABSTRAKii
DAFTAR ISIiii
DAFTAR SINGKATAN iv
BAB I PENDAHULUAN1
1.1 Latar Belakang1
1.2 Rumusan Masalah4
1.3 Tujuan Penulisan Makalah4
1.4 Manfaat Akademik4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA5
2.1 Teori Globalisasi 5
2.2 Teori Identitas Nasional6
2.3 Teori Nasionalisme7
BAB III GAMBARAN UMUM8
3.1 Nasionalisme8
3.2 Sejarah Perkembangan Nasionalisme Prancis9
3.3 Sejarah Perkembangan Nasionalisme Indonesia10
BAB IV JAWABAN RUMUSAN MASALAH12
4.1 Tantangan Nasionalisme di Pramcis12
4.2 Tantangan Nasionalisme di Indonesia15
BAB V PENUTUP20
5.1 Kesimpulan21
5.2 Saran22
DAFTAR PUSTAKA23

3
DAFTAR SINGKATAN

Dll Dan lain-lain

4
5
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Nasionalisme merupakan suatu paham yang memiliki kaitan erat dengan
bangsa atau kebangsaan. Pemahaman mengenai Nasionalisme ini seringkali
dikaitkan dengan sikap politik dari masyarakat dimana memiliki kesamaan
wilayah, budaya, bahasa, cita-cita, ideologi, serta tujuan, sehingga paham ini
menjadi paham kebangsaan.1 Nasionalisme dipandang sebagai suatu konsep
tentang jati diri kebangsaan dimana fungsinya untuk menetapkan identitas
individu diantara masyarakat dunia.2 Maka dari itu, Paham Nasionalisme
berkaitan dengan rasa kebanggaan menampilkan dan memiliki ciri khas dan
identitas sebagai suatu bangsa yang sudah ditanamkan sejak lahir.

Paham Nasionalisme telah membantu dalam membentuk kembali politik


dunia dimana paham ini mempunyai implikasi yang mendalam bagi dunia.
Kemunculan Nasionalisme di dunia pada awalnya menonjol sejak Revolusi
Prancis. Dimana pada saat itu masyarakat Prancis sedang memperjuangkan hak
asasi manusia serta mengubah sistem pemerintahan dari yang berbentuk kerajaan
(monarki) menjadi bentuk republik. Pada masa itu, Kata Nation juga memiliki
makna baru yang lebih positif dan umum dipakai setelah abad ke-18 di Prancis.
Terjadinya Revolusi Prancis ini kemudian melahirkan Parlemen yang bertugas
menyusun konstitusi, parlemen ini disebut sebagai Assemble Nationale, hal ini
yang kemudian menandai perubahan institusi politik dari yang sifatnya hanya
eksklusif yakni ditunjukkan bagi kaum bangsawan atau golongan tertentu. Namun
sekarang lebih bersifat egaliter dimana semua kelas memiliki hak yang sama.3
Maka, kata Nation tersebut memiliki makna yang lebih merujuk kepada bangsa
yakni merujuk kepada sekelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu
negara dimana masing-masing merasa satu kesatuan ras, bahasa, agama, sejarah,
serta adat istiadat. Pemahaman mengenai nasionalisme kemudian mempengaruhi
1
Ali Fahrudin, Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Mufassir Jawa, (Jakarta Pusat:
LITBANGDIKLAT PRESS, 2020), hlm. 2.
2
Anggraeni K dan Facturochman, “Nasionalisme” Buletin Psikologi, Vol.12 No.2, Desember 2004,
hal.61.
3
Dadang Supardan, “Tantangan Nasionalisme Indonesia Dalam Era Globalisasi” LENTERA, Vol 2,
No.4, 2011, hal. 42-43.

1
daratan Eropa pada awal abad ke-19 yang kemudian meledak pada tahun 1848
dalam rangkaian revolusi yang mempengaruhi daratan Eropa dari semenanjung
Iberia sampai perbatasan Rusia.4

Tentunya munculnya Imperialisme Eropa benar-benar memberikan


pengaruh dan mengubah nasionalisme menjadi suatu keyakinan yang benar-benar
global sehingga dapat membangkitkan gerakan antikolonial. Hal ini dapat dilihat
dalam perkembangan doktrin mengenai nasionalisme yang sampai kepada
orang-orang Asia-Afrika selama abad ke-20. Pada saat itu masyarakatnya sedang
berada dalam situasi menentang pemerintahan kolonial. Seperti yang terjadi di
Indonesia, sejak masa kemerdekaan, doktrin mengenai nasionalisme ini sudah
digaungkan oleh Presiden Soekarno. Dimana Nasionalisme ini digunakan dalam
perjuangan untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu, kata
tersebut untuk membangkitkan kekuatan gerakan berjuang dalam melawan
penindasan. Maka dari itu semua kelompok, golongan, maupun wilayah yang ada
di nusantara bersatu yang memunculkan perasaan senasib dan sepenanggungan
yang dialami oleh masyarakat dimana ini mengalahkan perbedaan budaya, etnik,
serta agama yang ada, maka terbentuklah kesatuan besar Indonesia. Kesadaran
yang terus berkembang akibat situasi ketertindasan ini melahirkan keinginan
masyarakat untuk bebas dan merdeka. Kesadaran ini kemudian melahirkan
beberapa pergerakan organisasi yang modern, salah satunya yang terpenting yakni
Budi Utomo. Dimana sejak berdirinya di Indonesia, perkembangan nasionalisme
Indonesia menjadi lebih cepat.

Pada era globalisasi sekarang ini, seiring dengan arus perkembangan


teknologi, telekomunikasi, bahkan transportasi yang sangat pesat, tentu
memberikan manusia kemudahan untuk mengetahui dan mengakses informasi
mengenai segala bidang baik pendidikan, ekonomi, politik, agama bahkan sampai
budaya yang ada di belahan dunia lain. Kehadiran globalisasi ini tentu membuat
dunia menjadi lebih sempit, artinya negara yang satu dengan negara yang lain
tidak memiliki sekat atau batas sehingga negara-negara ini menjadi terhubung satu
sama lain. Hal ini tentu membawa membawa peluang dan tantangan serius bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara, hal ini yang kemudian harus diwaspadai

4
Andrew Heywood, Global Politics, (US: Palgrave Macmillan, 2011), hal. 158.

2
masyarakat di seluruh dunia terutama tantangan terkait dengan nasionalisme.
Kehadiran globalisasi yang bersifat terbuka tentu membawa tantangan besar bagi
nasionalisme, ancaman kuat ini datang dari migrasi internasional. Tentu saja
peningkatan migrasi internasional ini memiliki implikasi yang signifikan bagi
politik domestik suatu negara. Dimana penduduk ini memunculkan keragaman.
Tentu saja komunitas ini mempertahankan kekhasan budaya mereka dan menolak
tekanan untuk asimiliasi. Tentunya hal ini dapat memberikan karakter masyarakat
yang multikultural. Hal ini sama seperti yang terjadi di Prancis mengenai
sekularisme.

Selain Prancis, negara lain yang juga menghadapi tantangan nasionalisme


adalah Indonesia. Indonesia juga mengalami tantangan yang besar dalam
kesadaran berbangsa dan bernegara. Masuknya pengaruh-pengaruh dari budaya
asing akibat perkembangan teknologi internet yang memberikan kebebasan dan
kemudahan mengakses segala informasi dan ancaman migrasi internasional yang
memunculkan masyarakat multikultural, tentu sangat berpengaruh terhadap
kebudayaan lokal masyarakat Indonesia, hal ini dapat mengakibatkan hilangnya
identitas dan nilai jati diri Bangsa Indonesia. Selain itu, nilai-nilai nasionalisme di
masyarakat juga menurun.

Berdasarkan fenomena tersebut, dapat dilihat bahwa adanya globalisasi


tentu membawa tantangan tersendiri bagi eksistensi nasionalisme yang sudah ada
sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Arus globalisasi yang menghilangkan
sekat antar negara memudarkan dan mengancam nasionalisme. Maka dari itu,
penting untuk mengetahui lebih lanjut apa yang menjadi tantangan nasionalisme
dari berbagai negara. Sehingga, tantangan tersebut dapat diatasi dan peningkatan
rasa nasionalisme masyarakat dapat dilakukan. Jika masyarakat kehilangan jiwa
nasionalisme maka tentunya pembangunan dan kemajuan dari suatu negara akan
mengalami kendala yang besar.

3
I.2 Rumusan Masalah
I.2.1Bagaimana tantangan nasionalisme yang terjadi di Prancis?
I.2.2Bagaimana tantangan nasionalisme yang terjadi di Indonesia?

I.3 Tujuan Penulisan Makalah


I.3.1Menjelaskan bagaimana tantangan nasionalisme yang terjadi di
Prancis.
I.3.2Menjelaskan bagaimana tantangan nasionalisme yang terjadi di
Indonesia.

I.4 Manfaat Akademik


Berdasarkan suatu tujuan yang akan dicapai yang terdapat dalam
makalah ini maka dapat diharapkan bahwa tulisan ini akan dapat
bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu:
I.4.1Secara Teoritis
Diharapkan makalah ini dapat memberikan kontribusi
untuk menambah pengetahuan masyarakat mengenai tantangan nasionalisme
yang terjadi di negara Prancis dan Indonesia. Serta dapat menjadi rujukan
atau referensi bagi penulisan lanjutan.
I.4.2Secara Praktis
Diharapkan melalui makalah ini masyarakat bisa
memahami mengenai informasi yang ada tentang tantangan nasionalisme
baik yang terjadi di Prancis maupun di Indonesia serta dapat turut mengatasi
dan berkontribusi untuk mengatasi tantangan tersebut. Diharapkan juga
makalah ini dapat meningkatkan jiwa nasionalisme masyarakat Indonesia.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Teori Globalisasi


Globalisasi sejatinya merupakan suatu dinamika kontemporer yang terus
berkembang dari masa ke masa yang berisikan berbagai aspek baik itu budaya,
agama, norma sosial, dll. Aspek-aspek tersebutlah yang pada akhirnya membawa
perubahan di antara negara di dunia. Globalisasi juga dapat dimaknai sebagai
tinjuan dunia tanpa batasan sehingga dapat menyebabkan suatu masyarakat
berpindah dari suatu negara ke negara lainya. Hal tersebut dikarenakan tidak
adanya batasan-batasan pasti dari apa yang disentuh oleh arus globalisasi. Setiap
arus globalisasi yang masuk ke dalam suatu negara dapat menimbulkan beberapa
dampak seperti perubahan budaya, bahasa ataupun tatanan sosial. Sejalan
dengan itu terdapat pemahaman dan pendefinisian globalisasi menurut
beberapa ahli:

Beberapa di antaranya, ada Malcolm Waters yang memahami globalisasi


sebagai suatu proses sosial yang dalam hal ini tidak mengenali batasan-batasan
wilayah tertentu yang menyebar meluas dan tertanam di dalam jiwa masyarakat
tertentu5. Selain itu, juga ada Antoni Giddens mendefinisikan globalisasi sebagai
suatu ikatan tanpa putus yang mana suatu masyarakat memiliki ketergantungan
atau ikatan dengan masyarakat lainya baik itu dalam aspek sosial, ekonomi,
budaya, pendidikan, dll. Selanjutnya Jhon Tomlinson memahami globalisasi
sebagai suatu kemudahan bagi masyarakat untuk melakukan interaksi satu
dengan lainya dengan jarak yang jauh namun dengan waktu yang singkat melalui
kemajuan teknologi yanga ada. Sehingga bila kita simpulkan globalisasi
merupakan suatu ikatan yang di dalamnya masyarakat memiliki ketergantungan
antara satu dengan yang lainya. Hal ini terjadi akibat adanya proses sosial yang
terjadi secara mendunia dan membawa perubahan-perubahan terhadap aspek

5
Watters, M. “Globalization”. Volume 2.

5
sosial, ekonomi, budaya, pendidikan bahkan agama tanpa batas wilayah yang
pasti.

II.1.1 Karateristik Globalisasi


Globalisasi sebagai suatu proses sosial yang menyebabkan
ketergantungan bagi masyarakat dan juga menyebabkan penyelarasan sistem
sosial memiliki beberapa karakteristik, seperti yang kemukakan oleh Syarbaini
membagi karateristik globalisasi ke dalam 6 (enam) poin yaitu:
1) Globalisasi hadir secara bersama dengan adanya modernisasi di negara barat
yang mana pada saat itu mulai dibentuknya sistem kehidupan ekonomi,
politik internasional dan budaya global, yang mana sekarang hal tersebut
terus berkembang melalui teknologi yang ada.
2) Globalisasi yang dalam hal ini merupakan adanya suatu hubungan yang
kompleks dari seluruh hubungan sosial yang ada di dunia
3) Globalisasi meliputi suatu peristiwa konstraksi, yang mana dunia menjadi
lebih sempit dengan adanya komunikasi yang dalam hal ini dipahami bahwa
komunikasi menciptakan konstraksi sehingga proses globalisasi terjadi secara
cepat.
4) Peristiwa globalisasi berbentuk cerminan yang menyebabkan adanya
kepekaan antar manusia.
5) Globalisasi merupakan proses sosial yang melunturkan sekatan-sekatan
wilayah di dunia.
6) Globalisasi menciptakan impersonal yang lebih kuat dan melahirkan
norma-norma baru di masyarakat.6

II.2 Teori Identitas Nasional


Identitas nasional merupakan suatu jati diri atau wajah yang dimiliki
untuk mencerminkan setiap perilaku dan tindakan yang akan dilakukan, sehingga
identitas nasional merupakan jati diri suatu negara dalam melakukan kegiatan
politiknya baik itu dalam politik domestik, regional, maupun internasional. Lebih

6
Syarbaini. “Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi: Implementasi Nilai-nilai Karakter”, edisi 3.
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2014)
http://www.library.usd.ac.id/web/index.php?pilih=search&p=1&q=0000125817&go=Detail

6
lanjut identitas nasional menurut Kaelan berarti suatu cerminan dari nilai budaya
yang ada di tengah masyarakat, yang mana budaya tersebut terus berkembang
sampai pada tahap nasional. Selanjutnya hal tersebut menjadi suatu ciri khas
kehidupan bagi suatu negara. Adapun faktor penentu dalam pembentukan
identitas nasional ialah sebagai berikut:
1) Faktor objektif, yang berisikan wilayah suatu negara, yang mana wilayah atau
geografis dapat menentukan suatu identitas yang akan dimiliki suatu negara.
2) Faktor subjektif, yang berisikan aspek historis atau sejarah dari negara
tersebut, yang mana aspek sejarah dapat menimbulkan rasa kebersamaan
sehingga menciptakan identitas tertentu bagi suatu Negara. 7

II.3 Teori Nasionalisme


Nasionalisme umumnya dipahami sebagai suatu landasan diri yang
dimiliki oleh seseroang dalam bernegara, dalam perkembanganya nasionalisme
memiliki beberapa macam definisi. Lebih lanjut Sarman memahami nasionalisme
merupakan rasa kecintaan terhadap negara tanpa upah apapun dan didasari oleh
jiwa patriotisme. Sedangkan Hara memahami nasionalisme sebagai suatu
solidaritas atas status sebagai warga negara, etnis, budaya, dan menunjukan
dirinya sebagai identitas bangsa.8 Dan lebih dalam lagi terdapat beberapa
pemahaman umum yang menyatakan bahwa nasionalisme merupakan suatu
kesetiaan tertinggi bagi suatu masyarakat yang diberikanya kepada negara.
Sehingga bila kita pahami nasionalisme merupakan rasa kesamaan sebagai suatu
bangsa yang menjunjung tinggi nilai patriotisme dan kesetian sebagai seorang
warga negara. Dalam implementasinya terdapat nilai-nilai nasionalisme yang
diyakini secara universal sebagai berikut:
1) Menjadikan kepentingan bangsa atas kepentingan tertinggi
2) Memiliki sikap berkorban dan memahami kepentingan bangsa bersama
3) Bangga akan status diri sebagai warga negara
4) Meyakini adanya kesamaan status sebegai perwujudan kesatuan bangsa

7
Sulisworo, Dwi. 2012. “ Identitas Nasional.”
http://eprints.uad.ac.id/9433/1/IDENTITAS%20NASIONAL%20Dwi. Diakses pada 4 April 2022
pukul 15.00 WIB
8
Aggraeni & Faturochman. 2004. “Nasionalism”. Jurnal psikologi, No 2. Diakses dari
https://journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/7469/5808

7
5) Membangun rasa saling memiliki satu sama lainya
6) Menghargai setiap hak individu lainya

BAB III

GAMBARAN UMUM

III.1 Bangsa dan Nasionalisme


Nasionalisme berasal dari kata bahasa Inggris yakni Nation dan dalam
bahasa Belanda yakni Natie, di mana memiliki arti bangsa. Maka, nasionalisme
merupakan suatu paham yang berkaitan dengan bangsa atau kebangsaan.
Bangsa berarti sekumpulan masyarakat yang mendiami wilayah tertentu serta
mempunyai hasrat dan kemampuan untuk bersatu karena adanya persamaan
nasib, cita-cita, serta tujuan.9 Maka dari itu, suatu bangsa hanya dapat muncul
jika adanya keinginan untuk hidup bersama, adanya perasaan setia kawan di
mana terbentuk bukan karena persamaan ras atau agama saja namun karena
pengalaman historis (sejarah) yang membuat munculnya keinginan berkorban
bersama. Maka dari itu, suatu bangsa juga dapat diartikan sebagai sekelompok
manusia yang memiliki karakter yang sama karena persamaan nasib maupun
pengalaman yang telah dijalani bersama.

Nasionalisme dianggap sebagai suatu gejala psikologis di mana muncul


rasa persamaan dari sekelompok manusia yang kemudian menimbulkan
kesadaran sebagai bangsa. Umumnya nasionalisme mengungkapkan sikap atau
perilaku seseorang yang memiliki kepedulian terhadap bangsanya sendiri dari
identitas bangsanya. Nasionalisme juga pada umumnya menggambarkan sebuah
perilaku maupun tindakan yang dilakukan oleh suatu negara atau bangsa yang
menggunakan berbagai cara agar mendapat tujuannya serta bisa
mempertahankan kondisi atau nasib dari bangsa tersebut. Dapat diartikan bahwa
nasionalisme yang kemudian melahirkan upaya untuk membentuk bangunan

9
Diah Ayu Fitriani, Skripsi: “Konstruksi Penanaman Nilai Nasionalisme Pada Novel Analisis Isi Pada
Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata untuk Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan”
(Surakarta: UMS, 2014), hal. 1.

8
kebangsaan (nation building) yakni upaya yang sistematis untuk menanamkan
kesadaran pada masyarakat bahwa dengan keanekaragaman ras, etnik, agama
serta budaya yang dimiliki namun semua itu berada dalam satu wadah yakni
bangsa.10 Maka dari itu, nasionalisme diyakini sebagai suatu paham atau doktrin
yang membentuk serta mempertahankan kedaulatan dari suatu negara di mana
hal ini dilakukan dengan kebersamaan kelompok manusia yang ada dalam negeri
tersebut. Paham nasionalisme juga menyebar ke berbagai negara melalui jalur
politik kekuasaan. Sehingga, nasionalisme juga dapat diartikan sebagai sikap
politik dan sosial kelompok masyarakat. Paham ini juga tumbuh dan berkembang
di tengah masyarakat dan kemudian dalam kehidupan politik negara dengan
tujuan untuk mempersatukan suatu bangsa. Tentunya kemunculan nasionalisme
di berbagai negara memiliki proses yang berbeda-beda. Maka dari itu,
nasionalisme yang lahir di setiap negara menggambarkan ciri khas maupun
identitas yang berbeda sesuai dari negara tersebut.

Namun, di era globalisasi sekarang ini membuat sekat atau batas antar
negara semakin memudar atau hilang, sehingga antar negara tidak terdapat lagi
batasan. Globalisasi yang diiringi perkembangan teknologi juga semakin
memudahkan manusia dalam mencari dan mendapatkan informasi baik itu
terkait dengan bidang pendidikan, politik, ekonomi, agama, bahkan budaya.
Sehingga, dapat dilihat bahwa dunia menjadi semakin sempit dan mudah
dijangkau bahkan juga semakin memudahkan pekerjaan manusia. Namun,
tentunya globalisasi membawa tantangan terhadap nasionalisme bangsa. Salah
satunya, dengan adanya ancaman dari peningkatan migrasi internasional.
Menurut Zlotnik yang dikutip dalam Dewi migrasi internasional yakni
perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain.11 Migrasi internasional
ini tentu membawa dampak negatif yakni membawa pertumbuhan terhadap
karakteristik masyarakat multikulturalisme. Tentu adanya pengaruh dari budaya
atau paham luar patut diwaspadai apabila gagasan identitas lain dapat

10
Ibid.
11
Elisabeth Dewi, “Migrasi Internasional dan Politik Luar Negeri Indonesia” Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional UNPAR, Vol.9 No.1, 2013, hal.1.

9
menggeser budaya lokal dan memudarkan identitas atau jati diri bangsa
Indonesia.

III.2 Sejarah Perkembangan Nasionalisme Prancis


Pada awalnya gagasan mengenai nasionalisme ini muncul sebagai ide
antara tahun 1776 hingga 1830 khususnya di benua Eropa dan Amerika di mana
terjadi proses integrasi dari kerajaan-kerajaan sampai terbentuk negara nasional.
Namun, gagasan mengenai nasionalisme lebih positif dan menjadi lebih umum
dipakai setelah abad ke-18 di Prancis. Di mana ketika itu parlemen Revolusi
Prancis yang dibentuk oleh rakyat biasa menyebut diri mereka sebagian
Assemblee Nationale di mana kemudian pembentukan ini menandai perubahan
pada institusi politiknya, dari yang bersifat eksklusif diperuntukkan bagi kaum
bangsawan saja, menjadi bersifat egaliter jadi semua kelas meraih hak yang sama
dengan golongan elite ketika berpolitik.12 Ini yang kemudian membuat makna
kata nation merujuk kepada bangsa. Nasionalisme Bangsa Prancis tidak dapat
terlepas dari Revolusi Prancis yang mengubah sistem kekuasaan dari yang
sebelumnya sistem pemerintahan berbentuk kerajaan atau Monarki menjadi
sebuah negara yang berbentuk Republik. Maka dari itu terjadilah, Revolusi
Prancis yang dikenal dengan tiga semboyan yaitu “Liberte, Egalite, et Fraternite”
atau “kebebasan, Persamaan, dan Persaudaraan” di mana gagasan inilah yang
ingin dicapai dalam memperjuangkan hak asasi manusia.13 Upaya untuk
menggulingkan dan menghapuskan kekuasaan absolutisme yang terjadi
berabad-abad di prancis ternyata berhasil sehingga dari perjuangan tersebut
melahirkan Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara 1789 dan melahirkan
paham baru yakni Liberalisme, Demokrasi serta Nasionalisme. Gerakan
nasionalisme di Prancis ini tidak hanya melahirkan negara nasional namun juga
melahirkan sistem kekuasaan baru dan modern yakni demokrasi Barat.

12
Dadang Supardan, “Tantangan Nasionalisme Indonesia Dalam Era Globalisasi” Lentera, Vol.2,
Vol.4, 2011, hal.43.
13
Sandy H.C., Evi P. “Perkembangan Sistem Pemerintahan dan Konsep Kedaulatan Pasca Revolusi
Prancis Terhadap Hukum Internasional” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol.2 No.2, 2020,
hal.228.

10
III.3 Sejarah Perkembangan Nasionalisme Indonesia
Paham nasionalisme ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka.
Perkembangan doktrin nasionalisme yang berkembang di Eropa kemudian
sampai kepada orang-orang Asia-Afrika sekitar abad ke-20. Di wilayah Asia, yakni
Indonesia pada saat itu dikuasai oleh kolonialisme Belanda. Kolonialisme tersebut
menghadirkan kesadaran bagi masyarakat Indonesia terhadap situasi
ketertindasan yang kemudian melahirkan keinginan untuk memiliki kebebasan
dan merdeka. Sehingga, pada saat itu masyarakat Indonesia berada dalam situasi
menantang pemerintahan kolonial tersebut. Situasi inilah yang kemudian
menghadirkan nasionalisme dan gagasan kebangsaan. Di mana gagasan atau
doktrin mengenai nasionalisme tersebut sudah sering kali digunakan oleh
Presiden Soekarno untuk membangkitkan kekuatan gerakan berjuang dari
masyarakat dalam melawan penindasan akibat kolonialisme. Perjuangan ini
tentunya untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Maka dari itu, dari gagasan
tersebut, semua kelompok, golongan maupun wilayah yang berada di nusantara
kemudian bersatu dan memunculkan perasaan senasib dan sepenanggungan
yang dialami oleh masyarakat Indonesia pada saat itu, sehingga perasaan ini
mengalahkan perbedaan yang ada mengenai budaya, etnik, serta agama.
Kesadaran dari situasi ketertindasan tersebut pada akhir abad ke-19 kemudian
melahirkan beberapa pergerakan organisasi modern, salah satunya Budi Utomo.14
Di mana sejak berdirinya organisasi tersebut perkembangan nasionalisme di
Indonesia menjadi sangat cepat. Hal ini ditandai dengan kelahiran beberapa
organisasi pergerakan dengan tujuan yang sama, yakni untuk mencapai
kemerdekaan serta membebaskan Indonesia dari kolonialisme. Sehingga
nasionalisme yang lahir di Indonesia merupakan nasionalisme yang berkeadilan
sosial, antikolonialisme, kapitalisme, serta imperialisme. Sehingga gagasan
mengenai persatuan, kesatuan, serta nasionalisme merupakan dasar yang
menjadi perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Gerakan
nasionalisme ini kemudian membawa negara Indonesia kepada kebebasan dari
belenggu penjajahan bangsa lain, di mana pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa
14
Diah Ayu Fitriani, Skripsi: “Konstruksi Penanaman Nilai Nasionalisme Pada Novel Analisis Isi
Pada Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata untuk Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan” (Surakarta: UMS, 2014), hal.

11
Indonesia dinyatakan merdeka.15 Kemerdekaan ini membawa Indonesia kepada
kesetaraan dengan bangsa lain di dunia. Namun, rasa dari nasionalisme tersebut
masih tumbuh dan berkembang di hati setiap warga Indonesia untuk senantiasa
mencintai negara nya dengan segenap jiwa dan raga.

BAB IV

JAWABAN RUMUSAN MASALAH

IV.1 Tantangan Nasionalisme di Prancis


Pada awal abad 18 (1789-1794) saat Revolusi Prancis, Prancis
mencanangkan semboyan “Liberté, Égalité, Fraternité”. Nasionalisme dan
identitas nasional Prancis ini melahirkan konsep nasionalis modern berbangsa
dan bernegara yang berbeda dari konsep monarki sebelumnya. Konsep ini
mengenalkan warga negara yang memiliki hak dan kewajiban serta memiliki
prinsip kebebasan, persaudaraan, dan kesetaraan sebagai fondasi bangsa dan
negara yang telah banyak ditiru oleh bangsa-bangsa lain di dunia saat mendirikan
negara.

Prancis merupakan salah satu negara multikulturalisme, istilah ini


memiliki beragam makna tetapi dalam arti yang paling sederhana, hal ini dapat
dipahami sebagai suatu sistem kepercayaan dan perilaku yang menghormati
keberadaan berbagai kelompok budaya dalam satu masyarakat. Mengacu pada

15
Dadang Supardan, “Tantangan Nasionalisme Indonesia Dalam Era Globalisasi” Lentera, Vol.2,
Vol.4, 2011, hal.43.

12
sosiologi, multikulturalisme adalah sinonim dari pluralisme etnis di mana
berbagai kelompok etnis bersatu dalam dialog tanpa harus mengorbankan
identitas khusus mereka. Dalam hal filsafat politik, multikulturalisme berfokus
pada cara-cara yang mana berbagai masyarakat harus menanggapi perbedaan
budaya dan agama. Multikulturalisme juga sering digunakan dalam rujukan pada
negara bangsa Barat di mana kota-kota semakin dijadikan sebagai mozaik budaya.
Multikulturalisme telah diadopsi sebagai kebijakan resmi oleh beberapa negara
Barat pada 1970-an. Dari tahun 1970-an dan hingga pertengahan 1990-an, ada
kecenderungan perbedaan persepsi di negara-negara demokrasi Barat terhadap
peningkatan pengakuan dan akomodasi keanekaragaman melalui serangkaian
kebijakan multikulturalisme. Namun, setiap negara barat menanggapi pertanyaan
multikulturalisme dengan caranya sendiri yang berbeda.16

Selain terkenal sebagai negara multikultural, yang ingin ditekankan dalam


pembahasan ini adalah “Sekularisme” di Prancis, terkait bagaimana peran
fundamental sekularisme itu sendiri. Prinsip sekularisme merupakan prinsip
sentral dari kebijakan publik Prancis, khususnya yang menyangkut pendidikan
publik. Selain itu, sekularisme dianggap mewakili seperangkat nilai-nilai sosial
dan budaya yang memiliki gema sejarah yang mendalam bagi banyak orang
Prancis.

Peristiwa itu juga menghidupkan kembali perdebatan sejarah tentang


peran agama dan operasi sekularisme dan lembaga sekuler dalam kehidupan
publik di Prancis. Gereja dan lembaga-lembaga politik mempertahankan
hubungan dekat sebagai bagian dari mana pejabat Gereja dibayar sebagai
pejabat publik, dan lembaga-lembaga dari masing-masing kekuatan mendukung
yang lain dalam penghubung keuntungan bersama. Pada 1789,
peristiwa-peristiwa Revolusi menyebabkan “Deklarasi Hak-hak Manusia dan
Warga Negara” menjadi fokus utama yang melemahkan kekuatan Gereja Katolik
dan institusi-institusi lain dari Ancien Regime dengan mempromosikan
kedaulatan dan kesetaraan rakyat Prancis. Sejalan dengan filosofi Pencerahan,

16
Sarthak Kathayat, Multiculturalism in Europe: A Case Study of French Republican Model ,
(Scholar New Delhi: Jamia Milia Islamia, 2012) , hal. 2

13
deklarasi tersebut mencantumkan 'hak-hak yang tidak dapat dicabut' yang
dipegang oleh warga negara berdasarkan keberadaan mereka sebagai manusia,
termasuk kebebasan berkeyakinan yang dilindungi oleh pasal 10 yaitu, 'Tidak
seorang pun dapat diganggu berdasarkan pada keyakinannya, bahkan
kepercayaan agama, selama manifestasinya tidak mengganggu ketertiban umum
yang ditetapkan oleh hukum'. Meskipun hubungan antara Gereja Katolik dan
negara penuh dengan konflik selama abad ke19, Gereja melanjutkan untuk
memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan kesetiaan nasional di
Prancis. Pendidikan agama masih memiliki tempat dalam kurikulum sekolah di
bawah Napoleon dan ulama adalah karyawan bergaji negara.17

Agama telah lama dipandang sebagai masalah serius di Prancis. Tidak


jarang terdapat salah satu kelompok umat beragama terdiskriminasi karena
kehadiran dan visibilitas mereka di Prancis.18 Prancis sangat membanggakan
keputusan mereka dalam memisahkan gereja dan negara, hingga Prancis
mengumumkannya sebagai dasar demokrasi-demokrasi Barat. Walau begitu,
Prancis adalah negara Katolik Roma yang secara historis kuat di Eropa Barat yang
memiliki tradisi sekularisme kuat, yang dikenal sebagai laicite. Laicite umumnya
dipahami sebagai pemisahan gereja (agama) dan negara (terlihat misalnya dalam
pelarangan pendanaan negara untuk bangunan dan kegiatan keagamaan) serta
upaya untuk membatasi ekspresi dan praktik keagamaan ke ranah pribadi.
Pemahaman tentang laicite dalam masyarakat menyangkut hubungan antara
gereja dan negara berubah lagi dengan disahkannya undang-undang tahun 1905
yang melarang negara Prancis untuk secara resmi ‘mengakui’ agama. Laicite
Prancis muncul dari upaya revolusioner untuk menghapuskan pengaruh Gereja
Katolik dalam politik Prancis, dan memanifestasikannya hari ini sebagai pembatas

17
Nicky Jones, Religious Freedom in a Secular Society: The Case of the Islamic Headscarf in
France, (University of Adelaide Press : 2012) , hal. 225
18
Warsilah, Heni. 2020. Meneropong Konflik Agama (Islam) di Prancis: Sebuah Eksklusi Sosial
terhadap Islam?. Vol. 11. Dalam
https://pmb.lipi.go.id/meneropong-konflik-agama-Islam-di-Prancis-sebuah-eksklusi-sosial-terhad
ap-Islam/

14
ekspresi identitas keagamaan pada kehidupan pribadi sambil mempertahankan
ruang publik yang sekuler.19

Pluralisme agama dan etnis selalu menjadi fitur pembicaraan di Prancis,


pada perkembangannya hal tersebut membawa tantangan bagi cita-cita (sekuler)
Republik. Terlebih ketika hal itu relevan dengan pertumbuhan populasi minoritas
Muslim Prancis yang besar sebagai mayoritas warga negara Prancis yang berasal
dari imigran bekas koloni Prancis di Afrika Utara-Barat. Dapat dipahami bahwa
sekularisme adalah konsep yang telah ada selama berabad-abad dan selalu
menimbulkan perdebatan. Ada banyak definisi dan penjelasan berbeda yang
tersedia dari gagasan tersebut. Namun, pemahaman yang paling umum adalah
bahwa negara harus tetap terlepas dari masalah agama, bahwa negara tidak
boleh melarang siapa pun dari memegang jabatan atau pekerjaan apa pun
berdasarkan afiliasi agamanya. Negara seharusnya tidak mendanai agama
tertentu dari uang publik atau memihak agama apa pun daripada yang lain.
Hingga saat ini Prancis tetap menjadi negara sekuler yang berusaha maju dengan
harapan-harapan bahwa Prancis akan menjadi negara yang lebih baik dari masa
lampau.20

IV.2 Tantangan Nasionalisme di Indonesia


Nasionalisme Indonesia dalam rentang waktu 1997-2002 benar-benar
mengalami kemunduran akibat meningkatnya konflik yang terjadi antaretnik,
antaragama, dan fenomena disintegrasi bangsa lainnya. Salah satu pemicu konflik
yang telah dimulai sejak 1997 serta terjadi di berbagai pulau-pulau besar, seperti
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, dan Sumatera adalah pilihan penduduk
untuk bertahan tinggal ataukah meninggalkan kediaman mereka yang telah

19
Religious Literacy Project Harvard Divinity School, Country Profile: France, Religious Literacy
Project Harvard Divinity School February 27-2016, “Voilées,” Gustave Deghilage (2015), Flickrs
Creative Common . diakses dalam: https://rlp.hds.harvard.edu/faq-country/france
20
Dwi Wulandari, 2020, Politik Islamophobia di Prancis : Konsep dan Realitas
https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/30047

15
berubah menjadi daerah konflik berkepanjangan. Hal ini membuat banyak orang
Indonesia hidup mengungsi di negerinya sendiri. Saat itu pengungsi tersebar di
20 provinsi. Sungguh ironisnya kondisi penduduk Indonesia kala itu harus
'mengungsi' di negerinya sendiri.

Salah satu contohnya, konflik yang terjadi antara Kalimantan Barat dan
Kalimentan Tengah. Dua provinsi ini memang rentan dengan konflik. Penyebab
langsungnya bahkan karena persoalan sepele. Konflik yang terjadi di Sambas
tahun 1999 misalnya, dimulai dengan terbunuhnya seorang pencuri dari salah
satu etnik yang bertikai. Permasalahan ini kemudian berkembang dalam waktu
relatif singkat menjadi perseteruan antaretnik. Tidak kurang dari 3.000 orang
warga Desa Paritsetia yang tidak tahu-menahu dengan persoalan itu terpaksa
mengungsi.21

Kemudian contoh konflik yang terjadi di Maluku dan Poso. Sama-sama


dimulai dengan perkelahian atau bentrokan antarwarga. Kali ini pemicunya
adalah konflik antarpemeluk agama dan terjadi karena hal-hal sepele lagi akibat
bentrokan antara seorang warga dan seorang sopir angkutan di Ambon pada
pertengahan Januari 1999. Bangsa Indonesia dengan semboyan Bhineka Tunggl
Ika, serasa membohongi diri sendiri, ketika tidak adanya sikap saling menghargai
dan percaya terhadap perbedaan agama dan budaya yang dimilikinya, justru yang
ada malah rasa curiga antar sesama. Identitas bangsa kita yang terkenal ramah,
religius, dan menjunjung kesopanan, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang
beringas, suka berkelahi dan saling membunuh.

Nasionalisme hadir di Indonesia berkat kesadaran nasional yang


dirumuskan oleh kaum inteligensia dan diperluas melalui partai politik
pergerakan nasional hingga menjadi gerakan massa yang anti kolonial.22
Nasionalisme pada tahap awal berhasil merekatkan penduduk yang heterogen
menentang kolonialisme. Tetapi setelah proses dekolonisasi berlangsung

21
Triardianto,Tweki. dan Suwardiman (2002) “Potret Konflik di Indonesia” dalam Indonesia dalam
Krisis 1997-2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
22
Alfian, Teuku. I. (1996) “Nasionalisme dalam Perspektif Sejarah” dalam Jurnal Filsafat Pancasila
No.2, Th. II Desmber 1998, Yogyakarta: Gajah Mada Press

16
terutama dalam nation building, perlu ada revitalisasi dan redifinisi nasionalisme
yang makin kompleks tantangannya. Terdapat kesan bahwa dalam perkembangan
baru di berbagai bidang semakin gencar mendera nasionalisme. Perlu diingat
bahwa perjalanan nasionalisme di Indonesia belum berakhir. Dia masih terus
berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara
dinamis. Tjokrowinoto berpendapat bahwa nasionalisme dapat memainkan dua
peran pokok, yaitu; (1) sebagai ideologi yang mengatasi loyalitas dan solidaritas
parochial, (2) sebagai mekanisme pertahanan terhadap ancaman kekuatan
eksternal baik kekuasaan kolonial, penetrasi transnational corporation,
multinational corporation, maupun lembaga-lembaga internasional sebagai
pengaruh pengaruh globalisasi.23 Semuanya itu memerlukan elaborasi
nasionalisme yang tidak hanya menekankan pada aspek idelogi-politik. Namun,
juga pada bentuk nasionalisme kewarganegaraan, kebudayaan, perekonomian,
dan etnik.

IV.2.1Nasionalisme dan Kewarganegaraan


Setidaknya kebangsaan akan didasarkan dua prinsip utama, yaitu
berdasar keturunan (ius sanguinis) dan azas kelahiran (ius soli). Dalam azas
keturunan biasanya akan menimbulkan terbentuknya ethnic nationalism
maupun ethnocultural nationalisme, sehingga mementingkan adanya bukti-bukti
fisik keturunan, bahasa, dan keagamaan. Akhirnya visi ini akan membawa
masyarakat yang kurang demokratis. Sedangkan dalam azas kelahiran akan
mengarahkan pada penguatan civic-nationalism. Konsepsi ini dalam beberapa hal
dapat mengakomodasi perbedaan etnis dan budaya sejauh negara mampu
menjaga netralitasnya. Singkatnya model ini menawarkan visi “community of
equal citizens”.24

Adapun permasalahan mengenai konsep ini di Indonesia, adalah


kurangnya tempat bagi kesadaran kewarganegaraan itu sendiri untuk tumbuh

23
Tjokrowinito, Moeljarto, (1998) “Nasionalisme dalam Perspektif Politik” dalam Jurnal Filsafat
Pancasila, Yogyakarta: Gajah Mada Press.
24
Harjanto, Nico,T.,(2001) “Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan” dalam Indra J. Piliang, Edy
Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for
Strategic and International Studies.

17
dan berkembang. Sebab, kewargenegaraan selama ini lebih dipandang sebagai
konsep hukum, padahal sebenarnya memiliki pengaruh besar dalam partisipasi
politik. Kemudian kebangsaan ideal yang bagaimana yang harus dituju, terutama
dalam masyarakat plural seperti Indonesia? Memang tidak ada jawaban yang
mutlak, tetapi dalam tatanan masyarakat majemuk dan konteks masyarakat
global setidaknya tersedia suatu visi alternatif yang layak dipertimbangkan yaitu
multicultural nationalism. Para penganjur model masyarakat seperti ini
berkeyakinan bahwa menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial yang
dipersatukan oleh nilai-nilai bersama, sehingga terwujud suatu “social and
political ideal of togetherness in difference”.25 Visi ini sebenarnya menggabungkan
antara tujuan civic nationalism dengan ethnocultural nationalism.

IV.2.2Nasionalisme dan Kebudayaan


Kebudayaan dapat menjadi unsur perlawanan terhadap dominasi asing.
Artinya hal ini berpengaruh positif terhadap rakyat. Akan tetapi, dapatkah
kebudayaan yang heterogen dalam suatu bangsa menjadi suatu kekuatan positif
khususnya dalam meningkatkan integrasi bangsa? Sebab selama ini tanpa sadar
kita lebih percaya bahwa kesamaan merupakan sumber terciptanya solidaritas
sosial yang didorong oleh kesadaran kolektif. Manusia hanya merasakan perasaan
sebagai komunitas ketika mereka menganggap diri mereka “sama” dengan
anggota-anggota lain dari masyarakatnya. Padahal rasa solidaritas juga dapat
muncul karena perbedaan-perbedaan individu ini yang merombak kesadaran
kolektif tersebut. Untuk itu, Indonesia perlu lebih memperhatikan inti
kebudayaan bangsa yang semakin memudar. Terlebih sebagai negara bekas
jajahan, identitas kita telah dirusak oleh Barat. Dengan budaya yang heterogen,
masyarakat Indonesia perlu untuk mengakui dan menilai perbedaan-perbedaan
budaya yang dimiliki.

IV.2.3Nasionalisme dan Ekonomi


Nasionalisme ekonomi identik dengan “gerakan pribumisasi” dan
menghilangkan dominasi pihak asing dalam sektor tertentu. Nasionalisme
dikatakan terusik ketika aset dan saham perusahaan Indonesia diborong oleh
25
Rawls, John (1971) A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press.

18
orang atau perusahaan asing. Namun, sebagai konsumen, sadarkah kita bahwa
kita lebih menyukai barang dengan merek asing daripada merek buatan dalam
negeri? Sekarang kita dihadapkan dengan pilihan mana yang lebih penting
mengutamakan penggunaan barang domestik (yang sering diikuti dengan
proteksi), atau berorientasi pada efisiensi yang berarti mengkonsumsi barang
yang lebih murah dan berkualitas tanpa peduli dari negara mana asalnya? Inilah
saatya mengkaji ulang nasionalisme di tengah gelombang globalisasi.

IV.2.4Nasionalisme dan Etnik


Nasionalisme sebagai sarana mendapatkan kembali harga diri etnik
sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan
budaya.26 Namun, itu tak berarti bangunan nasionalisme menjadi homogen
karena fondasi nasionalisme juga ditopang oleh ikatan-ikatan nonetnik. Di Barat,
Nasionalisme bangkit dari reaksi masyarakat yang merasakan ketidaknyamanan
budaya terhadap perubahan-perubahan yang terjadi akibat kapitalisme dan
industrialism. Sedangkan, di Timur nasionalisme lahir dalam masyarakat yang
terobsesi akan apa yang telah dicapai oleh Barat tetapi secara budaya mereka
tidak dilengkapi oleh prakondisi-prakondisi modernitas yang memadai.27 Pada
satu sisi, masyarakat Timur ingin mencapai apa yang telah terjadi di Barat. Di sisi
lain dia juga menolak dominasi Barat.

Hal ini dapat kita lihat dari konsep Pancasila yang dilontarkan oleh
Soekarno pertama kali dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya,
Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan
sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur
selama 350 tahun masa penjajahan. Terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil
kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme,
sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari
gerakan Islam modern di Timur Tengah. Dalam konteks politik saat itu, Pancasila
ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi. Problematis karena ketika kita mencari

26
Dadang Supardan. (2011). Tantangan Nasionalisme Indonesia dalam Era Globalisasi. Lentera
Vol 2 (4), hal 54.
27
Ibid, hal 57.

19
akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai produk “alamiah”, yang kita
temukan-sekali lagi-adalah apropriasi konsep-konsep Barat yang secara retoris
direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya lokal.28

Ironisnya, kita tidak memiliki bukti yang “autentik” untuk mengklaim


bahwa nasionalisme Indonesia dibentuk oleh warisan akar budaya lokal. Artinya,
domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh
elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan
kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara “alami”
pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita
bisa mengambil satu kesimpulan, yang tentunya masih dapat diperdebatkan,
bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang
menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh
semangat modernitas di mana budaya Barat juga menjadi sumber inspirasi utama
Hanya saja patut kita sadari, terlalu tergesa-gesa mengatakan nasionalisme
Indonesia telah mencapai titik final. Dia masih terus berkembang mencari
bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara dinamis.

28
Ibid, hal 59.

20
BAB V

PENUTUP

V.1 Kesimpulan
Prancis merupakan salah satu negara multikulturalisme, istilah ini
memiliki beragam makna tetapi dalam arti yang paling sederhana, ia dapat
dipahami sebagai sistem kepercayaan dan perilaku yang menghormati
keberadaan berbagai kelompok budaya dalam satu masyarakat.
Multikulturalisme telah diadopsi sebagai kebijakan resmi oleh beberapa negara
Barat pada 1970-an. Dari tahun 1970-an dan hingga pertengahan 1990-an, ada
kecenderungan perbedaan persepsi di negara-negara demokrasi Barat terhadap
peningkatan pengakuan dan akomodasi keanekaragaman melalui serangkaian
kebijakan multikulturalisme. Namun, setiap negara barat menanggapi pertanyaan
multikulturalisme dengan caranya sendiri yang berbeda. Salah satu topik utama
dalam pembahasan “Sekularisme” di Prancis adalah peran fundamental
sekularisme itu sendiri. Prinsip sekularisme merupakan prinsip sentral dari
kebijakan publik Prancis, khususnya yang menyangkut pendidikan publik.

Pada 1789, peristiwa-peristiwa Revolusi menyebabkan “Deklarasi Hak-hak


Manusia dan Warga Negara” menjadi fokus utama yang melemahkan kekuatan
Gereja Katolik dan institusi-institusi lain dari Ancien Regime dengan
mempromosikan kedaulatan dan kesetaraan rakyat Prancis. Sejalan dengan
filosofi Pencerahan, deklarasi tersebut mencantumkan 'hak-hak yang tidak dapat
dicabut' yang dipegang oleh warga negara berdasarkan keberadaan mereka
sebagai manusia, termasuk kebebasan berkeyakinan yang dilindungi oleh pasal
10 yaitu, 'Tidak seorang pun dapat diganggu berdasarkan pada keyakinannya,

21
bahkan kepercayaan agama, selama manifestasinya tidak mengganggu ketertiban
umum yang ditetapkan oleh hukum'.

Pluralisme agama dan etnis selalu menjadi fitur pembicaraan di Prancis,


pada perkembangannya hal tersebut membawa tantangan bagi cita-cita (sekuler)
Republik. Terlebih ketika hal itu relevan dengan pertumbuhan populasi minoritas
Muslim Prancis yang besar sebagai mayoritas warga negara Prancis yang berasal
dari imigran bekas koloni Prancis di Afrika Utara-Barat. Dapat dipahami bahwa
sekularisme adalah konsep yang telah ada selama berabad-abad dan selalu
menimbulkan perdebatan. Ada banyak definisi dan penjelasan berbeda yang
tersedia dari gagasan tersebut. Namun, pemahaman yang paling umum adalah
bahwa negara harus tetap terlepas dari masalah agama, bahwa negara tidak
boleh melarang siapa pun dari memegang jabatan atau pekerjaan apa pun
berdasarkan afiliasi agamanya.

Sejalan dengan itu nasionalisme Indonesia dalam rentang waktu


1997-2002 benar-benar mengalami kemunduran akibat meningkatnya konflik
yang terjadi antaretnik, antaragama, dan fenomena disintegrasi bangsa lainnya.
Salah satu pemicu konflik yang telah dimulai sejak 1997 serta terjadi di berbagai
pulau-pulau besar, seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian, dan Sumatera
adalah pilihan penduduk untuk bertahan tinggal ataukah meninggalkan kediaman
mereka yang telah berubah menjadi daerah konflik berkepanjangan. Hal ini
membuat banyak orang Indonesia hidup mengungsi di negerinya sendiri. Salah
satu contohnya, konflik yang terjadi antara Kalimantan Barat dan Kalimentan
Tengah. Dua provinsi ini memang rentan dengan konflik. Penyebab langsungnya
bahkan karena persoalan sepele. Konflik yang terjadi di Sambas tahun 1999
misalnya, dimulai dengan terbunuhnya seorang pencuri dari salah satu etnik yang
bertikai. Permasalahan ini kemudian berkembang dalam waktu relatif singkat
menjadi perseteruan antaretnik.

V.2 Saran
Lantas bagaimana nasionalisme Indonesia di era global?

22
Dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang
pesat membuat nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi
dan transaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di kalangan negara
maju, maupun di kalangan negara Dunia Ketiga, seperti di Indonesia. Memang
dengan adanya globalisme, membuat nasionalisme tidak semerbak ketika
maraknya terbentuk negara bangsa pasca Perang Dunia II. Hal ini bisa dipahami
karena pola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya teraduk seolah
menjadi satu, tanpa terikat oleh batas-batas negara bangsa, peran dan efektivitas
adanya negara bangsa mulai dipertanyakan. Sebab, beberapa negara-bangsa
yang dicirikan oleh adanya territorium, kontrol atas kekerasan, struktur
kekuasaan, dan legitimasi, perlahan-lahan mulai kehilangan fungsinya. Namun,
ini semua tidak berarti habisnya riwayat nasionalisme, karena justru
ditengah-tengah universal-global tersebut, banyak orang merindukannya.

Indonesia dalam menghadapi era globalisasi, tidak boleh menganut


paham post-nasionalisme, bagaimana-pun kuatnya arus interdependensi yang
terjadi. Untuk mengahadapi dunia luar, negara di dunia, khususnya Indonesia
harus selalu membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.
Sedangkan untuk membina dan mempertahankan nasionalisme bangsa
Indonesia, persyaratan utama adalah kesiapan dan dan kegigihan serta
fleksibilitas dalam mengelaborasikan bentuk-bentuk nasionalisme yang lebih
relevan dengan tantangan zaman. Apapun bentuk nasionalismenya, harus
disesuaikan dengan kondisi Indonesia yang pluralistik, disertai dengan
penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, transparan, dan accountable.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alfian, Teuku. I. (1996) “Nasionalisme dalam Perspektif Sejarah” dalam Jurnal


Filsafat Pancasila No.2, Th. II Desmber 1998, Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Aggraeni & Faturochman. 2004. “Nasionalism”. Diakses dari
https://journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/7469/5808
Dadang Supardan. (2011). Tantangan Nasionalisme Indonesia dalam Era
Globalisasi. Lentera Vol 2 (4).

Dwi Wulandari, 2020, Politik Islamophobia di Prancis : Konsep dan Realitas


https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/30047

Dewi, E. (2013). Migrasi Internasional dan Politik Luar Negeri Indonesia. Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional UNPAR, 1-6.

Fahrudin, A. (2020). Nasionalisme Soekarno dan Konsep Kebangsaan Mufassir


Jawa. Jakarta Pusat: LITBANGDIKLAT PRESS.

Faturochman, A. K. (2004). Nasionalisme. Buletin Psikologi, 61-72.

Fitriani, D. A. (2014). Skripsi: Konstruksi Penanaman Nilai Nasionalisme Pada


Novel Analisis Isi Pada Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata untuk
Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta: UMS.

24
Harjanto, Nico,T.,(2001) “Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan” dalam Indra
J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan
Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Heywood, A. (2011). Global Politics. US: Palgrave Macmillan.

Nicky Jones, Religious Freedom in a Secular Society: The Case of the Islamic
Headscarf in France, (University of Adelaide Press : 2012) , hal. 225

Rawls, John (1971) A Theory of Justice, Oxford: Oxford University Press.

Religious Literacy Project Harvard Divinity School, Country Profile: France,


Religious Literacy Project Harvard Divinity School February 27-2016,
“Voilées,” Gustave Deghilage (2015), Flickrs Creative Common . diakses dalam:
https://rlp.hds.harvard.edu/faq-country/france

Sandy Kurnia Chrismas, E. P. (2020). Perkembanganan Sistem Pemerintahan dan


Konsep Kedaulatan Pasca Revolusi Prancis Terhadap Hukum Internasional.
Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 222-235.

Sarthak Kathayat, Multiculturalism in Europe: A Case Study of French


Republican Model , (Scholar New Delhi: Jamia Milia Islamia, 2012) , hal. 2

Sulisworo, Dwi. 2012. “ Identitas Nasional.”


http://eprints.uad.ac.id/9433/1/IDENTITAS%20NASIONAL%20Dwi. Diakses
pada 4 April 2022 pukul 15.00 WIB

Syarbaini. “Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi: Implementasi Nilai-nilai


Karakter”, edisi 3. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2014)
http://www.library.usd.ac.id/web/index.php?pilih=search&p=1&q=000012
5817&go=Detail
Tjokrowinito, Moeljarto, (1998) “Nasionalisme dalam Perspektif Politik” dalam
Jurnal Filsafat Pancasila, Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Triardianto,Tweki. dan Suwardiman (2002) “Potret Konflik di Indonesia” dalam


Indonesia dalam Krisis 1997-2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas

Warsilah, Heni. 2020. Meneropong Konflik Agama (Islam) di Prancis: Sebuah


Eksklusi Sosial terhadap Islam?. Vol. 11. Dalam
https://pmb.lipi.go.id/meneropong-konflik-agama-Islam- di-
Prancis-sebuah-eksklusi-sosial-terhadap-Islam/

25
26

Anda mungkin juga menyukai