(A-IPL-4)
Dosen Pengampu:
Amin Heri Susanto, Lc., MA. PhD
Disusun oleh:
Kelompok 4
Dengan menyebut nama Tuhan yang maha esa yang juga maha pengasih
lagi maha penyayang, serta puji dan syukur atas berkah dan karunia yang telah
diberikan olehnya. Kami mengucapkan terima kasih atas kemudahan yang telah
diberikan tuhan kepada kami, dan tak luput kami ucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada bapak Amin Heri Susanto, LC, MA, Ph.D atas
kebaikanya yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat kepada kami khususnya
pada mata kuliah Politik Global.
Besar harapan kami makalah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita
semua khususnya dalam bidang keilmuan sosial politik, kami sangat memahami
bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap
pembaca dapat memaafkan dan memakluminya serta dapat memberikan kritik dan
saran agar kami dapat terus berkembang dan memperbaiki diri.
Penulis
1
ABSTRAK
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTARi
ABSTRAKii
DAFTAR ISIiii
DAFTAR SINGKATAN iv
BAB I PENDAHULUAN1
1.1 Latar Belakang1
1.2 Rumusan Masalah4
1.3 Tujuan Penulisan Makalah4
1.4 Manfaat Akademik4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA5
2.1 Teori Globalisasi 5
2.2 Teori Identitas Nasional6
2.3 Teori Nasionalisme7
BAB III GAMBARAN UMUM8
3.1 Nasionalisme8
3.2 Sejarah Perkembangan Nasionalisme Prancis9
3.3 Sejarah Perkembangan Nasionalisme Indonesia10
BAB IV JAWABAN RUMUSAN MASALAH12
4.1 Tantangan Nasionalisme di Pramcis12
4.2 Tantangan Nasionalisme di Indonesia15
BAB V PENUTUP20
5.1 Kesimpulan21
5.2 Saran22
DAFTAR PUSTAKA23
3
DAFTAR SINGKATAN
4
5
BAB I
PENDAHULUAN
1
daratan Eropa pada awal abad ke-19 yang kemudian meledak pada tahun 1848
dalam rangkaian revolusi yang mempengaruhi daratan Eropa dari semenanjung
Iberia sampai perbatasan Rusia.4
4
Andrew Heywood, Global Politics, (US: Palgrave Macmillan, 2011), hal. 158.
2
masyarakat di seluruh dunia terutama tantangan terkait dengan nasionalisme.
Kehadiran globalisasi yang bersifat terbuka tentu membawa tantangan besar bagi
nasionalisme, ancaman kuat ini datang dari migrasi internasional. Tentu saja
peningkatan migrasi internasional ini memiliki implikasi yang signifikan bagi
politik domestik suatu negara. Dimana penduduk ini memunculkan keragaman.
Tentu saja komunitas ini mempertahankan kekhasan budaya mereka dan menolak
tekanan untuk asimiliasi. Tentunya hal ini dapat memberikan karakter masyarakat
yang multikultural. Hal ini sama seperti yang terjadi di Prancis mengenai
sekularisme.
3
I.2 Rumusan Masalah
I.2.1Bagaimana tantangan nasionalisme yang terjadi di Prancis?
I.2.2Bagaimana tantangan nasionalisme yang terjadi di Indonesia?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Watters, M. “Globalization”. Volume 2.
5
sosial, ekonomi, budaya, pendidikan bahkan agama tanpa batas wilayah yang
pasti.
6
Syarbaini. “Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi: Implementasi Nilai-nilai Karakter”, edisi 3.
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2014)
http://www.library.usd.ac.id/web/index.php?pilih=search&p=1&q=0000125817&go=Detail
6
lanjut identitas nasional menurut Kaelan berarti suatu cerminan dari nilai budaya
yang ada di tengah masyarakat, yang mana budaya tersebut terus berkembang
sampai pada tahap nasional. Selanjutnya hal tersebut menjadi suatu ciri khas
kehidupan bagi suatu negara. Adapun faktor penentu dalam pembentukan
identitas nasional ialah sebagai berikut:
1) Faktor objektif, yang berisikan wilayah suatu negara, yang mana wilayah atau
geografis dapat menentukan suatu identitas yang akan dimiliki suatu negara.
2) Faktor subjektif, yang berisikan aspek historis atau sejarah dari negara
tersebut, yang mana aspek sejarah dapat menimbulkan rasa kebersamaan
sehingga menciptakan identitas tertentu bagi suatu Negara. 7
7
Sulisworo, Dwi. 2012. “ Identitas Nasional.”
http://eprints.uad.ac.id/9433/1/IDENTITAS%20NASIONAL%20Dwi. Diakses pada 4 April 2022
pukul 15.00 WIB
8
Aggraeni & Faturochman. 2004. “Nasionalism”. Jurnal psikologi, No 2. Diakses dari
https://journal.ugm.ac.id/buletinpsikologi/article/download/7469/5808
7
5) Membangun rasa saling memiliki satu sama lainya
6) Menghargai setiap hak individu lainya
BAB III
GAMBARAN UMUM
9
Diah Ayu Fitriani, Skripsi: “Konstruksi Penanaman Nilai Nasionalisme Pada Novel Analisis Isi Pada
Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata untuk Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan”
(Surakarta: UMS, 2014), hal. 1.
8
kebangsaan (nation building) yakni upaya yang sistematis untuk menanamkan
kesadaran pada masyarakat bahwa dengan keanekaragaman ras, etnik, agama
serta budaya yang dimiliki namun semua itu berada dalam satu wadah yakni
bangsa.10 Maka dari itu, nasionalisme diyakini sebagai suatu paham atau doktrin
yang membentuk serta mempertahankan kedaulatan dari suatu negara di mana
hal ini dilakukan dengan kebersamaan kelompok manusia yang ada dalam negeri
tersebut. Paham nasionalisme juga menyebar ke berbagai negara melalui jalur
politik kekuasaan. Sehingga, nasionalisme juga dapat diartikan sebagai sikap
politik dan sosial kelompok masyarakat. Paham ini juga tumbuh dan berkembang
di tengah masyarakat dan kemudian dalam kehidupan politik negara dengan
tujuan untuk mempersatukan suatu bangsa. Tentunya kemunculan nasionalisme
di berbagai negara memiliki proses yang berbeda-beda. Maka dari itu,
nasionalisme yang lahir di setiap negara menggambarkan ciri khas maupun
identitas yang berbeda sesuai dari negara tersebut.
Namun, di era globalisasi sekarang ini membuat sekat atau batas antar
negara semakin memudar atau hilang, sehingga antar negara tidak terdapat lagi
batasan. Globalisasi yang diiringi perkembangan teknologi juga semakin
memudahkan manusia dalam mencari dan mendapatkan informasi baik itu
terkait dengan bidang pendidikan, politik, ekonomi, agama, bahkan budaya.
Sehingga, dapat dilihat bahwa dunia menjadi semakin sempit dan mudah
dijangkau bahkan juga semakin memudahkan pekerjaan manusia. Namun,
tentunya globalisasi membawa tantangan terhadap nasionalisme bangsa. Salah
satunya, dengan adanya ancaman dari peningkatan migrasi internasional.
Menurut Zlotnik yang dikutip dalam Dewi migrasi internasional yakni
perpindahan penduduk dari suatu negara ke negara lain.11 Migrasi internasional
ini tentu membawa dampak negatif yakni membawa pertumbuhan terhadap
karakteristik masyarakat multikulturalisme. Tentu adanya pengaruh dari budaya
atau paham luar patut diwaspadai apabila gagasan identitas lain dapat
10
Ibid.
11
Elisabeth Dewi, “Migrasi Internasional dan Politik Luar Negeri Indonesia” Jurnal Ilmiah
Hubungan Internasional UNPAR, Vol.9 No.1, 2013, hal.1.
9
menggeser budaya lokal dan memudarkan identitas atau jati diri bangsa
Indonesia.
12
Dadang Supardan, “Tantangan Nasionalisme Indonesia Dalam Era Globalisasi” Lentera, Vol.2,
Vol.4, 2011, hal.43.
13
Sandy H.C., Evi P. “Perkembangan Sistem Pemerintahan dan Konsep Kedaulatan Pasca Revolusi
Prancis Terhadap Hukum Internasional” Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, Vol.2 No.2, 2020,
hal.228.
10
III.3 Sejarah Perkembangan Nasionalisme Indonesia
Paham nasionalisme ini sudah ada sebelum Indonesia merdeka.
Perkembangan doktrin nasionalisme yang berkembang di Eropa kemudian
sampai kepada orang-orang Asia-Afrika sekitar abad ke-20. Di wilayah Asia, yakni
Indonesia pada saat itu dikuasai oleh kolonialisme Belanda. Kolonialisme tersebut
menghadirkan kesadaran bagi masyarakat Indonesia terhadap situasi
ketertindasan yang kemudian melahirkan keinginan untuk memiliki kebebasan
dan merdeka. Sehingga, pada saat itu masyarakat Indonesia berada dalam situasi
menantang pemerintahan kolonial tersebut. Situasi inilah yang kemudian
menghadirkan nasionalisme dan gagasan kebangsaan. Di mana gagasan atau
doktrin mengenai nasionalisme tersebut sudah sering kali digunakan oleh
Presiden Soekarno untuk membangkitkan kekuatan gerakan berjuang dari
masyarakat dalam melawan penindasan akibat kolonialisme. Perjuangan ini
tentunya untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Maka dari itu, dari gagasan
tersebut, semua kelompok, golongan maupun wilayah yang berada di nusantara
kemudian bersatu dan memunculkan perasaan senasib dan sepenanggungan
yang dialami oleh masyarakat Indonesia pada saat itu, sehingga perasaan ini
mengalahkan perbedaan yang ada mengenai budaya, etnik, serta agama.
Kesadaran dari situasi ketertindasan tersebut pada akhir abad ke-19 kemudian
melahirkan beberapa pergerakan organisasi modern, salah satunya Budi Utomo.14
Di mana sejak berdirinya organisasi tersebut perkembangan nasionalisme di
Indonesia menjadi sangat cepat. Hal ini ditandai dengan kelahiran beberapa
organisasi pergerakan dengan tujuan yang sama, yakni untuk mencapai
kemerdekaan serta membebaskan Indonesia dari kolonialisme. Sehingga
nasionalisme yang lahir di Indonesia merupakan nasionalisme yang berkeadilan
sosial, antikolonialisme, kapitalisme, serta imperialisme. Sehingga gagasan
mengenai persatuan, kesatuan, serta nasionalisme merupakan dasar yang
menjadi perjuangan Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Gerakan
nasionalisme ini kemudian membawa negara Indonesia kepada kebebasan dari
belenggu penjajahan bangsa lain, di mana pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa
14
Diah Ayu Fitriani, Skripsi: “Konstruksi Penanaman Nilai Nasionalisme Pada Novel Analisis Isi
Pada Novel Sebelas Patriot Karya Andrea Hirata untuk Pembelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan” (Surakarta: UMS, 2014), hal.
11
Indonesia dinyatakan merdeka.15 Kemerdekaan ini membawa Indonesia kepada
kesetaraan dengan bangsa lain di dunia. Namun, rasa dari nasionalisme tersebut
masih tumbuh dan berkembang di hati setiap warga Indonesia untuk senantiasa
mencintai negara nya dengan segenap jiwa dan raga.
BAB IV
15
Dadang Supardan, “Tantangan Nasionalisme Indonesia Dalam Era Globalisasi” Lentera, Vol.2,
Vol.4, 2011, hal.43.
12
sosiologi, multikulturalisme adalah sinonim dari pluralisme etnis di mana
berbagai kelompok etnis bersatu dalam dialog tanpa harus mengorbankan
identitas khusus mereka. Dalam hal filsafat politik, multikulturalisme berfokus
pada cara-cara yang mana berbagai masyarakat harus menanggapi perbedaan
budaya dan agama. Multikulturalisme juga sering digunakan dalam rujukan pada
negara bangsa Barat di mana kota-kota semakin dijadikan sebagai mozaik budaya.
Multikulturalisme telah diadopsi sebagai kebijakan resmi oleh beberapa negara
Barat pada 1970-an. Dari tahun 1970-an dan hingga pertengahan 1990-an, ada
kecenderungan perbedaan persepsi di negara-negara demokrasi Barat terhadap
peningkatan pengakuan dan akomodasi keanekaragaman melalui serangkaian
kebijakan multikulturalisme. Namun, setiap negara barat menanggapi pertanyaan
multikulturalisme dengan caranya sendiri yang berbeda.16
16
Sarthak Kathayat, Multiculturalism in Europe: A Case Study of French Republican Model ,
(Scholar New Delhi: Jamia Milia Islamia, 2012) , hal. 2
13
deklarasi tersebut mencantumkan 'hak-hak yang tidak dapat dicabut' yang
dipegang oleh warga negara berdasarkan keberadaan mereka sebagai manusia,
termasuk kebebasan berkeyakinan yang dilindungi oleh pasal 10 yaitu, 'Tidak
seorang pun dapat diganggu berdasarkan pada keyakinannya, bahkan
kepercayaan agama, selama manifestasinya tidak mengganggu ketertiban umum
yang ditetapkan oleh hukum'. Meskipun hubungan antara Gereja Katolik dan
negara penuh dengan konflik selama abad ke19, Gereja melanjutkan untuk
memainkan peran kunci dalam menjaga stabilitas sosial dan kesetiaan nasional di
Prancis. Pendidikan agama masih memiliki tempat dalam kurikulum sekolah di
bawah Napoleon dan ulama adalah karyawan bergaji negara.17
17
Nicky Jones, Religious Freedom in a Secular Society: The Case of the Islamic Headscarf in
France, (University of Adelaide Press : 2012) , hal. 225
18
Warsilah, Heni. 2020. Meneropong Konflik Agama (Islam) di Prancis: Sebuah Eksklusi Sosial
terhadap Islam?. Vol. 11. Dalam
https://pmb.lipi.go.id/meneropong-konflik-agama-Islam-di-Prancis-sebuah-eksklusi-sosial-terhad
ap-Islam/
14
ekspresi identitas keagamaan pada kehidupan pribadi sambil mempertahankan
ruang publik yang sekuler.19
19
Religious Literacy Project Harvard Divinity School, Country Profile: France, Religious Literacy
Project Harvard Divinity School February 27-2016, “Voilées,” Gustave Deghilage (2015), Flickrs
Creative Common . diakses dalam: https://rlp.hds.harvard.edu/faq-country/france
20
Dwi Wulandari, 2020, Politik Islamophobia di Prancis : Konsep dan Realitas
https://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/30047
15
berubah menjadi daerah konflik berkepanjangan. Hal ini membuat banyak orang
Indonesia hidup mengungsi di negerinya sendiri. Saat itu pengungsi tersebar di
20 provinsi. Sungguh ironisnya kondisi penduduk Indonesia kala itu harus
'mengungsi' di negerinya sendiri.
Salah satu contohnya, konflik yang terjadi antara Kalimantan Barat dan
Kalimentan Tengah. Dua provinsi ini memang rentan dengan konflik. Penyebab
langsungnya bahkan karena persoalan sepele. Konflik yang terjadi di Sambas
tahun 1999 misalnya, dimulai dengan terbunuhnya seorang pencuri dari salah
satu etnik yang bertikai. Permasalahan ini kemudian berkembang dalam waktu
relatif singkat menjadi perseteruan antaretnik. Tidak kurang dari 3.000 orang
warga Desa Paritsetia yang tidak tahu-menahu dengan persoalan itu terpaksa
mengungsi.21
21
Triardianto,Tweki. dan Suwardiman (2002) “Potret Konflik di Indonesia” dalam Indonesia dalam
Krisis 1997-2002, Jakarta: Penerbit Buku Kompas
22
Alfian, Teuku. I. (1996) “Nasionalisme dalam Perspektif Sejarah” dalam Jurnal Filsafat Pancasila
No.2, Th. II Desmber 1998, Yogyakarta: Gajah Mada Press
16
terutama dalam nation building, perlu ada revitalisasi dan redifinisi nasionalisme
yang makin kompleks tantangannya. Terdapat kesan bahwa dalam perkembangan
baru di berbagai bidang semakin gencar mendera nasionalisme. Perlu diingat
bahwa perjalanan nasionalisme di Indonesia belum berakhir. Dia masih terus
berkembang mencari bentuknya dalam aliran sejarah yang terus mengalir secara
dinamis. Tjokrowinoto berpendapat bahwa nasionalisme dapat memainkan dua
peran pokok, yaitu; (1) sebagai ideologi yang mengatasi loyalitas dan solidaritas
parochial, (2) sebagai mekanisme pertahanan terhadap ancaman kekuatan
eksternal baik kekuasaan kolonial, penetrasi transnational corporation,
multinational corporation, maupun lembaga-lembaga internasional sebagai
pengaruh pengaruh globalisasi.23 Semuanya itu memerlukan elaborasi
nasionalisme yang tidak hanya menekankan pada aspek idelogi-politik. Namun,
juga pada bentuk nasionalisme kewarganegaraan, kebudayaan, perekonomian,
dan etnik.
23
Tjokrowinito, Moeljarto, (1998) “Nasionalisme dalam Perspektif Politik” dalam Jurnal Filsafat
Pancasila, Yogyakarta: Gajah Mada Press.
24
Harjanto, Nico,T.,(2001) “Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan” dalam Indra J. Piliang, Edy
Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Centre for
Strategic and International Studies.
17
dan berkembang. Sebab, kewargenegaraan selama ini lebih dipandang sebagai
konsep hukum, padahal sebenarnya memiliki pengaruh besar dalam partisipasi
politik. Kemudian kebangsaan ideal yang bagaimana yang harus dituju, terutama
dalam masyarakat plural seperti Indonesia? Memang tidak ada jawaban yang
mutlak, tetapi dalam tatanan masyarakat majemuk dan konteks masyarakat
global setidaknya tersedia suatu visi alternatif yang layak dipertimbangkan yaitu
multicultural nationalism. Para penganjur model masyarakat seperti ini
berkeyakinan bahwa menciptakan masyarakat yang berkeadilan sosial yang
dipersatukan oleh nilai-nilai bersama, sehingga terwujud suatu “social and
political ideal of togetherness in difference”.25 Visi ini sebenarnya menggabungkan
antara tujuan civic nationalism dengan ethnocultural nationalism.
18
orang atau perusahaan asing. Namun, sebagai konsumen, sadarkah kita bahwa
kita lebih menyukai barang dengan merek asing daripada merek buatan dalam
negeri? Sekarang kita dihadapkan dengan pilihan mana yang lebih penting
mengutamakan penggunaan barang domestik (yang sering diikuti dengan
proteksi), atau berorientasi pada efisiensi yang berarti mengkonsumsi barang
yang lebih murah dan berkualitas tanpa peduli dari negara mana asalnya? Inilah
saatya mengkaji ulang nasionalisme di tengah gelombang globalisasi.
Hal ini dapat kita lihat dari konsep Pancasila yang dilontarkan oleh
Soekarno pertama kali dalam rapat BPUPKI tanggal 1 Juni 1945. Dalam pidatonya,
Soekarno mengklaim bahwa Pancasila bukan hasil kreasi dirinya, melainkan
sebuah konsep yang berakar pada budaya masyarakat Indonesia yang terkubur
selama 350 tahun masa penjajahan. Terlihat bahwa Pancasila merupakan hasil
kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme,
sosialisme, nasionalisme, dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari
gerakan Islam modern di Timur Tengah. Dalam konteks politik saat itu, Pancasila
ditawarkan sebagai upaya rekonsiliasi. Problematis karena ketika kita mencari
26
Dadang Supardan. (2011). Tantangan Nasionalisme Indonesia dalam Era Globalisasi. Lentera
Vol 2 (4), hal 54.
27
Ibid, hal 57.
19
akar spiritualitas Timur yang diklaim sebagai produk “alamiah”, yang kita
temukan-sekali lagi-adalah apropriasi konsep-konsep Barat yang secara retoris
direpresentasikan sesuatu yang berakar pada budaya lokal.28
28
Ibid, hal 59.
20
BAB V
PENUTUP
V.1 Kesimpulan
Prancis merupakan salah satu negara multikulturalisme, istilah ini
memiliki beragam makna tetapi dalam arti yang paling sederhana, ia dapat
dipahami sebagai sistem kepercayaan dan perilaku yang menghormati
keberadaan berbagai kelompok budaya dalam satu masyarakat.
Multikulturalisme telah diadopsi sebagai kebijakan resmi oleh beberapa negara
Barat pada 1970-an. Dari tahun 1970-an dan hingga pertengahan 1990-an, ada
kecenderungan perbedaan persepsi di negara-negara demokrasi Barat terhadap
peningkatan pengakuan dan akomodasi keanekaragaman melalui serangkaian
kebijakan multikulturalisme. Namun, setiap negara barat menanggapi pertanyaan
multikulturalisme dengan caranya sendiri yang berbeda. Salah satu topik utama
dalam pembahasan “Sekularisme” di Prancis adalah peran fundamental
sekularisme itu sendiri. Prinsip sekularisme merupakan prinsip sentral dari
kebijakan publik Prancis, khususnya yang menyangkut pendidikan publik.
21
bahkan kepercayaan agama, selama manifestasinya tidak mengganggu ketertiban
umum yang ditetapkan oleh hukum'.
V.2 Saran
Lantas bagaimana nasionalisme Indonesia di era global?
22
Dengan adanya teknologi komunikasi dan informasi yang berkembang
pesat membuat nasionalisme menjadi semakin intensif dalam berbagai interaksi
dan transaksi sosial, politik, dan ekonomi internasional, baik di kalangan negara
maju, maupun di kalangan negara Dunia Ketiga, seperti di Indonesia. Memang
dengan adanya globalisme, membuat nasionalisme tidak semerbak ketika
maraknya terbentuk negara bangsa pasca Perang Dunia II. Hal ini bisa dipahami
karena pola kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya teraduk seolah
menjadi satu, tanpa terikat oleh batas-batas negara bangsa, peran dan efektivitas
adanya negara bangsa mulai dipertanyakan. Sebab, beberapa negara-bangsa
yang dicirikan oleh adanya territorium, kontrol atas kekerasan, struktur
kekuasaan, dan legitimasi, perlahan-lahan mulai kehilangan fungsinya. Namun,
ini semua tidak berarti habisnya riwayat nasionalisme, karena justru
ditengah-tengah universal-global tersebut, banyak orang merindukannya.
23
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, E. (2013). Migrasi Internasional dan Politik Luar Negeri Indonesia. Jurnal
Ilmiah Hubungan Internasional UNPAR, 1-6.
24
Harjanto, Nico,T.,(2001) “Antara Kebangsaan dan Kewarganegaraan” dalam Indra
J. Piliang, Edy Prasetyono, Hadi Soesastro, Merumuskan Kembali Kebangsaan
Indonesia, Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.
Nicky Jones, Religious Freedom in a Secular Society: The Case of the Islamic
Headscarf in France, (University of Adelaide Press : 2012) , hal. 225
25
26