Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

KEMUNCULAN GERAKAN NASIONALISME DAN PERJUANGAN KEMERDEKAAN DI


KALANGAN MASYARAKAT MUSLIM DI KAWASAN AFRIKA UTARA

Diajukan Pada Diskusi Kelas Mata Kuliah : Sejarah dan Peradaban Islam (SPI) III
Dosen Pengampu : Dr. Widiati Isana, M.Ag.

Disusun oleh :
Kelompok 1 KELAS IV/D

Reva Dwi Fitri NIM : 1185010113


Siti Gina Novita NIM : 1185010131
Vitra Andi NIM : 1185010142

PRODI : SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM (SPI)


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020 M/1441 H
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur mari kita panjatkan kepada Allah SWT, yang telah telah memberikan
keridhoan-Nya kepada kita untuk menuntut ilmu dikampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah limpah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarganya, para sahabat, tabi’in, tabi’in-tabi’in, dan sampailah pada kita selaku umatnya.

Pemalakah akan membahas mengenai “ Kemunculan Gerakan Nasionalisme dan Perjuangan


Kemerdekaan di Kalangan Masyarakat Muslim di Kawasan Afrika Utara” ini merupakan tugas
terstruktur yang diberikan oleh dosen pengampu yaitu Dr. Widiati Isana, M.Ag. dalam mata
kuliah Sejarah Peradaban Islam Periode Modern semester IV. Semoga pembahasan ini
bermanfaat bagi pemakalah khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.

Pemakalah menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh sebab
itu perlu sekiranya ada kritik dan saran dari para pembaca.

Bandung, 23 Maret 2020

Penyusun
DAFTAR ISI

BAB I..........................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................................5
C. Tujuan............................................................................................................................................5
BAB II.........................................................................................................................................................6
PEMBAHASAN.........................................................................................................................................6
A. Kemunculan Gerakan Nasionalisme di Afrika Utara.................................................................6
B. Gerakan Nasionalisme di Maroko..............................................................................................11
C. Gerakan Nasionalisme di Mesir..............................................................................................23
D. Gerakan Nasionalisme di Aljazair..............................................................................................36
E. Gerakan Nasionalisme di Tunisia...............................................................................................40
BAB III......................................................................................................................................................43
PENUTUP.................................................................................................................................................43
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................44
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti yang sudah kita saksikan, krisis terbesar dalam sejarah Islam dan dalam identitas
islam dipercepat oleh kedatangan kolonialisme Eropa. Dipenghujing abad ke-19 sebagian besar
wilayah Islam sudah dibawah kekuasaan Barat Kristen, baikpun pada bidang ekonomi maupun
militer, dan terakhir, juga politik.

Keruntuhan susunan islam yang tradisional dan perjuangan Islam abad ke-20. Landasan
sudah dipersiapkan oleh tokoh-tokoh revormasi islam dengan ruamnya menantang Imperialisme,
mengusahakan kebebasan politik, meningkatkan kesadaran intelektual yang berakar pada sikap
kembali pada Islam.

Dua arah politik utama, sering kali saling berhubungan, demikian dominan: gerakan
kemerdekaan anti colonial dan kemunculan Nasionalisme Modern dalam hal itu Islam
memainkan hal yang penting. Pertama dalam gerakan kemerdekaan di Afrika Utara dan Anak
Benua India. Islam bertindak sebagai pemersatu dan perpaduan, memberikan identitas dan
kesetiaan, ideology dan lambang, pimpinan dan pusat komunikasi melalui masjid.

Kedua perkembangan nasionalisme modern dalam kalangan muslim itu berhutang budi
kepada kaum modernist muslim maupun pemimpin –pemimpin nasionalis sekuler. Islam itu
menyatu pada perkembangan ideology nasionalis yakni nasionalisme Mesir, Maroko, Tunisia,
Aljazair dan lain sebagainya.

Dalam makalah kami akan membahasa lebih mengerucut terhadap pembahasan


Nasionalisme kaum Muslim di Afrika Utara yang meliputi; Mesir, Maroko, Tunisia, Aljazair.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kemunculan Gerakan Nasionalisme di Afrika Utara ?
2. Bagaimana Gerakan Nasionalisme di Maroko ?
3. Bagaimana Gerakan Nasionalisme di Mesir ?
4. Bagaimana Gerakan Nasionalisme di Aljazair ?
5. Bagaimana Gerakan Nasionalisme di Tunisia ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kemunculan gerakan nasionalisme di Afrika Utara
2. Untuk mengetahui gerakan nasionalisme di Maroko
3. Untuk mengetahui gerakan nasionalisem di Mesir
4. Untuk mengetahui gerakan nasionalisme di Aljazair
5. Untuk mengetahui gerakan nasionalisme di Tunisia
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kemunculan Gerakan Nasionalisme di Afrika Utara

Kolonialisme, seperti halnya juga dengan kemerdekaan nasional, datang ke Afrika Utara
(Aljazair, Marokko, dan Tunisia) jauh memperbanyak bagian-bagian selain dunia Islam. Kontrol
Perancis atas Afrika Utara dan Barat berlangsung pada pengujung abad ke-19 dan awal abad ke-
20 yaitu Tunisia (1881) dan Aljazair (1847) dan Marokko (1912). Imperialisme Eropa
merupakan perlindungan terhadap identitas Islam. Kebijaksanaan Bahasa Perancis di Afrika
Utara sering mempertanyakan kan bentuk yang sangat ekstrim. Melalui program yang telah
disusun dan ditetapkan, assimilasi politik dan politik total diikhtiarkan dan diorganisasikan di
bawahnya. sekolah-sekolah umum.

Bahasa Arab beroleh kedudukan sebagai bahasa asing. Dan pena jelmaan yang keliwat
ekstrim sekali dari perdebatan Perancis itu dengan bertamengkan "missi budaya" terjadi di
Aljazair yang terlibat "membasmi pengaruh Islam dan menggantinya dengan bahasa Prancis".
Masjid-masjid dirobah menja gereja. Perguruan-perguruan agama ditutup dengan membunuh.
Siapa yang mau pendidikan mestilah menerima pendidikan Perancis, dan Perancis cuma
membuka sekolah-sekolah itu untuk anak kecil Aljazair, yang ikut mempelajar warisan "nenek-
moyang mereka", yaitu suku bangsa seumpama Gaul, Racine, Corneille, dan bahkan Revolusi
Perancis. sebenarnya adalah "nenek moyang bangsa Perancis."
Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Penaklukan_Aljazair_oleh_Prancis

Kunci perdebatan dalam kebebasan di Afrika Utara, yang mengatasi persaingan


tradisional antara Berber dan Arab, adalah identitas dan otentias. Warisan Islam dan masa
lampau di Afrika Utara memberikan titik-tolak yang masuk akal bagi penduduk di situ. Islam
memberikan sejarah bersama, kelompok kepercayaan, bahasa, dan bahasa, yang oleh para
pembaharu Islam dan kaum nasionalis yang mula-mula digunakan untuk memahami identitas
dan kebanggaan. Islam juga merupakan jalur-jalur yang efektif untuk mobilisasi massa untuk
menantang kekuatan kolonial. Para pemuka gerakan pembaharuan Islam menjadi organisasi-
organisasinya memainkan peran yang penting dalam kemerdekaan Afrika Utara.

Reaksi yang mula-mula dari masyarakat Islam terhadap protektorat Perancis menentang
ragam. Kelompok ulama dan kelompok Sufi, meskipun menentang agama dan ideologi dari
pihak Barat, tetapi membikin kebijakan politik dengan kekuasaaan seorang Prancis. Selagi
lapisan elit agama yang tradisional memperpegangi pandangan duniawi Zaman Tengah dan
menolak pembaharuan, maka hanya ka menerima kekuasaan Perancis dan bahkan sesewaktu
kerja sama dengan pemerintah. Di Aljazair umpamanya, pemuka thariqat Tijaniah membantu
Pegawai Prancis dalam ikhtiar mengesahkan kekuasaan kolonial yang dengan mengusahakan dan
memperoleh fatwa dari Universitas Al-Azhar untuk kebahagiaan bagi umat Islam untuk hidup
dalam negeri yang dikuasai pihak Kristen.

Sikap kerjasama pihak elit tradisional dan keagama yang menentang perjuangan terhadap
imperialisme Barat di Afrika Utara yang datang dari tentara muda, demikian juga dengan pem-
bebaru Islam yang beroleh pendidikan modern. Pada saat peremanan lebih mengu tamakan
pembaharuan Islam untuk ge- rakan nasionalis.

Dihadapkan pada pembahasan Perancis melakukan assi-milasi total dalam setiap


perbincangan, baikpun kebijakan keamanan, perlindungan militer Muslim terpelajar untuk
menampakkan kebutuhan untuk mempertegas identitas diri. Warisan Islam-Arab meru pakan
titik-tolak yang masuk akal. Program perjoangan mendukung Islam, identitas Muslim terikat
nilai-nilainya dalam bantuan asimilasi Pihak Muslim mestilah menyatakan berpen- dirian bahwa
Islam dan dunia.

Modern sungguh dapat di pertemukan. Metode paling utama adalah pembaharuan


pendidikan. Sumber inspirasi untuk pembaharu Muslim di dunia Arab belahan barat gerakan
Salafiyah di dunia Arab menjadi bagian dari Timur. Pengaruh Afghani dan Abduh terhadap
putaran dan pertentangan tokoh-tokoh pembaharu seumpama Bonchaib Al Doukkali dan Allal Al
Fasi di Marokko, Abdul-Aziz Al Tsa'alabi di Tunisia, Abdul-Hamid bin Badin (Ben Badis) di
Aljazair, demikian sampai gerakan pembaharuan Islam di Afrika Utara sering mengundang
gerakan Salafiyah atau Neo-Salafiyah. Panggilan tersebut dapat menimbulkan salah paham
jikalau gerakan pembaharuan di Afrika Utara sepanjang organik dan organisasi memiliki
hubungan dan merupakan asosiasi dengan gerakan Sa-lafiyah di Mesir.

Meskipun demikian, pengaruh ideologi Afghan dan Abduh merupakan rangsang tertentu
dan mendukung untuk pembaharuan Islam di Afrika Utara. Selagi ada kontak langsung di antara
tokoh-tokoh yang sedang dalam pembahasan di dunia Arab, perbaiki dengan tokoh-tokoh di
Mesir, maka pengaruh yang lebih luas berasal dari taklangsung melalui tulisan-tulisen Seorang
Afghani dan Abduh, terlebih-lebih dari partisipasi pergerakan Salafiyah dari Al Manar yang
lebih disukai di bawah pimpinan Rashid Ridha, sebagai tambahan, tokoh-tokoh yang berbicara di
Afrika Utara yang beroleh inspirasi untuk diterbitkan secara berkala-secara berkala itu
seumpama Al Islah (Permbaharuan) Al Shihab (Pancaran), dan Al Muntaqid (Pengecam).

Pertama, tantangan terhadap assimilasi budaya Perancis, penegasan identitas nasional, yang
berakarkan warisan Islam untuk penduduk di situ.

Kedua, sebagai tambahan dari tantangan luaran dari pihak imperialisme Perancis itu, maka pula
terancam oleh kemerosotan masyarakat Islam di sebelah yang terkait dengan gerakan Thariqat
(Maraboutism) yang terkait dengan tema-kepentingan tersebut membelanjakani kepentingan-
kepentingan duniawi, juga juga sekian banyak bagian dalam dunia Islam sebagai gerakan
gerakan-mistik (tasawuf) yang berjasa dalam penyebaran Islam akan tetapi keluwesan gerakan
sufi yang menyebabkan timbulnya "vulgarisasi" dalam praktik Islam: perkembangan tahyul-
tahyul, kepercayaan, dan khurafat, seumpama pemujaan terhadap tokoh-tokoh legendaris yang
disebut Wali-Allah, bersinggungan membelakangi dunia, membelanjakan pasrah melawan nasib,
semua yang ada bersatu melumpuhkan kemunian dan vitalitas Islam. Terlebih-lebih lagi, gerakan
Thariqat-thariqat itu dikecam karena sikapnya yang menerima dan kolaborasi dengan kelola
kolonial pihak Perancis.

Ketiga, membangun kembali ikatan dan agama Islam, bukan menuntut memurnikan kembali
agama Islam, tetapi juga menyelaraskannya dengan ilmu pengetahuan modern. Ummat Islam
mendorong untuk menyaksikan dan menerima dunia modern, belajar dan Barat dan dengan
begitu mempersiapkan senja untuk menjawab tantangan ideologi pihak Barat.

Memperbarui pendidikan harus merupakan tatacara yang umum untuk gerakan reformasi.
Dalam ikhtiar menan tang sistem pendidikan Perancis yang modern dan sekuler itu, dan begitu
pun menentang sistem pendidikan Islam yang tradisional, maka perguruan-Al Quran yang lebih
besar dibangun, yang mengembangkan studi Islam dengan berbagai disiplin ilmu modern.
Jaringan sekolah-sekolah yang memberikan pendidikan Islam yang modern di berbagai kota di
dunia Arab belahan barat itu.

Dalam masa enambelas tahun saja setelah pembangunan Perguruan Al Quran modern di
kota Fez pada tahun 1927 maka jaringan sekolah-sekolah meluas ke seluruh kota-kota besar di
wilayah Maroko. Universitas Qarawiyin di kota Fez (Maroko) dan Universitas Zaytunna di
Tunisia. Seorang tokoh Muslim yang berpendidikan modern, bukan tokoh-tokoh agama yang
berpendidikan tradisional. Aspek yang berasal dari pembaharuan Islam itu adalah seruannya
yang perlu diperbarui pada kehidupan pribadi-pribadi. Mengi kuti menemukan Afghani dan
Abduh, penegasan ditempatkan pada watak Islam yang progresif dan dinamik; hadir 'Protestan
karya etnik "di dalam Islam muncul: kerja keras, pertanggungan jawab sosial, menjauhi alkohol,
taat puasa Ramadhan, semuanya sangat dipertegas.

Nilai-nilai dalam pembahasan Islam mencari moralitasnya yang merupakan bagian dari
pembahasan Islam. masa lalu Perang Dunia-I (1914-1918), pembaharuan Islam beralih ke
gerakan nasi onalis disebabķan agama dan nasionalisme mendukung. Pusat perhatian untuk
mempertanyakan kan identitas terhadap penerobosan kultural dan pembaharuan sistem pem-
baharu islam di bawah pimpinan lapisan elit berpendidikan umum kepala pertahanan di gerakan-
nasional yang bermunculan itu. sebagai tokoh-tokoh nasionalis dengan menggerakkan politik
yang berbeda berikhtiar gerakan politik yang mendukung massa yang berkemampuan mampu
effektif.

memobilisir dukungan umum, maka Islam memberikan denomi. nator umum yang
mengatasi seluruh perbedaan politik dan kesukuan, Warisan Islam-Arab menempatkan sumber
bagi identitas, solidaritas, kebanggaan, sejarah, dan nilai-nilai. Berbagai lambang Islam bersama
bahasa menyediakan pokok pilihan dan ideologi, yang mampu mengumpulkan massa Muslim
dan para pemimpin Aga-ma untuk menyatukan sekadar ka dengan lapisan elit yang terpelajar
dalam gerakan yang berlawanan dengan kolonialisme Prancis. Maroko menempati contoh yang
nyata dalam proses ini.1

1
Jhon L Esposito (1990). Islam dan Politik. Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI); Jakarta. Halaman103-108
B. Gerakan Nasionalisme di Maroko
Maroko: Kawasan penting bagi Afrika Utara

Sumber: http://smafajarhidayahkw.blogspot.com/2014/05/peta-maroko.html?m=1

Afrika Utara sebagai rumah 190 juta muslim terbesar salah satu wilayah tersebut adalah
Maroko. Selain keterikatan sejarah religius Maroko dengan negara-negara di kawasan Afrika
Utara, terdapat beberapa faktor lainnya yang membuat Maroko, menjadi kawasan penting bagi
Afrika Utara. Pertama, dari segi kekayaan alam, Maroko bukan termasuk salah satu negara
penghasil minyak bumi dan gas alam terbesar di wilayah Afrika seperti Mesir, Libya, Aljazair
dan beberapa negara Afrika lainnya. Oleh sebab itu Maroko harus mencari jalan lain untuk
menunjukkan eksistensinya terutama di kawasan Afrika. Kedua, Maroko secara geografis berada
di posisi strategis berbatasan dengan Spanyol di sebelah utara terpisah oleh selat Gibraltar yang
menjadi tempat pertemuan dua samudera yaitu Atlantik dan Mediterania. Posisi strategis sebagai
pintu masuk serta jembatan penghubung antara benua Eropa dan Afrika ini menjadi salah satu
keuntungan yang dimiliki negara Maroko yang sangat berguna bagi aktivitas ekonomi dan
diplomatik negaranya.
Keterikatan hubungan baik dari segi sejarah religius maupun geopolitik antara Maroko
dan negara-negara Afrika Utara menjadikannya sebagai target Maroko uuntuk menjalankan
kebijakan luar negerinya melalui diplomasi religiusnya. Dalam dinamika regional, Maroko
beberapa tahun terakhir mulai memberikan perhatian lebih terhadap Afrika dengan memperkuat
kembali hubungannya dengan Uni Afrika. Maroko merupakan satu-satunya negara di Afrika
yang tidak tergabung ke dalam Uni Afrika namun pada Januari 2017 Maroko kembali bergabung
ke Uni Afrika setelah meninggalkan organisasi pada 1984 terkait permasalahan pengakuan
kemerdekaan wilayah Sahara Barat oleh Uni Afrika yang 2/3 wilayahnya dibawah kendali
Maroko dan wilayah tersebut dianggap sebagai bagian dari teritorial negaranya.

Sebagaimana masyarakat Arab atau Afrika, maroko juga terdiri dari ratusan komunitas
bahasa. Penduduk asli Maroko adalah suku Berber. Ia telah mendiami wilayah maroko dan
sekitarnya ratusan tahun sebelum bangsa lain menjajahnya.2

Awal Mula Gerakan dan Kebangkitan Nasionalis Maroko

Pada awal abad ke-20 kebanyakan pengamat politik memandang Maroko itu dibawah
kekuasaan asing adalah sebuah kerajaan yang lemah, lapisan elite keagamaan yang suka damai,
dan pula keterbagian yang sudah berusia berabad-abad anatra suku Arab dan suku Berber. 3 Suku
Berber adalah etnis asli dari daerah Afrika Utara mereka banyak tersebar dari Samudera Atlantik
hingga Oasis Siwa dan di Mesir dari laut Mediterania hingga Sungai Nigeria. Maroko dikenal
sangat kental dengan kesukuan elitnya, maka dari itu otoritas Sultan di Maroko tidak dapat
diganggu meskipun kekuasannya selalu tersaingin oleh pimpinan suku dan sufi4.

2
Muhammad Arief Rahman (2015). Pergerakan Nasionalis Maroko Vis A Vis Kolonial Prancis. (Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta) halaman 17
3
Jhon L Esposito (1990). Islam dan Politik. Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI); Jakarta. Halaman 108
4
Prof. Dr. Musa Asy’arie (2018). Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern. Lesfi: Yogyakarta.
hal.246
Sumber: https://m.bukalapak.com/p/industrial/industrial-lainnya/igvyox-jual-bendera-maroko-
morocco-flag-bendera-kapal-impor-polyester?

Perancis berikhtiar untuk mengeksploitir hubungan permusushan anatara Muslim Berber


dan Muslim Arab. Sekalipun lapisan Elite keagamaan itu terbuka untuk kerjasama sewaktu
dengan para penguasa colonial tapi mereka tetap hati-hati dalam penyerapan kurtural, terus
mempertahankan perguruan-perguruannya, pusat Tarekat nya, dan sikap hidup. Suku Berber
yang sangat kuat mempertahankan kebebasannya itu senantiasa menolak arabisasi dan tatahidup
Islam dalam lingkungan Mereka itu amat samar. Para penguasa Perancis memandang mereka itu
calon yang layak bagi penguasaan politiknya mengenai assimilasi kebudayaan dengan tujuan
memecah belah antara Muslim Berber dengan Muslim Arab.

Pada tahun 1930, Dekrit Berber yang diumumkan oleh Perancis menyatakan wilayah
kesukuan Berber langsung berda di bawah kekuasaan Perancis dan di situ berlaku hingga adat,
bukan hukum Islam. Menurut Annalie Universitas Ca’ Foscari Venezia Italia,Dekrit yang
terkenal itu dimaksud untuk mendeislamisasi dan secara langsung memperanakan wilayah
Berber, melalui administrasi yang secara yuridis independen dari pengadilan Islam5

Dekrit itu ternyata membuat peristiwa diluar dugaan dan tujuanPerancis. Timbulah
kesatuan dari pihak Berber dan pihak Arab untuk menentang Dekrit tersebut. Setiap Masjid dan
para Khatib di dalam Khutbahnya senantiasa menuduh dekrit itu suatu ancama terhadap Islam
dan untuk memecah kesatuan Masyarakat Islam.6 Maka dari sanalah awal mula muncul
pergerakan nasionalis para Muslimin di Maroko, yang menyatukan sBerber dengan Arab dalam
gerakan nasionalis yang mana programnya dan bahasa yang digunakan tetap dalam rangka
keamanan.

Persoalan itu memoeroleh corak Internasional dalam dunia Islam sewaktu Shakib
Arsalan, sahabat Rashid Ridha, pendukung Pembaharuan Islam, dan nasionalisme di Afrika
Utara mempergunakan berkala Le Nation Arabe yang dipimpinnya untuk membangkikan
kesadaran dan perhatian terhadap problem tersebut.7 Pengaruh luar dari Timur Tengah pun
mempengaruhi kebangkitan nasionalis di Maroko . Misalnya seperti Kemalist Turki yang
pengaruhnya dan pergerakan Salafi yang di suarakan oleh tiga serangkai pembaharu “ Jamaluddi
al-Afgani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasid Ridha.8

Islam memainkan peranan penting dalam perkembangan partai politik tersebar di


Maroko, yakni Istiqlal (merdeka), yang diorganisir tahun 1931 oleh pemuka Salafiyyah, Allal al
Fasi. Pada mulanya Cuma merupakan kelompok angkatan muda terpelajar penduduk kota-kota
yang bersemangat dan berjiwa Islam, sejak Fez datang ke Rabbat; tapi belakanga partai Istiqlal
itu menerima dan menampung organisasi-organisasi Thariqat.9

5
Annalie (2016). The Nationalist Movement in Morocco and The Sruggle for independence between Civil Protest
and Religious Propaganda, 1930-1965. Halaman 32
6
Jhon L Esposito (1990). Islam dan Politik. Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI); Jakarta. Halaman 108
7
Jamil Abun Naser (1963). The Salafiyya Mofement in the Religious Bases of the Moroccan Nationalist Movement.
Chatto and Windus; London. Halaman 90-105
8
Muhammad Arief Rahman (2015). Pergerakan Nasionalis Maroko Vis A Vis Kolonial Prancis. (Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta) halaman 34
9
Jhon L Esposito (1990). Islam dan Politik. Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI); Jakarta. Halaman 109
Gerakan Salafiyyah

Gerakan ini dimulai dengan inspirasi dari Jamal ad-Dien al-Afghani (1839-1897) sang
Revolusioner pelopor dan sumber-sumber ide revolutionary . gerakan Salafiyyah ini menjadi
factor penting kedua yang memengaruhi modernisasi masyarakat Maroko yang berakar di Timur
itu. Gerakan revivalis Islam atau Salafiyya memiliki dampak besar pada gerakan nasionalis
Maroko . islam pula menjadi kekuatan besar pada gerakan nasionalis dan anti imperialis Afrika
Utara.

Gerakan Salafiyyah ini juga berusaha untuk mengembalikan Islam ke ortodoksi atau
mengembalikan Islam dalam bentuk yang paling sederhana dan paling murni. Selain terinspirasi
oleh Jamaluddi al-Afgani gerakan reformis Islam di Maroko ini terinspirasi oleh gerakan
reformis wahabi di Saudi. Dan perlu diingat bahwa gerakan Salafiyyah ini dikemukakan oleh
Allal-al Fasi, para nasionalis terkemuka atau periode sebelumnya menganggap Allal al Fasi ini
sebagai sumber spiritual gerakan tersebut dan gerakan itu dibuattnya ketika ia masih menjadi
mahasiswa di Fez.10 Awalnya gerakan ini murni hanya menjadi sebuah organisasi namun lambat
laun organisasi ini bergerak ke bidang pendidikan dan kemudian mau tidak mau politik. Karena
terkejut, otoritas Prektorat berusaha membatasi jumlah orang yang belajar bahasa dan hukum.11

Istiqlal (Hizb al-Istiqlal)

Pada akhir tahun 1937 pergerakan nasionalis ditindas dan pemimpin-pemimpinnya


ditangkap, dipenjarakan atau bahkan dibuang dan diasingkan. Prancis mengira dengan
menangkap para pembesar golongan nasionalis maka ancaman terhadap protektorat telah
selesai. Padahal, secara diam-diam kalangan nasionalis membentuk kelompok studi yang selalu
berubah-ubah namanya sehingga keberadaan mereka sulit dilacak. Upaya ini terus dilakukan
hingga para pembesar kalangan nasionalis dibebaskan oleh Prancis dari masa pembuangan
mereka.

Antara tahun 1938 sampai tahun 1943, merupakan masa konsolidasi kekuatan kalangan
nasionalis sambil menunggu para pemimpin kalangan nasionalis terbebas dari masa
pengasingannya. Setela berkumpul kembali, di tahun 1944, dibentuklah Partai Istiqlal (Hizb al-
10
Jhon P. Halstead (1967). Rebirth of Nation the Origine and Rise of Morrocan Nasionalism, 1912-1934. Harvard
Middle Eastren Monoghrap Series; Amerika Serikat. Halaman 104-105
11
C. R. Pennell (2000). Morocco Since 1830 A History. United Kingdom: London halaman 205
Istiqlal) dan penerbitan pernyataan Kemerdekaan. Tujuannya untuk menguatkan posisi Maroko
di dunia internasional agar Prancis segera hengkang dari Maroko. Selain itu, hal tersebut juga
bertujuan agar masyarakat internasional prihatin dengan perjuangan orang-orang Maroko.

Istiqlal, sebagai wadah perjuangan masyarakat Maroko yang pro kemerdekaan, terus
memperjuangkan nilai-nilai kebebasan bagi Maroko. Misalnya, mereka ingin kebebasan
berekspresi dalam hal politik, tidak ada lagi pembatasan pers (termasuk mengizinkan untuk
publikasi media cetak dalam bahasa Arab), dan juga kebebasan untuk berserikat apapun
tujuannya.12

Islam memerankan peranan penting dalam perkembangan politik terbesar di Maroko,


yakni partai Istiqlal, yang diorganisir pada tahun 1931 oleh pemuka Salafiyyah. Partai Istiqlala
beralih menjadi partai politik yang didukung oleh massa lua, yang anggotanya kemudian menjadi
10.000 orang menjelang tahun 1951. Jhon weterbury mencatat pengaruh Islam dalam
Nasionalisme Maroko itu dengan kalimat: “ nasionalisme tidak membikin kemajuan yang nyata
dan penting sampai gerakan itu mengambil bentuk ukhuwah keagamaan, berbentuk nasionalis.”13

Tokoh Penggerak Nasionalis di Maroko

Munculnya gerakan Nasionalis di setiap wilayah tidak lepas dari adanya suatu tokoh dari
daerah tersebut atau adanya inspirator yang menjadi pemicu adanya gerakan Nasionalis tersebut.
Berikut tokoh-tokoh yang menjadi pelopor maupun inspirator gerakan nasionalis Maroko:

1. Allal al-Fasi
12
Muhammad Arief Rahman (2015). Pergerakan Nasionalis Maroko Vis A Vis Kolonial Prancis. (Skripsi UIN
Syarif Hidayatullah, Jakarta) halaman 37-47
13
Jhon L Esposito (1990). Islam dan Politik. Anggota Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI); Jakarta. Halaman 109
Sumber: https://www.amazon.com/Vintage-photo-Portrait-Muhammad-al-Fassi/dp/
B01B5EOQWW.

Nama lengkap beliau Muhammad Allal bin Abdul Wahid bin Abdus Salam bin Majdzub
Al-Fasi Al-Fahri. Ia lahir di kota Fes Maroko pada tahun 1908 dan dibesarkan ditengah keluarga
yang kental dengan pengajaran Islam. Sejak kecil, ia telah dididik menjadi muslim yang baik
kemudian melanjutkan studi di Univeritas Al-Qurawiyin. Di kampus, telah nampak jiwa
kepemimpinan dan kesalihan dari diri Al-Fasi. Ia mahir dalam berpidato, penyair ulung, dan
bersemangat mendakwahkan Islam. Cukup lama beliau menuntut ilmu di kampus hingga lulus
pada tahun 1932.

Tak hanya faqih dalam beragama, Al-Fasi pun memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi.
Ditengah kolonialisme Perancis, ia tampil sebagai pejuang rakyat Maroko. Ia melakukan
perlawanan melalui pemikirannya di media. Ia menyerukan masyarakat Maroko untuk bersatu,
melarang muslimin Maroko berpecah belah. Ia pun kemudian terjun ke politik untuk dapat lebih
memerangi penjajah dan memberikan kemerdekaan bagi rakyat Maroko oada umumnya dan
muslimin pada khususnya.14

Pembaharuan dari Allal al-Fasi kurang lebih tidak jauh dari para pelopornya yaitu
jamaluddin al Afgani. Tujuan utamanya membersihkan Islam dan membawa Islam menjadi
Agama yang murni kembali.

2. Muhammad Abduh

Sumber: https://geotimes.co.id/opini/pengaruh-muhammad-abduh/

Muhammad Abduh adalah salah satu tokoh yang mempengaruhi gerakan Salafiyyah
Muhammad. Abduh atau 'Abduh (1849 - 11 Juli 1905) adalah seorang teolog Muslim, Mufti
Mesir, pembaharu liberal, pendiri Modernisme Islam dan seorang tokoh penting dalam teologi
dan filsafat yang menghasilkan Islamisme modern.Nama lengkap beliau adalah Muhammad
Abduh Ibn Hasan Khair Allah, dilahirkan pada tahun 1849 M di Mahallat al-Nasr daerah
kawasan Sibrakhait Provinsi al-Bukhairoh Mesir115. Ayahnya Hasan Khairullah berasal dari
Turki.

14
https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/mk5to9 pukul 20:31

15
Abdullah Mahmud Syatahat, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi al-Tafsir alQur’an, Nasyr al-Rasail, kairo,
t.th, hal.3
Muhammad Abduh selain teolog juga seorang pembaharu Islam, yang mana ia
mengapreasikan ide pemikirannya di dalam membangun dunia Islam. Yang maksud dan
tujuannya agar berkembang dari sikap paham Jumud. Maksud arti kata Jumud mengandung
makna keadaan membeku, keadaan statis, dan tak ada perobahan. Inilah yang membuat ummat
Islam masa itu mengalami keterpurukan akan ilmu pengetahuan. Abduh menjadi salah satu
pelopor perubahan yang menjadi penggerak ummat menuju kehidupan yang lebih baik.

Sebagaimana yang diterangkan Muhammad Abduh dalam Al-Islam Din al-Ilm wa al-
Madaniah, yang mana ummat Islam dipengaruhi oleh pahamdinamisme dan adat-istiadat dari
bangsa yang jahil dan tidak kenal pada ilmu pengetahuan18. Inilah alasannya mengapa ia
mengadakan pengkajian ulang akan ilmu baru yang berujung pada landasan al-Qur’an dan
sunnah. Demi untuk menolong ummat Islam pada masa itu, perlu kiranya dikembalikan kepada
ajaran aslinya.

Abduh ingin agar setiap orang mampu melepaskan diri dari paham kejumudan yang
selama ini mempengaruhi dan menyesatkan ummat Islam. Perlu ditegaskan bahwa menurut
Muhammad Abduh tidak cukup hanyadengan mengembalikannya kepada ajaran aslinya, tetapi
perlu disesuaikan dengan keadaan modern sekarang. Penyesuaian itu menurut Muhammad
Abduh bahwa ajaran Islam dapat dibagi kepada dua kategori, ibadat dan mu’amalat(hidup
kemasyarakatan manusia) yang ia tonjolkan. Karena Abduh melihat bahwaajaran yang terdapat
didalam al-Qur’an dan Hadis bersifat tegas, jelas data terperinci.

Menurut Abduh, manusia hidup menurut akidahnya. Bila akidahnya benar, maka akan
benar pulalah perjalanan hidupnya. Dan akidah itu akan betul apabila orang mempelajarinya
dengan cara yang betul pula. Pendirian ini pulalah yang meneguhkan Abduh untuk menegakkan
“tauhid” dan berjuang untuk itu dalam hidupnya. Ia mengajar dan menulis tentang “tauhid”
untuk umum dan mahasiswa. Salah satu karangannya ialah Risalah Tauhid. Buku ini mempunyai
tingkat kesulitan yang sangat tinggi, dan buku ini juga disesuaikan dengan tingkatan orang-orang
yang akan menerimanya; akademis, filosofis, mendalam dan tidak dapat dipahami hanya sekilas
saja. Selain itu, Abduh juga memegang pengaruh penting di beberapa bagian seperti teolog,
syari’ah dan pendidikan. Menurut Abduh teolog mempunyai dua obyek kajian, yaitu tentang
Allah dan tentang Rasul. Kajiannya tidak hanya mengenai wujud Allah, tetapi juga manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah. Dari sinilah sistem teologinya ditemukan pengkajian tentang
perbuatan manusia (af’al al-‘badah) di samping masalah-masalah ketuhanan lainnya.16

3. Rasyid Ridha

Sumber: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha

Sayyid Muhammad Rasyid Ridha adalah salah satu seorang tokoh pembaharu di dunia
Islam pada masa modern. Nama lengkapnya adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin
Muhammad Syam Al-Din Al-Qalamuny. Ia lahir pada tanggal 27 Jumadzil ula tahun 1282 H
atau pada tahun 1865 M, disuatu desa bernama Qalamun di Libanon yang letaknya tidak jauh
sekitar 4km dari kota Tripoli (Suria).109 Ia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai
garis keturunan langsung dari sayyidina Husain, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah putri
Rasulullah saw, dan sekaligus cucu dari Rasulullah saw. Oleh karena itu, di depan namanya
memakai gelar “ Sayyid ”. Kadang-kadang ia juga sering dipanggil “ Syaikh “ walaupun gelar

16
Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh (suatu studi perbandingan), hal. 12
demikian sangat jarang dipakai. Hal ini dikarenakan keluarga Rasyid Ridha dikenal oleh
lingkungannya sebagai keluarga yang sangat taat beragama serta menguasai ilmu-ilmu agama. 17

Pemikiran pembaharuan Rasyid Ridha dalam bidang keagamaan bisa dikatakan sama
seperti pemikiran Muhammad Abduh. Umat Islam mengalami kemunduran karena tidak
menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan banyak faham-faham yang
tidak sesuai masuk ke dalam tubuh islam, seperti segala khurafat, takhayul, bidah, jumud dan
taklid. Oleh karena itu, menurut analisis Rasyid Ridha ajaran Islam yang murni akan membawa
kemajuan umat Islam, itulah sebabnya segala macam khurafat, takhayul, bidah, jumud, taklid,
ajaran-ajaran yang nyeleweng dari ajaran Islam harus dikikis dan disingkirkan18.

Peradaban Barat modern menurut Rasyid Ridha didasarkan atas kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam lapangan ini Rasyid Ridha sangat antusias mendukung
program Muhammad Abduh untuk melakukan pemasukan ilmu-ilmu umum ke dalam lembaga
pendidikan milik umat Islam (sekolah atau madrasah Islam tradisional). Hal itu karena ilmu
pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan, umat Islam harus
mau menerima peradaban Barat yang ada (ilmu pengetahuan dan teknologi). Bahkan Rasyid
Ridha melihat wajib bagi umat Islam mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
asalkan dimanfaatkan dalam hal kebaikan19.

4. Jamaluddin al-Afghan

Jamaluddin Al Afghani adalah seorang pemimpin pembaharu,beliau lahir di


As'adabad ,dekat kanar di Distrik kabul Afghanistan pada tahun 1839 M.Dan beliau meninggal
di Istanbul pada 1897 M,dan dalam silsilah keturunannya Al Afghani adalah keturunan dari Nabi
melalui Sayidina Ali ra.

17
Harun Nasution (1992). Pembaharuan Dalam Islam (Sejarah Pemikiran dan Gerakan). PT. Bulan Bintang:
Jakarta,. hal.90
18
Machfud Syaefudin dkk. Dinamika Peradaban Islam Prespektif Historis . (Yogyakarta: Pusat Ilmu Yogyakarta),
350.
19
Abd. Syukur Hasyim dkk, (1995). Teks Book Dirasat Islamiyyah. CV. Anika Bahagia Offset : Surabaya. Halaman
139
Sumber: http://pps.unida.gontor.ac.id/biografi-singkat-jamaluddin-al-afghani-bagian-satu/

Pengabdiannya yang pertama di Afghanistan ketiaka ia berusia 22 tahun ia telah menjadi


pembantu pangeran Dost Muhamad Khan di Afghanistan.dan pada 1864 M,ia menjadi penasihat
Sher Ali Khan,dan beberapa tahun kemudian ia menjadi perdana menteri oleh Muhammad
A'zam Khan di tahun 1870 ia pindah ke Turki dan diangkat oleh perdana menteri Ali Pasya
menjadi anggota Majelis Pendidikan turki, kemudian pindah lagi ke Iran dan disana diangkat
menjadi menteri penerangan,dan selanjutnya pindah lagi ke Mesir.Pendidikannya sejak kecil
sudah diajarkan mengkaji Al Qur'an dari ayahnya sendiri,besar sedikit lagi bahasa Arab dan
sejarah,Ayahnya mendatangkan seorang guru ilmu tafsir,ilmu Hadits dan ilmu Fiqh yang
dilengkapi pula dengan ilmu tasawuf dan ilmu ketuhanan,kemudian beliau dikirim ke India
untuk mempelajari ilmu pengetahuan modern (Eropa).20

20
Yusran Asmuni (1996). Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. PT.Raja
Grafindo Persada: Jakarta Halaman 76-77
Selama di Mesir Al-Afghani mengajukan konsep konsep pembaharuannya,antara lain yang
pokok :

1.Musuh utama adalah penjajahan (Barat),hal ini tidak lain dari lanjutan perang Salib.

2.Umat Islam harus menentang penjajahan dimana dan kapan saja.

3.Untuk mencapai tujuan itu ummat Islam harus bersatu (Pan Islamisme).

Dan untuk mencapai usaha usaha pembaharuan tersebut yaitu :

1.Rakyat harus dibersihkan dari kepercayaan ketakhayulan

2.Orang harus yakin bahwa ia dapat mencapai tingkat/derajat Budi luhur

3.Rukun Iman harus betul betul menjadi pandangan hidup,dan kehidupan manusia bukan
sekedar ikutan belaka

4.Setiap generasi ummat harus ada lapisan istimewa untuk memberikan pengajaran dan
pendidikan pada manusia manusia yang bodoh dan juga memerangi hawa nafsu jahat dan
juga menegakkan disiplin.21

Mereka adalah para tokoh penggerak maupun pelopor pembaharuan yang terjadi di Maroko. Para
pembaharu Islam ini mengemukakan pemikiran barunya untuk melawan para Imperialis dari
Barat itu. Demikian gerakan nasionalis yang dibuat oleh Negara Maroko untuk melawan pada
imperialis.

C. Gerakan Nasionalisme di Mesir

Dapat dikatakan, sejarah modern Mesir dimulai sejak Pemerintahan Muhammad Ali
Pasyayang dimulai sejak tahun 1805. Setelah Prancis keluar dari Mesir pada tahun 1801, terjadi
kekosongan politik di Mesir ketika itu. Akibat kekosongan kekuasaan tersebut muncul tiga
kekuatan yang ingin menguasaie Mesir, yaitu Khursyid Pasha dari Istanbul, Dinasti Mamalik
yang ingin merebut kembali kekuasaannya yang terlepas akibat kedatangan Napoleon, dan

21
Yusran Asmuni (1996). Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. PT.Raja
Grafindo Persada: Jakarta Halaman 77
terakhir adalah Muhammad Ali. Dari ketiga calon penguasa Mesir tersebut, Muhammad Ali
memiliki kesempatan yang lebih besar dari kedua calon penguasa lainnya.22

Oleh karena keberhasilannya mengusir Prancis dari Mesir, pada tahun 1805 Muhammad
Ali diakui Porte sebagai Gubernur Kesultanan Turki Usmani di Mesir dan diberi gelar pasya.
Muhammad Ali Pasya memulai pemerintahannya dengan menyingkirkan pihak yang
menentangnya, terutama, Dinasti Mamalik. Sekitar tahun 1811 Muhammad Ali Pasya berhasil
menyingkirkan Dinasti Mamalik hingga tidak bersisa. Ketika mengadakan resepsi di Benteng
Kairo untuk melepas keberangkatan pasukan militer yang akan menyerang Kelompok Wahabi di
Saudi Arabia, Thusun, putra Muhammad Ali Pasya mengundang Dinasti Mamalik sebagai tamu
kehormatan. Ketika acara minum kopi berakhir, para Mamluk itu keluar melalui jalan sempit
menuju gerbang utama dan di sana mereka dibantai.

Dari 470 orang Mamluk hanya beberapa orang yang berhasil kabur. Pembunuhan di atas
bukit itu merupakan peringatan terhadap sisa Mamluk lainnya di seluruh Mesir untuk tidak
berbuat macam-macam. Semua kekayaan para Mamluk disita dan kekuasaan Dinasti Mamalik
yang hampir 600 tahun di Mesir akhirnya selesai.23

Pada masa pemerintahannya, Muhammad Ali Pasya banyak melakukan modernisasi di


Mesir. Ia melanjutkan kemajuan serta pembaharuan yang dilakukan oleh Prancis sebelumnya.
Seperti halnya dengan Tanzimat yang berlaku di Kesultanan Turki Usmani, program modernisasi
yang dijalankan oleh Muhammad Ali Pasya mengutamakan reformasi di bidang militer dengan
tujuan untuk mengimbangi kekuatan Eropa dan menjadikan Mesir negara yang gagah dan
terkemuka di Asia Barat. Muhammad Ali Pasya membangun angkatan laut modern dengan
membeli kapal perang dari luar negeri dan memproduksi sebagiannya lagi di dalam negeri.24

Selain itu, Muhammad Ali Pasya membukabeberapa sekolah modern di Mesir untuk
melatih para tentaranya. Pada tahun 1815 Muhammad Ali Pasya mendirikan sekolah militer
modern, di antaranya adalah sekolah militer di Kairo, akademi industri bahari, dan sekolah
perwira angkatan laut di Iskandariah.Sejajar dengan ini, ia membawa masuk ahli-ahli teknik dari
Eropa, khususnya, Prancis setelah Italia gagal memberikan latihan yang memuaskan pada
tentaranya untuk mengajar di sekolahsekolah tersebut. Seorang Kolonel Prancis, Seve,
memodernisasikan angkatan bersenjata Mesir dan ikut serta pada penyerbuan Mesir ke Syiria
dan seorang ahli mesin Prancis mengembangkan angkatan laut Mesir Selanjutnya, Muhammad
Ali Pasya memberlakukan wajib militer dengan mengambil para petani Mesir (fellahin) sebagai
tentara. Pengambilan tentara secara paksa ini menyebabkan fellahin tidak suka terhadap rezim
Muhammad Ali Pasya. 25

Muhammad Ali Pasya sadar bahwa modernisasi dalam bidang militer saja tidak cukup.
Ketangguhan ekonomi, reformasi pendidikan, kemudahan kesehatan, dan perubahan lain
diperlukan juga untuk mendukung segala keperluan yang berhubungan dengan reformasi

22
Op.Cit.,Daly (ed)., hlm. 204
23
Ibid., 189-190
24
Ibid., hlm. 186-188
25
Op.Cit., Daly (ed), hlm. 184
militernya. Dalam bidang pendidikan, Muhammad Ali Pasya menjadikan departemen pendidikan
sebagai bagian dari departemen pertahanan.26

Pada saat yang sama, Mesir juga memerlukan doktor, insinyur, penerjemah, dan pegawai
administrator. Oleh karena itu, Muhammad Ali Pasya membangun sekolah dasar, sekolah
menengah, dan sekolah tinggi yang berorientasi Barat juga perpustakaan. Para lulusan dari
sekolah tersebut kemudian dipekerjakan dalam bidang militer dan administrasi. Di samping itu,
kerja-kerja penerjemahan dari bahasa Eropa ke bahasa Arab dan bahasa Turki juga diusahakan.
Bagian penerjemahan tersebut terdiri atas empat bidang ilmu, yaitu ilmu pasti, kedokteran, fisika,
dan sastra. Penerjemahan ini memberi pengaruh yang besar bagi penduduk Mesir. Dari empat
bidang penerjemahan, penerjemahan di bidang sastra menyebabkan masuknya ide-ide Barat ke
Mesir. Rakyat Mesir mulai mengenal Eropa dan semakin menyadari bahwa dunia yang
digambarkan buku terjemahan jauh berbeda dengan buku klasik yang mereka ketahui. Pendiri
Mesir modern ini tidak hanya membangun Mesir dengan mendirikan beberapa sekolah yang
terbatas untuk tujuan militer, tetapi juga mendirikan sekolah kedokteran, farmasi, teknik, dan
pertanian.

Secara berturut-turut ia membuka sekolah teknik pada tahun 1816, sekolah kedokteran
pada tahun 1827, sekolah farmasi pada tahun 1829, sekolah pertambangan pada tahun 1834,
sekolah pertanian pada tahun 1836, dan sekolah penerjemahan pada tahun 1836. Sekolah-sekolah
tersebut menggunakan metode modern dengan guruguru yang berasal dari Eropa. Muhammad
Ali Pasya pun melangkah lebih jauh dengan mengirimkan sejumlah pelajar dan mahasiswa Mesir
ke negara-negara Eropa.27

Semenjak masa pemerintahannya sampai dengan pemerintahan Said Pasya, terjadi


pengiriman pelajar dan mahasiswa Mesir ke Paris, Roma, Italia, Austria, dan Inggris.Dalam
bidang perekonomian, Muhammad Ali Pasya mendatangkan para ahli pertanian dari Eropa,
mengembangkan ilmu pertanian berbasis ilmiah memperbaiki sistem peraira , menggali terusan,
memperkenalkan jenis tanaman komoditi, yaitu kapas serta memperkenalkan cara pengolahan
kapas dari India.Untuk mendukung pembaharuan pertanian ini, Muhammad Ali juga melakukan
modernisasi dalam bidang pengangkutan dan industri. Untuk meningkatkan pendapatan negara,
Muhammad Ali Pasya memperkenalkan sistem monopoli dalam bidang pertanian dengan cara
membeli hasil pertanian dari para fellahin dengan harga yang murah dan menjualnya kembali
kepada penduduk Mesir atau kepada para pedagang asing dengan harga yang tinggi. 28

Melalui cara ini, pendapatan Mesir tinggi namun rakyat Mesir di perdesaan
menderita.168 Modernisasi di bidang militer yang dilakukan Muhammad Ali Pasya
membuahkan hasil, yaitu pada penyerangan kelompok Wahabi di Saudi Arabia pada tahun 1811
hingga tahun 1818. Rentetan serangan militer kedua pada tahun 1820 turut mengibarkan bendera
kemenangan Mesir di Sudan.

26
harles C. Adams. Islam dan Dunia Modern di Mesir, Jakarta : Pustaka Rakyat, 1951,
hlm. 37
27
harles C. Adams. Islam dan Dunia Modern di Mesir, Jakarta : Pustaka Rakyat, 1951,
hlm. 40
28
Op.Cit., Daly (ed)., hlm. 190
Pada tahun 1824 ekspedisi militer ketiga angkatan darat dan angkatan laut Mesir bekerja
sama dengan Porte berperang melawan Yunani yang memperjuangkan kemerdekaan. Bantuan
militer Muhammad Ali Pasya kepada Porte bukan disebabkan ketaatannya kepada sang sultan,
namun untuk menguasai Syiria yang saat itu masih berada di bawah kekuasaan Porte. Ketika
Porte tidak memenuhi janjinya untuk menyerahkan Syiria, pada tahun 1831 Muhammad Ali
Pasya menugaskan putranya, Ibrahim, untuk menyerbu Syiria. Muhammad Ali Pasya berhasil
menguasai Syiria selama 10 tahun sejak tahun 1831 hingga tahun 1840.29

Penyerangan ke Syiria tersebut merupakan usaha militer terbesar dan terakhir pada masa
kekuasaan Muhammad Ali Pasya. Perluasan kekuasaan yang dilakukan Muhammad Ali Pasya di
daerah Levan merupakan satu hal yang berbahaya bagi Inggris. Inggris berpikir lebih baik
membiarkan Kesultanan Turki Usmani yang lemah daripada Muhammad Ali Pasya memperluas
kekuasaannya. Oleh karena itu, melalui Perjanjian London pada tahun 1840—1841, Eropa
mendesak Muhammad Ali Pasya agar kembali ke Mesir.

Sultan Mahmud II pun tidak dapat berbuat apa-apa karena tentaranya masih lemah belum
modern, seperti tentara Muhammad Ali Pasya. Muhammad Ali Pasya pun kembali ke Mesir.
Sebagai gantinya, pada tanggal 13 Febuari 1841 Muhammad Ali Pasya dan keturunannya
ditetapkan sebagai penguasa Mesir dan ia mendapatkan kekuasaan atas Sudan.30

Setelah Perjanjian London tersebut, perekonomian Mesir mulai merosot. Perjanjian


perdagangan antara Inggris dengan Kesultanan Turki Usmani tahun 1838 (Anglo-Turkish
Commercial Convention of 1838) secara langsung memberikan kebebasan kepada pedagang
Inggris untuk berniaga dalam wilayah Kesultanan Turki Usmani turut memperlemah
perekonomian Mesir. Ditambah lagi dengan kegagalan program industri yang dibangun
Muhammad Ali Pasya maka tidak ada pilihan lain bagi Mesir untuk terus bergantung pada
ekspor dan ekonomi asing. Gagalnya industri pasca-Muhammad Ali disebabkan tidak mungkin
dalam waktu singkat memaksakan alat-alat perindustrian kepada satu sistem sosial yang
beroreintasi pertanian.Setelah Muhammad Ali Pasya wafat, Mesir berada di bawah kekuasaan
keturunan Muhamammad Ali sebagai sebuah dinasti. Muhammad Ali Pasya digantikan oleh
putranya, Abbas I, yang berkuasa sejak tahun 1848 hingga tahun 1854.

Abbas I mempertahankan wajib militer yang diberlakukan pada zaman Muhammad Ali
Pasya. Namun, para fellahin tidak tertarik untuk mengikuti wajib militer jika dibandingkan pada
masa Muhammad Ali Pasya. Di bidangpendidikan, Abbas I mempertahankan institusi
pendidikan yang telah dibangunMuhammad Ali Pasya, yaitu sekolah teknik dan sekolah
penerjemahan. Ia pun mengirimkan 41 pelajar Mesir ke Eropa untuk belajar teknik, farmasi, dan
ilmu pengetahuan ilmiah lainnya dan mendirikan sekolah militer baru dengan pendidikan teknik
di dalamnya. Pada masanya, birokrasi pemerintahan lebih banyak diisi oleh orang-orang Mesir
sendiri. Para ahli teknik Mesir mulai bekerja
dengan ilmu pengetahuan yang mereka dapatkan selama belajar di Eropa. 31

29
Apipudin. “Meredupnya Sinar Imperium Turki Usmani” dalam Jurnal Arabia Volume
30
Taufik pada tahun 1879, ia menjadi perwakilan Inggris dalam mengontrol Mesir. Pada tahun 1880
dia menjadi menteri keuangan di India dan kembali ke Mesir setelah pemberontakan nasionalis
31
C. P. F. Luhulima. Eropa sebagai Kekuatan Dunia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992, hlm. 29
Di bidang perekonomian, ia mengumpulkan bermacam-macam pajak, melarang
penjualan hasil pertanian secara langsung oleh para fellahin ketika panen, dan melarang ekspor.
Orang-orang Mesir merasa tertindas karena ia meningkatkan Abbas I juga melakukan perubahan
administrasi. Ia mendirikan pengadilan di berbagai distrik wilayah yang bertujuan untuk
mengatasi permasalahan kriminal yang sebelumnya berada di bawah otoritas pengadilan syariah,
pembentukan departemen eksekutif yang lebih responsif serta pembangunan jaringan kereta api
dibantu oleh Inggris. Pemerintah Inggris sangat tertarik untuk mengembangkan jalur kereta api
Mesir.

Pembangunan jaringan kereta api yang dibiayai oleh para pemodal Inggris ini merupakan
usaha Inggris sebagai sarana perdagangan ekspor dan pegembangan modalnya di India. Pada
awalnya, Abbas I menentang pembangunan jaringan kereta api tersebut ketika ia melihat
pengaruh Inggris di Mesir semakin kuat. Namun, karena ia membutuhkan bantuan Inggris untuk
melawan Porte, ia akhirnya mendukung pembangunan jaringan kereta api tersebut. 32

Pada tahun 1851, Abbas I telah mempersiapkan yang dibutuhkan Inggris untuk
membangun jaringan kereta api dari Kairo ke Iskandariyah. Kontrak pun ditandatangani oleh
pihak Inggris yang diwakili oleh George Stephenson. Sebagai kontaktor, suplier, dan provider
teknik, Inggris sangat diuntungkan. Namun, Mesir mengalami kerugian karena terjadi
kesenjangan antara pendapatan dan
pengeluaran yang disebabkan dari pembangunan jaringan kereta api tersebut yang
mengakibatkan utang ditambah lagi Inggris mulai menekan pemerintahan Abbas I. Hingga
akhirnya pada tanggal 14 Juli 1854, Abbas I terbunuh dan digantikan
putranya Ismail.

Periode Tahun 1854-1879

Mesir pada periode ini berada di bawah kekuasaan Muhammad Sa’id yang berkuasa sejak
tahun 1854 hingga 1863 dan Isma’il yang berkuasa sejak tahun 1863 hingga tahun 1879. Di
bawah pemerintahan keduanya, administrasi Mesir berkembang lebih cepat dari sebelumnya. Hal
ini tercermin pada pembentukan badan-badan administratif yang berfungsi untuk mencatat
kelahiran dan kematian penduduk, mengawasi pengumpulan pajak serta memeriksa yayasan-
yayasan sosial.

Berkembangnya administrasi tersebut didorong oleh pembangunan sektor


perekonomian, khususnya, bidang pertanian dan ekspor serta perluasan sarana transportasi dan
komunikasi. Sistem birokrasi pemerintahan pun diperpanjang hingga ke pedesaan. Di provinsi-
provinsi, jumlah pengadilan pemerintah meningkat.

Pada masa Pemerintahan Sa’id, Mesir harus menghadapi kesulitan keuangan karena
utang yang ditinggalkan Abbas I. Oleh karena itu, Sa’id memutuskan untuk membuka kerja sama
dengan pihak asing dengan tujuan untuk membayar utang. Keinginan Sa’id didukung dengan
adanya bank-bank Eropa yang berdiri sejak tahun 1850. Tujuan Eropa mendirikan bank-bank
tersebut adalah untuk mengembangkan sektor perdagangan mereka di Mesir dan memberi

32
C. P. F. Luhulima. Eropa sebagai Kekuatan Dunia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1992, hlm. 40
pinjaman pada proyek-proyek pembangunan di Mesir. Berdirinya bank-bank swasta Eropa
menambah jumlah orang asing yang bekerja di Mesir (lebih dari 30.000 orang asing tiba di Mesir
antara tahun 1857 dan 1861) terutama di
departemen perhubungan kereta api dan jumlah penduduk Eropa. Mereka memiliki hak
istimewa, yaitu perlindungan dari hukum dan bebas pajak. Di tingkat provinsi, bank-bank swasta
Eropa tersebut meminjamkan uang kepada fellahin sebelum masa panen dan memfasilitasi
pengumpulan pajak dari para fellahin. 33

Pada tahun 1856 perkebunan Mesir yang mulai berkembangnya mendorong


pembangunan dan perluasan saluran irigasi dan kereta api.Oleh karena itulah, Sa’id membangun
jaringan kereta api baru yang menghubungkan Kairo dengan Suez. Pada proyek pembangunan
itu, Said meminta bantuan modal dan ahli teknik dari Eropa. Namun, pendapatan dari adanya
jaringan kereta api tersebut sebagian besar diberikan kepada asing.34

Selain pada masanya, Sa’id juga membuat Undang-undang Tanah pada tanggal 5 Agustus
1858 yang mengubah kepemilikan tanah dari kepemilikan bersama menjadi kepemilikan
individu181 di mana umumnya yang menguasai tanah pascaterbentuknya undang-undang
tersebut adalah para pejabat pemerintahan.

Adanya undang-undang tersebut menyebabkan eksploitasi para penguasa tanah terhadap


pengolah tanah, yaitu para fellahin.Untuk mengembangkan infrastruktur Mesir, pada tahun 1860,
Sa'id meminjam pada bank swasta asing dalam jumlah besar. Pinjaman tersebut dilanjutkan pada
tahun 1862.183 Pemerintahan Sa’id berakhir pada tahun 1863. Ia digantikan oleh Isma’il yang
berkuasa sampai dengan tahun 1879. Dalam pemerintahannya, khedive Ismail mewarisi usaha
Muhammad Ali Pasya dalam memodernisasi Mesir. Hal tersebut disebabkan khedive Ismail
mendapatkan pendidikan Eropa sehingga mampu berbicara dalam bahasa Prancis185 serta
pernah berkunjung ke luar negeri. Kunjungannya ke luar negeri membuka matanya.

Selain itu, pengalamannya belajar di Eropa mempertajam keinginannya untuk


membangun Mesir. Di tambah lagi adanya dukungan dari para pejabat Mesir yang memiliki
minat pada reformasi. Mereka melihat bahwa Mesir terbelakang dan harus mengejar
ketinggalannya. 35

Oleh karena itu, mereka mendukung perubahan-perubahan yang dilakukan Ismail.Di


bawah Pemerintahan Ismail, pendidikan mengalami pembangunan yang lebih meluas. Hampir
seluruh pendapatan negara sebagian besar disalurkan untuk bidang pendidikan. Pada masa
Ismail, ia mendirikan Sekolah Dar Al Ulum tahun 1873.

Di sekolah ini mereka mendidik dengan cara baru dan lebih praktis serta diajarkan ilmu-
ilmu modern. Seperti zaman Muhammad Ali Pasya, pendidikan akademik dan teknologi
dilakukan melalui sekolah lokal atau pendidikan dari luar negeri. Pada masa Ismail jumlah
sekolah yang dikendalikan pemerintah ditambah dan sekolah swasta yang didirikan dan
dikendalikan oleh orang-orang Eropa termasuk juga misi Kristian yang menduduki Mesir ketika

33
Op.cit., Badri Yatim., hlm.175
34
Op.cit., Badri Yatim., hlm.180
35
Op.cit., Luhulima., hlm. 130-132
itu mulai didirikan. Pada tahun 1867, sebagai bagian dari reformasi pendidikan Ismail,
pemerintah memegang kendali atas sejumlah besar sekolah dasar Islam di pedesaan dan
menetapkan aturan-aturan atas kegiatan mereka. 36

Selain itu, Ismail juga melengkapi kota-kota Mesir dengan listrik dan air. Namun,
kegiatan perindustrian yang dibangun Muhammad Ali Pasya mengalami kemunduran pada
masanya. Hanya perusahaan gula yang masih berjalan karena gula merupakan ekspor Mesir yang
utama. Jika Muhammad Ali Pasya mengutamakan program pembangunan militer, Ismail
sebaliknya melihat pembangunan dalam pengertiannya yang sama dengan pembaratan, yaitu ia
mengubah keadaan masyarakat Mesir semata-mata karena ingin meniru Barat. Pembangunan
ekonomi dijalankan dengan besar-besaran. Kapas dan tebu ditanam lebih banyak. Untuk
memajukan usaha pertanian, Ismail membangun lebih banyak terusan dan rancangan perairan.
Rangkaian komunikasi ditambah dan diperbaiki. Terusan Suez sebagai lalu lintas perairan
antarbangsa yang telah dibangun pada masa Pemerintahan Muhammad Sa’id diselesaikan. 37

Melanjutkan yang dilakukan ayahnya, Ismail mempercepat perdagangan dan produksi.


Area pertanian diperluas sehingga produksi pertanian meningkat dan pendapatan negara
bertambah dua kali lipat. Ia juga menggali kanal, membuat banyak pelabuhan serta membangun
jaringan kereta api dan jaringan telegraf. Dalam pembiayaan semua proyek pembangunan
tersebut, Eropa menjadi pilihan Ismail untuk mendapatkan dana pembangunan yang ia butuhkan.
Ia dapat membuat perjanjian pinjaman dengan negara lain dan memperoleh hak untuk menaikkan
pinjamannya sendiri. Namun, Ismail tidak menyadari pengaruh Eropa untuk mempertahankan
kontrol mereka di Mesir dengan berbagai cara. Kebergantungan Ismail terhadap bantuan
keuangan dari Eropa semakin memuncak ketika pembangunan Terusan Suez. Pemborosan Ismail
dalam pembangunan Terusan Suez membawa Mesir pada kebangkrutan dan menarik intervensi
Eropa.195 Intervensi Eropa tersebut adalah pembatasan kebebasan para penguasa lokal Mesir
dan percepatan penetrasi Eropa atas Mesir.38

Eropamenggunakan masalah hutang sebagai satu alasan untuk campur tangan di Mesir
pada masa Pemerintahan khedive Ismail. Perhatian mereka yang utama adalah Terusan Suez
yang menghubungkan peraianantar bangsa yang dapat memperkuat kepentingan politik dan
ekonomi mereka. Sehubungan dengan ini, mereka memberikan pinjaman dengan mengenakan
bunga yang tinggi hingga menyebabkan Ismail terperangkap dengan beban utangnya sendiri.
Ismail kemudian jatuh bangkrut dan gagal untuk menyelesaikan utangnya. Pihak peminjam itu
terus mendesak untuk campur tangan dalam Pemerintahan Mesir agar pinjaman yang
dikeluarkan itu dapat dikembalikan. Caisse de la Dette Publique dibentuk dan beranggotakan
oleh empat orang ahli yang mewakili kepentingan Prancis, Itali, Austria, dan Inggris. Melalui
cara ini, segala kegiatan Ismail dikawal oleh mereka yang lebih dikenal dengan panggilan Dual
Control karena dikelola dua orang penguasa asing, yaitu Inggris dan Prancis. Jika Ismail enggan
tunduk kepada arahan yang ditetapkan oleh Dual Control, ia akan dipecat dari jabatannya sebagai
36
A. Malet & J. Isaac. Revolusi Prancis, Terj. Tim CCF Bandung, Jakarta: Gramedia,
1989, hlm. 135
37
A. Malet & J. Isaac. Revolusi Prancis, Terj. Tim CCF Bandung, Jakarta: Gramedia,
1989, hlm. 137
38
Jean Mathiex. Sejarah Prancis, Terj. Nurul Komari Oetomo dan Ari Anggari
Harapan, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1993, hlm. 124-125
khedive Mesir oleh Kesultanan Turki Usmani atas desakan-desakan Eropa dan digantikan oleh
putranya Taufik pada tanggal 26 Juni 1879. 39

Periode Tahun 1879-1922

Pada periode ini Mesir berturut-turut dikuasai oleh Taufik (1879—1892), Abbas II (1892
—1914), Husain Kamil (1914—1917), dan Fuad (1917—1922). Periode ini ditandai dengan
semakin gencarnya Eropa, khususnya, Inggris dan Prancis untuk mengendalikan keuangan Mesir
yang berutang kepada para pemodal asing akibat dari pemborosan yang dilakukan oleh Ismail.
Penguasaan asing terhadap kondisi finansial Mesir menyebabkan asing mampu menggoyahkan
kekuatan dinasti para penguasa Mesir. Pada tahun 1879 Eropa telah menganggap Mesir sebagai
wilayahnya sendiri. Mereka pun memperluas pengaruh mereka di kalangan masyarakat Mesir
dengan memberikan pinjaman kepada para fellahin di pedesaan. Dengan adanya sistem
kapitulasi (capitulation system) yang berlaku di Mesir, membuat Mesir tidak lagi mempunyai
kuasa penuh atas wilayahnya sendiri. Melalui sistem ini, rakyat Eropa atau siapa saja yang
mendapat perlindungan dari kedutaan Eropa bebas dari undang-undang yang dijalankan Mesir. 40

Mereka tidak tersentuh dengan hukum pemerintah Mesir, tetapi dengan persetujuan
Eropa terlebih dahulu. Di bawah perlindungan sistem ini, orang-orang asing yang bekerja sama
dengan para duta Eropa dapat melakukan kejahatan dalam bentuk apa saja di Mesir dan dapat
terlepas dari hukum. Jika mereka diadili dalam suatu masalah, mereka diadili dalam Mahkamah
Kedutaan dan seringkali dilepaskan tanpa hukuman. Mereka juga menguasai pelabuhan Mesir
dan kapal-kapal yang mendapat jaminan dari para duta asing tersebut tidak mengizinkan kapal-
kapal mereka diperiksa. 41

Dalam kondisi seperti itu, Mesir dikuasai oleh Muhammad Taufik, putra Ismail, seorang
yang amat lemah dalam menghadapi tekanan pihak asing. Pada tahun 1880 Taufik berunding
dengan pihak Eropa untuk menyelesaikan masalah utang piutang Mesir seperti yang ditetapkan
dalam Law of Liquidation (undangundang mengenai pembayaran utang piutang). Menurut
undang-undang ini pendapatan tahunan Mesir dibagi menjadi dua bagian. Sebagian dibayarkan
kepada Caisse de Catte untuk menyelesaikan utang Mesir dan sebagian lagi digunakan untuk
membayar segala perbelanjaan dalam negeri serta menanggung segala kerugian yang dialami
oleh Caisse de Catte meskipun kerugian itu bukan berasal dari internal Mesir. Selain itu, Mesir
tidak boleh mempermasalahkan peraturan yang ditetapkan oleh Dual Control.

Mesir juga tidak dapatmenggantikan para pegawai Eropa yang bertugas di Mesir tanpa
persetujuan Eropa. Pihak Inggris maupun Prancis berusaha untuk menambahkan jumlah mereka
pada pemerintahan Mesir dan mereka berhak untuk menghadiri rapat yang diselenggarakan
pemerintahan Mesir. Dengan demikian, apa yang dibicarakan oleh pemerintahan Mesir tidak lagi
menjadi rahasia. Pada tahun 1882 Inggris mulai campur tangan dalam pemerintahan Mesir
walaupun secara de facto hingga tahun 1914 Mesir tetap tunduk pada Kesultanan Turki
Usmani42.
39
Op.cit., Daly (ed)., hlm. 181
40
Abu Hasan Ali Annadawy. Kerugian Apa Yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan
Kaum Muslimin, Terj. Abu Laila dan Muhammad Tohir, Bandung: PT Alma’arif, 1983, hlm. 365
41
Op.cit., Hitti, hlm. 954
42
Hasan, Muarif Ambary, dkk. Suplemen Ensiklopedi Islam jilid 2, Jakarta: PT Ichtiar
Pada masa Taufik, rakyat Mesir khususnya kaum fellahin menderita karena beratnya
pajak yang harus mereka bayar, kewajiban militer, dan pemberlakuan kerja paksa oleh
pemerintah Mesir yang memaksa setiap laki-laki Mesir bekerja dalam proyek-proyek umum
dengan sedikit upah atau bahkan tidakdibayar sama sekali. Selain menanggung beban pajak yang
tinggi yang ditetapkan pemerintah untuk membayar utang Mesir kepada para pemodal asing,
para fellahin harus menanggung pula pajak orang-orang asing yang menetap di Mesir dan
tekanan dari para rentenir Eropa.

Para fellahin yang berutang itu dikenakan dengan bunga yang amat tinggi yang
perbulannya meningkat hingga 20% dalam sebulan, Jika tidak berhasil menyelesaikan pinjaman,
mereka menyita tanah milik fellahin. Keadaaan ini menyebabkan golongan fellahin mendukung
pemberontakan yang dilakukan Kolonel Ahmad Urabi yang berjanji mengurangi beban pajak
dan menghukum para rentenir tersebut. Ketika pemberontakan yang dipimpin Urabi Pasya
menentang pemerintah Mesir yang lemah dan pengaruh asing yang memuncak di Mesir
segeralah Inggris mengadakan intervensi militer dengan angkatan lautnya. Kota Iskandariyah
digempur dan disusul dengan pertempuran di Tel Al Kabir.

Inggris berhasil mengatasi pemberontakan tersebut pada tanggal 13 September 1882 dan
mereka mengasingkan Urabi. Pascapemberontakan Urabi pada tahun 1882, untuk melindungi
kepentingannya di Terusan Suez, Inggris menginvasi Mesir. Pascapemberontakan Urabi, pada
tahun 1883 Sir Evelyn Baring yang kemudian digantikan oleh Lord Corner datang ke Kairo
secara resmi sebagai konsul jendral dan agen diplomatik Inggris, namun secara tidak resmi ia
adalah sebagai penguasa Mesir yang sesungguhnya. Ia mengundurkan diri tahun 1907 setelah
berhasil mengangkat Mesir dari negara yang bangkrut menjadi negara yang paling makmur di
Timur Tengah. Kematian Muhammad Taufik pada tahun 1892 mengakhiri era penaklukan
Inggris dan konsolidasi awal perlawanan rakyat Mesir kepada Inggris.43

Selanjutnya, Muhammad Taufik digantikan putranya Abbas II. Abbas II (Abbas Hilmi)
adalah putra dari Muhammad Taufik yang lahir tahun 1874 dan wafat pada tahun 1944. Ia
merupakan khedive terakhir Mesir yang berkuasa pada tahun 1892 hingga tahun 1914. Secara
resmi ia memerintah di bawah subordinasi Kesultanan Turki Usmani meskipun kenyataannya
Mesir dikendalikan oleh Inggris melalui
Lord Cromer. 44

Pada tahun 1899, ia dipaksa untuk mengakui klaim Inggris memerintah bersama-sama di
Sudan. Ketika Kesultanan Turki Usmani bergabung dengan Blok Sentral dalam Perang Dunia I,
Inggris menyatakan Mesir sebagai protektorat Inggris dan memecat Abbas II. Abbas II kemudian
tinggal di Swiss dan meninggal di sana. Abbas II digantikan oleh pamannya, Husayn Kamil.

Sultan Husain Kamil diangkat sebagai Sultan Mesir setelah penurunan khedive Abbas II
oleh Inggris. Pada masanya, Inggris menjadikan Mesir sebagai protektorat Inggris pada awal

Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 158


43
H. M. K Bakry. Djalan Sedjarah Islam Seluruh Dunia djilid 1, Jakarta : Wolters
Groningen, 1956, hlm. 35
44
Op.cit., Nuseibeh., hlm. 122
Perang Dunia I tahun 1914. Deklarasi Inggris ini mengakhiri kontrol Kesultanan Turki Usmani
atas Mesir. Husain Kamil digantikan oleh Fuad I sebagai raja Mesir dan Sudan. Pada Febuari
1922, Fuad memproklamisasikan diri sebagai raja (malik). Fuad I lahir di Kairo, putra ketujuh
Ismail Pasya, pada tanggal 26 Maret 1868 dan wafat pada tanggal 28 April 1936. Ia menguasai
Nubia, Kordofa, dan Darfur. Ia menjadi Sultan Mesir pada tahun 1917 menggantikan kakaknya,
Husain Kamil, dan kemudian menjadi raja pada tahun 1922, ketika Inggris memberikan Mesir
kemerdekaan. Mesir merdeka dari Inggris pada tahun 1922 dan mengambil bentuk pemerintahan
monarki konstitusional45.

NASIONALISME DI MESIR

Proses Masuknya Nasionalisme di Mesir

Melalui Ekspansi

Secara umum, revolusi industri dan pertumbuhan teknologi yang terjadi di Eropa
menyebabkan ekspansi negara-negara Eropa ke benua Afrika dan Asia. Akibatnya, penduduk
kedua benua tersebut mendapatkan pengaruh dalam bentuk teknologi, metode administrasi, dan
ide-ide Eropa. Ekspansi Eropa ke wilayah Afrika, khususnya, Mesir pertama-tama dilakukan
oleh dua bangsa Eropa terkemuka, yaitu Prancis dan Inggris yang saling bersaing dalam
perekonomian dan perdagangan. Prancis dalam ekspansinya mengambil inspirasi dari Revolusi
Prancis yang meletakkan aturan main pembangunan politik berdasarkan keadilan, kebebasan,
dan demokrasi. Ekspansi Prancis ke Mesir adalah keinginan untuk membawa dan
menyebarluaskan apa yang mereka anggap baik dalam bidang keagamaan, kesehatan, sosial
kebudayaan, politik dan ekonomi

Dapat dikatakan benih-benih nasionalisme di Mesir mulai muncul sebagai reaksi terhadap
ekspansi Prancis tahun 1798 dan menjadi kekuatan sepenuhnya untuk melawan ekspansi Inggris
di abad berikutnya. Ekspansi Prancis ke Mesir yang diwakili oleh Napoleon tidak memiliki
dampak langsung terhadap bangkitnya nasionalisme di Mesir, namun hal tersebut memicu
kesadaran rakyat Mesir akan nasionalisme. Jules Ferry, arsitek politik imprerial Prancis,
menyatakan bahwa dalam ekspansinya Prancis tidak menanamkan modal, tetapi
menyebarluaskan ide-ide; tidak membangun pabrik-pabrik, tetapi mengekspor buku-buku
pelajaran; dan tidak mengajarkan penduduk pribumi keterampilan,tetapi bagaimana untuk cinta
tanah air. 46

Berangkat dari Toulon tanggal 22 Juli 1798 bersama pasukannya yang terdiri dari 40.000
orang, Napoleon turut serta membawa satu regu pendamping yang terdiriatas 150 orang insinyur,
ilmuwan, sastrawan, dan seniman. Di Mesir, mereka menyebarluaskan ide-ide kemerdekaan dan
persaudaraan serta hakhak setiap bangsa yang merupakan ciri nasionalisme. Sejajar dengan hai
ini, Barbara Ward menyatakan bahwa nasionalisme sebagai sebuah bentuk gerakan modern yang
timbul dari wilayah Eropa dipelopori bukanlah dari serdadu atau negarawan, melainkan lahir dari
para cendikiawan ahli-ahli ilmu pengetahuan.

45
Op.cit., Jamil, hlm. 200-201
46
Op.cit., Azra., hlm. 151
Bangsa Eropa kedua yang melakukan ekspansi ke Mesir adalah Inggris. Kebutuhan akan
bahan-bahan baku dan mencari tempat pemasaran hasil industri merupakan alasan Inggris
melakukan ekspansi.227 Berkembangnya industri di Inggris disebabkan Inggris merupakan salah
satu negara Eropa yang kaya akan batubara di mana saat itu batu bara merupakan nafas industri.
Ekspansi Inggris di Mesir dimulai sejak tahun 1840 saat para pemodal Eropa mulai
mengembangkan modal mereka di Mesir.Pada perjalanannya, ekspansi Inggris di Mesir berujung
kepada invasi politik dan ekonomi. Invasi tersebut terjadi berawal dari kegagalan khedive Ismail
untuk menjelaskan utangnya kepada para pemodal Eropa dalam jumlah yang besar dan terkait
pula dengan isu Terusan Suez. Selanjutnya, invansi politik dan ekonomi secara terang-terangan
yang dilakukan oleh Inggris dalam pemerintahan Mesir memicu munculnya nasionalisme
Mesir.47

Melalui Media Cetak


Mesir dalam sejarah terkenal dengan kemajuannya dalam bidang pers dan percetakan.231
Hal ini tidak terlepas dari apa yang dibawa Napoleon pada ekspedisinya ke Mesir. Napoleon
datang ke Mesir membawa serta mesin cetak berbahasa Arab yang ia rampas dari Vatikan ke
Kairo. Berawal dari mesin cetak itu, dunia percetakan Mesir berkembang lebih cepat dengan
didirikannya muncul Matba’ah Bulaq (Percetakan Bulak) oleh Napoleon. Dengan mesin cetak
tersebut, Napoleon mencetak lembar-lembar propaganda dalam bahasa Arab dan menerbitkan
dua buah majalah. Majalah yang diterbitkan Napoleon di Mesir antara lain, Le Courrier d’Egypte
dan La Degade Egyptienne sebagai media publikasi perkembangan ilmu pengetahuan Selain itu,
Napoleon menerbitkan dua buah kabar, yaitu Barid Misr ‘Merpati Mesir’ dan Al Isyarah Al
Misriyah ‘Persahabatan Mesir’.

Penerbitan majalah dan surat kabar yang dilakukan Napoleon dilanjutkan oleh
Muhammad Ali Pasya dan penerusnya. Pada masanya, Muhammad Ali Pasya menerbitkan surat
kabar berbahasa Arab Al Waqa’i Al Mishriyah ‘Berita Mesir’ pada tahun 1828 yang merupakan
organ resmi pemerintahan. Kemudian, pada masa Sa’id terbit Mir’ah Al Ahwal ‘Cermin
Peristiwa’ pada tahun 1855 dan Hadiqah Al Akhbar ‘Taman Berita’ terbit tahun 1858, pada masa
Ismail terbit Al Ahram ‘Piramid’ tahun 1878. Surat kabar yang berkembang di Mesir
mengakibatkan berita dapat disebarkan dengan baik di kalangan rakyat sehingga membangkitkan
kesadaran. Perubahan ini lama kelamaan membawa kepada ketegangan yang melahirkan pula
semangat nasionalisme Mesir.

Melalui Pendidikan
Pendidikan memiliki pengaruh terhadap kebudayaan sebuah bangsa. Pendidikan
mengenai dasar-dasar peradaban, sejarah, dan retorika dapat memperluas pemikiran rakyat.
Selain itu, pendidikan juga merupakan media yang dapat mewujudkan persatuan tanah air. Ia
berperan penting bagi perubahan sosial dan juga media untuk menyebarkan ide-ide Barat dan
kebudayaan yang membentuk masyarakat. Secara umum, negara-negara Arab di sebelah timur
Suez termasuk di dalamnya Mesir mendapat pengaruh Barat melalui kegiatan pendidikan tidak
dengan penaklukan militer. Pengaruh tersebut dalam bidang ekonomi dan politik diikuti dengan
pendirian institusi pendidikan. Kemajuan yang pesat dalam ilmu pengetahuan dapat mendorong
tersebarnya paham nasionalisme terutama di kalangan pelajar.

47
A. Malet & J. Isaac. Revolusi Prancis, Terj. Tim CCF Bandung, Jakarta: Gramedia,
1989, hlm. 200
Terinspirasi dari Napoleon dan untuk memenuhi kebutuhan Mesir akan doktor dan
insinyur, Muhammad Ali mendirikan sekolah dasar, sekolah menengah, sekolah tinggi, dan
perpustakaan yang berorientasi Eropa. Bahasa Prancis mendapatkan kedudukan khusus dalam
kurikulum Mesir, bahkan sekolahsekolah Prancis di Mesir menjadi pilihan favorit para pelajar di
Mesir.

Gagasan-gagasan Eropa seperti nasionalisme, kebebasan, dan demokrasi telah beredar di


kalangan intelektual terdidik Mesir pada zaman khedive Ismail.Usaha selanjutnya yang
dilakukan oleh Muhammad Ali Pasya dalam modernisasi pendidikan adalah pengiriman
mahasiswa ke Prancis untuk dilatih dan dididik. Pada masanya, sebanyak 311 pelajar Mesir
dikirim ke Prancis, Italia, Inggris, dan Austria. Di Paris, sebuah rumah khusus didirikan untuk
kepentingan mahasiswa-mahasiswa ini. Subjek pelajaran yang secara khusus dipelajari adalah
militer dan angkatan laut, teknik mesin, kedokteran, farmasi serta kesenian. Rombongan pertama
mahasiswa Mesir yang dikirim Muhammad Ali Pasya ke Eropa antara lain, Mustafa Mahraji dan
Mazhar Bey di bidang teknik, Rifa’ah Bey dan Muhammad Basyumi di bidang farmasi,
Muhammad Ali Al Hakim di bidang kedokteran, Hasan Bey di bidang angkatan laut,
Muhammad Syabasi, Muhammad Sukari, Muhammad Syafi’i, Mubarak Basya, dan Mukhtar Bey
di bidang pendidikan, Amin Bey di bidang keuangan. 48

Dari rombongan mahasiswa yang dikirim oleh Muhammad Ali Pasya ini muncullah para
cendikiawan, ahli teknik, dokter, dan perwira ahli. Mereka kemudian menjadi pelopor
pembangunan dan pembaruan. Sekembalinya ke Mesir mereka menjadi guru di berbagai
universitas, terutama, Universitas Al Azhar dan menerjemahkan ilmu pengetahuan Eropa yang
mereka dapatkan ke dalam bahasa Arab.

Turut serta dalam rombongan mahasiswa yang dikirim Muhammad Ali ke Mesir Rifa’ah
Rafi Al Tahtawi. Rifa’ah Rafi Al Tahtawi adalah ahli pikir modern Arab pertama yang
menghubungkan paham politik Arab dengan paham politik Barat. Sebuah gagasan dapat menjadi
perhatian oleh bangsa Arab jika diucapkan dalam bentuk puisi atau dengan gaya sastra yang
tinggi. Hal itu dipahami Rifa’ah Rafi Al Tahtawi dengan baik. Dalam menyajikan konsepkonsep
Prancis ia mengiringinya dengan konsep, istilah-istilah, dan peribahasa Arab.

Rifa’ah Rafi Al Tahtawi mengagumi tradisi politik Prancis Hal ini terlihat pada
pendahuluan terjemahannya di Piagam Louis XVIII. ‘(Piagam) ini berisi pasal-pasal yang diakui
oleh setiap orang mengenai keadilan. Oleh karena itu hendak saya mintakan perhatian Anda,
meskipun kebanyakan
diantaranya tidak terdapat dalam Quran atau Hadis, namun Anda akan mengetahui bagaimana
budi mereka (Prancis) telah sampai kepada kesimpulan bahwa keadilan adalah batu penjuru
peradaban dan kesejahteraan penduduknya. Bagaimana dalam pemerintahan, mereka percaya
akan asas-asas ini, sehingga negara mereka berkembang, ilmu mereka semakin tinggi,
kemakmuran mereka berlipat ganda dan hati mereka tenteram dan damai. Anda hampir tak
pernah mendengar orang mengeluh tentang adanya ketidakadilan; sesungguhnya keadilan adalah
asas peradaban.

48
A. Malet & J. Isaac. Revolusi Prancis, Terj. Tim CCF Bandung, Jakarta: Gramedia,
1989, hlm. 207
Rifa’ah Rafi Al Tahtawi berpendapat asas kemerdekaan, persamaan, dan keadilan pada
antara tradisi Arab dan tradisi Prancis pada dasarnya sama. Perbedaannya adalah Prancis telah
melaksanakan asas-asas itu dalam lembaga yang konkret. Rifa’ah Rafi Al Tahtawi adalah
pelopor patriotisme Mesir yang berpendirian bahwa Mesir dapat maju jika berada di bawah
penguasa sendiri bukan di bawah tangan orang asing. Pada masanya, benih-benih gagasan
nasionalisme Mesir mulai tumbuh.

Melalui Bahasa dan Sastra


Bahasa adalah media yang digunakan tiap-tiap bangsa untuk menyampaikan gagasan-
gagasannya. Bahasa juga merupakan simbol sebuah bangsa. Pepatah mengatakan “hilang bangsa
karena bahasa” menunjukan bahwa bahasa merupakan identitas sebuah bangsa. Sejarah dan maju
mundurnya sebuah bahasa berhubungan dengan kondisi politik, agama, dan masyarakat bangsa
yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa ketika telah dikuasai menjadi kunci utama yang
dapat membuka seluruh khazanah pemikiran Barat, seperti ilmu pengetahuan, nasionalisme,
demokrasi, dan sekulerisme. Kesadaran berbahasa dan berkebudayaan merupakan salah satu
indikasi
nasionalisme.49

Indikasi nasionalisme melalui bahasa mulai terlihat di Mesir saat dan pascaekspedisi
Napoleon. Saat Npoleon berada di Mesir ia mendirikan sebuah academie literaire ‘akademi
sastra’ yang dilengkapi dengan sebuah perpustakaan. Pendirian perpustakaan oleh Napoleon
kemudian diteruskan pada masa Ismail dengan mendirkan Maktabah Al Azhariah ‘Perpustakaan
Al Azhar’ tahun 1879 dan pada masa Muhammad Taufik berdiri Maktabah Asy Syarqiyyah
‘Perpustakaan Timur’ tahun 1880.

Pendirian akademi sastra yang dilakukan oleh Napoleon mendorong para sastrawan di
Mesir untuk mengembangkan sastra dengan menciptakan sarana-sarana yang mendukung
perkembangannya, seperti mendirikan fakultas sastra dengan jurusan khusus yang mempelajari
sastra, menerbitkan majalah-majalah khusus mengenai sastra, dan menyediakan kolom khusus
untuk para sastrawan dalam majalah umum dan surat kabar. Kondisi ini menurut Hans Kohn
dapat mengobarkan semangat nasionalisme rakyat.

Di Mesir, Napoleon juga mendirikan lembaga ilmu pengetahuan yang para anggotanya
menaruh perhatian pada ilmu pengetahuan alam, kedokteran, ekonomi, kesenian, sastra, dan
musik. Para ilmuwan Prancis yang dibawa Napoleon dalam ekspedisinya melakukan penelitian
dan menemukan berbagai hal tentang Mesir. Mereka meneliti monumen-monumen, bahasa, dan
sejarah kuno bangsa Mesir. Apa yang mereka lakukan telah meletakan dasar yang kokoh bagi
ikatan budaya Mesir.

Ditambah dengan adanya percetakan buku-buku akibat dari adanya mesin cetak
berbahasa Arab yang dibawa Napoleon turut memberikan perhatian kepada karya-karya
kebudayaan Arab klasik. Hal itu merupakan manifestasi awal gerakan nasionalisme, khususnya,
nasionalisme di Mesir yang ditandai dengan bangkitnya ketertarikan pada bahasa dan

49
Abu Hasan Ali Annadawy. Kerugian Apa Yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan
Kaum Muslimin, Terj. Abu Laila dan Muhammad Tohir, Bandung: PT Alma’arif, 1983, hlm. 365
kebudayaan Arab klasik. Usaha Napoleon membangkitkan semangat baru bagi orang-orang
Mesir dalam bidang kebudayaan dan intelektual. Kebangkitan intelektual tersebut memicu
kebangkitan politik yang memberikan jalan bagi munculnya berbagai aktivitas politik yaitu
gerakan yang menentang imperialisme Barat50.

D. Gerakan Nasionalisme di Aljazair

Aljazair adalah sebuah negara yang terletak di bagian utara benua Afrika (Afrika Utara).
Negara ini berbatasan dengan Libya di sebelah timur, berbatasan dengan Mali dan Mautania di
sebelah barat daya, berbatasan dengan Sahara Barat di sebelah Barat sedangkan disebelah barat
laut Aljazair adalah Maroko. Aljazair juga berbatasan dengan Tunisia disebelah Timur laut,
berbatasan dengan Niger disebelah tenggara, di sebelah utara Aljazair adalah Laut Tengah, ibu
kota Aljazair adalah Algeria.51

Pada abad ke-16, Abdul Qadir yang ayahnya pemimpin thariqat berusaha mendirikan
sebuah negara muslim, pada tahun 1832 ia memproklamirkan sebagai Amir al mukmin dan
sebagai sultan bangsa Arab mengklaim dirinya bertanggung jawab dalam menerapkan hukum
islam diwilayah kekuasaanya. Abdul Qadir mengembangkan sebuah administrasi hirarkis bagi
negaranya dan ia mengangkat sejumlah khalifah, pejabat militer finansial dan pejabat peradaban.
Namun pada tahun 1841,seorang jendral Prancis Bugeaud meraih kemenangan absolout dalam
mendominasi Aljazair dan Abdul Qadir diasinkan ke perancis dan kemudian ke

50
Abu Hasan Ali Annadawy. Kerugian Apa Yang Diderita Dunia Akibat Kemerosotan
Kaum Muslimin, Terj. Abu Laila dan Muhammad Tohir, Bandung: PT Alma’arif, 1983, hlm. 344
51
https://Ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-aljazair-algeria/
Damaskus.Prancis memulai pemerintahannya di Aljazair dengan menerapkan sistem Makhzan
dan Turki, pada awal tahun 1840-an perancis meningkatkan membuka jalan bagi kolonisasi
Prancis.

Generasi Muslim baru muncul di Aljazair pada saat Perang Dunia I dan tumbuh dewasa
pada tahun 1920-an dan 1930-an. Itu terdiri dari kelas kecil tapi berpengaruh dari Aljazair ,
orang Aljazair lain yang persepsinya tentang diri mereka sendiri dan negara mereka telah
dibentuk oleh pengalaman masa perang, dan tubuh para pembaru dan guru agama. Beberapa dari
orang-orang ini adalah anggota dari sedikit keluarga Muslim kaya yang telah berhasil menyusup
ke dalam sistem kolonial pada tahun 1890-an dan dengan susah payah berhasil memperoleh bagi
putra-putranya pendidikan Prancis yang diidam-idamkan oleh orang-orang Aljazair yang
progresif. Yang lain adalah di antara sekitar 173.000 orang Aljazair yang telah bertugas
di tentara Prancis selama Perang Dunia I atau beberapa ratus ribu lainnya yang telah membantu
upaya perang Prancis dengan bekerja di pabrik-pabrik. Banyak orang Aljazair tetap di Prancis
setelah 1918, dan mengirim uang yang mereka hasilkan ke sanak saudara mereka di Aljazair. Di
Prancis mereka menjadi sadar akan standar hidup yang lebih tinggi daripada yang mereka kenal
di rumah dan konsep-konsep politik demokratis, diterima begitu saja oleh orang-orang Prancis di
Perancis, yang oleh para kolonel , tentara, dan birokrat telah menolak untuk diterapkan pada
mayoritas Muslim di Aljazair. Beberapa orang Aljazair juga mengenal nasionalisme pan-Arab
yang tumbuh di Timur Tengah.52

Koloni Eropa dan Perancis di Aljazair menghendaki agar Aljazair di asimilasikan sebagai
bagian integral dari perancis.Selama beberapa dekade perancis telah berjuang dan akhirnya
meraih penguasaan terhadap pemerintahan Aljazair kedalam sistem politik Perancis. Hasil akhir
ini ditentang oleh pihak militer perancis, yang mana kubu militer sendiri ingin memerintah
Aljazair dan menentang pembentukan sebuah pemerintahan sipil bagi warga kolonial. Dominasi
perancis terhadap masyarakat Aljazair benar-benar sempurna, namun secara paradoks,
pemerintah kolonial melahirkan beberapa kondisi bagi pembangkitan perlawanan dan tuntutan
bangsa Aljazair menuju kemerdekaan. Penduduk Aljazair yang kacau-balau dan miskin,
pembatasan terhadap tanah pembatasan, pelumpuhan kepemimpinan kesukuannya, kebersamaan
para elite agama, kekalahan perlawanan militernya, sama sekali tidak dapat dilahirkan kembali.

Setelah perang dunia 1 kebijakan Perancis secara tidak lansung membangkitkan


perlawanan bangsa Aljazair. Pihak perancis menawarka kewargaan Perancis kepada umat
muslim jika mereka berkenan melepaskan hukum perdata muslim. Warga pemukiman Aljazair
mendesak pemerintah perancis untuk membatalkan sejumlah konsesi ini, dan kewargaan tidak
terhadap konsep perancis tentang keadilan, persamaan, dan kewargaan yang tetap dipegangi di
kalangan intelektual muslim. Elite pribumi Aljazair terdiri tiga komponen utama, yaitu para
lulusan sekolah Arab-Perancis yang mengharapkan berintegrasi sepenuhnya kedalam masyarakat
Perancis, meskipun mempertahankan identitas hukum dan sosial mereka sebagai muslim. Pada

52
tahun 1930 pembentukan organisasi federasi perwakilan muslim menuntut persamaan di bidang
militer, pendidikan, dan didalam pengangkatan jabatan pemerintahan, dan menuntut
penghapusan seluruh upaya yang men-diskriminasikan warga muslim. Pada tahun 1920 dan 1930
lebih redikal dan berorientasi nasionalis dan berkembang di kalangan emigres Aljazair di paris.

Pada tahun 1926 membentuk partai komunis Perancis, gerakan ini mengkomunikasikan
kepada bangsa Aljazair aspirasi mendirikan sebuah parlemen Aljazair sebagai cikal bakal bagi
semua bangsa yang merdeka, namun pada tahun 1936 beralih kepada cita-cita pan-Arab
menyerukan kemerdekaan Aljazair yang berakar pada nilai-nilai islam dan untuk menjalin
persahabatan dengan bangsa arab. Elite baru Aljazair adalah tokoh tokoh gerakan reformasi
islam, yang mengadaptasikan skripturalisme Islam dengan kebutuhan nasionalis Aljazair.
Reformasi muslim mencapai Aljazair sebagai hasil dari kontak dengan Muhammad Abduh dan
dengan para reformasi muslim di Tunisia, tetapi belum tampak jelas hingga setelah perang dunia
1. Lahirnya para reformen akhirnya mendesak kalangan marabout kepada kerja sama dengan
pihak Perancis sehingga semakin mengacaukan posisi mereka. Di sisi lain keramahan politik
perancis membangkitkan berbagai kecemasan yang mana kedekatan hubungan dengan perancis
agaknya menggoda pihak muslim untuk berasimilasi. Konstitusi Aljazair berusaha memadukan
antara kedua orientasi ini dengan menyatakan Aljazair sebagai sebuah negeri Arab-Islam dan
sebuah republik Demokratik.Islam di Aljazair melepaskan kontrol negara dan mendapatkan
kapasitas untuk mengartikulasi perlawanan terhadap kebijakan negara.

Perjuangan kemerdekaan Aljazair memperlihatkan pula pengaruh pemikiran neo-


Salafiyah dan menggunakan Islam untuk membangun gerakan nasionalis. Selama tahun 1920
sejumlah kelompok pembaharu Islam dibangun oleh angkatan muda dari kalangan terpelajar
yang dipengaruhi Abduh dan Ridha. Ide-ide pembaharuan mereka dikemukakan melalui harian-
harian dan pula melalui berkala-kala seumpama Al Islah (Pembaharuan) dan Al Muntaqid
(Kecaman).53

53
Jhon L Espito, Islam dan Politik(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI): Jakarta), 1990. Hlm. 109
Di antara tokoh-tokoh pembaharu Islam yang teramat berpengaruh sekali ialah Abdul
Hamid ben Badis (1890-1940) seorang sarjana pada University of Zaytunna di Tunisia. Sesudah
Al Muntaqid dilarang terbit, dia beserta tokoh-tokoh lainnya menerbitkan Al Syihab (Pancaran)
yang semboyannya berbunyi: “Tujuan kami ialah pembaharuan agama dan seluruh hal yang
berkaitan dengan berbagai perkara di dunia ini.” Pada tahun 1931, sebagian ulama
menggabungkan diri kepada tokoh-tokoh pembaharu itu dan lalu membangun AAU (Algerian
Association of Ulama – Perserikatan Ulama Aljazair) yang semboyannya berbunyi: “Islam
adalah agamaku, bahasa Arab adalah bahasaku, Alzair adalah tanah airku.” AAU itu
menggabungkan reformisme Islam dengan nasionalisme dan menyebarkan lambang
nasionalisme Muslim Aljazair melalui penciptaan jaringan sekolah-sekolah dan pusat-pusat
kegiatan. AAU luput dari penindasan pihak Perancis disebabkan menghindari aksi politik secara
langsung. Dengan begitu, melalui jalur pendidikan beserta keterlibatan ulama secara langsung
maka nasionalisme Aljazair itu tertanam dengan kokoh dalam ingatan angkatan baru. Tokoh-
tokoh modernisme itu sanggup memperoleh dukungan dan legitimasi Islam dengan jalan
bergabung dan menyebarkan nasionalisme Aljazair yang bukan memamerkan Arab tapi Muslim.

Penggunaan Islam oleh pihak nasionalis Aljazair memperoleh tanah subur dalam
lingkungan kebudayaan umum. Kesadaran Islam dalam kalangan non-elite di Aljazair itu
dicerminkan oleh sajak-sajak umum, terutama diperdengarkan oleh kelompok-kelompok
penyanyi berkeliling. Thema terbesar dari sajak-sajak itu menyanyikan kemegahan Islam pada
masa lampau; melukiskan musuh itu sebagai iblis berkuasa, kafir (Perancis Kristen) yang
memperkosa Hukum Islam. Hal ini disertai kepercayaan bahwa kenistaan ummat Islam di bawah
kekuasaan kafir akan memperoleh balasan kelak dari keponakan Nabi, Ali bin Abi Thalib. Ahli
sejarah Perancis, Despamert, menyimpulkan bahwa tanggapan-tanggapan serupa itu “...
membangkitkan dan melahirkan rangsang-rangsang naluriah yang selaras dengan kesadaran
nasional yang pihak ulama sendiri beralih sikap kepada nasionalisme. Oleh karena itu Islam
sudah terjalin dengan nasionalisme Aljazair, maka semboyan revolusi berbunyi: “Revolusi
adalah perjuangan memasuki dunia modern dan bagi penghayatan nilai-nilai Islam. Slogan
revolusi menumbangkan kekuasaan kolonial Perancis ialah “Muslim Aljazair”. Revolusi
mengumumkan jihad dan para pemimpin revolusi dipanggilkan mujahidun dan berkalanya
bernama Al Mujahid (pejuang suci) Justru Islam merupakan basis rangsang dalam nasionalisme
Arab Aljazair.54

E. Gerakan Nasionalisme di Tunisia

Tunisia adalah sebuah negara yang terletak di bagian utara benua Afrika. Negara yang
secara astronomis berada di antara 30°-38°LU dan 7°-12°BT ini berbatasan dengan Aljazair di
sebelah barat dan Libya di sebelah tenggara, sedangkan di utara dan timurnya adalah Laut
Mediterania. Nama Tunisia ini pada dasarnya berasal dari sebuah kota yang saat ini dijadikan
ibukotanya, yaitu kota Tunis yang terletak di pantai timur laut Tunisia.55

Tunisia adalah negara yang terkecil diantara tiga negara yaitu Tunisia, Aljazair, dan Maroko
diwilayah yang disebut Maghrib. Tunisia juga sebagai salah satu negara yang penduduknya
mayoritas agama Islam dibelahan bumi bagian Afrika Utara.

Gerakan nasionalisme Tunisia mengacu pada  nasionalisme Tunisia dan budaya Tunisia.


Asal-usul nasionalisme Tunisia merentang kembali ke abad ke-19; namun, nasionalisme Tunisia
menjadi kekuatan politik yang signifikan setelah tahun 1908 dengan berdirinya gerakan Tunisia
Muda , dan Partai Destour (Arab untuk "Konstitusi) yang lebih signifikan didirikan
setelah Perang Dunia I.  The Destour Party menyerukan otonomi Tunisia di dalam Kekaisaran
Perancis dan bahwa Prancis tidak boleh mendominasi politik dan masyarakat Tunisia . Prancis
menanggapi dengan melarang Partai Destour pada tahun 1933, yang mengakibatkan bangkitnya
54
Jhon L Espito, Islam dan Politik(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI): Jakarta), 1990. Hlm. 10
55
https://ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-tunisia/
partai nasionalis yang lebih radikal, Partai Neo-Destour dibentuk pada tahun 1934 yang dipimpin
oleh Habib Bourguiba. Partai Neo-Destour menuntut kemerdekaan Tunisia dari Perancis,
meskipun mereka menghormati budaya Prancis dan Barat dan berusaha mempertahankan
hubungan dekat dengan Prancis setelah kemerdekaan dicapai.  

Hari ini, nasionalisme Tunisia menegaskan bahwa Tunisia merupakan kelompok etnis
yang terpisah, berbeda dari kelompok Maghrebi lainnya atau bangsa Arab yang lebih
besar. Nasionalisme Tunisia juga menegaskan bahwa Tunisia memiliki budaya dan bahasa yang
berbeda, yang disintesis selama berabad-abad dengan berbagai kelompok dan entitas politik yang
hadir di wilayah Tunisia modern, terutama Berber, Punisia, Romawi, serta Arab dan
Turki. Keyakinan ini didukung oleh fakta bahwa Tunisia memiliki salah satu perbatasan tertua di
dunia Arab, merentang kembali ke era Afrika Romawi [ disambiguasi diperlukan ] ,
serta Hafsids dan Aghlabids . Presiden pertama Tunisia, Habib Bourguiba, mendukung gagasan
bahwa Tunisia merupakan identitas budaya yang berbeda yang dimiliki oleh peradaban Arab-
Islam tetapi memiliki esensi Mediterania dan warisan budaya yang berbeda, terutama Carthage .

Nasionalisme Tunisia menerima dorongan terbesar dari pembaharu Islam, Badul Aziz Al
Tsa’alabi, tokoh nasionalis yang pertama-tama mengorganisir Destour Party (Partai Konstitusi)
pada tahun 1920. Al-Tsa’alabi dipengaruhi oleh Abduh dan gerakan Salafiyah; dan sekalipun dia
membela gerakan pembaharuan Islam akan tetapi kegiatannya lebih banyak ditumpahkan kepada
perjuangan politik bagi mencapai kemerdekaan.

Destur menegaskan identitas nasional berdasarkan warisan Islam dan Arab di Tunisia,
bahasa Arab, dan nilai-nilai Islam. Tunisia bersikap modern tapi menolak penyerapan kultural
kolonial Perancis. Tokoh-tokoh nasionalis menaruh kuatir akan kehilangan identitas dalam
penegasan peranannya sebagai pembela identitas dan kebudayaan Islam. Lambang-lambang
Islam menempati alat penting untuk mobilisasi masa guna mempertahankan identitas nasional
dan agitasi politik. Ikhtiar Perancis pada tahun 1923 untuk menyerap Muslim Tunisia ke dalam
kebudayaan Perancis, dengan menawarkan kewarga-negaraan (naturalisasi), ditolak dengan
dasar-dasar Islam. Melakukan hal itu dinyatakan “murtad” disesbabkan kewarga-negaraan itu
bermakna berpindah dari Hukum Islam kepada jurisdiksi Perancis, pada tahun 1932, Mufti
Tunisia mengumumkan ketentuan resmi melarang penguburan jenazah orang Tunisia yang telah
menerima “naturalisasi” dalam pekuburan Muslim. Begitupun ikhtiar Perancis mengumumkan
larangan bagi wanita-wanita Tunisia mengenakan cadar ditolak oleh pihak Muslim konservatif
dan bahkan juga oleh tokoh-tokoh modernist, dianggap menyalahi sikap hidup Muslim dan
ancaman terhadap lambang identitas nasional.

Selama perjuangan kemerdekaan dalam wilayah Arab berlahan barat itu Islam senantiasa
merupakan alat penting bagi menanamkan dan memperkembang perasaan nasionalisme di
Maroko dan Aljazair dan Tunisia. Bermula sebagai gerakan neo-Salafiyah bagi pembaharuan
Islam semenjak awal Abad ke-20 tapi lambat laun beralih merupakan gerakan nasionalisme
sesudah Perang Dunia I, Islam menempati komponen basis bagi identitas nasional dan
memberikan rangka ideologi dan merupakan lambang bagi menggerakkan untuk perjuangan
politik.56

Pada abad ke-19 pembentukan organisasi muslim di tunisia mempunyai problem yang
sama seperti yang dialami oleh imerpremium usmani dan mesir. Menghadapi ekonomi Eropa
yang sedang berkembang pesat dan kemunduran internal dari negara tunisia.program repormasi
keseluruhan didasarkan pada prinsip bahwasanya pemerintahan yang baik merupakan landasan
bagi vitalitas social dan ekoni dan secara politik upaya reformasi ini bergantung kepada
dukungan pihak ulama yang mana khyar al-din berusaha mempengaruhi mereka agar menerima
teknik-teknik pemerintahan eropa.pada tahun 1930-an generasi nasionalis baru tampil ke barisan
terdepan yang dipimpin oleh beberapa konservatif, umumnya mereka berpendidikan zaytuna,
dengan naluri identitas Arab dan muslim, mereka sangat kuat. Pada kongres destour tahun 1932
Bourguiba menuntut kemerdekaan bagi Tunisia dan mengusulkan sebuah perjanjian
persahabatan untuk melindungi beberapa kepentingan Perancis. Pada tahun 1934 kekompok
radikal mengambil alih Destour dan menciptakan partain neo-Destour serta memboikot produk
produk Perancis dan pembentukan rezim demokrasi parlementer.Gerakan neo-Destour
melancarkan pertempuran selama 12 tahun yang berakhir dengan kemerdekaan Tunisia.

Pembentukan sebuah pemerintahan Tunisia yang merdeka segera dilanjutkan dengan


konsolidasi kekuasaan Bouguriba. Pemerintahan baru ini secara progresif menghentikan pejabat-
pejabat Perancis dan mengganti mereka dengan kalangan militan,meskipun sekitar 2500 warga
Perancis maish bertahan dalam kedinasan Tunisia. Perjalanan sejarah Tunisia sebagai
masyarakat muslim yangsangat statis,jatuh dibawah pemerintahan asing pada akhir abad ke-19
generasi Bary Tunisia yang berpendidikan memberikan atas hilangnya kemerdekaan dengan
berpaling kepada reformisme islam dan kepada nasionalisme sekuler untuk menyelamatkan
masyarakat mereka. Dibawah pengayoman kalangan elite nasionalis sekuler, kemerdekaan
Tunisia tercapai pada tahun 1956. Tunisia berusaha mengembangkan sebuah perekonomian
campuran dan sebuah masyarakat yang sekuler. Keterbatasan dan kegagalan rezim baru ini
melahirkan gerakan oposisi yang di masukan dalam nilai-nilai islam dan dalam kesetiaan
muslim.

56
. Jhon L Espito, Islam dan Politik(Anggota Ikatan Penerbit Indonesia(IKAPI): Jakarta), 1990. Hlm. 111-112
BAB III

PENUTUP

Imperialisme Eropa merupakan perlindungan terhadap identitas Islam. Kebijaksanaan


Bahasa Perancis di Afrika Utara sering mempertanyakan kan bentuk yang sangat ekstrim.
Melalui program yang telah disusun dan ditetapkan, assimilasi politik dan politik total
diikhtiarkan dan diorganisasikan di bawahnya. sekolah-sekolah umum. Bahasa Arab beroleh
kedudukan sebagai bahasa asing. Dan pena jelmaan yang keliwat ekstrim sekali dari perdebatan
Perancis itu dengan bertamengkan "missi budaya" terjadi di Aljazair yang terlibat "membasmi
pengaruh Islam dan menggantinya dengan bahasa Prancis". Masjid-masjid dirobah menja gereja.
Perguruan-perguruan agama ditutup dengan membunuh. Siapa yang mau pendidikan mestilah
menerima pendidikan Perancis, dan Perancis cuma membuka sekolah-sekolah itu untuk anak
kecil Aljazair, yang ikut mempelajar warisan "nenek-moyang mereka", yaitu suku bangsa
seumpama Gaul, Racine, Corneille, dan bahkan Revolusi Perancis. sebenarnya adalah "nenek
moyang bangsa Perancis."
DAFTAR PUSTAKA

(n.d.). Retrieved from https://www.google.com/amp/s/m.republika.co.id/amp/mk5to9.

(n.d.). Retrieved from https://Ilmupengetahuanumum.com/profil-negara-aljazair-algeria/ .

Adams, H. C. (1951). Islam dan Dunia Modern di Mesir . Jakarta: Pustaka rakyat.

Annadawy, A. h. (1983). Kerugian apa yang diderita dunia akibat kemerosotan kaum muslimin. Bandung:
PT Alma'arif.

Annalie. (2016). The Nationalist Movement in Morocco and The Sruggle for Independence bertween Civil
Protest and Religious Propaganda.

Apipudin. (n.d.). Meredupnya Sinar Imperium Turki Usmani.

Asmuni, Y. (1996). Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia islam . Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.

Asy'arie, M. (2018). Sejarah Peradaban Islam dari Masa Klasik Hingga Modern . Yogyakarta: Lesfi.

Bakry. (1956). Djalan Sedjarah Islam Seluruh Dunia. Jakarta: Wolters Groningen.

Esposito, J. L. (1990). Islam dan Politik. Jakarta: IKAPI (Ikatan Anggota Penerbit Indonesia .

Hasan, M. a. (1996). Suplemen Ensiklopedia Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve.

Lubis, A. (n.d.). Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad abduh .

Luhulima. (1880). Eropa sebagai kekuatan dunia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Malem, I. (1989). Revolusi Prancis . Jakarta: Terj. Tim CCF Bandung.

Mathiex, J. (1993). Sejarah Prancis . Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahsa Indonesia
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan .

Pennell. (2000). Morocco Since 1830 A History. London: United Kingdom.

Rachman, M. A. (2015). Pergerakan Nasionais Maroko Vis Kolonial Perancis. Jakarta: Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah.

Syatahat, A. M. (n.d.). Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi al-Tafsir al Quran. Kairo.


Sumber Gambar:

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Penaklukan_Aljazair_oleh_Prancis

https://m.bukalapak.com/p/industrial/industrial-lainnya/igvyox-jual-bendera-maroko-morocco-
flag-bendera-kapal-impor-polyester?

http://pps.unida.gontor.ac.id/biografi-singkat-jamaluddin-al-afghani-bagian-satu/

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Rasyid_Ridha

https://www.amazon.com/Vintage-photo-Portrait-Muhammad-al-Fassi/dp/B01B5EOQWW

https://geotimes.co.id/opini/pengaruh-muhammad-abduh/

http://smafajarhidayahkw.blogspot.com/2014/05/peta-maroko.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai