MUSTAPA
MAKALAH
Diajukan Pada Mata Kuliah Sejarah Sosial & Intelektual Islam Indonesia II
Pembimbing : Agus Permana, M.Ag
Disusun oleh :
Muhammad Maulan Yusuf Sabri Gandanegara NIM : 1175010098
i
Teriring dengan do’a yang tulus semoga amal baik yang telah diberikan
mendapatkan ridho dari Allah SWT. Dengan penyusunan laporan penelitian ini
penulis telah berusaha menyelesaikan langkah awal ini sesuai dengan yang
diharapkan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis
sangat menantikan masukan dan koreksi yang membangun sangat diperlukan
untuk hasil yang baik. Semoga apa yang kita cita-citakan bersama dapat
dikabulkan oleh Allah SWT.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan...........................................................................................................3
D. Kajian Pustaka...............................................................................................3
E. Metode Penelitian.........................................................................................4
1. Heuristik....................................................................................................5
2. Kritik.........................................................................................................7
3. Interpretasi.................................................................................................7
4. Historiografi..............................................................................................8
BAB VI PENUTUP..............................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Haji Hasan Mustapa lahir dari keluarga pesantren yang juga akrab
dengan tradisi Sunda. Tidak sedikit dari keluarganya, terutama dari pihak
ibunya yang menjadi ulama pesantren sekaligus menjadi gurunya seperti KH.
Hasan Basri (Kiarakonéng Suci, Garut) dan Kyai Muhammad (Cibunut,
Garut). Mustapa dididik dalam keluarga muslim yang taat. Orangtuanya
mengajarkan membaca Al-Qur’an, sebuah bentuk pendidikan Islam yang
paling sederhana. Ia kemudian dilepas belajar ke pesantren pada usia
enam tahun. Lalu berlanjut setelah kepulangan hajinya yang pertama
(1860-1862) saat ia berusia 10-17 tahun.
1
Jajang.A.Rohmana, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman Didaktis Haji Hasan
Mustapa 1852-1930, Jumantara Vol. 4 No.2 Tahun 2013, Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati., Hlm. 52
1
dan Bandung (1895-1918) menjadikannya sebagai salah satu informan
pribumi yang membuka informasi bagi Snouck untuk masuk ke sisi terdalam
Islam dan muslim di Hindia Belanda.
2
produktif semasa hidupnya. Meski menjadi seorang yang masyhur, beliau
tidak lupa dengan jati dirinya. Beliau selalu ingat bahwa beliau merupakan
seorang Sunda. Koneksinya yang luas menjadikan beliau memiliki
pengetahuan kebudayaan yang luas. Selain itu, beliau juga memiliki
pengetahuan Islam yang mendalam tentunya.3
B. Rumusan Masalah
3
Jajang.A.Rohmana, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman Didaktis Haji Hasan
Mustapa 1852-1930, Jumantara Vol. 4 No.2 Tahun 2013, Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati., Hlm. 54
3
terhadap karya-karya yang membahas mengenai pemikiran Haji Hasan
Mustapa ini. Dalam kajian pustaka ini, penulis melakukan kajian terhadap
dua karya penelitian, yaitu sebagai berikut.
1. Penelitian tentang Haji Hasan Mustapa sudah dilakukan oleh Wiwi Siti
Sajaroh dalam Penelitiannya, dengan judul "Martabat Tujuh Hasan
Mustopa", sebuah penelitian tentang Haji Hasan Mustopa yang
mencoba membumikan konsep Martabat Tujuh dengan pemahaman
yang lebih sederahana, supaya mudah dimengerti oleh masyarakat
awam. Wiwi Siti Sajaroh membahas mengenai Hasan Mustapa
menggunakan puisi yang mengandung nada dan berbahasa sunda
(guritan), agar enak didengar, mudah diingat, dan mudah dipahami.
Dalam latar belakang dijelaskan oleh Wiwi Siti Sajaroh asalan kenapa
skripsi ini hanya terfokus Martabat Tujuh karena Haji Hasan Mustapa
salah seorang tokoh Tasawuf yang berasal dari kalangan elite pribumi,
dari keluarga camat perkebunan di Cikajang, Garut. Ia mempunyai dua
kekuatan yang melekat pada dirinya, yaitu sebagai seorang “menak“
sunda dan sebagai seorang santri. Dua factor ini merupakan dua hal
yang berbeda, bahkan dalam konteks kesundaan, terjadi “kesenjangan”
antara kaum ménak dan ulama atau santri dari kalangan pesantren, yang
dihasilkan dari kebijakan colonial. Haji Hasan Mustopa mewakili sosok
ménak yang sangat kuat bergumul dengan aktifitas sastra dan budaya
Sunda. Sementara factor lain yang dimiliki oleh Haji Hasan Mustopa
sebagai seorang santri dianmggap mampu mengembangkan tradisi lokal
pesantren yang didominasi oleh tradisi Islam. Maka, skripsi ini terfokus
pada peran dari KH. Hasan Musthafa dalam melepaskan kesenjangan
sosial antara masyarakat elite dan pribumi.
2. Mengulas buku “Empat Pengarang Sunda Lama” karya Edi S. Ekajati,
A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggavisastra dan Aam
Masduki. Buku ini diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 1994/1995. Seperti judulnya, buku ini
4
menggambarkan empat penulis Sunda termasuk Raden Haji
Muhammad Musa, Raden Kanduruan Kertinagara, Raden Adapati
Ariya Martanagara dan Haji Hasan Mustapa. Buku ini bukan tentang
Haji Hasan Mustapa saja, akan tetapi memuat pembahasan yang cukup
lengkap tentang Haji Hasan Mustapa. Yang dimana isinya
membicarakan tentang kisah hidup Haji Hasan Mustapa dan karya
tulisan, Haji Hasan Mustapa. Ada juga diskusi ringkasan beberapa
karya.
E. Metode Penelitian
5
untuk mendapatkan berbagai data atau matei sejrah, atau evidensi sejarah.
Pada tahap ini sumber-sumber yang akan diteliti, baik yang terdapat di
lapangan atau lokasi penelitian, penemuan benda ataupun sumber lisan.7
Selain itu, sumber lisan berupa pelaku atau saksi sulit penulis
dapatkan juga mengingat rentang waktu dalam penelitian ini yang cukup
jauh, yaitu dari 1852- 1930. Dalam penelitian ini, penulis banyak
menggunakan sumber sekunder yang membahas mengenai Haji Hasan
Mustapa dan pemikirannya. Adapun, sumber sekunder yang penulis
gunakan adalah sebagai berikut.
7
Sulasman. Metodologi Penelitian Sejarah. (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 93.
6
Vol. 4 No.2 Tahun 2013, Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati.
b. Wiwi Siti Sajaroh. Laporan Penelitian : “Konsep Martabat Tujuh
Haji Hasan Musthafa.” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013).
c. Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930,
Studia Islamika Vol. 25 No. 2 Tahun 2018.
d. Didin, Moh. Saepudin. Jejak-Jejak Pesan Toleransi Beragama
dalam Petikan Ayat Al-Qur’an Katut Adab Padikana Karya Haji
Hasan Mustapa. Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Tahun 2020
e. Edi S. Ekadjati, dkk. “Empat Sastrawan Sunda Lama.” (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994).
f. Jajang A. Rohmana. “Pembacaan Dangding Haji Hasan Mustapa
Terhadap Sastra Sufistik Sunda di Era Budaya Populer.” Jurnal
Islamica, Vol. 8, No. 1, 2013.
g. Safei, A. A., & Semesta, K. S. K. Menatap Wajah Islam dari
Jendela Sunda. In makalah Annual Conference on Islamic Studies
(ACIS ke 10). 2010, .di Banjarmasin.
2. Kritik
8
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar (Jakarta: Prenada Media
Group, 2014), hlm. 224
7
sumber itu merupakan sumber yang kita butuhkan? Pertanyaan kedua,
apakah itu merupakan sumber asli atau salinan? Pertanyaan ketiga,
apakah sumber itu masih utuh atau sudah mengalami perubahan? Adapun
kritik intern terhadap sumber sejarah biasa disebut juga dengan pengujian
kredibilitas sumber. Maksudnya, apakah sumber itu dapat dipercaya atau
tidak.
8
kilat yang tanpa itu bahan bakar tidak akan terbakar. Sejarah
dunia hanyalah biografi manusia besar. Sejarah alam, sejarah apa
yang telah dilakukan manusia di dunia ini, pada dasarnya adalah
sejarah manusia besar yang telah bekerja di sini. Ada dua hal
yang menyebabkan seseorang menjadi manusia besar yaitu
kekuatan intelektual untuk memahami realitas dan kemampuan
bertindak yang tepat. Seorang manusia besar yang mengubah
sejarah memang bukan hanya seorang filsuf, yang bergulat dalam
konsep dan gagasan besar. Ia harus dapat menangkap realitas10.
10
Ajid Thohir dan Ahmad Sahidin, Filsafat Sejarah (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), hlm. 83
11
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 148
9
mengenai biografi dan karya-karya dari Haji Hasan Mustapa. Bab III
membahas mengenai pemikiran Haji Hasan Mustapa dan pengaruh
pemikirannya. Adapun Bab IV adalah bagian dari kesimpulan.
10
BAB II
BIOGRAFI DAN KARYA HAJI HASAN MUSTHAFA
Hasan Mustapa dilahirkan dari seorang Ibu yang bernama Nyi Mas
Salpah (Emeh), putri dari Mas Ngabehi Kartapraja, yang juga pernah menjadi
camat Cikajang. Dari garis ibu mengalir darah keturunan menak Suci
(Godog) Garut. Beliau bernama Mas Sastramanggala, pernah menjadi Camat
Cikajang. Dan Ayahnya memiliki darah keturunan Bupati Parakan muncang
IV Tumenggung Wiratanubaya. Walaupun ayahnya menduduki jabatan di
lingkungan pamongpraja, nemun lingkungan keluarganya lebih menonjol
suasana religious. Menurut Wangsaatmadja, sekretaris selama beberapa tahun
masa akhir hidup Haji Hasan Mustapa, dari garis ayahnya Haji Hasan
Mustapa merupakan keturunan bangsawan dan garis ibunya keturunan
kiai/ajengan/tokoh agama ternama12.
Haji Hasan Mustapa dilahirkan pada hari Rabu tanggal 3 Juni 1852 M
atau 15 Syaban 1268 H di Cikajang, Garut, Jawa Barat. Beliau merupakan
salah satu tokoh tasawuf yang berasal dari kalangan elit pribumi, keluarga
camat perkebunan Cikajang. Beliau juga pernah menjabar sebagai penghulu
di Aceh dan Bandung13. Selain dikenal sebagai seorang elit, beliau juga
dikenal sebagai seorang yang berasal dari keluarga pesantren dan keluarga
yang akrab dengan budaya Sunda. Tidak sedikit dari keluarganya, terutama
dari pihak ibu yang menjadi ulama dan menjadi gurunya seperti Kiai Haji
Hasan Basri (Kiarakoneng, Garut) dan Kiai Muhammad (Cibunut, Garut).
12
Edi S. Ekadjati, dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama,: (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 25
13
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 34
11
Selain itu, banyak juga dari keluarganya yang menjadi pujangga Sunda,
panayangan, dan pecinta lagu14.
14
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 37
15
Edi S. Ekadjati, dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama,: (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 26
16
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 34
17
Edi S. Ekadjati, dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama,: (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 27
12
Sepulang dari Mekah, beliau bekerja sebagai seorang guru agama di
Garut pada 1886. Beliau diminta menjadi guru agama oleh Penghulu Besar
Rd. Haji Muhamad Musa. Selain menjadi guru agama, Haji Hasan Mustapa
juga sering mendampingi Snouck Hurgronje dalam perjalanan keliling Pulau
Jawa dan Madura. Atas usul Hurgronje, Haji Hasan Mustapa diangkat sebagai
penghulu besar di Aceh. Awalnya beliau selalu menolak untuk bekerja di
lingkungan pemerintah. Namun, pada 1893 akhirnya beliau menerima
pekerjaan sebagai penghulu besar di Aceh. Pada 1895, beliau pulang ke
Priangan dan menjabat sebagai penghulu besar di Kabupaten Bandung.
Beliau menjabat sebagai penghulu besar di Bandung selama 23 tahun (1895-
1918). Pada usia 33 tahun, beliau kemudian diberhentikan dengan hormat atas
permintaan sendiri. Setelah berhenti, beliau menjalani masa pension sampai
akhir hidupnya.18 Hasan Mustapa juga merupakan seorang kyai yang diangkat
menjadi Panghulu Besar (Hoofdpenghoeloe) di Banda Aceh kemudian di
Bandung hingga akhirnya beliau pensiun. Pada sekitar 1890 ia banyak
menulis guguritan (macapat), schingga jumlah keseluruhan karyanya konon
ada 20.000 bait, tetapi yang sudah di temukan hanya 10.815 bait. Dia
menyebarkan karya tulisannya itu melalui saluran tradisional pesantrem, yaitu
saling menyalin. Hanya sedikit sekali pencapaian yang dicetak atau
diterbitkan sebagai buku. 19
Haji Hasan Mustapa wafat pada hari senin tanggal 13 Januani 1930,
pada usia 78 tahun menurut hitungan masehi. Sedangkan menurut hitungn
hijriah, beliau hidup selama 80 tahun (1268-1348). Beliau dikebumikan di
Karang Anyar, Bandung.
18
Edi S. Ekadjati, dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama,: (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 29-30
19
Seri Sundalana 4, Islam dalam Kesenian Sunda dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda,
(Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2005), Hlm. 17
13
B. Karya-Karya Haji Hasan Mustapa
14
Tandaning sirrun illahi Tandaning sirrun rahmani
1. Keislaman
- Bale Bandung
- Pucung Luntung Buntung Naek Kana Pager Gintung (Martabat
Tujuh)
- Kinanti Ngahurung Balung
- Tadina Aing Pidohir
- 144 Patokan Jeung Jawabna
- Aji Wiwitan Aji Saka I-II
- Aji Wiwitan Verslag II
- Aji Wiwiran Verslag III
2. Budaya
- Bab Adat-Adat Urang Priangan Jeung Urang Sunda Lian ti Eta
- Buku Leutik Jadi Pertelaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan
20
Ajip, Rosidi. Haj Hasan Mustapa jeung karta-karyana. Penerbit Pustaka Bandung, 1989. Hlm.
42.
15
BAB III
PERKEMBANGAN DAN PENGARUH PEMIKIRAN HAJI HASAN
MUSTHAFA
21
Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia Islamika Vol. 25 No. 2
Tahun 2018, Hlm. 407
22
Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia Islamika Vol. 25 No. 2
Tahun 2018, Hlm. 408
16
kerap diibaratkan seperti gula jeung peueutna (gula dengan manisnya atau
sesuatu yang tak dapat dipisahkan).23
Karena, dalam kenyataannya Islam di Tatar Sunda seiring sejalan
dengan local genius masyarakat Sunda itu sendiri. Islam lebih mudah
berinteraksi dengan sistem dan nilai yang berlaku pada saat itu. Di sinilah
titik pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Sunda dapat lebih dimaknai.
Berkaca pada kearifan masa lampau juga pada kearifan lokal tentu akan
menjadi modal yang berharga pada masa kini. Perintah untuk membaca kisah
(mitos) dalan masa lalu, sedari jauh hari sudah dipesankan oleh Al-Quran
[QS. Yusuf: 111]:
"Sungguh, pada kisah kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang yang mempunyai akal. (Al-Quran) itu bukanlah kitab cerita
yang dibuat-buat, tetapi memberiarkan kitab-kitab sebelumnya,
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
orang yang beriman.” (QS. 12:111)
Demikian pula pada teks budaya (mitos) Sunda, hendaknya tidak
bertindak abai dan melemparnya jauh-jauh dari ruang pembacaan. Sebab, di
balik teks budaya tersebut terdapat lautan kearifan yang ternyata akan sangat
berguna sebagai modal hidup hari ini, tentunya jika mau membuka dan
membacanya.
Pandangannya pada awalnya cenderung legalistik-formal, akibat dari
terlalu besarnya muatan fiqh di dalamnya. Ia sama sekali tidak tertarik
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan spiritualisme. Namun pada
perkembangan selanjutnya, sikapnya ini berubah seratus delapan puluh
derajat. Ia tinggalkan dunia lahiriah yang ia anggap tidak bisa memberi apa-
apa baginya. Sekitar umur lima puluhan, ia menyimpulkan bahwa lahir
maupun batin merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisahkan satu
23
Safei, A. A., & Semesta, K. S. K. Menatap Wajah Islam dari Jendela Sunda. In makalah Annual
Conference on Islamic Studies (ACIS ke 10). 2010., Hlm. 53
17
dari lainnya. Ia akhirnya menjadi seorang sufi. Dalam salah satu baitnya ia
menulis:24
Kudu lawung pada lawung, sadjadjaran pantjakaki, gumelar lebah
alamna, madju teuing mundur teuing, matak sarosopan rasa, pinggan
dientep djeung piring.
Harus sama seimbang, bagai sejajarnya mata kaki, wujud dalam
alamnya, maju tidak mundur tidak, nanti merusak rasa, bagai pinggan
bersanding dengan piring. Bagi Mustafa tasawuf tidak hanya jalan menuju
Tuhan. Lebih dari itu, ia memahami tasawuf sebagai filsafat suci (the sacred
philosophy) dan pandangan dunia (worldview). Pemikiran sufismenya
terangkum dalam beberapa karyanya. Karyanya yang paling utama yang
membahas bidang ini adalah Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut
Wirahmana dan Adji Wiwitan Martabat Tudjuh. Yang pertama, Gendingan,
merupakan hasil dari kontemplasi spiritualnya, setelah ia mendapat
pencerahan untuk memilih dunia sufisme.
Satu hal yang patut dicatat dalam sistematika pemikiran Mustafa
adalah penjelasannya yang menggunakan simbol-simbol budaya setempat.
Tokoh-tokoh mitos Sunda seperti Nyi Pohaci Sanjang Sari, Mundinglaya
Dikusuma, dan Dayang Sumbi, Sangkuriang, Boweh Rarang, dan lain
sebagainya, mendapat pemaknaan baru di tangan Mustafa.
Bagi sebagian orang hal ini tentu sangat aneh dan tidak bisa diterima.
Hal ini pada gilirannya menimbulkan kesalahpahaman di kalangan
masyarakat. Banyak orang menganggap bahwa apa yang dilakukan Mustafa
adalah mencampuradukkan antara ortodoksi tasawuf Islam dengan
spiritualisme Sunda. Keadaan ini diperparah lagi, karena setelah ia
mendalami tasawuf, ia mulai menunjukkan tindakan dan ungkapan aneh
(idiosyncrasy) yang sulit dipahami oleh orang biasa. Pada saat itulah orang
24
Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia Islamika Vol. 25 No. 2
Tahun 2018, Hlm. 408
18
mulai menganggapnya sebagai tokoh kontroversial yang mengundang
berbagai macam reaksi dan kritik yang tajam dari masyarakat.25
2. Perkembangan Pemikiran Haji Hasan Mustapa tentang Budaya
Haji Hasan Mustopa mempunyai kemampuan dalam bidang budaya
Sunda yang kemudian Snouck menariknya kedalam birokrasi Belanda. Hal
ini dilatarbelakangi oleh ambisi yang kuat dari Snouck tentang hukum adat.
Didalam diri Haji Hasan Mustopa mempunyai dua kekuatan yang melekat
pada dirinya, yaitu sebagai seorang “menak” sunda dan sebagai seorang
santri. Dari kedua faktor tersebut merupakan dua hal yang berbeda termasuk
dalam konteks kesundaan, adanya kesenjangan antara kaum menak dan ulama
atau santri dari kalangan pesantren, yang dihasilkan dari kebijakan colonial.
Hal ini secara menyebabkan secara berdampak pada perbedaan orientasi
budaya. Haji Hasan Mustopa sebagai salah satu orang yang mewakili sosok
menak yang mengikuti sebuah aktifitas budaya yaitu di bidang sastra dan
budaya sunda, selain itu beliau pun sebagai seorang santri yang dianggap
mampu mengembangkan tradisi lokal pesantren yang didominasi oleh tradisi
Islam.26
Haji Hasan Mustopa merupakan seorang yang berasal dari keluarga
pesantren sekaligus yang akrab dengan seni budaya sunda. Pada masa
remajanya, Haji Hasan Mustopa dikenal sebagai seorang yang memiliki
kepribadian bisa dibilang nakal dan sering mengikuti dalam pertunjukan tari
Ronggeng. Beliau mempunyai pemikiran bahwa masyarakat sunda memiliki
akar budaya dalam toleransi beragama, hal tersebut memahami dalam
toleransi keberagamanaan dengan karya Al-Qur’an katut Adab Padikana.
Ungkapan make basa lillahi ta 'ala, hartina lampah sukana sorangan,
lain hayang diburuhan, menunjukkan bahwa manusia beragama atas dasar
akal pikiran dan keyakinan dirinya, bukan atas dasar paksaan, karena
perbuatan yang dilakukan untuk jiwanya sendiri (sukma), adanya agama
25
Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia Islamika Vol. 25 No. 2
Tahun 2018, Hlm. 409-410
26
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 34
19
adalah kebaikan untuk ruhnya, bukan untuk orang lain ataupun untuk dibayar.
Ungkapan tersebut dapat dipahami oleh alam pikiran masyarakat Sunda pada
waktu itu, sehingga nilai-nilai Islam tidak tereduksi oleh penafsiran yang
dikemukakan oleh Haji Hasan Mustopa. Adanya kesamaan antara budaya dan
Islam, terkadang untuk menunjukkan kesamaan dengan budaya Haji Hasan
Mustopa selalu mengungkapkan mengenai agama atau orang bijak dahulu,
dengan ungkapan boedjanga bidjaksana djeung pandita, pertjoka Djawa
Koena, Sonda Baheula. Hal ini ditujukan bahwa Islam yang dibawa tidak ada
perbedaan karena istilah pandita ialah gelar yang diberikan kepada orang
yang mengajarkan mengenai agama budha, sebagai panutan dan contoh atau
disebut dengan brahmana. Ungkapan perjoka Djawa Koena dan Sonda
Baheula, menunjukkan sebuah kesalarasan dan hormonisasi yang diungkapan
oleh Haji Hasan Mustopa terhadap Islam yang tidak membedakan bahkan
membenturkan streotif sebagian masyarakat Sunda dengan suku Jawa, namun
memberikan ada satu kesamaan dengan suku Sunda dulu.27
Penafsiran yang dilakukan Haji Hasan Mustopa terhadap toleransi
beragama dipengaruhi dari sosio-historis Haji Hasan Mustopa sendiri dan
lingkungannya. Pendidikan yang ditempuh Haji Hasan Mustopa lebih
dipengaruhi kepada tasawuf. Terdapat keterkaiatan erat dengan kondisi
sosiologis Haji Hasan Mustopa dilahirkan. Dapat dikatakan bahwa Haji
Hasan Mustopa dilahirkan di dalam perkembangan Islam pedalaman, yakni di
Garut, yang merupakan bagian Priangan. Penekanan ajaran tasawuf dan
akulturasi budaya kental pada masa itu, dibuktikan dengan makam tokoh
penyebar Islam yang bercorak sufistik. Pada masa kolonial Garut dijuluki
dengan ‚Swiss van Java‛ hal ini disebabkan karena keindahannya, selain itu
sekitar abad ke-19 dibuka daerah perkebunan seperti teh, karet, kopo dan
Kina. Maka dari itu, Toleransi keberagamaan masyarakat Sunda dari proses
awal Islamisasi hingga sekarang masih kental dengan akomodasi antara
budaya dan Islam. Pada pandangan Haji Hasan Mustopa sendiri menunjukkan
27
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 35.
20
akomodatif yakni pemahaman Islam pedalaman. Ia pun menyatakan bahwa
Sunda telah Islam sebelum kedatangan Islam itu sendiri. Ini menunjukkan
bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Budaya Sunda. Sehingga Haji
Hasan Mustopa dalam penafsirannya mengenai toleransi, didasarkan atas
pemahaman keagamaan, dan kondisi masyarakat pada waktu itu 28
Pada sisi lain kesusastraan Mustafa adalah bentuk perlawanan
terhadap dominasi budaya Jawa. Masyarakat Sunda ketika itu dalam proses
pencarian identitas. Pada abad ke-17 Kerajaan Mataram melakukan ekspansi
politik ke daerah Priangan. Satu persatu pusat-pusat kekuasaan politik di
Priangan jatuh. Sebagai akibat dari ekspansi ini terjadi proses jawanisasi pada
budaya Sunda. Bahasa resmi yang digunakan kaum bangsawan adalah Jawa,
atau bahasa Sunda mereka mengalami jawanisasi, sedangkan bahasa Sunda
mengalami marjinalisasi. Keberadaan mereka sebagai sebuah etnis seringkali
dianggap sebagai bagian dari orang Jawa. Dalam bukunya mengenai adat
merupakan karya etnografis yang paling baik mengenai adat dan budaya
Sunda. Disana Mustafa menjelaskan bahwa Sunda adalah komunitas
tersendiri, yang berbeda dengan Jawa. Orang Sunda sendiri disebut Sunda
karena cindek, yang berarti kawasan kecil yang terhimpit oleh dua
kebudayaan besar, Jawa di sebelah timur, dan Melayu di sebelah barat. Bila
mereka tidak pandai menjaga identitas dirinya, bukan tidak mungkin
budayanya akan tergilas oleh kedua budaya besar tadi.29
Kurang aktifnya pesantren dalam kegiatan budaya Sunda lebih
didasarkan pada adanyaprasangka tertentu terhadap aktivitas di luar
keagamaan, sebagaimana kaum ménak yang juga penuh prasangka terhadap
kalangan pesantren yang dianggapnya membawa kemunduran. Haji Hasan
Mustapa sebagai orang yang pernah masantren dan memilih karir menjadi
kaum menak, meski tidak berbasis di pesantren, melalui naskah ini
menunjukkan bahwa alam pesantren tidak pernah beranjak dari pemikirannya.
28
Dindin Moh Saepudin, Jejak-Jejak Pesan Toleransi Beragama Dalam Petikan Ayat Al-Qur’an
Katut Adab Padikana Karya Haji Hasan Mustopa,( Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan
Tafsir 5, 2(2020): 128-138), hlm. 133.
29
Yudi Latif, dkk, Studi Islamika, (Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2, 2018), hlm. 417.
21
Sebagai ulama birokrat yang memiliki akar subkultur yang sama dengan
kalangan pesantren, Mustapa cenderung memiliki pandangan positif terhadap
latar kepesantrenannya yang berhasil ia ungkapkan melalui sastra lokal
Sunda.30
B. Pengaruh Pemikiran Haji Hasan Mustapa
1. Pengaruh pemikiran Haji Hasan Mustapa mengenai Tasawuf
Salah satu keistimewaan Haji Hasan Mustapa dalam mengajarkan
Tasawufnya yaitu ajaran islam melalui karya-karya seninya yang sangat
berlainan dengan karya-karya seni Sunda pada masa itu. Sekitar tahun 1900 ia
menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi
oleh para pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya membahas
masalah suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan
Tuhan (Gusti). Diantara karya-karyanya yang besar itu, beliau menjelaskan
tentang konsep Martabat Tujuh.
Teori martabat tujuh ini adalah bentuk lain dari faham wahdat al-
wujud yang merupakan corak tasawuf pertama yang banyak dianut dan
berkembang di Nusantara sekitar abad XVII M. Oleh karena itu, martabat
tujuh juga dapat diartikan sebagai salah satu wujud dengan tujuh martabatnya.
Salah satu yang menjadi tonggak dalam ajaran tasawuf Haji Hasan Mustapa
ini yaitu ajaran Ma’rifat. Menurut Haji Hasan Mustapa ajaran ma’rifat
merupakan hal yang wajib dipelajari dan diketahui oleh semua umat manusia
yang sudah mukallaf dan baligh. Dengan adanya ma’rifat, kita bisa
ditempatkan pada tempat yang layak dan pantas. Tidak sedikit masyarakat
berpandangan buruk terhadap ajaran martabat tujuh ini seperti halnya yang
disampaikan pada pengalaman pendahulu Hamzah Fansuri mengenai ajaran
martabat tujuh ini tidak mudah untuk dipahami oleh orang-orang yang awam.
Sehingga munculnya tuduhan-tuduhan yang negatif terhadap ajaran martabat
tujuh ini.31
30
Rohmana, Jajang A, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman Didaktis Kepesantrenan
Haji Hasan Mustapa (1852-1930), (Bandung: Jumantara Vol. 4 No.2 Tahun 2013), hlm. 47.
31
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 41.
22
Bagi Mustafa tasawuf tidak hanya jalan menuju Tuhan. Lebih dari itu,
ia memahami tasawuf sebagai filsafat suci (the sacred philosophy) dan
pandangan dunia (worldview). Pemikiran sufimismenya terangkum dalam
beberapa karyanya. Namun karyanya yang paling utama yang membahas
bidang ini adalah Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Wirahmana dan
Adji Wiwitan Martabat Tudjuh. Yang pertama, Gendingan, merupakan hasil
dari kontemplasi spiritualnya, setelah ia mendapat pencerahan untuk memilih
dunia suësme. Dilihat dari judulnya, ia seakan bernyanyi riang, meluapkan
kegembiraan karena telah bertemu dengan Kekasihnya. Sedangkan yang
kedua membahas secara khusus teori martabat tujuh, sebuah teori hirarki
wujud yang banyak mempengaruhi para suë Islam. Bagi sebagian orang hal
ini tentu sangat aneh dan tidak bisa diterima. Hal ini pada gilirannya
menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat. Banyak orang
menganggap bahwa apa yang dilakukan Mustafa adalah mencampuradukkan
antara ortodoksi tasawuf Islam dengan spiritualisme Sunda. Keadaan ini
diperparah lagi, karena setelah ia mendalami tasawuf, ia mulai menunjukkan
tindakan dan ungkapan aneh (idiosyncrasy) yang sulit dipahami oleh orang
biasa. Pada saat itulah orang mulai menganggapnya sebagai tokoh
kontroversial yang mengundang berbagai macam reaksi dan kritik yang tajam
dari masyarakat.32
Kontroversi sekitar Mustafa membuat dirinya tidak populer. Namanya
jarang atau mungkin tidak pernah disebut, baik dalam buku, majalah, atau
cetakan lainnya. Ini sebenarnya ironis, karena ia adalah sastrawan suë yang
paling terkemuka dari Tanah Priangan. Tak ada sastrawan Sunda lainnya
yang dapat menandingi kepiawaiannya. Ia telah menulis lebih dari 20.000 bait
puisi (dalam bahasa Sunda disebut dangding), dan mengarang puluhan buku,
yang membahas berbagai macam masalah di bidang tasawuf, ëlsafat, tafsir,
adat istiadat, sastra, bahasa, budaya, sejarah, dan mitologi.33
32
Yudi Latif, dkk, Studi Islamika, (Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2, 2018), hlm. 410
33
Yudi Latif, dkk, Studi Islamika, (Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2, 2018), hlm. 411
23
Haji Hasan Mustapa milih untuk tidak terkenal di kalangan
masyarakat, ia pun tidak menerbitkan karya-karyanya. Bahkan, ia cenderung
agar karyanya tidak diketahui oleh masyarakat umum. Karyanya yang
diterbitkan kebanyakan yang berhubungan dengan adat istiadat Sunda. Itu
pun atas bantuan pemerintah Belanda. Tanpa bantuan Belanda, karya tersebut
mungkin tidak akan pernah terbit. Karya-karyanya di bidang tasawufnya tidak
diterbitkan. Hal ini merupakan keputusan yang harus ia ambil sehubungan
dengan adanya tanggapan masyarakat yang buruk terhadapnya. Akibat
pandangannya yang kontroversial, ia dikucilkan masyarakat. Mereka
menganggap Mustafa memiliki pandangan yang mahiwal (kontroversial).
Pandangan ini selanjutnya menghambat popularitas Mustafa, baik ketika
masih hidup maupun sesudah kematiannya.34
2. Pengaruh pemikiran Haji Hasan Mustapa mengenai Budaya
Corak pemikiran Haji Hasan Mustapa, meskipun sangat kental
cakrawala Islamnya, pengaruh religi lokal terhadap pemikirannya nampak,
baik secara inplisit maupun eksplisit. Kultur religi masyarakat Sunda, seperti
juga kelompok masyarakat lainnya di Indonesia, sangat kuat memegang
tradisi warisan leluhurnya. Namun, pengaruh budaya lokal tersebut,
nampaknya digunakan Haji Hasan Mustapa sebagai medium (al-Wasilah)
dalam mengungkap pesan-pesan Islam, terutama bahasa Sunda dan beberapa
bahasa lainnya, seperti Melayu, Jawa dan Arab. Dangding, sinom dan pantun
di antara umumnya media yang digunakan Haji Hasan Mustapa dalam
mengungkapkan isi pikiran dan ruhaninya, sesuatu yang sangat jarang
disentuh kebanyakan orang Sunda yang cenderung mudah dipengaruhi
budaya-budaya baru. Namun demikian, kekuatan sufisme Haji Hasan
Mustapa masih tetap lestari menunggu kajian sirus dan disimpan di beberapa
perpustakaan di Barat, khususnya Leiden Belanda.35
Dangding lahir dalam tradisi aktual masyarakat Sunda yang masih
mengandalkan tradisi lisan dan tulisan (naskah) sekaligus menandai
34
Yudi Latif, dkk, Studi Islamika, (Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2, 2018), hlm. 412
35
Acep Aripudin, Haji Hasan Mustapa: Sufisme Lokal dalam Masyarakat Sunda, (urnal Lektur
Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015), hlm. 155.
24
pergeserannya ke dalam tradisi cetak (mekanik). Kedalaman permenungan
sangat ditekankan, karena perlu waktu untuk menghasilkan dan memahami
makna di dalamnya. Karenanya revitalisasi sastra dangding Mustapa
merupakan upaya sangat berat dilihat dari beberapa aspek tersebut. Sebuah
perjuangan ke arah revitalisasi khazanah budaya Sunda yang mengarah pada
pentingnya pertaruhan ideologi kesundaan.36
Dangding sufistik Mustapa lahir dalam suasana transisi di mana
budaya cetak mulai diperkenalkan Belanda pada awal abad ke-19 dan secara
perlahan menggeser budaya naskah. Dangding sebagai bagian dari tradisi
budaya bangsawan Sunda saat itu, secara berangsur-angsur kehilangan posisi
dominannya. Sajak bermatra semacam ini yang semula dianggit sambil
ditembangkan mulai tersisihkan ketika budaya cetak lahir. Mikihiro mencatat
apa yang ia sebut sebagai efek penyusunan kembali kesadaran (restructures
consciousness) yang jauh lebih dahsyat dari yang diperkirakan Belanda dan
dirasakan hingga saat ini.37
Bagi masyarakat Sunda, terutama mereka yang tinggal di pedesaan
sangat sulit membedakan mana unsur Islam dan mana unsur tradisi lokal.
Berpegang teguh pada dualitas unsur kepercayaan tersebut, ternyata sangat
fungsional dalam menjaga kosmologi kehidupan masyarakat Sunda.
Sinkretisme Islam dengan budaya lokal juga nampak sangat kentara dalam
pemikiran Haji Hasan Mustapa sebagaimana diungkap dalam tulisan-
tulisannya, seperti pada upacara kematian. Pembacaan tahlil (kalimat Lailaha
illallah) dan Qur’an pada saat ada orang yang meninggal bertujuan untuk
menolak bahaya (neukteuk leukeur). Bahkan, jika mampu, pengajian tersebut
berlangsung sampai tujuh hari dan diakhiri dengan sedekah banyak.
Religiusitas Islam dan kepercayaan lokal masyarakat Sunda, seperti
digambarkan Haji Hasan Mustapa mengindikasikan bahwa ia sangat objektif
melihat kenyataan dan fakta-fakta sosial keberagamaan orang Sunda yang
36
Rohmana, Jajang A, Pembacaan Dangding Haji Hasan Mustapa Terhadap Sastra Sufistik Sunda
di Era Budaya Popular, (Jurnal Islamica: Volume 8, Nomor 1, September 2013), hlm. 137.
37
Rohmana, Jajang A, Pembacaan Dangding Haji Hasan Mustapa Terhadap Sastra Sufistik Sunda
di Era Budaya Popular, (Jurnal Islamica: Volume 8, Nomor 1, September 2013), hlm. 136.
25
sesungguhnya. Fakta-fakta sosio-religius tersebut, juga bisa dijadikan pijakan
untuk menelusuri keberagamaan masyarakat Sunda yang hingga sekarang
masih lestari dipraktikan. Pengenalan dan penyebaran paham-paham agama
yang dikemukan Haji Hasan Mustapa, terutama pendekatan tasawuf juga bisa
dijadikan suatu model pendekatan dakwah Islam yang berpijak padan nilai-
nilai lokal budaya Sunda.38
Dalam tradisi sastra Sunda, sastra sufistik Sunda berkembang setelah
semakin menguatnya pengaruh Islam di tatar Sunda pasca jatuhnya Kerajaan Sunda
pada 1579. Islamisasi melalui jalur Cirebon dan Banten yang didukung Jawa-
Mataram berdampak pada masuknya pengaruh budaya Jawa terhadap tradisi sastra
Sunda. Sastra Sunda tradisional berbentuk dangding atau guguritan atau juga cerita
berupa wawacan semula merupakan karya sastra tulis Jawa-Mataram yang
berkembang sekitar abad ke-17. Dangding bisa dianggap menjadi ciri keterpelajaran
orang Sunda dalam menyerap pengaruh budaya Jawa. 39
38
Acep Aripudin, Haji Hasan Mustapa: Sufisme Lokal dalam Masyarakat Sunda, (urnal Lektur
Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015), hlm. 141.
39
Ajang A Rohmana, Tasawuf Sunda dan Warisan Islam Nusantara: Martabat Tujuh dalam
Dangding Haji Hasan Mustapa (1852-1930), (Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, 2014), hlm. 267.
26
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Haji Hasan Mustapa merupakan salah satu tokoh tasawuf yang berasal
dari kalangan elit pribumi, keluarga camat perkebunan Cikajang, beliau
lahr pada hari Rabu tanggal 3 Juni 1852 M atau 15 Syaban 1268 H di
Cikajang, Garut, Jawa Barat. Hasan Mustapa dilahirkan dari seorang
Ibu yang bernama Nyi Mas Salpah (Emeh) Dan Ayahnya memiliki
darah keturunan Bupati Parakan muncang IV Tumenggung
Wiratanubaya. Sejak kecil, beliau telah diperkenalkan dan dibimbing
untuk melaksanakan ajaran Islam. Beliau dididik berdasarkan norma
dan nilai social budaya lingkungan masyarakatnya serta tuntunan agama
Islam. Beliau pertama kali pergi ke Mekah bersama sang ayah pada usia
8 tahun. Kemudian beliau bermukim di sana untuk mempelajari ilmu
agama. Sepulang dari Mekah, beliau bekerja sebagai seorang guru
agama di Garut pada 1886. Pada sekitar 1890 ia banyak menulis
guguritan (macapat), schingga jumlah keseluruhan karyanya konon ada
20.000 bait, tetapi yang sudah di temukan hanya 10.815 bait. Dia
menyebarkan karya tulisannya itu melalui saluran tradisional pesantren,
yaitu saling menyalin. Hanya sedikit sekali pencapaian yang dicetak
atau diterbitkan sebagai buku.
2. Haji Hasan Mustafa adalah sosok penting yang mengungkap kekayaan
khazanah keislaman Sunda. Yang paling menarik dari pemikiran Hasan
Mustafa, Kesufiannya yang mempengaruhi minatnya di bidang sastra.
Mustafa berupaya membangun khazanah Islam Sunda dengan
menghubungkan tradisi Islam yang utama karena dia pernah
menghabiskan bertahun-tahun belajar Islam di Mekkah.Haji Hasan
Mustopa merupakan seorang yang berasal dari keluarga pesantren
sekaligus yang akrab dengan seni budaya sunda. Bagi Mustafa tasawuf
27
tidak hanya jalan menuju Tuhan. Lebih dari itu, ia memahami tasawuf
sebagai filsafat suci (the sacred philosophy) dan pandangan dunia
(worldview). Sinkretisme Islam dengan budaya lokal juga nampak
sangat kentara dalam pemikiran Haji Hasan Mustapa sebagaimana
diungkap dalam tulisan-tulisannya, seperti pada upacara kematian.
Pembacaan tahlil (kalimat Lailaha illallah) dan Qur’an pada saat ada
orang yang meninggal bertujuan untuk menolak bahaya (neukteuk
leukeur). Bahkan, jika mampu, pengajian tersebut berlangsung sampai
tujuh hari dan diakhiri dengan sedekah banyak.
28
DAFTAR PUSTAKA
Acep Aripudin, 2015, Haji Hasan Mustapa: Sufisme Lokal dalam Masyarakat
Sunda, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1.
Ajid Thohir dan Ahmad Sahidin, , 2019, Filsafat Sejarah, Jakarta:
Prenadamedia Group.
Ajip, Rosidi, 1989, Haji Hasan Mustapa jeung karta-karyana, Penerbit
Pustaka Bandung.
Dindin Moh Saepudin, 2020, Jejak-Jejak Pesan Toleransi Beragama Dalam
Petikan Ayat Al-Qur’an Katut Adab Padikana Karya Haji Hasan Mustopa,
( Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 2: 128-138).
Edi S. Ekadjati, dkk, 1995, Empat Sastrawan Sunda Lama, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Jajang A Rohmana, 2013, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman
Didaktis Haji Hasan Mustapa 1852-1930, Univesitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati.
Jajang A Rohmana, 2013, Pembacaan Dangding Haji Hasan Mustapa
Terhadap Sastra Sufistik Sunda di Era Budaya Popular, Jurnal Islamica:
Volume 8, Nomor 1.
Jajang A Rohmana, 2014, Tasawuf Sunda dan Warisan Islam Nusantara:
Martabat Tujuh dalam Dangding Haji Hasan Mustapa (1852-1930), Jurnal
Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2.
Jajang Jahroni, 2018, Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia
Islamika Vol. 25 No. 2.
Kuntowijoyo, , 2001, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang.
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, 2014, Ilmu Sejarah: Sebuah
Pengantar, Jakarta: Prenada Media Group.
Safei, A. A., & Semesta, 2010, K. S. K. Menatap Wajah Islam dari Jendela
Sunda. In makalah Annual Conference on Islamic Studies (ACIS ke 10).
Seri Sundalana 4, 2005, Islam dalam Kesenian Sunda dan Kajian lainnya
mengenai Budaya Sunda, Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Sulasman, , 2014, Metodologi Penelitian Sejarah, Bandung: Pustaka Setia.
Yudi Latif, dkk, 2018, Studi Islamika, Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2.
Wiwi Siti Sajaroh, 2013, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji
Hasan Mustapa, Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah.
29