Anda di halaman 1dari 33

PERKEMBANGAN DAN PENGARUH PEMIKIRAN HAJI HASAN

MUSTAPA

MAKALAH

Diajukan Pada Mata Kuliah Sejarah Sosial & Intelektual Islam Indonesia II
Pembimbing : Agus Permana, M.Ag

Disusun oleh :
Muhammad Maulan Yusuf Sabri Gandanegara NIM : 1175010098

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2021 M/1442 H
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
‫بسم هللا ارحمن الرحيم‬
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan segala nikmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam semoga
tercurahlimpah kepada Nabi Muhammad SAW berserta para keluarga dan
sahabat-sahabatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan Makalah ini penulis banyak mendapat bimbingan,
bantan, serta saran dari berbagai pihak baik dalam bentuk moril maupun materil.
Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih sehingga penulisan laporan penelitian
proposal dapat terselesaikan, yang berjudul Perkembangan dan Pengaruh
Pemikiran Kyai Haji Mustopa. Tak lupa juga, penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya telah memberikan dukungan, kepada:
1. Bapak Setia Gumilar selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora
UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
2. Bapak Dr. Samsudin, M.Ag. dan ibu Dr. Widiati Isana, M.Ag.
selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Sejarah Peradaban Islam
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
3. Bapak Agus Permana, M.Ag yang telah memberikan tugas ini.
Dengan adanya tugas ini, penulis dilatih untuk lebih memahami
mengenai biografi dan pemikiran Haji Hasan Mustapa. Selain itu,
dengan adanya pembuatan makalah ini, bisa menjadi kesempatan
latihan penulis untuk meningkatkan keahlian penulis saat
pembuatan karya ilmiah ataupun skripsi.
4. Orang tua yang selalu memberikan dukungan dan semangatnya
yang paling mendorong dimulai dari pertama masuk kuliah sampai
dengan sekarang tanpa henti memberikan do’anya.
5. Teman-teman seperjuangan yang memberikan semangat yang
membara dalam memerjuangkan masa depan secara dramatis
dalam penulisan penelitian ini.

i
Teriring dengan do’a yang tulus semoga amal baik yang telah diberikan
mendapatkan ridho dari Allah SWT. Dengan penyusunan laporan penelitian ini
penulis telah berusaha menyelesaikan langkah awal ini sesuai dengan yang
diharapkan. Penulis menyadari masih banyak kekurangan. Oleh karena itu penulis
sangat menantikan masukan dan koreksi yang membangun sangat diperlukan
untuk hasil yang baik. Semoga apa yang kita cita-citakan bersama dapat
dikabulkan oleh Allah SWT.

Sumedang, 29 Oktober 2021


Penulis,

Muhammad Maulana Yusuf


Sabri Gandanegara
NIM: 1175010098

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

A. Latar Belakang..............................................................................................1

B. Rumusan Masalah.........................................................................................3

C. Tujuan...........................................................................................................3

D. Kajian Pustaka...............................................................................................3

E. Metode Penelitian.........................................................................................4

1. Heuristik....................................................................................................5

2. Kritik.........................................................................................................7

3. Interpretasi.................................................................................................7

4. Historiografi..............................................................................................8

BAB II BIOGRAFI DAN KARYA HAJI HASAN MUSTHAFA...................10

A. Biografi Haji Hasan Mustapa..................................................................10

B. Karya-Karya Haji Hasan Mustapa.........................................................12

BAB III PERKEMBANGAN DAN PENGARUH PEMIKIRAN HAJI


HASAN MUSTHAFA..........................................................................................14

A. Perkembangan Pemikiran Haji Hasan Mustapa...................................14

B. Pengaruh Pemikiran Haji Hasan Mustapa............................................20

BAB VI PENUTUP..............................................................................................25

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Haji Hasan Mustapa lahir dari keluarga pesantren yang juga akrab
dengan tradisi Sunda. Tidak sedikit dari keluarganya, terutama dari pihak
ibunya yang menjadi ulama pesantren sekaligus menjadi gurunya seperti KH.
Hasan Basri (Kiarakonéng Suci, Garut) dan Kyai Muhammad (Cibunut,
Garut). Mustapa dididik dalam keluarga muslim yang taat. Orangtuanya
mengajarkan membaca Al-Qur’an, sebuah bentuk pendidikan Islam yang
paling sederhana. Ia kemudian dilepas belajar ke pesantren pada usia
enam tahun. Lalu berlanjut setelah kepulangan hajinya yang pertama
(1860-1862) saat ia berusia 10-17 tahun.

Pada usia remaja inilah Mustapa belajar di sejumlah pesantren


selama sekitar tujuh tahun (1862-1869). Umumnya di pesantren Sunda di
sekitar Garut, Tanjungsari, Sumedang dan boleh jadi Kuningan. Tidak
diketahui apakah Mustapa pernah belajar di luar tatar Sunda. Mustapa kiranya
terhubung dengan jaringan pesantren di Jawa melalui gurunya, Muhammad
Idjra’i yang pernah belajar pada Kyai Abdulkahar (Dasarema Surabaya) dan
Kyai Khalil (Bangkalan Madura). Kyai Idjra’i, ayah Kyai Sobari,
kemungkinan merupakan pengasuh Pesantren Ciwedus Timbang, Kuningan,
sebuah pesantren yang menjadi sumber jaringan pesantren di Priangan
terutama pada abad ke-19.1

Kedekatan Mustapa dengan Snouck tidak dapat diabaikan, karena


sangat berpengaruh terhadap perjalanan hidupnya sebagai seorang elite
pribumi. Kedudukan sebagai Penghulu Besar di Kutaraja Aceh (1892-1895)

1
Jajang.A.Rohmana, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman Didaktis Haji Hasan
Mustapa 1852-1930, Jumantara Vol. 4 No.2 Tahun 2013, Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati., Hlm. 52

1
dan Bandung (1895-1918) menjadikannya sebagai salah satu informan
pribumi yang membuka informasi bagi Snouck untuk masuk ke sisi terdalam
Islam dan muslim di Hindia Belanda.

Kemampuan Mustapa dalam menguasai budaya Sunda menjadi alasan


bagi Snouck untuk menariknya ke dalam birokrasi Belanda. Snouck sangat
terobsesi deangan hukum adat sehingga sangat beralasan menarik Mustapa
sebagai informan kuncinya. Ini misalnya terlihat dalam tulisan etnografis
Mustapa tentang adat-istiadat Sunda. Posisi Mustapa karenanya berbeda
dengan ulama pesantren yang tetap menjadi kelompok independen dan berada
di luar sistem kekuasaan kolonial Meski demikian, sebagai ulama birokrat,
Mustapa tetap memiliki hubungan baik dengan kalangan pesantren hingga
akhir hayatnya. Hubungan itu terlihat dalam korespondensinya dengan Kyai
Kurdi dari Pesantren Sukawangi, Singaparna Tasikmalaya dan hubungan
dekatnya dengan Ajengan Bangkonol, pengagum Mustapa sekaligus pemilik
pesantren di daerah Bandung timur.2

Di sini kita bisa melihat bahwa membaca Mustapa tidak bisa


dilepaskan dari jejak dunia pesantren yang terhubung dengan jaringan tradisi
intelektual Islam di Haramayn dan Nusantara. Kedekatannya dengan Snouck,
justru dijadikan jalan untuk sebanyak mungkin mengakses sekaligus
mengembangkan pengetahuan tentang tradisi masyarakatnya yang didominasi
pengaruh Islam dan pesantren. Meski tidak berbasis di pesantren,
Mustapa tetap menjaga hubungan baik dengan kalangan pesantren.
Sebagai orang yang pernah dididik di pesantren, ia sama sekali tidak bisa
melepaskan pengaruh dunia pesantren yang sudah melekat dalam dirinya.
Beliau banyak menciptakan karya seperti guguritan, prosa, dan anekdot. Ajip
Rosidi mencatat setidaknya ada 23 judul prosa dan 71 judul puisi guguritan
yang berhasil ditemukan. Bisa dikatakan bahwa Haji Hasan Mustapa sangat
2
Jajang.A.Rohmana, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman Didaktis Haji Hasan
Mustapa 1852-1930, Jumantara Vol. 4 No.2 Tahun 2013, Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati., Hlm. 53

2
produktif semasa hidupnya. Meski menjadi seorang yang masyhur, beliau
tidak lupa dengan jati dirinya. Beliau selalu ingat bahwa beliau merupakan
seorang Sunda. Koneksinya yang luas menjadikan beliau memiliki
pengetahuan kebudayaan yang luas. Selain itu, beliau juga memiliki
pengetahuan Islam yang mendalam tentunya.3
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, agar penelitian ini lebih mengarah


kepada aspek pembahasan, maka akan dibuat batasan-batasan penelitian,
dengan memaparkan rumusan-rumusan masalah yang akan lebih dititik
beratkan. Rumusan-rumusan tersebut, diantaranya:

1. Bagaimana biografi Haji Hasan Mustapa dan apa saja karya-


karyanya?
2. Bagaimana perkembangan pemikiran Haji Hasan Mustapa dan
bagaimana pengaruh pemikirannya terhadap masyarakat?
C. Tujuan

Dengan adanya rumusan masalah di atas, maka perlu adanya tujuan


penelitian. Tujuan penelitian diantarannya, yaitu:

1. Untuk mengetahui biografi dan karya-karya dari Haji Hasan Mustapa;


2. Untuk mengetahui perkembangan pemikiran Haji Hasan Mustapa dan
pengaruh pemikirannya terhadap masyarakat.
D. Kajian Pustaka

Sebelum menulis atau mengkaji mengenai tema yang penulis angkat


dalam penelitian ini, penulis terlebih dahulu melakukan kajian pustaka

3
Jajang.A.Rohmana, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman Didaktis Haji Hasan
Mustapa 1852-1930, Jumantara Vol. 4 No.2 Tahun 2013, Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati., Hlm. 54

3
terhadap karya-karya yang membahas mengenai pemikiran Haji Hasan
Mustapa ini. Dalam kajian pustaka ini, penulis melakukan kajian terhadap
dua karya penelitian, yaitu sebagai berikut.

1. Penelitian tentang Haji Hasan Mustapa sudah dilakukan oleh Wiwi Siti
Sajaroh dalam Penelitiannya, dengan judul "Martabat Tujuh Hasan
Mustopa", sebuah penelitian tentang Haji Hasan Mustopa yang
mencoba membumikan konsep Martabat Tujuh dengan pemahaman
yang lebih sederahana, supaya mudah dimengerti oleh masyarakat
awam. Wiwi Siti Sajaroh membahas mengenai Hasan Mustapa
menggunakan puisi yang mengandung nada dan berbahasa sunda
(guritan), agar enak didengar, mudah diingat, dan mudah dipahami.
Dalam latar belakang dijelaskan oleh Wiwi Siti Sajaroh asalan kenapa
skripsi ini hanya terfokus Martabat Tujuh karena Haji Hasan Mustapa
salah seorang tokoh Tasawuf yang berasal dari kalangan elite pribumi,
dari keluarga camat perkebunan di Cikajang, Garut. Ia mempunyai dua
kekuatan yang melekat pada dirinya, yaitu sebagai seorang “menak“
sunda dan sebagai seorang santri. Dua factor ini merupakan dua hal
yang berbeda, bahkan dalam konteks kesundaan, terjadi “kesenjangan”
antara kaum ménak dan ulama atau santri dari kalangan pesantren, yang
dihasilkan dari kebijakan colonial. Haji Hasan Mustopa mewakili sosok
ménak yang sangat kuat bergumul dengan aktifitas sastra dan budaya
Sunda. Sementara factor lain yang dimiliki oleh Haji Hasan Mustopa
sebagai seorang santri dianmggap mampu mengembangkan tradisi lokal
pesantren yang didominasi oleh tradisi Islam. Maka, skripsi ini terfokus
pada peran dari KH. Hasan Musthafa dalam melepaskan kesenjangan
sosial antara masyarakat elite dan pribumi.
2. Mengulas buku “Empat Pengarang Sunda Lama” karya Edi S. Ekajati,
A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggavisastra dan Aam
Masduki. Buku ini diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan pada tahun 1994/1995. Seperti judulnya, buku ini

4
menggambarkan empat penulis Sunda termasuk Raden Haji
Muhammad Musa, Raden Kanduruan Kertinagara, Raden Adapati
Ariya Martanagara dan Haji Hasan Mustapa. Buku ini bukan tentang
Haji Hasan Mustapa saja, akan tetapi memuat pembahasan yang cukup
lengkap tentang Haji Hasan Mustapa. Yang dimana isinya
membicarakan tentang kisah hidup Haji Hasan Mustapa dan karya
tulisan, Haji Hasan Mustapa. Ada juga diskusi ringkasan beberapa
karya.
E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sejarah.


Menurut Louis Gottchalk, metode penelitian sejarah merupakan sebuah
proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah untuk menemukan data
autentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data itu menjadi kisah
sejarah yang dapat dipercaya4. Dalam metode penelitian sejarah ini,
Kuntowijoyo mengatakan bahwa ada 5 tahapan yang harus dipenuhi.
Pertama, pemilihan topik; kedua, pengumpulan sumber atau heuristik; ketiga,
verifikasi atau kritik sumber; keempat, interpretasi; kelima, penulisan atau
historiografi5. Setelah menentukan topik penelitian ini, penulis kemudian
melakukan keempat tahap yang lain, yaitu sebagai berikut.
1. Heuristik

Heuristik atau pengumpulan sumber merupakan upaya untuk


mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang digunakan dalam
penelitian sejarah. Sumber-sumber yang digunakan ini diharapkan bisa
dijadikan sebagai alat. Selain itu, seseorang harus mempunyai sumber
terlebih dahulu untuk bisa menulis sebuah peristiwa sejarah 6. Tahap
heuristik merupakan kegiatan mencari sumbet atau pengumpulan sumber
4
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 74
5
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 2001) hlm. 69
6
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar (Jakarta: Prenada Media
Group, 2014), hlm. 219

5
untuk mendapatkan berbagai data atau matei sejrah, atau evidensi sejarah.
Pada tahap ini sumber-sumber yang akan diteliti, baik yang terdapat di
lapangan atau lokasi penelitian, penemuan benda ataupun sumber lisan.7

Berdasarkan kredibilitasnya atau sifatnya, sumber sejarah bisa


dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
merupakan sumber yang berasal dari kesaksian dari seorang saksi
peristiwa atau kesaksian dari orang yang langsung terlibat dalam peristiwa,
atau bisa berupa alat mekanis yang hadir pada peristiwa itu, serta sejaman
dengan peristiwa yang dikisahkan.

Dalam tulisan ini, penulis tidak menggunakan sumber primer.


Sumber asli, yaitu karya-karya dari Haji Hasan Mustapa sulit penulis
dapatkan karena keterbatasan akses dalam mencari sumber tersebut di
tengah pandemi. Bahkan tim Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang menulis “Biografi dan
Karya Pujangga Haji Hasan Mustapa” pada 1985 pun mengatakan
kesulitan menelusuri karya-karya Haji Hasan Mustapa, baik naskah asli,
salinan, maupun buku-bukunya yang dicetak terbatas.

Selain itu, sumber lisan berupa pelaku atau saksi sulit penulis
dapatkan juga mengingat rentang waktu dalam penelitian ini yang cukup
jauh, yaitu dari 1852- 1930. Dalam penelitian ini, penulis banyak
menggunakan sumber sekunder yang membahas mengenai Haji Hasan
Mustapa dan pemikirannya. Adapun, sumber sekunder yang penulis
gunakan adalah sebagai berikut.

a. Jajang A. Rohmana. Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit:


Pengalaman Didaktis Haji Hasan Mustapa 1852-1930, Jumantara

7
Sulasman. Metodologi Penelitian Sejarah. (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 93.

6
Vol. 4 No.2 Tahun 2013, Univesitas Islam Negeri Sunan Gunung
Djati.
b. Wiwi Siti Sajaroh. Laporan Penelitian : “Konsep Martabat Tujuh
Haji Hasan Musthafa.” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2013).
c. Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930,
Studia Islamika Vol. 25 No. 2 Tahun 2018.
d. Didin, Moh. Saepudin. Jejak-Jejak Pesan Toleransi Beragama
dalam Petikan Ayat Al-Qur’an Katut Adab Padikana Karya Haji
Hasan Mustapa. Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir
Tahun 2020
e. Edi S. Ekadjati, dkk. “Empat Sastrawan Sunda Lama.” (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994).
f. Jajang A. Rohmana. “Pembacaan Dangding Haji Hasan Mustapa
Terhadap Sastra Sufistik Sunda di Era Budaya Populer.” Jurnal
Islamica, Vol. 8, No. 1, 2013.
g. Safei, A. A., & Semesta, K. S. K. Menatap Wajah Islam dari
Jendela Sunda. In makalah Annual Conference on Islamic Studies
(ACIS ke 10). 2010, .di Banjarmasin.
2. Kritik

Setelah sumber-sumber dikumpulkan, selanjutnya adalah


penyeleksian sumber. Tahap ini disebut juga tahap kritik atau verifikasi.
Proses kritik ini ada dua macam, yairu kritik eksternal atau autentisitas
atau keaslian sumber, dan kritik internal atau kredibilitas. Kritik ekstern
merupakan kritik atau verifikasi yang dilakukan untuk mengetahui sumber
atau autentisitas sumber. Sesuai dengan makna “ekstern” yang berarti
luar, kritik ini lebih menekankan pada aspek-aspek luar dari sumber.
Selain itu, untuk memastikan sumber ini asli atau tidak, bisa dilakukan
dengan mengajukan tiga pertanyaan berikut8. Pertanyaan pertama, apakah

8
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar (Jakarta: Prenada Media
Group, 2014), hlm. 224

7
sumber itu merupakan sumber yang kita butuhkan? Pertanyaan kedua,
apakah itu merupakan sumber asli atau salinan? Pertanyaan ketiga,
apakah sumber itu masih utuh atau sudah mengalami perubahan? Adapun
kritik intern terhadap sumber sejarah biasa disebut juga dengan pengujian
kredibilitas sumber. Maksudnya, apakah sumber itu dapat dipercaya atau
tidak.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber-sumber yang


bisa dikategorikan kredibel atau terpercaya. Hal ini didasarkan pada
penggunaan sumber buku ataupun jurnal yang merupakan sumber
terpercaya karena merupakan karya ilmiah. Dalam prosesnya, baik buku
ataupun jurnal, memiliki tahapan-tahapan yang harus dipenuhi sebagai
syarat agar bisa dikategorikan sebagai karya ilmiah.
3. Interpretasi

Setelah melakukan kritik sumber atau verifikasi, selanjutnya adalah


tahap interpretasi. Tahap interpretasi ini bisa dilakukan dengan dua cara,
yaitu interpretasi sintesis dan interpretasi analisi. Interpretasi analisis
berarti menguraikan fakta satu persatu. Sedangkan interpretasi sintesiss
berarti mengumpulkan beberapa fakta dan menarik kesimpulan dari fakta
tersebut9.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori The Great Man


yang digagas oleh Thomas Carlyle (1795-1881). Carlyle mengatakan
bahwa seluruh gerak sejarah dimainkan oleh manusia besar, pemimpin,
dan tokoh. Carlyle menulis:

Pada seluruh babakan dunia, kita akan menemukan manusia besar


sebagai juru selamat yang niscaya di zamannya sebagai sambaran
9
M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar (Jakarta: Prenada Media
Group, 2014), hlm. 226

8
kilat yang tanpa itu bahan bakar tidak akan terbakar. Sejarah
dunia hanyalah biografi manusia besar. Sejarah alam, sejarah apa
yang telah dilakukan manusia di dunia ini, pada dasarnya adalah
sejarah manusia besar yang telah bekerja di sini. Ada dua hal
yang menyebabkan seseorang menjadi manusia besar yaitu
kekuatan intelektual untuk memahami realitas dan kemampuan
bertindak yang tepat. Seorang manusia besar yang mengubah
sejarah memang bukan hanya seorang filsuf, yang bergulat dalam
konsep dan gagasan besar. Ia harus dapat menangkap realitas10.

Haji Hasan Mustapa merupakan seorang ulama terkemuka yang


berasal dari tanah Pasundan. Selain dikenal sebagai seorang yang ahli
dalam ilmu agama, beliau juga dikenal sebagai seorang budayawan Sunda.
Pemikiran beliau sering kali dituangkan dalam bentuk yang unik, seperti
dalam bentuk guguritan, prosa, atau anekdot. Media-media yang beliau
gunakan untuk menyalurkan pemikirannya ini lah yang kemudian banyak
mendapat perhatian dari masyarakat luas. Hal ini juga dapat diartikan
bahwa Haji Hasan Mustapa memiliki gaya atau ciri khas tersendiri dalam
menuangkan pemikirannya.
4. Historiografi

Setelah melakukan tahap heuristik, kritik, dan interpretasi, tahap


selanjutnya adalah tahap historiografi atau tahap penulisan sejarah.
Historiografi dapat diartikan juga sebagai kegiatan merangkai fakta berikut
maknanya secara kronologis dan sistematis menjadi tulisan sejarah
menjadi kisah11. Dalam tahapan ini, penulis membaginya ke dalam empat
bab, yaitu: Bab I atau Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan, kajian pustaka, dan metode yang terdiri
dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Bab II membahas

10
Ajid Thohir dan Ahmad Sahidin, Filsafat Sejarah (Jakarta: Prenadamedia Group, 2019), hlm. 83
11
Sulasman, Metodologi Penelitian Sejarah (Bandung: Pustaka Setia, 2014), hlm. 148

9
mengenai biografi dan karya-karya dari Haji Hasan Mustapa. Bab III
membahas mengenai pemikiran Haji Hasan Mustapa dan pengaruh
pemikirannya. Adapun Bab IV adalah bagian dari kesimpulan.

10
BAB II
BIOGRAFI DAN KARYA HAJI HASAN MUSTHAFA

A. Biografi Haji Hasan Mustapa

Hasan Mustapa dilahirkan dari seorang Ibu yang bernama Nyi Mas
Salpah (Emeh), putri dari Mas Ngabehi Kartapraja, yang juga pernah menjadi
camat Cikajang. Dari garis ibu mengalir darah keturunan menak Suci
(Godog) Garut. Beliau bernama Mas Sastramanggala, pernah menjadi Camat
Cikajang. Dan Ayahnya memiliki darah keturunan Bupati Parakan muncang
IV Tumenggung Wiratanubaya. Walaupun ayahnya menduduki jabatan di
lingkungan pamongpraja, nemun lingkungan keluarganya lebih menonjol
suasana religious. Menurut Wangsaatmadja, sekretaris selama beberapa tahun
masa akhir hidup Haji Hasan Mustapa, dari garis ayahnya Haji Hasan
Mustapa merupakan keturunan bangsawan dan garis ibunya keturunan
kiai/ajengan/tokoh agama ternama12.

Haji Hasan Mustapa dilahirkan pada hari Rabu tanggal 3 Juni 1852 M
atau 15 Syaban 1268 H di Cikajang, Garut, Jawa Barat. Beliau merupakan
salah satu tokoh tasawuf yang berasal dari kalangan elit pribumi, keluarga
camat perkebunan Cikajang. Beliau juga pernah menjabar sebagai penghulu
di Aceh dan Bandung13. Selain dikenal sebagai seorang elit, beliau juga
dikenal sebagai seorang yang berasal dari keluarga pesantren dan keluarga
yang akrab dengan budaya Sunda. Tidak sedikit dari keluarganya, terutama
dari pihak ibu yang menjadi ulama dan menjadi gurunya seperti Kiai Haji
Hasan Basri (Kiarakoneng, Garut) dan Kiai Muhammad (Cibunut, Garut).

12
Edi S. Ekadjati, dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama,: (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 25
13
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 34

11
Selain itu, banyak juga dari keluarganya yang menjadi pujangga Sunda,
panayangan, dan pecinta lagu14.

Sejak kecil, Haji Hasan Mustapa telah diperkenalkan dan dibimbing


untuk melaksanakan ajaran Islam. Beliau dididik berdasarkan norma dan nilai
social budaya lingkungan masyarakatnya serta tuntunan agama Islam. Mula-
mula beliau diajarkan membara al-Quran dan cara melakukan salat oleh
ayahnya. Kemudian, pada usia 7 tahun beliau dididik oleh Kiai Hasan Basri
dari Kiarakoneng untuk belajar membaca al-Quran lebih baik lagi. Beliau
juga pernah belajar pengetahuan umum model Barat kepada KF. Holle,
seorang administrateur perkebunan reg Cikajang pada 1860 selama 4 bulan.
Namun, Haji Hasan Mustapa dibawa kembali oleh ayahnya dengan maksud
untuk melaksanakan ibadah haji bersama.15 Beliau pertama kali pergi ke
Mekah bersama sang ayah pada usia 8 tahun. Kemudian beliau bermukim di
sana untuk mempelajari ilmu agama. Sesampainya di tanah air, beliau
melanjutkan pendidikannya di Garut dan Sumedang. Beliau belajar dasar-
dasar ilmu Sharaf dan ilmu nahwu kepada Rd. H. Yahya. Kemudian beliau
belajar kepada Abdul Hasan, seorang kiai dari Sawahdadap, Sumedang.
Beliau kembali ke Garut dan belajar kepada Kiai Haji Muhammad Irja. 16
Selanjutnya, Haji Hasan Mustapa kembali mengunjungi Mekah untuk kedua
dan ketiga kalinya. Perjalanan beliau yang kedua adalah ketika beliau sudah
melewati masa remaja. Beliau bermukim di sana selama 3-4 tahun. Pada
kepergiannya yang ketia, beliau berangkat bersama istrinya, Nyi Mas Liut,
bermukim selama 5 tahun, dan pulang ke kampung halaman selama 1885.17

14
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 37
15
Edi S. Ekadjati, dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama,: (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 26
16
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 34
17
Edi S. Ekadjati, dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama,: (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 27

12
Sepulang dari Mekah, beliau bekerja sebagai seorang guru agama di
Garut pada 1886. Beliau diminta menjadi guru agama oleh Penghulu Besar
Rd. Haji Muhamad Musa. Selain menjadi guru agama, Haji Hasan Mustapa
juga sering mendampingi Snouck Hurgronje dalam perjalanan keliling Pulau
Jawa dan Madura. Atas usul Hurgronje, Haji Hasan Mustapa diangkat sebagai
penghulu besar di Aceh. Awalnya beliau selalu menolak untuk bekerja di
lingkungan pemerintah. Namun, pada 1893 akhirnya beliau menerima
pekerjaan sebagai penghulu besar di Aceh. Pada 1895, beliau pulang ke
Priangan dan menjabat sebagai penghulu besar di Kabupaten Bandung.
Beliau menjabat sebagai penghulu besar di Bandung selama 23 tahun (1895-
1918). Pada usia 33 tahun, beliau kemudian diberhentikan dengan hormat atas
permintaan sendiri. Setelah berhenti, beliau menjalani masa pension sampai
akhir hidupnya.18 Hasan Mustapa juga merupakan seorang kyai yang diangkat
menjadi Panghulu Besar (Hoofdpenghoeloe) di Banda Aceh kemudian di
Bandung hingga akhirnya beliau pensiun. Pada sekitar 1890 ia banyak
menulis guguritan (macapat), schingga jumlah keseluruhan karyanya konon
ada 20.000 bait, tetapi yang sudah di temukan hanya 10.815 bait. Dia
menyebarkan karya tulisannya itu melalui saluran tradisional pesantrem, yaitu
saling menyalin. Hanya sedikit sekali pencapaian yang dicetak atau
diterbitkan sebagai buku. 19

Haji Hasan Mustapa wafat pada hari senin tanggal 13 Januani 1930,
pada usia 78 tahun menurut hitungan masehi. Sedangkan menurut hitungn
hijriah, beliau hidup selama 80 tahun (1268-1348). Beliau dikebumikan di
Karang Anyar, Bandung.

18
Edi S. Ekadjati, dkk, Empat Sastrawan Sunda Lama,: (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1995), hlm. 29-30
19
Seri Sundalana 4, Islam dalam Kesenian Sunda dan Kajian lainnya mengenai Budaya Sunda,
(Bandung: PT Kiblat Buku Utama, 2005), Hlm. 17

13
B. Karya-Karya Haji Hasan Mustapa

Dalam guguritannya itu, ia selalu menguraikan faham keagamaannya.


Keindahan puisinya yang sangat tinggi, dan keindahan yang diuraikannya
juga bukan masalah sehari-hari, namun ia menulis dengan lancar, bahkan
dengan segala aturan pupuh yang rumit. Dengan leluasanya Hasan Mustapa
menggunakan ungkapan-ungkapan berbahasa Arab tanpa melanggar kaidah,
contohnya:

Mun sirna ka anak incu Sirna nu aing nu batur

Tandaning sirrun hakeki Tandaning sirrun ubudi

Mun sirna ka indung bapak Sirna ti untung jeung ala

Tandaning sirrun ilahi tandaning sirrun rubbubi

Nya lam yalid wa lam yulad eling ka halal ka haram

Mun eling watek insani tandaning sirrun nabawi

Sirna ka aing ka batur Sirna nu aing nu


batur

Tandaning sirna hakeki tandaning sirrun rubbubi

Sirna ka aing ka saha Sirna nu ngeunah teu


ngeunah

14
Tandaning sirrun illahi Tandaning sirrun rahmani

Sirna kabagja cilaka Eling ka dunya barana

Tandaning sirrun rahmani Tandaning di sirru mulki

(Dari Kinanti Puyuh


Ngungkung dina Kurung).20

Berikut beberapa karya dari Hasan Mustapa yang berhasil di publiskan

1. Keislaman
- Bale Bandung
- Pucung Luntung Buntung Naek Kana Pager Gintung (Martabat
Tujuh)
- Kinanti Ngahurung Balung
- Tadina Aing Pidohir
- 144 Patokan Jeung Jawabna
- Aji Wiwitan Aji Saka I-II
- Aji Wiwitan Verslag II
- Aji Wiwiran Verslag III
2. Budaya
- Bab Adat-Adat Urang Priangan Jeung Urang Sunda Lian ti Eta
- Buku Leutik Jadi Pertelaan Adatna Jalma-Jalma di Pasundan

20
Ajip, Rosidi. Haj Hasan Mustapa jeung karta-karyana. Penerbit Pustaka Bandung, 1989. Hlm.
42.

15
BAB III
PERKEMBANGAN DAN PENGARUH PEMIKIRAN HAJI HASAN
MUSTHAFA

A. Perkembangan Pemikiran Haji Hasan Mustapa


1. Perkembangan Pemikiran Haji Hasan Mustapa tentang Keagamaan
Haji Hasan Mustafa adalah sosok penting yang mengungkap kekayaan
khazanah keislaman Sunda. Dalam diskusi khasanah keislaman sebelumnya
Islam Sundatidak diperhitungkan, dibandingkan, katakanlah, dengan Islam
Melayu dan Islam Jawa. Karya-karya Mustafa membuktikan bahwa khazanah
Islam Sunda juga patut dipelajari dan dipersandingkan dengan khazanah
Islam yang lainnya.21 Mustafa berupaya membangun khazanah Islam Sunda
dengan menghubungkan tradisi Islam yang utama karena dia pernah
menghabiskan bertahun-tahun belajar Islam di Mekkah. Dengan kata lain,
khazanah Islam Sunda yang dibangun Mustafa masih dalam kerangka
ortodoksi Islam. Kedua, Mustapa adalah sosok sejarah yang penting yang
menghubungkan masyarakat Sunda dengan birokrasi kolonial.22
Yang paling menarik dari pemikiran Hasan Mustafa, Kesufiannya
yang mempengaruhi minatnya di bidang sastra. Syairnya adalah kerinduannya
terhadap Sang Pencipta, seperti yang dilakukan Hamzah Fansuri, atau
Jalaluddin Rumi. Sepanjang hidupnya, Mustafa mencari kebenaran, yang
membawanya ke dalam dunia tasawuf. ungkapan "kacida anehna lamun urang
Sunda henteu ngagem agama Islam" (alangkah anehnya kalau ada orang
Sunda tidak memeluk Islam), dapat dipahami. Meskipun orang Sunda bisa
bertoleransi terhadap pluralitas, tetapi dalam keluarga harus tetap berada
dalam satu keimanan, yakni iman Islam. Keberadaan Islam di Tatar Sunda

21
Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia Islamika Vol. 25 No. 2
Tahun 2018, Hlm. 407
22
Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia Islamika Vol. 25 No. 2
Tahun 2018, Hlm. 408

16
kerap diibaratkan seperti gula jeung peueutna (gula dengan manisnya atau
sesuatu yang tak dapat dipisahkan).23
Karena, dalam kenyataannya Islam di Tatar Sunda seiring sejalan
dengan local genius masyarakat Sunda itu sendiri. Islam lebih mudah
berinteraksi dengan sistem dan nilai yang berlaku pada saat itu. Di sinilah
titik pertemuan antara Islam dengan kebudayaan Sunda dapat lebih dimaknai.
Berkaca pada kearifan masa lampau juga pada kearifan lokal tentu akan
menjadi modal yang berharga pada masa kini. Perintah untuk membaca kisah
(mitos) dalan masa lalu, sedari jauh hari sudah dipesankan oleh Al-Quran
[QS. Yusuf: 111]:
"Sungguh, pada kisah kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi
orang yang mempunyai akal. (Al-Quran) itu bukanlah kitab cerita
yang dibuat-buat, tetapi memberiarkan kitab-kitab sebelumnya,
menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi
orang yang beriman.” (QS. 12:111)
Demikian pula pada teks budaya (mitos) Sunda, hendaknya tidak
bertindak abai dan melemparnya jauh-jauh dari ruang pembacaan. Sebab, di
balik teks budaya tersebut terdapat lautan kearifan yang ternyata akan sangat
berguna sebagai modal hidup hari ini, tentunya jika mau membuka dan
membacanya.
Pandangannya pada awalnya cenderung legalistik-formal, akibat dari
terlalu besarnya muatan fiqh di dalamnya. Ia sama sekali tidak tertarik
terhadap hal-hal yang berhubungan dengan spiritualisme. Namun pada
perkembangan selanjutnya, sikapnya ini berubah seratus delapan puluh
derajat. Ia tinggalkan dunia lahiriah yang ia anggap tidak bisa memberi apa-
apa baginya. Sekitar umur lima puluhan, ia menyimpulkan bahwa lahir
maupun batin merupakan satu kesatuan yang utuh, tidak bisa dipisahkan satu

23
Safei, A. A., & Semesta, K. S. K. Menatap Wajah Islam dari Jendela Sunda. In makalah Annual
Conference on Islamic Studies (ACIS ke 10). 2010., Hlm. 53

17
dari lainnya. Ia akhirnya menjadi seorang sufi. Dalam salah satu baitnya ia
menulis:24
Kudu lawung pada lawung, sadjadjaran pantjakaki, gumelar lebah
alamna, madju teuing mundur teuing, matak sarosopan rasa, pinggan
dientep djeung piring.
Harus sama seimbang, bagai sejajarnya mata kaki, wujud dalam
alamnya, maju tidak mundur tidak, nanti merusak rasa, bagai pinggan
bersanding dengan piring. Bagi Mustafa tasawuf tidak hanya jalan menuju
Tuhan. Lebih dari itu, ia memahami tasawuf sebagai filsafat suci (the sacred
philosophy) dan pandangan dunia (worldview). Pemikiran sufismenya
terangkum dalam beberapa karyanya. Karyanya yang paling utama yang
membahas bidang ini adalah Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut
Wirahmana dan Adji Wiwitan Martabat Tudjuh. Yang pertama, Gendingan,
merupakan hasil dari kontemplasi spiritualnya, setelah ia mendapat
pencerahan untuk memilih dunia sufisme.
Satu hal yang patut dicatat dalam sistematika pemikiran Mustafa
adalah penjelasannya yang menggunakan simbol-simbol budaya setempat.
Tokoh-tokoh mitos Sunda seperti Nyi Pohaci Sanjang Sari, Mundinglaya
Dikusuma, dan Dayang Sumbi, Sangkuriang, Boweh Rarang, dan lain
sebagainya, mendapat pemaknaan baru di tangan Mustafa.
Bagi sebagian orang hal ini tentu sangat aneh dan tidak bisa diterima.
Hal ini pada gilirannya menimbulkan kesalahpahaman di kalangan
masyarakat. Banyak orang menganggap bahwa apa yang dilakukan Mustafa
adalah mencampuradukkan antara ortodoksi tasawuf Islam dengan
spiritualisme Sunda. Keadaan ini diperparah lagi, karena setelah ia
mendalami tasawuf, ia mulai menunjukkan tindakan dan ungkapan aneh
(idiosyncrasy) yang sulit dipahami oleh orang biasa. Pada saat itulah orang

24
Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia Islamika Vol. 25 No. 2
Tahun 2018, Hlm. 408

18
mulai menganggapnya sebagai tokoh kontroversial yang mengundang
berbagai macam reaksi dan kritik yang tajam dari masyarakat.25
2. Perkembangan Pemikiran Haji Hasan Mustapa tentang Budaya
Haji Hasan Mustopa mempunyai kemampuan dalam bidang budaya
Sunda yang kemudian Snouck menariknya kedalam birokrasi Belanda. Hal
ini dilatarbelakangi oleh ambisi yang kuat dari Snouck tentang hukum adat.
Didalam diri Haji Hasan Mustopa mempunyai dua kekuatan yang melekat
pada dirinya, yaitu sebagai seorang “menak” sunda dan sebagai seorang
santri. Dari kedua faktor tersebut merupakan dua hal yang berbeda termasuk
dalam konteks kesundaan, adanya kesenjangan antara kaum menak dan ulama
atau santri dari kalangan pesantren, yang dihasilkan dari kebijakan colonial.
Hal ini secara menyebabkan secara berdampak pada perbedaan orientasi
budaya. Haji Hasan Mustopa sebagai salah satu orang yang mewakili sosok
menak yang mengikuti sebuah aktifitas budaya yaitu di bidang sastra dan
budaya sunda, selain itu beliau pun sebagai seorang santri yang dianggap
mampu mengembangkan tradisi lokal pesantren yang didominasi oleh tradisi
Islam.26
Haji Hasan Mustopa merupakan seorang yang berasal dari keluarga
pesantren sekaligus yang akrab dengan seni budaya sunda. Pada masa
remajanya, Haji Hasan Mustopa dikenal sebagai seorang yang memiliki
kepribadian bisa dibilang nakal dan sering mengikuti dalam pertunjukan tari
Ronggeng. Beliau mempunyai pemikiran bahwa masyarakat sunda memiliki
akar budaya dalam toleransi beragama, hal tersebut memahami dalam
toleransi keberagamanaan dengan karya Al-Qur’an katut Adab Padikana.
Ungkapan make basa lillahi ta 'ala, hartina lampah sukana sorangan,
lain hayang diburuhan, menunjukkan bahwa manusia beragama atas dasar
akal pikiran dan keyakinan dirinya, bukan atas dasar paksaan, karena
perbuatan yang dilakukan untuk jiwanya sendiri (sukma), adanya agama

25
Jahroni, Jajang. Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia Islamika Vol. 25 No. 2
Tahun 2018, Hlm. 409-410
26
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 34

19
adalah kebaikan untuk ruhnya, bukan untuk orang lain ataupun untuk dibayar.
Ungkapan tersebut dapat dipahami oleh alam pikiran masyarakat Sunda pada
waktu itu, sehingga nilai-nilai Islam tidak tereduksi oleh penafsiran yang
dikemukakan oleh Haji Hasan Mustopa. Adanya kesamaan antara budaya dan
Islam, terkadang untuk menunjukkan kesamaan dengan budaya Haji Hasan
Mustopa selalu mengungkapkan mengenai agama atau orang bijak dahulu,
dengan ungkapan boedjanga bidjaksana djeung pandita, pertjoka Djawa
Koena, Sonda Baheula. Hal ini ditujukan bahwa Islam yang dibawa tidak ada
perbedaan karena istilah pandita ialah gelar yang diberikan kepada orang
yang mengajarkan mengenai agama budha, sebagai panutan dan contoh atau
disebut dengan brahmana. Ungkapan perjoka Djawa Koena dan Sonda
Baheula, menunjukkan sebuah kesalarasan dan hormonisasi yang diungkapan
oleh Haji Hasan Mustopa terhadap Islam yang tidak membedakan bahkan
membenturkan streotif sebagian masyarakat Sunda dengan suku Jawa, namun
memberikan ada satu kesamaan dengan suku Sunda dulu.27
Penafsiran yang dilakukan Haji Hasan Mustopa terhadap toleransi
beragama dipengaruhi dari sosio-historis Haji Hasan Mustopa sendiri dan
lingkungannya. Pendidikan yang ditempuh Haji Hasan Mustopa lebih
dipengaruhi kepada tasawuf. Terdapat keterkaiatan erat dengan kondisi
sosiologis Haji Hasan Mustopa dilahirkan. Dapat dikatakan bahwa Haji
Hasan Mustopa dilahirkan di dalam perkembangan Islam pedalaman, yakni di
Garut, yang merupakan bagian Priangan. Penekanan ajaran tasawuf dan
akulturasi budaya kental pada masa itu, dibuktikan dengan makam tokoh
penyebar Islam yang bercorak sufistik. Pada masa kolonial Garut dijuluki
dengan ‚Swiss van Java‛ hal ini disebabkan karena keindahannya, selain itu
sekitar abad ke-19 dibuka daerah perkebunan seperti teh, karet, kopo dan
Kina. Maka dari itu, Toleransi keberagamaan masyarakat Sunda dari proses
awal Islamisasi hingga sekarang masih kental dengan akomodasi antara
budaya dan Islam. Pada pandangan Haji Hasan Mustopa sendiri menunjukkan

27
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 35.

20
akomodatif yakni pemahaman Islam pedalaman. Ia pun menyatakan bahwa
Sunda telah Islam sebelum kedatangan Islam itu sendiri. Ini menunjukkan
bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan Budaya Sunda. Sehingga Haji
Hasan Mustopa dalam penafsirannya mengenai toleransi, didasarkan atas
pemahaman keagamaan, dan kondisi masyarakat pada waktu itu 28
Pada sisi lain kesusastraan Mustafa adalah bentuk perlawanan
terhadap dominasi budaya Jawa. Masyarakat Sunda ketika itu dalam proses
pencarian identitas. Pada abad ke-17 Kerajaan Mataram melakukan ekspansi
politik ke daerah Priangan. Satu persatu pusat-pusat kekuasaan politik di
Priangan jatuh. Sebagai akibat dari ekspansi ini terjadi proses jawanisasi pada
budaya Sunda. Bahasa resmi yang digunakan kaum bangsawan adalah Jawa,
atau bahasa Sunda mereka mengalami jawanisasi, sedangkan bahasa Sunda
mengalami marjinalisasi. Keberadaan mereka sebagai sebuah etnis seringkali
dianggap sebagai bagian dari orang Jawa. Dalam bukunya mengenai adat
merupakan karya etnografis yang paling baik mengenai adat dan budaya
Sunda. Disana Mustafa menjelaskan bahwa Sunda adalah komunitas
tersendiri, yang berbeda dengan Jawa. Orang Sunda sendiri disebut Sunda
karena cindek, yang berarti kawasan kecil yang terhimpit oleh dua
kebudayaan besar, Jawa di sebelah timur, dan Melayu di sebelah barat. Bila
mereka tidak pandai menjaga identitas dirinya, bukan tidak mungkin
budayanya akan tergilas oleh kedua budaya besar tadi.29
Kurang aktifnya pesantren dalam kegiatan budaya Sunda lebih
didasarkan pada adanyaprasangka tertentu terhadap aktivitas di luar
keagamaan, sebagaimana kaum ménak yang juga penuh prasangka terhadap
kalangan pesantren yang dianggapnya membawa kemunduran. Haji Hasan
Mustapa sebagai orang yang pernah masantren dan memilih karir menjadi
kaum menak, meski tidak berbasis di pesantren, melalui naskah ini
menunjukkan bahwa alam pesantren tidak pernah beranjak dari pemikirannya.

28
Dindin Moh Saepudin, Jejak-Jejak Pesan Toleransi Beragama Dalam Petikan Ayat Al-Qur’an
Katut Adab Padikana Karya Haji Hasan Mustopa,( Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan
Tafsir 5, 2(2020): 128-138), hlm. 133.
29
Yudi Latif, dkk, Studi Islamika, (Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2, 2018), hlm. 417.

21
Sebagai ulama birokrat yang memiliki akar subkultur yang sama dengan
kalangan pesantren, Mustapa cenderung memiliki pandangan positif terhadap
latar kepesantrenannya yang berhasil ia ungkapkan melalui sastra lokal
Sunda.30
B. Pengaruh Pemikiran Haji Hasan Mustapa
1. Pengaruh pemikiran Haji Hasan Mustapa mengenai Tasawuf
Salah satu keistimewaan Haji Hasan Mustapa dalam mengajarkan
Tasawufnya yaitu ajaran islam melalui karya-karya seninya yang sangat
berlainan dengan karya-karya seni Sunda pada masa itu. Sekitar tahun 1900 ia
menulis lebih dari 10.000 bait dangding yang mutunya dianggap sangat tinggi
oleh para pengeritik sastra Sunda. Karya tersebut umumnya membahas
masalah suluk, terutama membahas hubungan antara hamba (kaula) dengan
Tuhan (Gusti). Diantara karya-karyanya yang besar itu, beliau menjelaskan
tentang konsep Martabat Tujuh.
Teori martabat tujuh ini adalah bentuk lain dari faham wahdat al-
wujud yang merupakan corak tasawuf pertama yang banyak dianut dan
berkembang di Nusantara sekitar abad XVII M. Oleh karena itu, martabat
tujuh juga dapat diartikan sebagai salah satu wujud dengan tujuh martabatnya.
Salah satu yang menjadi tonggak dalam ajaran tasawuf Haji Hasan Mustapa
ini yaitu ajaran Ma’rifat. Menurut Haji Hasan Mustapa ajaran ma’rifat
merupakan hal yang wajib dipelajari dan diketahui oleh semua umat manusia
yang sudah mukallaf dan baligh. Dengan adanya ma’rifat, kita bisa
ditempatkan pada tempat yang layak dan pantas. Tidak sedikit masyarakat
berpandangan buruk terhadap ajaran martabat tujuh ini seperti halnya yang
disampaikan pada pengalaman pendahulu Hamzah Fansuri mengenai ajaran
martabat tujuh ini tidak mudah untuk dipahami oleh orang-orang yang awam.
Sehingga munculnya tuduhan-tuduhan yang negatif terhadap ajaran martabat
tujuh ini.31

30
Rohmana, Jajang A, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman Didaktis Kepesantrenan
Haji Hasan Mustapa (1852-1930), (Bandung: Jumantara Vol. 4 No.2 Tahun 2013), hlm. 47.
31
Wiwi Siti Sajaroh, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji Hasan Mustapa, (Jakarta.
UIN Syarif Hidayatullah, 2013), hlm. 41.

22
Bagi Mustafa tasawuf tidak hanya jalan menuju Tuhan. Lebih dari itu,
ia memahami tasawuf sebagai filsafat suci (the sacred philosophy) dan
pandangan dunia (worldview). Pemikiran sufimismenya terangkum dalam
beberapa karyanya. Namun karyanya yang paling utama yang membahas
bidang ini adalah Gendingan Dangding Sunda Birahi Katut Wirahmana dan
Adji Wiwitan Martabat Tudjuh. Yang pertama, Gendingan, merupakan hasil
dari kontemplasi spiritualnya, setelah ia mendapat pencerahan untuk memilih
dunia suësme. Dilihat dari judulnya, ia seakan bernyanyi riang, meluapkan
kegembiraan karena telah bertemu dengan Kekasihnya. Sedangkan yang
kedua membahas secara khusus teori martabat tujuh, sebuah teori hirarki
wujud yang banyak mempengaruhi para suë Islam. Bagi sebagian orang hal
ini tentu sangat aneh dan tidak bisa diterima. Hal ini pada gilirannya
menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat. Banyak orang
menganggap bahwa apa yang dilakukan Mustafa adalah mencampuradukkan
antara ortodoksi tasawuf Islam dengan spiritualisme Sunda. Keadaan ini
diperparah lagi, karena setelah ia mendalami tasawuf, ia mulai menunjukkan
tindakan dan ungkapan aneh (idiosyncrasy) yang sulit dipahami oleh orang
biasa. Pada saat itulah orang mulai menganggapnya sebagai tokoh
kontroversial yang mengundang berbagai macam reaksi dan kritik yang tajam
dari masyarakat.32
Kontroversi sekitar Mustafa membuat dirinya tidak populer. Namanya
jarang atau mungkin tidak pernah disebut, baik dalam buku, majalah, atau
cetakan lainnya. Ini sebenarnya ironis, karena ia adalah sastrawan suë yang
paling terkemuka dari Tanah Priangan. Tak ada sastrawan Sunda lainnya
yang dapat menandingi kepiawaiannya. Ia telah menulis lebih dari 20.000 bait
puisi (dalam bahasa Sunda disebut dangding), dan mengarang puluhan buku,
yang membahas berbagai macam masalah di bidang tasawuf, ëlsafat, tafsir,
adat istiadat, sastra, bahasa, budaya, sejarah, dan mitologi.33

32
Yudi Latif, dkk, Studi Islamika, (Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2, 2018), hlm. 410
33
Yudi Latif, dkk, Studi Islamika, (Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2, 2018), hlm. 411

23
Haji Hasan Mustapa milih untuk tidak terkenal di kalangan
masyarakat, ia pun tidak menerbitkan karya-karyanya. Bahkan, ia cenderung
agar karyanya tidak diketahui oleh masyarakat umum. Karyanya yang
diterbitkan kebanyakan yang berhubungan dengan adat istiadat Sunda. Itu
pun atas bantuan pemerintah Belanda. Tanpa bantuan Belanda, karya tersebut
mungkin tidak akan pernah terbit. Karya-karyanya di bidang tasawufnya tidak
diterbitkan. Hal ini merupakan keputusan yang harus ia ambil sehubungan
dengan adanya tanggapan masyarakat yang buruk terhadapnya. Akibat
pandangannya yang kontroversial, ia dikucilkan masyarakat. Mereka
menganggap Mustafa memiliki pandangan yang mahiwal (kontroversial).
Pandangan ini selanjutnya menghambat popularitas Mustafa, baik ketika
masih hidup maupun sesudah kematiannya.34
2. Pengaruh pemikiran Haji Hasan Mustapa mengenai Budaya
Corak pemikiran Haji Hasan Mustapa, meskipun sangat kental
cakrawala Islamnya, pengaruh religi lokal terhadap pemikirannya nampak,
baik secara inplisit maupun eksplisit. Kultur religi masyarakat Sunda, seperti
juga kelompok masyarakat lainnya di Indonesia, sangat kuat memegang
tradisi warisan leluhurnya. Namun, pengaruh budaya lokal tersebut,
nampaknya digunakan Haji Hasan Mustapa sebagai medium (al-Wasilah)
dalam mengungkap pesan-pesan Islam, terutama bahasa Sunda dan beberapa
bahasa lainnya, seperti Melayu, Jawa dan Arab. Dangding, sinom dan pantun
di antara umumnya media yang digunakan Haji Hasan Mustapa dalam
mengungkapkan isi pikiran dan ruhaninya, sesuatu yang sangat jarang
disentuh kebanyakan orang Sunda yang cenderung mudah dipengaruhi
budaya-budaya baru. Namun demikian, kekuatan sufisme Haji Hasan
Mustapa masih tetap lestari menunggu kajian sirus dan disimpan di beberapa
perpustakaan di Barat, khususnya Leiden Belanda.35
Dangding lahir dalam tradisi aktual masyarakat Sunda yang masih
mengandalkan tradisi lisan dan tulisan (naskah) sekaligus menandai
34
Yudi Latif, dkk, Studi Islamika, (Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2, 2018), hlm. 412
35
Acep Aripudin, Haji Hasan Mustapa: Sufisme Lokal dalam Masyarakat Sunda, (urnal Lektur
Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015), hlm. 155.

24
pergeserannya ke dalam tradisi cetak (mekanik). Kedalaman permenungan
sangat ditekankan, karena perlu waktu untuk menghasilkan dan memahami
makna di dalamnya. Karenanya revitalisasi sastra dangding Mustapa
merupakan upaya sangat berat dilihat dari beberapa aspek tersebut. Sebuah
perjuangan ke arah revitalisasi khazanah budaya Sunda yang mengarah pada
pentingnya pertaruhan ideologi kesundaan.36
Dangding sufistik Mustapa lahir dalam suasana transisi di mana
budaya cetak mulai diperkenalkan Belanda pada awal abad ke-19 dan secara
perlahan menggeser budaya naskah. Dangding sebagai bagian dari tradisi
budaya bangsawan Sunda saat itu, secara berangsur-angsur kehilangan posisi
dominannya. Sajak bermatra semacam ini yang semula dianggit sambil
ditembangkan mulai tersisihkan ketika budaya cetak lahir. Mikihiro mencatat
apa yang ia sebut sebagai efek penyusunan kembali kesadaran (restructures
consciousness) yang jauh lebih dahsyat dari yang diperkirakan Belanda dan
dirasakan hingga saat ini.37
Bagi masyarakat Sunda, terutama mereka yang tinggal di pedesaan
sangat sulit membedakan mana unsur Islam dan mana unsur tradisi lokal.
Berpegang teguh pada dualitas unsur kepercayaan tersebut, ternyata sangat
fungsional dalam menjaga kosmologi kehidupan masyarakat Sunda.
Sinkretisme Islam dengan budaya lokal juga nampak sangat kentara dalam
pemikiran Haji Hasan Mustapa sebagaimana diungkap dalam tulisan-
tulisannya, seperti pada upacara kematian. Pembacaan tahlil (kalimat Lailaha
illallah) dan Qur’an pada saat ada orang yang meninggal bertujuan untuk
menolak bahaya (neukteuk leukeur). Bahkan, jika mampu, pengajian tersebut
berlangsung sampai tujuh hari dan diakhiri dengan sedekah banyak.
Religiusitas Islam dan kepercayaan lokal masyarakat Sunda, seperti
digambarkan Haji Hasan Mustapa mengindikasikan bahwa ia sangat objektif
melihat kenyataan dan fakta-fakta sosial keberagamaan orang Sunda yang

36
Rohmana, Jajang A, Pembacaan Dangding Haji Hasan Mustapa Terhadap Sastra Sufistik Sunda
di Era Budaya Popular, (Jurnal Islamica: Volume 8, Nomor 1, September 2013), hlm. 137.
37
Rohmana, Jajang A, Pembacaan Dangding Haji Hasan Mustapa Terhadap Sastra Sufistik Sunda
di Era Budaya Popular, (Jurnal Islamica: Volume 8, Nomor 1, September 2013), hlm. 136.

25
sesungguhnya. Fakta-fakta sosio-religius tersebut, juga bisa dijadikan pijakan
untuk menelusuri keberagamaan masyarakat Sunda yang hingga sekarang
masih lestari dipraktikan. Pengenalan dan penyebaran paham-paham agama
yang dikemukan Haji Hasan Mustapa, terutama pendekatan tasawuf juga bisa
dijadikan suatu model pendekatan dakwah Islam yang berpijak padan nilai-
nilai lokal budaya Sunda.38
Dalam tradisi sastra Sunda, sastra sufistik Sunda berkembang setelah
semakin menguatnya pengaruh Islam di tatar Sunda pasca jatuhnya Kerajaan Sunda
pada 1579. Islamisasi melalui jalur Cirebon dan Banten yang didukung Jawa-
Mataram berdampak pada masuknya pengaruh budaya Jawa terhadap tradisi sastra
Sunda. Sastra Sunda tradisional berbentuk dangding atau guguritan atau juga cerita
berupa wawacan semula merupakan karya sastra tulis Jawa-Mataram yang
berkembang sekitar abad ke-17. Dangding bisa dianggap menjadi ciri keterpelajaran
orang Sunda dalam menyerap pengaruh budaya Jawa. 39

38
Acep Aripudin, Haji Hasan Mustapa: Sufisme Lokal dalam Masyarakat Sunda, (urnal Lektur
Keagamaan, Vol. 13, No. 1, 2015), hlm. 141.
39
Ajang A Rohmana, Tasawuf Sunda dan Warisan Islam Nusantara: Martabat Tujuh dalam
Dangding Haji Hasan Mustapa (1852-1930), (Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2, 2014), hlm. 267.

26
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Haji Hasan Mustapa merupakan salah satu tokoh tasawuf yang berasal
dari kalangan elit pribumi, keluarga camat perkebunan Cikajang, beliau
lahr pada hari Rabu tanggal 3 Juni 1852 M atau 15 Syaban 1268 H di
Cikajang, Garut, Jawa Barat. Hasan Mustapa dilahirkan dari seorang
Ibu yang bernama Nyi Mas Salpah (Emeh) Dan Ayahnya memiliki
darah keturunan Bupati Parakan muncang IV Tumenggung
Wiratanubaya. Sejak kecil, beliau telah diperkenalkan dan dibimbing
untuk melaksanakan ajaran Islam. Beliau dididik berdasarkan norma
dan nilai social budaya lingkungan masyarakatnya serta tuntunan agama
Islam. Beliau pertama kali pergi ke Mekah bersama sang ayah pada usia
8 tahun. Kemudian beliau bermukim di sana untuk mempelajari ilmu
agama. Sepulang dari Mekah, beliau bekerja sebagai seorang guru
agama di Garut pada 1886. Pada sekitar 1890 ia banyak menulis
guguritan (macapat), schingga jumlah keseluruhan karyanya konon ada
20.000 bait, tetapi yang sudah di temukan hanya 10.815 bait. Dia
menyebarkan karya tulisannya itu melalui saluran tradisional pesantren,
yaitu saling menyalin. Hanya sedikit sekali pencapaian yang dicetak
atau diterbitkan sebagai buku.
2. Haji Hasan Mustafa adalah sosok penting yang mengungkap kekayaan
khazanah keislaman Sunda. Yang paling menarik dari pemikiran Hasan
Mustafa, Kesufiannya yang mempengaruhi minatnya di bidang sastra.
Mustafa berupaya membangun khazanah Islam Sunda dengan
menghubungkan tradisi Islam yang utama karena dia pernah
menghabiskan bertahun-tahun belajar Islam di Mekkah.Haji Hasan
Mustopa merupakan seorang yang berasal dari keluarga pesantren
sekaligus yang akrab dengan seni budaya sunda. Bagi Mustafa tasawuf

27
tidak hanya jalan menuju Tuhan. Lebih dari itu, ia memahami tasawuf
sebagai filsafat suci (the sacred philosophy) dan pandangan dunia
(worldview). Sinkretisme Islam dengan budaya lokal juga nampak
sangat kentara dalam pemikiran Haji Hasan Mustapa sebagaimana
diungkap dalam tulisan-tulisannya, seperti pada upacara kematian.
Pembacaan tahlil (kalimat Lailaha illallah) dan Qur’an pada saat ada
orang yang meninggal bertujuan untuk menolak bahaya (neukteuk
leukeur). Bahkan, jika mampu, pengajian tersebut berlangsung sampai
tujuh hari dan diakhiri dengan sedekah banyak.

28
DAFTAR PUSTAKA
 Acep Aripudin, 2015, Haji Hasan Mustapa: Sufisme Lokal dalam Masyarakat
Sunda, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 1.
 Ajid Thohir dan Ahmad Sahidin, , 2019, Filsafat Sejarah, Jakarta:
Prenadamedia Group.
 Ajip, Rosidi, 1989, Haji Hasan Mustapa jeung karta-karyana, Penerbit
Pustaka Bandung.
 Dindin Moh Saepudin, 2020, Jejak-Jejak Pesan Toleransi Beragama Dalam
Petikan Ayat Al-Qur’an Katut Adab Padikana Karya Haji Hasan Mustopa,
( Al-Bayan: Jurnal Studi Ilmu Al- Qur'an dan Tafsir 5, 2: 128-138).
 Edi S. Ekadjati, dkk, 1995, Empat Sastrawan Sunda Lama, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
 Jajang A Rohmana, 2013, Asmarandana Ngagurit Kaburu Burit: Pengalaman
Didaktis Haji Hasan Mustapa 1852-1930, Univesitas Islam Negeri Sunan
Gunung Djati.
 Jajang A Rohmana, 2013, Pembacaan Dangding Haji Hasan Mustapa
Terhadap Sastra Sufistik Sunda di Era Budaya Popular, Jurnal Islamica:
Volume 8, Nomor 1.
 Jajang A Rohmana, 2014, Tasawuf Sunda dan Warisan Islam Nusantara:
Martabat Tujuh dalam Dangding Haji Hasan Mustapa (1852-1930), Jurnal
Al-Turāṡ Vol. XX, No. 2.
 Jajang Jahroni, 2018, Menemukan Haji Hasan Mustofa 1852-1930, Studia
Islamika Vol. 25 No. 2.
 Kuntowijoyo, , 2001, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta: Bentang.
 M. Dien Madjid dan Johan Wahyudhi, 2014, Ilmu Sejarah: Sebuah
Pengantar, Jakarta: Prenada Media Group.
 Safei, A. A., & Semesta, 2010, K. S. K. Menatap Wajah Islam dari Jendela
Sunda. In makalah Annual Conference on Islamic Studies (ACIS ke 10).
 Seri Sundalana 4, 2005, Islam dalam Kesenian Sunda dan Kajian lainnya
mengenai Budaya Sunda, Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
 Sulasman, , 2014, Metodologi Penelitian Sejarah, Bandung: Pustaka Setia.
 Yudi Latif, dkk, 2018, Studi Islamika, Jakarta: Studia Islamika, Vol. 25, No. 2.
 Wiwi Siti Sajaroh, 2013, Laporan Penelitian : Konsep Martabat Tujuh Haji
Hasan Mustapa, Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah.

29

Anda mungkin juga menyukai