Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERBEDAAN GAYA PERTUNJUKAN DAN SYI’AR ISLAM


MELALUI WAYANG GOLEK OLEH:
ASEP SUNANDAR SUNARYA DAN ADE KOSASIH SUNARYA
PADA TAHUN 1975-1990

Oleh:

Muhammad Maulana Yusuf Sabri Gandanegara

1175010098

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SUNAN GUNUNG DJATI

BANDUNG

2019
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb    

    Puji syukur penulis panjatkan kehardirat Allah SWT yang telah mencurahkan rahmat dan
karunia-Nya. Shalawat serta salam kami panjatkan kepada Nabi Muhammad SAW atas suri
tauladannya dalam kehidupan ini, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul Perbedaan Gaya Pertunjukan dan Syi’ar Islam Melalui Wayang Golek Oleh: Asep
Sunandar Sunarya dan Ade Kosasih Sunarya Pada Tahun 1975-1990 yang diajukan guna
memenuhi tugas mandiri mata kuliah Praktek Profesi Lapangan.

    Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekuarangan, walaupun demikian kami telah berusaha dengan segenap kemampuan dan
pengetahuan kami miliki. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun guna penyempurnaan makalah ini dan mudah-mudahan dapat menambah
pengetahuan serta wawasan bagi penulis dan pembaca.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Bandung, 12 Desember 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................................................1
A. Latar Belakang...............................................................................................................................1
B. Rumusan Penelitian.......................................................................................................................1
C. Tujuan Penelitian...........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................................................3
A. Pengertian Wayang Golek.............................................................................................................3
B. Bentuk Akulturasi Kesenian Wayang Golek dengan Nilai-Nilai dalam Ajaran Agama Islam.......4
C. Gaya Pertunjukan Asep Sunandar Sunarya dan Ade Kosasih dalam Penyampaian Nilai-Nilai
Islam Melalui Pertunjukan Wayang Golek............................................................................................8
BAB III PENUTUPAN.....................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................13

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak awal pertumbuhan hingga kini, wayang golek tetap mendapat dukungan
Masyarakat SundaTampaknya, masyarakat menyukai tokoh wayang golek tertentu tidak
selalu berdasarkan keindahan raut tampangnya. Kesukaan masyarakat terhadap tokoh
wayang golek yang kemudian dijadikan “idola” lebih banyak menyangkut kesukaan
kepada “kepribadian” tokoh (unsur nonvisual) yang lebih banyak dinikmati lewat
tampilannya.1 Diantara tokoh-tokoh wayang golek yang terkenal karena gaya
pertunjukannya yang unik, yang akan saya bahas disini adalah Asep Sunandar Sunarya
dan Ade Kosasih Sunarya. Kedua tokoh ini, merupakan seorang putra dari Abah Sunarya
dan Ibu Cucun Jubaedah, yang dimana Ade Kosasih sebagai seorang kakak dan Asep
Sunandar sebagai seorang adik. Akan tetapi, gaya pertunjukan yang paling banyak disukai
masyarakat dan paling banyak diminati adalah gaya prtunjukan dari Asep Sunandar
Sunarya, hal ini terlihat dari banyaknya pembahasan mengenai Asep Sunandar dari pada
Ade Kosasih. Selain Asep Sunandar Sunarya, darah dalang anak Abah Sunarya mengalir
pula pada anak-anak lainnya antara lain; Ade Kosasih Sunarya, Iden Subasrana Sunarya,
Ugan Sunagar Sunarya, Agus Muharam dan Imik Sunarya. Dalam perilaku kesehariannya
sudah menampakan sosok pribadi yang kreatif dan dinamis dalam bergaul dengan sesama
teman-temannya. Selanjutnya yang dijadikan pembanding oleh saya adalah Ade Kosasih
Sunarya, jika melihat ke belakang, keturunan lainnya yang berprofesi sebagai dalang
kondang ini adalah Ade Kosasih Sunarya. Beliau merupakan kakak kandung dari Asep
Sunandar Sunarya dan merupakan anak dari Abah Sunarya, pelopor dalang untuk keluarga
Sunarya. Meskipun Ade Kosasih Sunarya telah meninggal, namun namanya tetap kuat
dengan menyandang label dalang kondang. Jika kita menyebutkan satu per satu siapa saja
dalang keturunan keluarga besar Sunarya, tentu saja sangat banyak.

B. Rumusan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, agar penelitian ini lebih mengarah kepada aspek
pembahasan, maka akan dibuat batasan-batasan penelitian, dengan memaparkan rumusan-

1
Drs. Jajang Suryana, M.Sn. Wayang Golek Sunda Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek. (Bandung: Kiblat. 2002).
Hlm.120.

1
rumusan masalah yang akan lebih dititik beratkan. Rumusan-rumusan tersebut
diantaranya:
1. Bagaimana Sejarah Awal Mula Lahirnya Wayang Golek?
2. Bagaimana Bentuk Akulturasi Kesenian Wayang Golek dengan Nilai-Nilai dalam
Ajaran Agama Islam?
3. Bagaimana Gaya Pertunjukan Asep Sunandar Sunarya dan Ade Kosasih dalam
Penyampaian Nilai-Nilai Islam Melalui Pertunjukan Wayang Golek?

C. Tujuan Penelitian
Dengan adanya rumusan masalah di atas, maka perlu adanya tujuan penelitian. Tujuan
penelitian diantarannya, yaitu:
1. Untuk Mengetahui Sejarah Awal Mula Lahirnya Wayang Golek.
2. Untuk Mengetahui Bentuk Akulturasi Kesenian Budha dengan Nilai-Nilai dalam
Ajaran Agama Islam.
3. Untuk Mengetahui Gaya Pedalangan Asep Sunandar Sunarya dan Ade Kosasih dalam
Penyampaian Nilai-Nilai Islam Melalui Pertunjukan Wayang Golek.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Wayang Golek


Wayang golek merupakan salah satu dari ragam kesenian wayang yang terbuat dari bahan
kayu yang merupakan hasil perkembangan wayang kulit dari keterbatasan waktu supaya
dapat ditampilkan pada siang atau malam hari. Pertama kali diperkenalkan oleh Sunan Kudus
di daerah Kudus (dikenal Wayang Menak), Cirebon (dikenal Wayang cepak) lalu
Parahyangan. Wayang golek sangat populer di wilayah Jawa Barat, daerah penyebarannya
terbentang luas dari Cirebon hingga Banten. Sekitar tahun 1583, Sunan Kudus yang
merupakan salah satu penyebar agama Islam di pulau Jawa pernah membuat kurang lebih 70
buah wayang dari kayu. Wayang tersebut dipertontonkan di siang dan malam hari dengan
sumber cerita lokal atau imajinasi sendiri yang tentunya sarat dengan pesan agama Islam.
Sunan Kudus menggunakan bentuk wayang golek awal ini untuk menyebarkan Islam di
masyarakat.2

Dalam pertunjukan wayang, kehadiran Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong selalu dinanti-
nanti para penonton. Keempatnya merupakan karakter khas dalam wayang Jawa
(Punakawan). Pendekatan ajaran Islam dalam kesenian wayang juga tampak dari nama-nama
tokoh punakawan. Tidak banyak orang yang tahu kalau nama-nama tokoh pewayangan,
seperti Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong sebenarnya berasal dari bahasa Arab. Ada yang
menyebutkan, Semar berasal dari kata Sammir yang artinya "siap sedia". Namun, ada pula
yang meyakini bahwa kata Semar berasal dari bahasa Arab Ismar. Tokoh Semar selalu tampil
sebagai pengokoh (paku) terhadap semua kebenaran yang ada, Semar selalu tampil sebagai
penasihat. Gareng berasal dari kata Khair yang bermakna kebaikan atau kebagusan. Petruk
berasal dari kata Fatruk yang berarti meninggalkan. Ada yang berpendapat kata petruk
diadaptasi dari kata Fatruk kata pangkal dari sebuah wejangan (petuah) tasawuf, "Fat-ruk
kulla maa siwallaahi" (tinggalkan semua apapun yang selain Allah). Sedangkan Tokoh
Bagong diyakini berasal dari kata Bagho yang artinya kejelekan. Pendapat lain menyebutkan
Bagong berasal dari kata Baghaa yang berarti berontak, Yakni berontak terhadap kebatilan
dan keangkaramurkaan. Jika Punakawan ini disusun secara berurutan Semar, Gareng, Petruk,

2
https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang/golek, diakses pada tanggal 17 Desember 2019, Pukul: 11.00.

3
Bagong secara harfiah bermkna "berangkatkan menuju kebaikan, maka kamu akan
meninggalkan kejelekan".3

Sejak awal pertumbuhan hingga kini, wayang golek tetap mendapat dukungan
Masyarakat Sunda. Pagelaran wayang golek secara langsung, ataupun pertunjukan wayang
golek melalui siaran televisi dan radio banyak mendapat perhatian masyarakat. Hasil
pemantauan bagian penelitian RRI Bandung pada tahun 1994 menunjukan bahwa salah satu
acara radio pemerintah tersebut, yang paling banyak diminati pemirsa adalah acara wayang
golek. Tampaknya, masyarakat menyukai tokoh wayang golek tertentu tidak selalu
berdasarkan keindahan raut tampangnya. Kesukaan masyarakat terhadap tokoh wayang golek
yang kemudian dijadikan “idola” lebih banyak menyangkut kesukaan kepada “kepribadian”
tokoh (unsur nonvisual) yang lebih banyak dinikmati lewat tampilannya.4

B. Bentuk Akulturasi Kesenian Wayang Golek dengan Nilai-Nilai dalam Ajaran Agama Islam
Dalam pertunjukan wayang golek terkandung nilai etis, estetis dan filosofis, lazim disebut
seni Adiluhung (bernilai tinggi) dikarenakan berfungsi sebagai prototype, sarat dengan pesan-
pesan moral atau ajaran- ajaran tentang nilai-nilai baik dan buruk dalam menjalani
kehidupan.5 Berasal dari zaman animisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa
sampai pada masuknya agama Hindu di indonesia sekitar abad ke enam. Bangsa Indonesia
mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan
seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijaya yang besar dan jaya. Pada masa itu wayang
pun berkembang pesat, mendapat fondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu
tunggi.

Pertujukkan roh nenek moyang itu kemudian dikembangkan dengan cerita yang lebih
berbobot, Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga XV, wayang berkembang
dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat. Pada masa ini telah mulai
ditulis berbagai cerita tentang wayang. Semasa kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit
kepustakaan wayang mencapai puncaknya seperti tercatat pada prasasti di candi-candi, karya
sastra yang ditulis oleh Empu Sendok, Empu Sedah, Empu Panuluh, Empu Tantular dan lain-
lain. Karya sastra wayang yang terkenal dari zaman Hindu itu antara lain Baratayuda, Arjuna
Wiwaha, Sudamala, sedangkan pergelaran wayang sudah bagus, diperkaya lagi dengan
penciptaan peraga wayang terbuat dari kulit yang dipahat, diiringi gamelan dalam tatanan
3
Muh Faisal, Tokoh Wayang Populer, (Yogyakarta: Hafamira. 2014)
4
Drs. Jajang Suryana, M.Sn. Wayang Golek Sunda Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek. (Bandung: Kiblat. 2002).
Hlm.120
5
Atik Soepandi. Skar. Pola Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. (Jakarta: Pustaka Buana. 1984)

4
pentas yang bagus dengan cerita Ramayana dan Mhabarata. Pergelaran wayang mencapai
mutu seni yang tinggi sampai-sampai digambarkan “hanonton ringit manangis asekel”,
tontonan wayang sangat mengahrukan.

Di Indonesia, walaupun cerita Ramayana dan Mahabarata sama-sama berkembang dalam


pewayangan, tetapi mahabarata digarap lebih tuntas oleh budayawan dan pujangan kita.
Berbagai lakon carangan dan sampalan, kebanyakan mengambil Mahabarata sebagai inti
cerita.

Masuknya agama Islam di Indonesia pada abad ke-15, membawa perubahan besar
terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitu pula wayang telah mengalami masa
pembaharuan. Pembaharuan besar-besran, tidak saja dalam bentuk dan cara pergelarantapi
juga bahasa yang digunakan dalam mendalang, maksudnya bahasa yang telah disusun indah
sesuai kegunaannya. Dalam seni pedalangan, kedudukan sastra amat penting dan harus
dikuasai dengan baik oleh para pedalang.

Bentuk peraga wayang juga menunjukkan keaslian wayang Indonesia, karena bentuk
stilasi peraga wayang yang imajinatif dan indah itu merupakan proses panjang seni kriya
wayang yang dilakukan oleh para pujangga dan seniman perajin Indonesia sejak dahulu.
Begitu Majunya seni kriya wayang ini, banyak yang berpendapat bahwa dalam aspek kriya
dan seni rupa, wayang sudah mencapai tingkat 'seempurna'. Penilaian ini obyektif, tidak
berlebihan, apabila dibandingkan dengan bentuk-bentuk peraga wayang atau seni boneka dari
mancanegara.

Kekuatan utama budaya wayang, yang juga merupaka jati dirinya, adalah kandungan
nilai falsafatnya. Wayang yang tumbuh dan berkembang sejak lama itu ternyata berhasil
menyerap berbagai nilai-nilai keutamaan hidup dan terus dapat dilestarikan dalam berbagai
pertunjukkan wayang.

Bertolak dari pemujaan nenek moyang, wayang yang sudah sangat relegius, mendapat
masukkan agama Hindu, sehingga wayang semakin kuat sebagai media ritual dan pembawa
pesan etika. Memasuki pengaruh agama Islam, kokoh sudah landasan wayang sebagai
tontonan yang mengandung tuntunan yaitu acuan moral budi luhur menuju terwujudnya
'akhlaqul kharimah'.

Proses akulturasi kandungan isi wayang itu meneguhkan posisi wayang sebagai slah satu
sumber etika dan falsafah yang secara tekun dan berlanjut disampaikan kepada masyarakat.

5
Oleh karena itu ada pendapat, wayang itu tak ubahnya sebagai buku falsafah, yaitu falsafah
Nusantara yang bisa dipakai sumber etika dalam kehidupan pribadi dan masyarakat.

Wayang bukan lagi sekedar tontonan bayang-bayang atau 'shadow play' , melainkan
sebagai'wewayangane ngaurip' yaitu bayangan hidup manusia. Dalam suatu pertunjukan
wayang, dapat dinalar dan dirasakan bagaimana kehidupan manusia itu ldari lahir hingga
mati. Perjalanan hidup manusia untuk berjuang menegakkan yang benar dengan mengalahkan
yang salah. Dari pertunjukkan wayang dapat diperoleh pesan untuk hidup penuh amal saleh
guna mendapatkan keridhoan Illahi.6

Bertolak dari nilai-nilai dan missi yang diemban, maka wayang mengalami perubahan
substansial antara lain tampak pada:

1. Bentuk atau seni rupa wayang yang semula seperti relief wayang di candi-candi, menjadi
imajinatif dalam arti tidak seperti bentuk manusia. Seluruh anggota badan tetap lengkap
atau fungsional namun tidak proposional. Walaupun bentuk wayang tidak proposional
akan tetapi sangat serasi sehingga terkesan indah sekali. Barangkalai ini suatu
pengejawantahan yang tepat dari konsep menolak berhala, namun tetap dapat
mengahdirkan tokoh wayang sebagai gambaran manusia lengkap dengan nama dan sifat-
sifatnya.
2. Pertunjukkan wayang pada malam hari yang memakan waktu 7-8 jam, mulai bakda Isya'
hingga menjelang subuh, biasanya disebut semalam suntuk. Waktu pertunjukkan itu
merupakan saat yang tepat sekali untuk mendekatkan diri pada Tuhan, berbicara dan
memikirkan hal-hal yang baik seraya memohon ridho Allah. Tema lakon wayang
senantiasa berkisar perjuangan yang baik melawan yang buruk, yang benar melawan
yangsalah, yang hak mengalahkan yang batil. Tidak salah lagi kalau ditafsirkan
pergelaran wayang semalam suntuk adalah suatu 'dzikir', perjalanan kejiwaan memahami
hakekat hidup, mendekatkan dari pada Dzat Yang Maha Kuasa.7

Karena seni wayang itu dilandasi oleh nilai-nilai agama sejak zaman hindu hingga Islam,
Maka pertunjukkan wayang sangat relegius. Semua pesan etika maupun falsafah bersumber
pada kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa. Cerita Ramayana dan Mahabarata lengkap
dengan para dewa tetap dipertahankan dan dikembangkan. Begitu jauh perkembangannya,
sehingga cerita Ramayana dan Mahabarta dari india itu berbeda sekali dengan penerapannya
6
Hariwidjoyo, Atmo. 2011. Wayang dan Karakter Manusia Dalam Kehidupan Sehari-hari.Yogyakarta: Absolut.
Hlm. 36
7
Hariwidjoyo, Atmo. Ibid. Hlm. 40

6
dalam pergelaran wayang di Indonesia, utamanya Wayang Kulit Purwa dan Golek Purwa
Sunda.

Perbedaan yang mudah dilihat adalah kedudukan para dewa. Konsepsi kedewaan dalam
Wayang Kulit Purwa dan Golek Purwa Sunda sudah bergeser. Dewa dan manusia merupakan
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Mengenai alam dewa ini, lebih jauh dr. Soedjarwo, salah
seorang pembina dan pakar wayang menegaskan bahwa dewa itu makhluk ciptaan Tuhan
yang jumlajnyamelebihi jumlah manusia dan hidup dalam alamnya sendiri. Dewa itu
bertingkat-tingkat sesuai derajatnya, yang paling tinggi Batara Guru sebagai raja dan jajaran
dewa lain di bawahnya. Pada umumnya para dewa ini baik-baik, namun ada pula yang jahat,
seperti Batara Kala.

Selanjutnya pada tahun 1443 Saka, bersamaan dengan pergantian pemerintahan jawa
yang berdasarkan agama Budha (Majapahit), berganti dengan dasar ke-Islaman Agama Islam
(Demak), yang melakukan pembangunan ini para wali. Yang demikian itu artinya para
pengemuka agama Islam telah dapat menghilangkan unsur-unsur kemusyrikan. Sebab dalam
Islamtelah terdapat hukum tentang gambar-gambar itu ada 3 macam, yaitu wenang (mubah),
makruh, dan musyrik. Menurut Ki Sis waharsaya, yang telah menulis dalam buku “Serat
Guna Tjara Agama” berpendapat sebagai berikut:

1. Yang hukumnya mubah ialah semua gambar-gambar yang menerangkan pelajaran, hiasan
rumah, gambar hutan, pegunungan, hewan dan lain sebagainya.

2. Yang hukumnya makruh, ialah semua gambar-gambar yang melanggar kesusilaan yang
mendorong pada perbuatan nyeleweng, seperti gambar telanjang dan sebagainya.

3. Yang umumya mussyrik, yaitu gambar-gambar menyebabkan adanya pemujaan yang


mengakibatkan tipisnya iman kepada Allah SWT.8

Cerita yang digunakan dalam seni pewayangan sebelum islam adalah Ramayana dan
Mahabarata. Ranayana ialah kitab karangan Walmiki (Hindu). Kitab ini lebih tua daripada
Mabarata. Di negeri Hindu, Ramayana termasuk kitab golongan orang memeluk agama
Wisnu. Sedangkan Mahabarata kitab orang Siwa. Kitab Ramayana (di Jawa) berbahasa Jawa
kuna dan berbentuk Syair. Kitab Ramayana ini (berbahasa Jawa Kuna) kira-kira dibuat
tatkala bertahta raja Diyah Balitung. Raja terkenal yang menguasai Jawa Tengah dan Jawa
Timur, beristanakan di Mataram kira-kira tahun 820-832 Saka. Adapun kitab Ramayana
8
Zarkasi, Efendi. 1996. Unsur-Unsur Islam Dalam Pewayangan Merupakan telaah atas penghargaan
Walisangga terhadap wayang untuk media da'wah Islam. Jakarta: PT Margi Wahyu. Hlm. 28

7
berbahasa Jawa Kuna mengisahkan cerita Prabu Rama, seperti kitab Ramayana berbahasa
Sansekerta bauatan Walmiki. Walaupun demikian ada juga bedanya. Pada Ramayana
Sansekerta Sita (istri Rama) sesudah pulang ke Ayodya lalu berpisah dengan Sang Rama.
Sedangkang dikitab Ramayana Jawa Kuna sang Sita lalu terus kumpul lagi dengan Sang
Rama. Selain itu ramayana Jawa Kuna apabila dibandingkan dengan Ramayana Walmiki,
termasuk pendek (ringkas) sekali, tidak berlarut-larut. Dan telah diketahui bahwa indul
Ramayana Jawa Kuna itu memang bukan Ramayana Walmiki.

Setelah Islam datang Maka cerita wayang tersebut disesuaikan dengan ajaran agama
Islam. Para wali dan pujangga membuat lakon tambhan dari cerita Ramayana dan
Mahabarata, diantaranya yaitu Lakon Jimat Kalimasada, Lakon Mustaka Weni, Lakon Petruk
Dadi Ratu, Lakon Parto Dewa Atau Harjunawiwaha dan Lakon Dewa Ruci. Seta mereka juga
menciptakan tokoh-tokoh tambahan yang tidak ada dalam kitab Ramayana dan Mahabarata
seperti Semar, Gareng, Petruk, Bagong, antareja, antasena, Wisanggeni dan Gandamana.9

C. Gaya Pertunjukan Asep Sunandar Sunarya dan Ade Kosasih dalam Penyampaian Nilai-Nilai
Islam Melalui Pertunjukan Wayang Golek
1. Asep Sunandar Sunarya
Asep Sunandar Sunarya bersama kelompoknya Giriharja 3 telah berhasil menjadi
agen pembaru dalam memasyarakatkan ide-ide barunya pada penonton wayang golek
purwa di Jawa Barat, Indonesia, dan Luar Negeri. Asep Sunandar Sunarya telah
menunjukan kompetensi komunikasinya sebagai dalang yang komunikatif. Kompetensi
komunikasi yang dimilikinya berhasil menarik minat generasi muda menjadi muridnya.
Dari studi lapangan yang dilakukan dapat dipahami bahwa para murid ini tertarik karena
ide-ide baru yang ditawarkan Asep Sunandar Sunarya. Ide-ide baru sebagaimana
dikatakan Rogers dan Shoemaker dalam bukunya Memasyarakatkan Ideide Baru (1987)
bahwa ide-ide baru biasanya masuk ke dalam sistem sosial melalui anggota yang status
sosialnya lebih tinggi dan lebih inovatif.
Hal ini mungkin karena agen pembaharu lebih suka berkomunikasi dengan mereka
atau mereka itu memang lebih suka mencari inovasi (1987:138-139). Inovasilah yang
melatarbelakangi mengapa sebagian kecil dari para pecintanya mau menjadi pewaris aktif
gaya mendalang Asep Sunandar Sunarya. Inovasi di dalam perupaan wayang sebagai
golek (boneka) yang glamour, indah dan ekspresif. Inovasi di dalam pertunjukan wayang

9
Zarkasi Effendy, dkk. 1996. Unsur-unsur Islam dalam pewayangan: telaah atas penghargaan Wali Sanga
terhadap wayang untuk media da'wah Islam. Surakarta: Yayasan Mardikintoko Hlm: 64

8
yang menggunakan struktur longgar dan memanfaatkan lelucon serta wejangan menjadi
satu kesatuan yang utuh. Inovasi gamelan multi laras (gamelan selap), peralatan panggung
yang didukung sistem tata suara dan luas panggung yang besar. Semua inovasi tersebut
menjadikan pertunjukan nya tampak megah dan indah, sebagaimana dikemukakan oleh10.
Dalang yang telah memiliki kekhasannya sendiri-sendiri. Kekhasan tersebut
sesungguhnya identitas dari kesenimanannya. Kemampuan mengolah kelima unsur
kesatuan bentuk dan isi menunjukan bahwa dalang tersebut memiliki kreativitas dan
humanitas. Ditambahkan oleh Tabrani (2006:39) dengan meminjam pendapat Jaquess
Maritain yang mengatakan bahwa:“Pada sumber tindakan kreatif, harus ada suatu proses
intelek tertentu yang tidak dapat 11
disebut berfikir logis (logical reason)… Pada
pengalaman kreatif ini, dunia-luar (things) ditangkap dan dibawa ke ‘dalam’ (self) dan
dunia-dalam (self) ditangkap di luar (things) dan secara subyektif merupakan cara untuk
menangkap intisari dunia-luar (things). Suatu proses tertentu tersebut disebutnya intuisi
yang kreatif (creative intuition).
Peranan gamelan selap bagi kreativitas Asep Sunandar Sunarya sangatlah penting.
Sebagai karawitan pengiring pertunjukan wayang nya, gamelan ini mampu menghasilkan
variasi laras untuk berbagai kepentingan sajian, seperti tari wayang, karawitannya,
pengiring kakawennya, dan ilustrasi suasananya. Selain itu secara luwes dapat
terdengar Papadangan (menyerupai nada talempang Padang), Jajawaan (mirip tabuhan
/suasana gamelan Jawa), bahkan Babaratan (dapat mengiringi lagu berlaras diatonis).
Gamelan selap dilihat dari tampilannya cukup banyak tetapi lebih efisien dibandingkan
dengan menggunakan satu laras dalam bentuk ancak. Gamelan selap menghasilkan tujuh
laras dam beberapa surupan 12
Asep Sunandar adalah pelopor wyang golek modern, bentuk-bentuk wayang yang
tidak lagi terpaku dengan pakem lama tetapi dimodifikasi sedemikian rupa sehingga orang
akan lebih tertarik melihat bentuk wayang yang dimainkannya. Disamping itu humor-
humor segar dan terkadang menggelitik para pemimpin cukup dikeluarkan dengan media
Cepot sebagai senjata andalannya. Tidak salah memang jika orang mengatakan beliau
adalah Profesor wayang golek.

2. Ade Kosasih Sunarya

10
Agus Sachari. 1989. Estetika Terapan Hlm: 40
11
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012 Hlm: 225
12
Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012 Hlm: 254

9
Ade Kosasih Sunarya yang mulai mematangkan ide-ide baru ayahnya dengan
melahirkan tontonan wayang yang memikat penonton. Meskipun hasilnya banyak menuai
kritikan, tetapi Ade Kosasih Sunarya terus melakukannya tanpa berhenti. Berkat gagasan
dan motivasi Abah Sunarya, terbetik hati Ade Kosasih Sunarya untuk berupaya melakukan
inovasi mengenai pembaharuan postur dan karateristik wayang. Adapun pada tahap
percobaan Ade Kosasih berupaya keras melakukan inovasi yang difokuskan pada figur
wayang Punakawan dan Denawa atau Buta (istilah lain disebut buta gendul). Beliau
beralasan bahwa dua figur wayang tersebut termasuk katagori wayang golek yang secara
konseptual pembuatannya tidak terikat pakem. Ade Kosasih Sunarya adalah upaya para
dalang Giriharja dalam menghadirkan pola dan isi pertunjukan golek yang berbeda dengan
pola pertunjukan yang sudah mapan tetapi mulai kurang disukai masyarakat pada saat itu.
Gaya Giriharjan tetap menginduk pada gaya Cibiruan, namun dengan memperketat upaya
meniru setepat-tepatnya raut yang ada dalam wayang kulit. Wayang golek, seperti jenis
wayang lainnya, adalah alat komunikasi yang lengkap, yaitu alat komunikasi pandang
dengar, yang telah akrab sejak lama dengan audiensnya. Semua jenis wayang, sejak awal
berfungsi sebagai wahana penyampaian tuntunan disamping sebagai tontonan. Karena itu,
audiens pertunjukan wayang golek bisa menikmati dua sajian: sajian yang berupa nilai-
nilai (tuntunan) dan hiburan (tontonan).

Ketika para dalang mengalami masa suram, Abah Sunarya melecut anak-anaknya yang
menjadi dalang untuk motekar (memperbaiki nasib). Lecutan tersebut merupakan jawaban
Abah Sunarya terhadap rasa sakit hati akibat ucapan orang yang menyepelekan
pertunjukan golek. Muncullah Ade Kosasih Sunarya, anak kedua Abah Sunarya, lewat
berbagai percobaan dalam mengolah raut golek, khususnya golek bodor, seperti
punakawan dan buta yang merupakan golek tambahan dan umumnya bebas pakem.
"Gerakan 80-an", istilah yang mereka gunakan, cukup berhasil. Sebagai sebuah tontonan,
pertunjukan golek kembali disukai penonton. Contohnya terdapat dalam Cerita "Ulun-
Umbul" yang merupakan salah satu cerita pagelaran wayang golek yang pernah di
pertunjukan oleh Ade Kosasih Sunarya dan direkam dalam sebuah audio dalam bentuk
kaset pita (Kaset Tape)

10
BAB III
PENUTUPAN
Kesimpulan

Wayang golek merupakan salah satu dari ragam kesenian wayang yang terbuat dari
bahan kayu yang merupakan hasil perkembangan wayang kulit dari keterbatasan waktu
supaya dapat ditampilkan pada siang atau malam hari. Pertama kali diperkenalkan oleh Sunan
Kudus di daerah Kudus (dikenal Wayang Menak), Cirebon (dikenal Wayang cepak) lalu
Parahyangan. Wayang golek sangat populer di wilayah Jawa Barat, daerah penyebarannya
terbentang luas dari Cirebon hingga Banten.

Ade Kosasih Sunarya yang mulai mematangkan ide-ide baru ayahnya dengan
melahirkan tontonan wayang yang memikat penonton. Meskipun hasilnya banyak menuai
kritikan, tetapi Ade Kosasih Sunarya terus melakukannya tanpa berhenti. Berkat gagasan dan
motivasi Abah Sunarya, terbetik hati Ade Kosasih Sunarya untuk berupaya melakukan
inovasi mengenai pembaharuan postur dan karateristik wayang.

Kemudian adiknya yang bernama Asep Sunandar Sunarya bersama kelompoknya


Giriharja 3 telah berhasil menjadi agen pembaru dalam memasyarakatkan ide-ide barunya
pada penonton wayang golek purwa di Jawa Barat, Indonesia, dan Luar Negeri. Asep
Sunandar Sunarya telah menunjukan kompetensi komunikasinya sebagai dalang yang
komunikatif. Kompetensi komunikasi yang dimilikinya berhasil menarik minat generasi
muda menjadi muridnya. Dari studi lapangan yang dilakukan dapat dipahami bahwa para
murid ini tertarik karena ide-ide baru yang ditawarkan Asep Sunandar Sunarya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

 Agus Sachari. 1989. Estetika Terapan


 Muh Faisal, Tokoh Wayang Populer, (Yogyakarta: Hafamira. 2014)
 Atik Soepandi. Skar. Pola Pagelaran Wayang Golek Purwa Gaya Priangan. (Jakarta: Pustaka Buana.
1984)
 Hariwidjoyo, Atmo. 2011. Wayang dan Karakter Manusia Dalam Kehidupan Sehari-hari.
Yogyakarta: Absolut.
 Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol. 22, No. 3, Juli - September 2012
 Suryana, Jajang. 2002. Wayang Golek Sunda Kajian Estetika Rupa Tokoh Golek. Bandung: Kiblat
 Zarkasi Effendy, dkk. 1996. Unsur-unsur Islam dalam pewayangan: telaah atas penghargaan Wali
Sanga terhadap wayang untuk media da'wah Islam. Surakarta: Yayasan Mardikintoko

Sumber Internet:
 https://id.wikipedia.org/wiki/Wayang/golek, diakses pada tanggal 17 Desember 2019, Pukul: 11.00.

12

Anda mungkin juga menyukai