Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

WALI SONGO
“Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Qudus)”
Guru : Siti Isrofiyah, S. Pd. I

Disusun Oleh:
Nama : M Nova Gilang R.
M Ibnu Hanafi
Kelas : 12 IPA
MA DAARUL HIKMAH PAMULANG
TAHUN AJARAN
2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Allah SWT karena atas berkat, rahmat
dan hidayahnya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Makalah yang kami susun ini berjudul “Wali Songo Sunan Qudus”.

Makalah ini kami susun dengan maksud agar kita semua dapat
mengetahui siapa “Sunan Qudus”, mengetahui biografinya, mengetahui
perjalanannya beliau serta mengetahui proses dakwah beliau.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karna itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan,
agar dalam penyusunan karya tulis berikutnya dapat lebih baik akhirnya kami
berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Amin.

Pamulang...Oktober 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………

DAFTAR ISI……………………………………………………………...

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang……………………………………………………..

B. Rumusan Masalah………………………………………………….

BAB 2 PEMBAHASAN

A. Biografi Sayyid Ja’far Shadiq……………………………………..

B. Dakwah Sayyid Ja’far Shadiq……………………………………...

BAB 3 PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………

B. Saran………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………..
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kebutuhan akan sejarah islam saat ini menodorong para pemikir islam
ataupun para sejarawan, pelajar, serta mahasiswa islam menggali, meneliti
dan mencari segala sesuatu yang menjadikan sejarah islam itu mncul
dipermukaan. Kegiatan tersebut digali dalam berbagai macam pendekatan,
konsep yang digunakan juga berbagai cara serta metode yang mendukung
suatu penelitian pun dilakukan. Sejarah walisongo enak dikaji dan kemudian
bagus dipublikasikan karena pada dasarnya sejarah Walisongo merupakan
sejarah awal islam masuk dan berkembang di Nusantara.
Akibat usaha dan kerja keras mereka, sehingga islam mampu ada. Saya
pribadi mengatakan bahwa andaikan Walisongo tidak datang ke Nusantara
untuk Islam, maka saya katakan tidak akan ada islam seperti sekarang atau
bahkan tidak sama sekali. Salah satunya adalah Sayyid Ja’far Shadiq atau
Sunan Qudus yang memiliki peran penting dalam menyebarkan islam di
Nusantara (Indonesia). Beliau adalah salah seorang dianatara Sembilan wali
yang memiliki peran penting, oleh karena itu penting mencari sejarah
perjuangan beliau dala berbagai segi.
Makalah ini dibuat dengan penuh percaya diri, diharapkan mampu
memberikan pandangan dan argument terhadap suatu masalah yang
berhubungan dengan penelitian yakni penelitian terhadap salah seorang
Walisongo yang datang dan membantu islam dalam perkembangannya.
Makalah ini berisi sedikit tentang biografi dan seluk belum perjalanan dakwah
beliau dari masuk sampai terterima di Nusantara pada saat itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Sayyid Ja’far Shadiq?
2. Bagaimana Dakwah Sayyid Ja’far Shadiq?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Sunan Qudus adalah salah satu penyebar agama islam di Indonesia yang
tergabung dalam Walisongo, yang lahir pada 9 September 1400 M/ 808 Hijriah
Nama lengkapnya adalah Sayyid Ja’far Shadiq. Nama Ja’far Shadiq diambil
dari nama datuknya yang bernama Ja’far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir
bin Ali bin Husain bin Ali Bin Abi Thalib yang beristrikan Fatimah Az-Zahra
binti Muhammad. Menurut Rahman dalam Sejarah Hidup Walisongo (1998)
Ia adalah putra dari pasangan Sunan Ngudung. Sunan Ngudung sendiri adalah
Putra dari Saudara Sultan Mesir, adik dari Raja Dampul. Sunan Ngudung dan
Saudarinya, Raja Dampul pergi ke negeri Puser Bumi di Cirebon dan bertemu
dengan Syarif Hidayat, yaitu sepupu mereka yang menjadi Sunan di Gunung
Jati.
Syarif Hidayat menyarankan agar Ngudung pergi ke Ampeldenta berguru
kepada Sunan Ampel. Dan akhirnya ia pun pergi dan berguru disana dan
menjadi murid terkasih Sunan Ampel. Ngudung kemudian dinikahkan cucu
Sunan Ampel yang bernama Syarifah, yang dikenal dengan nama Nyi Ageng
Manila, adik Sunan Bonang. Dari pernikahan itu, lahirlah Raden Fatihan
Ja’far Shadiq, yang dikenal dengan Sunan Qudus. Sunan Qudus sejatinya
bukanlah asli penduduk Kudus, Ia berasal dan lahir di Al Quds negara
Palestina.
Ia pula yang menjadi salah satu dari anggota Walisongo sebagai penyebar
Islam di Tanah Jawa. Sosok Sunan Kudus begitu sentral dalam kehidupan
masyarakat Kudus dan sekitarnya.
B. Dakwah Sunan Kudus
Kiprah dakwah dari Sunan kudus di Pulau Jawa bermula saat Sunan
Kudus pergi menuju kota Kudus. Sunan Kudus masuk ke kota Kudus
bersama dengan santri-santrinya ini adalah mantan prajurit perangnya ketika
memimpin perang terdahulu. Setelah sampai di Kudus, Sunan beserta dengan
santri-santrinya membangun sebuah masjid sebagai tempat ibadah dan pusat
penyebaran agama. Masjid yang dibangun oleh Sunan Kudus adalah Masjid
Menara Kudus yang masih berdiri hingga kini. Masjid Menara Kudus
didirikan pada tahun 1456 Hijriah yang bertepatan dengan 1549 Masehi.
Terlebih, strategi dakwah yang dilakukan Sunan Kudus dalam menyebarkan
Islam di Kudus yakni dapat dilihat dari caranya yang berusaha mengajarkan
toleransi beragama kepada umat hindu dan buddha yang berada di kudus.
Sebagaimana pendekatan ke-16, yaitu menggunakan pendekatan yang sesuai
dengan Firman Allah SWT. Dalam surah An-Nahl ayat 125. Dalam
perjalanan hidupnya, Sunan kudus banyak berguru kepada Sunan Kalijaga.
Cara berdakwahnya pun sejalan dengan pendekatan dakwah Sunan Kalijaga
yang menekankan kearifan lokal dengan mengapresiasi terhadap budaya
setempat. Dengan kebijaksanaan dakwah itu, sebagaimana Walisongo
lainnya, Sunan Kudus berusaha mendekati masyarakat untuk menyelami serta
memahami apa yang diharapkan masyarakat.

Kemudian beberapa nilai toleransi yang diperlihatkan oleh Sunan Kudus


terhadap pengikutnya yakni dengan melarang menyembelih sapi kepada para
pengikutnya. Bukan saja melarang untuk menyembelih, sapi yang notabene
halal bagi kaum muslim juga ditempatkan di halaman masjid kala itu.
Langkah Sunan Kudus tersebut tentu mengundang rasa simpatik masyarakat
yang waktu itu menganggap sapi sebagai hewan suci. Mereka kemudian
berduyun-duyun mendatangi Sunan Kudus untuk bertanya banyak hal lain
dari ajaran yang dibawa oleh ia. Lama-kelamaan, bermula dari situ,
masyarakat semakin banyak yang mendatangi masjid sekaligus
mendengarkan petuah-petuah Sunan Kudus. Islam tumbuh dengan cepat.
Mungkin akan menjadi lain ceritanya jika Sunan Kudus melawan arus
mayoritas dengan menyembelih sapi.

Selain berdakwah lewat sapi, bentuk toleransi sekaligus akulturasi Sunan


Kudus juga bisa dilihat pada pancuran atau padasan yang berjumlah delapan
yang sekarang difungsikan sebagai tempat berwudhu. Tiap-tiap pancurannya
dihiasi dengan relief arca sebagai ornamen penambah estetika. Jumlah
delapan pada pancuran mengadopsi dari ajaran Budha yakni Asta Sanghika
Marga atau Delapan Jalan Utama yang menjadi pegangan masyarakat saat itu
dalam kehidupannya. Pola akulturasi budaya lokal Hindu-Budha dengan
Islam juga bisa dilihat dari peninggalan Sunan Kudus berupa menara. Menara
Kudus bukanlah menara yang berarsitektur bangunan Timur Tengah,
melainkan lebih mirip dengan bangunan Candi Jago atau serupa juga dengan
bangunan Pura di Bali. Menara tersebut difungsikan oleh Sunan Kudus
sebagai tempat adzan dan tempat untuk memukul bedug setiap kali datangnya
bulan Ramadhan. Kini, menara yang konon merupakan menara masjid tertua
di wilayah Jawa tersebut dijadikan sebagai landmark Kabupaten Kudus.
Strategi (akulturasi) dakwah Sunan Kudus adalah suatu hal yang melampaui
zamannya. Melampaui zaman karena dakwah dengan mengusung nilai-nilai
akulturasi saat itu belumlah ramai.
Pada Umat Hindu, bentuk toleransi itu dapat dilihat dari sikap Sunan
Kudus yang menghormati sapi yang disucikan oleh umat hindu. Pada hari
Qurban, Sunan Kudus tidak menyembelih sapi dan hanya menyembelih
kerbau. Hal itu yang membuat umat hindu kemudian tertarik untuk masuk ke
agama Islam. Ketika Sunan Kudus berhasil membujuk umat hindu memeluk
agama Islam, selanjutnya Sunan Kudus juga bermaksud membujuk umat
Buddha untuk memeluk agama Islam, adapun strategi yang dilakukan oleh
Sunan Kudus yakni membuat padasan wudhu (tempat berwudhu), dengan
pancuran yang berjumlah delapan buah. Pada masing-masing pancuran, diberi
sebuah arca yang diletakkan di atas padasan tersebut. Hal yang dilakukan
Sunan Kudus tersebut berhasil menarik simpati umat Buddha. Adapun
maksud Sunan Kudus membuat padasan wudhu dengan pancuran yang
berjumlah delapan buah disebabkan karena Sunan Kudus mengetahui delapan
ajaran yang diajarkan dalam agama Buddha. Delapan ajaran tersebut dikenal
dengan nama Asta Sanghika Marga. Isi ajaran Asta Sanghika Marga adalah
“seseorang harus memiliki pengetahuan yang benar, mengambil keputusan
yang benar, berkata yang benar, bertindak atau berbuat yang benar, hidup
dengan cara yang benar, bekerja dengan benar, beribadah dengan benar dan
menghayati agama dengan benar”. Usaha ini membuat hasil yang tidak
percuma, banyak Umat Buddha berbondong-bondong ke masjid dan
memeluk agama Islam setelah Sunan Kudus menjelaskan bagaimana agama
Islam yang sebenarnya. Selain itu, dalam hal adat istiadat, Sunan Kudus tidak
langsung menentang masyarakat yang sering menabur bunga di perempatan
jalan dan disamping jalan, menaruh sesajen di kuburan, dan adat lain yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Beliau tidak langsung menentang adat itu,
tetapi beliau mengarahkan adat tersebut sesuai ajaran Islam. Salah satunya
adalah dengan mengarahkan fungsi sesajen yang berupa makanan lebih baik
diberikan kepada orang yang kelaparan atau butuh makan. Sunan Kudus juga
mengajarkan bahwa meminta pertolongan bukan kepada ruh nenek moyang
tetapi harus kepada Allah SWT.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Jadi, dakwah islam walisongo di Kudus saya katakan merupakan dakwah


yang sesuai dengan Q.S An-Nahl ayat 125, dengan menyampaikan dakwah
dengan hikmah maka pasti akan tererima. Karena pada dasarnya islam itu
datang dan diseur dengan kelembutan dan ketenangan. Oleh karena itu
metode yang digunakan oleh para walisongo sangat pas dan baik melihat
kondisi Nusantara pada saat itu telah memeluk agama hindu dan budha tetapi
pada kenyataannya islam yang datang kebelakangan mampu terterima. Hal
ini juga berdasarkan pada informasi yang terdapat dalam buku Agus Sunyoto
tentang Atlas Walisongo, beliau mengatakan bahwa ternyata para walisongo
tanpa terkecuali termasuk Sayyid Ja’far Shadiq menggunakan landasan Al-
Qur’an surah An-Nahl ayat 125 tersebut sebagi landasan dalam berdakwah,
sehingga tidak heran kalau seluruh dakwah Walisongo dengan bantuan tuhan
data terterima dengan baik dikalangan agama lain.

B. Saran
Saran saya kepada seluruh yang dapat membaca Makalah ini, insya Allah
setelah teman-teman membaca makalah ini semoga menambah wawasan ilmu
pengetahuan umum teman-teman. Dan khususnya kepada teman-teman prodi
sejarah peradaban Islam semoga makalah ini menjadi rujukan dan pedoman
baik dalam belajar maupun dalam menyusun skripsi nanti. Kemudian
jadikanlah makalah ini sebagai ladanga dakwah kita dengan cara
menyampaikan makalah ini kepada mereka yang belum sempat membaca dan
mempelajari Makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Agus, Sunyoto, Atlas Walisongo, cet 1 (Depok: Pustaka. MaN, 2012)


Wahyudi, Agus Makrifat Jawa, Makna HIdup Sejati para Walisongo, Yogyakarta
Pustaka Marwah, (2007)
Adfar, Zainul, Resolusi Konflik Para Wali, Semarang, IAIN Walisongo (2009)
Abdillah, Aji Sasmito, dalam http://www.abdillahajisasmito.com/sistem-
pemerintahan-walisongo/ di akses pada 8 mei 2019, jam 08.40 Wita
Amar, Imron Abu, Sunan Kalijaga KAdilangu Demak, Kudus Menara, 1992
Ansa Ahmad, Menguak Pengalaman Keagamaan, Yogyakart: Pustaka Pelajar
2004
SEKIAN TERIMA KASIH

MA DAARUL HIKMAH
TAHUN AJARAN
2022/2023

Anda mungkin juga menyukai