Anda di halaman 1dari 5

Sosiologi Gender : (Pertemuan ke: 5)

LANDASAN TEORITIS SOSIOLOGIS PEMAHAMAN GENDER

Teori Sosiologi Tentang Gender


Teori feminis yang dikutip oleh Tanof dalam Ritzer dan Goodman, berbeda dengan
kebanyakan teori sosiologi dalam berbagai hal, karena teori feminis termasuk hallmark dari teori
kritis, Adapun perbedaan utama dari teori feminis dan teori sosiologi adalah : (1), teori feminis
adalah pemikiran sebuah komunitas interdisipliner, yang tidak hanya mencakup para sosiolog,
tetapi para sarjana dari disiplin lain, seperti penulis kreatif dan aktivis politik, (2), sosiolog
feminis bekerja dengan agenda ganda, artinya selain memperdalam dan memperluas ilmu
sosiologi dengan menggunakan pengetahuan sosiologi untuk menganalisis kembali semua
temuan studi yang dianalisis oleh sarjana feminis, dan mengembangkan pemahaman kritis
mengenai masyarakat untuk mengubah kehidupan ke arah yang dianggap lebih adil dan
berperikemanusiaan (humanis).
Persoalan teoritisi mendasar mengenai posisi dan peranan perempuan dalam masyarakat.
Ada berbagai pertanyaan mendasar yang diajukan oleh para teoritisi feminis modern dalam
menganalisis masalah perempuan yaitu : (1) pertanyaan mendasar pertama adalah: “ Dan
bagaimana dengan perempuan ? artinya dimana perempuan berada di dalam setiap situasi yang
diteliti ? Bila perempuan tidak berperan, mengapa ?, bila mereka berperan, apa sebenarnya
yang mereka lakukan ? Bagaimana mereka mengalami situasi ? Apa yang mereka sumbangkan
untuk itu ? Apa artinya bagi mereka ? Berdasarkan kajian oleh para sosiolog feminis, bahwa
apabila perempuan tidak berperan dalam struktur social budaya suatu masyarakat, itu bukan
karena keterbatasan kemampuan atau perhatian mereka, tetapi karena ada upaya sengaja untuk
mengucilkan mereka. Dimana mereka berperan, peran mereka sangat berbeda dari gambaran
populer tentang perempuan (misalnya, sebagai istri dan ibu yang pasif), memang, sebagai istri
dan sebagai ibu dan dalam serentetan peran lainnya, perempuan bersama laki-laki, secara aktif
menciptakan situasi yang dipelajari. Tetapi, walau perempuan secara aktif berperan, dalam
kebanyakan situasi social,namun sarjana public, dan actor social sendiri, baik laki-laki dan
perempuan, telah mengaburkan peran perempuan itu sendiri, karena peran perempuan dalam
kebanyakan situasi social kurang mendapat penghormatan dan disubordinasikan pada peran laki-
laki (misalnya perempuan tidak pernah dilibatkan sebagai salah satu panelis dengan laki-laki
untuk membahas visi-misi para kandidat kepala daerah atau presiden). Tidak nampaknya peran
perempuan ini merupakan salah satu indicator ketimpangan jender. (2) pertanyaan mendasar
kedua adalah, mengapa semua ini terjadi ? pertanyaan iini memerlukan penjelasan tentang dunia
social itu sendiri—deskripsi dan penjelasan tentang kehidupan social adalah dua wajah setiap
teori sosiologi. Upaya feminism menjawab pertanyaan ini telah menghasilkan teori social umum.
(3) pertanyaan mendasar ketiga untuk semua feminis adalah “Bagaimana kita dapat
mengubah dan memperbaiki dunia social untuk membuatnya menjadi tempat yang lebih adil
bagi perempuan dan semua orang ? “ Komitmen terhadap transformasi sosial dalam keadilan
adalah ciri istimewa dari teori sosial kritis, dan ini juga dianut dalam sosiologi oleh feminism,
Marxisme, neo Marxisme dan teori-teori sosial yang dikembangkan oleh minoritas etnis dan ras
dalam masyarakat pascakolonial. Patricia Hill Collinssebagaimana yang dikutip oleh Tanof,
menyatakan arti penting dari komitmen mencari keadilan dan menentang ketidakadilan. Teori
social kritis mencakup bidang-bidang pengetahuan yang secara aktif bergulat dengan persoalan
sentral yang dihadapi oleh kelompok orang yang berada ditempat yang berbeda dalam konteks
politik, social, dan sejarah yang dicirikan oleh ketidak adilan. Komitmen dari teori kritis ini
mensyaratkan agar teoritisi feminis mengajukan pertanyaan “ Apa konsekuensi dari cara berpikir
untuk mengubah ketimpangan dalam kehidupan perempuan ? Bagaimana cara menjelaskan dunia
seperti ini akan memperbaiki kehidupan semua perempuan ? Fakta ini melahirkan pertanyaan
mendasar keempat (4), “Dan bagaimana dengan perbedaan diantara perempuan ?” Jawaban
untuk pertanyaan ini menghasilkan sebuah kesimpulan umum bahwa “ Ketidakterlihatan,
kesenjangan, dan perbedaan peran dalam hubungan dengan laki-laki, yang umumnya mencirikan
kehidupan perempuan, sangat dipengaruhi oleh lokasi social perempuan yaitu oleh kelasnya, ras,
usianya, preferensi afeksionalnya, status maritalnya, agamanya, etnisitasnya dan lokasi
globalnya.
Pertanyaan pertama feminis “ dan bagaimana dengan perempuan ? para sosiolog coba
membahasnya dalam tiga (3) perspektif social makro utama yaitu teori fungsionalisme, teori
konflik analitis dan teori sistem dunia neo Marxism. Para teoritisi ini menggunakan analisis
yang sama dalam menempatkan perbedaan jenis kelamin dalam analisis teoritisi umum mereka
terhadap fenomena sosial berskala luas. PERTAMA, mereka mendefinisikan fenomena itu
sebagai sistem antara hubungan dan struktur interaksi yang dipahami sebagai “keteraturan pola
dalam perilaku individual” Teori Fungsional dan konflik analitik memusatkan perhatian pada
Negara bangsa, khususnya dalam teori konflik analitik pada pengelompok cultural pramodern,
Teori sistem dunia membicarakan tentang kapitalisme global sebagai sebuah sistem transisi
dimana Negara bangsa adalah struktur yang penting. Variasi antara teori-teori ini terletak pada
struktur khusus dan proses sistemik yang mereka anggap penting. KEDUA, teoritisi ini
memusatkan perhatian pada keadaan perempuan didalam sistem yang telah digambarkan itu.
KESIMPULAN dari ketiga teori tersebut bahwa “ tempat utama perempuan, dalam pengertian
pada lokasi yang dilihat dalam semua kultur sebagai wilayah khusus untuk perempuan
adalah dirumah tangga (keluarga). Dari tempat utama itu, dan selalu dengan kondisi yang
terpola demikian, perempuan dapat mempunyai tempat structural penting lain untuk berperan,
terutama dalam ekonomi pasar. Masalahnya kemudian beralih menjadi upaya untuk memahami
fungsi keluarga (rumah tangga) didalam sistem social dan memetakan hubungan antara rumah
tangga dan ekonomi. KETIGA, masing-masing dari ketiga teoritisi tersebut mencoba
menerangkan stratifikasi jender yang dipandang hampir secara universal merugikan perempuan
dilihat dari sudut kesejajaran struktur segitiga rumah tangga/keluarga, ekonomi, serta kebutuhan
dan proses sistem sosial.

Secara singkat saya mencoba memaparkan bagaimana ketiga teori tersebut menganalisis
tentang Jender.

FUNGSIONALISME, pendukung utama teori fungsionalisme jender adalah Miriam Johnson,


aplikasi Johnson atas konsep Parsons seperti struktur keluarga Inti, seperti peran ekspresif versus
instrumental, tesisnya tentang hubungan lembaga keluarga dengan lembaga social lainnya, dan
modelnya tentang masyarakat fungsional. Johnson melihat bahwa ketimpangan jender
disebabkan oleh struktur keluarga yang patriarkhi yang ditemukan hampir diseluruh masyarakat
dunia. Yang mana keluarga mempunyai fungsi yang berbeda dari lembaga ekonomi dan lembaga
public lainnya. Keluarga mensosialisasikan anak-anak dan mempengaruhi emosi anggotanya
yang dewasa, berperan penting dalam memperkukuh ikatan social dan memproduksi nilai
(integrasi dan pemeliharaan pola). Posisi sosial utama perempuan dalam struktur keluarga adalah
sebagai produsen utama fungsi-fungsi pokok keluarga. Dalam melaksanakan peran tersebut,
perempuan harus berorientasi secara ekspresif, yakni dengan penyesuaian emosional dan
tanggapan kasih sayang. Fungsi perempuan dalam keluarga berorientasi ke arah penekanan
perasaan kasih sayang (expressiveness) dan mempengaruhi fungsi mereka dalam struktur social
lainnya, terutama ekonomi. Oleh karena itu berdasarkan pendapat Johnson dalam menganalisis
teori fungsionalisme berkaitan dengan Jender, lebih lanjut Tanof berpendapat bahwa dalam
struktur patriarkhi yang ada dalam masyarakat dianggap fungsional untuk menghasilkan
keseimbangan sistem dan ketertiban social, sesuai dengan tujuan teori tersebut adalah mencapai
KESEIMBANGAN, dan apabila perempuan mengambil peran instrumental sebagai pencari
nafkah (public) yang bernilai ekonomi menurut teori ini dianggap Dis Fungsional karena akan
menimbulkan masalah ketimpangan kekuasaan dan ada konflik kepentingan dalam keluarga juga
masyarakat, sehingga menganggu harmonisasi dalam struktur dan fungsi keluarga dan
masyarakat yang patriarkhi.

TEORI KONFLIK ANALITIK, teoritisi yang sangat berpengaruh yang menganalisis masalah
jender berdasarkan perspekktif teori konflik adalah Janet Chafetz, Dunn, Almquist. Pendekatan
Chafetz yang dikutip oleh Tanof, adalah menggunakan pendekatan lintas cultural dan historis,
dan mencoba merumuskan teori jender dalam seluruh pola-pola kemasyarakatan khususnya. Ia
melihat ketimpangan jender dalam masyarakat karena ada stratifikasi jenis kelamin (seks),
Dengan menggunakan teori konflik analitik, ditemukan bahwa bentuk perulangan konflik social
dalam struktur dan kondisi social sangat mempengaruhi intensitas stratifikasi jenis kelamin atau
kerugian perempuan diseluruh masyarakat dan kultur berdasarkan differensiasi peran menurut
jenis kelamin. Ideologi patriarkhi, organisasi keluarga dan pekerjaan, dan kondisi seperti pola
kesuburan, pemisahan rumah tangga dan tempat kerja, surplus ekonomi, kecanggihan ekonomi,
kepadatan penduduk dan kekerasan lingkungan merupakan variable interaksi yang menentukan
struktur kunci rumah tangga dan produksi ekonomi. Menurut Chafetz, perempuan mengalami
kerugian paling sedikit bila mereka dapat menyeimbangkan tanggung jawab rumah tangga dan
kebebasan berperan dalam produksi ekonomi secara signifikan. Mengacu pada teori ini Tanof
menyimpulkan bahwa “ perempuan mengurus keluarganya (peran domestik) merupakan
sebuah pekerjaan walau tidak bernilai ekonomi, tetapi kalau perempuan sekaligus juga berperan
dalam ranah publik dan pekerjaan tersebut bernilai ekonomi, dalam struktur masyarakat yang
patriarkhi, mengacu pada asumsi dari teori ini adanya startifikasi jenis kelamin ( perempuan
tersubordinat), maka penghasilan dalam bentuk upah yang diperoleh dianggap sebagai hadiah
(reward) material atau penghasilan tambahan bagi keluarga. Oleh karena itu akses perempuan
terhadap hadiah tambahan ini baik melalui rumah tangga (keluarga) maupun pasar (public) akan
mengurangi kerugian sosial mereka baik dalam keluarga maupun masyarakat”. Selanjutnya
Tanof mengutif pendapat Chafetz , untuk mencapai kesadaran Jender dalam keluarga dan
masyarakat perlu bergerak keluar dari netralitas nilai yang telah menjadi simbol teori konflik
analitik sejak Weber.

TEORI SISTEM DUNIA, Teori ini memandang kapitalisme global diseluruh fase historisnya
sebagai sebuah system untuk dijadikan sasaran analisis sosiologi. Masyarakat nasional dan
kelompok cultural khusus lainnya, misalnya penduduk koloni dan pribumi adalah struktur
penting dalam kapitalisme dunia karena merupakan stratifikasi ekonomi dari masyarakat dan
kelompok-kelompok itu (inti ekonomi, semipinggiran, dan pinggiran), pembagian kerja, modal,
dan kekuasaan di antara dan di dalamya, dan hubungan kelas di dalam setiap unit social. Sasaran
studi dari teori ini adalah KAPITALISME, maka individu di seluruh unit-unit sosial secara khas
di pahami menurut peran mereka dalam sistem kapitalis untuk menciptakan nilai lebih. Dengan
demikian, Tanof menyimpulkan bahwa teori ini secara khas hanya memahami peran
perempuan dalam sistem sosial sebatas tenaga kerja perempuan yang menjadi bagian
kapitalisme, artinya ketika perempuan bekerja dalam proses produksi dan pasar kapitalis dan
apabila perempuan terlibat secara penuh dan langsung, maka ada isu jender dan menurut teori ini
akan membuat model sistem sosial menjadi persoalan.
Para teoritisi sosiologi mikro kurang memperhatikan kerugian sosial perempuan ketika
membahas mayarakat sebagai manusia yang berinteraksi. Pertanyaan yang mereka ajukan adalah
mengapa jender muncul dalam interaksi dan mengapa interaksi menghasilkan perbedaan jender.
Dua teori sosiologi mikro utama jender adalah interaksionisme simbolik dan etnometodologi
coba saya rangkum dan uraikan dalam tulisan ini.

INTERAKSIONISME SIMBOLIK, analisisnya tentang jender, dimulai dengan proposisi


tentang Identitas Jender, seperti identitas social lainnya, muncul dari interaksi social dan
termasuk dalam diri individu dan dipertegas melalui berbagai situasi interaksi. Interaksionisme
simbolik mencoba membalik anggapan dasar Freud yang menyatakan pengenalan diri dengan
jenis kelamin orang tua yang sama adalah unsur kunci dalam pengembangan identitas jender,
dinyatakan bahwa dalam mempelajari bahasa, anak-anak akan mendengar bahasa itu
diperkenalkan, dan dengan demikian mengenal dirinya sendiri sebagai “ si anak” dan selanjutnya
mengenai “ ibu” dan “ayah”. Analisis pakar interaksionisme simbolik menunjukkan bahwa
individu terlibat dalam mempertahankan diri berdasarkan jender dalam berbagai situasi, individu
mempunyai gagasan tentang apa makna menjadi lelaki atau perempuan. Individu membawa
kedirian menurut jenis kelamin ke dalam situasi dan mencoba bertindak sesuai dengan
pengertian yang telah dihayati ini, yang mungkin berubah melalui interkasi dari situasi ke situasi,
tetapi merupakan gudang komponen jenis kelamin perilaku individu. ( Ritzer George dan
Goodman J. Douglas dalam Tanof ; 2012)

ETNOMETODOLOGI, mempertanyakan stabilitas identitas menurut jender dan


memperhatikan “bagaimana jender diperankan” oleh actor dalam berbagai situasi. Pakar
Etnometodologi Zimmerman, sebagaimana dikutip oleh Tanof, memulai dengan proposisi
bahwa “ciri kehidupan social yang tampaknya obyektif, faktual, dan transisional, sebenarnya
mengatur pencapaian atau prestasi proses lokal “ Menurut mereka ada perbedaan penting secara
teoritis antara jenis kelamin (pengenalan biologis sebagai lelaki atau perempuan) dan jender
(perilaku yang memenuhi harapan social untuk lelaki atau perempuan). Menurut teori ini Jender
tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melali interaksi dalam situasi tertentu. Karena
kategori jenis kelamin adalah kualitas individu yang secara potensial selalu ada, maka prestasi
jender adalah kualitas yang secara potensial selalu ada dalam situasi social. Oleh karena itu
menurut pandangan etnometodologi Konsepsi normative individu tentang perilaku lelkai atau
perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional. Orang dalam situasi tertentu tahu
bahwa mereka “bertanggungjawab” melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi
memungkinkan seseorang berperilaku sebagai lelaki atau perempuan dan sejauh orang lain
mengakui perilakunya. Ada kemungkinan orang yang berasal dari kultur yang berbeda, termasuk
kultur kelas dan ras biasanya saling tak memahami perilaku orang lain dilihat dari sudut
identitas jenis kelamin, apa yang dikerjakan oleh orang lain tidak diakui sebagai perilaku lelaki
atau perempuan yang tepat. Sebaliknya riset etnometodologi menunjukan bahwa pembagian
kerja dalam rumah tangga yang tampaknya sangat tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah
tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh lelaki maupun perempuan dalam situasi itu
karena lelaki dan perempuan menerima dan menyesuaikan diri terhadap harapan normative
untuk berperan menurut jenis kelamin di dalam rumah tangga. ( Tanof ; 2012 )
Tipologi teori feminis, didasarkan atas pertanyaan paling mendasar “ Dan apa peran
perempuan ? “ Secara esensial ada empat jawaban untuk menjawab pertanyaan tersebut yaitu
Pertama, adalah bahwa posisi dan pengalaman perempuan dari kebanyakan situasi berbeda dari
yang dialami lelaki dalam situasi itu. Kedua, adalah posisi perempuan dalam kebanyakan situasi
tak hanya berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan
lelaki, Ketiga, adalah banwa situasi perempuan harus pula dipahami dilihat dari sudut hubungan
kekuasaan langsung antara lelaki dan perempuan. Perempuan ditindas dalam arti dikekang,
disubordinasikan,, dibentuk dan digunakan, serta disalahgunakan oleh lelaki, Keempat, adalah
bahwa perempuan mengalami pembedaan ketimpangan dan berbagai penindasan berdasarkan
posisi total mereka dalam susunan stratifikasi atau tekanan penindasan, dan hak istimewa, kelas,
ras, etnisitas, umur, status perkawinan, dan posisi global. Untuk menganalisis permasalahan yang
dialami oleh perempuan dalam keluarga dan masyarakat saya mencoba menguraikan teori
feminis kontemporer.

KETIMPANGAN JENDER, Jessie Bernard dalam Tanof, (2012 ; 35) menjelaskan bahwa
ada empat gagasan mendasar dari teori ini adalah, Pertama, lelaki dan perempuan diletakkan
dalam masyarakat tak hanya secara berbeda, tetapi juga timpang. Secara mendasar, perempuan
memperoleh sumber daya material, status sosial, kekuasaan dan peluang mengaktualisasikan diri
lebih sedikit bila dibandingkan yang diperoleh oleh laki-laki yang membagi-bagi posisi sosial
mereka berdasarkan kelas, ras, pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan atau berdasarkan
factor sosial penting lainnya. Kedua, ketimpangan ini berasal dari organisasi masyarakat yang
patriarkhi, bukan dari perbedaan biologis yang diperoleh sejak lahir yang akan membentuk
kepribadian penting antara laki-laki dan perempuan dalam bertingkah laku. Ketiga, meski
manusia individu agak berbeda ciri dan tampangnya satu sama lain, namun tak ada pola
perbedaan alamiah yang secara signifikan membedakan lelaki dan perempuan. Secara universal
semua manusia mempunyai kebutuhan yang sama akan kebebasan untuk mencari aktualisasi diri
dan oleh kelunakan mendasar yang menyebabkan manusia baik laki-laki maupun perempuan
menyesuaikan diri dengan ketidakleluasaan atau peluang situasi dimana mereka menemukan diri
mereka sendiri. Oleh karena itu apabila ada ketimpangan jender berarti bahwa secara situasional
perempuan kurang berkuasa ketimbang lelaki untuk memenuhi kebutuhan perempuan bersama
lelaki dalam mengaktualisasikan diri. Keempat, teori ketimpangan jender berasumsi bahwa baik
lelaki maupun perempuan akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang makin mengarah
kepersamaan derajat (egalitarian) dengan tanpa rintangan dan secara alamiah, artinya bahwa
karena bersifat situasional, maka ada peluang untuk mengubah situasi tersebut.
Selanjutnya berkaitan dengan teori ketimpangan jender, Tanof juga mejelaskan
pandangan dari feminis liberal, yaitu Pertama, semua manusia mempunyai ciri esensial tertentu
yaitu kapasitas sebagai agen moral, nalar dan aktualisasi diri. Kedua, pelaksanaan kapasitas ini
dapat dijamin melalui pengakuan legal atas hak-hak universal. Ketiga, ketimpangan antara lelaki
dan perempuan adalah diciptakan secara sosial (socially constructed), dan tidak ada dasarnya
dalam “alam”. Keempat, perubahan sosial untuk kesetaraan dapat dicapai dengan mengajak
publik yang rasional dan dengan menggunakan Negara.

TUGAS-3: (Melakukan Review beberapa Literature Sumber tentang: Landasan Teoritis


Sosiologis Pemahaman Gender) ---- Tugas kumpul diflash disk secara
kelompok

Anda mungkin juga menyukai