Anda di halaman 1dari 34

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)

POLITISASI SARA:
DARI MASA ORBA KE MASA TRANSISI DEMOKRASI 1
Sofian Munawar Asgart
Pendahuluan
Konflik internal bernuansa suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA)
merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling ganas. Menurut Nono Anwar
Makarim, jumlah korban jiwa dalam konflik ini lebih besar dari pada korban akibat
terorisme dan perang antarnegara.2 Dengan mengutip Pauline H Baker dan Angeli E
Weller, Makarim menyebutkan bahwa sejak Perang Dingin berakhir, telah terjadi lebih
dari 100 konflik internal di dunia. Definisi konflik internal adalah setiap konflik yang
terjadi atas dasar identitas kelompok atau golongan sosial, termasuk bahasa, ras, agama,
aliran, suku, kelas, kumpulan, dalam berbagai kombinasinya.3
Perkembangan sejarah kebangsaan Indonesia juga diwarnai sejumlah konflik
bernuansa SARA. Menurut Tamrin Amal Tomagola, konflik bernuansa SARA di bumi
nusantara ini telah terjadi sejak zaman kolonial.4 Gerry van Klinken bahkan menilai
persoalan SARA merupakan warisan pra-kolonial khas Melayu yang telah ada sebelum
Indonesia itu ada.5 Demikian pula pada masa awal kemerdekaan di zaman rezim Orde
Lama, konflik SARA sudah muncul ke permukaan. Namun demikian, pada dua masa itu,
persoalan SARA muncul secara wajar sebagai suatu dinamika kultural masyarakat.
Berbeda dengan dua masa sebelumnya, rezim Orde Baru berusaha menekan
persoalan SARA secara sistematis. Pada masa Orde Baru, mengungkit-ungkit persoalan
SARA merupakan barang haram yang masuk kategori subversif yang dinilai pemerintah
bakal menjadi sumber perpecahan dan disintegrasi bangsa. Karena itu, tidak berlebihan
jika Goenawan Mohamad melukiskan Indonesia masa Orde Baru sebagai bangsa yang
hidup dalam kuburan.6 Rezim Orde Baru telah berhasil membangun uniformity dalam
segala bidang kehidupan sehingga pada saat itu, bangsa ini tampak menjadi bangsa yang
tenang, aman, tetapi tanpa kehidupan yang sejati.

Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari penelitian mengenai Warisan Orde Baru: Faktor-Faktor
Penghambat Demokratisasi di Indonesia pada Masa Transisi, kerjasama ISAI dan DEMOS dengan
dukungan dana dari Universitas Melbourne, Australia di bawah supervisi Prof. Arief Budiman.

Lihat: Tempo Edisi 6-12 Januari 2003, hal 82.

Baker, Pauline H dan Angeli E Weller (1998) An Analytical Model of Internal Conflict and State Collapse:
Manual For Practitioners, The Fund for Peace, Washington DC.

Buah pikiran Tamrin Amal Tomagola ini disampaikan dalam seminar sehari Warisan Soeharto:
Hambatan Bagi Demokrasi kerjasama DEMOS-ISAI dan Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta: 14 Februari
2002.

van Klinken, Gerry Decentralisation, Violence, and Democracy: The Colonial Roots of Ethnic Conflict
in Indonesia disampaikan dalam International Conference Indonesian Transition to Democracy: Issues and Actors in
the Local and International Perspective kerjasama ISAI dan KontraS, Jakarta 17-19 Januari 2002. Penjelasan
lebih spesifik dan detail mengenai hal ini dapat disimak dalam Hussin Mutalib (1995), Penerjemah AE
Priyono dan Christiadi, Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu, LP3ES, Jakarta.

Mohamad, Goenawan (2001) Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohammad 1960-2001, Pusat Data dan
Analisis Tempo, Jakarta.

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Kuntowijoyo menilai fenomena seperti itu sebagai suatu bentuk politisasi negara
atas masyarakat. Ideologi nasional hanya mengenal asas tunggal Pancasila dan menafikan
eksistensi golongan-golongan dalam masyarakat dengan segala keragamannya.
Nasionalisme horizontal diukur dengan kesetiaan vertikal pada Pemerintah. UU No.5/ 74
memberikan kuasa pada gubernur, bupati, camat, dan lurah yang merupakan kepanjangan
tangan dari Pemerintah Pusat.7 Desain sistem politik Orde Baru ini justru mempunyai
andil besar dalam memicu pertentangan SARA yang semetinya justru dianggap sebagai
proses interaksi sosial dan dikelola agar melahirkan hubungan kooperatif dan integratif
dalam situasi masyarakat yang pluralistis.
Dari perspektif sosio-politis, Nazaruddin Sjamsuddin menilai bahwa pemerintah
Orde Baru begitu berambisi menciptakan suatu ekuilibrium semu. Hal ini tampak, antara
lain, dengan menyeimbangkan kekuatan politik minoritas non-Islam dengan kekuatan
Islam, yaitu menekan posisi umat Islam yang mayoritas. Selama berpuluh tahun itu pula
umat Islam memendam dendam terhadap kekuatan politik non-Islam. Ketika kemudian
pendulum bergerak ke arah yang berlawanan pada awal 1990-an, dan pemerintah Orde
Baru mulai menganakemaskan kekuatan Islam tertentu, maka kekecewaan yang
menyelimuti kalangan lainnya juga tak terhindarkan. Politik devide et impera semacam ini
memupuk dendam dari masing-masing pihak.8 Hal seperti ini yang oleh Ahmad Syafii
Maarif disebut sebagai politik belah bambu9 Orde Baru. Pemerintah mengangkat dan
mengistimewakan suatu golongan sembari menginjak golongan yang lain. Kondisi seperti
ini yang antara lain turut membuka peluang tumbuh suburnya konflik SARA di
Indonesia.
Berbagai konflik SARA yang terjadi selama masa rezim Orde Baru dan bahkan
sampai sekarang ini- memunculkan banyak pertanyaan yang sekaligus menjadi hipotesis
penelitian ini. Apakah yang menjadi akar persoalan konflik SARA di Indonesia ? Apakah
unsur-unsur SARA di Indonesia merupakan unsur pemersatu/perekat bangsa atau
sebaliknya, merupakan sumber konflik dan disintegrasi bangsa ? Bagaimana peranan
pemerintah (rezim Orde Baru) dalam menyikapi persoalan SARA yang terjadi ? Apakah
rezim Orde Baru berusaha mencari solusi, menutup-nutupi, atau malah justru
mempolitisasinya ? Kemudian bagaimana pula politisasi SARA di masa rezim Orde Baru
berjalan dan berlanjut sehingga pada gilirannya juga terwariskan menjadi salah satu faktor
penghambat lajunya proses konsolidasi demokrasi pada masa transisi. Beberapa hal ini,
antara lain, yang ingin dielaborasi dan dideskripsikan dalam tulisan ini.
Kerangka Konseptual
Sebelum Perang Dunia II terdapat kecenderungan di kalangan para ahli ilmu
sosial untuk menerangkan konflik sosial berpangkal pada kesenjangan pelapisan kelas
sosial. Namun sesudah Perang Dunia II, di antara para ahli ilmu sosial itu terdapat
perhatian yang meningkat terhadap kajian tentang hubungan etnisitas. Kajian tentang
kesukubangsaan bahkan lebih penting, karena sebagian besar dari negara-negara di dunia
bersifat multietnik. Di antara sekitar 175 negara anggota PBB, hanya 12 negara saja yang
penduduknya kurang-lebih homogen. Karena itu, Koentjaraningrat menilai bahwa
masalah kesukubangsaan merupakan masalah global.10
Kuntowijoyo (2002) Kesadaran dan Perilaku dalam Integrasi, Moral Bangsa, dan Perubahan, Divisi
Penerbitan FIB UGM- Sinergi Press, Yogyakarta.

Lihat Aliansi Keadilan, Edisi Nomor 18 / Tahun I, 28 Juni 4 Juli 1999.

Marif, A. Syafi (1985) Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, Jakarta.

10

Koentjaraningrat (1993) Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional, UI Press, Jakarta.

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Senada dengan itu, Bambang Setiawan menyebutkan bahwa setelah perang
antarnegara, konflik antaretnik menjadi bagian yang sangat menonjol dalam perilaku
kekerasan yang melibatkan massa dalam jumlah yang cukup besar. Semakin seringnya
persoalan etnisitas muncul menjadi perseteruan terbuka antarkelompok etnik
menunjukkan makin pekanya masyarakat terhadap sentimen-sentimen perbedaan sosial.11
Namun demikian, primordialitas SARA sebagai suatu bentuk kesadaran identitas
seperti yang dipergunakan seseorang untuk membedakan dirinya dengan yang lain bukan
topik utama yang akan dibicarakan di sini. Primordialitas SARA menjadi penting bagi
penelitian ini ketika tidak lagi menjadi sekadar bagian dari identitas personal melainkan ia
juga dipergunakan sebagai alat untuk membedakan satu kelompok dengan yang lainnya
secara sengaja (by design). Fokus perhatian penelitian di sini menyangkut penggunaan
faktor primordialitas SARA untuk kepentingan politik dan ekonomi yang melibatkan
kekuatan struktural kekuasaan. Dengan demikian, primordialitas SARA menjadi variabel
bebas yang dipergunakan sebagai alat politisasi untuk kepentingan tertentu, terutama
politik dan ekonomi.
Istilah SARA pertama kali dipopulerkan oleh Laksamana Sudomo, Panglima
Kopkamtib di masa Orde Baru. Menurut Tamrin Amal Tomagola, istilah SARA
sebetulnya mencampuradukkan baik dimensi keterbelahan vertikal (kelas sosial) dari
struktur sosial maupun dimensi keterbelahan horizontal dari struktur yang sama. Karena
itu, Tamrin mengusulkan sebuah istilah yang secara konseptual menurutnya lebih pas,
yakni KERAS (Kelas Ekonomi, Ras, Agama, dan Suku).12 Namun demikian, meskipun
istilah SARA dinilai rancu secara konseptual, tetapi telah terbukti sangat efektif secara
sosial-politik. Karena itu, istilah SARA dipilih dalam penelitian ini untuk pemakaian
berikutnya.
Dalam melihat persoalan SARA, La Ode Ida melihat dua faktor kelalaian yang
cukup mendasar. Pertama, berkaitan dengan pemahaman gejala-gejala konflik yang
muncul di masyarakat. Kajian yang ada selama ini dianggap lalai memperhatikan aspekaspek sosiologis yang bisa melahirkan gerakan masa. Tak pernah digali secara baik apa
substansi sebuah konflik, sehingga potensi konflik di masyarakat tak pernah terdeteksi
dengan akurat. Kedua, selalu saja dibangun asumsi bahwa masyarakat selalu bisa bersikap
pasrah terhadap berbagai kebijakan politik dan ekonomi pemerintah. Sehingga, apa pun
yang dilakukan demi kepentingan pembangunan atau demi stabilitas atau demi
kepentingan umum pemerintah selalu menganggap rakyat akan pasrah saja.13
Kecuali konflik yang direkayasanya, bagi Orde Baru adalah tabu untuk
membicarakan SARA. Mereka yang tetap nekat akan dikategorikan sebagai subversi.
Dengan anggapan seluruh rakyat Indonesia memahami epistemologi Jawa, yakni tanggap
sasmito, maka keputusan politik untuk tidak membicarakan masalah SARA, diidentikkan
sebagai realita tidak adanya kasus SARA di republik ini. Jalan berpikir yang keliru ini jelas
membawa konsekuensi mengerikan begitu pecah konflik SARA. Informasi yang sampai
ke masyarakat hanyalah melalui mulut ke mulut. Media massa tidak berani memberitakan
karena khawatir dibredel. Komunikasi informal yang menjadi sarana informasi satusatunya di luar jalur pemerintah, membuat situasi makin tegang dan seperti api dalam
sekam.14

Setiawan, Bambang (1999) Persoalan Kesukuan dan Diskriminasi dalam Proceedings Lokakarya Etnisitas
dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.
12 Ibid.

11

13

Lihat: Toriq Hadad et. All., (1998) Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, ISAI, Jakarta.

14

Kompas, 23 Maret 2000.

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


David Lake dan Donald Rothchild mengatakan, konflik komunal menjadi ciri
pemerintahan yang lemah di negara-negara yang sedang mengalami proses transisi.
Pemerintahan yang lemah ini ditandai oleh dominannya penggunaan alat pemaksa
dibanding otoritas yang legitimate. Secara skematis, Gregorius B. Subanar melukiskan
hegemonisasi dan represi yang dilakukan negara terhadap rakyat, sebagai berikut15:
Pemerintah
Hegemoni
Budaya

Represi

Informasi

Hukum

Militer

Masyarakat
Hegemonisasi yang berlangsung selama masa Orde Baru berdampak buruk
terhadap masa transisi berikutnya. Ini tampak antara lain dengan mencuatnya berbagai
konflik bernuansa SARA yang sebelumnya diredam-paksa secara represif. Stanley melihat
persoalan SARA ini muncul sebagai akibat menyempitnya ruang akomodasi negara
bangsa pada masa rezim Orde Baru.16 Menurutnya, rezim Orde Baru telah mereduksi
definisi negara-bangsa melulu hanya bagian dari kelompok masyarakat yang loyal pada
pemerintah dengan menafikan keragaman realitas sosial-kultural yang ada di dalamnya.
Secara kronologis, sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Republik Indonesia
mengalami lima periode pemerintahan. Periode pertama atau yang sering disebut sebagai
Orde Lama dimulai sejak Agustus 1945 hingga September 1965 dipimpin oleh Sukarno.
Periode kedua mulai Oktober 1965 hingga Mei 1998 yang lazim disebut sebagai masa
Orde Baru dipimpin Soeharto yang juga merupakan masa pemerintahan terlama
sepanjang sejarah Republik Indonesia. Periode berikutnya merupakan masa transisi
dengan masa pemerintahan yang relatif pendek. Pada masa transisi ini Indonesia
dipimpin secara bergiliran. BJ. Habibie dengan Kabinet Reformasinya memerintah sejak
Mei 1998 hingga Oktober 1999. Abdurrahman Wahid menggantikan BJ. Habibie mulai
Oktober 1999 hingga Juli 2001 dengan Kabinet Persatuan. Sejak Juli 2001, giliran
Megawati memimpin Indonesia dengan kabinet Gotong Royong.
NO
1
2
3
4
5

Presiden
Sukarno
Soeharto
BJ. Habibie
Abdurahman Wahid
Megawati Soekarnoputri

Masa Pemerintahan

Rezim/Kabinet

17 Agustus 1945 12 Maret 1965


12 Maret 1965 21 Mei 1998
21 Mei 1998 19 Oktober 1999
20 Oktober 1999 23 Juli 2001
23 Juli 2001 20 Oktober 2004

Orde Lama
Orde Baru
Kabinet Reformasi
Kabinet Persatuan
Kabinet Gotong Royong

Subanar, Gregorius B (2002) Visi dan Relevansi Kelompok-kelompok Antar-iman Dalam Konteks
Bermasyarakat, dalam Newsletter Interfidei, Yogyakarta: Edisi Khusus 2002.

15

Stanley (2002) Konflik di Indonesia dan Upaya Rekonsiliasi Masyarakat dalam Makalah Workshop:
Penyusunan Kurikulum Liputan Jurnalis di Wilayah Konflik (Aceh) dengan Menggunakan Perspektif Juranlisme Damai,
Yayasan Kippas Medan: 23-27 Oktober 2002.

16

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Membandingkan lima periode pemerintahan tersebut memang merupakan
kesulitan tersendiri. Persoalan paling mendasar terutama pada tenggat waktu yang tidak
proporsional, terutama antara periode Soeharto pada masa Orde Baru dengan periodeperiode berikutnya. Namun demikian, penelitian ini hanya ingin memfokuskan
perhatiannya pada persoalan SARA yang terjadi pada periode pemerintahan Soeharto
atau pada masa Orde Baru serta implikasi sosial-politiknya pada masa transisi berikutnya.
Hal ini dimaksudkan untuk melihat sejauh mana politisasi SARA yang dilakukan oleh
rezim Orde Baru berdampak menjadi salah satu warisan buruk yang menghambat proses
konsolidasi demokrasi pada masa rezim pemerintahan berikutnya.
Anatomi Persoalan SARA di Indonesia
Gerry van Klinken menilai kerusuhan bernuansa SARA merupakan kejutan
terbesar yang terjadi pasca reformasi di Indonesia.17 Namun demikian, berbagai
kerusuhan yang mencuat pasca reformasi itu bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri.
Menurut Tamrin Amal Tomagola, ada sementara anggapan bahwa kerusuhan massal itu
sebagai konsekuensi logis dari hiruk-pikuk kebebasan yang kebablasan pasca gerakan
reformasi. Padahal menurutnya, bom waktu yang disemaikan rezim Soeharto dalam
bentuk ketidakadilan struktural, perlakuan diskriminatif-institusional yang berlarut-larut,
serta budaya kekerasan yang dicontohkan oleh aparat keamanan dengan berbagai
organisasi milisi para-militer yang disuburkan di masa Orde Baru yang telah menumpuk
sedemikian rupa sehingga siap untuk meledak setiap saat.18 Tidak heran jika Sidney Jones
juga berkali-kali dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa: huge number of
outbreaks of communal violence in many cases [are] the legacy of an abusive past than [they are] the
result of permissive present.19
Lembaran sejarah Bangsa Indonesia dua dasa warsa terakhir ini mencatat rentetan
konflik sosial yang teramat panjang dan memprihatinkan. Mulai dari Aceh di ujung barat
hingga Papua di ujung timur, berbagai konflik sosial telah merenggut banyak korban.
Ribuan nyawa manusia, ribuan tempat tinggal, rumah ibadah, dan berbagai fasilitas publik
hancur. Sementara kerugian immaterial lain yang berdampak psikologis meninggalkan
luka-luka dan trauma yang sulit disembuhkan. Konflik dan kerusuhan yang telah
memakan banyak korban ini ditenggarai bersumber dari persoalan SARA yang pada masa
Orde Baru sengaja ditutup-tutupi dan kini terkuak tanpa kendali.
Masalah SARA memang merupakan variabel penting dari konflik dalam
masyarakat majemuk seperti Indonesia. Namun demikian, tanpa ada suatu faktor yang
menjadi pemicu, maka variabel SARA itu tidak begitu saja bermain di dalam sebuah
konflik. Dengan lain perkataan, SARA merupakan suatu kondisi yang memungkinkan
terjadinya konflik dan sangat menentukan bentuk dan skalanya.20 Meskipun konflik
SARA merupakan sesuatu yang kait-mengkait satu sama lain, namun secara umum,
berbagai konflik yang terjadi di Indonesia dapat dipetakan sebagai berikut.

17

Ibid.

18

Ibid.

Penegasan ini pernah disampaikannya dalam diskusi Asia Society, New York, Oktober 2000 juga dalam
Pangkaykim Memorial Lecture, Jakarta 17 Desember 2002. Lebih detail lagi mengenai gagasan Sidney Jones ini
dapat disimak dalam Laporan ICG: http://www.intl-crisis-group.org.

19

20

Aliansi Keadilan, Edisi Nomor 18 / Tahun I, 28 Juni 4 Juli 1999.

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Konflik Suku
Menurut Parsudi Suparlan, kesukubangsaan atau jatidiri sukubangsa merupakan
suatu gejala yang bersifat primordial yang seringkali menjadi acuan utama seseorang
untuk mengidentifikasi dirinya dalam berinteraksi dengan orang lain. Kesukubangsaan
pula yang merupakan hal pertama yang diperoleh seseorang dalam kehidupannya melalui
proses-proses enkulturisasi dan sosialisasi. Atribut-atribut yang tercakup dalam
kesukubangsaan dan digunakan untuk menunjukkan kesukubangsaan seseorang dalam
interaksi adalah simbol-simbol yang tersurat maupun yang tersirat, keyakinan-keyakinan,
selera, ungkapan-ungkapan, bahasa, ciri-ciri tubuh, dan ekspresi-ekspresi gerakan tubuh,
dan berbagai sifat-sifat kepribadian yang menjadi ciri-ciri kesukubangsaaannya.
Kesukubangsaan muncul dan ada dalam interaksi sosial di mana lingkungan sosial yang
menjadi wadah dari interaksi tersebut memungkinkan terwujudnya kesukubangsaan dari
para pelaku. Dalam hal ini kesukubangsaan adalah variabel tergantung dari variabel
lingkungan atau variabel struktur interaksi.21
Setidaknya, ada dua kasus yang sangat menonjol berkaitan dengan konflik
antarsuku yang memiliki eskalasi luas dan menimbulkan kerugian yang cukup besar.
Pertama, konflik etnis di Maluku antara sukubangsa Ambon dan para pendatang yang
kebanyakan berasal dari Bugis-Buton-Makasar (BBM). Parsudi Suparlan melukiskan
konflik ini sebagai berikut:
Kerusuhan Ambon adalah contoh dimana perbuatan para preman atau seperti preman inilah yang
menjadi pemicu dari kerusuhan antarsuku tersebut. Sebelum zaman Orde Baru, kota Ambon adalah
sebuah masyarakat yang dominan Ambon dan Kristen. Pada masa Orde Baru dan menjelang
kerusuhan yang nampak di kota Ambon adalah dominan Islam dan Bugis-Buton-Makasar (BBM).
Kekuasaan pada tingkat propinsi dan kabupaten didominasi oleh mereka yang beragama Islam dan
yang bersuku bangsa Bugis dan Makasar atau lainnya, dan kehidupan pasAR serta tempat-tempat
pelayanan didominasi oleh BBM yang Islam. Jadi orang Ambon di kota Ambon yang sudah tidak
lagi mempunyai akses terhadap politik pada tingkat propinsi dan kabupaten juga masih dipurukkan
oleh perbuatan para preman dengan dukungan oknum-oknum yang juga BBM dan Islam. Puncak
dari keterpurukan dan diperlakukan secara tidak adil di tanah atau wilayahnya sendiri adalah pada
waktu seorang preman BBM menusuk seorang sopir kendaraan umum. Kebangkitan dari suatu
kekuatan massa anti BBM telah menyebabkan tergusurnya BBM dari kota Ambon. Dalam
kerusuhan massa seperti ini tidak lagi dibedakan mana yang preman dan mana yang bukan. Semua
BBM digolongkan sebagai sama dengan preman. Karena itu semua yang tergolong sebagai BBM
harus dibersihkan dari wilayah kehidupan kota Ambon dalam bentuk pembunuhan atau
pengusiran.22

Namun demikian, bukan hanya warga BBM yang kemudian terusir dari Ambon,
tapi juga sukubangsa-sukubangsa lainnya yang sudah bertahun-tahun tinggal di kota
Ambon. Ini dapat dimak dalam kutipan berita berikut:
Ribuan pengungsi Maluku pasca kerusuhan Ambon banyak menyebar ke pulau Jawa, Nusa
Tenggara, Bali, dan lain-lain. Mayoritas dari mereka ini mengungsi melalui kapal-kapal yang
disediakan. Tanpa mempedulikan risiko yang terjadi, mereka tetap naik kapal agar menjauh dari
perang saudara yang telah memakan banyak korban.23

Kedua, konflik etnik Dayak-Madura dan Dayak-Melayu di Sambas (Kalbar) dan


Sampit (Kalteng). Tragedi kemanusiaan di bumi Kalimantan ini sungguh sangat
Suparlan, Parsudi (1999) Kesukubangsaan dan Perubahan Sosial dalam Proceedings Lokakarya Etnisitas
dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.

21

22

Ibid hal 8-9.

23

Republika, 2 November 2001.

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


mengerikan, bahkan banyak pihak yang menilai peristiwa ini sebagai perbuatan
barbarian.24 Berikut petikan berita yang melukiskan peristiwa itu.
.Menurut Gubernur Kalimantan Tengah, Asnawi A. Gani, yang terjadi di Sampit adalah
konflik antara sekitar 10-15 subetnis Dayak dan masyarakat Madura. Ia tegaskan pula bahwa
kerusuhan antaretnis di Provinsi yang dipimpinnya itu tidak melibatkan suku pendatang yang
lain. Asnawi juga mengatakan bahwa hingga saat ini jumlah pengungsi yang sudah berangkat ke
pulau Jawa sebanyak 23.848 ribu jiwa. Sementara yang siap diberangkatkan ada sekitar 25 ribuan
orang lagi.
Sementara itu, Kapuspen Polri Irjen Pol. Didi Widayadi memaparkan kerugian material yang
harus dipikul akibat kerusuhan di Sampit. Dari data yang diperoleh Ditintel Polda Kalteng dari
18 Februari sampai 6 Maret 2001, sebanyak 1192 buah rumah dibakar, 749 dirusak, 16 buah
roda empat, 43 roda dua, dan 114 buah becak dirusak massa. Korban meninggal sejumlah 371
orang dan 27 orang luka berat.25

Di luar kedua peristiwa itu tentu saja masih banyak konflik kecil yang terjadi
antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Beberapa peristiwa konflik etnis yang
pernah tercover oleh media antara lain: Papua-Makasar (di Papua), Madura-Melayu (di
Kalimantan), Madura-Banten (di Pasar Kramat Jati, Jakarta), Madura-Betawi (di Pasar
Pramuka, Jakarta), Batak-Sunda (di Terminal Pulogadung dan Terminal Rambutan,
Jakarta). Berbagai konflik etnik ini menunjukkan rentannya persoalan etnisitas di
Indonesia sehingga dengan mudahnya dapat dijadikan alat untuk politisasi berbagai
kepentingan.
Konflik Agama
Clifford Geertz pernah menyampaikan pengamatannya bahwa agama merupakan
unsur perekat yang bisa menimbulkan kohesi, namun sekaligus merupakan unsur pembelah
yang dapat menimbulkan disintegrasi.26 Pandangan teori fungsional yang telah menjadi klasik
ini menurut Thomas F. ODea didasarkan pada pertanyaan dasar apa sesungguhnya
sumbangan fungsional agama terhadap sistem sosial. Dalam pandangan fungsional, agama
adalah sesuatu yang mempersatukan aspirasi yang paling luhur, memberikan pedoman
moral, memberikan ketenangan individu dan membuat kedamaian masyarakat, menjadi
sumber tatanan masyarakat dan membuat manusia menjadi beradab. Tetapi pada saat yang
sama, agama juga dituduh sebagai biang keladi peperangan.27
Menurut AA Yewangoe, sinyalemen itu terbukti dalam sejarah umat manusia. Begitu
banyak peperangan yang diberi label agama pernah dikobarkan manusia. Perang Salib yang
memperhadapkan umat Islam dan Kristen di Yerusalem telah terlanjur dianggap sebagai
perang suci. Perang yang berdalih membela Yerusalem dari serangan Islam ini telah

Simak berita Tempo Interaktif, Edisi 8 Maret 2001. Pada laporan lainnya dalam edisi yang sama media ini
juga bahkan memuat keprihatinan pemerintah Inggris yang menyampaikan kekhawatirannya secara khusus
kepada Dubes RI untuk Inggris, Nana Sutresna atas terjadinya peristiwa Sampit. Beberapa situs internet
menampilkan foto-foto pembantaian yang mengerikan. Sementara kalangan DPR mengusulkan
dibentuknya Pansus Sampit. Ini tentu saja menggambarkan betapa gawatnya persoalan ini.

24

25

Tempo Interaktif, 8 Maret 2001.

Geertz, Clifford (1987) Konflik dan Integrasi Agama dan Masyarakat di Mojokuto dalam Taufik
Abdullah (ed.) Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia, Pustaka Firdaus, Jakarta.

26

27

ODea, Thomas F. (1985) Sosiologi Agama, Suatu Pengenalan Awal, Rajawali, Jakarta.

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


menimbulkan penderitaan bagi umat manusia. Pada saat yang sama, Perang Sabil yang juga
dilakukan atas nama agama telah pula menimbulkan banyak kerugian kemanusiaan.28
Dalam konteks Indonesia, Th. Sumartana melihat hampir semua peristiwa kekerasan
yang terjadi kecuali peristiwa 27 Juli 1998 dan peristiwa di Papua- selalu terkait dengan
faktor agama dan pada umumnya merembet ke tindak perusakan rumah ibadah. SARA
memang nampaknya merupakan sebuah paket kesatuan. Dan sekalipun ada rumah ibadah
yang dirusak termasuk masjid, kelenteng dan vihara Buddha, tapi perusakan rumah ibadah
(bangunan gereja) Kristen, baik jumlah maupun tingkat kerusakannya bisa dikatakan
menonjol, baik gereja Protestan maupun Katholik.29
Menurut Sumartana, perusakan rumah ibadah Kristen dalam peristiwa kerusuhan
selama Orde Baru ini sangat fenomenal, oleh sebab itu perlu dicermati secara khusus.
Dengan menyajikan data yang dihimpun oleh Forum Komunikasi Kristiani Surabaya Indonesia (FKKPS-I), ia menyatakan bahwa sejak Orde Baru berkuasa sudah ada sekitar
358 gereja dirusak, dibakar dan dihancurkan. Adapun jumlah gereja yang ditutup, dirusak
dan dibakar dari periode tahun 1945-1997, adalah sebagai berikut:

Periode
1945-1954
1955-1964
1965-1974
1975-1984
1985-1994
1995-1997

Jumlah

Rata-rata

0
2
46
89
132
89

0
0
13
25
36
25

Prosentase
0
0,2
4,6
8,9
13,2
44,5

Sumber: FKKPS-1 dalam Sumartana (2003)

Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (PPPK) UGM dalam suatu
penelitiannya memberi gambaran bahwa lingkungan kehidupan agama ditandai oleh
kecenderungan ke arah militansi kesadaran agama yang siap bersaing di masyarakat dengan
pengikut agama lain. Hal semacam ini tentu memberikan dampak dan ketegangan tertentu
pada kehidupan umat beragama. Sementara itu juga dicatat munculnya krisis otoritas antarkelompok dan intra-kelompok. Banyak pemimpin agama yang merasa ditinggalkan
pengikutnya, karena banyak alasan, antara lain karena pemimpin tersebut dianggap terlalu
dekat dengan pemerintah. Selain itu juga ada korelasi antara agama tertentu dengan
kelompok ras yang sering menjadi sasaran dari amukan massa, khususnya dari golongan
etnis Cina. Dan yang paling menonjol adalah semangat misi keagamaan yang sering
melupakan nilai-nilai pergaulan antarmanusia di lingkungan tertentu.30
Dengan bertitik tolak dari Progress Report itu, Sumartana lebih jauh mengemukakan
bahwa agaknya masalah "kristenisasi" menjadi salah satu pemicu dari kerusuhan agama
tersebut. Kegiatan kristenisasi ini antara lain dilakukan oleh komunitas agama atau gereja
fundamentalis, fenomena ini terasa agak menonjol. Dari berbagai pembakaran gereja bisa
ditemukan pola umum, yaitu sebagian besar korbannya adalah gereja fundamentalis, dengan
mayoritas jemaat keturunan Cina. Menurut informasi yang terkumpul, gereja-gereja
evangelis yang agresif dalam penyebaran agama memang memperoleh dukungan material
28

Yewangoe, AA (2001) Agama-Agama dan Kerukunan , BPK Gunung Mulia, Jakarta.

29

Wawancara dengan Th. Sumartana, 30 April 2002 di Bogor.

Progress Report PPPDK-UGM dalam Sumartana (2003) SARA dan Integrasi Nasional: Ketegangan
yang Tak Pernah Padam ? dalam Dinamika Demokratisasi Pasca Soeharto Persoalan dan Prospek, ISAI-SARECDEMOS, Jakarta.

30

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


dan finansial baik dari dalam maupun luar negeri. Ada hal lain yang perlu diperhatikan, yaitu
bahwa golongan fundamentalis Kristen yang agresif dalam penyebaran agama tersebut
umumnya bukan angota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI).31
Hal yang sama dapat ditemukan pula pada kelompok-kelompok Islam. Hampir
dapat dipastikan bahwa kelompok-kelompok Islam yang terlibat dalam konflik agama di
beberapa tempat tidak berasal dari kelompok mainstream seperti NU dan Muhammadiyah.
Kelompok Islam yang bertikai di beberapa daerah umumnya berasal dari kelompokkelompok kecil yang mengalami radikalisasi pada masa Orde Baru. Pada masa ini, identitas
keagamaan terutama Islam- telah digunakan oleh sebagian kelompok sebagai sarana
pencitraan ideologis untuk membangun perasaan diperlakukan secara diskriminatif.
Senada dengan itu, Goenawan Mohamad menilai bahwa politik identitas seperti itu
terjadi oleh rasa terpojok dan suasana penindasan.32 Suasana ini yang seringkali menjadi
pembelaan sekaligus pembenaran untuk meneriakkan jihad dan menyalakan api perlawanan
dengan dalih membela Islam. Dalam tiap masa dan tiap kaum memang selalu ditemukan
mereka yang oleh seorang penyair Jawa abad ke-19 disebut orang yang berag agama yang
terlampau bernafsu untuk mengekspresikan imannya terhadap orang lain. Kemudian atas
nama imannya itu ia ingin menjadi syuhada atau martir yang siap berperang. Seakan-akan
untuk memperoleh taman firdaus, perdamaian di sebuah wilayah bumi ini tidak penting
lagi.33 Karena itu pihak Islam merasa memiliki alat pembenar ketika melakukan pengiriman
laskar-laskar jihad ke daerah konflik.
Melihat fenomena itu, Tamrin Amal Tomagola, salah seorang cendekiawan yang
juga aktifis asal Maluku mengecam bentuk-bentuk pengerahan massa berupa pengiriman
massa dari luar Maluku itu. Dalam pernyataannya yang disiarkan Radio BBC (19/1) ia
menegaskan bahwa dibiarkannya orang-orang luar yang menamakan diri Laskar Jihad itu
malah menjadi problem tersendiri yang serius. Karena itu, Tamrin mendesak agar Laskar
Jihad segera ditarik dari Maluku.34
Sekalipun konflik antaragama di Indonesia memperlihatkan dimensi dan varian yang
sangat beragam, namun konflik Islam-Kristen merupakan fenomena tersendiri yang cukup
kolosal dan dahsyat. Kasus Ambon dan Poso merupakan dua contoh konflik Islam-Kristen
yang telah begitu banyak menyita perhatian dan merenggut korban dengan kerugian yang
amat besar.
Dalam konflik Ambon, Tim Relawan Kemanusiaan35 dalam sebuah laporan
investigasinya antara lain mengungkapkan:
Berbagai segmen dalam masyarakat Ambon terbagi-bagi berdasarkan kelompok Agama. Ini
tereksploitasi menjadi sarana mempermudah meletusnya pertikaian. Demikian juga dengan
perbedaan antara orang asli dan pendatang. Rupanya banyak orang Ambon sendiri tidak
menyadari kelemahan ini, malah sebaliknya ikut mendukung dan membenarkan persepsi
perbedaan agama dan suku disertai kepahitan masalah ekonomi. Pada saat kerusuhan terjadi,
31

Ibid.

Mohamad, Goenawan (2002) Teks Yang Menghidupkan, Agama Yang Membebaskan dalam Newsletter
Interfidei, Yogyakarta: Edisi Khusus 2002.

32

33

Ibid.

34

http://www.coridor.com, 21 Januari 2001, 07:08 WIB.

Tim Relawan Kemanusiaan membuat laporan investigasi berdasarkan informasi dari berbagai kelompok
dan media massa: Tim Pencari Fakta dari Partai Keadilan cabang Ambon, Tim Pencari Fakta Yayasan alMukmin di Jakarta, Asian Human Rights Watch di New York, Kontras, Tim Relawan (Tirus) di Ambon,
Yayasan Sala Waktu Maluku, Mingguan Berita Umat, Sabili, Penabur, Tifa, Tempo, Tajuk, Detak, serta media
internasional: Associated Press (AP), Reuters, Agence France Press (AFP).

35

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


situasi serba tak menentu. Masing-masing pihak yang bertikai diisolir dengan issu-issu yang
meningkatkan kebencian dan menutup ruang bagi kedua pihak untuk saling berkomunikasi.
Dengan adanya perbedaan yang begitu jelas antara mana yang Kristen dan mana yang Muslim,
keadaan menjadi semakin meruncing sehingga baku hantam dan baku pukul dengan senjata tak
terelakkan lagi. Langsung terpateri gambaran kerusuhan itu adalah kerusuhan gama 36

Dalam setiap kerusuhan, definisi identitas menjadi demikian penting dan dalam
situasi tertentu cenderung makin dipertegas. Penguatan simbol-simbol identitas dalam setiap
kerusuhan menunjukkan makin kuatnya kehidupan pribadi diartikulasikan dalam kehidupan
publik sebagai tanda penggolongan sosial. Dalam tragedi Ambon, Parsudi Suparlan menilai
bahwa solidaritas sukubangsa seringkali digeser menjadi solidaritas keyakinan keagamaan,
sehingga konflik yang terjadi berubah menjadi kelompok-kelompok orang Ambon yang
beragama Islam dan yang beragama Kristen.37
Konflik Islam-Kristen di Poso juga tak kalah getir dan memilukan. Wilayah yang
mulanya dikenal sebagai tempat yang damai dan penuh daya tarik itu kini menjadi neraka.
Harian Fajar, surat kabar yang terbit di Makassar, melukiskan pertikaian yang terjadi di Poso
itu sebagai berikut:
Sesaat ketenangan di tanah Poso sejak kerusuhan pertama, dapat dinikmati warganya. Tiba-tiba
pada 24 Mei, api dalam sekam itu membara kembali, kali ini lebih panas. Pemicunya menurut
media ada dua versi; pertama sekumpulan pemuda mabuk yang memukul seseorang yang
kemudian meletup menjadi tawuran, dan kedua rebutan jabatan di kantor bupati Poso.
Berbagai versi mengenai jatuhnya korban pun tidak klop. Baik dari versi pemerintah maupun
kepolisian. Kapolres Poso menyebut angka 203 jiwa, kemudian Pemda setempat menyatakan
246 jiwa melayang akibat kerusuhan selama tiga bulan lebih itu.1 Belum lagi arus pengungsi yang
membludak membanjiri propinsi tetangga. Tercatat hingga akhir Agustus 2000, 15.032 jiwa
menyebar di Stadium Gawalise, BTN Silae dan di rumah-rumah penduduk Kota Palu. Lalu di
Donggala 10.238 jiwa, Morowali 4.182 jiwa, Sulawesi Utara 2.257 jiwa, Sulawesi Selatan 8.899
jiwa dan Sultra 49 jiwa. Pemerintah Kota Palu yang kewalahan, akhirnya membuka peluang pada
tiga Gubernur Sulawesi Selatan, Tenggara dan Sulawesi Utara ikut membantu. Persoalan ini kita
tangani bersama, kata gubernur itu senada dalam pertemuan terakhir di Kota Kendari (7
September 2000).38

Media nasional juga tak luput dari liputan konflik Poso tersebut. Berikut petikan
berita dari LKBN Antara dan Suara Pembaruan.
Kerusuhan kemarin terjadi ketika massa Kelompok Merah dari Kecamatan Lore Utara dan
sekitarnya menyerang kantong-kantong pemukiman Muslim di Kecamatan Poso Pesisir. Mereka
menembak penduduk di sejumlah desa, membakar rumah tinggal, tempat ibadah kaum Muslim,
serta gedung Madrasah Aliyah Negeri di kecamatan itu.

Kerusuhan makin meluas karena ribuan orang Kelompok Merah dari daerah lain, yakni
Kecamatan Pamona Utara, Mori Atas, dan Lembo terus berdatangan ke lokasi-lokasi kerusuhan.
Mereka masuk ke dalam kota, membakar rumah-rumah penduduk di kawasan BTN di sekitar
Perusahaan daerah Air Minum di Kelurahan Gebangrejo.39

36

Lihat di http://members.fortunecity.com/modus Ambon.html.

37

Ibid hal 9.

38

Harian Fajar, 21 Agustus 2000.

39

Antara, 28 Mei 2000.

10

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Menurut kesaksian masyarakat, ketika pecah kerusuhan ketiga, desa-desa tersebut menjadi
lautan api. Massa turun dari gunung-gunung menyerang dan membakar rumah-rumah
penduduk. Para penyerang memakai panah, tombak, bambu runcing dan senjata rakitan lainnya.
Sebagian besar harta benda masyarakat tidak sempat diselamatkan dan akhirnya terbakar habis
bersama rumahnya.40

Dalam beberapa episode prahara Poso, tidak ada satu pihak pun, baik Muslim
maupun Kristen, yang dapat memonopoli sepenuhnya atas kebenaran peristiwa rusuh yang
terjadi, baik dari segi kekerasan yang berlangsung maupun korban-korbannya. Kedua belah
pihak akhirnya sama-sama menderita dan menanggung kerugian-kerugian yang mendalam
dan menyedihkan. Poso hingga kini bagaikan api dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat
menyemburkan letupan-letupan yang mengejutkan.
Konflik Ras dan Antargolongan
Perkembangan sejarah Indonesia menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan
yang cukup menentukan dalam persoalan SARA dan akomodasinya. Salah satu persoalan
yang cukup penting --sekaligus krusial-- adalah berkaitan dengan penanganan masalah
etnis Tionghoa yang seringkali berujung pada persoalan ras dan antar-golongan. Menurut
Koentjaraningrat, pemerintah Orde Baru mengharapkan bahwa penduduk yang termasuk
sebagai golongan keturunan asing pada umumnya dapat berasimilasi dengan sukubangsa
di daerah tempat mereka berada atau bahkan sepenuhnya menganut kebudayaan nasional
Indonesia. Orang Arab Indonesia dengan nyata telah mencapai asimilasi, sedangkan
orang India Indonesia dan orang Indo-Eropa amat kecil dan tak penting jumlahnya.
Sebaliknya, orang keturunan Tionghoa, yang jumlahnya kira-kira tiga persen dari seluruh
penduduk, pada umumnya merupakan penduduk perkotaan. Di kota-kota Jawa mereka
bahkan berjumlah sekitar sepuluh persen dari kelompok keturunan asing, tetapi
mendominasi sektor ekonomi dari masyarakat kota. Karena itu etnis Tionghoa
merupakan kategori sosial yang amat penting.41
Namun demikian, Mely G. Tan menilai bahwa pemerintah Indonesia dari zaman
Orde Lama hingga Orde Baru telah turut mempertajam masalah berkaitan dengan etnis
Tionghoa yang penanganannya cenderung diskriminatif.42 Menurut Bambang Setiawan,
hampir tidak ada kelompok etnis di Indonesia yang dikelola secara sangat ketat selain
etnis Tionghoa. Selama tahun 1945-1978 pemerintah Indonesia telah membuat begitu
banyak peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.43
Jafar Suryomenggolo menginventarisir berbagai produk peraturan perundangundangan tersebut secara kronologis dan sangat terperinci.44 Salah satu contoh dapat
dikemukakan di sini, misalnya, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.10 Tahun
1959 tentang Larangan Bagi Usaha perdagangan Kecil dan Eceran yang bersifat Asing di
Luar Ibukota Daerah Swatantra I dan II serta Keresidenan. Menurut Pramoedya Ananta
Toer, dampak dari peraturan yang diskriminatif ini sangat fatal, karena terbukti telah
menjadi penyebab hijrahnya sebagian masyarakat Tionghoa dari pedesaan-pedesaan atau
40

Suara Pembaruan, 25 Mei 2000.

41

Ibid hal 17-18.

Tan, Mely G (1999) Etnisitas dan Perubahan Sosial: Beberapa Pokok Pemikiran dalam Proceedings
Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.

42

43

Ibid hal. 66.

Suryomenggolo, Jafar (2001) Hukum sebagai Alat Kekuasaan: Kajian Tentang perundang-undangan
yang Berkenaan dengan Asimilasi pada Masa Orde Baru, Skripsi S-1 pada Fakultas Hukum UI, Jakarta.

44

11

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


kota-kota kecil, bahkan tidak jarang terjadi pembantaian untuk memaksa mereka pindah
dari komunitas desa.45
Dalam laporan akhir Peristiwa Kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998, Tim
Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menyebutkan bahwa Peristiwa Mei yang merupakan
tragedi nasional itu menunjukkan suatu dimensi sentimen anti-rasial terhadap etnis
Tionghoa di Indonesia. Sentimen anti-rasial yang latent ini merupakan faktor penyebab
dominan yang mudah dieksploitisir untuk menciptakan kerusuhan. Sementara faktor lain
yang telah menyebabkan penyerangan terhadap kelompok etnis Tionghoa karena
penyerangan awal yang ditujukan terhadap toko-toko dan rumah-rumah milik golongan
etnis tersebut yang terkonsentrasi di beberapa wilayah tertentu.46 Ini tentu saja tidak
terlepas dari peraturan-peraturan diskriminatif tersebut yang hingga kini masih
berdampak bagi relasi sosial etnis Tionghoa dengan warga masyarakat di sekelilingnya.
Kurang harmonisnya relasi sosial antara etnis Tionghoa dengan etnis lain di
sekelilingnya seringkali juga merupakan akibat pemitosan yang salah antara satu sama lain.
Prototipe etnis Tionghoa yang terlanjur digambarkan sebagai orang kaya, sombong, dan
eksklusif seringkali tidak saja melahirkan persoalan rasial, namun juga konflik kelas
dengan golongan penduduk lain di sekitarnya. Leo Suryadinata, bahkan, menilai bahwa
pada masa Orde Baru, etnis Tionghoa seringkali hanya ditonjolkan sebagai contoh jelek.47
Karena itu pula persoalan ini tidak saja memunculkan masalah rasial, tapi sekaligus juga
masalah antar-golongan yang berdimensi konflik kelas.
Peristiwa 13-15 Mei 1998 merupakan fenomena terpenting yang dapat dijadikan
contoh betapa sentimen rasial dan konflik antar-golongan itu begitu mudah dieksploitisir
untuk menciptakan kerusuhan. Asia Week melukiskan peristiwa Mei 1998 itu sebagai
berikut:
Tiga gadis bersaudara sedang menunggu toko milik keluarganya ketika tujuh lelaki berkulit
legam dan tegap yang tidak mereka kenal menyerang sekitar pukul 16.00 WIB. Gadis itu
kemudian berhamburan menuju apartemen mereka di lantai tiga. Lelaki-lelaki tersebut memburu
dan berhasil menangkap mereka. Dua gadis termuda diperkosa, sedangkan si sulung hanya diberi
tahu bahwa dia terlalu tua untuk dimangsa.
Lalu mereka menyulut lantai dasar apartemen itu dengan api. Dua gadis yang mahkotanya sudah
direnggut paksa tadi didorong ke dalam kobaran api dan tewas. Namun, si sulung dapat
diselamatkan oleh para tetangga. Tidak berhenti di sini, kekerasan dan pemerkosaan terus
menjalar ke segenap wilayah itu. Menjelang pukul 19.00 WIB, sejumlah wanita telah diperkosa
dan kawasan itu dibumihanguskan.48

Keprihatinan dan refleksi kritis atas peristiwa tersebut antara lain dapat disimak
dalam liputan Jawa Pos berikut ini:
Ilmuwan yang pernah menjadi tokoh golput pada awal pemerintahan Orde Baru ini lantas
menjelaskan berbagai kemungkinan untuk menyulut Jakarta menjadi rusuh. Antara lain, dengan
memperalat SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Juga menggunakan isu kesenjangan
sosial yang intinya harus melabrak orang-orang keturunan Tionghoa seperti pada kerusuhan Mei.
Masalah SARA ini masih mujarab untuk membuat huru-hara, katanya.49
45

Toer, Pramoedya Ananta (1998) Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta.

Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (1998) Sujud di Hadapan Korban: Tragedi Jakarta Mei 1998, TRUK,
Jakarta. Hal yang sama juga dapat disimak dalam Hawe Setiawan (ed.) Hanif Suranto dan Istianto (1999)
Negeri Dalam Kobaran Api: Sebuah Dokumentasi tentang Tragedi Mei 1998, Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP), Jakarta.
47 Suryadinata, Leo (2002) Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, LP3ES, Jakarta.
46

48

Lihat: http://www.asiaweek.com/asiaweek/mengungkap_dalang/html.

49

Petikan wawancara dengan Arief Budiman ini dapat disimak dalam laporan Jawa Pos, 11 Mei 1999.

12

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Dalam setiap kerusuhan bernuansa SARA, definisi identitas menjadi demikian
penting dan dalam situasi tertentu cenderung makin dipertegas. Menurut Bambang
Setiawan, penguatan simbol-simbol identitas dalam setiap kerusuhan menunjukkan makin
kuatnya kehidupan pribadi diartikulasikan dalam kehidupan publik sebagai tanda
penggolongan sosial. Dalam tragedi Kerusuhan 13-15 Mei 1998 misalnya, agama dan
etnisitas menjadi demikian penting untuk menggolongkan orang-orang ke dalam kaum
yang harus dimusuhi atau sebaliknya dilindungi. Di Jakarta, dalam masa-masa mencekam
penuh ketakutan, lambang identitas dengan tulisan Muslim, Betawi Muslim atau
Pribumi menjadi demikian populer untuk dipasang di hampir setiap toko bahkan pada
beberapa perkantoran. Mengapa orang-orang tiba-tiba merasa begitu perlu memasang
kata-kata Betawi, atau Pribumi di depan rumahnya ?50
Taufik Abdulah menilai bahwa kerusuhan Mei 1998 memiliki pola yang hampir
sama dengan kerusuhan bernuansa rasial dan konflik antarkelas sosial sebelumnya,51
seperti di Tasikmalaya, Sitobondo, juga konflik-konflik pribumi-pendatang di beberapa
tempat di luar Jawa, seperti di Papua, Kalimantan, dan Maluku. Menurutnya, peristiwaperistiwa huru-hara tak pernah murni sebagai peristiwa sosial yang terlepas dari masalah
kekuasaan dan cenderung terkait dengan afinitas atau situasi yang saling menemukan dari
ketiga unsur: kejengkelan politik, keresahan sosial, dan kegelisahan ekonomi.52
Untuk yang terakhir, itu mengingatkan kita pada teori rumput kering yang
pernah dipopulerkan oleh Amien Rais. Menurutnya, soal-soal suku, agama, ras, dan kelas
sosial yang biasanya potensial meletupkan konflik, sebetulnya hanya merupakan faktor
pemantik (trigger) saja. Ibaratnya seperti rumput kering yang siap disulut dengan sedikit api. Jadi
apa saja yang menjadi trigger akan mengakibatkan kebakaran yang luas sekali, kata Amien Rais.
Penyebab utama yang diamati Amien adalah kebijakan ekonomi pemerintah Orde Baru
yang dinilainya keliru sejak awal: terlalu berpihak kepada golongan atas. Dengan
mengutip ucapan Presiden Tanzania Julius Nyerere, Amien mengatakan bahwa kebijakan
ekonomi di negara berkembang , termasuk Indonesia, lebih mementingkan dasi dan
sepatu orang kaya ketimbang periuk nasi orang miskin.53 Tak heran jika letupan-letupan
sosial yang sejak lama tertahan karena represi rezim, lama kelamaan terus menumpuk.
Rasa frustasi dan kekecewaan masyarakat ini yang akhirnya meletup dan menemukan
momentumnya menjelang kejatuhan rezim Orde Baru sehingga Tragedi Mei 1998 yang
dahsyat itu tak terhindarkan.
Peta Konflik dan Warisan Persoalan SARA
Samuel Huntington pernah meramalkan abad XXI sebagai abad yang ditandai
oleh gawatnya bentrokan peradaban. Ia memetakan, peradaban Timur-Barat, begitu pula
agama. Perang Balkan dan perang saudara di negara-negara eks Uni Soviet di Asia
Tengah dan Pegunungan Caucasus, menjadi petunjuk untuk itu.54 Di Indonesia konflik
seperti ini sudah lebih dahulu terjadi. Menurut Stanley, seluruh kawasan Indonesia
50

Ibid, hal 60-61.

Abdulah, Taufik (1999) Etnisitas dan Konflik Sosial: Sebuah Pengantar dalam Pemecahan Masalah
Hubungan Antaretnik: Etnisitas dan Konflik Sosial, Hasil Penelitian PMB-LIPI, Jakarta.

51

Taufik Abdulah dalam Thung Ju Lan (1999) Konflik Cina-Non Cina, Etnisitas dan Kekuasaan dalam
Proceedings Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.

52

Amien Rais, Dasi dan Sepatu si Kaya Lebih Penting daripada Periuk Nasi si Miskin dalam Toriq
Hadad, et all., (1988) Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, ISAI, Jakarta.

53

Huntington, Samuel (1991) The Third Wave: Democration in The Late Twentieth Century, University of
Okhlahoma Press, Norman and London.

54

13

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


merupakan daerah yang memiliki potensi konflik besar. Hal ini diakibatkan kesalahan
desain pembangunan digabung watak represif pemerintahan Orde Baru. Menurutnya,
kesalahan kebijakan transmigrasi kini menimbulkan potensi konflik antara penduduk
lokal dengan para transmigran. Kesalahan memberikan ruang bisnis kepada kelompok
militer kini menimbulkan konflik tanah dan hutan. Kesalahan pemberlakuan oparasi
militer kini membuahkan pergolakan dan gerakan bersenjata untuk yang menuntut
adanya penentuan nasib sendiri (rights of self determination) di Aceh, Papua, dan Ambon.
Kebijakan membabat orang Cina di Kalbar dan Kalteng sebagai penyangga ekonomi dan
digantikan dengan orang Madura telah berakibat munculnya sentimen anti-Madura di
kedua wilayah itu. Kesalahan melindungi sekaligus memeras pengusaha telah
menimbulkan kebangkrutan ekonomi sekaligus pembengkakan kaum penganggur di
Indonesia. Situasi ketidakadilan, diskriminasi, kesenjangan, sikap represif, krisis ekonomi
berkepanjangan juga menjadi sumber konflik yang tak ada habisnya bagi pemerintahan
manapun selama ia tetap mewarisi sistem dan watak Orde Baru.55
Dalam kebijakan kebudayaan, etnisitas sebagai unsur SARA merupakan salah satu
isu yang penting, karena kebudayaan bisa berpangkal pada etnisitas. Atau sebaliknya,
etnisitas juga dibentuk oleh kebudayaan. Dalam konteks seperti ini, Thung Ju Lan
menyebutnya sebagai dua sisi dari sebuah mata uang yang sama. Karena itu, menurutnya,
membahas isu SARA pada intinya adalah mencoba menempatkan isu ini dalam konteks
di mana berbagai kelompok kepentingan mempergunakan unsur-unsur kebudayaan etnik,
atau dengan kata lain isu-isu SARA, sebagai bagian dari strateginya untuk mencapai
tujuan lainnya.56 Politisasi SARA yang terjadi di Indonesia pun memperlihatkan ragam
dan dimensi kepentingan yang amat luas. Beberapa hal yang dianggap dominan dapat
dijelaskan dalam uraian berikut.
Dominasi Budaya
Rezim Orde Baru tidak semata-mata melakukan dominasi politik, tapi juga
melakukan penguasaan budaya secara nyata. Konsep kebudayaan nasional yang dibangun
Orde Baru sering dinilai banyak pihak sebagai upaya nasionalisasi budaya Jawa. Ini antara
lain dapat dilihat dalam penerapan UU No.5/1974 dimana model pemerintahan desa
harus mengacu pada konsep desa di Jawa.57
Proses berlangsungnya dominasi kultural lebih intensif dan massif lagi dengan
dijalankannya program transmigrasi. Program ini sebenarnya telah dimulai sejak tahun
1900-an ketika Indonesia masih berada di bawah jajahan Belanda. Namun program
transmigrasi berlangsung secara pesat pada masa Orde Baru. Pada masa ini transmigrasi
telah merubah secara signifikan peta dominasi kultural di beberapa tempat. Dalam jangka
waktu puluhan tahun, proses migrasi penduduk yang dipaksakan tersebut menciptakan
akumulasi persoalan di antara penduduk asli dan pendatang. Konflik Dayak-Madura di
Kalimantan Tengah dapat menjadi contoh untuk ini.
Menurut laporan Dinas Transmigrasi Palangkaraya, untuk tahun 1971 dan 1980
saja tidak kurang dari 100.000 penduduk yang bertransmigrasi ke Kalimantan. Dari
Stanley (2002) Konflik di Indonesia dan Upaya Rekonsiliasi Masyarakat dalam Makalah Workshop:
Penyusunan Kurikulum Liputan Jurnalis di Wilayah Konflik (Aceh) dengan Menggunakan Perspektif Juranlisme Damai
Yayasan Kippas, Medan: 23-27 Oktober 2002.

55

Lan, Thung Ju (2001) Kebijakan Etnisitas dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI, Jakarta.

56

Pada masa keemasan Orde Baru, bahkan jawanisasi telah merambah pada hal-hal yang sepele, seperti
pemakaian baju safari bermotif batik bagi para pegawai negeri, juga pemakaian logat bahasa IndonesiaJawa ala Soeharto yang ngetren dan banyak ditiru para pejabat pemerintahan.

57

14

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


jumlah itu, 13.000 di antaranya masuk ke Kalimantan Tengah.58 Meskipun ide dasar
program transmigrasi ini bertujuan untuk pemerataan penduduk, namun pada
kenyataannya telah turut memperluas penyebaran tradisi kaum migran secara ekspansif.
Aktivis HIMBA, Mathius Hosang mengungkapkan bahwa di beberapa tempat, bahkan,
bukan saja budaya lokal yang terancam melainkan agama dan kepercayaan penduduk asli
juga menjadi terancam keberadaannya.59
Meskipun banyak faktor dan variabel yang terkait dengan kerusuhan DayakMadura, Sidney Jones melihat bahwa persoalan budaya menjadi salah satu pemicu utama
pecahnya konflik di antara mereka.60 Menurut laporan ICG, penduduk Madura di ibukota
provinsi hanya berjumlah sekitar 12.000 atau sekitar 7-8 persen, tapi di kota Sampit yang
menjadi tempat utama kerusuhan, warga Madura sangat dominan dengan jumlah
mencapai 60 persen dari warga Sampit secara keseluruhan.
Persoalan yang sama juga terjadi di Kalimantan Timur. Seperti dikemukakan
Coomans bahwa masyarakat Dayak di Kalimantan Timur adalah kelompok masyarakat
yang paling dirugikan dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde
Baru.61 Kerugian yang diderita masyarakat Dayak bukan sekadar kerugian ekonomi,
melainkan juga kerugian kultural yang tak ternilai. Dalam kaitan ini, Laporan ICG
menulis:
Setelah Orde Barunya Soeharto berkuasa, dibuat undang-undang baru yang memberi kekuatan
hukum kepada pemerintah untuk mengalokasikan tanah bagi industri perhutanan dan
pertambangan. Undang-Undang No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kehutanan dengan sangat jelas menyebut bahwa hak adat untuk memperoleh manfaat dari
hutan-hutan diakui sebatas tidak menggangu tercapainya tujuan yang dimaksudkan oleh
undang-undang itu. Demikian pula, Undang-Undang Pertambangan Tahun 1968 memberi
pemerintah kekuasaan untuk mengalokasikan tanah adat maupun tanah lainnya untuk
pertambangan. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, tidak ada lagi rintangan
hukum yang dapat mencegah pemerintah membuka proyek transmigrasi dan mengalokasikan
hak penggunaan hutan dan tambang di daerah yang dihuni orang Dayak
Pengrusakan yang pesat terhadap hutan-hutan Kalimantan oleh pemegang HPH yang banyak
terdiri dari anggota keluarga Soeharto, rekan usahanya, maupun perusahaan-perusahaan yang
ada hubungannya dengan militer menjadi penyebab keprihatinan orang Dayak yang paling
62
mendasar.

Di beberapa tempat lainnya proses dominasi budaya juga berlangsung secara


massif. Di Ambon dan Papua, misalnya, kehadiran kelompok pendatang, terutama yang
berasal dari Bugis-Buton-Makasar (BBM) menjadi persoalan tersendiri. Konflik antara
BBM dan penduduk asli seringkali terjadi dan cukup mencemaskaan.
Di antara para pendatang, termasuk pegawai negeri non-Papua, ada kecenderungan
menganggap orang Papua sebagai masyarakat yang primitif, berperilaku kasar dan suka
Dinas Transmigrasi Palangka Raya (1988). Data yang sama juga dapat ditemukan pada Indonesia: The
Transmigration Project in Perspective, The World Bank, Washington D.C.

58

59

Wawancara dengan Direktur HIMBA Kalteng, Mathius Hosang, Palangkaraya 6 Juni 2003.

Dalam Laporan ICG Asia No.19, 27 Juni 2001 salah seorang pemuka Dayak yang diwawancarai staff
ICG mengatakan bahwa tradisi orang Madura yang kasar dan sulit menyesuaikan diri dengan budaya
setempat menjadi salah satu alasan kekesalan orang Dayak terhadap migran asal Madura.

60

61

Coomans, Mikhail (1987) Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.

62

Laporan ICG Asia No. 19, 27 Juni 2001.

15

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


menggunakan kekerasan. Di pihak lain, orang Papua merasa kesal terhadap sikap tersebut dan
terhadap dominasi para pendatang. Sementara itu, pendatang gelap terus berdatangan sehingga
menimbulkan kekhawatiran di antara beberapa orang Papua, yang melihat migrasi sebagai
bagian dari upaya yang didukung militer untuk melakukan destabilisasi di Papua. 63

Dominasi BBM baik di bidang ekonomi, politik maupun budaya di Ambon dan
Papua semakin menjadi-jadi, terutama setelah BJ. Habibie menjadi orang nomor satu di
negeri ini. Karena itu pula, pada masa pemerintahan BJ. Habibie konflik etnis di dua
daerah ini cenderung meningkat dibandingkan sebelumnya. Persoalannya tentu saja
kelompok BBM di dua daerah itu tidak saja dipersepsi sebagai representasi etnisitas, tapi
juga karena secara etnisitas BJ. Habibie tergolong BBM-- seolah merepresentasikan
kekuatan rezim yang harus dilawan.
Keterlibatan Aparat
Gambaran tentang pola dan fakta kerusuhan massal di Indonesia pada masa
transisi menunjukkan sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan kerusuhan-kerusuhan
massal yang terjadi sebelumnya. Ini dapat dibandingkan antara konflik yang terjadi
beberapa waktu yang lalu di Poso dan Ambon dengan konflik di daerah-daerah lain yang
terjadi sebelumnya, seperti: tragedi 27 Juli, Situbondo, Tasikmalaya, tragedi Mei 1998,
tragedi "Dukun Santet", Ketapang, Kupang, Sambas, dan lain-lain yang semuanya
memberikan petunjuk jelas tentang keterlibatan aparat.
Dalam konflik di Maluku, misalnya, begitu banyak pihak yang menyesalkan
terjadinya kerusuhan yang sebenarnya dapat diantisipasi dan dicegah keluasannya. Namun
yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak indikasi menunjukkan bahwa aparat keamanan
tidak hanya gagal dalam mencegah kerusuhan tapi bahkan terlibat dalam pertikaian.
Ketika kerusuhan baru meletus, para tokoh agama yang dikumpulkan oleh pihak
keamanan telah menyarankan agar pengamanan dan pembendungan massa tetap
menghadirkan para tokoh agama langsung di tengah umatnya, disertai back up dari aparat
keamanan tanpa senjata. Namun anjuran ini tidak diterima oleh aparat keamanan.
Alasannya, pasukan dalam jumlah besar telah dioperasikan ke lokasi-lokasi rawan.
Sebaliknya dan nyatanya, kerusuhan makin meluas. Pola penanganan kerusuhan oleh
aparat keamanan malah meningkatkan jumlah korban.
Tim Relawan Kemanusiaan mencatat beberapa kejanggalan yang terlihat sebelum,
selama dan setelah kerusuhan. Ini sekaligus memberikan indikasi tentang keterlibatan
aparat militer dalam kerusuhan.64 Pertama, tentara dan polisi sangat lamban dan kurang
tanggap mendengar laporan dari warga masyarakat. Kedua, aparat keamanan mengecilkan
arti faktor pemicu rusuh dan menganggap kerusuhan itu "biasa-biasa saja" dan
meremehkan persoalan. Ketiga, kurangnya kemampuan pihak keamanan untuk melakukan
deteksi dini terhadap gejala-gejala kerusuhan yang telah muncul sebelumnya. Keempat,
tentara bahkan langsung menciptakan dan memancing suasana tegang. Mereka
memperlakukan warga masyarakat secara kasar disertai penggunaan kata-kata vulgar
bernada sentimen rasial. "Kamu Ambon ya? Kamu kira orang Jawa takut pada kalian?!"
merupakan kata-kata yang seringkali didengar warga. Kelima, alat keamanan malah terlibat
dan menjadi bagian dari konflik itu sendiri. Keenam, aparat keamanan terkesan melindungi
dalang dan pelaku kerusuhan. Meskipun pihak polisi secara tak langsung mengakui
adanya "provokator", pada dasarnya informasi yang diberikan pada masyarakat sangat

63

Laporan ICG Asia No. 39, 13 September 2002.

Ulasan mengenai hasil investigasi tim ini dapat disimak pada:


(http://members.fortunecity.com/edicahy/selectedworks/ModusAmbon.html)

64

16

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


sedikit, terlalu minim untuk ukuran kerusuhan yang demikian luas dan begitu banyak
korbannya.
Sikap aparat itu justru menimbulkan kecurigaan lebih lanjut, karena kerusuhan
yang berakibat tewasnya ratusan orang menjadikan situasi batin masyarakat menjadi peka.
Kepada wartawan Antara, Kapolda Maluku Kol (Pol) Drs Karyono S hanya mengatakan:
"Tersangka kerusuhan di Ambon yang kini tengah diperiksa secara intensif mengakui adanya
keterlibatan orang-orang dari Jakarta".65 Atas dasar ini, Tim Relawan Kemanusiaan membuat
suatu pernyataan bahwa tak ada yang bisa disimpulkan dari pertanyaan dan ungkapan
"keterlibatan orang-orang dari Jakarta" yang terujar seolah-olah tak bersalah dari mulut
seorang penanggung jawab keamanan seperti itu. Situasi ini menimbulkan rasa tak pasti
dan saling curiga di antara warga masyarakat. Apalagi banyak orang yang kehilangan
anggota keluarganya dan berita buruk tentang banyaknya orang yang kehilangan anggota
keluarga sudah menimbulkan rasa tak tenang dan luka batin. Perasaan seperti ini mudah
sekali menyebar ke mana-mana di antara seluruh lapisan masyarakat. Karena itu, Tim
Relawan Kemanusiaan menyimpulkan bahwa terbatasnya informasi, situasi mengambang,
kemarahan dan dendam telah membuat orang semakin sulit menggunakan akal sehatnya.
Tidak mustahil bila mereka berangkat untuk saling menyerang lagi. Polisi tidak melakukan
tugasnya untuk memberi penerangan yang layak sehingga bukan keamanan yang tercipta,
tetapi malah sebaliknya.66
Kejanggalan-kejanggalan yang digambarkan para saksi mata di lokasi-lokasi
kerusuhan itu menunjukkan dengan sangat jelas bagaimana posisi dan peran aparat
keamanan dalam kerusuhan itu.
Berlarut-larutnya konflik Maluku sama sekali bukan bersumber dari perang antaragama
Kristen dan Islam, melainkan lebih pada skenario Angkatan Darat TNI. Agama hanya dipakai
sebagai alat, baju, dan Angkatan Darat lah yang memantiknya dengan korek api. Tragedi
kemanusiaan yang sudah mengorbankan ribuan nyawa umat Islam dan Kriten di Maluku, harus
diakhiri secepatnya. Adu domba terhadap kelompok Islam dan Kristen ini pun harus diketahui
masyarakat.
Dr Tamrin Tomagola berani bicara blak-blakan dan memegang sejumlah data penting
menyangkut konflik Maluku. Bahkan Tamrin menyebut nama mantan dan para jenderal aktif
seperti Wiranto, Djaja Suparman, Sudi Silalahi dan Suady Marasabessy sebagai pentolan yang
dalam pengadilan HAM bisa diseret. Tamrin bahkan berani menceritakan nada ancaman Djaja
67
Suparman terhadap dirinya ketika bertemu di Jakarta.

Berkaitan dengan keterlibatan militer dalam berbagai kerusuhan, sosiolog UI


Tamrin Amal Tomagola menilai adanya upaya territorial grip akibat terancamnya dwifungsi
ABRI. Karena di tingkat pusat peran politik militer terus digugat, di level lokal militer
terus berupaya menancapkan kekuatan dengan menciptakan berbagai kerusuhan. Dalam
kondisi seperti ini, militer dengan sendirinya selalu dan akan tetap dibutuhkan.68 Namun
demikian, menurut J. Nasikun, keterlibatan militer itu bukan by design dari Mabes ABRI.
Menurut sosiolog UGM ini, keterlibatan tentara dalam berbagai kerusuhan lebih
disebabkan oleh disorganisasi yang terjadi dalam tubuh TNI. Banyak local unit dalam TNI
yang dibiarkan cari biaya sendiri. Hal ini sekaligus menunjukkan lemahnya kontrol
65

Antara, 17 September 1999.

66

Ibid.

67

Simak: Jawa Pos.com, 2 Agustus 2000.

68

Ibid.

17

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Mabes ABRI dan juga menunjukkan ketidaktertiban dan anarkisme di lingkup internal
tentara.69
Sementara kekerasan terus berlangsung di Ambon, beberapa pulau sekitarnya juga
terus bergolak, militer justru melakukan penambahan pasukan dari Jawa dan Sulawesi
Selatan. Menurut George Aditjondro, setelah hal ini mulai diketahui, maka operator
Soeharto menggunakan preman-preman Ambon sebagai pasukan liar bersama pasukan
TNI yang loyal pada Wiranto. Mereka terus melakukan pembunuhan-pembunuhan dan
perusakan, sampai pada akhirnya diciptakan sebagai pola saling balas dendam antara
kedua belah pihak. Hingga pada titik yang sangat jenuh, pemuka agama dari pihak
Kristen dan Muslim, terus mencoba menciptakan perdamaian di antara kedua kelompok
yang bertikai. Tetapi bagaimanapun, peran perwira intelijen dari Kodam XVI/Pattimura,
Kolonel TNI Budiatmo dan Kolonel Nono, terus menghambat rencana perdamaian.70
Dalam kasus Poso, Direktur Yayasan Tanah Merdeka, Aianto Sangaji menilai
bahwa kekerasan memang sengaja dilestarikan di Poso. Menurutnya, pihak militer, baik
TNI maupun Polri berkepentingan terhadap lestarinya kekerasan di Poso karena mereka
bisa mendapat keuntungan dari situasi seperti itu.
kita harus melirik TNI dan Polri, yang menurut saya secara institusional memang harus
bertanggung jawab atas berlarutnya kekerasan di Poso ini. Problemnya adalah polisi dan tentara
harus mampu mengungkap mata rantai penyebaran senjata yang beredar di Poso. Hanya
mereka yang tahu sumber senjata dan amunisi buatan PT. Pindad yang banyak beredar dan
ditemukan di sini. Kalau mereka tidak melakukannya, ada dugaan kuat bahwa mereka memang
berkepentingan untuk melanggengkan konflik yang terjadi di sini, ujarnya.71

Dengan memperhatikan pemberitaan media massa, dapat dipahami bahwa dalam


kerusuhan Poso, juga tercipta wacana tentang keterlibatan aparat militer. Dengan
melakukan content analysis terhadap beberapa surat kabar nasional, Agus Sudibyo
memaparkan penggambaran keterlibatan militer sebagai berikut72:
Republika
1.
2.
3.
4.

Militer Terlibat Kerusuhan


Militer Diduga Terlibat Kerusuhan
Militer Tidak Terlibat Kerusuhan
Militer Lamban Bertindak

1
2
6
9

Total

69

Media
Indonesia
1
1
2
4

Suara
Pembaruan
1
1
1
3

Wawancara dengan J. Nasikun, 2 Maret 2003 di Jakarta.

Ini bisa disimak dalam hasil wawancara Radio Nederland-Wereldomroep dengan George J. Aditjondro yang
disiarkan pada: 07/09/2000. Ada banyak sumber lain yang menyatakan bahwa ternyata kekuatan tentara
ikut terlibat dalam konflik di Ambon. Salah satu tulisan detil soal ini bisa dibaca George Junus Aditjondro,
Di Balik Asap Mesiu, Air Mata dan Anyir Darah di Maluku dalam Zairin Salampessy (2001) dan Thamrin
Husain (ed), Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, Sekretariat Tapak Ambon, Jakarta.

70

71

Wawancara dengan Direktur YTM Palu, Arianto Sangaji, Palu, 2 Juni 2003.

Sudibyo, Agus (2001) Meliput Konflik SARA Tanpa Visi Rekonsiliasi: Analisis Isi Terhadap Beritaberita Kerusuhan Poso dalam Media Watch elSIM, Makassar: Edisi 07/2001.

72

18

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Menurut Sudibyo, kalangan militer cenderung defensif dalam menanggapi
tuduhan bahwa mereka lamban dan tidak serius dalam menangani kerusuhan. Pihak
militer beberapa kali menegaskan bahwa urusan keamanan sebenarnya adalah urusan
kepolisian. Pemegang otoritas TNI di wilayah konflik menegaskan bahwa mereka tidak
berani bertindak sebelum ada komando dari pusat. TNI juga menyatakan ketakutannya
terhadap tuduhan-tuduhan melanggar HAM jika mereka menerjunkan diri dalam upaya
pengendalian kerusuhan.
Persaingan Elit Politik
Tamrin Amal Tomagola menilai bahwa inti permasalahan dari konflik komunal
yang terjadi di Indonesia adalah akibat kekerasan struktural (structural violence) yang
dilakukan secara sistematik. Menurutnya, umat Kristen baik di Maluku, Maluku Utara
maupun Poso telah mengalami jenis kekerasan ini, terutama sejak penggalan kedua tahun
1980-an sampai dengan saat pecahnya kekerasan di wilayah konflik ini. Suku Dayak di
Kalimantan pun mengalami hal yang sama. Proses pelemahan secara sistematik yang telah
dialami oleh komunitas Kristen-Protestan di Maluku mulai terjadi sejak awal tahun 1980an dalam bidang ekonomi saat membanjirnya migran dari Sulawesi Selatan yang dikenal
dengan BBM: Bugis, Boton, Makasar. Proses ini disusul dengan marjinalisasi dalam
bidang politik dan pemerintahan lokal dalam tahun 1990-an ketika kelompok Islam
modernis kota mulai menancapkan dominasinya lewat ICMI. Proses pelemahan secara
sistematik (systematic disempowerment) ini menumpuk ibarat jerami kering yang siap
terbakar.73
Berbagai konflik dan kerusuhan yang terjadi juga tidak lepas dari kepentingan
para elit politik, baik elit lokal maupun nasional. Ini dapat dilihat dari berbagai peristiwa
yang telah terjadi pada masa Orde Baru. Kasus dukun santet di Situbondo dan Ciamis
serta amuk massa di Tasikmalaya merupakan contoh tarik-menarik kepentingan elit lokal.
Sementara kasus 27 Juli di Jakarta merupakan contoh yang menyiratkan kentalnya
berbagai kepentingan elit nasional. Ada pula kasus-kasus di mana persilangan
kepentingan di tingkat lokal dan nasional membaur sehingga kondisi menjadi carut-marut
karena akar persoalan sulit dirunut. Ini antara lain tampak pada kasus Maluku Utara dan
Ambon.
Dalam kasus Ambon, misalnya, ada beberapa hal yang patut dilihat pada saat-saat
awal kejadian kerusuhan meledak dan melebar dalam skala besar. Beberapa isu, peristiwa
dan kejanggalan kiranya dapat menjadi petunjuk perlunya masyarakat bersikap kritis
terhadap seluruh rentetan berkembangnya isu dan kejadian kekerasan. Tim Relawan
Kemanusiaan mencatat beberapa hal berikut 74 :
Pertama, konflik sudah biasa terjadi dalam masyarakat Ambon tapi kenapa
meledak jadi kerusuhan? Kejanggalan terjadi ketika konflik yang sudah dianggap normal
terjadi antara orang Muslim dan Kristen merembet menjadi kerusuhan skala besar yang
tidak terkendali. Picu kejadian bermula di sebuah kawasan terminal angkutan kota dan
pasar, yang keadaan psikologisnya penuh dengan perjuangan dan persaingan hidup dalam
usaha mencari makan, seperti di kalangan sopir, kernet dan pedagang pasar. Tawarmenawar dan bahkan pemerasan adalah hal biasa, seperti di kawasan sejenis di manapun
di Indonesia. Pada umumnya orang toh masih toleran, artinya tidak akan membiarkan
pertengkaran kecil menjadi alasan untuk meledaknya kerusuhan yang demikian tak
terbayangkan skala akibatnya. Masyarakat mana pun tentu memiliki batas toleransi untuk
tidak merugikan diri mereka sendiri, sekalipun terdapat perbedaan agama yang dalam,
73

Ibid.

74

Ibid.

19

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


apalagi untuk masyarakat Ambon yang sudah lama berada dalam keadaan tenang. Dengan
kata lain, berkembangnya pertengkaran kecil menjadi kerusuhan yang demikian luas
akibatnya, sangat sulit diterima akal sehat.
Kedua, munculnya teriakan-teriakan provokatif. Teriakan itu berisikan isu yang
sebenarnya tidak ada kebenarannya dalam peristiwa nyata. Artinya isu-isu yang
berkembang di awal meledaknya kerusuhan rupanya dimaksudkan untuk menimbulkan
kemarahan, sehingga orang demikian cepat menanggapinya dengan aksi kekerasan.
Setelah kejadian awalnya (19 Januari) sama sekali tidak tampak adanya hal-hal yang dapat
langsung dihubungkan dengan perkara agama. Tapi, tiba-tiba terdengar di sana-sini isu
yang menyebar bahwa "masjid dibakar", "gereja dibakar". Padahal tidak ada satu gereja
atau masjid yang dibakar sampai detik-detik itu. Sebagaimana yang disampaikan oleh
Amir, seorang saksi korban, seperempat jam setelah peristiwa pertengkaran personal itu
sudah terbentuk segerombolan massa yang siap menyerang. Maka dalam waktu 30 menit
isu dan teriakan "gereja dibakar" dan "masjid dibakar" sudah beredar di mana-mana dan
memancing warga dari tempat lain untuk berdatangan dan mengundang konsentrasi
kelompok-kelompok massa berdasarkan perbedaan agama di daerah-daerah dan lokasilokasi yang rawan konflik.
Ketiga, jarak waktu terlalu singkat untuk mengerahkan massa. Antara awal
pertengkaran dan pembakaran rumah-rumah hanya berkisar dua jam. Namun anehnya,
dalam waktu sesingkat itu pihak-pihak yang bertikai sudah siap dengan bom molotov,
sejumlah kelewang dan alat-alat kekerasan lainnya. Jumlah konsentrasi massa yang
sedemikian besar sama sekali sulit dan tak dapat dibayangkan dapat dikumpulkan dalam
waktu yang sesingkat itu. Di samping itu, kerusuhan terjadi hampir dalam waktu yang
bersamaan. Massa datang dari berbagai lokasi desa yang jarak antarlokasinya cukup
berjauhan. Sehingga aneh bahwa mereka dapat dikumpulkan dalam waktu yang cukup
singkat, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan sebelumnya.
Keempat, munculnya orang-orang tak dikenal. Orang-orang yang sudah lama
tinggal di kawasan tempat kejadian kerusuhan bahkan sama sekali tak mengenal mereka.
Saksi Amir, misalnya, yang seumur hidup tinggal di Batu Merah Bawah, menyaksikan
bahwa pemimpin rombongan massa perusuh itu sama sekali tak dikenalnya. Amir
memastikan bahwa orang tersebut pasti berasal dari luar kawasannya. Pertanyaannya:
bagaimana mungkin dalam waktu sesingkat itu orang sudah dapat memimpin
serombongan massa yang begitu banyak? Saksi-saksi lain menyatakan bahwa orang-orang
tak dikenal itu mengendarai sepeda-sepeda motor dan mobil dan menyebarkan berita
bahwa masjid dan gereja dibakar.
Kelima, alat komunikasi dan senjata api di tangan para perusuh. Ada orang-orang
tak dikenal oleh masyarakat setempat mempengaruhi percepatan konsentrasi massa
dengan menggunakan bantuan alat-alat komunikasi, seperti handytalky, handphones, dan
juga senjata api. Aparat terlihat memberi pasokan senjata tajam kepada massa.
Keenam, selebaran dengan kata-kata tak lazim. Adanya provokasi lewat selebaranselebaran yang mencantumkan kata-kata yang tidak biasa digunakan di lingkungan
AmbonLease, seperti penggunaan kata "Nasrani", sementara warga Ambon lebih akrab
dengan kata "Serani". Juga ditemukan selebaran berbahasa Arab yang ditulis dengan
ngawur.
Kejanggalan-kejanggalan di atas mengindikasikan bahwa berkembangnya konflik
personal menjadi kerusuhan bukanlah tindakan spontan masyarakat Ambon. Sulit
diterima akal bahwa masyarakat plural yang cukup lama bertahan dalam damai hendak
menghancurkan dirinya sendiri, tanpa ada unsur eksternal yang mutlak mendorongnya.
Ada usaha-usaha dari pihak luar untuk menjadikan Ambon sebagai wilayah konflik untuk
kepentingan politik para elit. Kerusuhan-kerusuhan itu menunjukkan kesamaan pola dan
modus operandinya. Indikasi-indikasi yang ditemukan Tim Relawan Kemanusiaan sebelum
hingga pasca kerusuhan, menunjukkan bahwa kerusuhan Ambon sudah direncanakan
20

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


secara sistematis. Bisa dipahami bahwa kerusuhan berkembang sangat cepat, eksesif dan
tak terkendali, tanpa disadari oleh masyarakat yang terlibat dalam konflik. Pihak
perekayasa tampaknya telah belajar banyak dari kerusuhan-kerusuhan yang terjadi
sebelumnya: tragedi 27 Juli, Situbondo, Tasikmalaya, tragedi Mei, "Dukun Santet",
Ketapang, Kupang, Sambas, dan lain-lain. Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi sebelum
peristiwa Ambon telah dipahami dan dibaca masyarakat sebagai hasil rekayasa elit
politik.75
Media di Simpang Jalan 76
Kaidah pers big name big news, no name no news dalam paradigma wacana media di
Indonesia, khususnya yang menyangkut pejabat, adalah mesin produksi berbagai antirealitas. Contoh ekstrem yang bisa dikemukan di sini adalah pada 1970-an saat Presiden
Soeharto berpidato menyatakan bahwa Indonesia telah bebas buta huruf, pers keesokan
harinya memuatnya pernyataan ini sebagai headline dan tak pernah melakukan konfirmasi
pada jutaan rakyat yang masih buta huruf. Dengan bantuan media, ucapan presiden yang
tadinya baru bertaraf pernyataan diubah menjadi kenyataan. Dalam kajian teoretis,
pencampuradukan dan perekayaan antara kepalsuan dan realitas ini dikenal sebagai
simulacra atau hiper-realitas.
Ada kecenderungan media di zaman Orde Baru bukan hanya menciptakan
simulacra melalui ucapan pejabat, tapi juga telah menghadirkan wacana yang berkaitan
dengan penciptaan pengetahuan palsu dan kebenaran semu di masyarakat yang lebih
dikenal sebagai pseudosophy. Dalam Kasus 27 Juli, misalnya, pers mengutip semua ucapan
pejabat tinggi militer dan intelijen sebagai kebenaran. Tuduhan bahwa PRD adalah
kelompok komunis yang militan, gerombolan setan gundul, dan kelompok pengacau
keamanan dilansir berbagai media tanpa memberikan kesempatan pada PRD dan
keluarga aktifis PRD untuk membela diri. Hebatnya, dalam situasi seperti ini beberapa
media mengutip ucapan Kasospol ABRI, Letjen TNI Syarwan Hamid, yang mengatakan,
Saya bisa tahu bahwa mereka itu komunis hanya dari mendengar cara mereka bernyanyi
atau bersiul.77
Melihat dan memeriksa kembali pemberitaan media mengenai berbagai peristiwa
kekerasan, seperti pada kasus penjarahan dan pemerkosaan yang menimpa golongan
minoritas keturunan Tionghoa pada 14-17 Mei 1998 di Jakarta, Medan, Solo dan
Surabaya; kita juga akan melihat bagaimana seluruh bangunan dan pola kerja media
massa sama sekali belum kokoh dan andal. Media ternyata tak memiliki kemampuan
mempraktekkan investigative reporting secara memadai dan hanya mengandalkan jurnalisme
omongan. Ketakutan akan imbauan dan tekanan semasa Orde Baru masih membayang.
Kebiasaan melakukan swasensor dengan mereduksi sekecil mungkin masalah SARA
tampak sangat kuat, misalnya dalam pemberitaan media perihal Kerusuhan Mei. Dalam
hal tindakan swasensor berlebihan yang dilakukan adalah swasensor yang dilakukan
pimpinan Gramedia Majalah yang meminta agar seluruh wawancara dengan Romo
75

Ibid.

Ulasan dan contoh-contoh pada bagian ini sebagian besar disarikan dari Stanley (2000) Potensi Media
Sebagai Peredam dan Pendorong Aksi Kekerasan dalam Makalah Workshop on Violence in Indonesia to follow
the Asian Studies Association of Australia (ASA) Conference di Universitas Melbourne, Melbourne, Australia, 3-9
Juli 2000.

76

Lihat: Terbit dan Republika, 1 Agustus 2000. Majalah Sinar misalnya, adalah yang pertama kali melansir
bahwa orang tua Budiman Sudjatmiko, Ketua PRD, adalah anggota PKI. Fakta yang diyakini betul oleh
Syarwan Hamid ini, belakangan terbukti bohong sama sekali. Pihak aparat keamanan kecele ketika orang tua
Budiman yang tinggal di daerah Bogor ini ternyata seorang haji dan pemeluk Islam yang taat. Bahkan di
rumahnya, mereka juga mempunyai sebuah tempat pengajian.

77

21

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Sandyawan berjudul Romo I Sandyawan Sumardi SJ: Pelakunya Jaringan Terorganisir,
Berpola dan Sistematis yang rencananya dimuat dalam Jakarta-Jakarta Edisi No 610
Agustus 1998 dibatalkan dan diganti. Pimpinan Gramedia Majalah memerintahkan
ribuan ekempar majalah yang baru selesai dicetak dan dijilid, dimusnahkan dengan cara
dihancurkan.
Selain itu ternyata wartawan yang menulis laporan penuh dengan prasangka
rasial,78 serta membelokkan isu dari tak adanya jaminan keamanan terhadap kelompok
minoritas keturunan Tionghoa menjadi isu a-nasionalis dan berita negatif kelompok ini.79
Hal ini sebenarnya tak berbeda jauh dengan aksi corat-coret massa yang menulisi rumahrumah warga keturunan Tionghoa dengan kata-kata rasial seperti Cina komunis, Cina
Babi, bunuh Cina, perkosa dan bakar Cina dan lain-lain.80 Karena itu, dapat
dikatakan pers Indonesia tak punya pengalaman dalam meliput konflik yang melibatkan
pertentangan suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA). Selama 32 tahun masa Orde
Baru, pers dilarang memberitakan semua hal yang berhubungan dengan SARA. Meski era
Orde Baru telah berlalu pers belum mampu dan tak punya strategi untuk menurunkan
liputan mengenai konflik yang mengandung unsur SARA.81
Mencermati pemberitaan media massa menyangkut konflik habis-habisan di
Maluku akan ada beberapa hal menarik yang didapat. Berbeda dengan sejumlah media
yang militansinya telah dikenal, seperti Hidayatullah, Media Dakwah dan Sabilli;82 media
besar dan mapan macam Kompas dan Suara Pembaruan cenderung melakukan swasensor
secara berlebihan yang cenderung menyembunyikan konflik. Sedangkan koran lainnya,

Hal ini bisa dilihat dari pemilihan sejumlah judul tulisan media massa. Misalnya Judul yang digunakan
Forum Keadilan, Rintihan Warga Bermata sipit Itu, Forum, No 7 Tahun VII, 13 Juli 1998.

78

Lihat sejumlah judul pemberitaan seperti Penerbangan ke Singapura Penuh Sesak yang
mengambarkan bagaimana warga minoritas Tionghoa pada akhirnya cari selamat dengan terbang ke luar
negeri, atau WNI Keturunan Diminta Tunjukkan Solidaritas. Berita diarahkan sedemikian rupa menjadi
pembenaran atas munculkan kebencian masyarakat atas perilaku a-sosial warga keturunan Tionghoa yang
tak mau bergaul, hidup soliter dan eksklusif, mendominasi ekonomi dan lain-lain. Lihat: Tim LSPP,
Laporan sementara Hasil Penelitian Tim Riset LSPP Tentang Profil Pemberitaan Media Cetak Pada
Peristiwa Kerusuhan Bulan Mei 1998, bahan diskusi palatihan wartawan meliput konflik SARA yang
diselanggaran LSPP-AJI di 7 kota pada September 1998- Maret 1999. Publik tampaknya juga merespon dan
terseret ke sikap minor terhadap warga keturunan Tionghoa. Hal ini bisa dilihat dari maraknya surat
pembaca yang bernada anti-Tionghoa. Lihat: Nonpri Harus Lebih Membaur, surat pembaca dalam Bisnis
Indonesia, 8/6/98.

79

Teror lewat kata-kata ini belum cukup, karena warga sekitar yang bukan keturunan Tionghoa berlombaloba menulisi pagar atau dinding rumah mereka dengan kata-kata yang tak kalah rasialnya yaitu milik
pribumi, Jawa asli atau milik Haji . Coretan-coretan ini sepertinya untuk mencegah rumah milik
warga non-keturunan Tionghoa jadi sasaran amuk massa, tapi sekaligus mempersilakan rumah yang tak ada
tulisan seperti ini untuk dibakar dan dijarah.

80

Kikuknya peliputan media massa juga dapat dilihat saat terjadi perang antara kelompok pecopet (suku
Batak) dengan awak bis UD Mayasari (suku Sunda) lantaran ada pecopet yang ditangkap saat mengambil
barang penumpang dan digebuki sopir dan kenek bus Mayasari. Si pencopet kemudian mengadu pada
kawananannya yang tinggal di Pulogadung. Mereka lantas beramai-ramai mencegat dan menghentikan
sebuah bus Mayasari lantas menggebuki awaknya. Seorang sopir Mayasari bahkan ditusuk hingga mati.
Akibatnya terjadilah perang. Perang besar di Terminal Pulogadung dan Kampung Rambutan yang
berlangsung sekitar 4 hari ini diberitakan hanya sebagai perang antara penjahat dan awak bus yang sulit
dimengerti akal sehat bahwa peristiwa kriminal bisa menjadi perang besar. Peritiwa ini baru berhenti setelah
satuan marinir bersenjata diturunkan di Pulogadung dan mengawal semua bus Mayasari.

81

Tulisan-tulisan ketiga media Islam ini dikenal garang dan menghantam kelompok non-Islam. Dalam
kasus Maluku, ketiganya lebih menyuarakan kepentingan kelompok yang menyuarakan Jihad.

82

22

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Republika, cenderung mempertajam konflik. Dengan demikian tak ada satu pun media
yang menempatkan dirinya sebagai bagian dari proses penyelesai konflik.
Hal yang sama juga dapat dilihat dalam pemberitaan kasus Poso. Beberapa media
lokal di pulau Sulawesi (Fajar, Pedoman Rakyat, Manado Post, dan Mercusuar) kerap
memberitakan peristiwa ini secara tidak sama atau bahkan bertentangan satu sama lain,
sesuai dengan keberpihakannya. Pengutipan narasumber menjadi salah satu strategi
untuk menutupi keberpihakan tersebut. Penggambaran negatif terus-menerus sengaja
dikutip dari narasumber untuk mempengaruhi persepsi khalayak. Artinya, media
bersama-sama narasumber telah melakukan strategi untuk memenangkan pergulatan
wacana salah satu kelompok. Sikap beberapa media lokal di pulau Sulawesi terhadap
pemberitaan kasus Poso dilukiskan Media Watch elSIM Makassar pada tabel berikut:
Media
Sikap
Narasumber

Fajar

Favorable Islam
Favorable Kristen
Netral
Unfavorable Islam
Unfavorable Kristen
Tidak Jelas

0
0
18
0
6
3

Pedoman
Rakyat
2
0
9
0
3
14

Total

27

29

Manado
Post
0
1
2
0
0
17
20

Mercusuar
4
2
15
0
3
86
110

Yang mengherankan, dari illustrasi tabel, kedekatan wartawan terhadap agama


tertentu ternyata membuahkan keberpihakan yang transparan, walaupun didominasi
sikap netral, ketiga harian masih menunjukkan ketidaksenangannya pada satu pihak.
Bahkan sikap netral jurnalis yang berusaha dipertahankan, terbawa kepada sikap yang
tidak jelas dan hanya sebatas memberitakan adanya kerusuhan. Muasalnya, media tidak
memberitakan hal yang sesungguhnya. Media cenderung berfungsi sebagai diminisher
conflict, media berusaha meredam konflik dengan cara mengaburkan atau
menenggelamkan realitas yang terjadi. Dalih yang lazim dipakai adalah menghindari
konflik yang lebih parah atau demi kestabilan nasional.83
Sikap narasumber seringkali mewakili sikap media. Media Watch elSIM dengan
berorientasi pada sikap narasumber memberikan analisis terhadap empat media yang
memberitakan kasus Poso. Sikap ketiga media selain Manado Post, jelas-jelas
menunjukkan sikap berpihak pada umat Islam. Dengan memberi gambaran unfavorable
terhadap umat Kristen. Walaupun jumlahnya relatif sedikit, hal itu dapat menunjukkan
ketiga media memojokkan pihak lain. Manado Post berusaha untuk netral, hal ini
tercermin dengan pemberitaannya yang tidak memburukkan satu pihak pun. Akan tetapi
sebagai media yang hidup di tengah masyarakat Kristiani, Manado Post melakukan
gambaran positif terhadap pihak Kristen.84

83

Media Watch elSIM, Makasar: Edisi 07/2001

84

Ibid.

23

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Secara teoretis, ada tiga posisi media dalam memberitakan konflik.85 Pertama,
sebagai isu intensifier dimana media berposisi memunculkan isu atau konflik dan
mempertajamnya. Isu yang diangkat media akan memunculkan dan menampakkan
dimensi isu secara tajam. Dengan posisi sebagai intensifier, media mem-blow up realitas
sehingga seluruh dimensi isu menjadi tampak mencolok. Kedua, adalah sebagai conflict
diminisher, yakni media berupaya menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja
media meniadakan isu tersebut, terutama bila menyangkut kepentingan media
bersangkutan, entah kepentingan ideologis atau pragmatis. Ketiga, media juga bisa
berfungsi menjadi pengarah konflik atau conflict resolution, yakni memposisikan diri sebagai
mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif serta mengarahkan pihak yang
bertikai pada penyelesaian konflik.
Menurut Shamil Idriss, dalam kondisi konflik media diharapkan tidak sekadar
memaparkan fakta, namun melalui pemberitaannya juga mampu mentransformasi konflik
menuju penemuan solusinya.86 Dengan peliputan media, pihak yang terlibat diharapkan
memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta
mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula.87 Upaya ini seringkali disebut
sebagai jurnalisme damai atau jurnalisme perdamaian (peace journalism). Dengan
menerapkan kaidah jurnalisme perdamaian secara profesional dan proporsional, media
akan terhindar dari politisasi kepentingan sekaligus menghindari politisasi media atas
kepentingan-kepentingan di luar jurnalisme itu sendiri.
Warisan SARA pada Masa Transisi
Runtuhnya rezim Orde Baru ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi kondisi ini
membuka peluang besar untuk memulai reformasi kehidupan kebangsaan secara
signifikan. Namun di sisi yang lain masa transisi ini juga memunculkan sejumlah
ancaman. SARA merupakan salah satu warisan persoalan Orde Baru yang berpotensi
menjadi ancaman. Masa transisi yang dimulai pemerintahan BJ. Habibie (Mei 1998
Oktober 1999), Abdurahman Wahid (Oktober 1999 Juli 2001), dan Megawati
Soekarnoputri (Juli 2001 Oktober 2004) memunculkan persoalan SARA yang beragam.
Periode BJ. Habibie
Naiknya BJ. Habibie ke tampuk kepresidenan disambut sentimen negatif
masyarakat. Ini disebabkan karena BJ. Habibie dianggap tidak ikut berkeringat dalam
menggerakkan arus reformasi sebelumnya. Tidak heran jika cendekiawan Arief Budiman
saat itu menilai bahwa agenda terbaik bagi Habibie adalah: Turun !

Andrew Arnow seperti dikutip Nunung Prajarto, Media Berita dalam Sebuah Konflik, Yogyakarta, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 1993, h. 2-6. Dalam konteks pemberitaan yang
berhubungan dengan SARA/rasial, lihat tulisan Peter Braham, How the Media Report Race, dalam
Michael Gurevitch, Tony Bennett, James Curran and Janet Woollacott (ed), Culture, Society and the Media,
London and New York, Methuen, 1982, h. 268-286. Dalam tulisan tersebut, Braham di antaranya
menyebut beberapa kecenderungan media ketika memberitakan peristiwa rasial, yang dipandang sensitif.
Ada kecenderungan media untuk memperbesar, tapi ada juga yang berusaha menutupi dan mencari
harmoni dibandingkan memberitakan secara sebenarnya.

85

86

Idriss, Shamil (2002) Media Role on Dialogue of Civilization dalam liputan Kompas: 19 Maret 2003.

Lihat: Robert Karl Manoff, The News Values of Peace Journalism dalam The Peace Journalism Option,
January 1998. Juga Eriyanto & Muhammad Qodari Mempertimbangkan Jurnalisme Perdamaian dalam
Pantau, Jakarta: Edisi 09/2000.

87

24

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Menurut saya, tindakan-tindakan Habibie memang baik. Tetapi apa dasarnya, itu yang menjadi
pertanyaan. Selama karena oportunisme, tindakan yang baik ini sangat labil. Kalau keadaan politik
berubah, Habibie pun bisa berubah.

Kabinet Habibie itu menurut saya terdiri dari orang-orang pemerintahan lama, yang ikut juga dalam
gerakan represi. Jadi mereka masih kelompoknya Soeharto juga. Selain itu, jelas ada orang-orang
ICMI yang dimasukkan Habibie. Sebenarnya tidak ada yang dengan jelas memperjuangkan
reformasi. 88

Pada periode BJ. Habibie, konflik SARA memang tidak begitu banyak terjadi.
Dibandingkan dua periode transisi lainnya, secara kuantitatif, periode BJ. Habibie paling
sedikit memunculkan persoalan SARA. Dokumen Kompas hanya mencatat dua kasus
yang terjadi pada periode ini, yaitu konflik di Maluku (Provinsi Maluku dan Maluku
Utara) dan di Poso, Sulawesi Tengah.89 Kedua kasus ini, bahkan, mengalami puncak
eskalasinya pada periode pemerintahan Abdurahman Wahid dan belum tuntas
penanganannya hingga periode pemerintahan Megawati sekarang. Perkembangan konflik
pada masa pemerintahan BJ. Habibie dapat disimak pada tabel berikut.
Perkembangan Konflik
pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie
Poso, Sulawesi Tengah

Maluku dan Maluku Utara

26 Desember 1998
Konflik bermula dari perkelahian Roy Runtu Bisalembah
(Kristen) yang dalam keadaan mabuk dengan Ahmad Ridwan
(Islam) di Mesjid Darussalam, Kelurahan Sayo, Kabupaten Poso,
Sulawesi Tengah. Perkelahian ini kemudian berkembang menjadi
ketegangan antara warga Kelurahan Lombogia dan warga dari
beberapa kelurahan lainnya di Kabupaten Poso. Sebuah rumah di
Kelurahan Lombogia musnah dibakar massa dengan lemparan
bom Molotov, serta 10 orang warga dan dua petugas keamanan
luka-luka.

19 Januari 1999
Bentrokan seorang warga Batumerah,
Ambon dengan seorang sopir angkutan
kota. Kejadian ini memicu konflik massa
disertai dengan pembakaran Mesjid AlFatah. Dalam insiden ini 11 orang tewas,
23 orang luka-luka, 45 rumah, 5 toko, dan
75 kios terbakar, serta 161 mobil, 25
sepeda motor, dan 100 becak rusak.

28 Desember 1998
Kerusuhan semakin meluas di Kabupaten Poso. Sebagian
penduduk mengungsi ke luar kota. Puluhan rumah musnah
dibakar massa dan puluhan lainnya rusak. Sebanyak 79
orang luka terkena lemparan batu atau senjata tajam. Kota
Poso lumpuh. Pasar, took, serta kantor pemerintah dan
swasta tutup.

9 Maret 1999
Pertikaian antarwarga ini kemudian
berkembang menjadi masalah antaragama
(Islam-Kristen). Selang 3 bulan terjadi
beberapa
kali
bentrokan
yang
mengakibatkan sedikitnya 179 orang
tewas, 230 orang luka berat, 213 orang
luka ringan, 3544 rumah, 134 mobil, 110
sepeda motor, 423 becak, 667 kios, 2
bank, 338 toko, 5 pasar, 18 gereja, 18
mesjid, 1 bioskop, 4 sekolah, 11 kantor
pemerintah, 3 hotel dibakar dan dirusak.
31 Maret 6 April 1999
Konflik kemudian merembet ke daerah
lain. Di Maluku Tenggara terjadi
pertikaian antara dua kelompok warga
(terkenal dengan kasus Tual). Sedikitnya

88

Petikan wawancara Arief Budiman ini dapat disimak di Tempo Interaktif: Senin, 25 Mei 1998.

Lihat: Tweki Triardianto (2002) Potret Konflik di Indonesia dalam Indonesia Dalam Krisis 1997-2002,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

89

25

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


102 orang tewas, 85 orang luka berat, 78
orang luka ringan, 4 mobil dibakar, 2
sekolah, 2 gedung pemerintah rusak
dibakar, 256 rumah terbakar.
23 Juli 2 Agustus 1999
Di Poka, Ambon dua kelompok yang
bertikai kembali bentrok. Sekurangnya 31
orang tewas dan 192 orang luka.
21 22 Agustus 1999
Konflik kembali terjadi di beberapa desa
di Seram, Ambon. Setidaknya 12 orang
tewas, puluhan orang luka, dan ratusan
rumah di delapan desa dibakar.
4 6 Oktober 1999
Bentrokan di Batumerah-Mardika dan
Pohon Mangga diredam oleh aparat.
Setidaknya 21 orang tewas (sebagian
tertembak), 28 orang luka, puluhan rumah
terbakar.
Sumber: Litbang Kompas, 2002 (diolah)

Peristiwa besar lainnya yang muncul pada periode BJ. Habibie adalah lepasnya
Timor Timur (Timtim) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada 27 April 1999 BJ.
Habibie menetapkan penentuan pendapat (referandum) untuk mengetahui keinginan
sebenarnya masyarakat Timtim. Jajak pendapat dilakukan 30 Agustus 1999 dan hasilnya
diumumkan pada 4 September 1999. Tercatat 78,5 persen penduduk Timtim memilih
untuk merdeka dan sejak 26 Oktober 1999 Timtim secara resmi berada di bawah
pemerintahan transisi yang dibentuk PBB.90
Hal lain yang penting untuk dicatat pada periode BJ. Habibie adalah berayunnya
bandul politik ke arah kanan. Banyak pihak menilai, pada periode ini ICMI telah
dijadikan kendaraan politik kalangan Islam tertentu untuk meraih kekuasaan. Dari
perspektif SARA, hal ini merupakan salah satu raport buruk BJ. Habibie karena ia dinilai
terlalu ICMI minded. Menurut Emmanuel Subangun, dengan aktifitasnya di ICMI, BJ.
Habibie telah terlanjur dianggap sebagai pemimpin nasional dengan warna Islam. Oleh
karena itu, mempersoalkan BJ. Habibie sebagai Kepala Negara seringkali diartikan
sebagai usaha dan gerakan anti-Islam. Malah lebih jauh mulai disebarkan desas-desus
sebagai awal tindakan makar.91
Pada tanggal 22 Mei 1998, tepat sehari setelah pelantikan BJ. Habibie menjadi
Presiden, di beberapa sudut kota Jakarta banyak dijumpai poster besar bertuliskan Anti
Habibie = Anti Islam. Tidak diketahui, siapa pemasang poster itu, namun mudah
dipahami jika pada periode ini kemudian muncul milisi-milisi sipil berbasis agama (Islam)
yang membela BJ. Habibie secara membabi buta. Ulah Gerakan Pemuda Kabah (GPK)
yang begitu gencar mendukung BJ. Habibie menjadi Presiden merupakan contoh
politisasi sentimen primordialitas, dalam hal ini Islam. Contoh ini menarik sekaligus
membuat kita kaget, karena GPK merupakan salah satu milisi sipil milik PPP,

Atas peristiwa ini BJ. Habibie pernah mendapat julukan Bapak Disintegrasi Bangsa. Namun ada pula
pihak yang menilai bahwa ini merupakan salah satu prestasi Habibie menuntaskan masalah Timtim yang
selama puluhan tahun ibarat krikil dalam sepatu.

90

91

Subangun, Emmanuel (1999) Kaum Beragama di Tengah Krisis Nasional, Kanisius, Yogyakarta.

26

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


sementara BJ. Habibie jelas-jelas orang Golkar. Agaknya, sentimen primordialitas
(Islam) itulah yang telah mempersatukan kepentingan mereka.
Periode Abdurahman Wahid
Naiknya Abdurahman Wahid ke kursi RI satu pada awalnya direspon masyarakat
secara positif. Ini antara lain dapat dilihat dari sentimen pasar yang ditunjukkan oleh
menguatnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Banyak pihak optimis, duet
Abdurahman Wahid-Megawati Soekarnoputri sebagai dwitunggal baru yang tepat dan
menjanjikan bagi masa depan Indonesia.
Namun demikian, optimisme itu berangsur pudar selang beberapa bulan
kemudian saat Abdurahman Wahid terlibat berbagai kontroversi yang cukup melelahkan.
Kontroversi yang semula didesain sebagai wacana oleh Abdurahman Wahid, telah cepat
berubah dan berbuah menjadi konflik terbuka di grass root level. Kondisi ini telah
mendorong timbulnya konflik-konflik baru dan memperluas eskalasi konflik yang telah
terjadi sebelumnya, terutama di wilayah Maluku (Provinsi Maluku dan Maluku Utara) dan
di Poso, Sulawesi Tengah. Tragedi lain yang muncul pada periode Abdurahman Wahid
adalah peristiwa Sampit, Februari April 2001.92
Selain rentetan konflik yang tak berkesudahan, periode pemerintahan
Abdurahman Wahid juga diwarnai peristiwa peledakan bom yang begitu memilukan.
Lebih dari 40 peristiwa peledakan bom terjadi pada periode pemerintahan Abdurahman
Wahid. Berbagai peristiwa ini tentu saja terkait erat dengan konflik SARA yang tali-temali
dengan konflik politik yang kian memanas saat itu.
Peristiwa Peledakan Bom
Pada Periode Pemerintahan Abdurahman Wahid
Periode

Oktober - Desember
(1999)

BOM
Ditemukan Meledak

Keterangan

Januari - Desember
(2000)

Januari - Juli
(2001)

33

20 Oktober 1999 :
Sekitar Taman Ria Senayan, Jakarta Selatan, 4
orang luka 1 meninggal

11 Desember :
Atrium Senen, Jakarta Pusat, 2 mesin ATM
hancur, tak ada korban jiwa
Kompleks Boker, Jakarta Timur, tiga orang luka

Sebagian besar terjadi pada saat dan menjelang


malam natal , 24-25 Desember 2000 di beberapa
kota: Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Mojokerto,
Pematangsiantar, Medan, Batam, Pekanbaru,
dan Mataram. Korban jiwa sebanyak 16 orang
dan 96 luka-luka

17

16 Januari 2001:
Pancoran, Jakarta Selatan, 1 mobil hangus,
tak ada korban jiwa
29 Januari 2001 :
Kantor PT. Newmont, Mataram, tak ada
korban jiwa

Sebagaimana kasus Sambas, konflik di Sampit terjadi antara suku Dayak dengan suku Madura. Pertikaian
yang semula terjadi di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur ini kemudian meluas ke seluruh Provinsi
Kalimantan Tengah. Menurut catatan Komnas HAM, peristiwa ini telah merenggut korban 352 orang,
puluhan rumah terbakar, dan tak kurang dari 25.000 etnis Madura mengungsi.

92

27

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


17 Maret 2001 :
Serpong, Tangerang-banten, bom meledak
di rel kereta, tak ada korban
18 April 2001 :
Rutan Salemba, Jakarta Pusat, tak ada
korban
10 Mei 2001:
Gedung Yayasan Kesejahteraan Mahasiswa
Iskandar Muda di Jakarta Selatan,
bangunan runtuh, 3 orang tewas
19 Juni 2001 :
Cikoko, Pancoran, Jakarta Selatan,
bangunan 2 lantai rubuh, 5 orang luka-luka
24 Juli 2001 :
Markas polri Daerah Poso. Ledakan terjadi
saat aksi unjuk rasa warga Poso, tak ada
korban
TOTAL

43

27

Dari 43 peristiwa pengeboman, 21 diantaranya


terjadi di gereja/lingkungan gereja
Sumber: Litbang Kompas (2002), diolah

Namun demikian, banyaknya konflik SARA juga peristiwa peledakan bom- yang
terjadi pada periode pemerintahan Abdurahman Wahid tidak serta merta merupakan
raport buruk Abdurahman Wahid. Justru sebaliknya, dari perspektif SARA, Abdurahman
Wahid memiliki raport yang cukup baik.93 Banyak pihak menilai, berbagai rentetan konflik
SARA pada periode Abdurahman Wahid sengaja direkayasa dan dipolitisasi untuk
menjatuhkannya.94 Ini agak berbeda dengan yang dilakukan Soeharto dan orang-orang di
sekeliling BJ. Habibie pada periodenya, yang secara sengaja melakukan politisasi SARA
untuk memperkuat posisinya. Meskipun Abdurahman Wahid juga melakukan hal yang
sama, tapi pada periode pemerintahan Abdurahman Wahid, politisasi SARA lebih banyak
dilakukan oleh lawan-lawan politiknya hingga ia dipaksa turun panggung pada 23 Juli
2001.
Periode Megawati Soekarnoputri
Naiknya Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden disambut agak
skeptis oleh masyarakat. Tingkat optimisme masyarakat yang diperoleh Megawati tidaklah
segempita saat naiknya Abdurahman Wahid. Namun, setidaknya perjalanan pemerintahan
yang terevaluasi selama kurun waktu sembilan bulan ini tidak menunjukkan indikasi
penurunan kepercayaan masyarakat yang drastis seperti dialami pendahulunya.95

Meski diwarnai kontroversi, pencabutan TAP MPRS NO.XXV/1966 yang diwacanakan Abdurahman
Wahid mendapat banyak simpati. Juga soal pengakuan agama Konghucu dan membolehkan perayaan
Imlek secara terbuka --meski secara formal ini baru diundangkan oleh Megawati melalui Keppres No.19
Tahun 2002. Gebrakan Abdurahman Wahid sebelumnya yang membuat Keppres No.6 Tahun 2000
tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat
Cina dinilai banyak pihak telah membuka jalan buntu dan mencairkan persoalan SARA.

93

94

Ulasan mengenai hal ini banyak bertebaran dalam rubrik opini media massa akhir Juli 2001.

Satrio, BE (2002) Mengukur Kinerja Presiden Era Reformasi: Semuanya Belum Memuaskan dalam
Indonesia Dalam Krisis 1997-2002, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

95

28

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Pada jajak pendapat yang dilakukan Kompas di bulan ketiga periode
pemerintahannya, di bidang ekonomi Megawati mendapatkan kepercayaan dari 43 persen
responden yang optimis. Sementara di bidang Polkam terdapat 52,4 persen responden
yang yakin bahwa pemerintahan Megawati bisa memulihkan kondisi politik pasca konflik
elit politik. Pada bulan kesembilan tingkat kepercayaan masyarakat ini turun. Mereka yang
menyimpan optimisme pada bidang Polkam menurun menjadi 40,1 persen.
Kepuasan Responden terhadap
Kinerja Presiden Megawati Soekarnoputri
(dalam persen)
Bidang
Perbaikan Ekonomi
Perbaikan Kondisi Polkam
Perbaikan Kesejahteraan Sosial

Sikap Responden
Oktober 2001
Januari 2002
April 2002
43,0
21,9
31,3
52,4
43,1
40,1
41,5
31,6
36,4
Sumber: Litbang Kompas (2002)

Persoalan SARA yang masuk dalam kategori Polkam masih menjadi pekerjaan
rumah yang sulit dituntaskan pada periode Megawati. Tiga kasus besar: Ambon, Poso,
dan Sampit masih seperti api dalam sekam. Sementara gencarnya pelaksanaan otonomi
daerah (Otda) dan otonomi khusus (Otsus) telah menambah dimensi konflik di beberapa
daerah. Ini antara lain disebabkan karena kenyataan bahwa pembagian provinsi yang
berbanding lurus dengan konsentrasi etnik. Konflik antara penduduk asli dengan
pendatang dengan sendirinya muncul sebagai salah satu konsekuensi logis dari
pelaksanaan Otda dan Otsus. Kasus Otsus di Papua, misalnya, merupakan salah satu
contoh dimana kewenangan yang begitu luas justru tidak saja menghambat kemajuan
masyarakat, tapi juga di satu sisi telah menciptakan ketegangan baru antarwarga.96
Pemerintahan Megawati sebenarnya telah menempuh banyak cara untuk
melakukan penanganan persoalan SARA. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintahan Megawati, yang dianggap paling monumental adalah digelarnya Pertemuan
Malino yang bertujuan melakukan upaya rekonsiliasi antara kelompok-kelompok yang
bertikai.97 Pemerintahan Megawati bahkan mendapat pujian dari dunia internasional
karena berhasil menyelenggarakan perundingan Malino I dan Malino II. Namun di luar
dugaan, pada 13 Februari 2002, tepat sehari setelah perjanjian Malino II ditandatangani,
terjadi empat ledakan bom di kota Ambon. Kericuhan berikutnya terjadi pada 2 Maret
2002 saat berlangsung pawai perdamaian. Kemudian pada 3 April 2002 kantor Gubernur
Maluku di kota Ambon habis terbakar sehingga kota Ambon kembali memanas.
Di bawah kendali Megawati, jalan perdamaian tampaknya kian berliku. Tidak saja
di kota Ambon, di beberapa daerah konflik lainnya, situasinya hampir setali tiga uang.
Bahkan tempat-tempat yang semula dinilai sangat aman seperti Bali tak luput dari
Meskipun Papua telah dimekarkan menjadi tiga provinsi sesuai dengan Undang-Undang No. 45 Tahun
1999, namun hal itu tidak pernah diimplementasikan karena diprotes oleh DPRD Provinsi. Sesuai
ketentuan UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus, setiap pemekaran provinsi Papua harus disetujui
oleh DPRD dan MRP. Wacana Otsus di Papua bahkan seringkali menjadi sumber ketegangan dan konflik
horisontal di antara masyarakat Papua.

96

Ini merupakan perundingan tripatrit antara kelompok Islam, Kristen, dan pihak pemerintah yang
dipimpin Menko Kesra Jusuf Kalla. Malino adalah sebuah kota wisata yang terletak di Kecamatan
Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dalam pertemuan ini, semua pihak mengharapkan
penghentian konflik yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Hasilnya, mereka menyetujui 11 butir
kesepakatan dan kedua belah pihak (Islam-Kristen) setuju untuk segera menyosialisasikannya.

97

29

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


gangguan tangan provokator kerusuhan. Periode ini juga diwarnai banyaknya teror bom,
meskipun secara kuantitatif tidak sebanyak pada periode Abdurahman Wahid. Namun
demikian, peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002 dan bom di JW Marriott 5 Agustus 2003
dan disusul bom Kedubes Australia 9 September 2004 -yang merenggut korban
materil dan immateril yang begitu besar- menjadi pukulan terberat bagi pemerintahan
Megawati.98 Rangkaian peristiwa dan berbagai konflik SARA yang terjadi tentu saja tidak
lepas dari intrik politik dan konflik elit yang terjadi sebelumnya. Warisan persoalan SARA
dari masa Orde Baru tampaknya masih sulit untuk dienyahkan.
Catatan Akhir
Dari uraian sebelumnya, dapat dibuat suatu perbandingan dan penilaian mengenai
kondisi serta penanganan persoalan SARA pada setiap periode pemerintahan, mulai dari
masa Orde Baru yang dipimpin Soeharto hingga masa transisi dengan tiga periode
pemerintahannya: BJ. Habibie, Abdurahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri sebagai
berikut:
Penanganan Masalah
No

Periode Presiden

Indeks
S

Prestasi

Soeharto

-4

BJ. Habibie

Abdurahman Wahid

+2

Megawati Soekarnoputri

-2

Pada masa Soeharto, karena kuatnya dominasi negara dalam segala aspek
kehidupan, maka semua unsur SARA pun mengalami represi yang luar biasa. Atas nama
stabilitas nasional segala keragaman SARA diredam-paksa. Pada masa Soeharto, semua
unsur SARA tanpa kecuali- merupakan amunisi untuk melakukan politisasi. Karena itu,
masa Soeharto merupakan masa terburuk dalam penanganan persoalan SARA: Nilai (-4)
untuk Soeharto !
Dominasi negara dan represi memang bukan parameter mutlak yang dapat
dijadikan indikator satu-satunya bagi penanganan persoalan SARA. Bahkan, dominasi
negara dan represi relatif tidak terjadi pada masa Habibie, Abdurahman Wahid, dan
Megawati. Persoalan SARA yang mencuat pada tiga periode pemerintahan pasca
Soeharto itu justru muncul karena melemahnya wibawa pemerintah serta
ketidakberdayaanya akibat situasi eksternal yang merupakan warisan persoalan rezim
sebelumnya.
BJ. Habibie sejatinya punya kans untuk menangani persoalan SARA secara lebih
baik. Tokoh-tokoh pluralis seperti Th. Sumartana dan Kwik Kian Gie pernah menaruh
harapan besar pada BJ.Habibie. Kalangan pers Jerman, bahkan, sempat memuji Habibie
sebagai tokoh utama yang mendemokrasikan Indonesia. Namun demikian,
Kelemahan pemerintahan Megawati diakuinya sendiri sejak awal ia memangku jabatan sebagai orang
nomor satu di negeri ini: Di luar dugaan kita, kelemahan suprastruktur dan infrastruktur politik ternyata juga
memberi peluang bagi mencuatnya berbagai konflik antarwarga, dalam wujud dan intensitas yang tidak pernah kita
saksikan sebelumnya, ujarnya dalam Pidato Kenegaraan perdananya di depan Sidang Dewan Perwakilan
Rakyat, 16 Agustus 2001.

98

30

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


keberpihakannya yang terlalu mencolok pada kelompok Islam tertentu menjadi salah satu
penyebab BJ. Habibie kurang dapat diterima oleh kelompok agama lainnya. Bahkan,
dengan panji ICMI yang dibawanya, BJ. Habibie juga kurang mendapat simpati dari
kelompok Islam lainnya.
Abdurahman Wahid punya banyak kelebihan dalam penanganan masalah SARA.
Ia sering mendapat pujian karena dinilai berhasil mengatasi masalah-masalah suku,
agama, dan sentimen rasial. Keppres No.6/2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden
No.14/1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang dibuatnya dinilai
cukup fenomenal. Namun demikian, meskipun ia dikenal sebagai seorang pluralis, masih
tampak pula pemihakannya terhadap golongan tertentu. Semangat kelompoknya ini yang
menjadi bumerang bagi dirinya.
Kebijakan umum yang ditempuh Megawati dalam penanganan masalah SARA
ternyata tidak begitu jauh dengan kebijakan yang dijalankan Orde Baru. Pengesahan
Undang-Undang Anti Terorisme merupakan salah satu contoh yang mencemaskan.
Banyak pihak menilai undang-undang ini akan menjadi kedok baru bagi rezim Megawati
untuk menghabisi lawan-lawannya. Hal ini tentu saja akan berimplikasi juga pada
politisasi SARA untuk meraih kepentingan politiknya. Namun perlu diakui, penerbitan
Keppres No.19/2002 tentang Tahun Baru Imlek merupakan satu prestasi Megawati.
Meskipun menurut Sekjen Matakin, Budi Santoso Tanuwijaya, ini tidak begitu fenomenal.
Menurutnya, apa yang dilakukan Megawati hanya meneruskan gebrakan Abdurahman
Wahid yang sebelumnya telah mengeluarkan Keppres No.6/2000.
Konflik sosial bernuansa SARA yang kini bergejolak sering dinilai banyak pihak
sebagai dampak lain dari reformasi yang tak terkendali. Namun demikian, penelitian ini
lebih melihat bahwa konflik SARA bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Persoalan
SARA yang kerap muncul pada masa transisi ini merupakan warisan dari masa
sebelumnya. Tepatlah pernyataan yang ditegaskan Sidney Jones: huge number of
outbreaks of communal violence in many cases [are] the legacy of an abusive past than [they are] the
result of permissive present..***

31

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)

Bibliografi
Abdulah, Taufik (1999) Etnisitas dan Konflik Sosial: Sebuah Pengantar dalam
Pemecahan Masalah Hubungan Antaretnik: Etnisitas dan Konflik Sosial, Hasil Penelitian PMBLIPI, Jakarta.
------------- dalam Thung Ju Lan (1999) Konflik Cina-Non Cina, Etnisitas dan
Kekuasaan dalam Proceedings Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMBLIPI, Jakarta.
Aditjondro. G Junus (2001) Di Balik Asap Mesiu, Air Mata dan Anyir Darah di
Maluku dalam Zairin Salampessy dan Thamrin Husain (ed), Ketika Semerbak Cengkih
Tergusur Asap Mesiu, Sekretariat Tapak Ambon, Jakarta.
Bruner, Edward M (1974) The Expression of Ethnicity in Indonesia dalam Abner
Cohen (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock, London.
de Vaus, D.A. (1986) Surveys in Social Research, London.
Eriksen, Thomas Hylland, 1993. The Epistemological Status of The Concept of
Ethnicity, Conference Paper, Amsterdam.
Eriyanto & Muhammad Qodari Mempertimbangkan Jurnalisme Perdamaian dalam
Pantau, Jakarta: Edisi 09/2000.
Geertz, Clifford (1987) Konflik dan Integrasi Agama dan Masyarakat di Mojokuto
dalam Taufik Abdullah (ed.) Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia,
Pustaka Firdaus, Jakarta.
Gungwu, Wang, 1990. Kajian Tentang Identitas Orang Cina Asia Tenggara dalam
Jennifer Cushman & Wang Gungwu (ed), Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara,
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Hadad, Toriq et.all. (1988) Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, ISAI, Jakarta.
Huntington, Samuel (1991) The Third Wave: Democration in The Late Twentieth Century,
University of Okhlahoma Press, Norman and London.
Idriss, Shamil (2002) Media Role on Dialogue of Civilization dalam liputan Kompas: 19
Maret 2003
Jones, Sidney (2001) Kekerasan Etnik di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan dalam
Laporan ICG No.19, Jakarta/Brussels.
Kerlinger, N Fred (1973) Foundation of Behaviour Research, New York.
Kim, Khoo Kay (1972) Sejarah Tempatan, Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala
Lumpur.
Koentjaraningrat (1997) Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
Kuntowijoyo (2002) Kesadaran dan Perilaku dalam Integrasi, Moral Bangsa, dan
Perubahan, Divisi Penerbitan FIB UGM- Sinergi Press, Yogyakarta.
Marif, A. Syafi (1985) Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, Jakarta.
Mohamad, Goenawan (2001) Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohammad 1960-2001,
Pusat Data dan Analisis Tempo, Jakarta.
------------ (2002) Teks Yang Menghidupkan, Agama Yang Membebaskan dalam
Newsletter Interfidei, Yogyakarta: Edisi Khusus 2002.

32

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


MT ( 2001) Orde Baru, Tanggap Sasmito, dan Konflik Etnik dalam Kompas, Jumat, 23
Maret 2001.
Hussin Mutalib (1995), Penerjemah AE Priyono dan Christiadi, Islam dan Etnisitas:
Perspektif Politik Melayu, LP3ES, Jakarta.
Nunung Prajarto (1993) Media Berita dalam Sebuah Konflik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
ODea, Thomas F. (1985) Sosiologi Agama, Suatu Pengenalan Awal, Rajawali, Jakarta.
Peter Braham (1982) How the Media Report Race, dalam Michael Gurevitch, Tony
Bennett, James Curran and Janet Woollacott (ed), Culture, Society and the Media, London
and New York, Methuen.
Rais, Amien Dasi dan Sepatu si Kaya Lebih Penting daripada Periuk Nasi si Miskin
dalam Toriq Hadad, et all., (1988) Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, ISAI, Jakarta.
Robert Karl Manoff (1998) The News Values of Peace Journalism dalam The Peace
Journalism Option, January 1998.
Setiawan, Bambang, 1999. Persoalan Kesukuan dan Diskriminasi dalam Proceedings
Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.
Setiawan, Hawe (ed.) Hanif Suranto dan Istianto (1999) Negeri Dalam Kobaran Api: Sebuah
Dokumentasi tentang Tragedi Mei 1998, Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP),
Jakarta.
Shri Ahimsa-Putra, Heddy (2002) Pluralitas Budaya dan Kekerasan Massal dalam
Integrasi, Moral Bangsa, dan Perubahan, Divisi Penerbitan FIB UGM-Sinergi Press,
Yogyakarta.
Subanar, Gregorius B (2002) Visi dan Relevansi Kelompok-kelompok Antar-iman
Dalam Konteks Bermasyarakat, dalam Newsletter Interfidei, Yogyakarta: Edisi Khusus
2002.
Subangun, Emmanuel (1999) Kaum Beragama di Tengah Krisis Nasional, Kanisius,
Yogyakarta.
Sudibyo, Agus (2001) Meliput Konflik SARA Tanpa Visi Rekonsiliasi: Analisis Isi
Terhadap Berita-berita Kerusuhan Poso dalam Media Watch elSIM, Makassar: Edisi
07/2001.
Sumartana, Th., (2003) SARA dan Integrasi Nasional: Ketegangan yang Tak Pernah
Padam ? dalam Dinamika Demokratisasi Pasca Soeharto Persoalan dan Prospek, ISAI-SARECDEMOS, Jakarta
Suparlan, Parsudi (1999) Kesukubangsaan dan Perubahan Sosial dalam Proceedings
Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.
Suryomenggolo, Jafar (2001) Hukum sebagai Alat Kekuasaan: Kajian Tentang
perundang-undangan yang Berkenaan dengan Asimilasi pada Masa Orde Baru, Skripsi
S-1 pada Fakultas Hukum UI, Jakarta.
Suryadinata, Leo (2002) Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, LP3ES, Jakarta.
Stanley (2000) Potensi Media Sebagai Peredam dan Pendorong Aksi Kekerasan dalam
Makalah Workshop on Violence in Indonesia to follow the Asian Studies Association of Australia
(ASA) Conference di Universitas Melbourne, Melbourne, Australia:3-9 Juli 2000.
___________ Konflik di Indonesia dan Upaya Rekonsiliasi Masyarakat dalam Makalah
Workshop: Penyusunan Kurikulum Liputan Jurnalis di Wilayah Konflik (Aceh) dengan
Menggunakan Perspektif Juranlisme Damai, Yayasan Kippas Medan: 23-27 Oktober 2002.

33

Telah dibukukan/diterbitkan (ISAI-Jakarta, 2003)


Tan, Mely G. (1999) Etnisitas dan Perubahan Sosial: Beberapa Pokok Pemikiran dalam
Proceedings Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.
Thung Ju Lan (1999) Konflik Cina-Non Cina, Etnisitas dan Kekuasaan dalam
Proceedings Lokakarya Etnisitas dan Konflik, PMB-LIPI, Sosial di Indonesia Jakarta.
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (1998) Sujud di Hadapan Korban: Tragedi Jakarta Mei
1998, TRUK, Jakarta.
Tomagola, Tamrin Amal Poso: Titik-Pusat Cincin Api Konflik Komunal di Indonesia
Bagian Timur makalah dalam Seminar Warisan Soeharto: Hambatan Bagi Demokrasi,
kerjasama DEMOS-ISAI dan Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta: 14 Februari 2002.
Toer, Pramoedya Ananta (1998) Hoakiau di Indonesia, Garba Budaya, Jakarta.
Triardianto, Tweki (2002) Potret Konflik di Indonesia dalam Indonesia Dalam Krisis
1997-2002, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
van Klinken, Gerry Decentralisation, Violence, and Democracy: The Colonial Roots of
Ethnic Conflict in Indonesia disampaikan dalam International Conference Indonesian
Transition to Democracy: Issues and Actors in the Local and International Perspective kerjasama
ISAI dan KontraS, Jakarta 17-19 Januari 2002.
Vredenbregt, J (1981) Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
Yewangoe, AA (2001) Agama-Agama dan Kerukunan , BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Sumber Media
Aliansi Keadilan, Edisi Nomor 18 / Tahun I, 28 Juni 4 Juli 1999.
Antara, 17 September 1999, 28 Mei 2000.
Bisnis Indonesia, 8/6/98.
Forum Keadilan, No 7 Tahun VII, 13 Juli 1998.
Harian Fajar, 21 Agustus 2000.
http://members.fortunecity.com/edicahy/selectedworks/ModusAmbon.html)
http://members.fortunecity.com/modus Ambon.html
http://www.asiaweek.com/asiaweek/mengungkap_dalang/html.
http://www.coridor.com, 21 Januari 2001, 07:08 WIB.
Jawa Pos, 11 Mei 1999.
Kompas, Jumat, 23 Maret 2001.
Laporan ICG Asia No.19, 27 Juni 2001.
Laporan ICG Asia No.39, 13 September 2002.
Media Watch elSIM, Makasar: Edisi 07/2001.
Newsletter Interfidei, Yogyakarta: Edisi Khusus 2002.
Pantau, Jakarta: Edisi 09/2000.
Radio Nederland-Wereldomroep Wawancara G.J. Aditjondro disiarkan 7-9-2000.
Republika: 1 Agustus 2000, 2 November 2001.
Suara Pembaruan, 25 Mei 2000.
Tempo Edisi 6-12 Januari 2003.
Tempo Interaktif, Edisi 25 Mei 1998, Edisi 8 Maret 2001.
Terbit, 1 Agustus 2000.
Wawancara
Wawancara dengan Th. Sumartana, 30 April 2002 di Bogor.
Wawancara dengan J. Nasikun 2 Maret 2003 di Jakarta.
Wawancara dengan Mathius Hosang, 6 Juni 2003 di Palangkaraya.
Wawancara dengan Arianto Sangaji, 2 Juni 2003 di Palu.

34

Anda mungkin juga menyukai