POLITISASI SARA:
DARI MASA ORBA KE MASA TRANSISI DEMOKRASI 1
Sofian Munawar Asgart
Pendahuluan
Konflik internal bernuansa suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA)
merupakan salah satu bentuk kekerasan yang paling ganas. Menurut Nono Anwar
Makarim, jumlah korban jiwa dalam konflik ini lebih besar dari pada korban akibat
terorisme dan perang antarnegara.2 Dengan mengutip Pauline H Baker dan Angeli E
Weller, Makarim menyebutkan bahwa sejak Perang Dingin berakhir, telah terjadi lebih
dari 100 konflik internal di dunia. Definisi konflik internal adalah setiap konflik yang
terjadi atas dasar identitas kelompok atau golongan sosial, termasuk bahasa, ras, agama,
aliran, suku, kelas, kumpulan, dalam berbagai kombinasinya.3
Perkembangan sejarah kebangsaan Indonesia juga diwarnai sejumlah konflik
bernuansa SARA. Menurut Tamrin Amal Tomagola, konflik bernuansa SARA di bumi
nusantara ini telah terjadi sejak zaman kolonial.4 Gerry van Klinken bahkan menilai
persoalan SARA merupakan warisan pra-kolonial khas Melayu yang telah ada sebelum
Indonesia itu ada.5 Demikian pula pada masa awal kemerdekaan di zaman rezim Orde
Lama, konflik SARA sudah muncul ke permukaan. Namun demikian, pada dua masa itu,
persoalan SARA muncul secara wajar sebagai suatu dinamika kultural masyarakat.
Berbeda dengan dua masa sebelumnya, rezim Orde Baru berusaha menekan
persoalan SARA secara sistematis. Pada masa Orde Baru, mengungkit-ungkit persoalan
SARA merupakan barang haram yang masuk kategori subversif yang dinilai pemerintah
bakal menjadi sumber perpecahan dan disintegrasi bangsa. Karena itu, tidak berlebihan
jika Goenawan Mohamad melukiskan Indonesia masa Orde Baru sebagai bangsa yang
hidup dalam kuburan.6 Rezim Orde Baru telah berhasil membangun uniformity dalam
segala bidang kehidupan sehingga pada saat itu, bangsa ini tampak menjadi bangsa yang
tenang, aman, tetapi tanpa kehidupan yang sejati.
Tulisan ini merupakan salah satu bagian dari penelitian mengenai Warisan Orde Baru: Faktor-Faktor
Penghambat Demokratisasi di Indonesia pada Masa Transisi, kerjasama ISAI dan DEMOS dengan
dukungan dana dari Universitas Melbourne, Australia di bawah supervisi Prof. Arief Budiman.
Baker, Pauline H dan Angeli E Weller (1998) An Analytical Model of Internal Conflict and State Collapse:
Manual For Practitioners, The Fund for Peace, Washington DC.
Buah pikiran Tamrin Amal Tomagola ini disampaikan dalam seminar sehari Warisan Soeharto:
Hambatan Bagi Demokrasi kerjasama DEMOS-ISAI dan Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta: 14 Februari
2002.
van Klinken, Gerry Decentralisation, Violence, and Democracy: The Colonial Roots of Ethnic Conflict
in Indonesia disampaikan dalam International Conference Indonesian Transition to Democracy: Issues and Actors in
the Local and International Perspective kerjasama ISAI dan KontraS, Jakarta 17-19 Januari 2002. Penjelasan
lebih spesifik dan detail mengenai hal ini dapat disimak dalam Hussin Mutalib (1995), Penerjemah AE
Priyono dan Christiadi, Islam dan Etnisitas: Perspektif Politik Melayu, LP3ES, Jakarta.
Mohamad, Goenawan (2001) Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohammad 1960-2001, Pusat Data dan
Analisis Tempo, Jakarta.
10
Setiawan, Bambang (1999) Persoalan Kesukuan dan Diskriminasi dalam Proceedings Lokakarya Etnisitas
dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.
12 Ibid.
11
13
Lihat: Toriq Hadad et. All., (1998) Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, ISAI, Jakarta.
14
Represi
Informasi
Hukum
Militer
Masyarakat
Hegemonisasi yang berlangsung selama masa Orde Baru berdampak buruk
terhadap masa transisi berikutnya. Ini tampak antara lain dengan mencuatnya berbagai
konflik bernuansa SARA yang sebelumnya diredam-paksa secara represif. Stanley melihat
persoalan SARA ini muncul sebagai akibat menyempitnya ruang akomodasi negara
bangsa pada masa rezim Orde Baru.16 Menurutnya, rezim Orde Baru telah mereduksi
definisi negara-bangsa melulu hanya bagian dari kelompok masyarakat yang loyal pada
pemerintah dengan menafikan keragaman realitas sosial-kultural yang ada di dalamnya.
Secara kronologis, sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945, Republik Indonesia
mengalami lima periode pemerintahan. Periode pertama atau yang sering disebut sebagai
Orde Lama dimulai sejak Agustus 1945 hingga September 1965 dipimpin oleh Sukarno.
Periode kedua mulai Oktober 1965 hingga Mei 1998 yang lazim disebut sebagai masa
Orde Baru dipimpin Soeharto yang juga merupakan masa pemerintahan terlama
sepanjang sejarah Republik Indonesia. Periode berikutnya merupakan masa transisi
dengan masa pemerintahan yang relatif pendek. Pada masa transisi ini Indonesia
dipimpin secara bergiliran. BJ. Habibie dengan Kabinet Reformasinya memerintah sejak
Mei 1998 hingga Oktober 1999. Abdurrahman Wahid menggantikan BJ. Habibie mulai
Oktober 1999 hingga Juli 2001 dengan Kabinet Persatuan. Sejak Juli 2001, giliran
Megawati memimpin Indonesia dengan kabinet Gotong Royong.
NO
1
2
3
4
5
Presiden
Sukarno
Soeharto
BJ. Habibie
Abdurahman Wahid
Megawati Soekarnoputri
Masa Pemerintahan
Rezim/Kabinet
Orde Lama
Orde Baru
Kabinet Reformasi
Kabinet Persatuan
Kabinet Gotong Royong
Subanar, Gregorius B (2002) Visi dan Relevansi Kelompok-kelompok Antar-iman Dalam Konteks
Bermasyarakat, dalam Newsletter Interfidei, Yogyakarta: Edisi Khusus 2002.
15
Stanley (2002) Konflik di Indonesia dan Upaya Rekonsiliasi Masyarakat dalam Makalah Workshop:
Penyusunan Kurikulum Liputan Jurnalis di Wilayah Konflik (Aceh) dengan Menggunakan Perspektif Juranlisme Damai,
Yayasan Kippas Medan: 23-27 Oktober 2002.
16
17
Ibid.
18
Ibid.
Penegasan ini pernah disampaikannya dalam diskusi Asia Society, New York, Oktober 2000 juga dalam
Pangkaykim Memorial Lecture, Jakarta 17 Desember 2002. Lebih detail lagi mengenai gagasan Sidney Jones ini
dapat disimak dalam Laporan ICG: http://www.intl-crisis-group.org.
19
20
Namun demikian, bukan hanya warga BBM yang kemudian terusir dari Ambon,
tapi juga sukubangsa-sukubangsa lainnya yang sudah bertahun-tahun tinggal di kota
Ambon. Ini dapat dimak dalam kutipan berita berikut:
Ribuan pengungsi Maluku pasca kerusuhan Ambon banyak menyebar ke pulau Jawa, Nusa
Tenggara, Bali, dan lain-lain. Mayoritas dari mereka ini mengungsi melalui kapal-kapal yang
disediakan. Tanpa mempedulikan risiko yang terjadi, mereka tetap naik kapal agar menjauh dari
perang saudara yang telah memakan banyak korban.23
21
22
23
Di luar kedua peristiwa itu tentu saja masih banyak konflik kecil yang terjadi
antara sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Beberapa peristiwa konflik etnis yang
pernah tercover oleh media antara lain: Papua-Makasar (di Papua), Madura-Melayu (di
Kalimantan), Madura-Banten (di Pasar Kramat Jati, Jakarta), Madura-Betawi (di Pasar
Pramuka, Jakarta), Batak-Sunda (di Terminal Pulogadung dan Terminal Rambutan,
Jakarta). Berbagai konflik etnik ini menunjukkan rentannya persoalan etnisitas di
Indonesia sehingga dengan mudahnya dapat dijadikan alat untuk politisasi berbagai
kepentingan.
Konflik Agama
Clifford Geertz pernah menyampaikan pengamatannya bahwa agama merupakan
unsur perekat yang bisa menimbulkan kohesi, namun sekaligus merupakan unsur pembelah
yang dapat menimbulkan disintegrasi.26 Pandangan teori fungsional yang telah menjadi klasik
ini menurut Thomas F. ODea didasarkan pada pertanyaan dasar apa sesungguhnya
sumbangan fungsional agama terhadap sistem sosial. Dalam pandangan fungsional, agama
adalah sesuatu yang mempersatukan aspirasi yang paling luhur, memberikan pedoman
moral, memberikan ketenangan individu dan membuat kedamaian masyarakat, menjadi
sumber tatanan masyarakat dan membuat manusia menjadi beradab. Tetapi pada saat yang
sama, agama juga dituduh sebagai biang keladi peperangan.27
Menurut AA Yewangoe, sinyalemen itu terbukti dalam sejarah umat manusia. Begitu
banyak peperangan yang diberi label agama pernah dikobarkan manusia. Perang Salib yang
memperhadapkan umat Islam dan Kristen di Yerusalem telah terlanjur dianggap sebagai
perang suci. Perang yang berdalih membela Yerusalem dari serangan Islam ini telah
Simak berita Tempo Interaktif, Edisi 8 Maret 2001. Pada laporan lainnya dalam edisi yang sama media ini
juga bahkan memuat keprihatinan pemerintah Inggris yang menyampaikan kekhawatirannya secara khusus
kepada Dubes RI untuk Inggris, Nana Sutresna atas terjadinya peristiwa Sampit. Beberapa situs internet
menampilkan foto-foto pembantaian yang mengerikan. Sementara kalangan DPR mengusulkan
dibentuknya Pansus Sampit. Ini tentu saja menggambarkan betapa gawatnya persoalan ini.
24
25
Geertz, Clifford (1987) Konflik dan Integrasi Agama dan Masyarakat di Mojokuto dalam Taufik
Abdullah (ed.) Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia, Pustaka Firdaus, Jakarta.
26
27
ODea, Thomas F. (1985) Sosiologi Agama, Suatu Pengenalan Awal, Rajawali, Jakarta.
Periode
1945-1954
1955-1964
1965-1974
1975-1984
1985-1994
1995-1997
Jumlah
Rata-rata
0
2
46
89
132
89
0
0
13
25
36
25
Prosentase
0
0,2
4,6
8,9
13,2
44,5
Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (PPPK) UGM dalam suatu
penelitiannya memberi gambaran bahwa lingkungan kehidupan agama ditandai oleh
kecenderungan ke arah militansi kesadaran agama yang siap bersaing di masyarakat dengan
pengikut agama lain. Hal semacam ini tentu memberikan dampak dan ketegangan tertentu
pada kehidupan umat beragama. Sementara itu juga dicatat munculnya krisis otoritas antarkelompok dan intra-kelompok. Banyak pemimpin agama yang merasa ditinggalkan
pengikutnya, karena banyak alasan, antara lain karena pemimpin tersebut dianggap terlalu
dekat dengan pemerintah. Selain itu juga ada korelasi antara agama tertentu dengan
kelompok ras yang sering menjadi sasaran dari amukan massa, khususnya dari golongan
etnis Cina. Dan yang paling menonjol adalah semangat misi keagamaan yang sering
melupakan nilai-nilai pergaulan antarmanusia di lingkungan tertentu.30
Dengan bertitik tolak dari Progress Report itu, Sumartana lebih jauh mengemukakan
bahwa agaknya masalah "kristenisasi" menjadi salah satu pemicu dari kerusuhan agama
tersebut. Kegiatan kristenisasi ini antara lain dilakukan oleh komunitas agama atau gereja
fundamentalis, fenomena ini terasa agak menonjol. Dari berbagai pembakaran gereja bisa
ditemukan pola umum, yaitu sebagian besar korbannya adalah gereja fundamentalis, dengan
mayoritas jemaat keturunan Cina. Menurut informasi yang terkumpul, gereja-gereja
evangelis yang agresif dalam penyebaran agama memang memperoleh dukungan material
28
29
Progress Report PPPDK-UGM dalam Sumartana (2003) SARA dan Integrasi Nasional: Ketegangan
yang Tak Pernah Padam ? dalam Dinamika Demokratisasi Pasca Soeharto Persoalan dan Prospek, ISAI-SARECDEMOS, Jakarta.
30
Ibid.
Mohamad, Goenawan (2002) Teks Yang Menghidupkan, Agama Yang Membebaskan dalam Newsletter
Interfidei, Yogyakarta: Edisi Khusus 2002.
32
33
Ibid.
34
Tim Relawan Kemanusiaan membuat laporan investigasi berdasarkan informasi dari berbagai kelompok
dan media massa: Tim Pencari Fakta dari Partai Keadilan cabang Ambon, Tim Pencari Fakta Yayasan alMukmin di Jakarta, Asian Human Rights Watch di New York, Kontras, Tim Relawan (Tirus) di Ambon,
Yayasan Sala Waktu Maluku, Mingguan Berita Umat, Sabili, Penabur, Tifa, Tempo, Tajuk, Detak, serta media
internasional: Associated Press (AP), Reuters, Agence France Press (AFP).
35
Dalam setiap kerusuhan, definisi identitas menjadi demikian penting dan dalam
situasi tertentu cenderung makin dipertegas. Penguatan simbol-simbol identitas dalam setiap
kerusuhan menunjukkan makin kuatnya kehidupan pribadi diartikulasikan dalam kehidupan
publik sebagai tanda penggolongan sosial. Dalam tragedi Ambon, Parsudi Suparlan menilai
bahwa solidaritas sukubangsa seringkali digeser menjadi solidaritas keyakinan keagamaan,
sehingga konflik yang terjadi berubah menjadi kelompok-kelompok orang Ambon yang
beragama Islam dan yang beragama Kristen.37
Konflik Islam-Kristen di Poso juga tak kalah getir dan memilukan. Wilayah yang
mulanya dikenal sebagai tempat yang damai dan penuh daya tarik itu kini menjadi neraka.
Harian Fajar, surat kabar yang terbit di Makassar, melukiskan pertikaian yang terjadi di Poso
itu sebagai berikut:
Sesaat ketenangan di tanah Poso sejak kerusuhan pertama, dapat dinikmati warganya. Tiba-tiba
pada 24 Mei, api dalam sekam itu membara kembali, kali ini lebih panas. Pemicunya menurut
media ada dua versi; pertama sekumpulan pemuda mabuk yang memukul seseorang yang
kemudian meletup menjadi tawuran, dan kedua rebutan jabatan di kantor bupati Poso.
Berbagai versi mengenai jatuhnya korban pun tidak klop. Baik dari versi pemerintah maupun
kepolisian. Kapolres Poso menyebut angka 203 jiwa, kemudian Pemda setempat menyatakan
246 jiwa melayang akibat kerusuhan selama tiga bulan lebih itu.1 Belum lagi arus pengungsi yang
membludak membanjiri propinsi tetangga. Tercatat hingga akhir Agustus 2000, 15.032 jiwa
menyebar di Stadium Gawalise, BTN Silae dan di rumah-rumah penduduk Kota Palu. Lalu di
Donggala 10.238 jiwa, Morowali 4.182 jiwa, Sulawesi Utara 2.257 jiwa, Sulawesi Selatan 8.899
jiwa dan Sultra 49 jiwa. Pemerintah Kota Palu yang kewalahan, akhirnya membuka peluang pada
tiga Gubernur Sulawesi Selatan, Tenggara dan Sulawesi Utara ikut membantu. Persoalan ini kita
tangani bersama, kata gubernur itu senada dalam pertemuan terakhir di Kota Kendari (7
September 2000).38
Media nasional juga tak luput dari liputan konflik Poso tersebut. Berikut petikan
berita dari LKBN Antara dan Suara Pembaruan.
Kerusuhan kemarin terjadi ketika massa Kelompok Merah dari Kecamatan Lore Utara dan
sekitarnya menyerang kantong-kantong pemukiman Muslim di Kecamatan Poso Pesisir. Mereka
menembak penduduk di sejumlah desa, membakar rumah tinggal, tempat ibadah kaum Muslim,
serta gedung Madrasah Aliyah Negeri di kecamatan itu.
Kerusuhan makin meluas karena ribuan orang Kelompok Merah dari daerah lain, yakni
Kecamatan Pamona Utara, Mori Atas, dan Lembo terus berdatangan ke lokasi-lokasi kerusuhan.
Mereka masuk ke dalam kota, membakar rumah-rumah penduduk di kawasan BTN di sekitar
Perusahaan daerah Air Minum di Kelurahan Gebangrejo.39
36
37
Ibid hal 9.
38
39
10
Dalam beberapa episode prahara Poso, tidak ada satu pihak pun, baik Muslim
maupun Kristen, yang dapat memonopoli sepenuhnya atas kebenaran peristiwa rusuh yang
terjadi, baik dari segi kekerasan yang berlangsung maupun korban-korbannya. Kedua belah
pihak akhirnya sama-sama menderita dan menanggung kerugian-kerugian yang mendalam
dan menyedihkan. Poso hingga kini bagaikan api dalam sekam, yang sewaktu-waktu dapat
menyemburkan letupan-letupan yang mengejutkan.
Konflik Ras dan Antargolongan
Perkembangan sejarah Indonesia menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan
yang cukup menentukan dalam persoalan SARA dan akomodasinya. Salah satu persoalan
yang cukup penting --sekaligus krusial-- adalah berkaitan dengan penanganan masalah
etnis Tionghoa yang seringkali berujung pada persoalan ras dan antar-golongan. Menurut
Koentjaraningrat, pemerintah Orde Baru mengharapkan bahwa penduduk yang termasuk
sebagai golongan keturunan asing pada umumnya dapat berasimilasi dengan sukubangsa
di daerah tempat mereka berada atau bahkan sepenuhnya menganut kebudayaan nasional
Indonesia. Orang Arab Indonesia dengan nyata telah mencapai asimilasi, sedangkan
orang India Indonesia dan orang Indo-Eropa amat kecil dan tak penting jumlahnya.
Sebaliknya, orang keturunan Tionghoa, yang jumlahnya kira-kira tiga persen dari seluruh
penduduk, pada umumnya merupakan penduduk perkotaan. Di kota-kota Jawa mereka
bahkan berjumlah sekitar sepuluh persen dari kelompok keturunan asing, tetapi
mendominasi sektor ekonomi dari masyarakat kota. Karena itu etnis Tionghoa
merupakan kategori sosial yang amat penting.41
Namun demikian, Mely G. Tan menilai bahwa pemerintah Indonesia dari zaman
Orde Lama hingga Orde Baru telah turut mempertajam masalah berkaitan dengan etnis
Tionghoa yang penanganannya cenderung diskriminatif.42 Menurut Bambang Setiawan,
hampir tidak ada kelompok etnis di Indonesia yang dikelola secara sangat ketat selain
etnis Tionghoa. Selama tahun 1945-1978 pemerintah Indonesia telah membuat begitu
banyak peraturan yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa.43
Jafar Suryomenggolo menginventarisir berbagai produk peraturan perundangundangan tersebut secara kronologis dan sangat terperinci.44 Salah satu contoh dapat
dikemukakan di sini, misalnya, Peraturan Presiden Republik Indonesia No.10 Tahun
1959 tentang Larangan Bagi Usaha perdagangan Kecil dan Eceran yang bersifat Asing di
Luar Ibukota Daerah Swatantra I dan II serta Keresidenan. Menurut Pramoedya Ananta
Toer, dampak dari peraturan yang diskriminatif ini sangat fatal, karena terbukti telah
menjadi penyebab hijrahnya sebagian masyarakat Tionghoa dari pedesaan-pedesaan atau
40
41
Tan, Mely G (1999) Etnisitas dan Perubahan Sosial: Beberapa Pokok Pemikiran dalam Proceedings
Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.
42
43
Suryomenggolo, Jafar (2001) Hukum sebagai Alat Kekuasaan: Kajian Tentang perundang-undangan
yang Berkenaan dengan Asimilasi pada Masa Orde Baru, Skripsi S-1 pada Fakultas Hukum UI, Jakarta.
44
11
Keprihatinan dan refleksi kritis atas peristiwa tersebut antara lain dapat disimak
dalam liputan Jawa Pos berikut ini:
Ilmuwan yang pernah menjadi tokoh golput pada awal pemerintahan Orde Baru ini lantas
menjelaskan berbagai kemungkinan untuk menyulut Jakarta menjadi rusuh. Antara lain, dengan
memperalat SARA (suku, agama, ras, dan antar-golongan). Juga menggunakan isu kesenjangan
sosial yang intinya harus melabrak orang-orang keturunan Tionghoa seperti pada kerusuhan Mei.
Masalah SARA ini masih mujarab untuk membuat huru-hara, katanya.49
45
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (1998) Sujud di Hadapan Korban: Tragedi Jakarta Mei 1998, TRUK,
Jakarta. Hal yang sama juga dapat disimak dalam Hawe Setiawan (ed.) Hanif Suranto dan Istianto (1999)
Negeri Dalam Kobaran Api: Sebuah Dokumentasi tentang Tragedi Mei 1998, Lembaga Studi Pers dan
Pembangunan (LSPP), Jakarta.
47 Suryadinata, Leo (2002) Negara dan Etnis Tionghoa: Kasus Indonesia, LP3ES, Jakarta.
46
48
Lihat: http://www.asiaweek.com/asiaweek/mengungkap_dalang/html.
49
Petikan wawancara dengan Arief Budiman ini dapat disimak dalam laporan Jawa Pos, 11 Mei 1999.
12
Abdulah, Taufik (1999) Etnisitas dan Konflik Sosial: Sebuah Pengantar dalam Pemecahan Masalah
Hubungan Antaretnik: Etnisitas dan Konflik Sosial, Hasil Penelitian PMB-LIPI, Jakarta.
51
Taufik Abdulah dalam Thung Ju Lan (1999) Konflik Cina-Non Cina, Etnisitas dan Kekuasaan dalam
Proceedings Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta.
52
Amien Rais, Dasi dan Sepatu si Kaya Lebih Penting daripada Periuk Nasi si Miskin dalam Toriq
Hadad, et all., (1988) Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, ISAI, Jakarta.
53
Huntington, Samuel (1991) The Third Wave: Democration in The Late Twentieth Century, University of
Okhlahoma Press, Norman and London.
54
13
55
Lan, Thung Ju (2001) Kebijakan Etnisitas dalam Kebijakan Kebudayaan di Masa Orde Baru, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kemasyarakatan dan Kebudayaan, LIPI, Jakarta.
56
Pada masa keemasan Orde Baru, bahkan jawanisasi telah merambah pada hal-hal yang sepele, seperti
pemakaian baju safari bermotif batik bagi para pegawai negeri, juga pemakaian logat bahasa IndonesiaJawa ala Soeharto yang ngetren dan banyak ditiru para pejabat pemerintahan.
57
14
58
59
Wawancara dengan Direktur HIMBA Kalteng, Mathius Hosang, Palangkaraya 6 Juni 2003.
Dalam Laporan ICG Asia No.19, 27 Juni 2001 salah seorang pemuka Dayak yang diwawancarai staff
ICG mengatakan bahwa tradisi orang Madura yang kasar dan sulit menyesuaikan diri dengan budaya
setempat menjadi salah satu alasan kekesalan orang Dayak terhadap migran asal Madura.
60
61
Coomans, Mikhail (1987) Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, Masa Depan, Gramedia, Jakarta.
62
15
Dominasi BBM baik di bidang ekonomi, politik maupun budaya di Ambon dan
Papua semakin menjadi-jadi, terutama setelah BJ. Habibie menjadi orang nomor satu di
negeri ini. Karena itu pula, pada masa pemerintahan BJ. Habibie konflik etnis di dua
daerah ini cenderung meningkat dibandingkan sebelumnya. Persoalannya tentu saja
kelompok BBM di dua daerah itu tidak saja dipersepsi sebagai representasi etnisitas, tapi
juga karena secara etnisitas BJ. Habibie tergolong BBM-- seolah merepresentasikan
kekuatan rezim yang harus dilawan.
Keterlibatan Aparat
Gambaran tentang pola dan fakta kerusuhan massal di Indonesia pada masa
transisi menunjukkan sesuatu yang tidak jauh berbeda dengan kerusuhan-kerusuhan
massal yang terjadi sebelumnya. Ini dapat dibandingkan antara konflik yang terjadi
beberapa waktu yang lalu di Poso dan Ambon dengan konflik di daerah-daerah lain yang
terjadi sebelumnya, seperti: tragedi 27 Juli, Situbondo, Tasikmalaya, tragedi Mei 1998,
tragedi "Dukun Santet", Ketapang, Kupang, Sambas, dan lain-lain yang semuanya
memberikan petunjuk jelas tentang keterlibatan aparat.
Dalam konflik di Maluku, misalnya, begitu banyak pihak yang menyesalkan
terjadinya kerusuhan yang sebenarnya dapat diantisipasi dan dicegah keluasannya. Namun
yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak indikasi menunjukkan bahwa aparat keamanan
tidak hanya gagal dalam mencegah kerusuhan tapi bahkan terlibat dalam pertikaian.
Ketika kerusuhan baru meletus, para tokoh agama yang dikumpulkan oleh pihak
keamanan telah menyarankan agar pengamanan dan pembendungan massa tetap
menghadirkan para tokoh agama langsung di tengah umatnya, disertai back up dari aparat
keamanan tanpa senjata. Namun anjuran ini tidak diterima oleh aparat keamanan.
Alasannya, pasukan dalam jumlah besar telah dioperasikan ke lokasi-lokasi rawan.
Sebaliknya dan nyatanya, kerusuhan makin meluas. Pola penanganan kerusuhan oleh
aparat keamanan malah meningkatkan jumlah korban.
Tim Relawan Kemanusiaan mencatat beberapa kejanggalan yang terlihat sebelum,
selama dan setelah kerusuhan. Ini sekaligus memberikan indikasi tentang keterlibatan
aparat militer dalam kerusuhan.64 Pertama, tentara dan polisi sangat lamban dan kurang
tanggap mendengar laporan dari warga masyarakat. Kedua, aparat keamanan mengecilkan
arti faktor pemicu rusuh dan menganggap kerusuhan itu "biasa-biasa saja" dan
meremehkan persoalan. Ketiga, kurangnya kemampuan pihak keamanan untuk melakukan
deteksi dini terhadap gejala-gejala kerusuhan yang telah muncul sebelumnya. Keempat,
tentara bahkan langsung menciptakan dan memancing suasana tegang. Mereka
memperlakukan warga masyarakat secara kasar disertai penggunaan kata-kata vulgar
bernada sentimen rasial. "Kamu Ambon ya? Kamu kira orang Jawa takut pada kalian?!"
merupakan kata-kata yang seringkali didengar warga. Kelima, alat keamanan malah terlibat
dan menjadi bagian dari konflik itu sendiri. Keenam, aparat keamanan terkesan melindungi
dalang dan pelaku kerusuhan. Meskipun pihak polisi secara tak langsung mengakui
adanya "provokator", pada dasarnya informasi yang diberikan pada masyarakat sangat
63
64
16
66
Ibid.
67
68
Ibid.
17
1
2
6
9
Total
69
Media
Indonesia
1
1
2
4
Suara
Pembaruan
1
1
1
3
Ini bisa disimak dalam hasil wawancara Radio Nederland-Wereldomroep dengan George J. Aditjondro yang
disiarkan pada: 07/09/2000. Ada banyak sumber lain yang menyatakan bahwa ternyata kekuatan tentara
ikut terlibat dalam konflik di Ambon. Salah satu tulisan detil soal ini bisa dibaca George Junus Aditjondro,
Di Balik Asap Mesiu, Air Mata dan Anyir Darah di Maluku dalam Zairin Salampessy (2001) dan Thamrin
Husain (ed), Ketika Semerbak Cengkih Tergusur Asap Mesiu, Sekretariat Tapak Ambon, Jakarta.
70
71
Wawancara dengan Direktur YTM Palu, Arianto Sangaji, Palu, 2 Juni 2003.
Sudibyo, Agus (2001) Meliput Konflik SARA Tanpa Visi Rekonsiliasi: Analisis Isi Terhadap Beritaberita Kerusuhan Poso dalam Media Watch elSIM, Makassar: Edisi 07/2001.
72
18
Ibid.
74
Ibid.
19
Ibid.
Ulasan dan contoh-contoh pada bagian ini sebagian besar disarikan dari Stanley (2000) Potensi Media
Sebagai Peredam dan Pendorong Aksi Kekerasan dalam Makalah Workshop on Violence in Indonesia to follow
the Asian Studies Association of Australia (ASA) Conference di Universitas Melbourne, Melbourne, Australia, 3-9
Juli 2000.
76
Lihat: Terbit dan Republika, 1 Agustus 2000. Majalah Sinar misalnya, adalah yang pertama kali melansir
bahwa orang tua Budiman Sudjatmiko, Ketua PRD, adalah anggota PKI. Fakta yang diyakini betul oleh
Syarwan Hamid ini, belakangan terbukti bohong sama sekali. Pihak aparat keamanan kecele ketika orang tua
Budiman yang tinggal di daerah Bogor ini ternyata seorang haji dan pemeluk Islam yang taat. Bahkan di
rumahnya, mereka juga mempunyai sebuah tempat pengajian.
77
21
Hal ini bisa dilihat dari pemilihan sejumlah judul tulisan media massa. Misalnya Judul yang digunakan
Forum Keadilan, Rintihan Warga Bermata sipit Itu, Forum, No 7 Tahun VII, 13 Juli 1998.
78
Lihat sejumlah judul pemberitaan seperti Penerbangan ke Singapura Penuh Sesak yang
mengambarkan bagaimana warga minoritas Tionghoa pada akhirnya cari selamat dengan terbang ke luar
negeri, atau WNI Keturunan Diminta Tunjukkan Solidaritas. Berita diarahkan sedemikian rupa menjadi
pembenaran atas munculkan kebencian masyarakat atas perilaku a-sosial warga keturunan Tionghoa yang
tak mau bergaul, hidup soliter dan eksklusif, mendominasi ekonomi dan lain-lain. Lihat: Tim LSPP,
Laporan sementara Hasil Penelitian Tim Riset LSPP Tentang Profil Pemberitaan Media Cetak Pada
Peristiwa Kerusuhan Bulan Mei 1998, bahan diskusi palatihan wartawan meliput konflik SARA yang
diselanggaran LSPP-AJI di 7 kota pada September 1998- Maret 1999. Publik tampaknya juga merespon dan
terseret ke sikap minor terhadap warga keturunan Tionghoa. Hal ini bisa dilihat dari maraknya surat
pembaca yang bernada anti-Tionghoa. Lihat: Nonpri Harus Lebih Membaur, surat pembaca dalam Bisnis
Indonesia, 8/6/98.
79
Teror lewat kata-kata ini belum cukup, karena warga sekitar yang bukan keturunan Tionghoa berlombaloba menulisi pagar atau dinding rumah mereka dengan kata-kata yang tak kalah rasialnya yaitu milik
pribumi, Jawa asli atau milik Haji . Coretan-coretan ini sepertinya untuk mencegah rumah milik
warga non-keturunan Tionghoa jadi sasaran amuk massa, tapi sekaligus mempersilakan rumah yang tak ada
tulisan seperti ini untuk dibakar dan dijarah.
80
Kikuknya peliputan media massa juga dapat dilihat saat terjadi perang antara kelompok pecopet (suku
Batak) dengan awak bis UD Mayasari (suku Sunda) lantaran ada pecopet yang ditangkap saat mengambil
barang penumpang dan digebuki sopir dan kenek bus Mayasari. Si pencopet kemudian mengadu pada
kawananannya yang tinggal di Pulogadung. Mereka lantas beramai-ramai mencegat dan menghentikan
sebuah bus Mayasari lantas menggebuki awaknya. Seorang sopir Mayasari bahkan ditusuk hingga mati.
Akibatnya terjadilah perang. Perang besar di Terminal Pulogadung dan Kampung Rambutan yang
berlangsung sekitar 4 hari ini diberitakan hanya sebagai perang antara penjahat dan awak bus yang sulit
dimengerti akal sehat bahwa peristiwa kriminal bisa menjadi perang besar. Peritiwa ini baru berhenti setelah
satuan marinir bersenjata diturunkan di Pulogadung dan mengawal semua bus Mayasari.
81
Tulisan-tulisan ketiga media Islam ini dikenal garang dan menghantam kelompok non-Islam. Dalam
kasus Maluku, ketiganya lebih menyuarakan kepentingan kelompok yang menyuarakan Jihad.
82
22
Fajar
Favorable Islam
Favorable Kristen
Netral
Unfavorable Islam
Unfavorable Kristen
Tidak Jelas
0
0
18
0
6
3
Pedoman
Rakyat
2
0
9
0
3
14
Total
27
29
Manado
Post
0
1
2
0
0
17
20
Mercusuar
4
2
15
0
3
86
110
83
84
Ibid.
23
Andrew Arnow seperti dikutip Nunung Prajarto, Media Berita dalam Sebuah Konflik, Yogyakarta, Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, 1993, h. 2-6. Dalam konteks pemberitaan yang
berhubungan dengan SARA/rasial, lihat tulisan Peter Braham, How the Media Report Race, dalam
Michael Gurevitch, Tony Bennett, James Curran and Janet Woollacott (ed), Culture, Society and the Media,
London and New York, Methuen, 1982, h. 268-286. Dalam tulisan tersebut, Braham di antaranya
menyebut beberapa kecenderungan media ketika memberitakan peristiwa rasial, yang dipandang sensitif.
Ada kecenderungan media untuk memperbesar, tapi ada juga yang berusaha menutupi dan mencari
harmoni dibandingkan memberitakan secara sebenarnya.
85
86
Idriss, Shamil (2002) Media Role on Dialogue of Civilization dalam liputan Kompas: 19 Maret 2003.
Lihat: Robert Karl Manoff, The News Values of Peace Journalism dalam The Peace Journalism Option,
January 1998. Juga Eriyanto & Muhammad Qodari Mempertimbangkan Jurnalisme Perdamaian dalam
Pantau, Jakarta: Edisi 09/2000.
87
24
Kabinet Habibie itu menurut saya terdiri dari orang-orang pemerintahan lama, yang ikut juga dalam
gerakan represi. Jadi mereka masih kelompoknya Soeharto juga. Selain itu, jelas ada orang-orang
ICMI yang dimasukkan Habibie. Sebenarnya tidak ada yang dengan jelas memperjuangkan
reformasi. 88
Pada periode BJ. Habibie, konflik SARA memang tidak begitu banyak terjadi.
Dibandingkan dua periode transisi lainnya, secara kuantitatif, periode BJ. Habibie paling
sedikit memunculkan persoalan SARA. Dokumen Kompas hanya mencatat dua kasus
yang terjadi pada periode ini, yaitu konflik di Maluku (Provinsi Maluku dan Maluku
Utara) dan di Poso, Sulawesi Tengah.89 Kedua kasus ini, bahkan, mengalami puncak
eskalasinya pada periode pemerintahan Abdurahman Wahid dan belum tuntas
penanganannya hingga periode pemerintahan Megawati sekarang. Perkembangan konflik
pada masa pemerintahan BJ. Habibie dapat disimak pada tabel berikut.
Perkembangan Konflik
pada Masa Pemerintahan B.J. Habibie
Poso, Sulawesi Tengah
26 Desember 1998
Konflik bermula dari perkelahian Roy Runtu Bisalembah
(Kristen) yang dalam keadaan mabuk dengan Ahmad Ridwan
(Islam) di Mesjid Darussalam, Kelurahan Sayo, Kabupaten Poso,
Sulawesi Tengah. Perkelahian ini kemudian berkembang menjadi
ketegangan antara warga Kelurahan Lombogia dan warga dari
beberapa kelurahan lainnya di Kabupaten Poso. Sebuah rumah di
Kelurahan Lombogia musnah dibakar massa dengan lemparan
bom Molotov, serta 10 orang warga dan dua petugas keamanan
luka-luka.
19 Januari 1999
Bentrokan seorang warga Batumerah,
Ambon dengan seorang sopir angkutan
kota. Kejadian ini memicu konflik massa
disertai dengan pembakaran Mesjid AlFatah. Dalam insiden ini 11 orang tewas,
23 orang luka-luka, 45 rumah, 5 toko, dan
75 kios terbakar, serta 161 mobil, 25
sepeda motor, dan 100 becak rusak.
28 Desember 1998
Kerusuhan semakin meluas di Kabupaten Poso. Sebagian
penduduk mengungsi ke luar kota. Puluhan rumah musnah
dibakar massa dan puluhan lainnya rusak. Sebanyak 79
orang luka terkena lemparan batu atau senjata tajam. Kota
Poso lumpuh. Pasar, took, serta kantor pemerintah dan
swasta tutup.
9 Maret 1999
Pertikaian antarwarga ini kemudian
berkembang menjadi masalah antaragama
(Islam-Kristen). Selang 3 bulan terjadi
beberapa
kali
bentrokan
yang
mengakibatkan sedikitnya 179 orang
tewas, 230 orang luka berat, 213 orang
luka ringan, 3544 rumah, 134 mobil, 110
sepeda motor, 423 becak, 667 kios, 2
bank, 338 toko, 5 pasar, 18 gereja, 18
mesjid, 1 bioskop, 4 sekolah, 11 kantor
pemerintah, 3 hotel dibakar dan dirusak.
31 Maret 6 April 1999
Konflik kemudian merembet ke daerah
lain. Di Maluku Tenggara terjadi
pertikaian antara dua kelompok warga
(terkenal dengan kasus Tual). Sedikitnya
88
Petikan wawancara Arief Budiman ini dapat disimak di Tempo Interaktif: Senin, 25 Mei 1998.
Lihat: Tweki Triardianto (2002) Potret Konflik di Indonesia dalam Indonesia Dalam Krisis 1997-2002,
Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
89
25
Peristiwa besar lainnya yang muncul pada periode BJ. Habibie adalah lepasnya
Timor Timur (Timtim) dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada 27 April 1999 BJ.
Habibie menetapkan penentuan pendapat (referandum) untuk mengetahui keinginan
sebenarnya masyarakat Timtim. Jajak pendapat dilakukan 30 Agustus 1999 dan hasilnya
diumumkan pada 4 September 1999. Tercatat 78,5 persen penduduk Timtim memilih
untuk merdeka dan sejak 26 Oktober 1999 Timtim secara resmi berada di bawah
pemerintahan transisi yang dibentuk PBB.90
Hal lain yang penting untuk dicatat pada periode BJ. Habibie adalah berayunnya
bandul politik ke arah kanan. Banyak pihak menilai, pada periode ini ICMI telah
dijadikan kendaraan politik kalangan Islam tertentu untuk meraih kekuasaan. Dari
perspektif SARA, hal ini merupakan salah satu raport buruk BJ. Habibie karena ia dinilai
terlalu ICMI minded. Menurut Emmanuel Subangun, dengan aktifitasnya di ICMI, BJ.
Habibie telah terlanjur dianggap sebagai pemimpin nasional dengan warna Islam. Oleh
karena itu, mempersoalkan BJ. Habibie sebagai Kepala Negara seringkali diartikan
sebagai usaha dan gerakan anti-Islam. Malah lebih jauh mulai disebarkan desas-desus
sebagai awal tindakan makar.91
Pada tanggal 22 Mei 1998, tepat sehari setelah pelantikan BJ. Habibie menjadi
Presiden, di beberapa sudut kota Jakarta banyak dijumpai poster besar bertuliskan Anti
Habibie = Anti Islam. Tidak diketahui, siapa pemasang poster itu, namun mudah
dipahami jika pada periode ini kemudian muncul milisi-milisi sipil berbasis agama (Islam)
yang membela BJ. Habibie secara membabi buta. Ulah Gerakan Pemuda Kabah (GPK)
yang begitu gencar mendukung BJ. Habibie menjadi Presiden merupakan contoh
politisasi sentimen primordialitas, dalam hal ini Islam. Contoh ini menarik sekaligus
membuat kita kaget, karena GPK merupakan salah satu milisi sipil milik PPP,
Atas peristiwa ini BJ. Habibie pernah mendapat julukan Bapak Disintegrasi Bangsa. Namun ada pula
pihak yang menilai bahwa ini merupakan salah satu prestasi Habibie menuntaskan masalah Timtim yang
selama puluhan tahun ibarat krikil dalam sepatu.
90
91
Subangun, Emmanuel (1999) Kaum Beragama di Tengah Krisis Nasional, Kanisius, Yogyakarta.
26
Oktober - Desember
(1999)
BOM
Ditemukan Meledak
Keterangan
Januari - Desember
(2000)
Januari - Juli
(2001)
33
20 Oktober 1999 :
Sekitar Taman Ria Senayan, Jakarta Selatan, 4
orang luka 1 meninggal
11 Desember :
Atrium Senen, Jakarta Pusat, 2 mesin ATM
hancur, tak ada korban jiwa
Kompleks Boker, Jakarta Timur, tiga orang luka
17
16 Januari 2001:
Pancoran, Jakarta Selatan, 1 mobil hangus,
tak ada korban jiwa
29 Januari 2001 :
Kantor PT. Newmont, Mataram, tak ada
korban jiwa
Sebagaimana kasus Sambas, konflik di Sampit terjadi antara suku Dayak dengan suku Madura. Pertikaian
yang semula terjadi di Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur ini kemudian meluas ke seluruh Provinsi
Kalimantan Tengah. Menurut catatan Komnas HAM, peristiwa ini telah merenggut korban 352 orang,
puluhan rumah terbakar, dan tak kurang dari 25.000 etnis Madura mengungsi.
92
27
43
27
Namun demikian, banyaknya konflik SARA juga peristiwa peledakan bom- yang
terjadi pada periode pemerintahan Abdurahman Wahid tidak serta merta merupakan
raport buruk Abdurahman Wahid. Justru sebaliknya, dari perspektif SARA, Abdurahman
Wahid memiliki raport yang cukup baik.93 Banyak pihak menilai, berbagai rentetan konflik
SARA pada periode Abdurahman Wahid sengaja direkayasa dan dipolitisasi untuk
menjatuhkannya.94 Ini agak berbeda dengan yang dilakukan Soeharto dan orang-orang di
sekeliling BJ. Habibie pada periodenya, yang secara sengaja melakukan politisasi SARA
untuk memperkuat posisinya. Meskipun Abdurahman Wahid juga melakukan hal yang
sama, tapi pada periode pemerintahan Abdurahman Wahid, politisasi SARA lebih banyak
dilakukan oleh lawan-lawan politiknya hingga ia dipaksa turun panggung pada 23 Juli
2001.
Periode Megawati Soekarnoputri
Naiknya Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden disambut agak
skeptis oleh masyarakat. Tingkat optimisme masyarakat yang diperoleh Megawati tidaklah
segempita saat naiknya Abdurahman Wahid. Namun, setidaknya perjalanan pemerintahan
yang terevaluasi selama kurun waktu sembilan bulan ini tidak menunjukkan indikasi
penurunan kepercayaan masyarakat yang drastis seperti dialami pendahulunya.95
Meski diwarnai kontroversi, pencabutan TAP MPRS NO.XXV/1966 yang diwacanakan Abdurahman
Wahid mendapat banyak simpati. Juga soal pengakuan agama Konghucu dan membolehkan perayaan
Imlek secara terbuka --meski secara formal ini baru diundangkan oleh Megawati melalui Keppres No.19
Tahun 2002. Gebrakan Abdurahman Wahid sebelumnya yang membuat Keppres No.6 Tahun 2000
tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat
Cina dinilai banyak pihak telah membuka jalan buntu dan mencairkan persoalan SARA.
93
94
Ulasan mengenai hal ini banyak bertebaran dalam rubrik opini media massa akhir Juli 2001.
Satrio, BE (2002) Mengukur Kinerja Presiden Era Reformasi: Semuanya Belum Memuaskan dalam
Indonesia Dalam Krisis 1997-2002, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.
95
28
Sikap Responden
Oktober 2001
Januari 2002
April 2002
43,0
21,9
31,3
52,4
43,1
40,1
41,5
31,6
36,4
Sumber: Litbang Kompas (2002)
Persoalan SARA yang masuk dalam kategori Polkam masih menjadi pekerjaan
rumah yang sulit dituntaskan pada periode Megawati. Tiga kasus besar: Ambon, Poso,
dan Sampit masih seperti api dalam sekam. Sementara gencarnya pelaksanaan otonomi
daerah (Otda) dan otonomi khusus (Otsus) telah menambah dimensi konflik di beberapa
daerah. Ini antara lain disebabkan karena kenyataan bahwa pembagian provinsi yang
berbanding lurus dengan konsentrasi etnik. Konflik antara penduduk asli dengan
pendatang dengan sendirinya muncul sebagai salah satu konsekuensi logis dari
pelaksanaan Otda dan Otsus. Kasus Otsus di Papua, misalnya, merupakan salah satu
contoh dimana kewenangan yang begitu luas justru tidak saja menghambat kemajuan
masyarakat, tapi juga di satu sisi telah menciptakan ketegangan baru antarwarga.96
Pemerintahan Megawati sebenarnya telah menempuh banyak cara untuk
melakukan penanganan persoalan SARA. Dari berbagai upaya yang telah dilakukan oleh
pemerintahan Megawati, yang dianggap paling monumental adalah digelarnya Pertemuan
Malino yang bertujuan melakukan upaya rekonsiliasi antara kelompok-kelompok yang
bertikai.97 Pemerintahan Megawati bahkan mendapat pujian dari dunia internasional
karena berhasil menyelenggarakan perundingan Malino I dan Malino II. Namun di luar
dugaan, pada 13 Februari 2002, tepat sehari setelah perjanjian Malino II ditandatangani,
terjadi empat ledakan bom di kota Ambon. Kericuhan berikutnya terjadi pada 2 Maret
2002 saat berlangsung pawai perdamaian. Kemudian pada 3 April 2002 kantor Gubernur
Maluku di kota Ambon habis terbakar sehingga kota Ambon kembali memanas.
Di bawah kendali Megawati, jalan perdamaian tampaknya kian berliku. Tidak saja
di kota Ambon, di beberapa daerah konflik lainnya, situasinya hampir setali tiga uang.
Bahkan tempat-tempat yang semula dinilai sangat aman seperti Bali tak luput dari
Meskipun Papua telah dimekarkan menjadi tiga provinsi sesuai dengan Undang-Undang No. 45 Tahun
1999, namun hal itu tidak pernah diimplementasikan karena diprotes oleh DPRD Provinsi. Sesuai
ketentuan UU No.21/2001 tentang Otonomi Khusus, setiap pemekaran provinsi Papua harus disetujui
oleh DPRD dan MRP. Wacana Otsus di Papua bahkan seringkali menjadi sumber ketegangan dan konflik
horisontal di antara masyarakat Papua.
96
Ini merupakan perundingan tripatrit antara kelompok Islam, Kristen, dan pihak pemerintah yang
dipimpin Menko Kesra Jusuf Kalla. Malino adalah sebuah kota wisata yang terletak di Kecamatan
Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Dalam pertemuan ini, semua pihak mengharapkan
penghentian konflik yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun. Hasilnya, mereka menyetujui 11 butir
kesepakatan dan kedua belah pihak (Islam-Kristen) setuju untuk segera menyosialisasikannya.
97
29
Periode Presiden
Indeks
S
Prestasi
Soeharto
-4
BJ. Habibie
Abdurahman Wahid
+2
Megawati Soekarnoputri
-2
Pada masa Soeharto, karena kuatnya dominasi negara dalam segala aspek
kehidupan, maka semua unsur SARA pun mengalami represi yang luar biasa. Atas nama
stabilitas nasional segala keragaman SARA diredam-paksa. Pada masa Soeharto, semua
unsur SARA tanpa kecuali- merupakan amunisi untuk melakukan politisasi. Karena itu,
masa Soeharto merupakan masa terburuk dalam penanganan persoalan SARA: Nilai (-4)
untuk Soeharto !
Dominasi negara dan represi memang bukan parameter mutlak yang dapat
dijadikan indikator satu-satunya bagi penanganan persoalan SARA. Bahkan, dominasi
negara dan represi relatif tidak terjadi pada masa Habibie, Abdurahman Wahid, dan
Megawati. Persoalan SARA yang mencuat pada tiga periode pemerintahan pasca
Soeharto itu justru muncul karena melemahnya wibawa pemerintah serta
ketidakberdayaanya akibat situasi eksternal yang merupakan warisan persoalan rezim
sebelumnya.
BJ. Habibie sejatinya punya kans untuk menangani persoalan SARA secara lebih
baik. Tokoh-tokoh pluralis seperti Th. Sumartana dan Kwik Kian Gie pernah menaruh
harapan besar pada BJ.Habibie. Kalangan pers Jerman, bahkan, sempat memuji Habibie
sebagai tokoh utama yang mendemokrasikan Indonesia. Namun demikian,
Kelemahan pemerintahan Megawati diakuinya sendiri sejak awal ia memangku jabatan sebagai orang
nomor satu di negeri ini: Di luar dugaan kita, kelemahan suprastruktur dan infrastruktur politik ternyata juga
memberi peluang bagi mencuatnya berbagai konflik antarwarga, dalam wujud dan intensitas yang tidak pernah kita
saksikan sebelumnya, ujarnya dalam Pidato Kenegaraan perdananya di depan Sidang Dewan Perwakilan
Rakyat, 16 Agustus 2001.
98
30
31
Bibliografi
Abdulah, Taufik (1999) Etnisitas dan Konflik Sosial: Sebuah Pengantar dalam
Pemecahan Masalah Hubungan Antaretnik: Etnisitas dan Konflik Sosial, Hasil Penelitian PMBLIPI, Jakarta.
------------- dalam Thung Ju Lan (1999) Konflik Cina-Non Cina, Etnisitas dan
Kekuasaan dalam Proceedings Lokakarya Etnisitas dan Konflik Sosial di Indonesia, PMBLIPI, Jakarta.
Aditjondro. G Junus (2001) Di Balik Asap Mesiu, Air Mata dan Anyir Darah di
Maluku dalam Zairin Salampessy dan Thamrin Husain (ed), Ketika Semerbak Cengkih
Tergusur Asap Mesiu, Sekretariat Tapak Ambon, Jakarta.
Bruner, Edward M (1974) The Expression of Ethnicity in Indonesia dalam Abner
Cohen (ed.), Urban Ethnicity, Tavistock, London.
de Vaus, D.A. (1986) Surveys in Social Research, London.
Eriksen, Thomas Hylland, 1993. The Epistemological Status of The Concept of
Ethnicity, Conference Paper, Amsterdam.
Eriyanto & Muhammad Qodari Mempertimbangkan Jurnalisme Perdamaian dalam
Pantau, Jakarta: Edisi 09/2000.
Geertz, Clifford (1987) Konflik dan Integrasi Agama dan Masyarakat di Mojokuto
dalam Taufik Abdullah (ed.) Sejarah dan Masyarakat, Lintasan Historis Islam di Indonesia,
Pustaka Firdaus, Jakarta.
Gungwu, Wang, 1990. Kajian Tentang Identitas Orang Cina Asia Tenggara dalam
Jennifer Cushman & Wang Gungwu (ed), Perubahan Identitas Orang Cina di Asia Tenggara,
Pustaka Utama Grafiti, Jakarta.
Hadad, Toriq et.all. (1988) Amarah Tasikmalaya: Konflik di Basis Islam, ISAI, Jakarta.
Huntington, Samuel (1991) The Third Wave: Democration in The Late Twentieth Century,
University of Okhlahoma Press, Norman and London.
Idriss, Shamil (2002) Media Role on Dialogue of Civilization dalam liputan Kompas: 19
Maret 2003
Jones, Sidney (2001) Kekerasan Etnik di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan dalam
Laporan ICG No.19, Jakarta/Brussels.
Kerlinger, N Fred (1973) Foundation of Behaviour Research, New York.
Kim, Khoo Kay (1972) Sejarah Tempatan, Universitas Kebangsaan Malaysia, Kuala
Lumpur.
Koentjaraningrat (1997) Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta.
Kuntowijoyo (2002) Kesadaran dan Perilaku dalam Integrasi, Moral Bangsa, dan
Perubahan, Divisi Penerbitan FIB UGM- Sinergi Press, Yogyakarta.
Marif, A. Syafi (1985) Islam dan Masalah Kenegaraan, LP3ES, Jakarta.
Mohamad, Goenawan (2001) Kata, Waktu: Esai-esai Goenawan Mohammad 1960-2001,
Pusat Data dan Analisis Tempo, Jakarta.
------------ (2002) Teks Yang Menghidupkan, Agama Yang Membebaskan dalam
Newsletter Interfidei, Yogyakarta: Edisi Khusus 2002.
32
33
34