Anda di halaman 1dari 4

Nama : Aditama Rizky Noviandry

NPM : 1906436066

Introduction & A Historical Institutionalist Explanation

- Introduction
Pada akhir 1990-an, orang Indonesia mengalami tingkat konflik etnis
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Selama 1995 dan 1996, kerusuhan di
Situbondo, Tasikmalaya, dan bagian lain Jawa menyebabkan banyak kematian
dan perusakan properti pribadi. Mereka memiliki nuansa etnis dan agama yang
menunjukkan ketegangan serius melintasi beberapa dimensi hubungan antara
kelompok etnis Indonesia. Dalam kedua kasus tersebut, kerusuhan cukup
berbeda, banyak, dan berskala lebih besar dari peristiwa kekerasan sejak 1960-
an untuk menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Kekhawatiran ini
dikonfirmasi pada tahun-tahun berikutnya. Antara 1997 dan 2002, setidaknya
10.000 orang terbunuh dalam kekerasan etnis di seluruh nusantara.
Pada 12 Oktober 2002, sebuah bom meledak di resor wisata populer
Kuta, di Bali. Hampir 200 orang terbunuh, kebanyakan adalah orang asing.
Beberapa pelaku mengakui bahwa orang asing, terutama Amerika, telah
menjadi sasaran pembalasan atas kebijakan AS yang dianggap anti-Muslim.
Konflik di Timor Timur, Aceh, dan Irian Jaya merupakan pengecualian
terhadap stabilitas relatif tiga puluh tahun sebelumnya. Setelah pemerintah
Indonesia menginvasi Timor Timur pada tahun 1975, perang gerilya
menyebabkan banyak kematian pada dekade berikutnya. Di Aceh, gerakan
separatis bersenjata muncul pada pertengahan tahun 1970-an dan, sekali lagi,
pada tahun 1989. Dalam kedua kasus tersebut, proporsi yang signifikan dari
populasi sipil juga dipengaruhi oleh konflik kekerasan. Di Irian Jaya, gerakan
separatis yang kurang terorganisir tetap aktif dan kadang-kadang terlibat dalam
aksi kekerasan. Namun, konflik di Timor Timur, Aceh, dan Irian Jaya tidak
mengganggu stabilitas pemerintah pusat dan juga tidak dianggap sebagai
ancaman bagi daerah lain. Selama lebih dari tiga puluh tahun, rezim Orde Baru
Presiden Suharto stabil dan institusinya solid.
Konflik etnis yang keras pada akhir 1990-an jauh lebih berbahaya
karena mengancam akan menyebar dan mengguncang seluruh negeri. Konflik
dengan nuansa keagamaan paling rentan terhadap penularan. Kebangkitan
kekerasan etnis bertepatan dengan berakhirnya pemerintahan Suharto, tetapi
perubahan politik ini tidak dapat dengan sendirinya menjelaskan jumlah dan
intensitas konflik.

- A historical institutionalist explanation


Buku ini berpendapat bahwa kekerasan etnis pada akhir 1990-an dapat
sebagian dijelaskan dengan menganalisis model nasional Indonesia dan
pelembagaannya selama Orde Baru Presiden Suharto. Konteks teoritis yang
lebih luas menekankan struktur dan makna pengaturan kelembagaan yang
berbeda. Sebagaimana Bab 2 menjelaskan dengan lebih terperinci, penyebab
kekerasan etnis dapat ditelusuri ke konteks kelembagaan yang mendefinisikan
dan membentuk identitas etnis, pengakuan resmi kelompok, keterwakilan
mereka dalam lembaga negara, dan akses mereka ke sumber daya.
Pada level fundamental, institusi mencerminkan model nasional
tertentu. Sebelum adopsi lembaga, ada perdebatan tentang definisi negara, atau
hubungan antar negara, dalam suatu negara. Prinsip-prinsip yang datang untuk
mendefinisikan negara atau hubungan antar negara - yaitu, model nasional -
menetapkan inklusi / pengecualian anggota-anggotanya dan ketentuan inklusi.
Kekerasan etnis cenderung terjadi selama periode negosiasi ulang
model nasional dan institusi negara. Ada kecenderungan untuk gelombang
kebangkitan atau intensifikasi kekerasan yang bertepatan dengan titik kritis
reformasi kelembagaan. Ini adalah pola di Indonesia. Kelompok-kelompok
kekerasan etnis cenderung terjadi selama periode reformasi kelembagaan dan
negosiasi ulang model nasional, diikuti oleh periode stabilitas politik dengan
sedikit atau kurang konflik etnis yang intens.
Ketika demokratisasi dimulai pada tahun 1998, oleh karena itu, erupsi
kekerasan etnis merupakan hasil dari jalan pilihan tergantung pada model
nasional dan institusi yang mendefinisikan hubungan etnis. Krisis finansial dan
politik yang menyebabkan kejatuhan Soeharto bukanlah penyebab kekerasan
etnis yang kemudian terjadi. Mereka memicu periode reformasi kelembagaan,
di mana debat, demonstrasi, dan bentuk tindakan politik lainnya tidak hanya
bertujuan untuk mendefinisikan institusi demokrasi baru, tetapi juga
menegosiasikan klaim untuk perwakilan etnis dan akses ke sumber daya.
Analisis institusionalis dalam buku ini menjelaskan dua aspek erupsi
kekerasan. Pertama, menyajikan kisah bagaimana lembaga identitas etnis yang
dibentuk dan dimodifikasi melalui periode yang berbeda dalam sejarah
Indonesia. Pilihan bergantung pada jalur institusi yang mendefinisikan
hubungan antara kelompok etnis dan negara dalam batasan negara
kemungkinan yang ditawarkan pada setiap periode reformasi kelembagaan.
Kedua, pilihan-pilihan ini juga dibatasi oleh konsep-konsep bangsa dan model-
model nasional yang tersirat atau eksplisit dalam lembaga-lembaga ini. Konflik
etnis yang keras, oleh karena itu, tidak selalu merupakan produk dari upaya
sadar untuk mendesain ulang lembaga atau memodifikasi model nasional yang
ada.
Argumen dalam buku ini akibatnya berbeda dari penelitian lain yang
telah membahas berbagai aspek kekerasan etnis pada akhir 1990-an. Kami
dapat mengklasifikasikan penjelasan ini dalam sekitar tiga kategori. Yang
pertama menekankan peran elit (negara, militer, dan lawan politik mereka) di
Jakarta, biasanya dikenal sebagai tesis "provokasi". Sebaliknya, penjelasan
kedua berfokus pada elit lokal dan kompetisi untuk sumber daya dan
kekuasaan. Pendekatan ketiga memusatkan keluhan lokal dan hubungannya
dengan kebijakan negara.
Meskipun setiap kasus kekerasan memiliki perpaduan unik dari keluhan
yang menjelaskan munculnya konflik, ada beberapa faktor yang cenderung
berulang. Sementara penekanan pada kekerasan negara di bawah Orde Baru
membantu menjelaskan hubungan antara berbagai kasus kekerasan etnis, itu
tidak cukup. Masa lalu Indonesia, perjuangan untuk representasi bangsa dan
etnis, menentukan parameter tindakan negara dan respons kelompok pada akhir
1990-an

Anda mungkin juga menyukai