Anda di halaman 1dari 12

KONFLIK ELITE DAN PEREBUTAN OTORITAS: PERIODE AKHIR

KERAJAAN BONE, 1946-19511


ELITE CONFLICT AND STRUGGLING AUTHORITY: FINAL PERIOD
OF BONE KINGDOM, 1946—1951
Subarman
SMK Negeri 2 Watampone
Jalan Sungai Musi, Watampone Kabupaten Bone
Pos-el: subarmansalim@gmail.com
Diterima: 19 Juli 2018; Direvisi: 27 September 2018; Disetujui: 30 November 2018

ABSTRACT
This study revealed the local conflicts and socio-political conditions that occurred in the territory of Bone
Kingdom at the beginning of independence. This topic has an urgently for the discourse of state concept and
the struggling authority that colors the history of Bone territory. This study uses historical methods through
four stages, namely: heuristics, interpretation, criticism, and historiography. The study result indicates that
the Bone Kingdom in the last period experienced a vulnerable period due to the struggling authority, either
involving NICA, extremist groups, the pro-republic and federalists, or presenter of internal conflicts in the
palace. La Pabbenteng and Andi Mappanyukki were two elites who had own influences in the Kingdom of
Bone. They were involved in intrigue which subsequently led to partiality towards the political situation of
the revolutionary period, namely the battle of republican state concept against the federalists. Eventhough
the situation was vulnerable with the rampant theft and robbery, the royal government was still running well
administratively.
Keywords: elite conflict, struggling authority, the Kingdom of Bone.

ABSTRAK
Studi ini mengungkap tentang konflik lokal dan kondisi sosial-politik yang terjadi di wilayah Kerajaan Bone
pada awal kemerdekaan. Topik ini memiliki urgensi tentang diskursus konsep negara dan perebutan otoritas
yang mewarnai perjalanan sejarah daerah Bone. Kajian ini menggunakan metode sejarah melalui empat
tahapan, yakni: heuristik, interpretasi, kritik, dan historiografi. Hasil kajian menunjukkan bahwa Kerajaan
Bone pada periode akhir mengalami masa rentan karena adanya perebutan otoritas, baik yang melibatkan
NICA, kelompok ektremis, prorepublik dan federalis, maupun yang menyajikan konflik internal bangsawan
istana. La Pabbenteng dan Andi Mappanyukki adalah dua elite yang masing-masing memiliki pengaruh di
Kerajaan Bone. Mereka terlibat intrik yang selanjutnya menggiring keberpihakan terhadap situasi politik masa
revolusi, yaitu pertarungan konsep negara republik melawan federalis. Meskipun situasi keamanan rentan
dengan maraknya pencurian dan perampokan, pemerintahan kerajaan secara administratif tetap berjalan.
Kata Kunci: konflik elite, perebutan otoritas, Kerajaan Bone.

1
Makalah untuk dipresentasikan pada kegiatan Lawatan Sejarah Daerah oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya
(BPNB) Sulawesi Selatan 29 Maret – 1 April 2018 di Enrekang

335
WALASUJI Volume 9, No. 2, Desember 2018: 323—333
PENDAHULUAN Saat di Jakarta, proklamasi di-
Selalu menjadi kajian menarik ketika kumandangkan oleh duet Soekarno-Hatta,
menulis revolusi kemerdekaan. Bukan hanya menandai awal berdirinya sebuah negara
spirit heroisme yang menyertainya, tetapi topik baru, tetapi di daerah, sistem kerajaan masih
revolusi Indonesia adalah periode kompleks berjalan. Tampaknya, integrasi nasional
yang mustahil bisa digambarkan secara utuh. masih jauh, pemimpin-pemimpin lokal masih
Tarik menarik kepentingan regionalisme dengan memegang supremasi. Agenda nasional tak bisa
sentralisme negara adalah tema besar yang langsung menyesuaikan kondisi daerah, bahkan
kerap hadir pada setiap pembahasan tentang proklamasi belum menjadi wacana dominan. Di
pertarungan konsep federalis berhadapan Bone, setahun setelah revolusi, raja baru justru
dengan republiken (Abdullah, 2006:2-28). dilantik (September 1946).
Pemerintahan yang baru terbentuk masih jauh Sementara di Sulawesi, kontestasi kuasa
dari status menguasai keadaan, sebagai implikasi masih berlangsung sengit dan intens. Kelompok
dari proses rehabilitasi sosial juga politik yang bangsawan lokal, pemimpin militer yang
masih berlangsung. Sementara, pemerintah- terbelah dua, pergerakan bandit, dan kedatangan
pemerintah daerah larut dalam krisis lokal, yang NICA, menunjukkan pertarungan tidak hanya
bahkan tak banyak diketahui oleh pemerintah bermuara dari dikotomi kolonial-nasionalis,
pusat di Jakarta (Anderson, 2018: 195-196). bahkan itu terlalu sederhana. Konflik rumit
Jika ditelusuri lebih dalam, konflik di itu akhirnya memunculkan sebuah kelompok
daerah lebih kompleks lagi. Sebagaimana lain yang terafiliasi ke dalam pro-federalis.
Sulawesi yang tumbuh dari tradisi feodalistik Kelompok terakhir ini terkonsolidasi dalam
kerajaan, intrik politik di masa revolusi, jelas sebuah konsep negara mengusung konsep
tidak homogen. Bahkan hingga satu dekade federal Negara Indonesia Timur (NIT), konsep
setelah proklamasi, isu pemisahan daerah dan negara yang jelas berbeda dengan yang telah
pembentukan daerah baru (kabupaten dan terlebih dahulu diproklamirkan di Jakarta.
provinsi) masih mengganggu pemerintahan Meski demikian, keberadaan NIT tak mampu
provinsi. Klinken bahkan menyimpulkan bahwa meredakan ketegangan, alih-alih menyudahi
provinsi menjadi tatanan administratif yang konflik. NIT justru menjadi perebutan panggung
memungkinkan negara merasuk lebih dalam politik elite lokal.
hingga ke pedalaman. Kenyataan yang kontras Memang, NIT bukan sekadar gagasan.
jika melihat sebuah daerah baru lalu tumbuh Ia menjadi bagian dari perjalanan panjang
menjadi identitas (Klinken, 2011:161). Indonesia dalam menemukan bentuk
Kerajaan Bone sebagai poros imperium terbaiknya. Resikonya, pemerintahan yang baru
Bugis juga mengindikasikan heterogenitas diproklamirkan, harus berhadapan dengan dua
konflik. Tak bisa dipungkiri, bangsawan wajah musuh: rekolonisasi Belanda dan ancaman
tradisional masih memiliki bargaining kuat saat disintegrasi. Karenanya, nuansa konflik politik
negara baru saja mendeklarasikan kemerdekaan. mengenai konsep bernegara tak pernah mereda.
Di Bone, berlangsung pertemuan antara penguasa Selain tentang konsep bernegara, topik
pribumi di daerah Bone, Wajo, Soppeng, Luwu, revolusi seringkali dilihat sebagai sejarah yang
Sinjai dan Bulukumba yang menyiratkan upaya ‘telah selesai’1, terutama karena periode itu
penciptaan stabilitas sosial. Bahkan, pada mencakup peristiwa proklamasi, titik tonggak
pertemuan tersebut, dikemukakan pernyataan beridirinya negara Indonesia. Ketika KITLV
bersedia bekerja sama dengan NICA asalkan merilis rencana riset tentang “kekerasan yang
kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terganggu dilakukan pihak Belanda selama masa ‘bersiap’
1
(Asba, 2008:5). Topik revolusi Indonesia didominasi oleh tema
perang dekolonisasi (rekolonisasi) yang populer dengan
slogan ‘merdeka atau mati’.

336
Konflik Elite dan Perebutan Otoritas:... Subarman

1945-1949”,2 seketika menuai kritikan, bukan menjadi paradigma dalam tradisi penulisan,
hanya dari segelintir kelompok di negeri bahkan menjadi tren yang merasuk ke dalam
Belanda, proyek itu juga direspon beragam di ranah metodologis. Padahal, ego-sentris lebih
tanah air, tak sedikit yang mencibirnya sebagai sering mengurung kita ke dalam ruang-ruang
upaya halus menutupi rangkaian kekerasan yang ekstrem yang melahirkan kebencian. Memang,
pernah dilakukan oleh tentara kolonial Belanda. sejarawan tidak perlu menjadi pahlawan demi
Namun, Direktur KITLV, Gert Oostindie, tetap sebuah tulisan. Sebagaimana seorang bisa
kukuh, ia berkeyakinan bahwa, di era serba menulis sejarah kolonial tanpa harus dituduh
terbuka seperti saat ini, penulisan sejarah yang sebagai sebagai pengkhianat. Karena, pada
lebih objektif, bukan hanya dibutuhkan, tetapi sejarah kita belajar bersikap dan bertindak, untuk
juga penting bagi keberlangsungan hubungan masa depan peradaban yang lebih baik.
manusia, dan juga bagi masa depan negara- Kita perlu melihat ulang peristiwa
bangsa. penting itu dengan pendekatan berbeda,
Setelah menerbitkan “Tentara Hindia demi menghadirkan konstruksi sejarah yang
Belanda” (2017), Oostindie bisa dikatakan berimbang. Kita tidak lagi berwacana mengenai
pelopor bagi para sejarawan Belanda yang gelar pahlawan dan pengkhianat, apalagi itu
ingin menyajikan sejarah Hindia Belanda dalam cenderung terkait dengan penghargaan atau
perspektif berbeda. Ia mengumpulkan dokumen- penghukuman, namun mengabaikan aspek lain
dokumen pribadi (ego document) dari sejumlah yang justru lebih krusial, misalnya konflik lokal,
veteran Belanda, surat-surat resmi, data jumlah pertentangan sub-sub kelompok, juga yang
kematian, koran-koran, lembaran arsip negara, tak kalah penting adalah bagaimana menjaga
yang tentu saja nyaris mustahil sumber itu stabilitas sosial. Tak bisa begitu saja revolusi di
ditemukan di Indonesia. Jakarta diletakkan di daerah yang memiliki isu
Oostindie berhasil membuka perspektif dan intensitas konflik yang berbeda. Apakah
periode revolusi yang selama ini cenderung pihak elite Kerajaan Bone memilih bertahan
terperangkap ke dalam narasi besar ‘perang dengan konsep kerajaan demi menjaga stabilitas?
dekolonisasi’. Bahkan, banyak di antara penulis adalah salah satu pertanyaan yang perlu diajukan
Indonesia yang mengabaikan peristiwa sehari- kembali. Bagaimana mereka (elite lokal)
hari, demi menghadirkan tokoh-tokoh yang menempatkan konsep NIT sebagai bagian dari
dianggap berperan penting dalam periode tarik-menarik kepentingan atau justru menjadi
revolusi, misalnya Najamoeddin Daeng Malewa langkah taktis untuk menghadapi kubu Belanda
dan La Pabbenteng di kubu NIT dan Sultan dan Sekutu yang berambisi menancapkan
Daeng Raja bersama Andi Mappanyukki dan kembali pemerintahan Hindia Belanda?
Ratulangi, di kubu nasionalis-republiken. “Sejarah adalah rekonstruksi kritis,” kata
Memang, keberadaan dua kelompok itu tak Taufik Abdullah (Abdullah, 2016:6). Kalimat
bisa ditampik, akan tetapi, kelompok lainnya, itu perlu terus didengungkan demi menjaga
juga subkelompok yang tak berafiliasi, turut semangat penulisan sejarah yang kadangkala
berkontribusi menghadirkan kekacauan. terjebak ke dalam narasi besar yang berpotensi
Kadangkala kita merasakan ironi, berisi kebencian akut atau hanya berupa
membaca sejarah bangsa yang terjebak ke lembaran-lembaran transkripsi tanpa makna.
dalam ego-sentris. Sebuah perspektif atau telah Sejarah harus tetap kritis agar tidak buta atau
jika tidak, ia hanya menjadi mitos belaka. Taufik
2
KITLV merancang proyek riset bertemakan Abdullah mempelopori semangat menyudahi
periode ‘bersiap’ tahun 1945-1949, melibatkan sejumlah
mitos 350 tahun penjajahan kolonial Belanda,
individu dan kelompok periset, juga lembaga perguruan
tinggi. Di Indonesia, mereka bekerja sama dengan bukan hanya tentang rentang waktu yang lama,
Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas tetapi fakta bahwa konflik yang terjadi di daerah
Gajah Mada.

337
WALASUJI Volume 9, No. 2, Desember 2018: 323—333
masing-masing memiliki pemicu dan sejumlah PEMBAHASAN
implikasi, juga sangat kompleks. Bone di Era Revolusi
Kita masih membutuhkan penjelasan yang Sebelum tahun 19593, wilayah Kerajaan
lebih berimbang agar tidak terjebak ke dalam Bone masih berbentuk afdeling, sebuah wilayah
dikotomi pejuang-pengkhianat hanya karena administrasi warisan pemerintahan kolonial
revolusi di daerah tidak berjalan seirama dengan Belanda setingkat Kabupaten berstatus swapraja.
pusat. Bagaimana kerajaan Bone berhasil Afdeling Bone membawahi onderafdeling,
melewati masa rentan itu? adalah topik yang meliputi Soppeng dan Wajo (UU, No. 29/1959).
ingin ditelusuri di dalam tulisan ini. Kelompok Pada akhir Mei 1949, penduduk Bone
dan subkelompok apa saja yang terlibat dalam tercatat sebanyak 493.950 jiwa yang meliputi
perebutan otoritas kuasa, juga akan dipaparkan warga sipil keturunan Indonesia, Belanda,
untuk menguatkan argumentasi, bahwa revolusi Arab, Tionghoa, Pakistan dan Jahudi. Setahun
masih membutuhkan waktu yang lebih lama lagi, berselang, jumlah pada tahun 1950 menurut
lebih dari sekadar pertarungan konsep negara. catatan pemerintah Swapraja Bone sebanyak
509.496 jiwa, yang tersebar di 30 distrik
METODE (setingkat kecamatan).
Metode yang digunakan dalam kajian ini Selama kurun waktu 1946 hingga 1950,
adalah metode sejarah yang terdiri atas empat Kerajaan Bone di bawah pemerintahan La
tahapan, yakni, heuristik, kritik, interpretasi dan Pabbenteng secara adminisitratif tetap berjalan
historiografi. Pengumpulan referensi diambil dari sesuai fungsi para pemangku. Beberapa laporan
sumber tertulis, yakni khasanah arsip nasional kondisi sosial politik berkala ditemukan dalam
dan daerah (Pemda Bone), buku, jurnal, makalah lembaran arsip, juga notulensi rapat yang
dan hasil riset terkait. Untuk tahapan kritik, melibatkan para pejabat kerajaan, menunjukkan
kajian ini berusaha menemukan keselarasan dari Lapabbenteng memegang kendali pemerintahan.4
sumber yang berbeda untuk topik yang sama. Kehidupan beragama sudah mulai tertata dengan
Beberapa sumber arsip memiliki validitas yang baik. Terdapat 37 anggota Sjarat (Khadi) yang
kuat sebagai peninggalan sejarah, namun tentu ditugaskan menjadi imam di Watampone dan
saja masih perlu diuji objektivitasnya. Misalnya, distrik-distrik (Arsip Bone, No.953).
laporan peristiwa atau notulensi rapat, umumnya
ditulis oleh orang yang memiliki kedekatan Konflik Internal Pewaris Tahta
emosional dengan penguasa. Selain itu, sumber Sebelum kedatangan kembali Belanda
informasi tertulis lainnya masih sangat minim. (NICA), juga sebelum kapitulasi Jepang,
Sedangkan tahapan interpretasi, konflik internal dalam istana kerajaan sudah
memungkinkan penulis untuk melakukan berlangsung. Mungkin, pertentangan elite yang
telaah lebih jauh mengenai sumber sejarah yang paling mengemuka dalam catatan sejarah adalah
digunakan. Memberi makna terhadap sumber periode kedatangan Islam. Islam yang dibawa
yang ditemukan, baik makna eksplisit, maupun 3
Penetapan berdasarkan RI Nomor 29 tahun 1959
kaitan peristiwa tertentu. Misalnya, untuk nota
tentang pembentukan Daerah Tingkat II di Sulawesi, pada
rapat pertemuan para raja yang diinisiasi oleh tanggal 4 Juli 1959
pihak Kerajaan Bone, perlu ditelusuri adalah 4
Rapat pemerintah kerajaan Bone pada 30
motif para raja, dan implikasi hasil pertemuan November 1949, dihadiri pejabat di antaranya: Maddusila,
mereka. Tahapan terakhir adalah historiografi, Makkedang Tana; Sulolipu, Tomarilaleng; Patarai,
Aru Matjege; Mandapi, Aru Pontjeng; Paranrengi, Aru
yakni penulisna karya sejarah. Tibotjong; Passalo, Aru Ta’; Pasinringi, Aru Tanete
Riattang dan para Salewatang. Arsip Pemda Bone,
No.Reg. 924.

338
Konflik Elite dan Perebutan Otoritas:... Subarman

oleh pihak Gowa membawa implikasi politik kerajaan yang sebelumnya menjadi rampasan
yang tajam dan membelah elite istana. perang. Tentu saja, pengembalian arajang tidak
Konflik yang terjadi pada periode cukup mengembalikan kewibawaan istana tanpa
islamisasi itu akhirnya melahirkan friksi di seorang raja yang berkuasa. Nah, konflik kembali
internal kerajaan, yang mengesankan kelompok mengerucut pada dua elite, yang diwakili oleh
konservatif berhadapan dengan kelompok Andi Mappanyukki dan La Pabbenteng. Andi
progresif. Pengelompokan itu pun tidak bisa Mappanyukki memiliki peluang lebih besar
mewakili kategori pro-ismalis dengan status untuk menduduki tahta, dengan dukungan
quo. Tentu saja, asumsi ini masih memerlukan dominan dari pihak dewan hadat (Ade Pitu).
telaah lebih dalam, mengingat periode itu tercatat Sementara, La Pabbenteng adalah anak pattola
dalam sejarah yang akhirnya memicu perang dari raja ke 30, tak cukup mendapatkan suara
besar, juga pemakzulan raja. Pemakzulan raja dari elite istana.
menimpa La Tenri Ruwa Sultan Adam MatinroE Akhirnya, Andi Mappanyukki berhasil
ri Bantaeng, seringkali dikaitkan dengan mendapatkan dukungan mayoritas dan dilantik
kedatangan Islam, namun tak cukup argumentasi menjadi raja ke-32. Situasi yang membuat La
untuk tidak mengatakan itu adalah buah konflik Pabbenteng berada pada posisi yang rentan.
elite kerajaan. La Tenri Ruwa adalah Raja Bone Sebuah kasus pembunuhan yang menyeret La
ke-11, dikenal memiliki pemikiran terbuka, dan Pabbenteng ke ‘meja pengadilan’ dan dianggap
tercatat sebagai elite yang pertama kali memeluk bersalah oleh raja. Demi menghindari sanksi
agama Islam. Dampaknya, sikap keterbukaan sosial, La Pabbenteng akhirnya meninggalkan
beliau terhadap ajaran agama Islam justru tanah Bone menuju Buton. Kepergian La
membawa perselisihan dengan para petinggi dan Pabbenteng hanya menunda perseteruannya
sebagian rakyat Bone. Sikap ini dinilai sebagai dengan Andi Mappanyukki.
bentuk ketundukan terhadap kekuasaan Kerajaan
Gowa, dan akhirnya, beliau dimakzulkan dan Milisi dan Kelompok Perampok; Teror dan
digantikan oleh La Tenri Palo Arung Timurung Lari Beta
MatinroE ri Tallo.5 Yang disebut terakhir, Bagi elite, krisis melahirkan kelompok
menolak ajakan masuk Islam dan memilih potensial yang bersaing merebut ruang. Bagi
menyiapkan pasukan untuk menyerang Gowa warga biasa, krisis telah mengakumulasi sejumlah
(Mappangara, 2008:285). ketakutan. ‘Lari beta’ (mengungsi) adalah pilihan
Selanjutnya, pada periode kolonial, meski terakhir warga untuk mencari tempat aman
terjadi delegitimiasi pemerintahan kerajaan selama periode konflik. Penduduk menjalani lari
sekitar 25 tahun,6 friksi elite istana masih terjadi, beta sejak hari-hari terakhir kekalahan Jepang.
dan makin kompleks. Pada 1930, desakan untuk Mekanisme pertahanan terakhir ini setidaknya
menghidupkan kembali pemerintahan kerajaan menghindarkan penduduk dari peluru nyasar
makin mengemuka. Pihak Belanda memenuhi atau ledakan bom. Meski demikian, di tempat
desakan untuk mengembalikan arajang (properti) pelarian, keamanan tidak benar-benar berhasil
mereka dapatkan. Pencurian dan penjarahan
5
Kerajaan Bone dan Gowa sering terlibat adalah ancaman lain yang sewaktu-waktu
konflik yang berakhir dengan peperangan, namun fakta
menunjukkan bahwa secara tradisional keduanya memiliki muncul di tengah pelarian.
hubungan yang sangat dekat. Lihat Suriadi Mappangara, Kisah Becce Tang, menuturkan bagaimana
Sulsel, Dimensi Sosial-Budaya, Untuk Parisiwisata ia dan kelurganya yang tinggal di Watampone,
(Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI dengan bersama warga sekampung berjalan kaki menuju
Universitas Hasanuddin 2008), hlm. 285
6
Passempe, sebuah desa dekat gunung, sekita
Sejak ditaklukkan Belanda pada perang tahun
1905, Kerajaan Bone mengalami kekosongan kekuasaan, tujuh kilo meter di barat kota. Pelarian warga ke
hingga diaktifkan kembali dengan menunjuk Andi tempat yang dianggap aman menunjukkan bahwa
Mappanyukki sebagai Mangkau ke-32 pada 1931

339
WALASUJI Volume 9, No. 2, Desember 2018: 323—333
kondisi keamanan di kota turut mempengaruhi NICA/Sekutu, juga kerap mendapat gangguan
kondisi perekonomian maupun interaksi sosial. gerombolan pengacau, menunjukkan konflik yang
Krisis ekonomi yang ditinggalkan oleh Jepang heterogen. NICA/Sekutu menemukan kenyataan
masih belum pulih. Untuk menyiasati kelangkaan revolusi sedang bekerja di daerah, mereka tak
pangan, penduduk melakukan diversitas olahan bisa dengan tenang kembali ingin menunjukkan
makanan yang disebut pule, makanan beras yang kekuasaan. Mereka berperang dengan sejumlah
dicampur dengan bahan bulir jagung, nangka, milisi, pejuang dari kelompok muda, kelompok
hingga bonggol pisang (Subarman, 2017). militer, serta berusaha mengantisipasi serangan
Milisi, gerombolan pengacau, dan sporadis dari subkelompok non-afilisasi yang
kelompok kiri7 adalah subkelompok yang juga kerap membuat kekacauan dengan menjarah
terlibat dalam perebutan ruang. Milisi yang sejumlah fasilitas umum juga merampok rumah-
diidentikkan dengan pemuda pejuang kerap rumah warga. Perang dan tindakan kriminal
melakukan serangan sporadis pada pos-pos makin sulit dibedakan, tetapi instabilitas sosial
penjaga yang di dalamnya adalah tentara sekutu adalah harga yang harus dibayar, tentu saja.
dan NICA. Sementara, gerombolan pengacau
lebih sering menunjukkan diri sebagai kelompok Kontestasi Kuasa dan Instabilitas Sosial
perampok saat melakukan penjarahan maupun Situasi setelah pengakuan kedaulatan tak
pencurian ternak. Laporan pencurian sepanjang serta merta menjadi kondusif. Tak ada batasan
tahun di era revolusi, makin meningkat seiring yang pasti mengenai warga sipil dengan milisi
menguatnya isu pendeklarasian NIT. atau kelompok bersenjata. Kekacauan yang
Sementara, di dalam tubuh NICA, ada terjadi lalu direspon tak seragam oleh pemegang
pasukan Australia pemegang otoritas yang otoritas. Beberapa kasus penahanan dilakukan
memegang kontrol pasukan juga mendikte dengan sangkaan memiliki hubungan dengan
pemerintahan sipil. Bahkan di dalam dokumen aktivitas gerilya, ada pula yang ditahan karena
Proklamasi Marfoce yang bersifat rahasia kasus kriminal biasa seperti pencurian juga
tertanggal 29 Oktober 1945 yang ditandatangani penganiayaan, atau kepemilikan senjata.
oleh Brigjend F.O. Chilton, menerangkan Sementara, kepemilikan senjata tak mampu
sejumlah kewenangan tentara Australia (sekutu) dikontrol, padahal senjata adalah salah satu
sebagai pihak yang ditunjuk menjalankan prasyarat bagi kelompok tertentu untuk
pemerintahan sipil di Sulawesi: menunjukkan otoritasnya. Beberapa orang
1. Tentara Australia bertanggungjawab ditangkap karena dihubungkan dengan gerakan
tentang keamanan Andi Aziz atau menjadi mata-mata Westerling.
2. NICA adalah integral dari komando Namun secara umum, tidak ada alasan yang
Tentara Australia secara tegas untuk dilakukannya penangkapan
3. Semua pasukan Australia diperintahkan (Arsip La Hade, No, 109).
untuk memberi pengamanan kepada NICA Sementara di daerah pelosok, situasi di
di dalam menjalankan Pemerintahan Sipil luar kendali para pemegang otoritas. Akhir Juli
di Sulawesi (La hade, 1983:373). 1947, wilayah Tellulimpoe dan beberapa wilayah
pegunungan barat lainnya, di puncak-puncak
Perebutan pemegang otoritas yang gunung, aparat militer dan pemerintah sama
melibatkan tentara sekutu, kelompok milisi, sekali tak mampu menjangkau wilayah hunian
pihak pemerintah kerajaan, anggota KNIL, penduduk yang kerap diserang oleh gerombolan.
7
Pada Januari 1949, sebuah surat yang diteken
Beberapa kampung yang sengaja ditinggalkan
oleh Arumpone yang isinya tentang kekuatiran terhadap telah dibakar habis. Pembakaran itu dilakukan
gerakan kiri. Tanggapan Arumpone merupakan balasan untuk mengakhiri teror para perampok yang
atas keinginan pemerintah pusat untuk membentuk Dewan terjadi justru dari kampung-kampung, namun
Landschap Bone 1922-1959 No. 668, 661)

340
Konflik Elite dan Perebutan Otoritas:... Subarman

tindakan itu juga menimbulkan teror baru. Para ke sekolah, belum bisa dikatakan normal. Selain
penduduk gunung itu lalu sibuk membangun itu, kontestasi kuasa di kalangan elite militer
kampung yang baru di daerah yang lebih maupun kesatuan pemuda, sewaktu-waktu dapat
rendah. Meski pembakaran dilakukan dengan menyebabkan terjadinya benturan fisik, perang
dalih untuk program reboisasi, namun tetap terbuka.
saja tak mampu menutupi lemahnya dukungan Perebutan otoritas menunjukkan
keamanan. Membakar kampung adalah cara kontestasi kuasa masih sangat kuat. Kondisi
praktis memutus teror, tapi api tak mampu ini menyebabkan terjadinya standar ganda,
memilah siapa dan apa yang tak seharusnya ia atau penetapan hukum sepihak oleh pemegang
bakar. otoritas (senjata). Kasus salah tangkap atau
Pembakaran kampung menimbulkan tawanan tanpa kasus yang jelas, menunjukkan
kekuatiran baru. Lalu, orang memberikan situasi gamang itu. Banyak tahanan terpaksa
pertimbangan kepada residen agar dilepaskan karena tidak cukup bukti untuk
bermusyawarah dengan pemerintah Zelfbestuur menjeratnya, atau kapasitas tahanan yang tak
dan membuat keputusan, untuk tidak menerima lagi memadai. Instabilitas sosial melengkapi
alasan reboisasi. Warga mendesak agar krisis.
kampung-kampung yang telah dibakar agar Pada umumnya, mereka yang dilepaskan
dilakukan pengawasan terutama di ladang- diberi surat tanda lepas dari pihak yang
ladang, di lereng yang terjal. Menurut Hoek, menahannya. Kalau yang menahan bukan dari
Kepala Kehutanan NIT, reboisasi itu tetap CPM maka surat tanda lepas ini dilegalisir
menjadi poin penting untuk dilaporkan, bahwa oleh PM di tempat. Kemudian orang itu
program semacam itu akan menghemat biaya disuruh pulang, adakalanya dengan tidak ada
pelestarian hutan hingga berjuta-juta, terutama permintaan atau perjanjian dari atau dengan
bagi NIT yang baru berdiri.8 Tampaknya, Hoek pihak yang menahan, ada juga tahanan yang
masih berupaya memberikan laporan positif di diberi keterangan sewaktu-waktu dibutuhkan
akhir masa jabatannya, untuk mendukung nafas harus menghadap, semacam tahanan kota yang
panjang pemerintahan NIT. dikenakan wajib lapor (Arsip, La Hade, No.
Jika di pelosok situasi jauh dari jangkauan 109).
aparat militer, maka di kota, konflik muncul dalam Kebanyakan dari tawanan itu tinggal
banyak bentuk. Hingga Mei 1950, penangkapan di lingkungan satu afdeeling saja walaupun
masih banyak dilakukan. Banyaknya tawanan jaraknya 100 km. Tetapi, banyak juga yang
oleh Angkatan Perang sukar ditentukan, ditawan (berasal) dari Afdeling Buton Laiwui
karena keadaan setempat sukar juga diproleh sedang ia dilepaskan di Palopo atau di
keterangan yang memadai. Penagkapan tawanan Watampone. Banyak di antara tawanan tidak
tidak hanya dilakukan oleh pihak CPM, tetapi pernah ‘diverhoor” kemudian dilepaskan.
juga dilakukan oleh pihak kesatuan. Bahkan Karena itu, timbul pertanyaan:
kelompok kecil kesatuan (regu dan staf) juga 1) Atas dasar apa penangkapan dilakukan
kerap melakukan penangkapan dan mempunyai oleh TNI?
tawanan di tempat (Arsip, La Hade No. 109). 2) Apakah alat2 negara kita sendiri tidak
Situasi ini menunjukkan betapa kehidupan lebih buruk dari alat2 pemerintah kolonial
warga masih belum kondusif. Perebutan ruang dulu?
dan kuasa masih belum berakhir. Implikasi 3) Apakah Negara kita (RI) ini berdasarkan
yang paling nyata tentu saja adalah kerugian betul hukum juga dalam praktik?
warga sipil. Aktivitas sehari-hari, ke pasar atau (uitvoering) (Arsip La Hade, No. 109)
8
Nota serah terima dari Kepala Kehutanan Ir. M.
Hoek (Pengelola Wilayah Kerja Celebes-Barat yang turun
Pertanyaan di atas timbul karena,
jabatan periode 1946-Agustus 1947) banyak tawanan mendapatkan kekerasan fisik

341
WALASUJI Volume 9, No. 2, Desember 2018: 323—333
berupa pemukulan sebelum ditanya, alih-alih Situasi yang akhirnya terkendali, hingga
mengharapkan keadilan di depan meja hijau. pada tanggal 30 April 1950, sebagaimana dicatat
Sedangkan pada saat penangkapan mereka tidak oleh Abdurrazak:
diberi kesempatan untuk mengambil pakaian Situasi dan kondisi demikian tetap dapat
dan lain-lain. Selain itu, pemerintah kerap dikendalikan hingga pada tanggal 30 April 1950,
pengeluhkan biaya yang harus dikeluarkan untuk oleh para pejuang atas persetujuan pemerintah
menangani para tahanan. Atas biaya ongkos kerajaan Bone, mengeluarkan pernyataan:
pulang dan ongkos makan selama mereka di kesetiaan pemerintah dan rakyat Bone kepada
dalam tahanan (ada sampai 5 bulan), pemerintah pemerintah Republik Indonesia. (Abdurrazak,
sipil kerap mengeluh lantaran sudah banyak uang 1995:271)
yang dikeluarkan sedang pemasukan keuangan Sebulan berselang, konsolidasi melibatkan
setempat belum memuaskan. Menangani banyak massa kembali dilakukan.
tahanan saat krisis jelas akan berpengaruh Pada tanggal 14 Mei 1950, terjadi rapat
terhadap efisiensi dan efektivitas pemerintahan raksasa di Kota Watampone yang menghasilkan
(Arsip, La Hade, No. 109). keputusan: 1) menutut penghapusan sistem
Catatan Saleh La Hade menunjukkan pemerintah kerajaan; 2) menuntut pembentukan
bahwa era revolusi menghadirkan situasi rentan. Dewan Perwakilan Rakyat melalui Komite
Demikian pula yang terjadi di wilayah Bone Nasional Indonesia daerah Bone. Keputusan
saat akhir periode kerajaan. Perebutan otoritas mana disetujui oleh pemerintah kerajaan Bone.
oleh elite, jelas memiliki resonansi terhadap (Abdurrazak, 1995:272).
kehidupan sosial secara keseluruhan. Selain itu, Tuntutan penghapusan sistem kerajaan
gangguan keamanan juga kian marak, baik dari makin menguat. Penyesuaian struktur baru
pihak gerombolan, perampok, juga dari oknum pemerintahan tampaknya cukup hati-hati untuk
pelaku kejahatan kriminal lainnya. menghindari gesekan. Pada tanggal 17 Mei
Beberapa bulan setelah pelantikan La 1950, terbentuklah panitia pembentukan Komite
Pabenteng menjadi raja Boneke- 33, Negara Nasional Indonesia Daerah Bone. Sebagai
Indonesia Timur dideklarasikan pada Desember hasil kerja panitia dimaksud adalah berhasilnya
1946. Kapten Westerling melakukan tindakan menuyusn komposisi keanggotaan Komite
pembersihan terhadap para pejuang kemerdekaan. Nasional Indonesia Daerah Bone, yang terdiri
Kehadiran Westerling menjadi bagian tragis dari unsur partai politik, ormas, wakil-wakil
dalam kisah upaya pendudukan kembali distrik, dan wakil golongan minoritas Arab-
Belanda di Indonesia. Namun, upaya Raja Bone Tionghoa, yang keseluruhannya berjumlah 53
La Pabbenteng, untuk menghindarkan wilayah orang. Setelah terbentuknya Komite Nasional
kekuasaannya dari kekejaman Westerling. Indonesia Daerah Bone dan pelantikan angota-
La Pabbenteng dikenal dekat Belanda, anggotanya pada 21 Juni 1950, terjadilah
dan menjadi jangkar pertemuan antar raja-raja peristiwa penyerahan kekuasaan dari pemerintah
di Sulawesi. Ironisnya, dengan posisi tersebut, Kerajaan Bone kepada Komite Nasional
ia juga dianggap berkontribusi besar dalam Indonesia Daerah Bone beberapa hari kemudian,
mencegah Westerling memasuki wilayah teritori Raja Bone dan Dewa Ade Pitue sebagai penguasa
Bone untuk melakukan pembersihan kelompok- bidang eksekutif mengakhir masa baktinya
kelompok ekstrimis. Memang, jika melihat (Abdurazak, 1995:272).
riwayat kepemimpinan, La Pabbenteng yang Pada 27 Juni 1950 sidang pertama Komite
pernah diangkat menjadi Arung Macege dan Nasional Indonesia Daerah Bone yang dipimpin
menjadi salah seorang anggota Hadat Tujuh, oleh ketuanya (Sugito) menghasilkan keputusan:
jelas ia adalah serorang tokoh yang berpengaruh - Mempersiapkan pemilihan anggota
dan disegani di lingkungan istana kerajaan, Dewan Pemerintah Daerah Bone untuk
bahkan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi.

342
Konflik Elite dan Perebutan Otoritas:... Subarman

mengisi kekosongan setelah Dewan Ade yang menganggap elitee tradisional (priyayi)
Pitue Kerajaan Bone mengakhir masa memiliki peran sebagai benteng pertahanan
jabatannya (Sutherland, 1983:224). Seorang raja tidak
- Mengusulkan penggantian wakil daerah hanya mewakili kelompok elite tradisional,
Bone pada Dewan Perwakilan Rakyat namun juga memiliki otoritas yang kuat di
Propinsi Sulawesi Selatan tengah masyarakat. Ketika NIT digelindingkan
- Mendesak kepada pemerintah, agar daerah sebagai sebuah konsep negara yang menganut
Bone dijadikan daerah otonom sistem otonom, maka elite tradisional melihat
- Mendesak pemerintah agar segera peluang itu penting untuk menjaga supremasi.
diadakan sekrening kepala kampung Konsep otonom terdengar lebih akrab dengan
- Mendesak kepada pemerintah, agar kepentingan penguasa lokal, yang tentu saja
segera mengisi jabatan kepala distrik yang berharap tetap mempertahankan kekuasaannya.
lowong dengan pejabat sementara/acting Fakta bahwa raja-raja lokal mendukung ide dan
(Abdulrazak, 1995: 273). keberadaan NIT, sulit membantah pragmatisme
Adapun susunan/komposisi Dewan kekuasaan saat itu.
Pemerintah Daerah Bone yang bertugas di bidang Meskipun demikian, mendukung NIT
eksekutif adalah: 1) Urusan umum, kesehatan, jelas bukan pilihan terbaik, tetapi seorang raja
agama dan pendidikan; 2) Urusan keuangan; 3) harus menentukan sikap tegas. Keberadaan NIT
Urusan pembangunan dan lalu lintas; 4) Urusan setelah revolusi kemerdekaan mungkin lebih
penerangan dan pemuda; dan 5) Urusan sosial tepat disebut sebagai pertaruhan: mendukung
dan ekonomi. (Abdulrazak, 1995:273). ide Belanda atau sebuah tuntutan otonomi luas,
adalah indikasi umum, untuk tidak menyebutnya
Raja Terakhir dan Pertaruhan Konsep NIT hanya sebuah episode yang harus dilalui.
Periode revolusi menghadirkan masa Jika NIT adalah keniscayaan revolusi,
transisi. Perebutan otoritas makin menguat, tentu saja kontestasi elite adalah bagian yang
menghadirkan kelompok elite istana, para milisi, tak terpisahkan. Tentu akan melahirkan kisah
kelompok perampok, dan NICA bersama pihak berbeda, jika para elite lokal tak mendapatkan
sekutu. La Pabbenteng dilantik pada September panggung dalam kelompok pro-federalis.
1946. Sebuah fakta sejarah yang menunjukkan Sementara, komposisi elite dalam struktur
bahwa perjalanan periode kerajaan masih republik belum mampu diakomodir di daerah.
terus berlanjut, setahun setelah Proklamasi Bahkan, kelompok militer yang memiliki riwayat
Kemerdekaan. friksi profesional versus feodalis, bermuara
Sebagai anak pattola, La Pabbenteng pada menguatnya kelompok DI/TII di bawah
menyudahi penantian panjang untuk menduduki pimpinan Kahar Muzakkar, gerakan kontra-
tahta kerajaan. Anak pattola ini dilantik sebagai republik yang selanjutnya memperpanjang
raja ke-33 menggantikan Andi Mappanyukki. periode revolusi dan perang saudara yang tak
Dua tokoh yang memiliki riwayat perseteruan terhindarkan di Sulawesi. Situasi yang mungkin
sejak Kerajaan Bone kembali diaktifkan pada akan lebih pelik lagi, jika elite pro-federalis tak
1931, setelah vakum selama 26 tahun. Di bawah ‘menciptakan’ wadah NIT.
kontrol Belanda, raja bertahta, namun kerajaan Dilantiknya raja terakhir La Pabbenteng,
lebih berfungsi sebagai pemungut pajak. menunjukkan Kerajaan Bone masih memerlukan
Mungkin wibawa kerajaan dapat dipulihkan waktu untuk melalui periode revolusi fisik.
hanya dengan mahkota, tetapi tidak dengan Memang tak ada (atau belum ada) bukti yang
instabilitas sosial dan perbaikan perekonomian. bisa meyakinkan kita bahwa raja terakhir adalah
Pengangkatan La Pabbenteng me- bagian dari skenario untuk menyokong NIT.
nunjukkan bahwa Belanda, sebagaimana di Jawa Proses peralihan sistem kerajaan menyatu
ke dalam negara Republik Indonesia, berdasarkan

343
WALASUJI Volume 9, No. 2, Desember 2018: 323—333
tulisan Abdurrazak, yang kerap menjadi menjadi mata-mata TNI. Bagi Kahar, kaum
rujukan penelitei sejarah Bone, terkesan lancar gerilya, bagaimanapun tetap disebutnya sebagai
tanpa kendala berarti. Sayangnya, Abdurrazak ‘Pantjasila Sedjati”, cukup punya ‘mata dan
mengabaikan peristiwa saat La Pabbenteng telinga’ untuk memahami siapa musuh mereka
dipecat sebagai raja Bone, yang membuatnya yang sebenarnya.10
harus menanggalkan jabatannya sebagai Mengingat perubahan yang terjadi
ketua dan anggota Hadat Tinggi Sulawesi9. La begitu cepat, pemegang otoritas membutuhkan
Pabbenteng resmi dipecat pada 1 Juni 1950, legitimasi yang kuat untuk mengendalikan
artinya ia turun tahta bertepatan dengan proses situasi. Meski demikian, masih tetap muncul
peleburan Kerajaan Bone ke dalam Republik pertanyaan yang mengusik: apakah periode
Indonesia (Arsip Bone No. 852). Andi Mappanyukki memang sudah berakhir?
Sementara, di luar ibukota kerajaan, Ataukah pengangkatan La Pabbenteng adalah
situasi tidak benar-benar terkendali. Para bagian dari konpensasi yang harus dibayar demi
pengikut La Pabbenteng tampaknya belum bisa memberi jalan bagi Belanda untuk kembali ke
menerima pemecatan yang menimpa pemimpin tanah Bugis? Adalah dua pertanyaan yang masih
mereka. Beredar surat ancaman yang isinya memerlukan sejumlah bukti untuk menemukan
mengaitkan maraknya ancaman pembunuhan jawaban yang tepat.
dan perampokan yang dilakukan oleh kelompok
gerilyawan (Arsip Bone No. 849). PENUTUP
Pada tahun 50-an, RIS bubar, tapi saat itu, Pihak Kerajaan Bone pada masa revolusi
revolusi di Sulawesi mungkin baru memasuki kemerdekaan tetap memegang kendali dan
fase kritis. Darul Islam yang dipimpin oleh Kahar berhasil mengonsolidasi pemimpin-pemimpin
Muzakkar mulai menebar ancaman, setelah lokal. Kesediaan mereka bergabung ke dalam
mereka menarik diri dari kesatuan tentara dan forum yang menyokong beradaan NIT adalah
masuk ke hutan. Batas kota dengan kampung salah satu bukti, setidaknya menunjukkan bahwa
adalah ditarik. Kota jadi wilayah kekuasaan Kerajaan Bone sebagai pewaris imperium Bugis
tentara, sementara tentara Kahar menguasai masih sangat diperhitungkan oleh penguasa-
kampung. penguasa lokal. Jika saja Soekarno tidak
Pemulangan tahanan politik anggota membacakan Proklamasi Kemerdekaan di
CTN (Corps Tjadangan Nasional) di awal Jakarta, mungkin kita masih akan menemukan
tahun 1951 ke kampung masing-masing, tak sejumlah konflik dari sejumlah pemegang
berjalan sesuai rencana. Anggota CTN “Brigade otoritas di daerah.
Hasanuddin”, yang berada di bawah komando Ada kisah paradoks yang menyertai
Kahar Muzakkar masih melakukan maneuver. perjalanan Kerajaan Bone melewati periode
Sebuah pengumuman yang dikeluarkan oleh revolusi, bahwa dua tokoh sentral Andi
Markas Besar CTN Brigade Hasanuddin yang Mappanyukki dan La Ppabbenteng berdiri
ditandatangani oleh Kahar Muzakkar, secara berseberangan. Sejarah negara lalu mencatat
eksplisit menunjukkan dua sikap yang paradoks: Andi Mappanyukki sebagai seorang pahlawan
di satu sisi ingin memenuhi panggilan Menteri nasional, berkat kegigihannya mempertahankan
RI untuk ke luar dari hutan dan bergabung kemerdekaan dan setia kepada konsep negara
dengan rayon-rayon, tapi tetap menyerukan kesatuan. Sementara, La Pabbenteng, sang
sikap menjaga jarak dengan pasukan TNI. Kahar raja terakhir, namanya dicatat sebagai salah
menyebut ancaman kepada siapapun yang satu tokoh yang berdiri di barisan NIT, sebuah
9
Keputusan Presiden NIT, No. 78/Prb/48 tentang 10
Pengangkatan Ketua dari Hadat Tinggi dari Gabuangan Pengumuman Markas Besar CTN “Brigade
Selebes Selatan, Andi Pabbenteng Daeng Palewa Sultan Hasanuddin” No. 16/P.M./1951, tanggal 1 September
Mohammad Idris Alimuddin; Ze;fbestuurder Bone. 1951

344
Konflik Elite dan Perebutan Otoritas:... Subarman

negara premature yang gagal ‘digunakan’ oleh Buku


pemerintah kerajaan Belanda untuk melakukan Anak Agung Gde Agung. 1985. Dari Negara
rekolonisasi. Meski, tercatat sebagai raja, kisah Indonesia Timur ke Negara Indonesia
La Pabbenteng seperti menguap tak berbekas. Serikat. Yogyakarta: Gadjah Mada Press.
Paradoks ini yang kerap kembali hadir pada Anderson Bennedict. 2018. Revoloesi Pemoeda;
setiap diskursus tentang bagaimana seharusnya Pendudukan Jepang dan Perlawanan di
daerah menyikapi revolusi. Kerajaan Bone Jawa 1944-1946. Tangerang: Marjin Kiri.
memiliki sejarah panjang, jauh sebelum konsep Bemmelen, Sita van dan Remco Raben (Peny.)
negara Indonesia hadir. Dalam perjalanannya, 2011. Antara daerah dan Negara:
semangat bangkit dari kolonisasi, menjadi Indonesia tahun 1950-an, Pembongkaran
variabel penting yang selanjutnya menentukan Narasi Besar Integrasi Bangsa.
perjalanan sejarah daerah dan bangsa ini. KITLV-Jakarta - NIOD - Yayasan Pustaka
Karena itu, yang paling memungkinkan Obor Indonesia
sekarang ini adalah bagaimana menerima Bloembergen, Marieke. 2009. Polisi Zaman
kenyataan sejarah itu sebagai bagian yang harus Hindia Belanda; Dari Kepedulian dan
dilalui, alih-alih menyebutnya sebagai dosa Ketakutan. Jakarta: Kompas, bekerjasama
sejarah. Sebab, NIT adalah pilihan terbaik untuk dengan KITLV-Jakarta.
tetap mempertahankan supremasi kerajaan, Chairan, Tamin dkk. 2011. Bunga Rampai Sastra
setidaknya untuk melewati masa rentan Bugis, Bacaan Sejarah Sulawesi Selatan
revolusi. Kita perlu melihat kembali lebih jernih, (Transliterasi dan Terjemahan). Jakarta:
bagaimana elite mengambil kebijakan, faktor Perpustakaan Nasional dan Balai Pustaka
pendorong, juga sejumlah implikasinya, agar Abdurrazak, Daeng Patunru, dkk. 1995. Sejarah
tidak terjebak ke dalam narasi besar yang justru Bone. Makassar: Yayasan Kebudayaan
menyembunyikan banyak peristiwa penting. Sulawesi Selatan.
Mappangara, Suriadi, 2008. SULSEL, Dimensi
DAFTAR PUSTAKA Sosial-Budaya, Untuk Parisiwisata.
Kerjasama Departemen Kebudayaan
Arsip
dan Pariwisata RI dengan Universitas
Arsip Statis Inventaris Pemda Bone 1922-1959
Hasanuddin.
No. Reg. 668, 661, 849, 852, 924, 953
Oostindie, Gert. 2016. Serdadu Belanda di
Arsip Inventaris Koleksi Pribadi Muhammad
Indonesia 1945-1950; Kesaksian Perang
Saleh La Hade (1937-1973) No. Reg. 109
pada Sisi Sejarah yang Salah. Jakarta:
Keputusan Presiden Indonesia Timur No,78/
Yayasan Pustaka Obor Indonesia, KITLV-
Prb/48 Tentang Pengangkatan Ketua Hadat
Jakarta
Tinggi dari Gabungan Selebes Selatan.
Subarman. 2017. Pule dan Rakkiang;
Nota Serah Terima dari Kepala Kehutanan
Pengalaman Ketahanan Pangan Petani
Ir. M. Hoek (Pengelola Wilayah Kerja
Bone pada Masa Revolusi (1945-1949).
Celebes-Barat yang turun jabatan periode
Jakarta: Direktorat Sejarah, Direktorat
1946-Agustus 1947)
Jenderal Kebudayaan, Kementerian
Notulen rapat pemerintah keradjaan Bone pada
Pendidikan dan Kebudayaan
30 November 1949, dihadiri pejabat
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah
di antaranya: Maddusila, Makkedang
Elitee Birokrasi. Jakarta: Penerbit Sinar
Tana; Sulolipu, Tomarilaleng; Patarai,
Harapan.
Aru Matjege; Mandapi, Aru Pontjeng;
Paranrengi, Aru Tibotjong; Passalo, Aru
Ta’; Pasinringi, Aru Tanete Riattang dan
para Salewatang.

345
WALASUJI Volume 9, No. 2, Desember 2018: 323—333
Jurnal/ Makalah Abdullah, Taufik. 2016. Historiografi dalam
Asba, A. Rasyid. 2008. “Andi Sultan Daeng Denyut Sejarah Bangsa. Jurnal Kalam,
Raja Kaum Cendikia, Tokoh Pergerakan edisi 8, tahun 2016, hal. 2-28
Nasional dan Pejuang Kemerdekaan”. Subarman, 2006. Bone: Dari Kerajaan Hingga
Makalah disampaikan dalam Seminar Terbentuknya Kotif Watampone. Makalah.
100 tahun memperingati Kebangkitan Progam Studi Antropologi Konsentrasi
Nasional dengan Thema” Mencari Nilai- Sejarah Program Pascasarjana Universitas
Nilai Kepahlawanan Sultan Daeng Raja, Hasanuddin Makassar.
Seratus Tahun Kebangkitan Nasional
Pemda. TKII. Bulukumba. 23 Mei 2008

346

Anda mungkin juga menyukai