Anda di halaman 1dari 40

PERANAN WANITA DALAM REVOLUSI INDONESIA:

Sebuah Renungan Sejarah

Anton Lucas dan Robert Cribb

Sejak 1945 sampai 1949, orang Indonesia berjuang untuk


kemerdekaan nasional menentang bekas penguasa kolonial mereka,
yaitu Belanda. Mulai dari benteng dan pos perdagangan kecil yang
didirikan pada abad ke-19, Belanda secara berangsur-angsur
memperluas kekuasaan mereka sehingga pada abad ke-20 telah
mencakup sebagian besar kepulauan yang lugs yang terletak antara
benua Asia dan New Guinea. Pemerintahan mereka menimbulkan
perubahan besar dalam masyarakat asli. Pola pemilikan tanah, sistem
kekuasaan, sikap terhadap pendidikan dan posisi wanica, segalanya
telah berubah ketika Belanda membentuk suatu ekonomi kolonial yang
mengeruk kekayaan yang luar biasa besar. Rasa tidak puas terhadap
pemerintah Belanda telah menyebabkan timbulnya gerakan nasionalis
pada permulaan abad ke-20, namun gerakan ini sedikit sekali
memperoleh kemajuan dalam menentang Belanda sampai 1942, ketika
invasi Jepang mengakhiri tatanan kolonial untuk selama-lamanya.
Jepang menyerah tanggal 15 Agustus 1945, dan dua hari kemudian
kaum nasionalis Indonesia yang dipimpin Soekarno dan Mohammad
Hatta menyatakan kemerdekaan dalam sebuah upacara yang amat
sederhana di Jakarta, dan mendirikan Republik Indonesia. Karena
percaya bahwa kaum nasionalis itu hanya merupakan segolongan
minoritas kecil dan tidak berpengaruh, Belanda menolak mengakui
deklarasi kemerdekaan itu, dan dibantu sekutu mereka, Inggris dan
Australia, mulai mengembalikan pemerintahan kolonial. Di pulau-pulau
bagian timur Indonesia, dan di kota-kora besar di pulau Jawa dan
Sumatra, mereka pada umumnya bedlam] dal.ini up.iya ini, namun
ambisi Belanda yang lehih hesar dirintangi oleh kelemahan mereka
setelah lima tahun diduduki Jerman, dan yang lebih penting lagi, ialah
kuatnya perlawanan Indonesia. Jangankan menegakkan kekuasaan
dengan jalan memamerkan kekuatan, Belanda malah terlibat dalam
perang kolonial yang berlarut-larut. Mereka menghadapi perlawanan
dari koalisi orang Indonesia yang jauh lebih luas daripada yang
mungkin merekabayangkan.
Pada saat Belanda membayangkan bahwa yang harus diselesaikan
dalam konflik ini pada pokoknya adalah masalah pemerintahan yang
legal dan teratur untuk menghentikan kekacauan dan kekerasan, maka
bagi orang Indonesia perjuangan itu adalah perjuangan untuk mencapai
kemerdekaan. Mereka merasa sakit hati mengalami sejarah yang
sedemikian lama dan pemerasan brutal yang telah dilakukan Belanda
terhadap orang Indonesia. Pemerintahan Belanda di pulau Jawa telah
menurunkan tingkat kehidupan orang Jawa yang berlangsung lama
sekali, telah mengubah pulau itu dari sebuah pusat kekuasaan dan
kekayaan yang besar menjadi sebuah pulau miskin yang menyedihkan
yang padat penduduk. Di pulau-pulau lain, kampanye penaklukan
Belanda, yang ganas itu, pada akhir abad ke-19 dan permulaan abad ke-
20 seringkali masih tetap merupakan kenangan yang tidak dapat
dilupakan. Upaya Belanda untuk meningkatkan perkembangan ekonomi
dan kesejahteraan yang lebih hesar bagi massa penduduk dalam dekade
kedua dan ketiga abad ke-20 ini, meski dengan jujur dimaksudkan bagi
kebaikan orang Indonesia, dilakukan dengan semangat paternalisme
yang bagi banyak orang amat tidak menyenangkan.
Dalam revolusi nasional tahun 1945-1949 sejarah memperlihatkan
masa perundingan dan kebuntuan yang lama di antara pihak-pihak yang
bertentangan itu, yang diselingi oleh masa pertempuran yang lebih
pendek. Tempat perundingan itu berpindah-pindah dari Indonesia ke
Negeri Belanda dan kemudian ke markas besar PBB di New York,
sementara garis front Republik di bawah tekanan Belanda terpaksa
berpindah dari kota-kota besar ke daerah pedalaman. Dalam bagian
pertama tahun 1949, pada akhirnya garis front itu tidak ada lagi ketika
Belanda merebut ibukota Republik, yaitu kola Yogyakarta di Jawa
Tengah, dan pasukan kaum nasionalis yang terpukul iru harus melarikan
diri ke gunung dan hutan untuk melakukan perang gerilya yang,
bersama-sama dengan tekanan diplomasi internasional, pada akhirnya
memaksa Belanda um uk menyerah dan meinindahkati kedaulatan resmi
kepada Republik Indonesia (Serikat) di pcnghujung tahun 1949.1 1
Karena banyaknya perubahan dalam pentas perjuangan, maka
sedikit orang Indonesia yang mengalami revolusi nasional, sebagaimana
dijelaskan dalam buku-buku sejarah. Namun, perjuangan itu seringkali
dinamakan perang rakyat, karena sangat melibatkan rakyat Indonesia
dalam menentukan masa depan mereka. Salah satu aksi simbolis khas
dari revolusi itu pada awalnya adalah diterimanya kedaulatan itu dari
bawah dalam kebanyakan instansi pemerintahan dan kesatuan angkatan
bet.- senjata: atasan dan perwira—bahkan panglima angkatan
bersenjata¬menerima pangkatnya berdasarkan pemilihan di kalangan
bawahan dan menjabat selama para bawahan masih mempercayainya.
Banyak dari masalah kepolitikan Indonesia semenjak tahun 1949 ada
hubungannya dengan merampas kedaulatan politik ini kembali dari
rakyat Indonesia dan mengembalikan perasaan keamanan clan hierarki
yang dijunjung tinggi baik oleh Belanda maupun oleh para penguasa ash
dahulunya.
lstilah 'rakyat' dalam hubungan ini pada umumnya menunjuk pada
pria. Wanita jarang sekali terwakili dalam kantor pemerintah dan
angkatan bersenjata yang telah menjadi ujung tombak dari perubahan
sikap, dan mereka sedikit sekali terwakili dalam partai politik. Tidak
ada tantangan sama sekali terhadap kekuasaan pria dalam masyarakat
Indonesia yang sebanding dengan tantangan terhadap kekuasaan negara.
Wanita dalam masyarakat Indonesia belum pernah menjadi demikian
tunduknya kepada pria sebagaimana keadaan mereka dalam masyarakat
Indonesia dan Cina klasik,2 2 akan tetapi terdapat kepercayaan bahwa
tugas wanita yang paling penting adalah sebagai ibu dan istri di rumah
dan bahwa saham yang terbaik yang dapat dilakukan gerakan nasionalis
terhadap kedudukan wanita adalah mengakhiri pengaruh kolonialisme
yang merusak terhadap keluarga.3 3
1
2
3
Tidak adanya segi pandangan wanita terhadap revolusi Indonesia
mendapat perhatian kritis dari Christine Dobbin tahun 1979,4 4 namun
semenjak itu amat sedikit terjadi perubahan. Kumpulan studi regional
tentang revolusi yang dilakukan antara tahun 1970-an dan 1980-an,
antara dibukanya arsip Belanda untuk penelitian sejarah tentang revolusi
dan ditutupnya secara berangsur-angsur kesempatan untuk mewawanca-
rai para peserta sebagai akibat dari ketuaan dan kematian mereka, telah
mengalihkan perhatian pada umumnya kepada masalah-masalah politik
tinggi, baik di tingkat lokal maupun regional. Dalam persoalan itu,
wanita hanya memiliki peranan yang amat kecil dan hanya bersifat
penunjang saja.
Sebagai penulis dari dua studi regional Ltitti trl.ili 5 mempersiapkan
buku guna membantu memperbaiki ketimpangan itu, dan juga karena
anggapan kami bahwa dengan memusatkan perhatian pada pengalaman
wanita, perhatian kita terhadap aspek revolusi yang penting bagi banyak
orang Indonesia tidak terluput begitu saja. Baru-baru ini, Jean Taylor
telah memulai proses ini dengan menulis dampak foto resmi dan
pakaian wanita.6 6
Secara relatif baru sedikit yang dikemukakan tentang kondisi fisik
massa rakyat ketika itu. Bahwa revolusi adalah masa yang penuh
penderitaan tentulah diketahui semua orang, akan tetapi bagaimana jenis
penderitaan itu belum pernah dijelajahi secara mendalam. Bagaimana
sukarnya memperoleh makanan ketika itu? Penyakit apa saja yang
diderita orang dan bagaimana orang mati? Apa yang memaksa orang
untuk meninggalkan rumah dan keluarga dan pindah ke tempat lain?
Apa yang digunakan untuk bahan bakar, untuk pakaian, tempat berteduh
dan untuk bergembira?

Kesaksian Wanita dari Revolusi


Secara relatif, sedikit sekali wanita yang meninggalkan kisah
pengalaman mereka di masa revolusi Indonesia. Umumnya, mereka
4
5
6
kurang terlibat dalam kejadian sejarah yang mendapatkan perhatian
paling besar dalam penulisan tentang Indonesia di tahun-tahun itu, dan
tentu saja mereka jarang sekali berada dalam posisi kekuasaan dan
pengaruh yang besar, sehingga jarang orang yang tertarik mencatat
pengalaman kehidupan mereka.
Untung sekali bahwa pada ulang tahun ke-30 proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada tahun 1975, Angkatan '45 (yaitu
perkumpulan resmi para veteran revolusi Indonesia), mengadakan
sebuah sayembara membuat esai untuk menghormati peristiwa itu. Para
peserta diminta untuk menuliskan pengalaman mereka ketika revolusi
itu, dan kira-kira 750 peserta mengirimkan tulisannya. Tulisan yang
memenangkan hadiah diterbitkan oleh Angkatan '45 dalam sebuah seri
buku yang terdiri dari empat jilid, yang masing-masing berjudul Letusan
Dibalik Buku, Cahaya dari Medan Laga, Aku akan Teruskan, dan
Terbukalah Jalanku.77
Dalam tulisan ini, kami akan membicarakan beberapa tema dari
enam buah kisah yang ditulis untuk sayembara ini, bersama-sama
dengan wawancara yang telah diadakan pada pertengahan tahun 1993,
dengan dua bunts orang wanita yang mengalami peristiwa tersebut. 88
Lima orang dari mereka tentu dikenal oleh salah seorang penulis (Anton
Lucas) sebagai istri nara sumber bagi sebuah studi tentang revolusi
sebelumnya. Dalam studi itu, yang merupakan sebuah sejarah tentang
'Peristiwa Tiga Daerah' yang terjadi di daerah Pekalongan-Tegal di
pantai utara pulau Jawa,99 yang diwawancarai bukanlah istri, akan tetapi
suami, pada umumnya karena wanita tidak terlibat secara langsung
dalam kejadian sejarah yang sedang diteliti.
Tulisan-tulisan Angkatan '45 itu memperlihatkan dalam berbagai
cara bagaimana wanita, tiga puluh tahun setelah kejadian itu, mengingat
kembali pengalaman hidup mereka di Indonesia pada tahun-tahun
revolusi 1945-1950. Hanya tiga orang yang memberitahukan umurnya
ketika itu, antara 16 (Sri Kushartini Sumardi) sampai 27 tahun (Titik
Pamudjo). Hanya satu peristiwa saja yang terjadi di luar Jawa, yaitu di
7
8
9
Sumatra Barat (Darmani Hamzah Zarmadi, 'Menerobos Garis Nica').
Cerita-cerita yang lain terjadi di Jawa, yang diperkirakan ditulis oleh
wanita Jawa atau Sunda. Tak seorang pun yang menjelaskan bahwa
mereka telah kawin dan telah memiliki keluarga sendiri, sedangkan
sebuah kisah, berbeda dengan tulisan lain yang menempatkan wanita di
pusat pentas, 'Hormatku' oleh Yayuk Sumarto, tidak menceritakan apa-
apa tentang wanita dalam revolusi. Dalam 'Hormatku", Yayuk Sumarto
adalah seorang penulis wanita yang menulis bukan sebagai wanita, akan
tetapi sebagai seorang pria (suaminya?) yang memandang persoalan dari
segi pandangan seorang pria ('Saya adalah seorang pemuda yang telah
membantu mendirikan pemerintahan revolusioner Republik di Pacitan.
Saya bekerja dengan pangreh praja yang tua-tua, dan inilah yang saya
rasakan sebagai seorang yang muda di tahun 1945').1010 Satu kali ia
menyebutkan wanita adalah ketika ia kawin; perkawinan itu terjadi
tanggal 17 September 1945, 'penganten pria berpakaian seperti seorang
raja dalam pakaian kebesarannya' (penganten perempuan atau namanya
tidak pernah disebutkan), kedua penganten itu pertama-tama harus pergi
ke mesjid besar untuk mengucapkan syukur dan berdo'a untuk suatu
Indonesia yang merdeka, sambil mengundurkan pernikahan itu sampai
tengah malam; 'demikianlah nasib penganten pria dan penganten
perempuan ketika itu.'
Suara wanita dalam revolusi itu bermacam-macam. Dalam tulisan
Angkatan '45 itu, wanita (sepanjang yang mereka ceritakan kepada kita)
baru berumur belasan tahun atau di permulaan umur duapuluhan,
sehingga tidak berkewajiban merawat anak-anak. Sebaliknya, sebagian
besar dari sebelas orang wanita yang diwawancarai telah kawin sebelum
atau ketika permulaan pendudukan Jepang. Mereka senngkali terpisah
dari orang tua, sebagai tempat bergantung pasangan Jawa yang baru
kawin untuk mendapatkan bantuan, mereka tidak dapat pergi ke luar
dan menjadi pejuang perang gerilya, kendati mereka ingin melakukan
hal itu.
Sumber ini sendiri merupakan contoh bagus tentang beragamnya
pengalaman wanita dalam revolusi Indonesia. Dalam esai Angkatan '45
itu, sebagaimana baru saja dikemukakan, kebanyakan wanita itu masih
10
muda-muda, berumur belasan tahun atau permulaan umur dua puluhan,
dan masih belum memikul tanggung jawab memelihara anak-anak kecil.
Juga seringkali mereka berasal dari bagian masyarakat yang
berpendidikan lebih baik, dan dengan demikian memiliki keyakinan
untuk menuliskan pengalaman mereka. Sebaliknya, kebanyakan dari
wanita yang diwawancarai telah kawin sebelum masa pendudukan
Jepang, atau tidak lama setelahnya, dan ketika revolusi itu terjadi masih
harus merawat anak-anak mereka. Tak seorang pun yang menuliskan
kenang-kenangan (meskipun salah seorang dari mereka telah
menyempurnakan memoar suaminya, setelah kematiannya), mungkin
revolusi itu kurang begitu membebaskan bagi generasi yang sedikit
lebih tua ini, dan mereka merasa lebih terkendala untuk menuliskan
pengalaman yang mereka miliki.
Baik kisah maupun wawancara itu memperlihatkan bagaimana
wanita beberapa dekade kemudian menempatkan diri dalam peristiwa
yang terjadi pada tahun-tahun 1945-1949, bagaimana mereka merasa
dapat, atau merasa tidak dapat, ikut serta dalam aktivitas revolusi,
karena berbagai alasan, tentu saja termasuk alasan khas mereka.
Beberapa orang ikut serta dalam perjuangan, karena mereka masih
sendirian dan tidak memiliki tanggung jawab keluarga. Beberapa orang
tidak memiliki pilihan lain, karena mereka kawin dan sibuk dengan
pekerjaan rumah tangga, untuk ikut memiliki perasaan bersama dengan
para aktivis pria itu, bahwa tatanan dunia Indonesia sedang terjungkir
balik. Banyak dilema yang harus dihadapi dalam sebuah dunia yang
mereka rasakan sedang berubah demikian cepatnya.

Peranan Wanita dafam Revolusi


Dalam peringatan kemerdekaan Indonesia yang ke-50 ini, adalah
penting sekali untuk memeriksa kembali peranan dan aktivitas wanita
dalam kurun waktu 1945-1949. Bagi kebanyakan wanita desa,
perjuangan revolusi yang telah ditulis demikian banyaknya, baik di
tingkat nasional maupun di tingkat lokal, sedikit sekali kaitannya
dengan kehidupan mereka. Mereka menganggap diri tidak merupakan
bagian dari perjuangan politik. Bagi yang lainnya, peranan mereka pada
pokoknya ialah sebagai anak wanita yang lebih tua atau lebih muda dari
aktivis pria, atau sebagai tunangan, atau sebagai istri yang masih muda.
Dalam kurun waktu lima tahun perjuangan revolusi antara tahun 1945
dan 1949, peranan yang diharapkan dari wanita menjadi bertambah luas.
Untuk sebagiannya hal ini adalah karena peraturan etiket dan perilaku
sosial antar jenis telah menjadi semakin terbuka dan menjadi kurang
formal. Sudah pasti kekacauan politik dan sosial pada tahun-tahun
1945-1950 relah memberikan kesempatan kepada wanita untuk
bertindak dalam bentuk yang berbeda terhadap lawan jenisnya,
dibandingkan dengan sebelum perang.11 Peranan mereka dalam
masyarakat telah bertambah luas, dan mereka seringkali harus memikul
tanggung jawab baru yang dilemparkan ke pundak mereka. Untuk
mengemukakan bagian-bagian penting dari perubahan ini, pertama-tama
marilah kita perhatikan enam buah kisah Angkatan '45 itu.
Beberapa orang wanita telah menjadi aktivis sebagai 'pemuda'.
Istilah ini, yang secara harfiah berarti 'seorang yang masih muda', telah
mengambil sebuah makna khusus di masa revolusi. Pemuda adalah
seorang yang merasa muda dalam hatinya yang ingin menyerahkan
seluruh eksistensinya bagi perjuangan—dibedakan dari generasi tua
yang lebih hati-hati dan kurang bisa diandalkan.12 Mereka ikut serta
dalam organisasi. Beberapa organisasi bersifat campuran—mempunyai
anggota pria dan wanita, beberapa yang lain mengkhususkan hanya
kepada wanita, untuk membantu perjuangan politik dan militer
menentang kembalinya Belanda. Organisasi ini pada umumnya berbasis
di kola dan menghimpun para wanita yang berpendidikan yang tinggal
di kora besar (terutama sekali Surakarta dan ibukota Republik
Yogyakarta).1315 Kebanyakan wanita yang telah kawin tidak mendapat
kesempatan untuk ikut serta dalam organisasi-organisasi seperti itu
karena pertanggungjawaban keluarga dan rumah tangga, meski mereka
ingin melakukannya. Di kota-kota besar seperti Surabaya, gadis-gadis
yang masih duduk di sekolah lanjutan atas bekerja sebagai anggota

11
12
13
Palang Merah Indonesia yang baru dibentuk.1414
Meski wanita ikut serta dalam kelompok pejuang revolusi, amat
sedikit di antara mereka yang mengambil bagian dalam pertempuran.

Dalam kisah Angkatan '45, 'Nyimah: Srikandt Bumhurul dari Patok


Besi', Titik Pamudjo menceritakan kepada kita bagaimana tetangganya
Nyimah, yang butahuruf, ikut serta dalam organisasi perjuangan Barisan
Srikandi. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya dalam tugas
menjaga gerbong dan stasiun kereta api, juga memeriksa kereta api yang
akan berangkat ke Jakarta untuk menyita makanan dan senjata 'untuk
NICA'. Satu-satunya keterlibatan Nyimah dalam pertempuran
menyebabkan ia menderita luka karena bayonet, untuk selama hidup'.
Sri Kushartini Sumardi dalam kisah yang berjudul 'Dalam Brigade
Pelajar' bercerita bagaimana ketika ia ikut serta dalam Staf Wanita
Tentara Pelajar Brigade 17, Batalion 300, sebagai sesuatu yang relah
semestinya demikian, maka ia menghabiskan waktunya untuk memasak,
mencuci pakaian dan merawat pant pejuang revolusi, yang pada
umumnya pria. Kemungkinan bahwa ia mengambil bagian dalam
pertempuran pada akhirnya adalah dalam bentuk serentetan tugas,
seperti tugas rumah tangga, yang kebanyakannya tidak jauh berbeda
dari tugas wanita tradisional di Indonesia sebelum revolusi. Sekali lagi,
ia pada dasarnya adalah seorang 'pembantu'.
Banyak dari wanita yang tinggal di Keresidenan Pekalongan me-
ninggalkan daerah yang relah diduduki Belanda setelah serangan milker
pertama terhadap Republik pada Juli 1947, dan melakukan perjalanan
kaki dengan membawa sedikit saja dari barang kebutuhan yang sangat
diperlukan, dengan melewati pegunungan menuju daerah yang dikuasai
Republik di daerah Wonosobo. Hal ini dikenal dengan mengungri dan
menggambarkan sebuah pengalaman yang banyak dialami wanita antara
tahun 1945 dan 1949, dan yang juga digunakan sebagai rema oleh
sebuah kisah Angkatan '45 'Uri' oleh Titiek Mulyowati Soetomo, yaitu
perjalanan bersama ibunya dan saudara laki-lakinya yang baru lahir di
daerah pegunungan sebelah selatan Pasuruan, Jawa Timur, setelah
14
Belanda menduduki daerah itu. Dalam bahasa Jawa, orang biasanya
menamakan pengalaman itu sebagai sedang dalem pengungsen. Hal ini
menunjuk baik pada perjalanan itu sendiri maupun pada akhir
perjalanan itu, ketika orang menemukan tempat berteduh bagi dirinya
dan keluarganya—menjauh dari daerah yang diduduki Belanda, dan
berada di daerah yang dikuasai Republik, suatu daerah yang sama sekali
masih asing. Wanita melakukan hal ini karena suami atau keluarga
dekat yang telah bekerja bagi pemerintahan Republik setempat harus
rneninggalkan daerah yang telah dikuasai Belanda, atau berani
menghadapi akibatnya, yaitu dipenjarakan (atau bahkan lebih buruk lagi
daripada itu) jika mereka map tinggal. Bagi wanita, pengalaman
mengungsi itu mendatangkan banyak sekali masalah yang harus mereka
hadapi sendiri (namun tidak dialami pria), seperti mendukung anak
dalam perjalanan panjang tanpa kendaraan di daerah pegunungan,
dengan mengenakan kain batik tradisional, seringkali tanpa mengenakan
alas kaki, menghindarkan diri dari patroli Belanda serta perampok
pribumi yang berkeliaran, sementara itu harus pula mencari makan dan
mencari tempat untuk tidur setiap malamnya. Kita akan kembali kepada
pengalaman dalam pengungsian ini, sebentar lagi.
Pendudukan Jepang adalah masa yang penuh penderitaan,
sedangkan cadangan keuangan keluarga biasanya telah habis sejak
tahun 1945. Apabila masih ada, wanita dapat menjual perhiasannya
yang tersisa untuk membeli makanan bagi keluarga mereka. Suami,
apabila masih bekerja pada pemerintahan Republik yang baru itu,
kadang-kadang masih digaji secara teratur, namun kadang-kadang tidak
dibayar sama sekali. Gaji adalah demikian rendahnya sehingga sebentar
saja telah habis. Wanita berpaling kepada pekerjaan tradisional mereka,
membuat dan menjual makanan kecil yang mereka kerjakan sendiri di
rumah, untuk menyambung napas. Seringkali Belanda sendiri yang
datang dan makan di tenda makanan di pinggir jalan itu. Makanan yang
tidak terjual dimakan wanita itu bersama dengan keluarganya.

Persepsi Wanita tentang Revolusi


Ada wanita yang merasa menjadi bagian dari revolusi itu karena
apa yang dilakukan swami mereka, yang Iainnya karena mereka tidak
memiliki tanggung jawab keluarga, sehingga dapat ikut serta dalam
perlawanan revolusi dalam bentuk yang lebih langsung. Jelas bahwa
bagi kelompok yang tersebut belakangan ini lebih mudah untuk ikut
serta dalam kelompok yang pada umumnya terdiri dari kaum pria itu,
seperti tampak dart kisah Angkatan '45 yang berjudul 'Dalam Tentara
Pelajar.' Ibu Rusmi, salah seorang wanita yang diwawancarai, yang
tidak mempunyai tanggung-jawab keluarga sama sekali, pergi berjuang
bersama dengan pria sebagai seorang pejuang gerilya wanita, bukan
karena menganut suatu ideologi revolusioner, akan tetapi karena ia tidak
mau tinggal di rumah sendirian. Ia menjadi juru ketik, kurir, dan malah
bersikeras bahwa ia juga berhak menyandang bedil. Apakah wanita itu
merasa sebagai bagian dari proses revolusi dan menjadi aktivis atau
tidak (dan tidak semua orang merasakannya), namun bagaimanapun
juga ia terlibat dalam kejadian revolusi. Menyaksikan timbulnya situasi
sejarah yang baru, menyaksikan bagaimana tentara Belanda memukuli
dan menembaki orang-orang sipil Indonesia, dan melihat bagaimana
pesawat terbang membomi wilayah yang dikuasai Republik di luar kota.
Dalam pada itu, wanita juga melahirkan anak-anak, mencoba memberi
makan keluarga ketika berpindah-pindah, mengganti kain batik dengan
pakaian yang lebih praktis yang terbuat dari kain blacu, mengubah
tatanan rambut mereka, serta menanggulangi tragedi-tragedi keluarga
yang amat menyedihkan, seperti kematian bayi dan balita, atau
meninggalnya orang tua, pada saat persediaan dapat dikatakan tidak ada
sama sekali.
Sebagaimana dikemukakan Ibu Rusmi, seorang gadis tua (yang
tidak pernah menikah semenjak kekasihnya menghilang, mungkin
terbunuh ketika revolusi itu) pergi ikut serta dengan kesatuan gerilya
yang seluruhnya terdiri dari pria, karena teman-teman dan saudara laki-
lakinya telah pergi, dan segala sesuatunya telah menjadi demikian
sepinya di rumah:
P (interviewer): Anu 'Bu, kepingin melu perang, sebabnya?
I [informant]: Lha weruh kancane dha perang (tau temannya
perang). Piye (ginnana) toh? Kan tiap teman perang.
P: Banyak orang yang melihat temannya ikut perang, nggak ikut
perang?
I: Saya kok ndak tabu itu. Kalau saya, mas Pomo wis lunga dhewe
ya (ketika Mas porno pergi kita sendiri ya) Saya di rumah sendiri.
"Wah, melu was (ikut saja), wis melu gerilya [melul grubyak grubyuk,
melu (tidak jelas). Wis angger anu....lha wong-wong kuwi sok
ngongkon...(sudah asal orang-orang itu sering nyuruh) "Iki kowe melu
tenan (neng?) perang (ini kamu ikut perang bener)?. "Lho kok aku..."
"Ha witekna saga? (lalu siapa)" "Lho mengko ang-ger kono melu, kan
bocah-bocah dha [ngenutl (nanti asal kamu ikut, anak-anak yang lain
nanti ikur", Iha ndilalah itu lho, cah-cah ya karepe dha arep melu
fterusan1 toh (nah, kebetulan teman-teman yang lain juga mau ikut).
"Ya uwis aku gelam was melu, bocah wis gerang kuwi toh (ya sudah,
saya mau saja, sudah dewasa saya kok). Wong mung kirim barang..neng
front (orang hanya kirim barang ke front). Ning neng front
ngono...toh..neng front itu, pakai truk, nggawa barang-barang. Kana
cedhak tentara kok. Padahal waktu itu saya pakai kain
Iho, pakai ruk ti flak belch! lsih (masih) Jawa deles itu.
P: Jawa (Ides?
1: Ya tabu toh deles? Nggak tahu? Jawa tulen, pakaiannya juga kain
kebaya, pakai konde. Seperti puteri Solo. Saya persis putri Solo waktu
itu. Itu sudah...naik-naik truk. Putri solo naik truk kesasar ke pesisir.
Wong saya...Bung Karno di Yogya itu...ana sing nakoni (tanya)...,
wartawan, "Apo ibu ash Solo?" "Wo, saya ash pesisir, Kendal" "Kok
seperti orang Solo". Ya...bisa saja.15
Tampaknya Ibu Rusmi ingin ikut serta dalam kegaduhan
pertempur¬an itu, dengan pengertian ikut serta membawa pasokan
kepada kesatuan¬kesatuan militer yang sedang bertempur dengan
Belanda. 'Kami tidak diperbolehkan memakai seragam' (yang tentu saja
lebih praktis), demikian ia mengingat-ingat kembali, meskipun pada
akhirnya ia memakai seragam juga. Wanita di Jawa masih harus
menyesuaikan diri dengan konsep 'Jawa deles', meskipun ketika ia
berada di belakang truk membawa pasokan ke front. Situasi fisik
15
seringkali memaksakan perubahan dalam gaya pakaian wanita ketika
revolusi itu, karena selama berbulan-bulan berada dalem pangungsen,
dan seringkali harus berjalan cepat-cepat atau bahkan berlari-lari, maka
memakai kain batik itu tidak praktis.
Saya merasa Republikan dalam hati!"Kenapa?"Karena suami saya
dipenjarakan Belanda.1616
Bagi wanita yang kawin, karena peranan jenis yang telah dijelaskan
dengan tegas dan pertanggungjawaban di rumah tangga, maka perasaan
merupakan bagian dari revolusi atau menjadi 'seorang Republiken'
seringkali berasal dari komitmen suami. Ibu Karrno, istri Bupati
Republik di Kendal, tidak dapat mengikuti suaminya ke pegunungan
untuk bergerilya, karena sebagaimana telah kita lihat, ia merasa bahwa
ia dapat menjadi beban bagi suaminya. Ibu Umi Warsitohardjo, yang
suaminya dipenjarakan karena aktivitas Republikennya di Tegal pada
Oktober 1947 (setelah Belanda menduduki pantai utara) merasa bahwa
ia adalah seorang Republiken karena komitmen suaminya, Ali Warsito-
hardjo.17'7 Ketika masih menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum di
Jakarta, Ali Warsitohardjo bertemu dengan Soepeno, yang merupakan
seorang tokoh penting Partai Sosialis, orang kepercayaan Perdana
Menteri Sjahrir dan kemudian menjadi Mimed Primida dan
Peinbangunan dalam kabinet pertama Perdana Menteri Amir
Sjarifuddin.18 Soepeno biasa berkunjung ke kota aslinya Tegal s:anip u
kota itu diduduki Belanda, dan tinggal di sebuah rumah tua kolonial
Belanda milik Ibu Umi dan suaminya, sebuah rumah yang dapat
dikatakan tidak memiliki perabot, dan hanya memiliki dua bush tempat
tidur yang kecil. jadi Pak Ali menyerahkan tempat tidurnya dan tidur di
atas kursi panjang di depan rumah, Soepeno tidur di salah satu tempat
tidur kecil di sebuah kamar, sedangkan saya tidur di atas tempat tidur
kecil di kamar yang lain.' Keterlihatan Republiken Ali Warsitohardjo
yang kuat hubungannya dengan menteri Republik Soepeno dan Partai
Sosialis, serta posisinya sebagai wakil ketua badan eksekutif pada badan
perwakilan setempat Republiken di Tegal dari tahun 1945-1947—telah
16
17
18
menyebabkan intelijen militer Belanda menuduhnya melakukan
aktivitas politik subversif (termasuk keterlibatan dengan organisasi
bersenjata Republik dan menyebarkan pamflet anti Belanda). Setelah
ditangkap pada 14 Oktober 1947 atas tuduhan melakukan aktivitas yang
'menghasut', termasuk sikap 'anti-Belanda', dan ditahan di penjara
Tegal, ia dipindahkan ke Tangerang lalu ke penjara Cipinang di Jakarta.
Ia dibebaskan pada pertengahan tahun 1949.1919
Ketika Ali Warsitohardjo dipenjarakan di Tegal, maka satu-satunya
anak mereka yang ketika itu berumur lima tahun, Bambang Widjoyo,
menderita penyakit yang sekarang ini dianggap meningitis, dan
meninggal dunia tak lama kemudian:
Saya itu fingat dial pagi-pagi seperti pilek gitu. Pilek, terus saya
tinggal sebentar untuk beli rod ke depan, sudah step [strip] dia. Terus
diangkut ke, naik delman, diangkut untuk pergi ke dokter. Dokter siapa
namanya itu. Tapi dia, karena dia itu sedang....maaf ya, pacaran dengan
isteri orang lain, saya kurang tahu, siapa itu. Dia tidak bisa menerima
saya. Wah, tidak bisa menerima saya. Saya sakit hati betul saya....Terus
dia diangkut, terus ke ini, ke Rumah Sakir Kardini [Kardinah], terus dia
meninggal.20
Suami Ibu Umi diambil dari penjara Tegal dengan kawalan militer,
dan dia diizinkan tinggal semalam untuk menghadiri penguhuran
anaknya keesokan harinya. Ia harus duduk sepanjang malam di kamar
depan rumah itu, dan perwira militer Belanda yang mengurus penjara
Tegal (sipir penjara), Kapten P Kroese, tidak mengizinkan kedua suami
istri iiu bertemu. Ida pagi hari, diadakanlah penguburan itu, akan tetapi
Ibu Umi tidak pergi ke tempat pemakaman itu:
I: Jadi dia [suami sayal berangkat membawa layon anak saya ke
makam, saya diem dirumah.
P: lbu nggak ikut?
I: Kurang tahu saya [mengapal, seperti ngimpi, begitu anak saya
meninggal, terus rasa binggung. saya bagaimana. Sampai dia [suami
sayal kembali ke penjara, saya tidak lama kemudian saya tinggalkan
19
20
rumah itu. Karena saya dengar suaranya begitu "Mama, Mama, Mama"
kalau [dial memangil. Saya tinggalkan rumah, saya mondok di tempat
itu apa namanya sepupunya dia [suami]. Mereka "Ko", mengajar di
sekolah di Tegal, untuk menghidupi keluarga. Disitu saya terus punya
kesibukan, tidak apa apa hanya menengok dia [makam anaknya]
seminggu sekali. Untuk menghilangkan itu, saya punya ini kesedihan,
saya baca buku dalam bahasa Belanda. Sudah jualan waktu itu, apa
namaya, bikin kroket, kroket, bikin macem-macemlah makan, terus
ditaruh di tenong, dijual oleh pembantu saya, kadang habis, kadang-
kadang ya kalau tidak habis kita makan
21

Karena upaya istrinya, Ibu Umi Warsitohardjo, dalam mendekati


pihak penguasa militer Belanda di Tegal, pada akhirnya Ali
Warsitohardjo dapat dipindahkan pertama-tama ke penjara Tangerang,
lalu kemudian ke penjara Cipinang di Jakarta pada permulaan tahun
1949. Untuk menghidupi dirinya dan untuk membeli makanan yang
akan dibawa ke penjara, Ibu Umi harus mencari kerja. la mendapat
pekerjaan di dealer mobil Chevrolet yang letaknya berhadapan dengan
stasiun Gambir, sebagai seorang juru ketik dengan gaji f.250 sebulan
'cukup untuk hidup dan mengirimkan makanan ke penjara'. Akan tetapi
Ibu Umi tidak merasa senang bekerja di sana, karena terlalu banyak
pegawai Belanda dan Cina. Lalu ia berhenti bekerja di sana, dan bekerja
di Asosiasi Ibu Rumah Tangga (Vereeniging van Huisvrouwen) yang
disponsori Belanda. Ia lebih senang di sana, karena ia senang berada di
tengah-tengah para wanita.2222 Sebagaimana kebanyakan wanita
terpelajar di generasinya, maka memulai kehidupan keluarga kembali
berarti harus berhenti bekerja, setelah suaminya bekerja pada bagian
Urusan Agraria pada Kementerian Dalam Negeri pada permulaan tahun
1951.
Kebanyakan wanita yang kawin dengan kaum Republiken sejati
sedikit sekali memiliki sumber keuangan untuk menghidupi diri dan
keluarga mereka. Ibu Umi Warsitohardjo tampaknya merupakan

21
22
keke¬cualian. Di Tegal ia mempunyai seorang pembantu untuk menjual
makanan kecil yang dibuatnya sendiri, ia membaca buku dalam bahasa
Belanda di rumah kerabatnya untuk menghibur diri setelah kematian
anaknya, dan bahasa Belandanya menolongnya untuk mendapatkan
pekerjaan yang bergaji besar di dealer Chevrolet di Jakarta. Bagi
beberapa orang wanita, kemampuan berbahasa Belanda menciptakan
kesempatan baru dan merupakan bantuan besar dalam melancarkan
urusan di daerah-daerah yang diduduki Belanda. Ibu Umi dapat pergi ke
penjara dan berbicara dengan para perwira Belanda meminta agar
suaminya dapat dipindahkan ke Jakarta.
Soehatini Harsono dalam kisah Angkatan '45-nya mampu
mempeng¬aruhi seorang serdadu muda Belanda untuk merenungkan
tentang mengapa ia melakukan peperangan kolonial di Indonesia,
karena ia bisa berbicara kepadanya dalam bahasa Belanda. Ia juga biasa
makan roti dan mentega yang merupakan 'makanan Belanda'. Jadi, dapat
diperkirakan kenapa mengapa Umi pergi ke luar untuk membeli roti,
ketika anaknya tiba-tiba jatuh sakit. Titiek Mulyowati Soetomo (dalam
kisah 'Pelarian") juga bertemu dengan pihak militer Belanda. Bapaknya
sedang berjuang di tempat yang jauh bagi Republik. Ibunya baru saja
meninggal, dan ia tinggal bersama saudara laki-lakinya yang masih
bayi, yaitu Gatot. Seorang serdadu Belanda mendekat 'clan berbicara
kepada saya dalam bahasa yang tidak saya pahami. Oh, alangkah
bencinya saya melihat mukanya dan rambutnya yang berwarna seperti
jerami itu.' Namun ia memberikan coklat kepada Gatot yang masih kecil
itu: adalah musuh negeriku, tetapi ia memberikan coklat pada adikku.'
Kemudian ia berdo'a kepada ibunya: 'Ampuni aku Ibu, karena telah
menerima pemberian dari musuh Bapak!' Namun, ia tidak memiliki
pilihan selain menerima pemberian 'musuh Bapaknya'. la dibawa ke
sebuah rumah yatim, dikabarkan bahwa bapaknya telah terbunuh, akan
tetapi dia akan tetap dirawat, dengan ongkos Belanda. Jadi lebih banyak
dilema lagi, namun demi saudara laki-lakinya, ia harus menerima.
Wanita desa, yang tidak atau sedikit sekali bersekolah dan yang
perhatian utamanya adalah bagaimana caranya untuk hidup, barangkali
sedikit sekali pilihannya: ikut gerakan Republik atau tidak. Ibu Ranimen
telah memutuskan bahwa 'gerakan bambu runcing' setempat di desa
Borobudur di Jawa Tengah bukan merupakan tempat yang pantas untuk
wanita:
P: Kalau yang berangkat ikut bambu runcing itu laki2 atau
perempuan?
I: Laki
P: Perempuan?
I: Nggak ada
P: Kenapa?
I: Tau, orang perempuan, kok pergi bawa bambo runcing. Ngak
ada, he he. Semua laki-laki, laki-laki anak pemuda¬pemuda...Ya
[perempuan] bisa, tapi ya, nggak pantes.
P: Nggak pantes sebabnya?
I: Ya orang muda, apa, anak perempuan turut bambu runcing!
Belum pernah, ya cuma pemuda-pemuda.. Lantas, bagaimana orang
perang kok pemuda sama pemudi, he he he [tertawal. Nggak, kalau
bambu runcing, yang ngepalani rak, apa to namanya, haji Islam, Islam,
bambu runcing.
P: Orang perempuan harus dimana kalau begitu?
I: Di rumah! Ya kerja dirumah, Bamboo runcing kan cuma di jalan,
naik truk, nanti dimana, Parakan, Temanggung apa itu, apa namanya.
munggsuh apa apa.23

Peranan dan Hubungan Jenis


Beberapa dari enam kisah hasil sayembara Angkatan '45 yang
terdapat dalam buku itu menyebutkan hubungan romantis. Sri
Kushartini Sumardi mempunyai dua orang kekasih, yang sama sekali
'tidak mengurangi pengabdian kami kepada perjuangan. Sama sekali
tidak!... Untuk memperoleh kemerdekaan bagi Indonesia kami rela
mengorbankan apa saja, bahkan apabila kami harus mengorbankan
kekasih-kekasih kami'. Kemudian dalam kisahnya itu, penulis

23
mempunyai seorang pengagum lain, seorang pemuda Bugis dari
Sulawesi Selatan, sebuah pengalaman yang digambarkannya sebagai
'cinta seketika di daerah gerilya'. Cinta seketika itu berarti apabila
seseorang berjalan berpegangan tangan dengan ketat melalui daerah
pekuburan yang luas dan menakutkan di ma'am hari.
Sebaliknya wanita-wanita yang diwawancarai mempunyai
pengalaman yang berbeda. Ibu Fatimah, yang ketika revolusi berjalan
kaki dari Solo ke Yogya, mengingat kembali:
I: Pacar-pacaran itu inggak ada, tidur perempuan [sarna]
perempuan.'
P: Masa pacaran nggak ada?
: Nggak ada, zaman geger. Ngeliat orang digaplokin aja kita
udah...ih, ngeri.24
Tampaknya wanita telah terbiasa tidur 'terpisah' dari suami mereka,
karena telah lama berpisah (pernah dalam satu kasus sampai dua tahun),
atau karena masalah tempat tidur. Ibu Umi tidur 'bersebelahan' dengan
suami-nya sebelum dipenjarakan dalam sebuah rumah tua yang besar di
Tegal, karena rumah itu tidak memiliki perabotan ketika mereka masuk,
sehingga mereka hanya mampu memiliki (atau menemukan) dua tempat
tidur keel', masing-masing untuk satu orang. Apabila ada tamu,
suaminya menyerahkan tempat tidurnya, sedangkan is sendiri tidur di
atas bangku di luar. Ibu Karma, yang baru saja kawin dengan Bupati
Ken-dal dari pihak Republik, telah mengetahui kondom. la pernah
melihatnya berserakan di sekeliling tempat sampah dekat sebuah klub
Belanda di Semarang, sebelum perang. Setelah kelahiran adik laki-laki
Titiek Mul-yowati Soetomo, sebagaimana dikemukakannya dalam kisah
Angkatan '45 'Pelarian', maka bapaknya biasa tidur di sebelahnya dan
bukan di sebelah ibunya. Bapaknya mengatakan kepadanya: 'Susah
sekali untuk beranak satu lagi.' Ibunya setuju: 'Gampang sekali untuk
menjadi hamil.'
Ibu Rusmi, yang ikut dalam pertempuran (melu grubyak-grubyuk),
turut berjuang bersama dengan para gerilyawan di daerah Wonosobo di

24
Jawa Tengah bagian selatan. Mungkin, karena is adik Bupati Kendal
dari pihak Republik, la diperlakukan agak berbeda, atau diberikan
perlakuan khusus. Akan tetapi sebagai seorang wanita yang tidak
bersuami di kalangan sekelompok pria yang tinggal di daerah
pegu¬nungan, kadang-kadang is memang menghadapi masalah.
Pertama¬tama, is harus meyakinkan komandan kesatuan itu bahwa is
boleh membawa bedil:
1: ikut gerilya iru mestinya kan harus bertempur ya. Tapi fkatanya)
wanita jangan bertempur. Lho kok, inggak boleh bigirnana, tidak ada
beda-beda itu. "Lho jangan marah, itu kalau wanitanya banyak.'Tapi
batalyon sini wanitanya hanya dua, ndak bisa to, hanya ibu2 i•rnhak
(pachi w.tktrr itu pang
gilannya mbak). Hanya mbak %did 1,tik tickinany a.unl,ui raja,
kaku peril' berangkat, hyrongkiit k Art t kik du in n,lh",
I!_ I I

P: Terus akhirnya penyelesaian gimana?


I: Jadinya di batalyon, Batalyon wong neng alas ya, tempatnya
sembarangan to, iru, ya, ngetik sok sok, kalau nggak ngetik, kepingin
melu perang, ya melu. Nanti kalau perang di jalan, nggak boleh bawa
bedhil. Kalau perang kan bawa. "Lha, kok tidak boleh bawa bedhil",
wua...Orang-orang [laki2l kan bawa bedil. Nggawa ning aja cedhak-
cedhak, nggawa bedil ya rada kana wedhok25.25
Lagi pula, karena Bu Rusmi merupakan salah seorang dari dua
wanita dalam sebuah kesatuan gerilya, maka is diharapkan akan
mengerjakan pekerjaan administratif, bukan bertempur. Terdapat pula
hal-hal lain yang bersifat pribadi yang harus ditanggulangi wanita dalam
kesatuan gerilya yang seluruhnya terdiri dari pria:
I: Nyuwun sewu 'Bu, kalau misalnya datang bulan ya waktu itu,
biasanya pakai apa?
P: Ya biasa. Pakai dhuk biasa. Tapi ya...itu lucu. Ada [/ndak usahl
25
saru-saru ya? Dicuci bersih toh? Kalau inggak dicuci nanti carinya lagi
susah. Nggak ada kain to..Kalau dulu iru...apa...hmmm blacu, Lha kalau
blacu sudah dicuci bersih, itu, kan malah nanti dikira kacu [sapu
tangan]. Dikira sapu tangan. Weh, weh, weh, weh. Tadinya saya ndak
tahu. ''Lho kuwi kok 'kacu'ku kuwi". " Ha ya wis ben toh Yu, wong aku
butuh kacu."."Waduh orak mambu?" "Orak ki" (iru kan "sapu tangan"
saya. Biar aja Yu, orang saya perlu, kok. Inggak bau? Nggak itu) "Tapi
ya jangan, nggak boleh fdiambili". Lha... agek.. mangkat didhelik-
dhelikke (lak, ketiga berangkat baru dhuknya disembunyi2kan). Lha
mauve ya ra ngira toh (tadinya nggak menduga toh). Ya biasa wae, Kok
ora kelingan nek kumpul anak laki-laki ( ya biasa saja, nggak ingat
kumpul dengan laki2). Itu lupa. Tidak simpen-simpen. Mepe, ya pepe
sak jereng-jerenge (jemur, ya jemur saja asal kering), kumpul itu kain-
kain. Tahu-tahu kok..."Lho [tidak jelas1 iki 'kacu'ku iki". Wis ora karu-
karuan.26
I lidup sebuah revolusi, dikelilingi pria yang sedang berjuang
dalain sltalli In•4111114 gerilya, memiliki kesukaran tcrsendiri.

Pengalaman Mengungsi
Sebagaimana telah dikemukakan, banyak wanita di Jawa yang ikut
serta dalam perjuangan harus meninggalkan rumah tangga mereka
dengan segera, membawa anak-anak mereka berjalan kaki, pada saat
Belanda secara berangsur-angsur memperluas daerah pendudukan
mereka di Jawa. Persetujuan Linggarjati pada November 1946 telah
mengakui secara de facto kekuasaan Republik atas pulau Jawa dan
Sumatra. Namun, sikap sating curiga dan sating bermusuhan tetap
berlanjut, terutama ketika pihak Republik memerlukan beberapa bulan
untuk meratifikasi persetujuan itu. Tanggal 21 Juli 1947, Belanda
melancarkan aksi militernya yang pertama terhadap Republik untuk
mengembalikan tegaknya hukum dan ketertiban, menurut pendapat
mereka, terhadap Jawa yang 'kacau-balau' itu. Kota-kota kabupaten di
pantai utara pulau Jawa diduduki, dan pemerintahan Republik di kota-
kota ini pindah ke selatan ke basis yang baru di Wonosobo di daerah
26
Banyumas, sedangkan Belanda mendirikan pemerintahan baru di daerah
yang mereka duduki.
Dari dua pusat pemerintahan di Tegal dan Pekalongan, keluarga
harus berjalan kaki ke selatan, dan mencari jalan sendiri di daerah
pegunungan menuju daerah Wonosobo yang dikuasai Republik. Ibu
Mustapha, yang kawin sebelum berakhirnya pemerintahan kolonial
Belanda, dan dibawa menetap di Tegal, kehilangan bayi kedua dan
ketiga karena penyakit disentri di masa Pendudukan Jepang. Suaminya,
yang sebagai komandan regional dari TNI Masyarakat, berperan penting
dalam mengkoordinasikan berbagai badan perjuangan di daerah
Pekalongan-Tegal, berangkat ketika Belanda masuk kota Tegal pada
Juli 1947. Karena suaminya berada di puncak daftar orang Republik
yang dicari Belanda, Ibu Mustapha memutuskan bahwa ia tidak
memiliki pilihan selain ikut berangkat. la pindah untuk tinggal di sebuah
desa di selatan Tegal, dan melahirkan anak keempat di sana, dengan
bantuan dukun beranak setempat. Dengan membawa bayinya yang
berumur empat bulan, ia melakukan perjalanan ke sekeliling Gunung
Slamet, dengan mengenakan kain batik, untuk bertemu dengan
suaminya.2727
Ibu Wadyono, istri komandan setempat militer Republik di
Pekalongan (TM Resimen XVII), terpaksa meninggalkan rumahnya di
Pekalongan ka¬rena alasan yang sama pula. Karena suaminya ketika itu
mengkoordinasikan perlawanan gerilya di bagian selatan ibukota
Keresidenan Pekalongan, maka ia akan tetap diawasi secara ketat jika ia
tinggal. Kawin dalam umur yang amat muda sebelum perang, dengan
latar belakang priyayi tinggi, ia men¬jalani suatu kehidupan yang sangat
terjaga:
Waktu tigungst itu, pew dart Pekalongan, saya hawa ponakan dua,
perempuan-perempuan.. Terus ke Batang dulu. Terus kok ada Belanda.
Tents saya itu takut, saya ndelik [sembunyi] dibawa kolong tempat tidur
[sambil tertawa]. Belanda masuk rumah, tapi itu yang punya rumah
kebetulan masih saudaranya anu, ayahnya Pak Wadyono begitu, orang
Katolik, yang punya rumah orang Katolik, jadi [Belanda] ndak begitu

27
ganas gitu, baik. [Kemudian] saya jalan dari Batang terus ke Talun,
sama ponakan perempuan dua, pembantu satu. Di tengah jalan itu saya
denger ada rank. Ada tank. Saya itu ndelik, ngumpet, masuk di kebon,
terus ndelik di grumbulan itu lho. Di jalan itu terus ada perampok
[tertawa]. Perampok kecil-kecilan. Saya ndak bawa barang apa-apa,
dirampok. Saya hanya nggendong pakaian ini aja kok. Ponakan saya itu
sampai takut, sampai kencing-kencing, tapi saya ndak papa. Itu sampai
ndak pakai sandal, sampai sakit kaki rasanya itu. Ya kalau malam kan
berhenti, jalannya siting, sore kan sudah berhenti. Jalan terus sampai
Petunggriyono, Dieng terus ke Wonosobo. Pakaiannya kain kebaya,
dulu belum rok. Biasa saja, dulu itu masih muda ya, jadi ndak begitu
seperti sekarang, sekarang sedikit dingin, dulu kan ndak. Masih di
gunung ya paling bawa selimut. Pakaian yang dibawa hanya beberapa
potong.28
Bagi wanita yang biasanya tinggal di rumah, pengalaman
mengungsi, meninggalkan rumah sendiri dan tinggal di desa, adalah
pengalaman yang seluruhnya baru. Ibu Soepeno yang baru-baru ini
dianugerahi gelar kehormatan, janda pahlawan, (karena suaminya,
Menteri Pemuda dan Pembangunan dalam kabinet kedua Perdana
Menteri Amir Sjarifuddin, dihukum mati Belanda di Jawa Timur tahun
1949) terpaksa meninggalkan kota aslinya Banjarnegara ketika Belanda
tiba, dan ia ikut dengan gerakan gerilya Republik di daerah pegunungan
yang tidak jauh dari sana.
Di dalam pengungsian, pertama tugas saya disana itu kalau ada
serangan ya. Banjarnegara itu terkenal serangannya itu canonade.
Punggung gunung itu kan kalau sudah denger dong dong, rakyat terus
panik. Rakyat panic terutama wanita wanita. Jadi saya sudah dikursus
oleh mereka, "Bu, kalau suaranya begini itu mereka [musuh} masih
sejauh ini" gitu lho. Jadi kalau ada canon dong dong suaranya dari mana
kita harus dengarkan dulu. Kadang kadang [suara canon] dari arah sana,
malah orang orang lad kesana, itu ya...karena mcreka panik. Kalau
orang mangatakan seperti gabah diinteri, itu kan mubeng [kelilingl aja.
Dan saya membantu semacam ya dapur umum gitu, jadi saya kalau pagi
ikut dengan rakyat di situ mencari daun daun apa yang bisa kita masak
28
disitu. Namanya sana "ngalas" gitu lho. "Kowe arep neng endi
bu?","Neng alas" gitu. Neng alas itu mencari itu, mencari daun daun
yang bisa dimasak.29
Sebagaimana telah disebutkan di atas, berbeda dengan para penulis
kisah Angkatan '45, umumnya wanita yang ketika itu telah kawin tidak
dapat ikut serta dalam gerakan revolusi. Namun, tinggal di belakang di
daerah yang dikuasai Belanda, ridak berarti bahwa orang itu telah
menjadi pro-Belanda. Terdapat pula pertimbangan lain. Suami Bu
Karmo menjadi Bupati Kendal, yang terletak di sebelah barat Semarang,
pada tahun 1945, dan memindahkan pemerintahannya ke Wonosobo
pada permulaan tahun 1946, ketika Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) telah menguasai ibukota provinsi Semarang,
termasuk keresidenan Kendal:
Memang karena kami ikut suami dan ada di didalem daerah NICA,
saya merasa menjadi penonton dalam proses revolusi. Saya hanya
merasa penonton dalam proses revolusi, karena tak dengar letusan
peluru, dan tak mengalami kesukaran mengungsi. Tetapi, jika
umpamanya, saya ikur malah menjadi beban suami, ia tak bisa khusus
mencurahkan perhatian pada perjuangan, ya to. Itu yang meringankan
bebanku tak ikur merasakan lari mengungsi waktu musuh mengepung
daerah kami.
Tersirat dalam pemyataan Ibu Karmo itu adalah keinginannya
untuk ikut serta dalam perjuangan, dan mengungsi bersama dengan
suami. Namun, ia tidak melakukannya, karena ia hanya akan menjadi
beban saja bagi suaminya itu. Jenis pengorbanan seperti ini, balk dahulu
maupun sekarang, masih tetap diharapkan dari wanita. Apakah ia akan
ikur mengungsi apabila ia belum kawin? Atau kalau sekiranya ia tidak
kawin dengan seorang pejabat kunci Republik (Bupati Kendal)? Kita
tidak dapat mengetahui jawaban pertanyaan itu, akan tetapi mungkin
sekali ia akan melakukannya.
Mengungsi juga merupakan beban yang berat bagi penduduk
setempat. lbu Fatimah berjalan kaki meninggalkan Yogyakarta menuju
Solo pada permulaan tahun 1949 (setelah aksi milker Belanda kedua),
29
dalam suatu rombongan yang, sebagaimana diingat-nya pada tahun
1993, terdiri dari kira-kira 100 orang:
[Saya bawa] satu tas penuh untuk pergi ke Solo itu. Pakaian, saya
ngendong pakaian sampai penuh, sampai berat. Karena rumahnya
ditinggal pada....ayam dilepas, burung, dibuka aja kurungan, terns
berangkat, hari Senen waktu itu....Sampai dua minggu sampai sana,
rame-rame jalan kaki...Jembatan sudah diputusin, dua kali nyebrang
kali, ke Klaten, ke itu, ke Kartasura. Tapi inggak sendirian saya, dan
ngak bisa apatuh namanya, nggak bisa nyebrang, ditenteng dengan
orang, istilahnya kawan, orang tentara. Saya nginep di rumah lurah., ke
rumah lurah lagi, nginep. Sore itu, waktu sore itu, saya numpang
nginep. Di sini aja tidur, ada orang seratus, kan banyak, di lantai aja,
tanpa bantal, tanpa apa. Kalau lagi hujan, sengsara. Ini bawa pakaian
bakal kerudungan, itu sengsaranya waktu lulu. Di Solo dikira [tidak] ada
Belanda. Udah, ya belum ngerti kalau belum pergi.30
Banyak wanita dan anak-anak yang mengalami penderitaan seperti
ini di seluruh pulau Jawa, kebanyakannya secara berkelompok
meskipun ridak selamanya demikian. Ibu Wadyono (seperti telah kita
lihat) mengalaminya seorang diri saja. Pengalaman Titiek Mulyowati
Soetomo, yang melakukan perjalanan sendirian bersama dengan ibunya
melintasi pegunungan di Jawa Timur, merupakan bagian terbesar dari
kisahnya 'Pelarian'.
Jika kondisi perjalanan mengungsi itu adalah demikian sukarnya,
apakah ada gunanya hal itu dilakukan? Beberapa orang wanita yang
mempunyai hubungan rapat dengan keluarga Republik yang terkenal,
terutama dari kalangan milker, yaitu bibi Bu Fatimah, telah
meninggalkannya bekerja di rumah seorang Leman tentara Republik,
dan tidak mempunyai pilihan selain pergi dengannya ke Solo. Wanita
lain yang ada hubungan Katoliknya ridak perlu merasa terancam oleh
Belanda, karena tampaknya mereka memperlakukan orang Katolik
(mungkin juga orang Protesran) dengan cara yang berbeda (lihat kisah
Bu Wadyono di atas). Ibu mertua Ibu Raminem, yang tinggal di desa
Borobudur, telah menjadi Katolik sernenjak rahun 1930-an setelah ia

30
yakin bahwa hidupnya telah diselamatkan oleh seorang biarawati
Katolik. Menurut menantunya, hal ini telah memberikan sebentuk
kekebalan bagi keluarga itu terhadap pasukan Belanda yang ketika itu
menduduki daerah Magelang di Jawa Tengah:
P: Tapi Ibu nggak ngungsi?
I: Nggak, nggak ngungsi.
P: Sebabnya?
I: Ya, itu, inggak punya makan. Orang inggak punya sudah, biar
mati di rumah. Habis, kalau mau ngungsi, uangnya nggak punya,
makanan nggak bawa, apa yang nanti yang diungsi nggak berat, kalau
ndak bawa makanan kan, yang ditempati kan susah, ya to, yang punya
rumah, apa saben hari minta makanan orang gunung? Ya, satu hari, dua
hari, tiga hari dikasih. Ya sudah, kalau mati, ya biar mati di rumah,
sudah. Saya satu rumah itu dikatakan 'orang Federal', gitu. Ya, Federal
mau, orang Republik, ya mau, asal hidup. Carl hidup itu kan fberartil
turut sini, turut sini to, (itu namanya) orang cari hidup. Makan apa, cari
makanan, jualan dipasar apa saja.31
Percakapan ini kembali mengingatkan tentang persoalan mencari
hidup di masa revolusi. Wanita Indonesia secara tradisional mempunyai
kewajiban mencarikan makanan untuk anggota keluarga. Makanan telah
menjadi barang yang sangat sukar diperoleh selama tiga setengah tahun
pendudukan Jepang. Tentara Jepang tidak lagi merampas sampai
sepertiga dari hasil panen padi di Jawa. Belanda melakukan blokade
ekonomi terhadap Republik mulai tahun 1946. Meskipun masih terdapat
banyak hasil bumi di pasar di kota besar, namun banyak keluarga yang
terpaksa menjual semua barang yang mereka miliki untuk dapat
bertahan hidup di masa pendudukan Jepang. Di beberapa daerah ada
keluarga yang masih cukup kaya, sehingga mampu menukar susu
kerbau dengan beras dan garam, yaitu komoditi yang paling jarang
terdapat di Sumatra Barat ketika itu. Hal itu dikisahkan Darmani
Hamzah Zamardi (dalam kisahnya 'Menerobos Garis Nica') tentang
pengalaman sebuah keluarga di daerah itu. Dalam kenyataannya,
kea¬daan keluarga yang relatif lebih makmur itu telah menimbulkan
31
ke¬cemburuan dan kecurigaan dalam masyarakat.
Bagi wanita kota yang lebih miskin dan tidak berpunya, baik yang
belum kawin maupun yang terpisah dari suaminya, kesempatan terbesar
untuk memperoleh pendapatan adalah dengan menjual minuman dan
makanan kecil. Bu Fatima11 terpaksa melayani tentara Belanda dengan
jalan menyediakan kopi secara teratur. Dia sangat takut kepada mereka,
dan juga takut apabila ia tidak melakukan hal itu, maka ia akan
ditembak. Serdadu itu tidak pernah membayar, dan ia tidak pernah
menagih uang. la juga menjual makanan singkong di Malioboro, yang
merupakan jalan utama di Yogyakarta, yang ketika itu merupakan
ibukota Republik.
I: Lha saya pengalaman minta kopi, minta dibikinin kopi. Saya
takut ditembak mati, di Yogya waktu itu belum berangkat [ngungsi] ke
Solo. Ada waktu geger (clash kedual ada sebulan lantas mengungsi ke
Solo selamanya sebulan. Belanda sering, sering datang sore ke rumah
itu, ke rumah yang tinggal itu dulu, namanya kampung Panembahan,
enam orang, suka suka lima, bikinin kopi. Kalau udah bikinin kopi,
udah minum, udah berhenti, "terima kasih", sa-laman, pergi. Saya takut
e, nek nggak dikasih, nanti takut ditembak, udah aja kasih, pergi kok.
I: Nggak bayar mereka?
P: Nggak minta. Kemudian kita jualan, saya beli singkong lima
kilo, lalu dalame taruhi gula sama kelapa, digonjang¬ganjing terus
masuki dalem digoreng, dijual. Itu Belandane pada beli, seratus, seratus
satu, Di Malioboro. Bener, itu kita nggak bohong.3233
Perjumpaan dalam bentuk yang berbeda dengan Belanda dialami
oleh Suhartini Harsono dalam kisah Angkatan '45-nya yang berjudul
Rod, Keju dan Singkong Goreng'. Karena ia dapat berbahasa Belanda
dengan fasih, maka ia dapat berteman dengan seorang serdadu Belanda
yang masih muda, sambil memperkuat keragu-raguannya tentang
keadilan tindakan negaranya di Indonesia. Namun, ia tidak sampai
mengundangnya masuk ke rumahnya, suatu hal yang disukainya sebagai
teman, akan tetapi amat tidak dapat diterima secara politik.

32
Masalah Mata Uang
Pada masa pendudukannya, Jepang mengganti mata uang Belanda
sebelum perang dengan uang mereka sendiri, uang kertas pendudukan
yang khusus dicetak, tetapi cepat sekali kehilangan nilainya. Setelah
Agustus 1945, karena takut bahwa kedudukan mata uang mereka akan
rusak oleh kekacauan ekonomi, maka baik Republik maupun Belanda,
terus mempergunakan uang kertas Jepang itu. Akhirnya pada Maret
1946, Belanda memperkenalkan mata uang mereka sendiri, sedangkan
pihak Republik mengundurkan mengeluarkan mata uang sendiri sampai
Oktober. Mata uang Belanda, yang umumnya dikenal sebagai 'uang
NICK (yaitu Netherlands Indies Civil Administration, nama resmi
pemerintahan kolonial pada bulan-bulan revolusi) segera beredar di
daerah yang dikuasai Belanda, sedangkan ORI (Oeang Republik
Indonesia) dipergunakan di daerah Republik. Untuk berbelanja ke pasar
setiap hari, para wanita harus membawa kedua macam mata uang itu,
untuk menghadapi kenyataan kalau-kalau pedagang lehih suka mata
uang yang satu dan tidak suka mata uang yang lain. 3333 Belanda
membiarkan kedua jenis uang kertas itu beredar di daerah yang mereka
duduki, sedangkan kelompok sipil dan militer Republik tidak begitu
membiarkan kenyataan itu. Para pedagang wanita yang beroperasi
melintasi garis gencatan senjata seringkali dicurigai bekerjasama
dengan musuh atau mengambil keuntungan, apabila mereka kedapatan
membawa mata uang Belanda.
Ibu Raminem dilahirkan di Sumatra, namun ketika ia berumur
sembilan tahun pada masa Depresi, orang ruanya yang bekerja sebagai
buruh perkebunan, kembali pulang ke desa asal mereka. di Borobudur,
bersama dengan enam orang saudara Iaki-lakinya. Mereka masuk
sekolah desa di sana. Raminem sendiri tidak dikirim ke sekolah, karena
ia seorang wanita. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang pembantu
dengan gaji 9 rupiah sebulan di Hotel Borobudur yang berkamar 16 itu.
Hotel itu adalah sebuah hotel pariwisata yang kecil, milik seorang
Belanda, bagi para pengunjung yang ingin bermalam di Borobudur.

33
Bapaknya juga bekerja di sana sebagai tukang kebun. 3434 Bu Raminem
masih memiliki kenangan yang kuat tentang tentang bagaimana
sukarnya hidup pada masa pendudukan Jepang. Setiap hari orang makan
singkong yang dikeringkan. Para pengemis mati di pinggir jalan karena
kelaparan. Adik laki-lakinya dikirim ke Sumatra untuk menjadi
romusha, atau pekerja paksa. Jepang membuka sebuah pabrik
pemintalan benang kecil yang mempekerjakan gadis-gadis setempat.
Karena perang telah menyebabkan impor ke Jawa menjadi hampir
mustahil, maka kain amat sukar diperoleh. Banyak gadis yang memakai
karung goni sebagai kain sarungnya. Bu Raminem menolak memakai
karung goni itu, namun sarungnya telah penuh tambalan pada akhir
masa Pendudukan.
Ketika revolusi akan berakhir, Bu Raminem sexing berjualan gula
aren dan telur di pasar kola Magelang yang tidak jauh letaknya, yang
diduduki Belanda pada akhir tahun 1948:35
I: Pagi pukul anew ya, kesana....sampai [Magelang) pukul delapan.
Masih mudah kok, Kalau udah tua [jalan kaki) ya empat jam. Termasuk
menyeberang sungai itu.
P: Nggak ada kendaraan?
I: Ha, zaman perang kok ada kendaran apa. Naik tank, yang ada
motor tank, Jalan sini Magelang, Salaman, yang ada motor tank...[ke
Magelang bawa) gula jawa sama ayam, kalau bawa telor ayam, telur
ayam, di jalanan, kalau sama tentara Republik ya nggak boleh.
P: Kenapa?
I: Itu kan mau dijual sama Belanda. Kan nggak boleh masuk di
Magelang. Ndak boleh, diminta telornya [oleh tentaral...Nggak dibayar!
Diminta saja.
P: Terus Ibu nggak merasa berdosa menjual telor pada Belanda?
I: Enggak, kok dosa! Orang jualan kok berdosa! (sambil tertawa).
P: Kok jual telor sama penjajah?

34
35
I: Ha iya, habis cari makan kok. Orang cari makan itu sama
Belanda ya nggak papa to. Belandanya ya mau makan, orang kampung
ya mau makan!3636
Pada tahun terakhir revolusi, tentara Belanda secara resmi masih
menguasai seluruh pulau Jawa, namun dalam kenyataannya pulau itu
terbelah-belah secara politik dan militer, karena beberapa daerah masih
dikuasai Belanda, sedangkan yang daerah lain masih berada di tangan
Republik, dan banyak pula daerah yang diperebutkan oleh kedua
angkatan bersenjata yang saling bersaing itu.
Ibu Raminem biasanya menukarkan mata uang Belandanya di
Magelang setiap hari sebelum kembali ke Borobudur, karena ia harus
menggunakan mata uang ORI di Borobudur untuk membeli gula aren.
Apabila tentara Republik mendapati orang membawa uang yang ketika
itu dinamakan 'uang Federal',3737 maka akibatnya adalah serius.3838 Di
Magelang kedua mata uang itu dapat beredar, meski ada juga pedagang
yang tidak menyukai uang Federal, karena uang 'Belanda'. Pada suatu
hari yang buruk sekali, mata uang Belanda itu kehilangan nilainya
dalam beberapa jam saja, dan pasar di Magelang menjadi kacau-balau:
Lantas apa tu, uang mau habis ya. Uang mau nggak ada, itu
pukul berapa ya, pukul pagi, nanti pukul sepuluh sampai dua helas,
abis, uang Federal ndak laku. Orang kan, orang kaget toh. Ada yang
mati, ada yang kagetnya punya uang banyak kok terus ndak laku...Kalau
uang Belanda lulu itu kok bagus ya [sambil lihat foto berwarna dari
uang Belanda) Apa tu, halus, kalau disimpen itu nggak bisa cepat rusak.
Kalau yang kerta situ, apa namanya limam kertas kan alus.39 39
Ibu Raminem tidak merasa menyesal sama sekali karena telah
berdagang dengan Belanda, karena bagaimanapun ia harus hidup. la
tidak meninggalkan rumahnya ketika Belanda menduduki Borobudur,
karena ia tidak mempunyai cara untuk mencari penghasilan, dan tidak
ingin menjadi beban bagi orang desa tempat ia tinggal, apabila ia harus
36
37
38
39
meninggalkan daerah yang diduduki Belanda dan mengungsi ke daerah
di sebelahnya yang dikuasai Republik.
Bahkan sebagai seorang wanita yang belum kawin, Bu Raminem
telah sibuk mencari penghasilan. Ia merasa tidak mempunyai keamanan
ekonomi, dan akan menjadi beban bagi orang lain, apabila ia pindah ke
daerah yang dikuasai Republik di pegunungan. Ia merasa bahwa
gagasan seorang wanita yang ikut serta dengan gerakan bambu runcing
adalah tidak pantas dan tidak mungkin ia lakukan.

Renungan Lebih Jauh


Enam buah esai dalam kumpulan ini semuanya ditulis untuk sebuah
sayembara yang dilaksanakan oleh perkumpulan veteran resmi di
Indonesia, yaitu Angkatan '45. Karena itu, kita tidak boleh heran apabila
semuanya itu mengukuhkan beberapa gagasan dan nilai Angkatan '45.
Dapat dipahami bahwa Angkatan '45, dengan mengadakan sayembara
memperingati ulang tahun ke-30 kemerdekaan Indonesia dua puluh
tahun yang lalu, sebenarnya memiliki agendanya sendiri, yaitu
memelihara nilai dan idealisme 'revolusi' sebagaimana ditafsirkan oleh
kelompok veteran itu. Para wanita ini, yang ikut merasakan perasaan
patriotisme, yang dipandang dari suatu segi telah menempatkan diri
mereka ke dalam mitologi dan ideologi para veteran dalam revolusi itu,
telah bersedia memasukkan tulisan dalam sayembara ini. Kisah-kisah
yang diceritakan Ibu Rusmi tentang pengalamannya tidaklah akan
relevan (ada yang akan mengatakan tidak tepat) bagi sebuah sayembara
tulisan yang disponsori oleh organisasi resmi para veteran, karena telah
dirangkum dengan cara yang berbeda, dan dipandang dari segi
pandangan yang berbeda pula.
Sebagaimana telah kita 'dun dalam Pendahuluan ini, balk kisah
maupun wawancara itu memberikan pandangan ke dalam berbagai suara
wanita yang dapat didengar dalam perjuangan revolusi Indonesia.
Beberapa pengalaman mereka mernberikan kesan bahwa meski mereka
mungkin telah bekerja untuk mengubah tatanan politik dengan jalan
menyingkirkan Belanda, namun mereka melakukan hal itu dengan
memperluas, dan mungkin juga memperdalam, peranan mereka pada
masa sebelum revolusi, dan bukan dengan mengubah peranan itu.
Ketika revolusi, beberapa orang, dan barangkali hanya sedikit saja,
wanita yang memiliki kebebasan untuk memilih, jika bukan peranan
baru, maka mungkin pengalaman baru. Beberapa orang memang telah
mengalami 'hak istimewa untuk menentukan nasib sendiri' untuk
pertama kalinya dalam kehidupan mereka, bahkan walaupun mayoritas
mereka, lebih sering daripada tidak, masih menjadi 'penderita tindakan
Apakah ikut dengan kelompok gerilya bersama-sama dengan para
aktivis pria itu dapat diterima berdasarkan alasan-alasan budaya atau
tidak, namun kebanyakan wanita itu harus mencukupi kebutuhan diri
sendiri dan anggota keluarganya. Ini berarti bahwa mereka harus hidup
dalam suasana baru, harus menjual hak milik untuk tetap dapat hidup,
atau apabila mereka tidak memiliki apa-apa, harus pergi bekerja dengan
teman atau keluarga jauh, juga melakukan pekerjaan rumah tangga.
Mereka juga memikul beban tanggung-jawab keharusan berjualan atau
berbelanja di pasar tempat beredarnya mata uang Belanda dan mata
uang Republik secara bersama-sama.
Mereka ada yang memilih, atau dipaksa memilih, untuk
meninggalkan rumah tangga sendiri di daerah yang baru saja diduduki
pasukan Belanda, harus pula menghadapi segala macam situasi hidup
yang baru dan sukar, termasuk mengharapkan kebaikan hati penduduk
desa yang asing, mengandung anak, dan berduka cita bagi anak-anak
yang meninggal, jauh dari rumah tangga dan orangtua.
40

Wanita lain (mungkin sebagian besar dari mereka) tidak


menganggap diri mereka sebagai bagian dari perjuangan revolusi,
karena alasan jenis (seperti Raminem) atau karena wanita merasa tidak
praktis dalam situasi revolusi untuk berada di dekat suami mereka,
walaupun mereka belum memiliki anak. Inilah peranan yang diberikan
budaya Jawa kepada wanita, dan hal itu masih tetap demikian sampai
sekarang. Khusus bagi mereka, segala sesuatunya cukup susah tanpa
menjadi 'pemuda'.41 41
40
41
Suasana revolusi pada tahun-tahun 1945-1948 rnemberikan
kesempatan bagi segolongan kecil wanita kota yang berpendidikan
untuk memainkan peranan baru dalam organisasi perjuangan, seperti
para anggota Barisan Srikandi yang semuanya wanita dan berpusat di
Jakarta. Namun, tampaknya masih ada sedikit wanita yang ikut berjuang
dalam badan perjuangan, dan tidak hanya (walaupun terutama)
memasak, mencuci dan membersih-bersihkan bagi para pemuda.
Jauh lebih sukar bagi wanita untuk ikut serta dalam tentara
Republik yang umumnya pria (yang menjadi gerakan gerilya pada tahun
1949) sebagai prajurit. Wanita diharapkan duduk mengetik di belakang
garis pertempuran atau bertindak sebagai kurir, dengan melanjutkan
peranan yang telah dimainkan wanita dalam gerakan bawah-tanah
anti¬Jepang ketika perang.42 42
Akhirnya, yang memberikan kesan yang mendalam bagi para
pembaca kisah-kisah ini, adalah segi fisik yang membentuk tulisan ini,
bau (adas manis), suara pisau yang sedang diasah untuk membunuh
'mata-mata' (yang ternyata adalah seekor kambing), perasaan
memandang Laut Jawa untuk pertama kalinya dari lereng Gunung
Bromo, 'menggigit sampai ke tulang-tulangnya', 'sup' yang tidak ada
rasanya, karena hanya seperti air dan garam saja. Terdapat pula emosi
yang amat kuat: rasa curiga terus menerus, rasa putus asa yang
dipendam, rasa kecewa, sakit hati dan rasa takut. Ibu Fatimah berdoa
setiap waktu agar dirinya selamat semenjak meninggalkan rumahnya di
Solo. Wanita menghadapi semua perasaan dan emosi ini dengan suatu
rentangan tanggapan yang semuanya itu terdapat dalam kisah-kisah
yang berikut ini.

42
Peranan Wanita dalam Revolusi Indonesia:
Sebuah Renungan Sejarah
1. Sebuah kisah standar tentang revolusi nasional Indonesia adalah
buku Anthony J.S. Reid, The Indonesian National Revolution 1945-
1950, Melbourne, Longman,
1974. Suatu pembicaraan yang lebih pendek, yang memperharikan
penelitian yang lebih baru, rerdapat dalam buku Robert Cribb dan Colin
Brown, Modern Indonesia: A History since 1945, London, Longman,
1995.
2. Anthony Reid, Southeast Asia in an Age of Commerce 1450-
1680. Volume I: The Lands below the Winds, New Haven, Yale
University Press, 1988, h. 146.
3. Lihat Jean Gelman Taylor (ed.) Women Creating Indonesia: The
First Fifty Years (segera terbit) dan Cohn Brown, 'Sukarno and the Role
of Women in the
Indonesian National Movement', RIMA (Review of Malaysian and
Indonesian Affairs), vol. 15, no. 1, 1988.
4. Christine Dobbin, 'The Search of Women in Indonesia History',
dalam buku Ailsa Thomson Zain'ddin et al. Kartini Centenary:
Indonesia Women Then and Now, Clayton, Vic., Monash University,
Centre of Southeast Asia Studies, 1979.
5. Esainya 'Official photography, costume and the Indonesian
Revolution' termasuk dalam buku Jean Taylor (ed.), Women Creating
Indonesia (akan terbit).
6. Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi,
Jakarta, Pustaka
Utama Grafiti, 1989, dan versi berbahasa Inggris yang telah
diperbaiki One
Soul One Struggle: Region and Revolution in Indonesia (Sydney,
Allen & Unwin,
1991); Robert Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949:
Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Jakarta, Pustaka Utama
Grafiti, 1990, dan versi
berbahasa Inggris yang telah diperbaiki, Gangsters and
Revolutionaries: the Jakarta People's Militia and the Indonesian
Revolution 1945-1949, Sydney, Allen & Unwin, 1991
7. Keempat judul ini diterbitkan di Jakarta oleh Aries Lima untuk
Dewan Harian
Nasional perkumpulan veteran Angkatan '45 dalam Seri
Pengalaman dan Pandangan tentang Perjuangan '45.
8. Wawancara ini diadakan Anton Lucas untuk sebuah makalah
'Melanjutkan penelitian tentang wanita dalam sejarah Indonesia:
pengalaman wanita di masa
pendudukan dan revolusi 1942-1950' yang dikemukakan dalam
Konferensi Wanita Asia keempat, Melbourne University, 1-3 Oktober
1993.
9. Lihat catatan di atas.
10. Kisah ini termasuk dalam sebuah koleksi yang diedit
oleh Robert Cribb dan
Anton Lucas, yang berjudul Bread Cheese and Boiled Cassava:
Women in the National Revolution 1945-1949 (akan terbit).
11. Sebagian perubahan dalam hubungan antara para aktivis
muda yang
berpendidikan Belanda itu telah diungkapkan oleh Mang En
Sudewo, My Life with Eri-san a Freedom Fighter, Surabaya, Airlangga
University Press, 1994.
12. Isaiah pemuda pertama-tama menjadi terkenal dalam
analisis revolusi Banedict K. O'G Anderson datum bukunya, Java in a
"lime of Revolution: Occupation and
Resistance 19./4- /946 (Ithaca N.Y, Cornell University Press,
1972). "Pemuda"
pada mulanya mencakup baik pria maupun wanita. Namun, ketika
bahasa
Indonesia berkembang, istilah itu semakin banyak dilihat hanya
untuk pria
saja, dan timbullah sebuah kata baru yaitu "pemudi" sebagai bentuk
wanitanya,
sehingga menyembunyikan asal kata itu yang merupakan kata sifat,
yaitu
"muda".
li. Sebuah sumber Indonesia yang berguna yang memuat daftar
aktivitas dari
berbagai organisasi wanita yang menjadi anggota clan empat
kongres wanita
(KOWANI, Kongres Wanita Indonesia) ketika revolusi, (dengan
sebuah
kumpulan tulisan pendek tentang pengalaman wanita ketika
Proklamasi
Kemerdekaan) adalah Buku Peringatan 30 Tabun Kesatuan
Pergerakan Wanita
Indonesia 22 Desember 1928-22 Desember 1958 (Jakarta np. 1959
Up, h. 36-44,
207-230. Organisasi wanita yang disebutkan dan didiskusikan
dalam sejarah
Indonesia terbaru tentang peranan wanita dalam revolusi itu adalah
Laskar
Wanita Indonesia (Laswi), Laskar Purer' Indonesia Solo, Barisan
Puteri Indone
sia, Barisan Putri Garut, Pemuda Putri Republik Indonesia (PPM)
dan Wanita
Pembanru Perjuangan (WAPP), akan tetapi ini hanyalah daftar
sebagian saja.
Lihat Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, Lahirnya Kelasykaran Wanita
dan Wirawati
Catur Panca, Jakarta, Yayasan Wirawati Catur Panca, 1992, h. 5
dan h. 19-78.
A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, vol. 1
(Bandung, Angkasa
1977) menyebutkan Wanita Indonesia (WANI) dan Pemuda Putri
Indonesia (h.
309). Pramoedya Ananta Toer menyebutkan Barisan Serikandi
Cikampek
dalam kisahnya 'Balas Dendam' dalam Indonesia 26 Oktober 1975),
h. 49.
Organisasi lain mencakup Laskar Buruh Wanita (LBW), Rukun
Puteri Indone
sia (Rupindo), Pemuda Puteri Indonesia (PPI), Mobilisasi Pelajar
(Mopal),
sebagairnana juga kelompok-kelompok wanita Islam, Katolik dan
Protestan.
14. Penururan yang lebih awal tentang perkembangan tujuh tahun
pertama Palang Merah Indonesia yang berjudul Riwayat Paean& Merah
Indonesia (Jakarta, n.h.,
1953), memberikan peraturan dasar pertama, para anggota komite
dan anggota
pengurus di daerah yang dikuasai Republik ketika revolusi, akan
tetapi tidak
disebutkan (selain daripada daftar cabang) di daerah-daerah yang
pada umumnya
dikuasai Belanda.
1 15. Wawancara yang direkam dengan Ibu Rusmi, 1/12, 13 Juli
1993. Jawa deles berarti secara budaya Jawa murni, Jawa asli, tidak
berubah oleh pengaruh yang datang dari luar. Seorang putri Solo adalah
seorang wanita yang dalam cara berpikirnya, cara berpakaiannya, cara
bersopan-santunnya dan kehalusan bahasanya, masih 'murni' Jawa
Tengah, suatu jenis perilaku yang diidam
idamkan oleh banyak wanita Jawa.
Saya berterima kasih kepada Mr A. Budiharto, clan Department of
Asian
Studies and Languages di Flinders University yang telah menolong
menerjemahkan wawancara ini, yang tadinya berlangsung dalam bahasa
Jawa.
P 16. Transkrip wawancara yang direkam dengan Ibu Umi, Jakarta,
17 Juli 1993.
17. Untuk biografinya, lihat Anton Lucas, 'The Failure and Future
of Democracy: conversations with a group of former revolutionary
activists', dalam buku
David Bourchier dan John Legge (eds.), I )efmnr.arp to indrawn,
li5Or and 19900, Clayton, Vic., Monash University, Centre 01 Stall
la..i,t /Wall Studies. 1994, li 102 note 3.
18. Untuk biografinya, lihat Benedict Anderson, Java in a
Time of Revolution, 449.
19. Kisah lengkap pengalaman-pengalamannya (termasuk
berbagai interogasi dengan intelijen militer Belanda) dapat ditemukan
dalam memoar All Warsitohardjo, 'Laporan tentang tjara penangkapan
dan perampasan kemerdekaan bergerak bebas yang dilakukan oleh fihak
milrter Blanda terhadap dirt wakil ketua Badan Perwakilun Rakyat
daerah kabupaten Tegal R. Mohamad A. Wasithardjo, yang ditawan
sedjak 1.t Oktober 1947 sampai tanggal 15 Djuni 1949', Jakarta, Juni
1949 (diketik).
20. Wawancara yang direkam dengan Ibu Umi, I/5, Jakarta,
17 Juli 1993.
21. Wawancara yang direkam dengan Ibu Umi, I/8, Jakarta
17 Juli, 1993. 21. Wawancara yang direkam dengan Ibu Umi, Jakarta,
17 Juli 1993.
22. Wawancara yang direkam dengan Ibu Raminem, 1/14, 7
Juli 1993. Pada permulaan revolusi terdapat seorang kiyai yang terkenal
di daerah Parakan¬Temenggung di Jawa Tengah, kepada kiyai itu Para
pemuda membawa bambu runcing agar tidak terkalahkan berkat
kekuatan magis dan do'a-do'a kiyai itu. Tampaknya, inilah yang
dimaksud Ibu Raminem dengan agak bebas sebagai suatu aktivitas yang
tidak pantas bagi perempuan.
23. Wawancara yang direkam dengan Ibu Fatimah, 1/8,
Jakarta, 16 Juli 1993. Untuk mengetahui biografi suaminya Soewignjo,
lihat Lucas, One Soul One Struggle, h. 279-280.
24. Wawancara yang direkam dengan Ibu Rusmi, 1/3,
Semarang, 11 Juli 1993.
25. Wawancara yang direkam dengan Ibu Rusmi, 1/11,
Semarang, 11 Juli 1993. Kacu, yang secara harfiah artinya sapu tangan
dalam bahasa Jawa, juga seringkali digunakan ketika menunjuk pada
kain pembalut wanita, ketika berada di kalangan pria dan wanita.
26. Untuk mengetahui biografi Mustapha Tjokrodirdjo lihat
buku Bourchier dan Legge (eds.), Democracy in Indonesia 1950s and
1990s, h. 111, note 12.
27. Wawancara yang direkam dengan Ibu Wadyono,
Semarang, 10 Juli 1993. Untuk mengetahui biografi suaminya, lihat
Lucas, One Soul One Struggle, h. 280.
28. Wawancara dengan Ibu Soepeno, Semarang, 10 Juli
1993.
29. Wawancara direkam dengan Ibu Karmo, 11/1, Semarang,
12 Juli 1993.
30. Wawancara direkam dengan Ibu Fatimah, [/1-2, Jakarta,
16 Juli 1993.
31. Wawancara direkam dengan Ibu Raminem, 1/5,
Borobudur, 7 Juli 1995.
32. Wawancara yang direkam dengan Ibu Fatimah, 1/24, 16
Juli 1993.
33. Masalah mata uang panda masa revolusi telah
dibicarakan secara agak rind oleh Robert Cribb dalam tulisannya
"Political Dimension of Currency Question, 1945-1947", Indonesia 31
(Mei 1981), h. 113-136. Untuk sebuah sejarah ringkas tentang
perbankan Republik di masa revolusi, dengan foto-foto berwarna dari
semua uang kertas dan uang koin OR! dan NICA yang ada ketika itu,
lihat Wiratsongko dan Setyo Sudrajat (eds.), Banknotes and Coins from
Indonesia 1945-1990, Jakarta, Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1946
& Perum Peruri Jakarta, 1991, h. 2-11.

34. Mengenal krsati Ito Raminctil bcketia &twin orang


I4elunda, lihat wawancara Anton Lucas deligainiya dalam tulisannya
'Kings and Coolies', Bagian I dari seri 'Riding the Tiger', yang terdiri
dari tiga bagian, Olsen Levy Productions for the Australian
Broadcasting Corporation, 1992.
35. Wawancara yang direkam dengan Ibu Raminem, I?17, 7
Juli 1993.
36. Strategi politik Belanda di bagian terakhir dari revolusi
itu mencakup membangun sebuah koalisi konservatif yang terdiri dari
negara-negara federal di daerah yang mereka duduki. Mata uangnya
dinamakan 'mata uang Federal'.
37. Ibu Raminem mengatakan bahwa orang harus
menyembunyikan uang Federal di daerah yang dikuasai Republik,
karena terdapat berita bahwa tentara Republik akan membunuh orang
yang kedaparan membawa mata uang ini; mungkin sekali desas-desus
ini efektif sekali sebagai cara untuk menggoyahkan kepercayaan
terhadap uang Federal. Wawancara dengan Ibu Raminem di Borobudur,
tanggal 7 Juli 1993.
38. Wawancara dengan Ibu Raminem, Borobudur, 7 Juli
1933.
39. Lihat tulisan Keith Foulcher yang sangat membantu
dalam memberikan penjelasan, 'The Early Fiction of Pramoedya Ananta
Toer, 1946-1949', dalam buku D.M. Roskies (ed.), Text/Politics in
Island Southeast Asia, Athens, Ohio University, 1993, tentang
gambaran wanita dalam kisah revolusi Pramoedya, Kranji dan Bekasi
Djatoeh (1947), dan Ditepi Kali Bekasi (1951), terutama halaman 195-
196.
40. Saya bertanya kepada Ibu Fatimah kalau-kalau is masih
ingat suatu kejadian yang lucu terjadi di masa Revolusi. Jawabannya
adalah "bagi orang yang susah, tidak ada cerita yang lucu."
41. Lihat Anton Lucas (ed.), Local Opposition and
Underground Resistance to the Japanese in Java 1942-1945, Clayton,
Vic., Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, 1986, h.
43-49.

Anda mungkin juga menyukai