11
12
13
Palang Merah Indonesia yang baru dibentuk.1414
Meski wanita ikut serta dalam kelompok pejuang revolusi, amat
sedikit di antara mereka yang mengambil bagian dalam pertempuran.
21
22
keke¬cualian. Di Tegal ia mempunyai seorang pembantu untuk menjual
makanan kecil yang dibuatnya sendiri, ia membaca buku dalam bahasa
Belanda di rumah kerabatnya untuk menghibur diri setelah kematian
anaknya, dan bahasa Belandanya menolongnya untuk mendapatkan
pekerjaan yang bergaji besar di dealer Chevrolet di Jakarta. Bagi
beberapa orang wanita, kemampuan berbahasa Belanda menciptakan
kesempatan baru dan merupakan bantuan besar dalam melancarkan
urusan di daerah-daerah yang diduduki Belanda. Ibu Umi dapat pergi ke
penjara dan berbicara dengan para perwira Belanda meminta agar
suaminya dapat dipindahkan ke Jakarta.
Soehatini Harsono dalam kisah Angkatan '45-nya mampu
mempeng¬aruhi seorang serdadu muda Belanda untuk merenungkan
tentang mengapa ia melakukan peperangan kolonial di Indonesia,
karena ia bisa berbicara kepadanya dalam bahasa Belanda. Ia juga biasa
makan roti dan mentega yang merupakan 'makanan Belanda'. Jadi, dapat
diperkirakan kenapa mengapa Umi pergi ke luar untuk membeli roti,
ketika anaknya tiba-tiba jatuh sakit. Titiek Mulyowati Soetomo (dalam
kisah 'Pelarian") juga bertemu dengan pihak militer Belanda. Bapaknya
sedang berjuang di tempat yang jauh bagi Republik. Ibunya baru saja
meninggal, dan ia tinggal bersama saudara laki-lakinya yang masih
bayi, yaitu Gatot. Seorang serdadu Belanda mendekat 'clan berbicara
kepada saya dalam bahasa yang tidak saya pahami. Oh, alangkah
bencinya saya melihat mukanya dan rambutnya yang berwarna seperti
jerami itu.' Namun ia memberikan coklat kepada Gatot yang masih kecil
itu: adalah musuh negeriku, tetapi ia memberikan coklat pada adikku.'
Kemudian ia berdo'a kepada ibunya: 'Ampuni aku Ibu, karena telah
menerima pemberian dari musuh Bapak!' Namun, ia tidak memiliki
pilihan selain menerima pemberian 'musuh Bapaknya'. la dibawa ke
sebuah rumah yatim, dikabarkan bahwa bapaknya telah terbunuh, akan
tetapi dia akan tetap dirawat, dengan ongkos Belanda. Jadi lebih banyak
dilema lagi, namun demi saudara laki-lakinya, ia harus menerima.
Wanita desa, yang tidak atau sedikit sekali bersekolah dan yang
perhatian utamanya adalah bagaimana caranya untuk hidup, barangkali
sedikit sekali pilihannya: ikut gerakan Republik atau tidak. Ibu Ranimen
telah memutuskan bahwa 'gerakan bambu runcing' setempat di desa
Borobudur di Jawa Tengah bukan merupakan tempat yang pantas untuk
wanita:
P: Kalau yang berangkat ikut bambu runcing itu laki2 atau
perempuan?
I: Laki
P: Perempuan?
I: Nggak ada
P: Kenapa?
I: Tau, orang perempuan, kok pergi bawa bambo runcing. Ngak
ada, he he. Semua laki-laki, laki-laki anak pemuda¬pemuda...Ya
[perempuan] bisa, tapi ya, nggak pantes.
P: Nggak pantes sebabnya?
I: Ya orang muda, apa, anak perempuan turut bambu runcing!
Belum pernah, ya cuma pemuda-pemuda.. Lantas, bagaimana orang
perang kok pemuda sama pemudi, he he he [tertawal. Nggak, kalau
bambu runcing, yang ngepalani rak, apa to namanya, haji Islam, Islam,
bambu runcing.
P: Orang perempuan harus dimana kalau begitu?
I: Di rumah! Ya kerja dirumah, Bamboo runcing kan cuma di jalan,
naik truk, nanti dimana, Parakan, Temanggung apa itu, apa namanya.
munggsuh apa apa.23
23
mempunyai seorang pengagum lain, seorang pemuda Bugis dari
Sulawesi Selatan, sebuah pengalaman yang digambarkannya sebagai
'cinta seketika di daerah gerilya'. Cinta seketika itu berarti apabila
seseorang berjalan berpegangan tangan dengan ketat melalui daerah
pekuburan yang luas dan menakutkan di ma'am hari.
Sebaliknya wanita-wanita yang diwawancarai mempunyai
pengalaman yang berbeda. Ibu Fatimah, yang ketika revolusi berjalan
kaki dari Solo ke Yogya, mengingat kembali:
I: Pacar-pacaran itu inggak ada, tidur perempuan [sarna]
perempuan.'
P: Masa pacaran nggak ada?
: Nggak ada, zaman geger. Ngeliat orang digaplokin aja kita
udah...ih, ngeri.24
Tampaknya wanita telah terbiasa tidur 'terpisah' dari suami mereka,
karena telah lama berpisah (pernah dalam satu kasus sampai dua tahun),
atau karena masalah tempat tidur. Ibu Umi tidur 'bersebelahan' dengan
suami-nya sebelum dipenjarakan dalam sebuah rumah tua yang besar di
Tegal, karena rumah itu tidak memiliki perabotan ketika mereka masuk,
sehingga mereka hanya mampu memiliki (atau menemukan) dua tempat
tidur keel', masing-masing untuk satu orang. Apabila ada tamu,
suaminya menyerahkan tempat tidurnya, sedangkan is sendiri tidur di
atas bangku di luar. Ibu Karma, yang baru saja kawin dengan Bupati
Ken-dal dari pihak Republik, telah mengetahui kondom. la pernah
melihatnya berserakan di sekeliling tempat sampah dekat sebuah klub
Belanda di Semarang, sebelum perang. Setelah kelahiran adik laki-laki
Titiek Mul-yowati Soetomo, sebagaimana dikemukakannya dalam kisah
Angkatan '45 'Pelarian', maka bapaknya biasa tidur di sebelahnya dan
bukan di sebelah ibunya. Bapaknya mengatakan kepadanya: 'Susah
sekali untuk beranak satu lagi.' Ibunya setuju: 'Gampang sekali untuk
menjadi hamil.'
Ibu Rusmi, yang ikut dalam pertempuran (melu grubyak-grubyuk),
turut berjuang bersama dengan para gerilyawan di daerah Wonosobo di
24
Jawa Tengah bagian selatan. Mungkin, karena is adik Bupati Kendal
dari pihak Republik, la diperlakukan agak berbeda, atau diberikan
perlakuan khusus. Akan tetapi sebagai seorang wanita yang tidak
bersuami di kalangan sekelompok pria yang tinggal di daerah
pegu¬nungan, kadang-kadang is memang menghadapi masalah.
Pertama¬tama, is harus meyakinkan komandan kesatuan itu bahwa is
boleh membawa bedil:
1: ikut gerilya iru mestinya kan harus bertempur ya. Tapi fkatanya)
wanita jangan bertempur. Lho kok, inggak boleh bigirnana, tidak ada
beda-beda itu. "Lho jangan marah, itu kalau wanitanya banyak.'Tapi
batalyon sini wanitanya hanya dua, ndak bisa to, hanya ibu2 i•rnhak
(pachi w.tktrr itu pang
gilannya mbak). Hanya mbak %did 1,tik tickinany a.unl,ui raja,
kaku peril' berangkat, hyrongkiit k Art t kik du in n,lh",
I!_ I I
Pengalaman Mengungsi
Sebagaimana telah dikemukakan, banyak wanita di Jawa yang ikut
serta dalam perjuangan harus meninggalkan rumah tangga mereka
dengan segera, membawa anak-anak mereka berjalan kaki, pada saat
Belanda secara berangsur-angsur memperluas daerah pendudukan
mereka di Jawa. Persetujuan Linggarjati pada November 1946 telah
mengakui secara de facto kekuasaan Republik atas pulau Jawa dan
Sumatra. Namun, sikap sating curiga dan sating bermusuhan tetap
berlanjut, terutama ketika pihak Republik memerlukan beberapa bulan
untuk meratifikasi persetujuan itu. Tanggal 21 Juli 1947, Belanda
melancarkan aksi militernya yang pertama terhadap Republik untuk
mengembalikan tegaknya hukum dan ketertiban, menurut pendapat
mereka, terhadap Jawa yang 'kacau-balau' itu. Kota-kota kabupaten di
pantai utara pulau Jawa diduduki, dan pemerintahan Republik di kota-
kota ini pindah ke selatan ke basis yang baru di Wonosobo di daerah
26
Banyumas, sedangkan Belanda mendirikan pemerintahan baru di daerah
yang mereka duduki.
Dari dua pusat pemerintahan di Tegal dan Pekalongan, keluarga
harus berjalan kaki ke selatan, dan mencari jalan sendiri di daerah
pegunungan menuju daerah Wonosobo yang dikuasai Republik. Ibu
Mustapha, yang kawin sebelum berakhirnya pemerintahan kolonial
Belanda, dan dibawa menetap di Tegal, kehilangan bayi kedua dan
ketiga karena penyakit disentri di masa Pendudukan Jepang. Suaminya,
yang sebagai komandan regional dari TNI Masyarakat, berperan penting
dalam mengkoordinasikan berbagai badan perjuangan di daerah
Pekalongan-Tegal, berangkat ketika Belanda masuk kota Tegal pada
Juli 1947. Karena suaminya berada di puncak daftar orang Republik
yang dicari Belanda, Ibu Mustapha memutuskan bahwa ia tidak
memiliki pilihan selain ikut berangkat. la pindah untuk tinggal di sebuah
desa di selatan Tegal, dan melahirkan anak keempat di sana, dengan
bantuan dukun beranak setempat. Dengan membawa bayinya yang
berumur empat bulan, ia melakukan perjalanan ke sekeliling Gunung
Slamet, dengan mengenakan kain batik, untuk bertemu dengan
suaminya.2727
Ibu Wadyono, istri komandan setempat militer Republik di
Pekalongan (TM Resimen XVII), terpaksa meninggalkan rumahnya di
Pekalongan ka¬rena alasan yang sama pula. Karena suaminya ketika itu
mengkoordinasikan perlawanan gerilya di bagian selatan ibukota
Keresidenan Pekalongan, maka ia akan tetap diawasi secara ketat jika ia
tinggal. Kawin dalam umur yang amat muda sebelum perang, dengan
latar belakang priyayi tinggi, ia men¬jalani suatu kehidupan yang sangat
terjaga:
Waktu tigungst itu, pew dart Pekalongan, saya hawa ponakan dua,
perempuan-perempuan.. Terus ke Batang dulu. Terus kok ada Belanda.
Tents saya itu takut, saya ndelik [sembunyi] dibawa kolong tempat tidur
[sambil tertawa]. Belanda masuk rumah, tapi itu yang punya rumah
kebetulan masih saudaranya anu, ayahnya Pak Wadyono begitu, orang
Katolik, yang punya rumah orang Katolik, jadi [Belanda] ndak begitu
27
ganas gitu, baik. [Kemudian] saya jalan dari Batang terus ke Talun,
sama ponakan perempuan dua, pembantu satu. Di tengah jalan itu saya
denger ada rank. Ada tank. Saya itu ndelik, ngumpet, masuk di kebon,
terus ndelik di grumbulan itu lho. Di jalan itu terus ada perampok
[tertawa]. Perampok kecil-kecilan. Saya ndak bawa barang apa-apa,
dirampok. Saya hanya nggendong pakaian ini aja kok. Ponakan saya itu
sampai takut, sampai kencing-kencing, tapi saya ndak papa. Itu sampai
ndak pakai sandal, sampai sakit kaki rasanya itu. Ya kalau malam kan
berhenti, jalannya siting, sore kan sudah berhenti. Jalan terus sampai
Petunggriyono, Dieng terus ke Wonosobo. Pakaiannya kain kebaya,
dulu belum rok. Biasa saja, dulu itu masih muda ya, jadi ndak begitu
seperti sekarang, sekarang sedikit dingin, dulu kan ndak. Masih di
gunung ya paling bawa selimut. Pakaian yang dibawa hanya beberapa
potong.28
Bagi wanita yang biasanya tinggal di rumah, pengalaman
mengungsi, meninggalkan rumah sendiri dan tinggal di desa, adalah
pengalaman yang seluruhnya baru. Ibu Soepeno yang baru-baru ini
dianugerahi gelar kehormatan, janda pahlawan, (karena suaminya,
Menteri Pemuda dan Pembangunan dalam kabinet kedua Perdana
Menteri Amir Sjarifuddin, dihukum mati Belanda di Jawa Timur tahun
1949) terpaksa meninggalkan kota aslinya Banjarnegara ketika Belanda
tiba, dan ia ikut dengan gerakan gerilya Republik di daerah pegunungan
yang tidak jauh dari sana.
Di dalam pengungsian, pertama tugas saya disana itu kalau ada
serangan ya. Banjarnegara itu terkenal serangannya itu canonade.
Punggung gunung itu kan kalau sudah denger dong dong, rakyat terus
panik. Rakyat panic terutama wanita wanita. Jadi saya sudah dikursus
oleh mereka, "Bu, kalau suaranya begini itu mereka [musuh} masih
sejauh ini" gitu lho. Jadi kalau ada canon dong dong suaranya dari mana
kita harus dengarkan dulu. Kadang kadang [suara canon] dari arah sana,
malah orang orang lad kesana, itu ya...karena mcreka panik. Kalau
orang mangatakan seperti gabah diinteri, itu kan mubeng [kelilingl aja.
Dan saya membantu semacam ya dapur umum gitu, jadi saya kalau pagi
ikut dengan rakyat di situ mencari daun daun apa yang bisa kita masak
28
disitu. Namanya sana "ngalas" gitu lho. "Kowe arep neng endi
bu?","Neng alas" gitu. Neng alas itu mencari itu, mencari daun daun
yang bisa dimasak.29
Sebagaimana telah disebutkan di atas, berbeda dengan para penulis
kisah Angkatan '45, umumnya wanita yang ketika itu telah kawin tidak
dapat ikut serta dalam gerakan revolusi. Namun, tinggal di belakang di
daerah yang dikuasai Belanda, ridak berarti bahwa orang itu telah
menjadi pro-Belanda. Terdapat pula pertimbangan lain. Suami Bu
Karmo menjadi Bupati Kendal, yang terletak di sebelah barat Semarang,
pada tahun 1945, dan memindahkan pemerintahannya ke Wonosobo
pada permulaan tahun 1946, ketika Netherlands Indies Civil
Administration (NICA) telah menguasai ibukota provinsi Semarang,
termasuk keresidenan Kendal:
Memang karena kami ikut suami dan ada di didalem daerah NICA,
saya merasa menjadi penonton dalam proses revolusi. Saya hanya
merasa penonton dalam proses revolusi, karena tak dengar letusan
peluru, dan tak mengalami kesukaran mengungsi. Tetapi, jika
umpamanya, saya ikur malah menjadi beban suami, ia tak bisa khusus
mencurahkan perhatian pada perjuangan, ya to. Itu yang meringankan
bebanku tak ikur merasakan lari mengungsi waktu musuh mengepung
daerah kami.
Tersirat dalam pemyataan Ibu Karmo itu adalah keinginannya
untuk ikut serta dalam perjuangan, dan mengungsi bersama dengan
suami. Namun, ia tidak melakukannya, karena ia hanya akan menjadi
beban saja bagi suaminya itu. Jenis pengorbanan seperti ini, balk dahulu
maupun sekarang, masih tetap diharapkan dari wanita. Apakah ia akan
ikur mengungsi apabila ia belum kawin? Atau kalau sekiranya ia tidak
kawin dengan seorang pejabat kunci Republik (Bupati Kendal)? Kita
tidak dapat mengetahui jawaban pertanyaan itu, akan tetapi mungkin
sekali ia akan melakukannya.
Mengungsi juga merupakan beban yang berat bagi penduduk
setempat. lbu Fatimah berjalan kaki meninggalkan Yogyakarta menuju
Solo pada permulaan tahun 1949 (setelah aksi milker Belanda kedua),
29
dalam suatu rombongan yang, sebagaimana diingat-nya pada tahun
1993, terdiri dari kira-kira 100 orang:
[Saya bawa] satu tas penuh untuk pergi ke Solo itu. Pakaian, saya
ngendong pakaian sampai penuh, sampai berat. Karena rumahnya
ditinggal pada....ayam dilepas, burung, dibuka aja kurungan, terns
berangkat, hari Senen waktu itu....Sampai dua minggu sampai sana,
rame-rame jalan kaki...Jembatan sudah diputusin, dua kali nyebrang
kali, ke Klaten, ke itu, ke Kartasura. Tapi inggak sendirian saya, dan
ngak bisa apatuh namanya, nggak bisa nyebrang, ditenteng dengan
orang, istilahnya kawan, orang tentara. Saya nginep di rumah lurah., ke
rumah lurah lagi, nginep. Sore itu, waktu sore itu, saya numpang
nginep. Di sini aja tidur, ada orang seratus, kan banyak, di lantai aja,
tanpa bantal, tanpa apa. Kalau lagi hujan, sengsara. Ini bawa pakaian
bakal kerudungan, itu sengsaranya waktu lulu. Di Solo dikira [tidak] ada
Belanda. Udah, ya belum ngerti kalau belum pergi.30
Banyak wanita dan anak-anak yang mengalami penderitaan seperti
ini di seluruh pulau Jawa, kebanyakannya secara berkelompok
meskipun ridak selamanya demikian. Ibu Wadyono (seperti telah kita
lihat) mengalaminya seorang diri saja. Pengalaman Titiek Mulyowati
Soetomo, yang melakukan perjalanan sendirian bersama dengan ibunya
melintasi pegunungan di Jawa Timur, merupakan bagian terbesar dari
kisahnya 'Pelarian'.
Jika kondisi perjalanan mengungsi itu adalah demikian sukarnya,
apakah ada gunanya hal itu dilakukan? Beberapa orang wanita yang
mempunyai hubungan rapat dengan keluarga Republik yang terkenal,
terutama dari kalangan milker, yaitu bibi Bu Fatimah, telah
meninggalkannya bekerja di rumah seorang Leman tentara Republik,
dan tidak mempunyai pilihan selain pergi dengannya ke Solo. Wanita
lain yang ada hubungan Katoliknya ridak perlu merasa terancam oleh
Belanda, karena tampaknya mereka memperlakukan orang Katolik
(mungkin juga orang Protesran) dengan cara yang berbeda (lihat kisah
Bu Wadyono di atas). Ibu mertua Ibu Raminem, yang tinggal di desa
Borobudur, telah menjadi Katolik sernenjak rahun 1930-an setelah ia
30
yakin bahwa hidupnya telah diselamatkan oleh seorang biarawati
Katolik. Menurut menantunya, hal ini telah memberikan sebentuk
kekebalan bagi keluarga itu terhadap pasukan Belanda yang ketika itu
menduduki daerah Magelang di Jawa Tengah:
P: Tapi Ibu nggak ngungsi?
I: Nggak, nggak ngungsi.
P: Sebabnya?
I: Ya, itu, inggak punya makan. Orang inggak punya sudah, biar
mati di rumah. Habis, kalau mau ngungsi, uangnya nggak punya,
makanan nggak bawa, apa yang nanti yang diungsi nggak berat, kalau
ndak bawa makanan kan, yang ditempati kan susah, ya to, yang punya
rumah, apa saben hari minta makanan orang gunung? Ya, satu hari, dua
hari, tiga hari dikasih. Ya sudah, kalau mati, ya biar mati di rumah,
sudah. Saya satu rumah itu dikatakan 'orang Federal', gitu. Ya, Federal
mau, orang Republik, ya mau, asal hidup. Carl hidup itu kan fberartil
turut sini, turut sini to, (itu namanya) orang cari hidup. Makan apa, cari
makanan, jualan dipasar apa saja.31
Percakapan ini kembali mengingatkan tentang persoalan mencari
hidup di masa revolusi. Wanita Indonesia secara tradisional mempunyai
kewajiban mencarikan makanan untuk anggota keluarga. Makanan telah
menjadi barang yang sangat sukar diperoleh selama tiga setengah tahun
pendudukan Jepang. Tentara Jepang tidak lagi merampas sampai
sepertiga dari hasil panen padi di Jawa. Belanda melakukan blokade
ekonomi terhadap Republik mulai tahun 1946. Meskipun masih terdapat
banyak hasil bumi di pasar di kota besar, namun banyak keluarga yang
terpaksa menjual semua barang yang mereka miliki untuk dapat
bertahan hidup di masa pendudukan Jepang. Di beberapa daerah ada
keluarga yang masih cukup kaya, sehingga mampu menukar susu
kerbau dengan beras dan garam, yaitu komoditi yang paling jarang
terdapat di Sumatra Barat ketika itu. Hal itu dikisahkan Darmani
Hamzah Zamardi (dalam kisahnya 'Menerobos Garis Nica') tentang
pengalaman sebuah keluarga di daerah itu. Dalam kenyataannya,
kea¬daan keluarga yang relatif lebih makmur itu telah menimbulkan
31
ke¬cemburuan dan kecurigaan dalam masyarakat.
Bagi wanita kota yang lebih miskin dan tidak berpunya, baik yang
belum kawin maupun yang terpisah dari suaminya, kesempatan terbesar
untuk memperoleh pendapatan adalah dengan menjual minuman dan
makanan kecil. Bu Fatima11 terpaksa melayani tentara Belanda dengan
jalan menyediakan kopi secara teratur. Dia sangat takut kepada mereka,
dan juga takut apabila ia tidak melakukan hal itu, maka ia akan
ditembak. Serdadu itu tidak pernah membayar, dan ia tidak pernah
menagih uang. la juga menjual makanan singkong di Malioboro, yang
merupakan jalan utama di Yogyakarta, yang ketika itu merupakan
ibukota Republik.
I: Lha saya pengalaman minta kopi, minta dibikinin kopi. Saya
takut ditembak mati, di Yogya waktu itu belum berangkat [ngungsi] ke
Solo. Ada waktu geger (clash kedual ada sebulan lantas mengungsi ke
Solo selamanya sebulan. Belanda sering, sering datang sore ke rumah
itu, ke rumah yang tinggal itu dulu, namanya kampung Panembahan,
enam orang, suka suka lima, bikinin kopi. Kalau udah bikinin kopi,
udah minum, udah berhenti, "terima kasih", sa-laman, pergi. Saya takut
e, nek nggak dikasih, nanti takut ditembak, udah aja kasih, pergi kok.
I: Nggak bayar mereka?
P: Nggak minta. Kemudian kita jualan, saya beli singkong lima
kilo, lalu dalame taruhi gula sama kelapa, digonjang¬ganjing terus
masuki dalem digoreng, dijual. Itu Belandane pada beli, seratus, seratus
satu, Di Malioboro. Bener, itu kita nggak bohong.3233
Perjumpaan dalam bentuk yang berbeda dengan Belanda dialami
oleh Suhartini Harsono dalam kisah Angkatan '45-nya yang berjudul
Rod, Keju dan Singkong Goreng'. Karena ia dapat berbahasa Belanda
dengan fasih, maka ia dapat berteman dengan seorang serdadu Belanda
yang masih muda, sambil memperkuat keragu-raguannya tentang
keadilan tindakan negaranya di Indonesia. Namun, ia tidak sampai
mengundangnya masuk ke rumahnya, suatu hal yang disukainya sebagai
teman, akan tetapi amat tidak dapat diterima secara politik.
32
Masalah Mata Uang
Pada masa pendudukannya, Jepang mengganti mata uang Belanda
sebelum perang dengan uang mereka sendiri, uang kertas pendudukan
yang khusus dicetak, tetapi cepat sekali kehilangan nilainya. Setelah
Agustus 1945, karena takut bahwa kedudukan mata uang mereka akan
rusak oleh kekacauan ekonomi, maka baik Republik maupun Belanda,
terus mempergunakan uang kertas Jepang itu. Akhirnya pada Maret
1946, Belanda memperkenalkan mata uang mereka sendiri, sedangkan
pihak Republik mengundurkan mengeluarkan mata uang sendiri sampai
Oktober. Mata uang Belanda, yang umumnya dikenal sebagai 'uang
NICK (yaitu Netherlands Indies Civil Administration, nama resmi
pemerintahan kolonial pada bulan-bulan revolusi) segera beredar di
daerah yang dikuasai Belanda, sedangkan ORI (Oeang Republik
Indonesia) dipergunakan di daerah Republik. Untuk berbelanja ke pasar
setiap hari, para wanita harus membawa kedua macam mata uang itu,
untuk menghadapi kenyataan kalau-kalau pedagang lehih suka mata
uang yang satu dan tidak suka mata uang yang lain. 3333 Belanda
membiarkan kedua jenis uang kertas itu beredar di daerah yang mereka
duduki, sedangkan kelompok sipil dan militer Republik tidak begitu
membiarkan kenyataan itu. Para pedagang wanita yang beroperasi
melintasi garis gencatan senjata seringkali dicurigai bekerjasama
dengan musuh atau mengambil keuntungan, apabila mereka kedapatan
membawa mata uang Belanda.
Ibu Raminem dilahirkan di Sumatra, namun ketika ia berumur
sembilan tahun pada masa Depresi, orang ruanya yang bekerja sebagai
buruh perkebunan, kembali pulang ke desa asal mereka. di Borobudur,
bersama dengan enam orang saudara Iaki-lakinya. Mereka masuk
sekolah desa di sana. Raminem sendiri tidak dikirim ke sekolah, karena
ia seorang wanita. Sebaliknya, ia bekerja sebagai seorang pembantu
dengan gaji 9 rupiah sebulan di Hotel Borobudur yang berkamar 16 itu.
Hotel itu adalah sebuah hotel pariwisata yang kecil, milik seorang
Belanda, bagi para pengunjung yang ingin bermalam di Borobudur.
33
Bapaknya juga bekerja di sana sebagai tukang kebun. 3434 Bu Raminem
masih memiliki kenangan yang kuat tentang tentang bagaimana
sukarnya hidup pada masa pendudukan Jepang. Setiap hari orang makan
singkong yang dikeringkan. Para pengemis mati di pinggir jalan karena
kelaparan. Adik laki-lakinya dikirim ke Sumatra untuk menjadi
romusha, atau pekerja paksa. Jepang membuka sebuah pabrik
pemintalan benang kecil yang mempekerjakan gadis-gadis setempat.
Karena perang telah menyebabkan impor ke Jawa menjadi hampir
mustahil, maka kain amat sukar diperoleh. Banyak gadis yang memakai
karung goni sebagai kain sarungnya. Bu Raminem menolak memakai
karung goni itu, namun sarungnya telah penuh tambalan pada akhir
masa Pendudukan.
Ketika revolusi akan berakhir, Bu Raminem sexing berjualan gula
aren dan telur di pasar kola Magelang yang tidak jauh letaknya, yang
diduduki Belanda pada akhir tahun 1948:35
I: Pagi pukul anew ya, kesana....sampai [Magelang) pukul delapan.
Masih mudah kok, Kalau udah tua [jalan kaki) ya empat jam. Termasuk
menyeberang sungai itu.
P: Nggak ada kendaraan?
I: Ha, zaman perang kok ada kendaran apa. Naik tank, yang ada
motor tank, Jalan sini Magelang, Salaman, yang ada motor tank...[ke
Magelang bawa) gula jawa sama ayam, kalau bawa telor ayam, telur
ayam, di jalanan, kalau sama tentara Republik ya nggak boleh.
P: Kenapa?
I: Itu kan mau dijual sama Belanda. Kan nggak boleh masuk di
Magelang. Ndak boleh, diminta telornya [oleh tentaral...Nggak dibayar!
Diminta saja.
P: Terus Ibu nggak merasa berdosa menjual telor pada Belanda?
I: Enggak, kok dosa! Orang jualan kok berdosa! (sambil tertawa).
P: Kok jual telor sama penjajah?
34
35
I: Ha iya, habis cari makan kok. Orang cari makan itu sama
Belanda ya nggak papa to. Belandanya ya mau makan, orang kampung
ya mau makan!3636
Pada tahun terakhir revolusi, tentara Belanda secara resmi masih
menguasai seluruh pulau Jawa, namun dalam kenyataannya pulau itu
terbelah-belah secara politik dan militer, karena beberapa daerah masih
dikuasai Belanda, sedangkan yang daerah lain masih berada di tangan
Republik, dan banyak pula daerah yang diperebutkan oleh kedua
angkatan bersenjata yang saling bersaing itu.
Ibu Raminem biasanya menukarkan mata uang Belandanya di
Magelang setiap hari sebelum kembali ke Borobudur, karena ia harus
menggunakan mata uang ORI di Borobudur untuk membeli gula aren.
Apabila tentara Republik mendapati orang membawa uang yang ketika
itu dinamakan 'uang Federal',3737 maka akibatnya adalah serius.3838 Di
Magelang kedua mata uang itu dapat beredar, meski ada juga pedagang
yang tidak menyukai uang Federal, karena uang 'Belanda'. Pada suatu
hari yang buruk sekali, mata uang Belanda itu kehilangan nilainya
dalam beberapa jam saja, dan pasar di Magelang menjadi kacau-balau:
Lantas apa tu, uang mau habis ya. Uang mau nggak ada, itu
pukul berapa ya, pukul pagi, nanti pukul sepuluh sampai dua helas,
abis, uang Federal ndak laku. Orang kan, orang kaget toh. Ada yang
mati, ada yang kagetnya punya uang banyak kok terus ndak laku...Kalau
uang Belanda lulu itu kok bagus ya [sambil lihat foto berwarna dari
uang Belanda) Apa tu, halus, kalau disimpen itu nggak bisa cepat rusak.
Kalau yang kerta situ, apa namanya limam kertas kan alus.39 39
Ibu Raminem tidak merasa menyesal sama sekali karena telah
berdagang dengan Belanda, karena bagaimanapun ia harus hidup. la
tidak meninggalkan rumahnya ketika Belanda menduduki Borobudur,
karena ia tidak mempunyai cara untuk mencari penghasilan, dan tidak
ingin menjadi beban bagi orang desa tempat ia tinggal, apabila ia harus
36
37
38
39
meninggalkan daerah yang diduduki Belanda dan mengungsi ke daerah
di sebelahnya yang dikuasai Republik.
Bahkan sebagai seorang wanita yang belum kawin, Bu Raminem
telah sibuk mencari penghasilan. Ia merasa tidak mempunyai keamanan
ekonomi, dan akan menjadi beban bagi orang lain, apabila ia pindah ke
daerah yang dikuasai Republik di pegunungan. Ia merasa bahwa
gagasan seorang wanita yang ikut serta dengan gerakan bambu runcing
adalah tidak pantas dan tidak mungkin ia lakukan.
42
Peranan Wanita dalam Revolusi Indonesia:
Sebuah Renungan Sejarah
1. Sebuah kisah standar tentang revolusi nasional Indonesia adalah
buku Anthony J.S. Reid, The Indonesian National Revolution 1945-
1950, Melbourne, Longman,
1974. Suatu pembicaraan yang lebih pendek, yang memperharikan
penelitian yang lebih baru, rerdapat dalam buku Robert Cribb dan Colin
Brown, Modern Indonesia: A History since 1945, London, Longman,
1995.
2. Anthony Reid, Southeast Asia in an Age of Commerce 1450-
1680. Volume I: The Lands below the Winds, New Haven, Yale
University Press, 1988, h. 146.
3. Lihat Jean Gelman Taylor (ed.) Women Creating Indonesia: The
First Fifty Years (segera terbit) dan Cohn Brown, 'Sukarno and the Role
of Women in the
Indonesian National Movement', RIMA (Review of Malaysian and
Indonesian Affairs), vol. 15, no. 1, 1988.
4. Christine Dobbin, 'The Search of Women in Indonesia History',
dalam buku Ailsa Thomson Zain'ddin et al. Kartini Centenary:
Indonesia Women Then and Now, Clayton, Vic., Monash University,
Centre of Southeast Asia Studies, 1979.
5. Esainya 'Official photography, costume and the Indonesian
Revolution' termasuk dalam buku Jean Taylor (ed.), Women Creating
Indonesia (akan terbit).
6. Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi,
Jakarta, Pustaka
Utama Grafiti, 1989, dan versi berbahasa Inggris yang telah
diperbaiki One
Soul One Struggle: Region and Revolution in Indonesia (Sydney,
Allen & Unwin,
1991); Robert Cribb, Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949:
Pergulatan antara Otonomi dan Hegemoni, Jakarta, Pustaka Utama
Grafiti, 1990, dan versi
berbahasa Inggris yang telah diperbaiki, Gangsters and
Revolutionaries: the Jakarta People's Militia and the Indonesian
Revolution 1945-1949, Sydney, Allen & Unwin, 1991
7. Keempat judul ini diterbitkan di Jakarta oleh Aries Lima untuk
Dewan Harian
Nasional perkumpulan veteran Angkatan '45 dalam Seri
Pengalaman dan Pandangan tentang Perjuangan '45.
8. Wawancara ini diadakan Anton Lucas untuk sebuah makalah
'Melanjutkan penelitian tentang wanita dalam sejarah Indonesia:
pengalaman wanita di masa
pendudukan dan revolusi 1942-1950' yang dikemukakan dalam
Konferensi Wanita Asia keempat, Melbourne University, 1-3 Oktober
1993.
9. Lihat catatan di atas.
10. Kisah ini termasuk dalam sebuah koleksi yang diedit
oleh Robert Cribb dan
Anton Lucas, yang berjudul Bread Cheese and Boiled Cassava:
Women in the National Revolution 1945-1949 (akan terbit).
11. Sebagian perubahan dalam hubungan antara para aktivis
muda yang
berpendidikan Belanda itu telah diungkapkan oleh Mang En
Sudewo, My Life with Eri-san a Freedom Fighter, Surabaya, Airlangga
University Press, 1994.
12. Isaiah pemuda pertama-tama menjadi terkenal dalam
analisis revolusi Banedict K. O'G Anderson datum bukunya, Java in a
"lime of Revolution: Occupation and
Resistance 19./4- /946 (Ithaca N.Y, Cornell University Press,
1972). "Pemuda"
pada mulanya mencakup baik pria maupun wanita. Namun, ketika
bahasa
Indonesia berkembang, istilah itu semakin banyak dilihat hanya
untuk pria
saja, dan timbullah sebuah kata baru yaitu "pemudi" sebagai bentuk
wanitanya,
sehingga menyembunyikan asal kata itu yang merupakan kata sifat,
yaitu
"muda".
li. Sebuah sumber Indonesia yang berguna yang memuat daftar
aktivitas dari
berbagai organisasi wanita yang menjadi anggota clan empat
kongres wanita
(KOWANI, Kongres Wanita Indonesia) ketika revolusi, (dengan
sebuah
kumpulan tulisan pendek tentang pengalaman wanita ketika
Proklamasi
Kemerdekaan) adalah Buku Peringatan 30 Tabun Kesatuan
Pergerakan Wanita
Indonesia 22 Desember 1928-22 Desember 1958 (Jakarta np. 1959
Up, h. 36-44,
207-230. Organisasi wanita yang disebutkan dan didiskusikan
dalam sejarah
Indonesia terbaru tentang peranan wanita dalam revolusi itu adalah
Laskar
Wanita Indonesia (Laswi), Laskar Purer' Indonesia Solo, Barisan
Puteri Indone
sia, Barisan Putri Garut, Pemuda Putri Republik Indonesia (PPM)
dan Wanita
Pembanru Perjuangan (WAPP), akan tetapi ini hanyalah daftar
sebagian saja.
Lihat Dra. Irna H.N. Hadi Soewito, Lahirnya Kelasykaran Wanita
dan Wirawati
Catur Panca, Jakarta, Yayasan Wirawati Catur Panca, 1992, h. 5
dan h. 19-78.
A.H. Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia, vol. 1
(Bandung, Angkasa
1977) menyebutkan Wanita Indonesia (WANI) dan Pemuda Putri
Indonesia (h.
309). Pramoedya Ananta Toer menyebutkan Barisan Serikandi
Cikampek
dalam kisahnya 'Balas Dendam' dalam Indonesia 26 Oktober 1975),
h. 49.
Organisasi lain mencakup Laskar Buruh Wanita (LBW), Rukun
Puteri Indone
sia (Rupindo), Pemuda Puteri Indonesia (PPI), Mobilisasi Pelajar
(Mopal),
sebagairnana juga kelompok-kelompok wanita Islam, Katolik dan
Protestan.
14. Penururan yang lebih awal tentang perkembangan tujuh tahun
pertama Palang Merah Indonesia yang berjudul Riwayat Paean& Merah
Indonesia (Jakarta, n.h.,
1953), memberikan peraturan dasar pertama, para anggota komite
dan anggota
pengurus di daerah yang dikuasai Republik ketika revolusi, akan
tetapi tidak
disebutkan (selain daripada daftar cabang) di daerah-daerah yang
pada umumnya
dikuasai Belanda.
1 15. Wawancara yang direkam dengan Ibu Rusmi, 1/12, 13 Juli
1993. Jawa deles berarti secara budaya Jawa murni, Jawa asli, tidak
berubah oleh pengaruh yang datang dari luar. Seorang putri Solo adalah
seorang wanita yang dalam cara berpikirnya, cara berpakaiannya, cara
bersopan-santunnya dan kehalusan bahasanya, masih 'murni' Jawa
Tengah, suatu jenis perilaku yang diidam
idamkan oleh banyak wanita Jawa.
Saya berterima kasih kepada Mr A. Budiharto, clan Department of
Asian
Studies and Languages di Flinders University yang telah menolong
menerjemahkan wawancara ini, yang tadinya berlangsung dalam bahasa
Jawa.
P 16. Transkrip wawancara yang direkam dengan Ibu Umi, Jakarta,
17 Juli 1993.
17. Untuk biografinya, lihat Anton Lucas, 'The Failure and Future
of Democracy: conversations with a group of former revolutionary
activists', dalam buku
David Bourchier dan John Legge (eds.), I )efmnr.arp to indrawn,
li5Or and 19900, Clayton, Vic., Monash University, Centre 01 Stall
la..i,t /Wall Studies. 1994, li 102 note 3.
18. Untuk biografinya, lihat Benedict Anderson, Java in a
Time of Revolution, 449.
19. Kisah lengkap pengalaman-pengalamannya (termasuk
berbagai interogasi dengan intelijen militer Belanda) dapat ditemukan
dalam memoar All Warsitohardjo, 'Laporan tentang tjara penangkapan
dan perampasan kemerdekaan bergerak bebas yang dilakukan oleh fihak
milrter Blanda terhadap dirt wakil ketua Badan Perwakilun Rakyat
daerah kabupaten Tegal R. Mohamad A. Wasithardjo, yang ditawan
sedjak 1.t Oktober 1947 sampai tanggal 15 Djuni 1949', Jakarta, Juni
1949 (diketik).
20. Wawancara yang direkam dengan Ibu Umi, I/5, Jakarta,
17 Juli 1993.
21. Wawancara yang direkam dengan Ibu Umi, I/8, Jakarta
17 Juli, 1993. 21. Wawancara yang direkam dengan Ibu Umi, Jakarta,
17 Juli 1993.
22. Wawancara yang direkam dengan Ibu Raminem, 1/14, 7
Juli 1993. Pada permulaan revolusi terdapat seorang kiyai yang terkenal
di daerah Parakan¬Temenggung di Jawa Tengah, kepada kiyai itu Para
pemuda membawa bambu runcing agar tidak terkalahkan berkat
kekuatan magis dan do'a-do'a kiyai itu. Tampaknya, inilah yang
dimaksud Ibu Raminem dengan agak bebas sebagai suatu aktivitas yang
tidak pantas bagi perempuan.
23. Wawancara yang direkam dengan Ibu Fatimah, 1/8,
Jakarta, 16 Juli 1993. Untuk mengetahui biografi suaminya Soewignjo,
lihat Lucas, One Soul One Struggle, h. 279-280.
24. Wawancara yang direkam dengan Ibu Rusmi, 1/3,
Semarang, 11 Juli 1993.
25. Wawancara yang direkam dengan Ibu Rusmi, 1/11,
Semarang, 11 Juli 1993. Kacu, yang secara harfiah artinya sapu tangan
dalam bahasa Jawa, juga seringkali digunakan ketika menunjuk pada
kain pembalut wanita, ketika berada di kalangan pria dan wanita.
26. Untuk mengetahui biografi Mustapha Tjokrodirdjo lihat
buku Bourchier dan Legge (eds.), Democracy in Indonesia 1950s and
1990s, h. 111, note 12.
27. Wawancara yang direkam dengan Ibu Wadyono,
Semarang, 10 Juli 1993. Untuk mengetahui biografi suaminya, lihat
Lucas, One Soul One Struggle, h. 280.
28. Wawancara dengan Ibu Soepeno, Semarang, 10 Juli
1993.
29. Wawancara direkam dengan Ibu Karmo, 11/1, Semarang,
12 Juli 1993.
30. Wawancara direkam dengan Ibu Fatimah, [/1-2, Jakarta,
16 Juli 1993.
31. Wawancara direkam dengan Ibu Raminem, 1/5,
Borobudur, 7 Juli 1995.
32. Wawancara yang direkam dengan Ibu Fatimah, 1/24, 16
Juli 1993.
33. Masalah mata uang panda masa revolusi telah
dibicarakan secara agak rind oleh Robert Cribb dalam tulisannya
"Political Dimension of Currency Question, 1945-1947", Indonesia 31
(Mei 1981), h. 113-136. Untuk sebuah sejarah ringkas tentang
perbankan Republik di masa revolusi, dengan foto-foto berwarna dari
semua uang kertas dan uang koin OR! dan NICA yang ada ketika itu,
lihat Wiratsongko dan Setyo Sudrajat (eds.), Banknotes and Coins from
Indonesia 1945-1990, Jakarta, Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1946
& Perum Peruri Jakarta, 1991, h. 2-11.