Anda di halaman 1dari 2

Kondisi Politik Indonesia pada Awal Kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 yang dilaksanakan dengan mendadak


membuat perubahan besar pada kondisi politik di Indonesia. Namun, perubahan itu tidak
berjalan mulus. Kondisi politik Indonesia pascaproklamasi diwarnai dengan krisis, perang,
serta kekacauan. Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2011), M. C. Ricklefs
menyebut kekuatan-kekuatan politik di Indonesia pada masa awal kemerdekaan juga tidak
sepenuhnya bersatu. Hal itu, tulis Ricklefs, ditandai dengan "Sistem perhubungan yang
buruk, perpecahan-perpecahan internal, lemahnya kepemimpinan pusat, dan perbedaan
kesukuan." Berikut ini gambaran umum kondisi politik Indonesia di masa awal kemerdekaan,
dinukil dari buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2011).

1. Sistem Perhubungan yang Buruk


Proklamasi kemerdekaan yang dilangsungkan dengan mendadak memang berhasil
memanfaatkan situasi kekosongan kekuasaan. Karena itu, teks proklamasi dapat
dibacakan dalam situasi damai dan tertib pada 17 Agustus 1945. Namun, di sisi lain,
mendadaknya proklamasi itu membuat informasi atas kemerdekaan Indonesia tidak
tersebar secara luas dan merata di penjuru daerah Indonesia. Minimnya sarana
persebaran informasi yang dapat menjangkau secara luas membuat kabar
kemerdekaan Indonesia tersebar di kota-kota besar Jawa saja pada 17 Agustus.
Kesenjangan informasi ini menghambat proses pembentukan pemerintahan Republik
Indonesia yang waktu itu masih lemah dan baru dibentuk.

2. Perbedaan Kesukuan
Meski Indonesia telah dinyatakan sebagai negara merdeka, tidak semua elemen
masyarakat tanah air setuju. Sebagian pihak bahkan masih bersimpati pada
Pemerintah Kolonial Belanda. Menurut Ricklefs, pada umumnya orang-orang itu
merupakan bangsawan lokal yang pada masa penjajahan Belanda mendapat
kekayaan dan kedudukan istimewa. Gerakan kemerdekaan yang menganut
semangat nasionalisme yang egaliter dipandang miring oleh kelompok bangsawan
yang kontra dengan kemerdekaan RI. Bagi mereka, kemerdekaan Indonesia berjalan
secara radikal dan dengan cara yang tidak ningrat.

3. Lemahnya Kepemimpinan Pusat


Pemerintahan Republik Indonesia tidak lahir dengan stabilitas yang instan. Gerakan
kemerdekaan Indonesia sebenarnya merupakan kumpulan dari berbagai golongan
pemikiran yang tidaak jarang saling berseberangan. Perbedaan tersebut semula
membuat pembentukan pemerintahan Republik Indonesia tak berjalan lancar. Di
tingkat pemerintah pusat (Jakarta), sistem pemerintahan pun kerap berganti.
Misalnya, dari sistem presidensial beralih ke parlementer, dan sebaliknya.
Pertentangan di tingkat pimpinan pusat dan elite gerakan kemerdekaan Indonesia
pada masa itu pun kerap terjadi. Salah satu dampak terberat adalah Peristiwa PKI
Madiun 1948 yang melibatkan eks perdana menteri RI, Amir Sjarifuddin. Di tingkat
desa, belum kuatnya kedudukan Pemerintah Republik Indonesia berdampak
terjadinya aksi-aksi sepihak yang dilakukan oleh laskar-laskar militer "ilegal." Mereka
yang terlibat sebagian merupakan eks anggota Heiho, Peta, atau para jagoan lokal.
Aksi-aksi kekerasan misalnya terjadi di Tegal, Brebes, dan Pemalang. Menurut
Anton Lucas, dalam buku Peristiwa Tiga Daerah (1989), aksi kekerasan di 3 daerah
itu melibatkan massa yang dendam pada penindasan saat penjajahan Belanda.
Informasi kemerdekaan ditanggapi dengan melakukan kekerasan dan intimidasi ke
orang Belanda dan pegawai pemerintahan yang dianggap korup. Masalahnya, aksi
di Tegal, Brebes, dan Pemalang tersebut dilakukan secara sepihak, mengabaikan
proses hukum, dan tanpa seizin pemerintah RI di Jakarta. Pemerintah Republik
Indonesia bahkan sampai harus menerjunkan pasukan militer untuk menangani aksi-
aksi kekerasan di tiga daerah tersebut.

4. Perpecahan Internal dan Kedatangan Kembali Belanda


Gerakan kemerdekaan Indonesia sejatinya terdiri dari berbagai macam aliran
ideologi yang tidak jarang saling bertentangan. Menurut Ricklefs, gerakan
kemerdekaan yang paling dominan terdiri dari tiga kekuatan politik yakni nasionalis,
komunis, dan Islam. Ketiganya tak jarang menunjukkan ketidaksepakatannya antara
satu pemikiran dengan pemikiran yang lain. Hal tersebut juga terlihat pada masa-
masa awal kemerdekaan Indonesia. Saat konsolidasi nasional masih rapuh, dan
pergolakan di internal gerakan kemerdekaan Indonesia belum tuntas, militer Belanda
datang untuk merebut kembali kekuasaan di Indonesia. Dua kali agresi militer
Belanda ke Indonesia pada 1947 dan 1948 benar-benar menambah runyam
permasalahan politik maupun keamanan. Agresi militer Belanda 2 bahkan nyaris
membikin negara Republik Indonesia bubar karena sebagian elite pemerintahan RI
ditangkap, termasuk Soekarno-Hatta. Berkat keberhasilan strategi diplomasi dan
perjuangan militer selama masa revolusi kemerdekaan, ambisi Belanda berkuasa
lagi gagal total. Dukungan internasional bahkan mengalir ke Indonesia. Akhirnya,
memasuki tahun 1950, situasi politik di Indonesia mulai beranjak stabil. Stabilitas
politik dan pemerintahan mulai terbangun, terutama setelah Republik Indonesia
Serikat resmi dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan digantikan dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

Baca selengkapnya di artikel "Kondisi Politik dan Ekonomi Indonesia pada Awal
Kemerdekaan", https://tirto.id/gvoZ

Anda mungkin juga menyukai