Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia adalah Negara dengan populasi penduduk yang terbilang sangat
banyak. Hal tersebut juga menyebabkan munculnya berbagai ragam kelompok
masyarakat dengan pola pikir tertentu. Perbedaan pola pikir yang ada bisa menjadi salah
satu faktor pendukung munculnya disintegrasi. Disintegrasi adalah keadaan tidak bersatu
padu yang menghilangnya keutuhan atau persatuan serta menyebabkan perpecahan.
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI)
merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah
pusat. Peristiwa pemberontakan ini tidak lepas dari berbagai faktor yang
menyebabkannya. Karena PRRI merupakan gerakan separatis yang mengancam integrasi
nasional, maka kami akan menelaah kasus ini pada makalah kami.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar beakang di atas, kami merumuskan masalah sebagai berikut:


1. Apa itu kasus PRRI?
2. Bagaimana penyelesaian kasus tersebut?
3. Apa dampak PRRI bagi masyarakat?
4. Mengapa PRRI termasuk gerakan separatis disintegrasi bangsa?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu kasus PRRI.
2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian kasus tersebut.
3. Untuk mengetahui apa dampak kasus tersebut bagi masyarakat.
4. Untuk mengetahui mengapa kasus tersebut dianggap sebagai gerakan separatis
disintegrasi bangsa.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Apa itu PRRI

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (biasa disingkat dengan PRRI)


merupakan salah satu gerakan pertentangan antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
(Jakarta) yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan keluarnya ultimatum dari
Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Ahmad Husein di Padang, Sumatra
Barat, Indonesia.

Terjadinya suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, seperti
yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah berlaku hukum kausalitas atau sebab-
akibat. Peristiwa pemberontakan PRRI yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai faktor yang
menyebabkannya.

Faktor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari pemberontakan ini.

1. Situasi Indonesia Secara Umum

A. Kondisi politik
Tatanan politik yang diatur oleh UUDS 1950 menuntut sikap formal-legalistik.
Bangsa indonesia memasuki periode demokrasi liberal yang berdasarkan demokrasi
parlementer. Para menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri, bukan kepada
presiden. Setelah dibentuknya kabinet Parlemen, kondisi politik Indonesia semakin
kacau. Pergantian kabinet secara terus menerus yang terjadi hampir setiap tahun.
Berbagai kebijakan silih berganti tiap periode menimbulkan keadaan yang tidak kondusif.
Pecahnya Dwi-tunggal Soekarno-Hatta memperburuk kondisi perpolitikan bangsa.
Pada 1 Desember 1956 Hatta mengundurkan diri secara resmi dari jabatanya sebagai
wakil presiden. Hubungan Soekarno-Hatta mulai retak sejak tahun 1955. Perbedaan
pendapat dan latar belakang walaupun keduanya sebagai tokh muslim yang nasionalis,
namun Soekarno cenderung ke Marxis serta bermain api dengan komunis, sedangkan
Hatta cenderung ke Sosialis dan anti komunis.
Akhir tahun 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya
terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem

2
pemerintahan menjadi sistem pemerintahan "Demokrasi Terpimpin", demokrasi yang
dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada
demokrasi secara Barat yang memecah belah berdasar keputusan"50%+1". Demokrasi
terpimpin dijalankan dengan Dasar "Kabinet Gotong Royong" yang merangkul semua
partai politik yang ada, termasuk PKI . Soekarno juga ingin menyampaikan
"konsepsi"nya mengenai fraksi politik di Indonesia. Konsepsi presiden merupakan
cerminan kekecewaan Bung Karno terhadap sistem parlementer. Mencakup dukungan
publik Soekarno supaya PKI memainkan peranan yang lebih besar dalam dunia politik
Indonesia.

B. Kondisi perekonomian.
Kegagalan ekonomi yang sedang dialami oleh pemerintah sejak awal kemerdekaan
berada pada titik kekacauan. Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini
sangat dirasakan oleh berbagai golongan. Kebijakan ekonomi Kabinet Hatta yang
akomodatif terhadap modal asing dipertahankan oleh kabinet-kabinet berikutnya, antara
lain kabinet Natsir, Sukiman, dan kabinet Wilopo. Tetapi sejak kabinet Ali I (1953-
1954), haluan politik itu sama sekali ditinggalkan. Program ekonomi kabinet seringkali
hanyalah sembohyan. Kabinet ini menganggap bahwa modal asing sangat merugikan
bagi negara. Namun disisi lain, pembangunan administratif sangat diperhatikan.
Penggalangan persatuan dilakukan dengan cara dropping pegawai dari pusat ke daerah.
Partai PNI semakin nampak diperkuat. Pada masa kabinet Ali II, membawa permasalahan
yang semakin parah. Sentralisme melalui sistem dropping pegawai mendesak putra-putra
daerah dalam mengatur urusan daerah sendiri, serta peranan mereka di pusat. Semua
administrator pemerintah mayoritas berasal dari Jawa, sedangkan yang berasal dari putera
daerah hanyalah pimpinan militernya saja. Sistem birokrasi sangat berkaitan dengan
partai politik yang sedang berkuasa. Sedangkan keinginan untuk ber-otonomi semakin
kuat di setiap daerah.

C. Permasalahan Militer di Indonesia


Di dalam tubuh suatu negara pastilah terdapat separangkat alat-alat negara. Setiap alat
mempunyai fungsi khusus dan saling terkait antara satu dengan yang lain. Salah satu alat

3
yang sangat vital peranannya dalam pemeliharaan keutuhan serta pertahanan negara
adalah tentara atau militer. Militer merupakan lembaga yang mempunyai eksklusivitas
tersendiri. Keprofesionalisme-annya perlu di hormati oleh sipil. Keberadaanya harus
diperhatikan. Militer di suatu negara baru merdeka cenderung melangkah ke arah politik.
Hal tersebut terkait dengan peranannya dalam perjuangan mereka pra-kemerdekaan suatu
bangsa. Militer selalu menjadi oposan bagi pemerintahan sipil. Jika pemerintahan sipil
dirasa tidak mampu memerintah dengan baik maka pemberontakan maupun perebutan
kekuasaan oleh militer mustahil untuk tidak terjadi. Salah satu contohnya adalah gerakan
PRRI di Indonesia. Tekanan pada tentara yang profesional memang penting, namun
dalam kondisi politik yang tidak menentu menenggelamkan potensi laten yang terbukti
ampuh pada masa perang kemerdekaan. Oleh sebab itu, berbagai problem sosial dan
ekonomi yang muncul nyaris tidak dapat teratasi. Sebenarnya gerakan PRRI hanyalah
koreksi terhadap kebijakan pemerintah pusat serta keadaan yang morat-marit demi
kepentingan bangsa secara umum.

2. Situasi di Daerah

Peristiwa pemberontakan PRRI yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor yang
menyebabkannya. Factor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari
pemberontakan ini.Sejak 1950, daerah tetap menjadi produsen ekspor, namun hasilnya lebih
dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi inilah yang menyebabkan kecenderungan "sentralistik" dalam
pandangan permesta . Hubungan antara pusat dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut
dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa
kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat menganggap
bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya.Daerah luar Jawa merasa tidak puas
dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah
dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan.

Pada akhirnya muncul upaya dari pihak militer yang mendapat dukungan dari beberapa
tokoh sipil untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan- kebijakan pemerintah.

Kegagalan pembangunan ekonomi yang di alami bangsa ini sangat dirasakan oleh
berbagai golongan. Salah satunya adalah golongan prajurit yang merasakan kesulitan tersebut.

4
Tindakan-tindakan pemerintah dalam masalah ekonomi seperti penyalahgunaan devisa,
pemberian ijin istimewa kepada anggota partai penyokongnya serta birokrasi yang berbelit-belit
menghambat para pedagang. Para pimpinan pasukan di berbagai wilayah juga dibuat kesal oleh
alokasi keuangan yang tidak terlaksana semestinya bagi operasi-operasi militer serta
kesejahteraan prajurit. Akhirnya tindakan ekspor/"barter" dilakukan tanpa disesuaikan dengan
prosedur di Jakarta. Hal tersebut dilakukan di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta
panglima pasukan dari wilayah lainnya. Keterlibatan TT I dalam peristiwa "barter" yaitu
keterlibatan mereka dalam memberikan perlindungan kepada pengusaha-pengusaha yang
melakukan ekspor–ekspor yang dianggap merugikan negara menyebabkan KASAD Nasution
memberhentikan Kolonel Simbolon untuk sementara . Selain itu, beberapa perwira tinggi militer
Sumatera terlibat dalam peristiwa Cikini dan merencanakan pemberontakan diberhentikan
dengan tidak hormat.

Di Sulawesi, situasi yang mendorong lahirnya Permesta yaitu masalah otonom intern di
Indonesia Timur dan di pengaruhi oleh pembentukan dewan-dewan di Sumatera.

Gerakan PRRI

Sebelum lahirnya PRRI, telah terjadi diskursus antara pusat dengan daerah. Pada Bulan
November 1956, berkumpul di Padang sekitar 600 pejuang eks-divisi Banteng. Dari pertemuan
tersebut mereka membicarakan tentang tuntutan perbaikan dalam tentara AD dan pemimpin
negara. Pertemuan tersebut menyebabkan terbentuknya dewan-dewan di Sumatera dan Sulawesi.
Pada awalnya, dewan-dewan tersebut dibentuk dalam rangka mengatasi situasi perpolitikan
Indonesia yang semakin mengarah pada perpecahan. Selain itu, pembentukan dewan-dewan
tersebut juga ditujukan untuk mengimbangi parlemen dalam rangka memajukan pembangunan
daerah yang masih tertinggal sehingga lebih terarah. Dewan-dewan yang di bentuk antara lain :

1. Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol Simbolon di sumatera Utara.

2. Dewan Banteng di sumatera tengah dipimpin oleh Ahmad Husein

3. Dewan garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh dhlan Djambek.

4. Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual.

5
Dewan-dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah,
terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Namun dengan adanya berbagai sebab
seperti yang telah di uraikan di atas, maka dalam perkembangannya bersifat agresif dan
bertindak mencari kesalahan pusat. Hal tersebut terkait pula dengan pemberhentian Kol.
Simbolon. Pemecatan tersebut terkait dengan keterlibatannya dalam peristiwa penyelundupan di
Teluk Nibung.

Melalui dewan gajah tersebut, Kol. Simbolon menentang pemerintah pusat yaitu dengan
pernyataan :

1. Melepaskan hubungan sementara dengan pemerintah pusat

2. Mulai tanggal 22 desember 1956 tidak lagi mengakui kabinet Djuanda.

3. Mulai tanggal 22 desember 1956 mengambil alih pemerintahan di wilayah Tertera dan
Tetorium I.

Melalui pengumuman tersebut maka resmilah bahwa PRRI berjalan di Sumatera Utara.
Pada tanggal 24 Desember 1956 mengeluarkan keputusan melalui Keputusan Presiden
No.200/1956 yang menyatakan bahwa karesidenan Sumatera Timur dan Tapanuli, serta semua
perairan yang mengelilingnya dinyatakan dalam darurat perang (SOB).

Kericuhan juga terjadi di Sulawesi. Pada akhir Februari 1957, Panglima TT-VII Letkol
Ventje Sumual mengadakan "pertemuan pendapat dan ide" dengan para Staffnya. Pertemuan
tersebut melahirkan konsepsi yang isinya antara lain disebutkan bahwa penyelesaian keamanan
harus segera dilaksanakan agar pembangunan semesta segera dapat dimulai.

Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pertemuan di kantor Gubernur Makasar yang


dihadiri oleh tokoh militer dan sipil pada tanggal 2 Maret 1957. Pertemuan tersebut melahirkan
Piagam Perjuangan Semesta [Permesta] yang ditandatangani oleh 51 tokoh masyarakat Indonesia
Timur. Wilayah gerakan tersebut meliputi kepulauan Nusa Tenggara dan Maluku.untuk
melancarkan program kerja Permesta, maka Kol. Ventje Sumual menyatakan bahwa daerah
Indonesia Timuur dalam keadaan bahaya [SOB=Staat Van Oorlog en Bleg]. Seluruh
pemerintahan daerah diambil alih oleh militer untuk menjaga ketenteraman rakyat dan demi
terlaksananya cita-cita Piagam Perjuangan Permesta.

6
Di antara dewan-dewan di daerah terdapat kerjasama dan saling berhubungan. Para
pemimpin pemberontakan di Sumatra mengadakan pertemuan di Sungai Dareh sekitar 109 kilo
meter arah Timur, Padang, pada tanggal 9-10 Januari 1958. Dalam pertemuan tersebut, telah
dilakukan pertemuan yang dihadiri Letkol Ahmad Hussein, Kolonel Simbolon, Letkol Ventje
Sumual, Letkol Barlian, Kolonel Zulkifli Lubis, Sumitro Djojohadikusumo, Syafruddin Prawira
Negara, Mohammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.

Dikutip pada buku yang ditulis Syamdani pada tahun 2009, Syafruddin memimpin PDRI
untuk menyelamatkan negara, namun kemudian terlibat PRRI yang dituding sebagai
pengkhianatan.

Kemudian pertemuan itu mengamanatkan forum perwira pembangkang ini untuk aktif
mencari senjata di luar negeri dan untuk mematangkan rencana pemberontakan, serta
membicarakan soal rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat dan pembentukan
negara secara terpisah dari RI jika ultimatum tersebut tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam. Isi
Ultimatum tersebut antara lain: di bidang pemerintahan dituntut agar pemerintah memberikan
Otonomi yang luas kepada daerah. Pada bidang pembangunan menuntut agar pemerintah
melakukan perbaikan radikal di segala bidang, sedangkan di bidang militer, dewan Banteng
menuntut supaya dibentuk komandan utama di Sumatera Utara.

Pemerintah menolak dengan tegas ultimatum tersebut, bahkan para perwira yang terlibat
didalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Kemudian di Sumatra, kolonel Simbolon
membacakan proklamasi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 15
Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Safrudin Prawiranegara diangkat
sebagai Perdana Menteri.

Di Sulawesi, proklamasi PRRI disambut oleh kaum separatis Permesta. Kol Somba,
Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah mengumumkan bahwa sejak 17
Februari 1958, mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Permesta menjadi
praktis sayap timur PRRI. Pusat pemberontakan ini berada di Makassar yang pada waktu itu
merupakan ibu kota Sulawesi. Setahun kemudian, pada 1958 markas besar Permesta dipindahkan
ke Manado. Disini timbul kontak senjata dengan pasukan pemerintah pusat sampai mencapai
gencatan senjata. Masyarakat di daerah Manado waktu itu tidak puas dengan keadaan ekonomi

7
mereka. Pada waktu itu masyarakat Manado juga mengetahui bahwa mereka juga berhak atas
hak menentukan diri sendiri (self determination).

Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya
mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan
pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mengadakan hubungan
dengan para pemberontak Permesta di Filiphina, dan menemui pejabat CIA untuk mendapatkan
bantuan persenjataan. Pemimpin Permesta di Taiwan meminta bantuan kepada pemerintah
setempat untuk mendukung permesta, sehingga mendapat dukungan dari dinas rahasia Taiwan.
Para presiden dari Korea Selatan dan Filiphina juga memberikan bantuan kepada kaum
pemberontak.

2.2 Penyelesaian Kasus

1. Upaya Diplomatis Melihat realita yang terjadi

Pemerintah Pusat melakukan berbagai cara untuk menyelesaikannya. Langkah pertama


yang dilakukan oleh Kasad Nasution terhadap timbulnya awal gejolak pada bulan Desember
1956 adalah dengan mengeluarkan surat perintah tanggal 2 januari 1957 untuk Kolonel Gatot
Subroto, Kol. Ahmad Yani, Letkol. Sjoeib, Mayor Alwin Nurdin, Ayor Sahala Hutabarat, dan
Mayor Ali Hasan untuk menemui kolo. Simbolon dan para komandan resimennya untuk
mengusahakan agar tidak terjadi bentrok secara fisik. Namun usaha ini tidak berhasil karena
cenderung kontroversif dengan keadaan. Mayjen Nasution telah melakukan pendekatan
terselubung terhadap bawahan Simbolon sendiri, yaitu Letkol. Djamin Ginting dan Letkol
Wahab Makmur untuk mengambil kedudukan panglima. Usaha Pemerintah Pusat untuk
memenuhi tuntutan daerah yaitu dengan mengirim sejumlah misi, seperti misi Kol. Dahlan
Djambel, menteri pertanian Eny Karim, Dr.J Leimena/ Sanusi, Prof. Zairin Zein/ Nazir
Pamuntjak, dan Kol. Mokoginta Cs. Misi-misi tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah
di Sumatera Tengah. Misi tersebut kemudian disusul dengan pembentukan Panitia Tujuh dan
penyelenggaraan Munas serta Musyawarah pembangunan. Namun semua usaha diplomatis yang
dilakukan Pemerintah Pusat tidak berhasil.

8
2. Tindakan dari RI terhadap PRRI dan Permesta

Secara bersenjata penolakan terhadap ultimatum PRRI oleh Pusat diikuti dengan
pemboman terhadap Padang dan daerah kantong pemberontakan lainnya. Kemudian
pemberontakan terang-terangan terjadi di Sumatera dan diikuti oleh Permesta di Sulawesi.
Setelah melihat situasi tersebut, pemerintah Pusat melakukan upaya lebih lanjut dengan operasi
militer. Operasi tersebut antara lain :

Operasi yang dilaksanakan di Sumatera :

a. Operasi tegas dilaksanakan pada 12 Maret 1958 di Sumatra Timur.


b. 16 April 1958, pengiriman pasukan dalam "Operasi 17 Agustus" di bawah Kolonel
Achmad Yani, yang dibantu oleh seorang perwira Angkatan Darat AS, Benson. Tanggal 17
April, pasukan Yani telah menguasai Padang sepenuhnya.
c. Operasi Sapta Marga dibawah Brigadir Jenderal Jatikusuma dengan sasaran Sumatera
Timur dan Sumatera Utara.
d. Operasi Sadar dibawah pimpinan Letkol. Ibnu Sutowo dengan daerah sasaran Sumatera
Selatan.

Pemecatan terhadap para pemimpin pemberontakan dari jajaran militer Indonesia, dan
dilaksanakan Operasi Marga pada bulan April untuk menumpas Permesta.
a. Operasi Sapta Marga I dibawah pimpinan Letkol. Soemarsono dengan sasaran
Sulawesi Tengah
b. Operasi Sapta Marga II dibawah pimpinan Letkol. Agus Pramono dengan sasaran
Sulawesi Utara bagian Selatan
c. Operasi Sapta Marga III dibawah pimpinan Letkol. Magenda dengan sasaran sebelah
Utara Menado.
d. Operasi Sapta Marga IV dibawah pimpinan Letkol. Rukminto Hendraningrat dengan
sasaran Sulawesi Utara
e. Operasi Sapta Marga V dibawah pimpinan Pieters dengan sasaran Jailolo.
f. Operasi Sapta Marga VI dibawah pimpinan Letkol. KKO. H.H W. Huhnhloz dengan
sasaran Murotai

9
Akhir Pemberontakan
Pemberontakan di Sumatra dapat dengan mudah ditumpas oleh pemerintah.
Mereka tidak melakukan perlawanan yang berarti. Pasukan banyak yang melarikan diri,
bersebunyi dan menyerah. Para tentara kebanyakan dari para pelajar dan mahasiswa yang
belum berpengalaman dalam perang. Tawaran Soekarno dan Nasution tentang pemberian
amnesti, abolisi dan rehabilitasi diterima oleh mereka.

2.3. Dampak yang Ditimbulkan oleh Gerakan PRRI

Terjadinya PRRI membawa luka luar dalam bagi masyarakat di dalamnya. Di Minang,
korban yang jatuh dari pihak PRRI kurang lebih berjumlah 22.174 jiwa, 4.360 luka-luka, 8.072
ditahan. Dari pihak APRI pusat jumlah yang meninggal adalah 10.150 jiwa, terdiri dari 2.499
tentara, 956 anggota OPR, 274 Polisi, dan 5.592 orang sipil . Pembangunan fisik yang selama ini
dibangun menjadi hancur. Masyarakat Minang menjadi rendah diri, muno, lalu cigin ke rantau.

Perubahan kebijakan oleh Pemerintah Pusat terhadap daerah. Dekrit presiden 5 juli 1959
yang menetapkan kembalinya pemerintahan sesuai dengan UUD 1945. Dengan berhasil
ditumpasnya PRRI maka PKI justru berkembang sebagai kekuatan yang semakin kuat di tubuh
TNI AD dan semakin berpengaruh terhadap Soekarno dalam kaitannya dengan perpolitikan
Indonesia yaitu diakuinya Nasakom [nasionalisme, sosialisme, dan agama.

Dampak selanjutnya adalah menimbulkan kesadaran di kalangan pimpinan negara bahwa


wilayah NKRI terdiri dari kepulauan yang luas dan beraneka ragam masalah di setiap daerah.
Sembohya Binneka tunggal Ika harus dihayati makna dan hakekatnya. Hak otonomi yang luas
memang perlu diberika kepada setiap daerah agar setia ebijakan sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingan masing-masing daerah.

Peristiwa gerakan separatis tersebut menyebabkan jatuhnya kabinet Ali II pada tanggal 14
Maret 1957 yang ditandai dengan penyerahan mandat dari Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo
kepada Presiden. Kabinet tersebut digantikan oleh kabinet Djuanda yang secara resmi di bentuk
pada tanggal 9 April 1957.

10
2.4. PRRI Sebagai Gerakan yang Menyebabkan Disintegrasi Bangsa

Indonesia sebagai negara kesatuan pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan
akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan, hal tersebut
merupakan faktor yang berpengaruh terhadap potensi timbulnya konflik sosial.

Kondisi seperti ini dapat terlihat dengan meningkatnya konflik yang bernuasa SARA, serta
munculya gerakan-gerakan pemberontakan atau bahkan sampai pada taraf ingin memisahkan diri
dari NKRI akibat dari ketidak puasan dan perbedaan kepentingan, apabila kondisi ini tidak
dimanage dengan baik akhirnya akan berdampak pada disintegrasi bangsa.

Bila dicermati adanya pemberontakan PRRI sebenarnya berasal dari idealisme untuk
membelot pada penguasa akibat dari ketidak puasan yang mendasar dari perlakuan pemerintah
terhadap wilayah atau kelompok minoritas seperti masalah otonomi daerah, keadilan sosial,
keseimbangan pembangunan, pemerataan dan hal-hal yang sejenis.

Pemerintah pusat pun menganggap jika ini sebagai aksi membahayakan karena misi PRRI
adalah membentuk semacam pemerintahan tandingan. Belum lagi mereka didukung oleh banyak
pihak pula. Hal ini mengkhawatirkan pemerintah dapat memecahbelah bangsa. Akhirnya TNI
dikerahkan untuk memberantas gerakan ini dan Indonesia sekali lagi aman dari pergolakan.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terjadinya suatu peristiwa tidak lepas dari hal-hal yang telah terjadi sebelumnya, seperti
yang telah diketahui bahwa dalam disiplin ilmu sejarah berlaku hukum kausalitas atau sebab-
akibat. Peristiwa pemberontakan PRRI yang terjadi juga tidak lepas dari berbagai factor yang
menyebabkannya. Faktor politis dan ekonomis sangat berperan sebagai penyebab dari
pemberontakan ini. Posisi militer sebagai opsan pemerintah berusaha mengambil alih kekuasaan
sipil setelah melihat berbagai kekurangan dalam berbagai kebijakannya.
Kondisi yang dianggap ”sentralistik” oleh daerah menyebabkan hubungan antara pusat
dan daerah menjadi kurang harmonis. Hal tersebut dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah
dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah.
Sedangkan pemerintah pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan
tugasnya. Gerakan PRRI/Permesta merupakan gejolak daerah yang berusaha melakukan koreksi
terhadap kondisi bangsa yang morat-marit.
Gerakan tersebut membawa dampak positif maupun negatif bagi bangsa Indonesia.
Kerugian materi maupun psikologis diderita masyarakat, tetapi disisi lain gerakan tersebut
menyadarkan para pemimpin bangsa akan pentingnya otonomi daerah serta keharusan untuk
menghayati hakekat Binneka Tunggal Ika.

3.2 Saran
Dari penjelasan di atas, kita sebagai Bangsa Indonesia dapat mengambil pelajaran dari
Peristiwa Pemberontakan PRRI. Kita hendaknya menyelesaikan masalah melalui perundingan
yang dilaksanakan dengan damai oleh semua pihak yang bersangkutan.
Kita sebagai bangsa yang baik patut melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah
memerdekakan Bangsa Indonesia ini dengan lebih giat belajar, serta menjaga persatuan dan
kesatuan Bangsa Indonesia.

12
DAFTAR PUSTAKA

Agung, Leo. dkk. 2009. Mandiri Sejarah. Jakarta: Erlangga

Buku LKS Sejarah Kelas XII Semester I

Syamdani. (2009). PRRI, pemberontakan atau bukan?. Yogyakarta: Media Pressindo

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas. 2019. Pemerintahan Revolusioner Republik


Indonesia <https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Revolusioner_Republik_Indonesia>

13

Anda mungkin juga menyukai