Anda di halaman 1dari 10

Sejarah Militer

Resensi Buku Politik Militer Indonesia

1945-1967 Menuju Dwi Fungsi ABRI

Dosen Pengampu: Dr. Subagyo, M.Pd

Disusun Oleh:

Fifit Nur Arofah (3101416011)


JURUSAN SEJARAH

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2019
Judul Buku : Politik Militer Indonesia 1945-1967

Menuju Dwi Fungsi ABRI

Judul Asli : Read to Power: Indonesian Military

Penulis: Ulf Sundhaussen

Penerjemah : Hasan Basari

Penerbit : LP3ES

Tebal : xv+ 504 halaman

Tahun Terbit: 1988 Cetakan ke-2

Intervensi militer terhadap politik

Intervensi berasal dari Bahasa Inggris yaitu intervene yang berarti campur tangan.
Intervensi militer adalah penggantian kebijakan dan kaum pemerintah sipil dengan kebijakan
dan kaum militer. Menurut Huntington (hal.442) intervensi militer dalam politik bukan hal-
hal militer melainkan politik. Dengan kata lain sistem politiknya berasal dari peraturan-
peraturan atau tata cara militer.

Tidak ada satu pun golongan yang menyatakan bahwa mereka melakukan suatu
tindakan demi kepentingan mereka sendiri. Landasannya selalu kepentingan nasional. Militer
punya kedudukan istimewa dalam menggunakan landasan ini. Mereka berada di luar politik
gabungan. Tugas mereka adalah tugas negara, dan keberadaannya memang dimaksudkan
khusus untuk membela negara. Lembaga kemiliteran merupakan simbol kemerdekaan dan
kedaulatan yang paling menonjol. Lebih dari lembaga-lembaga masyarakat lainnya, lembaga
kemiliteran diliputi oleh ide nasional. Setiap latihan militer menekankan identitas nasional
dan patriotisme. Jadi apabila mereka mengintervensi dengan alasan kepentingan nasional,
orang lebih mudah percaya.

Pada beberapa negara berkembang yang belum stabil, memang keterlibatan militer
dalam pemerintahan dan pembangunan sulit dihindari. Terutama pada negara-negara yang
baru saja merdeka dari penjajahan atau pendudukan negara lain. Misalnya Irak. Beberapa
ilmuan memandang bahwa keadaan yang terjadi di Irak merupakan tahapan awal untuk
modernisasi dan pembangunan politik diwilayah tersebut. Terdapat suatu kebiasaan yang
berkepanjangan yaitu dengan melakukan kudeta atau intervensi militer yang berulang-ulang
dalam negerinya. Misalnya Thailand. Selama 65 tahun sejak 1932 hingga kini (2008), militer
di Thailand tetap menjadi kekuatan yang berperan penting dalam kehidupan negaranya.
Menurut koran SINDO (30/12 2008), militer disana tidak kurang dari 24 kali melakukan
kudeta.

Dengan menggunakan pendekatan kekerasan fisik dan unsur-unsur militeristik

lainnya, TNI leluasa merampas hak-hak masyarakat sipil, khususnya berhubungan dengan
hak mengemukakan pendapat, berkumpul dan berserikat. Kesempatan untuk intervensi
datang apabila pemerintah sipil terlalu bergantung pada militer, ataupun ketika negeri dilanda
krisis, dan kesempatan militer untuk intervensi dapat juga timbul karena vakumnya
kekuasaan. Berkurangnya dukungan masyarakat terhadap pemerintah, dan bertambahnya
harapan pada militer, menciptakan kesempatan bagi militer untuk konsolidasi (memperkuat)
pengaruhnya dalam kekuasaan negara.

Dalam suasana yang kondusif untuk mengembankan demokrasi, kudeta merupakan


tindakan yang memalukan karena hal itu adalah cara-cara yang tidak sah dan inkonstitusional
merebut kendali kekuasaan (Alfan Afian, 2000)Namun menurut Armein Daulay, sistem
politik yang dikuasai militer itu tidak menyalahi aturan apabila rakyatnya merasa cocok dan
menerima cara itu. Seperti menerima Soeharto sebagai presiden karena rakyat telah lelah
mengalami stagnasi ekonomi pada massa Soekarno. Walaupun perebutan caranya dengan
menggunakan supersemar (kudeta tak berdarah).
Dalam kultur politik rendah, Intervensi militer berlangsung secara terang-terangan.
Baik penggeseran anggota kabinet sipil maupun penggusuran seluruh kabinet sering
dilakukan. Itulah yang terjadi di Pakistan. Militer secara sengaja tidak melindungi pemerintah
sipil terhadap kekerasan. Mereka mengancam tidak mau bekerjasama. Sesekali mereka juga
menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya. Pada tahun 1999 Jendral Musharraf
mengambil alih kekuasaan melalui kudeta yang melengserkan Perdana Menteri Nawaz
Sharif. Tahun 2001 Musharraf resmi diangkat sebagai presiden Pakistan. Selama masa
jabatannya, ia berulang kali memanfaatkan Dinas Rahasia (MI) untuk merekayasa hasil
pemilu sehingga ia dapat mempertahankan kedudukannya. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kultur politik yang sangat rendah tidak mempedulikan legitimasi. Intervensi militer
berlangsung secara terbuka, intensif, dengan metode dan tipe rezim yang sama seperti pada
masyarakat kultur politik rendah.

Campur tangan militer terhadap politik di Indonesia

Pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya.


Namun demikian, tidak berarti dalam prakteknya Indonesia sudah bebas dari Belanda dan
bisa memberi perhatian sepenuhnya pada pembangunan bangsa. Faktor kemerdekaan
menjadikan awal keterlibatan militer Indonesia dalam peran politik. Pada tanggal 10
November 1946 diadakan perundingan antara Belanda-Indonesia didaerah Linggarjati
(sebelah selatan Cirebon) yang membuahkan suatu perundingan yang bernama Perundingan
Linggarjati. Hasil perundingan tersebut adalah:

a)Belanda mengakui secara de facto (nyata) Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan
yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura.

b)Republik Indonesia dan Belanda akan bekerjasama dalam membentuk negara Indonesia
Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS).

c)Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda.


(Muchtar S.P, 1999:52)

Namun, hasil dari Perundingan Linggarjati tidak dilaksanakan dengan baik, karena
Belanda berpendapat bahwa sebelum RIS terbentuk, hanyalah Belanda yang berdaulat penuh
diseluruh Indonesia dan pemerintah RI berpendapat bahwa sebelum anggota RIS terbentuk
kedudukan de facto RI tidak berubah. Oleh sebab itu, Belanda dua kali melancarkan agresi
yaitu agresi militer Belanda I (21 Juli 1947) dan agresi militer Belanda II (8 Desember 1947).
Ketika agresi militer Belanda II berhasil melumpuhkan pemerintah sipil dengan menahan
presiden, wakil presiden dan beberapa perdana menteri, maka untuk memperahankan
eksistensi NKRI, TNI membentuk pemerintahan darurat militer untuk mengganti
operasionalisasi pemerintahan sipil yang lumpuh.

Saat itu kebijaksanaan diplomasi sudah mati dan kabinet tidak mampu lagi untuk
menyelesaikan konflik dengan cara politik, maka negara harus mengandalkan tentara untuk
menyelesaikannya secara militer. Maka para perwira menyusun strategi militer yang tak
hanya akan mencegah Belanda mencapai kemenangan militer tapi yang pada akhirnya akan
memaksa Belanda untuk mengalah. Dan perjuangan mereka dibidang militerlah yang pada
akhirnya memaksa Belanda untuk mengakui kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Meja
Bundar pada 23 Agustus 1949 di Den Haag, Belanda. Militer Indonesia membentuk dirinya
sendiri melalui perjuangan kemerdekaan melawan penjajahan Belanda. Perjuangan
mendapatkan kemerdekaan membuatnya melakukan kegiatan keseluruhan, tidak hanya
bertempur secara fisik akan tetapi terlibat dalam penyusunan strategi pendirian bangsa
Indonesia. Namun setelah kondisi kembali normal, TNI menyerahkan kembali fungsi
pemerintahan sipil itu.

Semenjak tahun-tahun pertama Republik Indonesia berdiri, para perwira militer


Indonesia sebenarnya sudah mempunyai kecenderungan untuk berpolitik sebagai prajurit
revolusioner. Kecenderungan ini semakin kuat setelah pada tahun-tahun berikutnya mereka
harus mengatasi bukan hanya ancaman dari luar ( Belanda ) tetapi juga mengatasi peristiwa
politik yang kritis, yaitu pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948. Penggalan
sejarah kemerdekaan menjadi legitimasi menjadikan militer tidak hanya menjadi instrumen
pertahanan bangsa dari gangguan kekuatan luar, akan tetapi menjadi bagian penting dalam
Indonesia political decision making.

Di Indonesia campur tangan politik militer ke dalam wilayah politik sudah terjadi
sekian lama dan pada kenyataannya memang menyebabkan proses demokratisasi menjadi
terhambat bahkan mati. Salah satu upaya yang ditempuh untuk membangun demokrasi adalah
menjauhkan kekuatan militer dari urusan-urusan politik, mengembalikannya ke barak, dan
menjadikannya sebagai alat negara yang profesional. Tetapi, pada kenyataannya, upaya ini
bukanlah sesuatu yang mudah. Terutama di negara-negara sedang berkembang, militer
menampakkan hasrat yang sangat kuat untuk tetap melakukan intervensi politik. Militer
dengan pengetahuan dan keahlian profesionalnya menjadi pelindung tunggal negara. Sebab
itu, di negara-negara yang telah maju, militer berada di bawah supremasi sipil.

Sistem politik yang telah mapan, pendapatan per kapita yang tinggi, tingkat
industrialisasi yang tinggi, ditambah dengan kesadaran politik dan hukum rakyat yang tinggi
telah mengurangi kemungkinan terjadinya intervensi militer. Hal ini bukan berarti bahwa di
negara-negara maju tidak ada keikutsertaan militer dalam politik. Militer tetap ikut berpolitik
dalam proses pembuatan kebijakan politik, seperti pembuatan kebijakan politik luar negeri
dan pertahanan.

Militer juga ikut dalam mengatasi masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi
oleh negara-negara maju, seperti aktivitas sosial untuk menanggulangi bencana alam atau
bencana lainnya. Namun demikian, kadar keikutsertaan militer dalam politik itu amatlah
rendah. Keikutsertaannya dalam bidang-bidang nonmiliter hanyalah menjalankan fungsi
bantuan yang bersifat sementara dan dalam kondisi darurat. Jadi, militer sangat diperlukan
dalam sebuah negara. Negara kuat jika mempunyai kekuatan militer yang hebat dan bisa
diandalkan. Tetapi kekuatan militer ini berada dalam frame work sebagai alat negara yang
profesional yang tidak turut campur dalam masalah-masalah politik dan menyerahkan
sepenuhnya menjadi otoritas sipil.

Menurut UU TNI pasal 2 ayat (4), Jati diri Tentara Nasional Indonesia adalah :
Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak
berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan
politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,
ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa militer tidak diperkenankan untuk


berpolitik praktis. Tetapi sesuai UU TNI Pasal 7 ayat (2), yang berisi bahwa tugas pokok TNI
adalah operasi militer selain perang, yaitu beberapa diantaranya adalah untuk mengatasi
gerakan separatis bersenjata dan mengatasi pemberontakan bersenjata. Dalam hal ini, militer
tidak dapat disalahkan untuk campur tangan dalam perpolitikan negara. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Claude Welch dan Arthur Smith, bahwa pada dasarnya tidak ada angkatan
bersenjata yang tidak berpolitik. Tiap angkatan bersenjata mempunyai saham dalam sistem
politik negaranya.
Kekurangan dan Kelebihan Buku Politik Militer Indonesia :

A. Kelebihan buku

Secara umum tampilan buku ini sangat menarik, cerita penulis tentang sejarah
perpolitikan Indonesia yang dilakukan oleh militer sejak zaman pra-kemerdekaan dari awal
secara berurutan. Buku ini berusaha mengembangkan pemikiran pembaca untuk dapat
berpikir rasional dan kritis. Buku ini menyertakan beberapa kutipan tulisan dan artikel dari
beberapa tokoh pergerakan serta surat kabar dan buku-buku yang masih relevan pada saat
buku ini ditulis.

Dengan membaca buku ini, kita diajak menjelajah sejenak pada awal masa
kemerdekaan Indonesia ketika militer melakukan intervensi terhadap perpolitikan Indonesia.
Dalam buku ini (hal. 442), penulis memodifikasi teori Huntington dan Finer dengan
menawarkan penjelasan bahwa hubungan sipil-militer itu kurang demokratis. Penulis
mengembangkan pendekatan dengan menelusurinya didalam dan luar negeri, dengan
mereview persoalan-persoalan teoritis dilapangan dan menganalisa berbagai strategi melalui
perspektif kaum sipil.

B. Kekurangan buku

Buku ini dapat dikategorikan sebagai buku yang mempunyai materi berat dan
berbobot. Tidak semua orang langsung dapat mencerna isi dari buku ini. Dalam buku ini
terdapat istilah-istilah asing yang tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sehingga
dapat mengurangi tingkat pemahaman pembaca. Beberapa diantaranya yaitu Zulfalls-
regierungen (hal.58), fait accompli (hal.464), psywar (hal.153), primus inter pares (hal.296),
dan sikap reichswehr (hal.156). Buku “Politik Militer Indonesia 1945 – 1967 Menuju Dwi
Fungsi ABRI” ini sudah tidak relevan lagi di Indonesia sejak bergulirnya pemerintahan
Soeharto (1998). Meskipun kini (2008) Militer sudah tidak punya lagi kemauan maupun
kemampuan untuk terlibat lagi dalam praktik politik praktis, apalagi untuk kembali berkuasa
dan mendominasi seperti terjadi di masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Suasana
saat ini juga sudah tidak lagi memungkinkan militer kembali berkuasa mengingat keadaannya
sudah jauh lebih terbuka dan transparan jika dibandingkan dengan di masa lalu.
Datangnya era reformasi (1998) merupakan peluang untuk membenahi TNI secara
lebih tepat dalam tatanan kehidupan nasional bangsa Indonesia. Untuk itu TNI melakukan
reformasi internal sebagai bagian dari reformasi nasional, yaitu dengan melaksanakan tiga
komitmen TNI. Pertama prinsip supremasi sipil yaitu TNI hanya bagian sistem demokrasi
yang harus dibangun. Kedua prinsip pemberdayaan fungsi-fungsi yang ada yaitu TNI
melepas dominasinya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa, dan terakhir prinsip
supremasi hukum.

Prasyarat utama untuk mewujudkan demokrasi adalah menghapus seluruh pranata


militer yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer. Secara resmi,
alasan untuk menghapus kedua hal itu tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000
tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang menyatakan bahwa : “peran sosial politik
dalam Dwi-fungsi ABRI menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan
POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.” Sekarang format hubungan sipil-militer berangkat
dan dilandasi nilai moral dan sikap mental yang mencerminkan saling menghargai, saling
mempercayai dan kehendak yang kuat untuk bekerja sama. Militer menghargai kewenangan
sipil, tunduk kepada hukum dan sistem nasional, serta bersikap non partisipan dalam arti
tidak memihak salah satu parpol dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis. Sebaliknya
sipil menghargai tentara nasional sebagai komponen yang sah dalam negara demokrasi;
menghargai dan mendukung peran dan misi TNI; memahami masalah pertahanan dan budaya
militer; tidak mencampuri operasional dan manajemen internal ketentaraan; dan merasa
memiliki tentara nasional.

Walaupun presiden Indonesia saat ini (Susilo Bambang Yudhoyono) seorang mantan
militer. Namun beliau tidak menerapkan militerisasi dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Hal itu disebabkan karena katika ia berada dalam militer, ia menerapkan militerisme akan
tetapi ketika ia menjabat sebagai kepala negara, ia dapat bersifat netral (bersikap profesional).

Jika reformasi nasional telah menjadikan tiga komitmen TNI tersebut berfungsi
dengan baik, tentu tidak perlu muncul kekhawatiran adanya intervensi, apalagi kudeta militer
di negeri ini. Hal itu karena komitmen reformasi internal dan netralitas TNI cukup jelas.
Sementara, produk perundang-undangan yang ada juga menutup peluang kembalinya TNI
dalam politik praktis. Jadi dapat dikatakan bahwa progres reformasi nasional dalam
membangun sistem politik, hukum dan demokrasi yang kokoh merupakan benteng utama
untuk menepis kekhawatiran dan keraguan bangsa ini.

Anda mungkin juga menyukai