Kelompok 12
Anggota : Siska (1813033007)
Dimas Aditia (1813033020)
Christine Amellia Putri (1813033025)
Salsabila Az Zahra (1813033037)
Irawansyah (1813033040)
Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Keterlibatan Militer Dalam Politik Masa Orde Baru” sebagai salah satu tugas
mata kuliah Sejarah Militer. Atas dukungan moral dan material yang diberikan
dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada orang tua, saudara, dan seluruh keluarga yang telah mencurahkan doa dan
semangat kepada kami. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Suparman Arif, S.Pd. M.Pd. dan Bapak Yusuf Perdana, S.Pd., M.Pd.selaku
Dosen yang membimbing sehingga makalah ini dapat diselesaikan, serta teman-
teman yang telah banyak membantu dan memberi dukungan khususnya teman-
teman dari Program Studi Pendidikan Sejarah 2018.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari semua pihak.
Apabila kesalahan kata atau penulisan, penulis mohon maaf yang sebesar
besarnya.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................................
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3. Tujuan...........................................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1. Keadaan Geopolitik RI pada masa Orde Baru.............................................3
2.2 Kedudukan Militer Pada Masa Orde Baru...................................................5
BAB 3. PENUTUP................................................................................................13
3.1. Kesimpulan.................................................................................................13
3.2. Saran...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
pemerintah yang dianggap kontroversial dan otoriter, lalu hal tersebut direspon
dengan sangat represif oleh pemerintah, sehingga tidak jarang menyebabkan
korban jiwa baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Kekuasaan orde baru merupakan kekuasaan bergaya kepemimpinan
militer, militer bahkan terstruktur dari daerah (Komando Teritorial) hingga
parlemen, yang kemudian juga menempatkan ABRI sebagai salah satu fraksi di
DPR. Militer menjadi mesin politik yang dominan dan kuat, bahkan kekuasaan
militer juga tersistematis pada lembaga-lembaga negara secara umum, baik yang
ada ditingkat pusat maupun daerah. Dominasi militer dalam pemerintahan negara
kemudian menimbulkan gejolak yang luar biasa (Sugiarto, 2018: 239).
1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu, untuk mengetahui:
1. Keadaan Geopolitik RI pada masa Orde Baru
2. Kedudukan Militer Pada Masa Orde Baru
2
BAB II
PEMBAHASAN
Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mampu berkuasa
selama 32 tahun di Republik Indonesia. Melalui proses yang cukup panjang,
pemerintah Orde Baru brusaha menciptakan stabilitas politik dan keamanan
nasional pasca peristiwa 1965. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Ali Moertopo,
bahwa stabilitas politik dan keamanan nasional merupakan syarat utama bagi
kelangsungan pembangunan (Moertopo, 1983:26-28).
Pemerintah Orde Baru terlahir dari pertarungan kekuatan militer yang pro
terhadap Pancasila, dengan kekuatan PKI dan Sukarnois. Saat militer memegang
kekuasaan dalam pemerintahan Orde Baru, nilai nilai demokratis, aspek supremasi
sipil kurang mendapat perhatian, demokrasi diera Orde Baru adalah demokrasi
yang berada dibawah kontrol peguasa, sebab demokrasi tanpa pengawasan akan
menjadi ancaman bagi pemerintah. Meski banyak kalangan yang menilai bahwa
pemerintahan Orde Baru adalah otoriter dimana peran eksekuti sangat kuat dan
dominan, tetapi dalam pemerintahan Orde Baru, pemerintah secara rutin setiap
lima tahun menyelenggarakan pemilihan umum (Robert Lowry,1996: 189).
Diangkatnya Jenderal Suharto sebagai Presiden penuh tahun 1968 oleh
MPRS membawa militer ke posisi yang dominan dalam penyelenggaraan
5
pemerintahan. Pemerintahan baru ini disambut hangat oleh sebagian kecil
kalangan politisi sipil, sedangkan sebagian besar menerimanya dengan tepaksa
karena memang militerlah yang pada saat itu paling kuat. Pada masa Orde Baru di
bawah Presiden Suharto ini, peran militer melalui Dwi Fungsi ABRI sangat
didominasi peran sosial politiknya dari pada peran militer yang sebenarnya yaitu
peran pertahanan keamanan.
Birokrasi menjadi alat pembangunan yang penting, tidak saja untuk tujuan
teknis membantu formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan tetapi juga
untuk tujuan politik, yaitu menjaga stabilitas kekuasaan negara secara internal dan
melakukan penguasaan terhadap masyarakat secara eksternal. Meskipun secara
umum posisi-posisi kekuasaan dibagi dengan orang-orang sipil, namun orang-
orang sipil harus menyesuaikan diri dengan sistem di mana kekuasaan terletak di
tangan militer. Pada masa pemerintahan Orde Baru, meskipun pemerintah
mengklaim dirinya menganut sistem demokrasi namun apa yang terjadi adalah
sebaliknya, kontrol militer terhadap sipil dengan alasan stabilitas politik dan
keamanan untuk suksesnya pembangunan ekonomi (Siddiq, 2019: 27-30).
Di era Orde Baru juga, partai politik kehilangan basis dukungan dari
masyrakat, sebab pemerintah mengeluarkan larangan yang dikenal dengan istilah
masa mengambang, dimana partai politik tidak dijinkan membuka kepengurusan
pada tingkat Kecamatan dan Desa, padahal basis dukungan partai politik adanya
ditingkat Kecamatan dan Desa. Partai politik dipisahakan dari rakyat, rakyat
dibuat buta terhadap politik. Partai politik mandapat stigma dari pemerintah
sebagai sesuatu yang kotor dan membahayakan negara, pendidikan politik yang
sehat tidak terbangun di tengah tengah masyakat.Golkar sebagai partai bentukan
pemerintah di rekayasa dengan berbagai cara menjadi partai mayoritas tunggal di
Indonesia.
7
berujung anarkis pembakaran.Insiden peristiwa Malari menyebabkan Panglima
Komando Keamanan dan Ketertiban Jenderal Sumitro mengundurkan diri, karena
merasa gagal mengatasi aksi demostrasi mahasiswa. Sejak peristiwa Malari terjadi
pemerintah bertindak lebih represif terhadap aksi masa,pendekatan keamanan
lebih dikedepankan dalam menghadapi berbagai aksi masa yang melawan
pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok menunjukan pemerintah menggunakan cara
cara represif dalam berhadapan dengan masa yang menentang pemerintah.
Menurut Harold Crouch dalam karya analitiknya The Army and Politics in
Indonesia, ia mencatat bahwa militer Indonesia, sejak awal berdirinya, tidak
pernah menganggap diri mereka sebagai instrumen negara yang peduli dengan
masalah keamanan. Sebaliknya, TNI selalu menganggap dirinya sendiri sebagai
"kekuatan militer" dan "kekuatan sosial-politik Indonesia." Orde Baru (Orba)
kemudian melembagakan basis ideologis TNI ini. Dari sini kita bisa menyaksikan
bagaimana TNI berhasil mendominasi politik Indonesia selama lebih dari tiga
dekade (1966-1998).
11
pemimpin-pemimpinnya tidak mengganggu stabilitas politik (Syamsuddin Haris
dan Riza Sihbudi, 1995: 99).
Selain itu, pengaruh yang cukup besar dalam implementasi peran sosial
politik ABRI ini juga sangat terasa dalam parlemen. Berawal dari Penetapan
Presiden No. 4 Tahun 1960 mengenai pembentukan DPR baru yang disebut DPR-
GR (Gotong Royong). Komposisi DPR-GR adalah 130 orang wakil dari partai
politik dan 152 orang dari perwakilan golongan fungsionil (karya) serta seorang
wakil dari Irian Barat. TNI memperoleh jatah 35 kursi sebagai bagian dari
golongan fungsionil (karya) angkatan bersenjata. Ini merupakan saat pertama TNI
memiliki wakil dalam lembaga legislatif. Posisi ini kemudian diikuti dengan
penempatan wakil TNI di DPRD, baik di daerah tingkat I maupun tingkat II. Pada
perkembangan berikutnya, posisi TNI di parlemen semakin kuat. Masa Orde Baru
dibawah Soeharto ini menempatkan TNI dalam posisi yang strategis. Pada
perkembangan selanjutnya, jumlah kursi TNI di DPR pun mengalami
peningkatan. TNI memperoleh jatah 100 kursi, sedangkan di DPRD I dan DPRD
II TNI memperoleh 20% jatah kursi dari total anggota yang ada dalam lembaga
perwakilan tersebut (Dewi Fortuna Anwar, et al, 2002: 124).
Posisi ABRI yang menjadi mayoritas di parlemen pun mau tidak mau ikut
mempengaruhi dari setiap kebijakan yang dihasilkan. Secara tidak langsung,
Soeharto mengendalikan lembaga legislatif ini melalui anggota-anggota ABRI
yang duduk di parlemen. Sehingga kebijakan-kebijakan yang bisa mengancam
stabilitas pemerintahannya pun bisa di minimalisir dengan adanya peran militer di
dalamnya. Dengan masuknya ABRI dalam parlemen, maka semakin
memperkokoh kedudukan dan posisi militer, serta sama halnya dengan di
Indonesia, militer merasa dirinya sangat mempunyai peran yang penting dalam
negara. Bukan hanya sebagai alat pertahanan keamanan saja, tetapi juga menjadi
pelindung nasional yang mengintegrasikan dirinya dalam kancah politik di
Indonesia. Dengan kebijakan Dwifungsi ABRI yang dimilikinya, militer semakin
merasa bahwa tindakan-tindakan yang dilakukannya adalah semata-mata untuk
kepentingan rakyat, walaupun engaruh militer dalam bidang sosial politik di
Indonesia. pada perjalanannya peran militer mempunyai perluasan peran yang
12
menjadikan militer sebagai kekuatan yang mendominasi dalam pemerintahan
(Firdaus, 2011: 7-8).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
13
yang mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya. Kehadiran
ABRI dalam berbagai kehidupan telah menjadi sesuatu hal yang tidak
terpisahkan dari Pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto.
3.2 Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
Acep, I, S. 2007. Indonesia Dalam Dua Orde: Sebuah Citra Yang Retak. Jurnal
Sosioteknologi. Vol. 10(6).
Anwar, D. F. et al. 2002. Gus Dur Versus Militer: Studi Tentang Hubungan Sipil-
Militer di Era Transisi. Jakarta: PT. Grasindo.
Azwar, Asrudin dan Suryana, Mirza Jaka. 2021. Dwifungsi TNI dari masa ke
masa. Jurnal Academia Praja. Vol. 4(1).
Crouch, Harold. 1978. The Army and Politics in Indonesia. Itacha: Cornell
University Press.
Dipayana, G dan Ramadhan KH. 1989. Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan.
PT Lamtoro. Jakarta: Gum Persada.
Fatgehipon, Abdul Haris. 2010. Tentara dan Pergolakan Politik di Indonesia.
Jakarta: Cahaya Penelang.
Haris, S. dan Sihbudi, R. 1995. Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Hariyono. 2006. Kebijakan Ekonomi di Awal Orde Baru Membuka Pintu Lebar-
Lebar bagi Modal Asing Malang. Jurnal Eksekutif . Vol. 3 (3).
Kingsbury, Damin. 2003. Power Politics and the Indonesia Military. London.
Kusmanto, H. 2007. Desa Tertekan Kekuasaan. Medan : BITRA Indonesia.
Lowry, Robert. 1996. The Armed Forces Of Indonesia. Australia: Allen & Unwin.
15
Samego, I, et al. 1998. Bila ABRI Menghendaki: Desakan Kuat Reformasi Atas
Dwifungsi ABRI. Bandung: Mizan.
Soeharto. 1985. Amanat Kenegaraan I, 1967- 1971, Jilid II. Jakarta : Inti Indayu
Press.
Sugiarto, Nur Khairunisa. 2018. Bisnis Militer Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu
Pemerintahan. Vol. 4(2).
16