Anda di halaman 1dari 19

KETERLIBATAN MILITER DALAM POLITIK MASA ORDE BARU

Kelompok 12
Anggota : Siska (1813033007)
Dimas Aditia (1813033020)
Christine Amellia Putri (1813033025)
Salsabila Az Zahra (1813033037)
Irawansyah (1813033040)

Mata Kuliah : Sejarah Militer


Dosen : Suparman Arif, S.Pd. M.Pd. / Yusuf Perdana, S.Pd., M.Pd.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang,
kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Keterlibatan Militer Dalam Politik Masa Orde Baru” sebagai salah satu tugas
mata kuliah Sejarah Militer. Atas dukungan moral dan material yang diberikan
dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan banyak terima kasih
kepada orang tua, saudara, dan seluruh keluarga yang telah mencurahkan doa dan
semangat kepada kami. Tidak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Suparman Arif, S.Pd. M.Pd. dan Bapak Yusuf Perdana, S.Pd., M.Pd.selaku
Dosen yang membimbing sehingga makalah ini dapat diselesaikan, serta teman-
teman yang telah banyak membantu dan memberi dukungan khususnya teman-
teman dari Program Studi Pendidikan Sejarah 2018.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun dari semua pihak.
Apabila kesalahan kata atau penulisan, penulis mohon maaf yang sebesar
besarnya.

Bandar Lampung, Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii
BAB 1. PENDAHULUAN.......................................................................................
1.1. Latar Belakang.............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah........................................................................................2
1.3. Tujuan...........................................................................................................2
BAB 2. PEMBAHASAN........................................................................................3
2.1. Keadaan Geopolitik RI pada masa Orde Baru.............................................3
2.2 Kedudukan Militer Pada Masa Orde Baru...................................................5
BAB 3. PENUTUP................................................................................................13
3.1. Kesimpulan.................................................................................................13
3.2. Saran...........................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dilihat dari persfektif sejarah militer di Indonesia, kelahiran dan
pembentukan militer Indonesia bukan merupakan bagian dari upaya yang
dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik sipil. Akan tetapi, militer di Indonesia
lahir secara langsung dari rahim revolusi. Meminjam ucapan Panglima Besar
Jenderal Soedirman yang menyatakan: “Tentara dibentuk untuk membebaskan
Indonesia dari ancaman imperialisme dan kolonialisme Belanda”. Sebagai
golongan rakyat yang dipersenjatai, pimpinan tentara saat itu berperan aktif bukan
hanya untuk mempertahankan negara dari ancaman Belanda waktu agresi I dan II
tahun 1948-1949, namun secara de facto ikut mengambil alih pemerintahan.
Keikutsertaan tersebut berlanjut ketika negara menghadapi pemberontakan
(subversi). Hal ini memperlihatkan militer Indonesia berada diposisi yang sejajar
dengan politisi sipil atau bahkan dalam konteks “kesetiaan kepada negara” berada
pada posisi yang lebih tinggi daripada otoritas politik sipil.
Upaya militer untuk dapat memperkuat dominasi terhadap negara
menimbulkan gesekan dengan kekuatan-kekuatan sosial-politik lain, terutama
pemerintahan sipil dan partai politik saat itu. Akibat suasana politik yang tegang
itu, muncul keinginan militer untuk memperluas ruang lingkup kegiatannya guna
memperkecil kemungkinan konflik antara elite politik sipil. Akhirnya militer saat
itu, menawarkan pemikiran “jalan tengah” sebagai cikal bakal Dwi Fungsi ABRI
melalui usulan A.H Nasution untuk mengakomodasi fungsi non-militer tentara
demi menjaga wibawa dan keutuhan negara. Dan semakin menguat ketika berhasil
terbentuknya Orde Baru untuk mengantikan rezim sebelumnya yang dinilai gagal
menciptakan stabilitas politik dan pembangunan ekonomi (Sugiarto, 2018: 238).
Pada masa pemerintahan orde baru pembangunan terus bergulir,
kepentingan politik dari dalam dan luar negeripun bermunculan, termasuk
keinginan rezim yang berkuasa untuk terus melanggengkan kekuasaannya. Hal
tersebut sontak menimbulkan pro-kontra dari berbagai kalangan di tanah air,
gelombang-gelombang protes terus bermunculan terhadap kebijkan-kebijakan

1
pemerintah yang dianggap kontroversial dan otoriter, lalu hal tersebut direspon
dengan sangat represif oleh pemerintah, sehingga tidak jarang menyebabkan
korban jiwa baik secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
Kekuasaan orde baru merupakan kekuasaan bergaya kepemimpinan
militer, militer bahkan terstruktur dari daerah (Komando Teritorial) hingga
parlemen, yang kemudian juga menempatkan ABRI sebagai salah satu fraksi di
DPR. Militer menjadi mesin politik yang dominan dan kuat, bahkan kekuasaan
militer juga tersistematis pada lembaga-lembaga negara secara umum, baik yang
ada ditingkat pusat maupun daerah. Dominasi militer dalam pemerintahan negara
kemudian menimbulkan gejolak yang luar biasa (Sugiarto, 2018: 239).

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas, dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Keadaan Geopolitik RI pada masa Orde Baru?
2. Bagaimana Kedudukan Militer Pada Masa Orde Baru?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini yaitu, untuk mengetahui:
1. Keadaan Geopolitik RI pada masa Orde Baru
2. Kedudukan Militer Pada Masa Orde Baru

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Keadaan Geopolitik RI pada Masa Orde Baru


Mengutip dari Acep (2007: 163) Sebagaimana telah menjadi pengetahuan
umum di Indonesia, masa orde baru yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun
merupakan masa yang melelahkan karena kepemimpinan yang militeristik dan
represif. Harus diakui bahwa beberapa pencapaian, terutama di bidang ekonomi,
memang diraih. Situasi sosial-politik di Indonesia, baik yang positif maupun
negatif, tidaklah bisa dilepaskan dari pengaruh berbagai gejolak yang terjadi di
tingkat global. Hanya, akibat pengaruh global tersebut memang ditentukan oleh
citra diri dan identitas bangsa itu sendiri. Masing-masing bangsa dan negara di
dunia sudah pasti memiliki citra diri dan identitas masing-masing sehingga akibat
pengaruh global yang diterima setiap bangsa dan negara pun akan berbeda.

Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto mampu berkuasa
selama 32 tahun di Republik Indonesia. Melalui proses yang cukup panjang,
pemerintah Orde Baru brusaha menciptakan stabilitas politik dan keamanan
nasional pasca peristiwa 1965. Seperti halnya yang ditegaskan oleh Ali Moertopo,
bahwa stabilitas politik dan keamanan nasional merupakan syarat utama bagi
kelangsungan pembangunan (Moertopo, 1983:26-28).

Langkah awal yang dilakukan oleh Soeharto untuk berada di tampuk


kepemimpinan Orde Baru adalah melalui Sidang Umum MPR 1967. Pada Sidang
Istimewa itu, Jenderal Soeharto diangkat oleh MPRS menjadi pejabat Presiden
menggantikan Bung Karno. Ketetapan MPRS XI Tahun 1966 yang
mengamanatkan agar Pemilu bisa diselenggarakan dalam tahun 1968, kemudian
diubah pada Sidang Istimewa MPR 1967, oleh Presiden Soeharto dengan
menetapkan bahwa Pemilu akan diselenggarakan dalam tahun 1971.

Pemerintahan Orde Baru yang dikendalikan oleh Soeharto memberi peran


sosial politik yang cukup besar bagi ABRI terutama Angkatan Darat. Hal tersebut
dilakukan dengan cara menyusun kekuatan bangsa dan negara untuk mencapai
3
stabilitas nasional dalam upaya mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Menurut Ali Moertopo, Dwi Fungsi ABRI yang terjadi pada masa Orde Baru,
merupakan yang dinamis dalam sipil ABRI. Artinya hubungan antara sipil dan
ABRI harus dilaksanakan dengan penuh tanggung Jawab agar menciptakan dan
menjaga keseimbangan dan ketepatan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan (Ali
Moertopo, 1981:256)

Di bawah komando ABRI, pemerintah Orde Baru berhasil menunjukkan


pada dunia mengenai keberhasilan pembangunan nasional di Indonesia, sehingga
meyakinkan negara donor untuk berinvestasi. Keberhasilan pemerintah Orde Baru
ini telah memperkokoh keyakinan masyarakat terhadap pemerintahan yang sedang
berlangsung. Namun kemajuan dibidang ekonomi tersebut harus dibayar mahal
dengan semakin ketatnya pengaturan mengenai hak-hak politik sipil. Disamping
itu pesatnya pertumbuhan ekonomi telah melahirkan sisi negatif berupa
ketimpangan sosial, ketidakadilan, ketiadaan jaminan keamanan sosial maupun
budaya, dan berbagai akses lainnya seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Sejak berkuasa pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden


Soeharto berusaha menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi
lebih baik. Usaha-usaha tersebut di dasarkan pada tekad untuk melaksanakan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Menurut
Soeharto, berdirinya Orde Baru tidak ada alasan lain kecuali untuk membangun
kembali struktur kehidupan rakyat, bangsa dan negara. Semuanya harus kembali
berlandaskan penerapan semurni-murninya Pancasila dan UUD 1945 (Soeharto,
1985:7). Hal tersebut berkaitan erat dengan komunisme yang dianggap sebagai
akar permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara pada tahun-tahun pertama
Orde Baru. Penerapan Pancasila sebagai ideologi tunggal bangsa, tak pelak
menjadi salah satu cara membangun citra pemerintahan yang anti dan bersih dari
komunisme. Salah satu aspek yang kemudian menjadi sorotan pembenahan Orde
Baru adalah mulai membangun politik luar negeri yang bebas dan aktif. Karena
pada masa Demokrasi Terpimpin (Orde Lama), politik luar negeri Indonesia lebih
cenderung berkiblat pada negara-negara komunis. Hal ini terlihat dari dibentuknya
poros dengan negara-negara komunis seperti dengan Peking, Phnom Penh, Hanoi
dan Pyongyang. Oleh sebab itulah Orde Baru pada masa awal kekuasaannya
4
berusaha merubah citra tersebut dengan melakukan pembenahan politik luar
negeri dan kembali menjadi anggota PBB (Kusmanto, 2007: 10).

Pemerintahan Orde Baru cenderung menerapkan kebijakan luar negeri


Indonesia yang berubah 180 derajat. Pada masa-masa pemerintahan tersebut
prioritas utama lebih ditekankan kepada penegakkan kekuatan pemerintah pusat
atas birokrasi dan militer yang terbagi dan dipol itisir. Pemerintah juga melakukan
lagkah sentralisasi hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Akibatnya
kekuatan kontrol politik pemerintah pusat atas daerah sangat dominan dan kuat.
Pemerintah Orde Baru tak hanya membangun citra bidang politik saja dalam
membangun kehidupan bangsa dan negara, namun juga melakukan pembangunan
sektor ekonomi. Kekuatan politik Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden
Soeharto menjadikan pembangunan ekonomi sebagai pusat perhatian utama. Hal
tersebut dilakukan dengan tujuan dan harapan jika kehidupan ekonomi semakin
baik, maka akan mempermudah langkah pemerintah Orde Baru dalam m em pero
le h dan me mpe rkok oh legitimasi kekuasaan yang baru saja dicengkram serta
dapat merebut simpati dari rakyat (Hariyono, 2006:308-309).

2.2 Kedudukan Militer Pada Masa Orde Baru

2.2.1 Bidang Ketahanan/ keamanan

Pemerintah Orde Baru terlahir dari pertarungan kekuatan militer yang pro
terhadap Pancasila, dengan kekuatan PKI dan Sukarnois. Saat militer memegang
kekuasaan dalam pemerintahan Orde Baru, nilai nilai demokratis, aspek supremasi
sipil kurang mendapat perhatian, demokrasi diera Orde Baru adalah demokrasi
yang berada dibawah kontrol peguasa, sebab demokrasi tanpa pengawasan akan
menjadi ancaman bagi pemerintah. Meski banyak kalangan yang menilai bahwa
pemerintahan Orde Baru adalah otoriter dimana peran eksekuti sangat kuat dan
dominan, tetapi dalam pemerintahan Orde Baru, pemerintah secara rutin setiap
lima tahun menyelenggarakan pemilihan umum (Robert Lowry,1996: 189).
Diangkatnya Jenderal Suharto sebagai Presiden penuh tahun 1968 oleh
MPRS membawa militer ke posisi yang dominan dalam penyelenggaraan

5
pemerintahan. Pemerintahan baru ini disambut hangat oleh sebagian kecil
kalangan politisi sipil, sedangkan sebagian besar menerimanya dengan tepaksa
karena memang militerlah yang pada saat itu paling kuat. Pada masa Orde Baru di
bawah Presiden Suharto ini, peran militer melalui Dwi Fungsi ABRI sangat
didominasi peran sosial politiknya dari pada peran militer yang sebenarnya yaitu
peran pertahanan keamanan.
Birokrasi menjadi alat pembangunan yang penting, tidak saja untuk tujuan
teknis membantu formulasi dan realisasi kebijakan pembangunan tetapi juga
untuk tujuan politik, yaitu menjaga stabilitas kekuasaan negara secara internal dan
melakukan penguasaan terhadap masyarakat secara eksternal. Meskipun secara
umum posisi-posisi kekuasaan dibagi dengan orang-orang sipil, namun orang-
orang sipil harus menyesuaikan diri dengan sistem di mana kekuasaan terletak di
tangan militer. Pada masa pemerintahan Orde Baru, meskipun pemerintah
mengklaim dirinya menganut sistem demokrasi namun apa yang terjadi adalah
sebaliknya, kontrol militer terhadap sipil dengan alasan stabilitas politik dan
keamanan untuk suksesnya pembangunan ekonomi (Siddiq, 2019: 27-30).

Di era Orde Baru juga, partai politik kehilangan basis dukungan dari
masyrakat, sebab pemerintah mengeluarkan larangan yang dikenal dengan istilah
masa mengambang, dimana partai politik tidak dijinkan membuka kepengurusan
pada tingkat Kecamatan dan Desa, padahal basis dukungan partai politik adanya
ditingkat Kecamatan dan Desa. Partai politik dipisahakan dari rakyat, rakyat
dibuat buta terhadap politik. Partai politik mandapat stigma dari pemerintah
sebagai sesuatu yang kotor dan membahayakan negara, pendidikan politik yang
sehat tidak terbangun di tengah tengah masyakat.Golkar sebagai partai bentukan
pemerintah di rekayasa dengan berbagai cara menjadi partai mayoritas tunggal di
Indonesia.

Dengan alasan keamanan partai politik dibatasi perkembangannya,


pemerintah Orde baru selalu menyatakan budaya oposisi bukan budaya demokrasi
pancasila, budaya demokrasi Pancasila adalah musyawarah, dalam sidang umum
MPR partai politik diminta tidak mengajukan voting dalam setiap pemilihan
presiden dan wakil presiden, tetapi dengan cara bermusyawarah. Dalam
musyawarah semestinya setiap peserta mempunya hak dan derajat yang sama,
6
tidak ada yang lebih mendominasi, tetapi yang terjadi dalam setiap Sidang umum
MPR terjadi tirani mayoritas terhadap minorias, partai- partai politik digiring
untuk menyetujui dan mendukung calon Presiden atau wakil presiden dari partai
Golkar dan militer (Damien Kingsbury, 2003: 63).

Pemerintah dengan alasan untuk menjaga stabilitas keamanan, mengawasi


dan membatasi media televisi dan cetak. Media Televisi yang dijinkan adalah
stasiun televisi pemerintah TVRI dan swasta yang kepemelikan saham mayoritas
milik penguasa. Pemberitaan media umumnya bersifat mendukung program-
progam pembangunan, jarang pemberitaan media yang bersifat mengeritik
pemerintah. Pemberitaan media yang mengeritik pemerintah akan berisiko dimana
surat ijin usaha penerbitan dan penyiaran akan dicabut. Media yang pernah di
cabut Surat Ijin Usaha Penerbitannya adalah Tabloit Detik dan Majalah Tempo,
alasan dicabut Surat Ijin Usaha Penerbitan karena mereka melakukan kritik
terhadap kebijakan pemerintah dalam pembelian Kapal perang bekas milik
Jerman. Informasi pemberitaan semuanya dimonopoli oleh pemerintah, tidak ada
informasi pembanding, mengingat saat itu belum adanya media sosial. Media TV
swasta dibawah kontrol yang kuat pemerintah.

Program pembangunan Repelita yang di canangkan pemerintah Orde Baru,


memaksakan pemerintah harus mencari modal investasi asing dari berbagai
negara donor, negara-negara donor hanya akan mau berinvestasi ke negara negara
yang aman tidak ada konflik sosial, politik dan kriminalitas. Banyak pihak yang
tidak sependapat dengan pemerintah Orde Baru membuka pintu investasi sebesear
besarnya kepada asing. Kalangan kampus terutama mahasiswa mengendaki
pembangunan Indonesia berdasarkan kemandirian, dan tidak terlalu bergantung
kepada investasi asing, ketika kunjungan Perdana Menteri Jepang Tanaka ke
Indonesia di demo oleh mahasiswa, mahasiswa melihat prodak jepang terlalu
mendomisasi pasar Indonesia, Indonesia akan di jadikan negara pasar bagi produk
Jepang.

Demonstrasi mahasiswa atas kunjungan Perdana Menteri Jepang di


Indonesia di kenal dengan peristiwa Malari, Malapetaka 15 Januari, disebut
malapetaka karena menimbulkan korban harta benda akibat aksi demostrasi yang

7
berujung anarkis pembakaran.Insiden peristiwa Malari menyebabkan Panglima
Komando Keamanan dan Ketertiban Jenderal Sumitro mengundurkan diri, karena
merasa gagal mengatasi aksi demostrasi mahasiswa. Sejak peristiwa Malari terjadi
pemerintah bertindak lebih represif terhadap aksi masa,pendekatan keamanan
lebih dikedepankan dalam menghadapi berbagai aksi masa yang melawan
pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok menunjukan pemerintah menggunakan cara
cara represif dalam berhadapan dengan masa yang menentang pemerintah.

Semestinya peran polisi di kedepankan dalam menghadapai demostrasi


masa, sebab fungsi polisi adalah pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat
(Kamtipmas). Di era orde baru peran kepolisian terkalahkan oleh peran komando
teritorial tentara, dengan alasan menjaga keamanan stabilitas negara tentara
mengambil tugas dan fungsi kepolisian. Keterlibatan tentara dalam berbagai
operasi ketertiban dan keamanan dirasakan dampaknya oleh masyarakat, seperti
dalam kasus penembakan misterius atau Petrus. operasi petrus dilakukan oleh
tentara diawal tahun 80 an. Pemerintahan Orde Baru di era 80 an berada pada
masa puncak kejayaan, banyak investasi asing yang masuk ke Indonesia.
Sentralisasi pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa terutama Jakarta,
menyebabkan terjadi kesenjangan ekonomi yang cukup tajam di tengah
masyarakat. Banyak muncul orang kaya baru akibat pertumbuhan ekonomi yang
pesat dan banyak juga muncul orang miskin yang termarjinalkan dari
pembangunan. Migrasi terjadi secara besar besaran ke Jakarta, kebanyakan
migrasi yang datang ke Jakarta tidak memiliki keahliaan, ketrampilan, keadaan ini
memunculan persoalan sosial dan keamanan di Jakarta.

Penembakan Misterus dilakulan oleh tentara, merupakan operasi resmi


dengan tujuan untukmenekan angka kriminalitas yang terjadi di kota kota besar di
Pulau Jawa, dimulai dari Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Bandung. Petrus
Awalnya adalah ide dari Pankomtib Sudomo karena saat itu banyak bajing loncat
yang beroperasi di sekitar pelabuhan Tanjung Priok sehingga menggangu aktifitas
ekonomi di pelabuhan Tanjung Priok, untuk mengatasi bajing loncat di Pelabuhan
tanjung Priok, Pangkopkamtip Sudomo dengan sepengetahuan Presiden Suharto,
melaksanakan operasi penembakan misterius, tetapi mayatnya dari bajing loncat
di kuburkan. Setelah operasi Petrus dilanjutkan oleh Panglima ABRI Jenderal LB
8
Moerdani, mayat dari pelaku bajing loncat yang tewas tertembak, tidak
dikuburkan tetapi di buang dengan alasan untuk memberikan shock therapy
kepada masyarakat (A. H Fatgehipon, 2010:104-105).

Keterlibatan tentara yang sangat jauh dalam urusan keamanan dan


ketertiban menyebabkan selepas era Orde Baru, banyak kasus pelangaran Hak
Asasi Manusia yang melibatkan tentara didalamnya, misalnya kasus Tanjung
Priok, Kasus Munir, Kasus Marsina, Kasus Penembakan Misterius. Pendekatan
keamanan yang dikedepankan oleh pemerintah Orde Baru satu sisi dapat
menciptakan rasa aman bagi masayakat dan investor, tetapi di sisi yang lain
militer masuk dalam jebakan polemik pelanggaran Hak Asasi Manusia di
Indonesia (G Dwipayana & Ramadhan KH, 1989: 389).

Keterlibatan ABRI dalam masalah non-militer pada masa pemerintahan


Soeharto telah berhasil menciptakan ketertiban dan keamanan di Indonesia. Hal
ini bermula dari kebijakan Dwifungsi ABRI, yang mempengaruhi sepak terjang
ABRI dalam kehidupan sosial politik di negara ini. Seperti yang dikemukakan
oleh Moerdiono sebagai Menteri Sekretaris Negara, bahwa salah satu aktor politik
penting dalam Orde Baru adalah ABRI, yang mengembangkan doktrin
Dwifungsinya dan Tri Ubaya Cakti merupakan koreksi total terhadap Orde Lama,
serta upaya yang dilakukan ABRI dalam melaksanakan Pancasila dan UUD 1945
secara murni dan konsekuen (Indria Samego, et al, 1998: 144).

2.2.2 Bidang Politik

Menurut Harold Crouch dalam karya analitiknya The Army and Politics in
Indonesia, ia mencatat bahwa militer Indonesia, sejak awal berdirinya, tidak
pernah menganggap diri mereka sebagai instrumen negara yang peduli dengan
masalah keamanan. Sebaliknya, TNI selalu menganggap dirinya sendiri sebagai
"kekuatan militer" dan "kekuatan sosial-politik Indonesia." Orde Baru (Orba)
kemudian melembagakan basis ideologis TNI ini. Dari sini kita bisa menyaksikan
bagaimana TNI berhasil mendominasi politik Indonesia selama lebih dari tiga
dekade (1966-1998).

Sejak pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai


kehidupan non-militer telah menjadi sebuah keharusan, baik melalui doktrin peran
9
sosial politik ABRI maupun dari ketentuan perundangan yang mendasarinya,
sampai ke implementasi strukturalnya. Kehadiran ABRI dalam berbagai
kehidupan telah menjadi sesuatu hal yang tidak terpisahkan dari Pelembagaan
Dwifungsi ABRI di era Soeharto merupakan bagian dari pelembagaan Piramida
Orde Baru yang mencakup seorang presiden dengan kekuasaan yang sangat
dominan, angkatan bersenjata yang sangat aktif berpolitik, proses decision making
yang berpusat pada birokrasi dan pola hubungan state-society yang
mengkombinasikan kooptasi responsivitas dengan represi. Fenomena ini merujuk
pada peran militer yang dominan dan kemudian menimbulkan asumsi dan
keraguan masyarakat akan efektivitas konsep Dwifungsi ABRI (Firdaus , 2011: 4-
5).

Setelah kudeta PKI yang menggemparkan dan mengakibatkan


terbunuhnya enam pimpinan Angkatan Darat, termasuk Ahmad Yani,
kepemimpinan Angkatan Darat diambil alih Suharto. Kejatuhan Sukarno
mengawali era baru perpolitikan Indonesia di mana militer memiliki posisi paling
kuat. Lewat Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), 1966, Sukarno
menyerahkan semua kekuasaan eksekutif kepada Suharto, dan pada Maret 1967
Sukarno dibebastugaskan. Suharto mengembangkan doktrin baru dengan
meninggalkan “Jalan Tengah” Nasution demi prinsip di depan memberi teladan
(ing ngarso sung tulodo), di mana ABRI harus memimpin dari depan. Sementara
Dwifungsi angkatan bersenjata telah disahkan pada Seminar Angkatan Darat
Pertama tahun 1965, Seminar Angkatan Darat Kedua mengukuhkan Dwifungsi
dan menghasilkan sejumlah terobosan penting yang secara resmi disahkan oleh
MPRS 1966 ketika Resolusi 14 antara lain menyatakan bahwa “fungsi non-militer
anggota ABRI, sebagai warga negara dan revolusioner yang pancasilais harus
diakui dan dijamin kesinambungannya (Said, 1991: 45-49).

Sejak Tahun 1966, fungsi sosial-politik angkatan bersenjata dilaksanakan


melalui karyawan atau fungsionaris yang merupakan anggota angkatan bersenjata
tetapi bertugas di luar kedinasan ABRI, baik di legislatif maupun eksekutif.
Dwifungsi di era Orde Baru ini mengacu pada penggabungan fungsi umum ABRI
sebagai kekuatan pertahanan dan fungsi kekaryaan ABRI. Pandangan ini segera
dominan dalam masa setelah peristiwa GESTAPU/GESTOK karena dirasakan
10
perlunya mengisi kekosongan yang terjadi akibat aksi pembersihan terhadap PKI
di berbagai bidang kemasyarakatan, juga untuk memulihkan ketertiban setelah
berbagai peristiwa yang mengguncang negara terjadi. Praktis, Dwifungsi ABRI
menguasai seluruh aspek sosial politik bangsa di era Orba (Azwar dan Suryana,
2021: 167-168).

Keterlibatan militer di Indonesia, dalam politik telah dimulai semenjak era


revolusi. Peran sosial politik militer ini merupakan peran kedua yang harus
diemban oleh anggota-anggota ABRI, selain dari peran pertama yang menyatakan
ABRI harus terlibat dalam pertahanan dan keamanan. Kedua peran tersebut
tertuang dalam kandungan Dwifungsi ABRI. Dengan kata lain, ABRI tidak saja
menjalankan fungsi hankam saja, tetapi juga meanjalankan fungsi sosial
politiknya yang memberikan peluang bagi anggota ABRI untuk memangku
jabatan sipil tanpa meninggalkan statusnya sebagai anggota militer.

Pengaruh kebijakan Dwifungsi ABRI terhadap peran-peran militer pada


masa pemerintahan Soeharto, khususnya dalam bidang sosial politik memang
mengerucut kepada hasil yang telah dilakukan oleh militer itu sendiri. Setelah
Dwifungsi ABRI ini mendapatkan legitimasi dari pemerintah lewat konstitusi,
maka semakin lebarlah jalan militer untuk menjalankan fungsi keduanya.
Pengaruh dan peran ABRI di bidang non-hankam pada masa Orde Baru dimulai
sejak 1966, setelah Soeharto diangkat sebagai Ketua Presidium Kabinet
merangkap Menteri Utama Bidang Pertahanan dan Keamanan, dan Nasution
secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS). Dari hal tersebut, bisa dilihat bahwa dari sanalah pertanda
militer akan mulai masuk ke dalam peranan sosial politik.

Pada perkembangannya, ABRI menjadi kekuatan dominan dalam


pemerintahan. Presiden berasal dari ABRI, dan juga banyak menteri yang berasal
dari ABRI. Bahkan pada kurun waktu 1960-an dan 1970-an hampir semua
gubernur dan bupati/walikota berasal dari ABRI, ditambah pula dengan adanya
Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang mempunyai
peran yang cukup besar pada waktu itu. Partai-partai politik pun menjadi kurang
berpengaruh dan mengalami intervensi dari pihak militer untuk menjamin agar

11
pemimpin-pemimpinnya tidak mengganggu stabilitas politik (Syamsuddin Haris
dan Riza Sihbudi, 1995: 99).

Selain itu, pengaruh yang cukup besar dalam implementasi peran sosial
politik ABRI ini juga sangat terasa dalam parlemen. Berawal dari Penetapan
Presiden No. 4 Tahun 1960 mengenai pembentukan DPR baru yang disebut DPR-
GR (Gotong Royong). Komposisi DPR-GR adalah 130 orang wakil dari partai
politik dan 152 orang dari perwakilan golongan fungsionil (karya) serta seorang
wakil dari Irian Barat. TNI memperoleh jatah 35 kursi sebagai bagian dari
golongan fungsionil (karya) angkatan bersenjata. Ini merupakan saat pertama TNI
memiliki wakil dalam lembaga legislatif. Posisi ini kemudian diikuti dengan
penempatan wakil TNI di DPRD, baik di daerah tingkat I maupun tingkat II. Pada
perkembangan berikutnya, posisi TNI di parlemen semakin kuat. Masa Orde Baru
dibawah Soeharto ini menempatkan TNI dalam posisi yang strategis. Pada
perkembangan selanjutnya, jumlah kursi TNI di DPR pun mengalami
peningkatan. TNI memperoleh jatah 100 kursi, sedangkan di DPRD I dan DPRD
II TNI memperoleh 20% jatah kursi dari total anggota yang ada dalam lembaga
perwakilan tersebut (Dewi Fortuna Anwar, et al, 2002: 124).

Posisi ABRI yang menjadi mayoritas di parlemen pun mau tidak mau ikut
mempengaruhi dari setiap kebijakan yang dihasilkan. Secara tidak langsung,
Soeharto mengendalikan lembaga legislatif ini melalui anggota-anggota ABRI
yang duduk di parlemen. Sehingga kebijakan-kebijakan yang bisa mengancam
stabilitas pemerintahannya pun bisa di minimalisir dengan adanya peran militer di
dalamnya. Dengan masuknya ABRI dalam parlemen, maka semakin
memperkokoh kedudukan dan posisi militer, serta sama halnya dengan di
Indonesia, militer merasa dirinya sangat mempunyai peran yang penting dalam
negara. Bukan hanya sebagai alat pertahanan keamanan saja, tetapi juga menjadi
pelindung nasional yang mengintegrasikan dirinya dalam kancah politik di
Indonesia. Dengan kebijakan Dwifungsi ABRI yang dimilikinya, militer semakin
merasa bahwa tindakan-tindakan yang dilakukannya adalah semata-mata untuk
kepentingan rakyat, walaupun engaruh militer dalam bidang sosial politik di
Indonesia. pada perjalanannya peran militer mempunyai perluasan peran yang

12
menjadikan militer sebagai kekuatan yang mendominasi dalam pemerintahan
(Firdaus, 2011: 7-8).

BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

1. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum di Indonesia, masa orde


baru yang dipimpin Soeharto selama 32 tahun merupakan masa yang
melelahkan karena kepemimpinan yang militeristik dan represif. Harus
diakui bahwa beberapa pencapaian, terutama di bidang ekonomi, memang
diraih. Situasi sosial-politik di Indonesia, baik yang positif maupun
negatif, tidaklah bisa dilepaskan dari pengaruh berbagai gejolak yang
terjadi di tingkat global. Hanya, akibat pengaruh global tersebut memang
ditentukan oleh citra diri dan identitas bangsa itu sendiri. Masing-masing
bangsa dan negara di dunia sudah pasti memiliki citra diri dan identitas
masing-masing sehingga akibat pengaruh global yang diterima setiap
bangsa dan negara pun akan berbeda.
2. Pemerintah Orde Baru terlahir dari pertarungan kekuatan militer yang pro
terhadap Pancasila, dengan kekuatan PKI dan Sukarnois. Saat militer
memegang kekuasaan dalam pemerintahan Orde Baru, nilai nilai
demokratis, aspek supremasi sipil kurang mendapat perhatian, demokrasi
diera Orde Baru adalah demokrasi yang berada dibawah kontrol peguasa,
sebab demokrasi tanpa pengawasan akan menjadi ancaman bagi
pemerintah. Meski banyak kalangan yang menilai bahwa pemerintahan
Orde Baru adalah otoriter dimana peran eksekuti sangat kuat dan dominan,
tetapi dalam pemerintahan Orde Baru, pemerintah secara rutin setiap lima
tahun menyelenggarakan pemilihan umum,
Sejak pemerintahan Orde Baru, keterlibatan militer dalam berbagai
kehidupan non-militer telah menjadi sebuah keharusan, baik melalui
doktrin peran sosial politik ABRI maupun dari ketentuan perundangan

13
yang mendasarinya, sampai ke implementasi strukturalnya. Kehadiran
ABRI dalam berbagai kehidupan telah menjadi sesuatu hal yang tidak
terpisahkan dari Pelembagaan Dwifungsi ABRI di era Soeharto.

3.2 Saran

Penyusun menyadari dalam pembuatan makalah ini terdapat banyak sekali


kekurangan, oleh karena itu penyusun mengaharapakan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca untuk kebaikan penulisan selanjutnya. Penyususn juga
berharap dengan adanya makalah ini dapat digunkan sebagai sumber referensi
materi bagi pembaca, dan penyususn mengharapkan agar pembaca tidak terfokus
pada makalah ini saja melainkan juga mencari sumber rujukan atau referensi yang
lain.

14
DAFTAR PUSTAKA

Acep, I, S. 2007. Indonesia Dalam Dua Orde: Sebuah Citra Yang Retak. Jurnal
Sosioteknologi. Vol. 10(6).
Anwar, D. F. et al. 2002. Gus Dur Versus Militer: Studi Tentang Hubungan Sipil-
Militer di Era Transisi. Jakarta: PT. Grasindo.

Azwar, Asrudin dan Suryana, Mirza Jaka. 2021. Dwifungsi TNI dari masa ke
masa. Jurnal Academia Praja. Vol. 4(1).

Crouch, Harold. 1978. The Army and Politics in Indonesia. Itacha: Cornell
University Press.

Dipayana, G dan Ramadhan KH. 1989. Soeharto Pikiran Ucapan dan Tindakan.
PT Lamtoro. Jakarta: Gum Persada.
Fatgehipon, Abdul Haris. 2010. Tentara dan Pergolakan Politik di Indonesia.
Jakarta: Cahaya Penelang.
Haris, S. dan Sihbudi, R. 1995. Menelaah Kembali Format Politik Orde Baru.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Hariyono. 2006. Kebijakan Ekonomi di Awal Orde Baru Membuka Pintu Lebar-
Lebar bagi Modal Asing Malang. Jurnal Eksekutif . Vol. 3 (3).

Kingsbury, Damin. 2003. Power Politics and the Indonesia Military. London.
Kusmanto, H. 2007. Desa Tertekan Kekuasaan. Medan : BITRA Indonesia.
Lowry, Robert. 1996. The Armed Forces Of Indonesia. Australia: Allen & Unwin.

Moertopo, Ali. 1981. Strategi Pembangunan Nasional. Jakarta : CSIS.


Said, Salim. 1991. Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian
Military in Politics. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

15
Samego, I, et al. 1998. Bila ABRI Menghendaki: Desakan Kuat Reformasi Atas
Dwifungsi ABRI. Bandung: Mizan.

Siddiq, Muhammad. 2019. Profesionalisme Militer Pada Pemerintahan Soeharto


dan Abdurrahman Wahid (Kajian Perbandingan Sosial-Historis). Jurnal
Politik dan Sosial Kemasyarakatan. Vol. 11(1).

Soeharto. 1985. Amanat Kenegaraan I, 1967- 1971, Jilid II. Jakarta : Inti Indayu
Press.
Sugiarto, Nur Khairunisa. 2018. Bisnis Militer Pasca Orde Baru. Jurnal Ilmu
Pemerintahan. Vol. 4(2).

16

Anda mungkin juga menyukai