Indonesia
Disusun Oleh:
Nur Fauziah
E041201060
Ilmu Politik
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan
kesempatan pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini.Atas rahmat dan hidayah-Nya lah
penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Sejarah Pertumbuhan Kekuatan-
Kekuatan Politik Indonesia.Makalah untuk memenuhi tugas Kekuatan Politik Indonesia
B,Universitas Hasanuddin .
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang diberikan akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................................ 3
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan..................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan.............................................................................................................. 17
B. Saran........................................................................................................................ 17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuatan-kekuatan politik yang saling berinteraksi dalam sebuah sistem politik, pada
dasarnya merupakan unit-unit politik yang turut membentuk struktur politik. Dalam
perspektif behavioralisme, individu ditempatkan sebagai unit terkecil dari sebuah sistem
politik. Oleh karena itu, individu dapat dilihat sebagai bagian dari kekuatan politik, terutama
individu yang berkedudukan sebagai pemimpin politik. Dalam sistem politik, unit-unit politik
yang membentuk sistem politik berwujud tindakan-tindakan politik. Tindakan politik
merupakan tindakan yang berkaitan dengan proses pembuatan keputusan yang mengikat
masyarakat. Dengan demikian, sistem politik adalah semua tindakan yang langsung berkaitan
dengan pembuatan keputusan yang otoritatif. Adapun di luar sistem yang memiliki ciri
tersebut dilihat sebagai lingkungan di luar sistem, seperti ekologi, ekonomi, kebudayaan,
kepribadian, struktur sosial, dan demografi.kekuatan-kekuatan politik dapat
mengorganisasikan diri dalam berbagai kekuatan politik yang lebih memungkinkan suatu
kekuatan politik untuk berkontestasi dengan kekuatan politik yang lain, baik dalam perebutan
sumber ekonomi maupun kekuasaan politik. Pengorganisasian tersebut dapat mewujud dalam
civil society, seperti LSM, kelompok studi, dan organisasi kemahasiswaan; political society,
seperti partai politik, birokrasi, militer, buruh; serta economical society, seperti pemilik
modal dan organisasi bisnis, yang semuanya akan bergantung pada karakterisitik dan modal
sosial yang mendukungnya.Aktualisasi kekuatan-kekuatan politik tersebut dalam perpolitikan
sehari-hari bergantung pada lingkungan internal dan eksternal, tempat kekuatan-kekuatan
politik tersebut berkontestasi. Pada era Orde Baru, ketika sistem politik dibangun di bawah
kendali kekuatan militer, dalam lingkungan internal, seperti represifnya kekuasaan,
pembatasan terhadap media massa, rekayasa kelembagaan, kooptasi organisasi sosial-sebagai
akibat dari keberhasilan militer ketika terjadi perebutan pengaruh pada era menjelang
pemerintahan Orde Baru-tersebut dominasi militer begitu nyata. Interaksi politik yang
berujung pada konsensus dan diskonsensus antara kekuatan politik yang ada, selalu berada di
bawah kontrol militer. Meskipun di tingkat suprastruktur seperti di DPR, terjadi dialektika
antara kekuatan politik yang ada di DPR pada waktu itu. Kesepakatan yang muncul tidak
pernah lepas dari agenda besar kekuatan militer atau oligarki militer di bawah komando
kekuasaan Soeharto.
A.Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia Pada Masa Sebelum
Kemerdekaan?
2. Bagaimana Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia Pada Masa Awal
Kemerdekaan?
3. Bagaimana Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia Pada Masa Demokrasi
Liberal?
4. Bagaimana c ?
5. Bagaimana Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia Pada Masa Orde Baru?
6. Bagaimana Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia Pada Masa Orde
Reformasi?
B. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui maksud dari Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia
Pada Masa Sebelum Kemerdekaan?
2. Untuk mengetahui Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia Pada Masa
Awal Kemerdekaan?
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia
Pada Masa Demokrasi Liberal?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia
Pada Masa Demokrasi Terpimpin?
5. Untuk Mengetahui Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia Pada Masa
Orde Baru?
6. Untuk Mengetahui Bagaimana Sejarah Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia
Pada Masa Orde Reformasi?
BAB II
PEMBAHASAN
Tak bisa dipungkiri awal mula pertautan antara militer dan politik di Indonesia
berkaitan erat dengan tentara kerajaan Belanda di Hindia-Belanda bernama KNIL (Koninklijk
Nederlandsch-Indisch Leger). Pada pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada
akhir 1949-1950. Ketika itu Hatta menjadi Perdana Menteri RIS. Ia membentuk Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS). Namun, ternyata semua jabatan paling atas
dalam Angkatan Perang dipegang oleh perwira-perwira bekas KNIL. Dan, para perwira
KNIL adalah orang yang tidak kosong dalam pengetahuan politik. Selain mendapatkan
pendidikan kemiliteran, mereka juga mendapatkan pengetahuan politik.
Pasukan KNIL terutama terdiri dari serdadu-serdadu pribumi yang dari golongan etnik
pilihan dan korps perwira yang terdiri dari orang belanda dan segelintir orang Indonesia. Pada
mulanya KNIL hanya dimaksudkan untuk memelihara keamanan dalam negeri. Seiring
dengan datangnya Jepang ke Indonesia dan mereka membutuhkan tenaga dari para pemuda,
maka Jepang mendirikan organisasi militer dan para-militer seperti PETA (Pembela Tanah
Air) dan Heiho, pasukan pembantu yang dipergunakan untuk melakukan penjagaan.
Pada era ini, tampak sekali pertautan antara militer dan politik. Namun makna politik
pada era ini lebih diartikan sebagai kekuatan untuk membantu Jepang dalam menghalau
kekuatan Sekutu yang hendak menjajah kembali Indonesia. Pertautan antara militer dan
politik itu tampak pada kenyataan bahwa penunjukan pemimpin dalam kalangan militer ini
tidak berdasarkan kualitas melainkan pertimbangan politis. Para pemimpin kalangan militer
berasal dari pemimpin politik yang berpengaruh, sehingga pengangkatan mereka ke posisi-
posisi militer yang lebih tinggi diharapkan akan mendorong keinginan para pemuda dari
daerah asal mereka menjadi anggota pasukan itu. Para pemuda itu tidak hanya mendapatkan
pendidikan militer, tapi juga ditanamkan semangat anti-Sekutu.
Kendati blunder, karena keluar dari cengkeraman buaya (Belanda) masuk ke kandang
macan (Jepang), kaitan militer dan politik dalam era ini tidak begitu krusial. Politik hadir
dalam militer sebagai semacam “dakwah” bagi pemuda untuk memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia. Namun, setelah merdeka hubungan keduanya fluktuatif, kadang intim namun tidak
jarang juga seumpama musuh dalam selimut.
Keadaan kehidupan politik dan pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan masih belum
stabil.Ketidak setabilan ini di sebabkan oleh faktor-faktor berikut .
Adanya persaingan antar partai politik yang berbeda ideologi untuk menjadi partai
yang paling berpengaruh di indonesia.Adanya gangguan-gangguan keamanan dalam negeri.
Bangsa Indonesia masih mencari sistem pemerintahan yang cocok sehingga terjadi
perubahansistem pemerintahan.
B. Faktor ekstern (dari luar), antara lain :Kedatangan Sekutu (Inggris) yang di
boncengi NICA (Belanda) yang ingin kembali menjajah Indonesia,menimbulkan
pertempuran di berbagai daerah.Jepang masih mempertahankan status quo di wilayah
Indonesia sampai Sekutu datang sehingga sering terjadi peperangan antara rakyat Indonesia
dan tentara Jepang.
Pada tanggal 3 November 1945 pemerintah mengeluarkan Maklumat Politik sebagai berikut :
2)Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelum di laksankannya
pemilihan anggota Badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Pada awal kemerdekaan, politik luar negeri Indonesia difokuskan pada bagaimana
memperoleh pengakuan dari negara lain atas kemerdekaannnya. Pada tanggal 18 Agustus
1945 Undang-Undang Dasar 1945 disahkan. Pembukaan UUD 1945 alinea ke empat
berbunyi “....melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan
keadilan sosial”. Kemudian mencetuskan politik BEBAS AKTIF. Bebas yang berarti bahwa
Indonesia bebas untuk bertindak menurut dirinya sendiri dan tidak dipengaruhi oleh pihak
manapun dan aktif dimana Indonesia aktif menjaga perdamaian dunia.
Era ini disebut sebagai masa reformasi. Di era ini terdapat dorongan agar para pimpinan
TNI meninggalkan perannya di bidang politik. Tak pelak, hal ini memberi nuansa yang
berbeda dalam soal hubungan sipil-militer. Hal itu terkait dengan ditinjaunya kembali peran
sosial-politik militer. Sebagai konsekuensi nyata adalah dipersoalkannya kembali doktrin
dwi-fungsi ABRI, bahkan banyak tuntutan agar doktrin tersebut dihapuskan. Pada 1998,
tekanan yang luar biasa dilakukan oleh mahasiswa dan rakyat telah menyebabkan TNI
kehilangan wibawa dan melemahkan bargaining position militer di arena politik nasional.
Seiring dengan itu, tuntutan terhadap supremasi sipil semakin menguat. Sebab bila sipil
mendapatkan prioritas utama maka dengan sendirinya akan melahirkan antitesis atas
dominasi militer dalam politik.
Dengan lepasnya Polri dari ABRI sejak bulan April 1999, tugas-tugas keamanan yang
selama itu menjadi tanggung jawab militer beralih kepada peran kepolisian. Secara bertahap
namun berjalan dengan cepat, polisi mengambil alih peran keamanan dan ketertiban
masyarakat di mana sebelumnya mengedepankan aparat militer daripada kepolisian. Di era
reformasi berbagai tindakan kepolisian dapat dilakukan lebih mandiri oleh aparat kepolisian
tanpa harus khawatir dengan peran kepentingan militer. Ternyata di sisi lain pemisahan ini
membuat soal baru, yaitu keterlibatan militer dengan bisnis.
Selama pergantian presiden, terjadi beberapa dinamika menarik seputar militer dan
politik. Naiknya orang sipil sebagai pejabat menteri pertahanan adalah perubahan
menggembirakan di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2002).
Penunjukan ini berguna untuk menghapus jejak-jejak politik militer yang mendominasi
hampir setengah abad. Selain itu, Presiden Abdurrahma Wahid juga menempatkan perwira
tinggi non-Angkatan Darat dalam jabata strategis, sperti pengangkatan panglima TNI dari
matra TNI Angkatan Laut. TNI Angkatan Darat tidak lagi dimitoskan sebagai institusi yang
menjadi motor penguasa.
Karena hubungan politik dan militer mendapatkan legitimasi dalam UU maka refromasi
pun dilakukan dalam hal perubahan UU. Hal ini terjadi pada era Presiden Megawati (Agustus
2001-Desember 2003). Saat itu terjadi amandemen UUD 1945, hak memilih dan dipilih bagi
prajurit TNI/Polri dalam pemilu, RUU tentang TNI dan kebijakan pemerintah membeli
pesawat tempur Sukhoi dari Rusia. Menyikapi tuntutan masyarakat yang menghendaki
dilakukannya amandemen UUD 1945 di mana disambut positif oleh MPR, pada dasarnya
TNI berpandangan bahwa belum perlu dilakukan perubahan yang sifatnya fundamental.
Sikap TNI yang menolak menggunakan hak memilih dan dipilih dalam pemilihan
umum, pada awalnya menimbulkan perdebatan yang tajam antara kalangan sipil-militer
sendiri. Kalangan sipil menilai TNI belum dewasa untuk hidup di alam demokrasi yang
menuntut persamaan hak asasi manusia dalam menentukan pilihan politiknya.Tidak
digunakannya hak politik para prajurit untuk memilih dan dipilih dalam pemilu dapat
dianggap bahwa militer tidak tersentuh oleh ketentuan Undang-Undang sebagai warganegara
biasa. Sebagian kalangan sipil menuduh militer tersebut siap untuk berdemokrasi dan
memiliki ketakutan berlebihan. Sementara kalangan militer berpandangan bahwa penggunaan
hak memilih dan dipilih bagi prajurit yang belum purnawirawan dapat membahayakan
keutuhan lembaga militer sendiri. Para prajurit dikhawatirkan akan menjadi objek tarik-
menarik kepentingan dari berbagai kekuatan politik yang membutuhkan dukungan militer.
Bila itu terjadi maka dikhawatirkan militer akan terpecah belah.
Namun, menjelang pemilihan umum 2009 ada kejutan menarik seputar hal ini. Ketika
itu, Jenderal Endriatono Sutarto menyatakan bahwa menghapuskan hak memilih dan dipilih
dari militer termasuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Dan memang, di
negara lain militer memiliki hak untuk dipilih dan memilih. Norma HAM dan demokrasi
tidak mengenal diskriminasi politik berdasarkan latar berlakang profesi. Namun, keberadaan
militer di Indonesia tentu tidak bisa dibaca secara hitam putih dari perspektif HAM saja.
Sepanjang sejarahnya, militer memiliki track record buruk dalam konteks perpolitikan di
Indonesia. Oleh karena itu, sejauh masih bisa menimbulkan dorongan untuk menggunakan
kekuatan dalam politik oleh kalangan militer dan kekuatan sipil masih lemah dalam
demokrasi, maka opsi memberikan hak pilih kepada militer belum lagi bisa diterima.
Dan memang sudah semestinya tentara dikembalikan sebagai alat untuk pertahanan dan
polisi sebagai pengawas keamanan. Namun, jika militer hendak berpolitik maka caranya
adalah dengan mengajukan pensiun. Dengan begini, ketika memilih calon pemimpin maka
masyarakat tidak lagi didasarkan atas ketakutan. Tapi mereka memilih memang atas dasar
kesadaran bahwa seseorang itu layak menjadi pemimpin. Dalam benak masyarakat tidak ada
lagi bayang- bayang ketakutan.Masyarakat menjadi sehat dan dinamika perkembangan akan
maju.
Ini salah satu kemajuan. Untuk itu, bisa kita sebut fenomena bertaburnya para jenderal
dalam pemilihan umum 2009 adalah kemajuan. Ketika menjadi purnawirawan, dengan
sendirinya maka mereka telah menjadi sipil. Jika begitu, tak usah terlalu risau dengan kondisi
ini. Sistem dalam militer akan menaati atasan sepanjang ia berada dalam garis koordinasi.
Dan masyarakat Indonesia semakin hari semakin bisa belajar dan mampu memberikan
hukuman tersendiri kepada para politisi dengan cara tidak memilihnya kembali di masa
mendatang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
PEMILU 2009 diwarnani oleh keterlibatan purnawirawan, baik dari Tentara Nasional
Indonesia (TNI) maupun Polisi, yang secara kuantitas relatif sangat banyak. Mayoritas yang
terlibat berpangkat Jenderal. Dalam pemilihan presiden (pilpres), dari tiga calon
presiden/wakil presiden yang bersaing, semuanya terdapat unsur purnawirawan.
Fenomena ini menunjukkan perkembangan menarik seputar militer di Indonesia. Selain itu,
fenomena ini juga merupakan bukti kemajuan demokrasi di Indonesia karena dengan
demokrasi kalangan militer bisa memasuki ranah politik dengan jalan baik dan fair.
Syaratnya mereka sudah tidak lagi menenteng amunisi dan senjata.Kekhawatiran utama
militer aktif adalah dengan dukungan amunisi, militer menjadi momok yang menakutkan
bagi rakyat. Rakyat tidak lagi diperhadapkan pada kekhawatiran atas hilangnya idealisme
yang melahirkan perlawanan. Tetapi mereka lebih khawatir akan hilangnya nyawa mereka
dengan sia-sia di ujung senapan. Syarat militer harus non-aktif ketika masuk ranah politik
tidak terdapat dalam Orde Baru (Orba). Di zaman Orba, anggota militer aktif dengan mudah
memasuki ranah politik. Hal itu wajar dan memiliki legitimasinya dengan keluarnya
kebijakan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Jika ditilik dengan
cermat, hal ini sebenarnya bertentangan dengan semangat demokrasi yang bertujuan
menjunjung tinggi kebebasan menuju masyarakat berkeadilan dan makmur.Setelah
reformasi, dan terus sampai sekarang, terjadi banyak kemajuan dalam politik dan militer.
Salah satunya adalah jika militer ingin berpolitik, maka ia mesti penisun terlebih dahulu. Hal
itu dipertegas dengan Pasal 39 Undang-Undang (UU) Nomor 34/2004 tentang TNI. UU
tersebut melarang prajurit TNI untuk ikut terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai
politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota
legislatif dalam pemilu. Inilah keberhasilan dan kemajuan yang diraih berkat refromasi.
B. Saran
Penulis makalah ini menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari kata
sempurna, dan jikalau terdapat kesalahan pada penulisan, peulis berharap untuk diperbaiki
dan dimaklumi
Daftar Pustaka