P E M E R I N TA H A N O R D E B A RU,
1965-1998
”Sekarang kita punya stabilitas. Bahkan jika orang bilang kita tidak punya
demokrasi, itu tidak masalah karena kita punya stabilitas. Dan yang paling penting
dengan begitu terdapat perkembangan.” - Laksamana Sudomo, 1983.
Latar Belakang
1
membentuk suatu etos kebersamaan yang kuat di antara para pemimpin militer. 1
Hal ini tentunya dapat terjadi karena tentara sejak awal sudah berjuang bersama
rakyat dan demi rakyat. Kemunculan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang lahir
di bawah tekanan Agresi Militer Belanda seakan memperkuat persepsi bahwa
tentara harus berjuang demi rakyat, bahkan terkadang harus mengambil alih peran
sipil dalam roda pemerintahan.
1 David Jenkins. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim Militer Indonesia 1975‐1983.
(Jakarta : Komunitas Bambu, 2010), Hlm. 1.
2
sebagai sebuah riak di tengah samudera revolusi oleh Presiden Soekarno.2 Setelah
peristiwa tragis tersebut, peran militer dalam pemerintahan mengalami
transformasi besar yang berujung kepada tatanan birokrasi Orde Baru.
Periode masa Orde Baru yang berlangsung dari tahun 1965 hingga 1998
ditandai dengan dominasi Soeharto sebagai presiden di dalam pemerintahan.
Posisi menonjol Presiden Soeharto menjadi salah satu fenomena paling mencolok
untuk menggambarkan pemerintah pada masa Orde Baru. Pemerintahannya
didukung oleh kelompok militer, dimana kelompok ini menjadi ekstensi daripada
peran Soeharto dalam menjalankan pemerintahan. Soeharto mendominasi hampir
seluruh elemen pemerintahan, baik dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Peran
Soeharto digambarkan oleh David Jenkins dalam Soeharto dan Barisan Jenderal
Orba.
2 John Roosa, Pretext to Mass Murder : The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’etat
in Indonesia. (Madison : The University of Wisconsin Press, 2006), Hlm. 37.
3 David Jenkins. Op.cit. Hlm. 18.
3
memiliki wujud yang sangat rigid dan sentralistik, dimana proses pemerintahan
didominasi oleh kelompok militer yang ditempatkan di berbagai posisi di dalam
birokrasi melalui doktrin Dwifungsi ABRI yang dicanangkan oleh Jenderal A.H.
Nasution.
Sebagian besar dari tokoh-tokoh ini adalah rekan Soeharto, kamerad yang
berjuang bersama Soeharto sejak masa Revolusi. Dominasi kelompok perwira ini
pada akhirnya mulai surut setelah terjadi regenerasi pada tahun 1970-an, dimana
4
Jenderal L.B. “Benny” Moerdani menjadi tokoh sentral dalam urusan keamanan
dan intelijen di Indonesia.
5John T. Sidel. Macet Total : Logics of CirculaMon and AccumulaMon in the Demise of Indonesia’s
New Order. Indonesia No.66. October 1998. Hlm. 166.
6Harold Crouch. Patrimonialism and Military Rule in Indonesia. World PoliTcs Vol 31 No.4. July
1974. Hlm. 576.
5
militer agar tidak memilih lawan politik Golkar. Dengan cara ini, pemerintah
Soeharto dapat mengendalikan sebagian besar lawan politiknya dengan cara
meredam pendukungnya. Bahkan setelah Pemilu 1971, pemerintah sempat
mengeluarkan perintah untuk melarang kegiatan partai di tingkat desa.7
6
merupakan pemerintahan yang patriarkis, dimana puncak kekuasaan dikendalikan
secara turun temurun.9 Sedangkan apabila kita merujuk kepada buku Origins of
Political Order karya Francis Fukuyama, patrimonialisme disebut sebagai sebuah
pemerintahan yang mendasarkan rekrutmen kader atau birokratnya kepada faktor
hubungan darah (kin selection) dan sebuah siklus altruisme.10 Patrimonialisme
kerap terlihat di negara-negara yang memiliki sejarah tradisi aristokratik yang
kuat.
9 The American Academy of PoliTcal and Social Science. Julia Adams and Liping Wang : Bridging
the Gap between China and Europe. hWp://aapss.org/the‐annals/recent‐volumes/2011/08/11/
julia‐adams‐and‐liping‐wang‐bridging‐the‐gap‐between‐china‐and‐europe. Diakses pada 2 Juni
2013.
10 Francis Fukuyama, The Origins of PoliMcal Order. (New York : FSG Books, 2012), Hlm. 439.
7
dan ideologi yang melanda Indonesia selama berpuluh-puluh tahun pada masa
Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin. Isu stabilitas yang diusung oleh
Orde Baru sangat populer di sebagian masyarakat, terutama kalangan militer dan
elit politik oposisi yang nasibnya dapat dikatakan tidak menentu pada masa
Soekarno. Tetapi bagi oposisi Soeharto -- sebagian besar didominasi oleh
pendukung Soekarno dan kelompok kiri -- kemunculan Orde Baru menjadi sebuah
mimpi buruk politik.
8
bagi calon birokrat dan program-program rakyat seperti Kelompencapir di
wilayah pedesaan.
Sisi negatif dari birokrasi Orde Baru adalah faktor patrimonialisme yang
meresap ke dalam birokrasi. Sejak masa pra-kolonial, masyarakat Indonesia
memiliki tempat tersendiri bagi patrimonialisme. Sikap masyarakat yang masih
terbuka kepada pola hubungan patron-client membuat implementasi kekuasaan
yang tadinya dikendalikan oleh sekelompok elit politik, dalam hal ini kaum
militer, dapat diadaptasi oleh mayoritas masyarakat. Selain itu, dinamika dan
perubahan yang bergulir di segi ekonomi serta politik juga menjadi elemen
tersendiri yang mengganggu stabilitas patrimonialisme Orde Baru. Hal ini dapat
terjadi karena pada dasarnya patrimonialisme hanya dapat berjalan dengan baik
saat suatu kondisi politik dan ekonomi suatu negara dapat dikatakan stabil.12
Kesimpulan
9
memberikan solusi terhadap masalah yang telah lama melanda pemerintahan
Indonesia, yaitu stabilitas politik. Tetapi, stabilitas politik pada masa Orde Baru
ini hanya dapat terjadi karena adanya perkembangan ekonomi dan depolitisasi
massa. Kedua hal tersebut menjadi tulang punggung bagi sebuah pemerintahan
yang patrimonial.
10
Daftar Pustaka
Fukuyama, Francis. The Origins of PoliMcal Order. New York: FSG Books, 2012.
Crouch, Harold. Patrimonialism and Military Rule in Indonesia. World PoliTcs, Vol
31 No.4. (Jul., 1974).
Jenkins, David. Soeharto dan Barisan Jenderal Orba : Rezim Militer Indonesia
1975‐1983. Jakarta : Komunitas Bambu, 2010.
Roosa, John. Pretext to Mass Murder : The September 30th Movement and
Suharto’s Coup d’etat in Indonesia. Madison : The University of Wisconsin Press,
2006.
Sidel, John T. Macet Total : Logics of CirculaMon and AccumulaMon in the Demise
of Indonesia’s New Order. Indonesia, No.66. (Oct. 1998).
The American Academy of PoliTcal and Social Science. Julia Adams and Liping
Wang : Bridging the Gap between China and Europe. hWp://aapss.org/the‐
annals/recent‐volumes/2011/08/11/julia‐adams‐and‐liping‐wang‐bridging‐the‐
gap‐between‐china‐and‐europe. Diakses pada 2 Juni 2013.
11