Anda di halaman 1dari 33

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penelitian ini mencoba mengungkap peran dwi fungsi ABRI di masa
Orde Baru pada film Istirahatlah kata-kata. Film ini dinilai penting karena
menjadi sedikit dari film Indonesia yang mengangkat kisah militer pada masa
Orde Baru dari sudut pandang sipil (masyarakat). Untuk itu, penelitian ini
berupaya membaca representasi ABRI dalam menjalankan peran Dwi
Fungsinya pada konteks relasi sipil-milter di masa Orde Baru. Istirahatlah kata-
kata sebagai sebuah film, dalam penelitian ini ditengarai dibuat untuk
menunjukkan adanya hegemoni yang berperan dalam proses negosiasi
kepentingan kelompok dominan dalam relasi sipil-militer. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan semiotik Roland
Barthes agar dapat menguraikan representasi ABRI dalam relasi sipil-militer di
film Istirahatlah Kata-Kata.

Pada masa Orde Baru, persentuhan militer dengan ranah sipil


merupakan suatu hal yang umum. Presiden Soeharto saat itu memberikan
ruang yang luas bagi militer untuk masuk ke berbagai ranah kehidupan,
termasuk dalam ranah kebudayaan, melalui Departemen Penerangan yang
membawahi perfilman dan Lembaga Sensor Film (Nugroho dan Herlina, 2015).
Hal ini tidak dapat dihindari, karena ABRI pada masa Orde Baru memiliki peran
penting. Salah satunya adalah kebijakan negara tentang tugas utama ABRI.
Pada masa orde baru, pemerintah membuat kebijakan yang diatur dalam
Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, tentang kebijaksanaan dalam
bidang pertahanan/keamanan. Inti dari ketetapan tersebut adalah ABRI
memiliki dua peran, selain sebagai stabilitas keamanan, ABRI dizinkan juga
untuk melakukan perpolitikan negara. Selain pasal di atas, disusul juga oleh
Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara.

1
Dalam kalimatnya disebutkan:“Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
sebagai kekuatan pertahanan keamanan dan kekuatan sosial yang tumbuh
dari rakyat bersama rakyat menegakkan kemerdekaan bangsa dan negara.
Fungsi Angkatan bersenjata sebagai kekuatan social sudah ada sejak
kelahirannya serta merupakan bagian dari hasil proses perjuangan dan
pertumbuhan bangsa Indonesia yang telah dirumuskan dalam marga kesatu
sampai marga ketiga Saptamarga dan dinyatakan sebagai salah satu modal
dasar pembangunan nasional dalam Garis-garis Besar Haluan Negara.”

Hal tersebut dilakukan dengan cara menyusun kekuatan bangsa dan


negara untuk mencapai stabilitas nasional dalam upaya mendukung
pertumbuhan ekonomi nasional. Menurut Ali Moertopo, DwiFungsi ABRI yang
terjadi pada masa Orde Baru, merupakan balance yang dinamis dalam
partnership sipil ABRI. Artinya hubungan antara sipil dan ABRI harus
dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab agar menciptakan dan menjaga
keseimbangan dan ketepatan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
(Moertopo dalam Dwi, 2005). Dwifungsi ABRI dapat didefinisikan sebagai
suatu doktrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI
memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara
dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda
ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.
Pernyataan di atas berdasarkan beberapa pidato Soeharto (Moertopo dalam
Dwi, 2005).

Kebijakan Dwifungsi ABRI yang digunakan pada masa pemerintahan


Soeharto ini merujuk kepada pemahaman profesionalisme baru dimana militer
yang professional adalah militer yang memiliki kecakapan, keterampilan,
pengetahuan dan tanggung jawab pada bidang hankam dan sekaligus juga
pada bidang non-hankam (sosial, politik, ekonomi dan sebagainya). Akan
tetapi tujuan awal itu dalam perjalanannya mengalami beberapa masalah,
salah satunya seperti dalam bidang ekonomi yang melibatkan ABRI untuk

2
membantu proses nasionalisasi aset- aset vital pemerintah, tetapi justru
menjadikan ABRI sebagai penguasa atau pemimpin dari aset tersebut. Bahkan
pada perjalanannya, hal tersebut digunakan sebagai lahan bisnis para pihak
militer. Seperti yang pernah dikemukakan Nasution pada awal perkembangan
Dwifungsi ABRI khususnya dalam hal kekaryaan menyatakan bahwa ABRI
jangan sampai salah menafsirkan mengenai Dwifungsi ABRI. Menurut
Nasution, meskipun ABRI diberi keleluasaan dalam bidang sosial-politik bukan
berarti seorang ABRI dapat sekaligus merangkap di bidang eksekutif, legislatif
atau seperti yang sering dikatakan dengan “penguasa” dan “pengusaha”
(Nasution dalam Wahyu Dede, 2010). Belum lagi beberapa peristiwa seperti
peristiwa Tanjung Priok 1984-1987, Soeharto dianggap menggunakan
KOPKAMTIB sebagai instrumen penting mendukung dan melindungi kebijakan
politiknya. Selain itu Soeharto juga selaku panglima tertinggi telah
mengeluarkan sikap, pernyataan dan kebijakan yang bersifat represif untuk
mengeliminasi berbagai respon masyarakat terhadap kebijakan asas tunggal
Pancasila yang dikeluarkan Orde Baru. Dalam menangani persoalan ini,
Soeharto dinilai Kontras kerap membuat pernyataan dan kebijakan yang
membolehkan kekerasan dalam mengendalikan respon rakyat atas kebijakan
penguasa pada saat itu. Di antaranya di depan Rapat Pimpinan (RAPIM) ABRI
di Riau, 27 Maret 1980. Soeharto sebagai presiden dan penanggung jawab
seluruh kegiatan KOPKAMTIB disebut mewajibkan ABRI mengambil tindakan
represif untuk menghadapi kelompok-kelompok Islam yang dianggap sebagai
golongan ekstrem yang harus dicegah dan ditumpas seperti penanganan G 30
S. Akibatnya, dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, sekitar lebih 24 orang
meninggal, 36 terluka berat, 19 luka ringan (Harlan, 2018).

Hal di atas dapat kita sebut sebagai hegemoni ABRI dalam menjalankan
Dwifungsi ABRI. Hegemoni berasal dari bahasa Yunani, egemonia yang berarti
penguasa atau pemimpin. Hegemoni sendiri merupakan gagasan Antonio
Gramsci pada tahun 1891-1937. Teori hegemoni Antonio Gramsci

3
menganalisis berbagai relasi kekuasaan dan penindasan di masyarakat. Lewat
teori hegemoni Gramsci, akan terlihat bahwa penulisan, kajian suatu
masyarakat, dan media massa merupakan alat kontrol kesadaran yang dapat
digunakan kelompok penguasa. Sama hal yang terjadi pada era orde baru,
kekuatan militer dan media massa kerap dijadikan alat untuk menguasai
negara (janganlupa sumber). Hampir sebagian besar perdebatan mengenai
konsep hegemoni mengerucut kepada satu nama: Antonio Gramsci. Tidak
dapat disangkal bahwa Gramsci merupakan filsuf dan aktivis politik yang
mengembangkan teori hegemoni, yang ia gunakan untuk melihat perjuangan
kaum buruh di Italia di bawah rezim fasis Benito Mussolini. Meskipun jauh
sebelum Gramsci konsep hegemoni sudah dikembangkan untuk melihat
kegagalan perjuangan buruh di Rusia (Hutagalung, 2004).

Salah satu fokus utama pemikiran Antonio Gramsci adalah konsepsinya


tentang hegemoni. Konsepsi hegemoni Gramsci mengacu kepada hubungan
antara apa yang disebutnya “civil society” dan “state” atau negara, di mana
keduanya ada pada level superstruktur, sebagaimana Gramsci mengacu
kepada pemikiran Marx. Gramsci kemudian menjelaskan peran penting kaum
intelektual dalam konsep hegemoninya. Menurut Gramsci, hubungan antara
kaum intelektual dan wilayah produksi (dalam istilah Marx hubungan produksi)
bersifat tidak langsung, tidak seperti kelompok-kelompok sosial yang secara
fundamental masuk ke dalam hubungan tersebut (misal: buruh, pemiliki
modal), tetapi dalam tingkat yang berbeda, yang “dimediasi” oleh keseluruhan
produksi yang dihasilkan masyarakat dan kompleksitas wilayah superstruktur,
di mana kaum intelektual merupakan para “fungsionaris-nya”. Pada masa orde
baru, kaum intelektual yang sekaligus menjadi fungsionaris adalah ABRI.
Mereka memiliki kekuasaan lebih besar dari pada masyarakat sipil
(Hutagalung, 2004).

Dengan adanya peran Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru,
hubungan antara militer dengan semua sendi kehidupan masyarakat

4
Indonesia sangat erat, termasuk dalam ranah kebudayaan, salah satunya
melalui dunia perfilman Indonesia. Hubungan erat antara militer dengan dunia
film tampak pada kuantitas produksi film yang mengangkat konsep militer pada
masa Orde Baru. Sejumlah judul film yang cukup terkenal dimasa itu antara
lain Janur Kuning (1971), Serangan Fadjar (1981), Penumpasan
Pengkhianatan G30S/PKI (1987), Penumpasan Sisa-sisa PKI Blitar Selatan,
Operasi Trisula (1987), dan Djakarta 1966 (1988). Film-film tersebut ditengarai
menjadi alat propaganda negara sekaligus alat legitimasi kekuasaan presiden
Soeharto yang berkuasa saat itu (Krishna Sen, 2009). Kisah ABRI yang
ditampilkan dalam film-film pada masa Orde Baru merefleksikan bahwa militer
begitu hegemonik pada masa itu. Film-film yang diproduksi pada masa Orde
Baru, lebih menempatkan militer sebagai pihak yang dominan. Bahkan
keseluruhan proses produksi hingga insitusi perfilman Indonesia diintervensi
pihak militer (Irawanto,2017). Segala bentuk corak produksi dan teks film yang
mengusung konsep militerisme pada masa Orde Baru memang ditujukan untuk
mendukung penguasa, meski disamarkan sebagai sarana hiburan. Salah
satunya tampak pada kajian film Pengkhianatan G30 S/PKI. Penelitian tersebut
melihat bahwa film itu secara tersirat menampilkan ideologi bapakisme, yaitu
konsepsi maskulin ala Orde Baru yang memadukan nilai-nilai priyayi dan
gambaran militer yang ideal (Paramaditha, 2007).

Setelah usai era Orde Baru, produksi film Indonesia yang mengangkat
kisah militer sempat vakum selama beberapa waktu. Namun sejak tahun 2009,
film yang mengangkat militerisme, mulai kembali diproduksi, ditandai melalui
dirilisnya film Merah Putih. Dilanjutkan dengan sekuelnya, yang mengambil
judul Darah Garuda (2010). Setahun kemudian, dirilis seri penutup dari Trilogi
Merah Putih dengan judul Hati Merdeka (2011). Semenjak trilogi Merah Putih,
produksi film yang mengangkat militerisme semakin banyak diproduksi.
Beberapa diantaranya Badai di Ujung Negeri (2011), Tiga Nafas Likas (2014),
Jendral Soedirman (2015), Doea Tanda Mata (2015), Dibalik 98 (2015),

5
I Leave My Heart in Lebanon ((2016), Merah Putih Memanggil (2017), film
dokumenter Sang Patriot (2014) dan Hungry is The Tiger (2014). Dua film
terakhir merupakan film yang hanya tayang melalui youtube.Sejumlah judul
film tersebut menunjukkan bahwa dalam kurun dua dekade terakhir setelah
Orde Baru jatuh dan ditiadakannya dwi fungsi ABRI, tema militerisme dalam
film masih merupakan tema yang menarik sebagai tema produksi film yang
merupakan bagian ranah budaya populer.

Salah satu film yang menarik dan menceritakan militerisme adalah film
“Istirahatlah Kata-kata”. Sedikit berbeda dengan film-film yang diproduksi pada
era setelah Orde Baru dan ditiadakannya Dwi Fungsi ABRI, film Istirahatlah
Kata Kata ditengarai dibuat untuk menunjukkan adanya hegemoni yang
berperan dalam proses negosiasi kepentingan kelompok dominan dalam relasi
sipil-militer. Oleh karena, melalui film ini, masyarakat diajak untuk melihat
bagaimana negara menggunakan penuh kekuatan militernya hanya untuk
memberantas aktivis yang mencoba memberikan suaranya. Film garapan
Anggi ini menceritakan tentang kisah pelarian dari seorang aktivis yaitu Wiji
Thukul yang diperankan oleh Gunawan Maryanto ke Pontianak. Selama
hampir 8 bulan di Pontianak, Wiji tinggal berpindah-pindah rumah bahkan
tinggal bersama dengan orang-orang yang sama sekali belum dia kenal,
seperti rumah dari seorang dosen bernama Thomas (Dhafi Yunan) dan aktivis
asal Medan, Martin (Eduwart Boang Manalu), yang tinggal bersama istrinya,
Ida (Melanie Subono). Wiji Thukul harus melarikan diri dari kejaran aparat yang
mencarinya pada masa Orde Baru. Film ini juga menceritakan bagaimana
sebuah rezim Orde Baru begitu takut oleh puisi-puisi yang dibuat oleh Wiji
Thukul. Diceritakan juga dalam film ini bagaimana keluarga Wiji Thukul terus
diteror oleh militer untuk dimintai keterangan. Wiji Thukul bahkan sampai harus
mengubah gaya penampilan dan namanya di KTP (Kartu Tanda Penduduk)
untuk mengelabui militer yang mencoba mencarinya. Dalam pelariannya Wiji
Thukul bertemu dengan Thomas di Pontianak dan menetap untuk beberapa

6
saat. Ketika sedang berjalan menuju kerumah Thomas, tiba-tiba dia bertemu
dengan seseorang tentara yang mencoba menghentikan dirinya. Keduanya
ditahan dan diinterogasi oleh tentara tersebut. Mereka ditakut-takuti akan
ditodong pistol jika tidak memberikan KTPnya. Namun, Thomas kenal dengan
tentara tersebut akhirnya mereka berdua bisa selamat. Film ini juga berusaha
menceritakan bagaimana Orde Baru begitu mengandalkan sistem Dwifungsi
ABRI dalam menjalankan pemerintahannya.

(Tambahkan uraian penghargaan yang diberikan pada film Istirahatlah


Kata Kata serta sertakan beberapa kritik yang diberikan pada film ini).

Salah satu penelitian terdahulu mengenai militerisme dan film, pernah


dilakukan oleh Hary Ganjar Budiman dengan judul “Representasi tentara dan
relasi sipil-militer dalam serial Patriot”. Penelitian tersebut mencoba
membedah muatan ideologis yang terdapat dalam serial televisi Patriot. Selain
itu, penelitian tersebut juga membaca representasi tentara dan hubungan sipil-
militer yang terlihat dalam serial tersebut. Penelitian tersebut menggunakan
pendekatatan kualitatif dengan memakai konsep codes of television yang
dikemukakan oleh John Fiske. Ia menyatakan bahwa kode dalam televisi
memiliki tiga tingkatan: reality, representation, dan ideologi. Melalui penelitian
tersebut, dapat diketahui bahwa serial Patriot memiliki pesan ideologis yang
tersirat, antara lain: nasionalisme, patriotisme, didaktisme, dan menempatkan
tentara sebagai penjaga nilai moral. Hubungan sipil-militer dalam Patriot
terlihat lebih didominasi oleh pihak militer.

Merujuk pada hasil penelitian terdahulu, peneliti ingin berfokus pada


bagaimana ABRI ditampilkan dalam film Istirahatlah kata-kata melalui peran
dwi fungsinya dalam konteks relasi sipil militer di masa Orde Baru. Bagaimana
representasi ABRI dalam relasi sipil militer ditampilkan dalam scene-scene film
Istirahatlah Kata Kata akan ditelaah lebih dalam dengan menggunakan
semiotika Roland Barthes. Sehingga diharapkan akan tampak bagaimana

7
bentuk relasi sipil militer yang ditampilkan, pihak mana yang dominan
perannya, serta nilai-nilai apa saja yang mencoba untuk direpresentasikan
ABRI dalam film Istirahatlah Kata-Kata.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan melihat permasalahan diatas, peneliti mengambil pertanyaan
masalah sebagai berikut,
“Bagaimana Representasi ABRI dalam Relasi Sipil Militer Di Film
Istirahatlah kata-kata ?”
1.3 Tujuan Masalah
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan
representasi ABRI dalam relasi sipil militer di film Istirahatlah Kata-kata.

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu:
1.5.1 Manfaat Akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya keragaman
penelitian analisis teks dalam bentuk film dengan mengangkat konsep
representasi, hegemoni dan militer.
1.5.2 Manfaat Praktisi
Secara praktis, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai
masukan bagi para sineas, khususnya yang tertarik dengan tema
militer. Sementara bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat menjadi
wacana bahwa film dapat digunakan sebagai alat hegemoni nilai-nilai
kepentingan kelompok dominan.

8
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Representasi

Representasi dan Identitas adalah konsep-konsepkunci dalam cultural


studies. Banyak penelitian di bidang cultural studies yang menyoroti isu ini.
Kedua konsep tersebut juga berhubungan dengan konsep artikulasi. Artikulasi
menjadi salah satu kunci dalam memahami bagaimana berbagai wacana yang
berbeda dapat saling berhubungan, dan melihat bagaimana semuanya
berinteraksi dalam suatu kebudayaan. Kebudayaan dapat didefinisikan dalam
berbagai macam konteks. Dalam kerangka cultural studies, secara sederhana
dapat dipandang bahwa kebudayaan adalah menyangkut berbagi makna yang
sama dalam suatu kelompok sosial. Makna- makna tersebut diproduksi dan
dipertukarkan dalam suatu kelompok masyarakat tertentu melalui medium
‘bahasa’ (language). Bahasa di sini memiliki artian luas, bukan hanya bahasa
dalam bentuk lisan dan tertulis, namun lebih jauh berbagai tanda dan simbol
yang dapat dimaknai dan direpresentasikan, sehingga bisa pula berbentuk
gambar, suara, gerakan, bahkan objek dan peristiwa tertentu. Bahasa
merupakan sistem representasi, di mana kita menggunakan tanda-tanda yang
dimaknai untuk merepresentasikan sesuatu. Dalam proses produksi makna,
representasi melalui bahasa adalah hal yang utama (Barker, 2005).

Pemahaman utama dari teori representasi adalah penggunaan bahasa


(language) untuk menyampaikan sesuatu yang berarti (meaningful) kepada
orang lain. Representasi adalah bagian terpenting dari proses dimana arti
(meaning) diproduksi dan dipertukarkan antara anggota kelompok dalam
sebuah kebudayaan (culture). Representasi adalah mengartikan konsep
(concept) yang ada di pikiran kita dengan menggunakan bahasa. Stuart Hall

9
secara tegas mengartikan representasi sebagai proses produksi arti dengan
menggunakan bahasa (Hall, 2003).

Hegemoni

Gagasan tentang hegemoni pertama kali diperkenalkan pada 1885 oleh


para marxis Rusia, terutama oleh Plekhanov pada 1883-1984. Gagasan
tersebut telah dikembangkan sebagai bagian dari strategi untuk
menggulingkan Tsarisme. Istilah tersebut menunjukkan kepemimpinan
hegemonik yang harus dibentuk oleh kaum proletar, dan wakil-wakil politiknya,
dalam suatu aliansi dengan kelompok- kelompok lain, termasuk beberapa
kritikus borjuis, petani, dan intelektual yang berusaha mengakhiri negara polisi
Tsaris (Bocock, 2007). Konsepsi lain dari hegemoni juga dikemukakan oleh
Lenin, hegemoni adalah strategi yang dilakukan oleh para pekerja untuk
memperoleh dukungan mayoritas. Sebagai landasan teori yang dibangun
Gramsci secara sistematis, hegemoni oleh Gramsci ditempatkan dalam
relevansinya yang sangat kuat dengan aspek superstruktur maupun ideologi
(Anwar, 2010).

Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah, bahwa suatu kelas
dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya
dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukanlah hubungan dominasi
dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan dengan persetujuan
dengan rnenggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Hegemoni adalah
suatu organisasi konsensus, (Simon, 2004). Gramsci memulai analisisnya
dengan sebuah pernyataan kreteria metodologi yang harus digunakan oleh
studi kita sendiri. Bahwa supremasi sebuah kelompok sosial memanifestasikan
dirinya dengan dua cara, sebagai dominasi dan sebagai kepemimpinan
intelektuan dan moral, (Gramsci, 2013).

10
Gramsci juga membedakan antara konsep dominasi dan hegemoni,
perbedaanya ada pada model penguasaanya. Gramsci mengatakan dominasi
merupakan penguasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik, sedangkan hemoni
lebih halus dari itu, yaitu secara ideologis. Teori Gramsci sendiri memberikan
masukan baru bagi Marxian (Pengikut teori Marxist) melalui dua point.
Pertama, Gramasci menerapkan konsep tersebut pada relasi sosial, bukan
sebatas buruh dan pemilik modal, akan tetapi antara fungsionaris dan
masyarakat sipil. Kedua, hegemoni lebih kepada pengaruh kultural, bukan
kepemimpinan politik dalam sebuah sistem aliansi sebagaimana dipahami
generasi Marxian sebelumnya. Gagasannya mulai terpisah antara
determinisme dan ekonomisme Marxis. Gramasci lebih menekankan pada
suprastruktur gagasan manusia dari pada substruktur ekonomi masyarakat
(Hefni, 2011).

Hegemoni menciptakan kesadaran umum masyarakat oleh kelas yang


berkuasa. Hegemoni memakai paksaan dengan kerelaan, dalam hal ini bukan
hanya menekan subyek yang dikuasai, namun juga menciptakan kondisi
dimana memaksakan subjek untuk merelakan dirinya untuk dikuasai. Gramsci
mengembangkan konsep hegemoni dengan berpijak pada kepemimpinan
yang sifatnya ‘intelektual dan moral’. Kepemimpinan ini terjadi karena adanya
persetujuan yang bersifat sukarela dari kelas bawah atau masyarakat terhadap
kelas atas yang memimpin, terutama persetujuan dari kelompok-kelompok
utama dalam suatu masyarakat, (Hefni, 2011). Menurut Gramsci, dominasi
kekuasaan juga ditekankan melalui penerimaan publik, bukan hanya melalui
kekuatan senjata. Dengan diterimanya ide kelas oleh masyarakat sipil melalui
medium media, dapat menciptakan pemahaman ideologi yang kuat dari
penguasa.

Secara umum hegemoni mengkoreksi pandangan marxis kuno.


Pertama, hegemoni tidak memutar balikkan model basis-superstruktur
tradisional marxis, melainkan menafsirkan kembali berdasarkan paham

11
Crocean. Penggagas konsep ini menolak interpretasi “materialisme vulgar” dan
kecenderungan sosiologi positivis evolusioner. Kedua, hegemoni melihat
negara sebagai sesuatu yang abadi tak punya konteks historis,
mentransendenkan masyarakat sebagai kolektivitas yang ideal. Ketiga, dalam
konsep hegemoni dikenal adanya skematisasi pemilahan intelektual ke dalam
intelektual organik dan intelektual tradisional. Keempat, hegemoni memiliki
makna ideologi dominan. Pada rezim orde baru, ideologi dominan yang
dijadikan pembenaran kebijakan bagi aparatur yaitu “pembangunan.” Hal itu
menunjukan bahwa istilah demi kepentingan umum atau pembangunan
nasional untuk segala lapisan masyarakat biasanya dipakai sebagai
pembenaran terhadap penggunaan kekuasaan negara untuk memaksa
seorang atau sekelompok warga agar bersedia mematuhi keinginan negara,
(Saraswati, 2003).

Gramsci mengidentifikasi mekanisme-mekanisme yang memungkinkan


sebuah sistem dalam mempertahankan kekuasaannya bahkan ketika
kekuasaan tersebut secara terang-terangan didasarkan pada penguasaan
satu kelas terhadap kelas-kelas yang lain. Hegemoni jawaban yang diberikan
oleh Gramsci. Bentuk kekuasaan ini tidak benar-benar ditopang oleh dominasi
politik dan ekonomi. Pada kenyataannya, kelompok-kelompok sosial yang
subordinat agar menerima sistem kultural dan nilai-nilai etik yang dihargai oleh
kelompok yang berkuasa seolah-olah sistem dan nilai tersebut benar secara
universal dan melekat dalam kehidupan manusia. Kekuasaan merupakan
sesuatu yang tidak subtansial jika kekuasaan tersebut harus disandarkan
semata-mata pada koersi dan kekayaan. Pada kenyataannya, kelas-kelas
dominan hanya dapat menegaskan otoritas mereka dengan cara yang
meyakinkan jika kelas-kelas tersebut dapat memproyeksi pandangan hidup
mereka ke dalam tatanan sosial dan membuat pandangan hidup tersebut
muncul sebagai acuan bersama (Cavallaro, 2004).

12
Inti dari hegemoni dalam konteks teori Gramsci adalah keberhasilan
kelompok penguasa mendapatkan persetujuan dari kelompok subordinat atas
penguasaan atau subordinat mereka. Dalam hegemoni, kelompok subordinat
yang dikuasai menerima dan memberi persetujuan atas ide-ide dan
kepentingan- kepentingan politik dari kelompok yang menguasai mereka.
Hegemoni bagi Gramsci adalah sebuah capaian penguasaan yang paling
legitimat, karena kekuasaan mereka diterima dalam sistem ideologi,
kebudayaan, nilai-nilai, maupun norma-norma kelompok yang dikuasai.
Penekanan Gramsci pada aspek konsensus dalam teorinya tentang hegemoni
merupakan aspek lain dari perbedaannya dengan teori yang dikemukakan oleh
teoretis Marxis, (Anwar, 2010).

Dalam penelitian ini kita melihat tentara mencoba membangun


hegemoni secara paksa dan membuat masyarakat sipil menemui titik
kerelaannya. Ideologi militerisme yang dikembangkan oleh militer Indonesia
pada orde baru membuat masyarakat sipil mau tidak mau sepakat bahwa
dengan dibuatnya Dwifungsi ABRI akan membuat negara lebih aman dari
segala kehancurannya. Kontrol media dalam orde baru juga dapat membantu
militer dalam memperkuat ideologi yang coba mereka bangun.

Militer dan Militerisme

Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani
adalah orang yang bersenjata siap untuk bertempur, orang-orang ini terlatih
dari tantangan untuk menghadapi musuh, sedangkan ciri-ciri militer sendiri
mempunyai organisasi teratur, pakaiannya seragam, disiplinnya tinggi,
mentaati hukum yang berlaku dalam peperangan. Apabila ciri-ciri ini tidak
dimiliki atau dipenuhi, maka itu bukan militer, melainkan itu suatu gerombolan
bersenjata.

Amos Perlmutter mengatakan militer adalah sebuah organisasi yang


melayani kepentingan umum tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi

13
sasaran usaha-usaha organisasi itu. Profesi militer disebut sebagai suatu
profesi relawan atau sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu
pekerjaan di dalamnya, namun bisa juga bersifat paksaaan karena anggota
militer tidak diperkenankan membentu suatu perkumpulan sukarela melainkan
terbatas kepada suatu hierarki birokrasi. Militer memiliki jiwa tersendiri yang
menjadi ciri khas dari seorang prajurit, yaitu koorporatis dalam hal
ekskulusifitas, birokratis dalam hal hierarki, dan professional dalam
menjalankan misi. Secara garis besar militer adalah organisasi kekerasan fisik
yang sah untuk mengamankan negara atau bangsa dari ancaman luar negri
maupun dalam negri (Perlmutter, 2010).

Dalam perjalanannya, militer yang memiliki pangkat tinggi dan


kecakapan dalam bahasa, kerap kali memanfaatkan hal itu untuk terjun ke
dalam dunia perpolitikan. Perlmutter mengatakan, kecenderungan tentara ikut
campur tangan dalam politik dan dalam pembuatan keputusan dikaitkan
dengan peranan-peranan dan orientasi kooporasi dan birokrasinya. Sebagai
sebuah koporasi organisasi militer berusaha melaksanakan pengawasan
intern terhadap profesinya dan melindunginya dari pengawasan politik dari
luar, ini dimaksudkan untuk menaikan derajat otonomi organisasi militer. Kaum
militer berusaha mencapai otonomi yang tinggi melalui lembaga-lembaga dan
tatanan rezim politik. Sebagai organisasi birokrasi, tentara bekecimpung dalam
politik hingga mampu menjadi partner vital bagi politisi sipil dan birokrat lain di
dalam perumusan dan penerapan kebijaksanaan keamanan nasional
(Perlmutter, 2010).

Di Indonesia kita mengenal istilah ABRI (Angkatan Bersenjata Rakyat


Indonesia) yang memiliki sejarah panjang hingga pada akhirnya ABRI
diresemikan berdiri. Sejarah berdirinya ABRI berawal setelah Indonesia
menyatakan kemerdekaan, laskar-laskar banyak didirikan oleh para pemuda
di tingkat lokal. Selain bersifat lokal, umumnya keberadan laskar kurang
terorganisir. Awal berdirinya tentara Indonesia adalah Badan Penolong Korban

14
Perang yang didirikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada 22 Agustus 1945. Badan tersebut mencakup Badan Keamanan Rakyat
(BKR). Dalam undang-undang pembentukannya, disebut bahwa salah satu
fugsi BKR adalah memelihara keamanan rakyat bersama badan-badan negara
lain yang bersangkutan. Dalam hierarki pemerintah, BKR ditempatkan dibawah
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sedangkan BKR yang ada di daerah
secara paralel juga berada dibawah Komite Nasional Indonesia (KNI) di daerah
(Rikan, 2014).

Lalu pada tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara


Keamanan Rakyat (TKR). Hari kelahiran TKR kemudian ditetapakan oleh
pemerintah menjadi Hari TNI dan diperingati setiap tahun. Kemudian Tentara
Keamanan Rakyat diganti menjadi Tertara Keselamatan Rakyat pada 1
Januari 1946 dan sekali lagi menjadi Tentara Rakyat Indonesia pada 24
Januari 1946. Akhirnya pada tanggal 5 Mei 1947 TRI dan berbagai kelompok
laskar rakyat digabung menjadi TNI (Firdaus, 2014).

Pada masa Orde Baru, militer di Indonesia lebih sering disebut dengan
ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). ABRI adalah sebuah
lembaga yang terdiri dari unsur angkatan perang dan kepolisian negara (Polri).
Pada masa awal Orde Baru unsur angkatan perang disebut dengan ADRI
(Angkatan Darat Republik Indonesia), ALRI (Angkatan Laut Republik
Indonesia) dan AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia). Namun sejak
Oktober 1971 sebutan resmi angkatan perang dikembalikan lagi menjadi
Tentara Nasional Indonesia, sehingga setiap angkatan sebut dengan TNI
Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara (Rikan, 2014).

Film

Pengertian film (sinema) secara harfiah adalah cinemathographie yang


berasal dari cinema dan tho atau phytos yang berarti cahaya serta graphie atau
graph yang berarti gambar. Jadi pengertiannya adalah melukis gerak dengan

15
cahaya. Gambar bergerak (film) adalah bentuk dominan dari komunikasi
massa visual dibelahan dunia ini.

Film menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai cerita


lakon atau gambar hidup. Definisi film menurut UU 8/1992 yaitu sebuah karya
cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa visual yang
dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita
video, piringan video, atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam
segala bentuk, jenis, dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik,
atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan dan
ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, eletronik, atau lainnya.

Film dalam komunikasi merupakan bagian penting dari sistem yang


digunakan oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan menerima
pesan. Film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasarkan
muatan pesan di baliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya (Ibrahim, 2011).

Karateristik Film

Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang dalam


masyarakat, dan kemudian memproyeksikannya ke atas layar (Sobur, 2006).
Sehingga tidak sedikit karya film yang dasar ceritanya mengangkat kejadian
nyata atau sungguh-sungguh terjadi dalam masyarakat. Film banyak memilki
muatan-muatan pesan ideologis di dalamnya, sehingga pada akhirnya dapat
mempengaruhi pola pikir para penontonnya. Film telah menjadi media
komunikasi audio visual yang akrab dinikmati oleh segenap masyarakat dari
berbagai rentang usia dan latar belakang sosial. Perpaduan antara realitas
sosial dan rekonstruksi realitas yang dibuat oleh industri film menjadikan film
sebagai sarana yang unik untuk memahami kondisi sebenarnya dalam
masyarakat. Sebagai refleksi realitas sosial, film sering kali menjadi tolok ukur
gambaran peristiwa yang terjadi dalam masyarakat pada suatu waktu.
Kekuatan dan kemampuan film dalam menjangkau banyak segmen sosial,

16
lantas membuat para ahli bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi
khalayaknya (Sobur, 2006).

Jenis-jenis Film

Edwin S. Porter, seorang juru kamera Edison Company, melihat bahwa


film dapat menjadi alat penyampai cerita yang jauh lebih baik dengan
penggunaan dan penempatan kamera secara artistik yang disertai dengan
penyuntingan. Atmosfer yang kuat dari sebuah film dapat mempengaruhi isi
kesadaran penonton sedemikian rupa, sehingga batas realitas film dan realitas
hidup tidak lagi jelas (Van Zoest, 1993:112). Selain itu, karakteristik film yang
dianggap memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan popularitas
yang hebat, menjadikan film sebagai medium yang sangat efektif untuk
menyampaikan pesan. Pembuat film pada awalnya menggunakan bahan film
dari novel, sirkus dan berbagai sumber sebagai skenario film mereka. Dari
sumber-sumber tersebut, pembuat film dapat menciptakan jenis film sendiri
yang mempengaruhi dan mendukung lancarnya pembuatan filmnya (Marcel
Danesi, 2010).

Jenis film tersebut juga dapat mendukung penyampaian pesan dari


sebuah film. Film dapat dibedakan menurut karakter, ukuran, dan segmentasi.
Beberapa jenis film menurut Akurifai Baksin (2003).

1. Action

Tema dari jenis film ini dengan sederhana bisa dikatakan sebagai film yang
berisi “pertarungan” secara fisik antara protagonis dengan antagonis. Film ini
bercirikan penonjolan filmnya dalam masalah konflik.

2. Drama

Tema ini mengetengahkan human interest sehingga yang dituju adalah


perasaan penonton untuk meresapi kejadian yang menimpa tokohnya. Tema
ini juga dikaitkan dengan latar belakang kejadiannya.

17
3. Komedi

Film yang memiliki tema yang jenaka namun tidak harus diperankan oleh
pelawak, tetapi dapat diperankan oleh berbagai pemain film bisa. Tema komedi
selalu menawarkan sesuatu yang membuat penontonnya tersenyum bahkan
tertawa terbahak-bahak. Biasanya adegan dalam film komedi juga merupakan
sindiran dari suatu kejadian atau fenomena yang sedang terjadi. Dalam
konteks ini, ada dua jenis drama komedi yaitu slapstik dan komedi situasi.
Slapstik adalah komedi yang memperagakan adegan konyol seperti sengaja
jatuh atau dilempar kue dan lainnya. Sedangkan komedi situasi adalah adegan
lucu yang muncul dari situasi yang dibentuk dalam alur dan irama film.

4. Tragedi

Tema ini menitik beratkan pada nasib manusia. Sebuah film dengan akhir
cerita sang tokoh selamat dari kekerasan, perampokan, bencana alam dan
lainnya bisa disebut film tragedi.

5. Horor

Film yang menawarkan suasana menakutkan dan menyeramkan membuat


penontonnya merinding, itulah yang disebut film horror. Suasana horor dalam
sebuah film bisa dibuat dengan cara animasi, special effect atau langsung oleh
tokoh-tokoh dalam film tersebut.

6. Drama Action

Tema ini merupakan gabungan dari dua tema, drama dan action. Tema drama
action ini menyuguhkan suasana drama dan juga adegan-adegan
“pertengkaran fisik”. Untuk menandainya, dapat dilihat dengan cara melihat
alur cerita film. Biasanya film dimulai dengan suasana drama, setelah itu alur
meluncur dengan menyuguhkan suasana tegang berupa pertengkaran-
pertengkaran.

7. Komedi tragi

18
Suasana komedi ditonjolkan terlebih dahulu kemudian disusul dengan adegan-
adegan tragis. Suasana yang dibangun memang getir sehingga penonton
terbawa emosinya dalam suasana tragis tetapi terbungkus dalam suasana
komedi.

8. Komedi horor

Sama dengan komeditragi, suasana komedi horor juga merupakan gabungan


antara tema komedi dan horor. Biasanya film dengan tema ini menampilkan
film horor yang berkembang, kemudian diplesetkan menjadi komedi. Dalam
konteks ini, unsur ketegangan yang bersifat menakutkan dibalut dengan
adegan-adegan komedi sehingga unsur kengerian menjadi lunak.

9. Parodi

Tema parodi merupakan duplikasi dari tema film tertentu, tetapi diplesetkan,
sehingga ketika film parodi ditayangkan para penonton akan melihat satu
adegan film tersebut dengan tersenyum dan tertawa. Penonton berbuat
demikian tidak sekedar karena film lucu, tetapi karena adegan yang ditonton
pernah muncul di film-film sebelumnya. Tentunya para penikmat film parodi
akan paham kalu sering menonton film, sebab parodi selalu mengulang
adegan film yang lain dengan pendekatan komedi. Jadi, tema parodi
berdimensi duplikasi film yang sudah ada kemudian dikomedikan. Dengan
perkembangan film, maka asumsi mengenai jenis film semakin beragam.

Film juga dapat dibedakan menjadi 3 jenis, menurut Heru Efendy ragam jenis
film adalah sebagai berikut:

a. Film Dokumenter (Documentary Film)

Film dokumenter adalah film yang menyajikan realita melalui berbagai cara dan
dibuat untuk berbagai macam tujuan. Namun harus diakui, film dokumenter
tidak pernah lepas dari tujuan penyebaran informasi, pendidikan dan

19
propaganda bagi orang atau kelompok tertentu. Intinya, film dokumenter tetap
berpijak pada hal-hal senyata mungkin.

b. Film Cerita Pendek (Short Film)

Durasi Film Pendek biasanya dibawah 60 menit. Dibanyak Negara seperti


Jerman, Australia, Kanada dan Amerika Serikat, film cerita pendek dijadikan
laboratorium eksperimen dan batu loncatan bagi seseorang atau sekelompok
orang untuk kemudian memproduksi film cerita panjang. Jenis film ini banyak
dihasilkan oleh para mahasiswa jurusan film atau orang atau sekelompok
orang yang menyukai dunia film dan ingin berlatih membuat film dengan baik.

c. Film Cerita panjang (Feature-Length Film)

Film dengan durasi lebih dari 60 menit lazimnya berdurasi 90-100 menit. Film
yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok film cerita
panjang.

Teknik Pengambilan Gambar

Film yang telah memiliki jenis dan skenarionya belum cukup untuk
mempengaruhi emosi penonton dalam menerima pesan dari makna yang ingin
disampaikan. Menurut Daniel Chandler, Frame atau pembingkaian gambar
dilihat sebagai morfem atau teknik pengambilan kamera. Teknik pengambilan
kamera tersebut dapat dikategorikan sebagai kalimat, adegan dikategorikan
sebagai paragraf, dan sekuen atau rangkaian adegan dikategorikan sebagai
bab yang menjadi Bahasa dari film itu sendiri. Hal-hal tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut :

1. Kamera

Kamera merupakan elemen yang terpenting dan paling dasar dalam


pembuatan sebuah film, karena film tidak dapat dikatakan sebagai film bila
tidak menggunakan jasa kamera. Namun di samping fungsi dasarnya,
penggunaan kamera juga dapat menghasilkan makna tertentu. Berikut

20
adalah makna yang dapat dihasilkan oleh penggunaan kamera,
berdasarkan konvensi yang berlaku dalam industri film :

a) Camera shot (sorotan kamera)

1. Close-up:

Kamera menyorot bagian dari tubuh seseorang atau bagian dari


benda dari jarak dekat. Shot seperti ini dapat menghasilkan
perasaan dramatis yang tinggi atau nilai simbolis dalam suatu
adegan. Close-up juga dipakai untuk mengundang identifikasi atau
empati terhadap suatu karakter. Ia juga dapat menekankan sesuatu
yang disorotnya.

2. Extreme close-up:

Bentuk close-up dengan jarak yang lebih dekat. Biasanya shot ini
hanya dapat memuat bagian kecil dari tubuh orang atau obyek,
misalnya mata, telinga, bibir, dan sebagainya. Fungsinya sama
dengan close-up, hanya intensitas dramatiknya lebih tinggi.

3. Medium shot:

Sorotan yang menekankan detil dari tubuh seseorang dari pinggang


ke atas. Medium shot hanya menampakkan orang atau benda yang
disorotnya, dan tidak memberi tempat bagi lingkungan di sekitarnya,
sehingga orang atau benda yang disorot terisolasi dari
lingkungannya. Fungsi medium shot adalah untuk mengenal suatu
karakter atau obyek dari jarak yang lebih dekat. Namun, tidak seperti
close-up, medium shot tidak bermuatan emosi. Misalnya ketika
kamera menyorot seseorang yang sedang bercerita dengan medium
shot, maka penonton diajak untuk mendengarkan ceritanya saja.

4. Long shot:

21
Kamera menyorot dari jauh, sering digunakan untuk
menghubungkan orang atau benda dengan lingkungan di
sekitarnya.

5. Point of view shot (POV):

kamera bertindak sebagai mata dari seseorang atau sesuatu.


Dengan POV, kita melihat dunia dari sudut pandang si karakter. POV
adalah penggunaan kamera yang sangat subyektif.

b) Camera angle (posisi atau sudut pengambilan kamera)

Sudut atau posisi pengambilan kamera dapat digunakan untuk


menambah nilai estetis dan psikologis. Beberapa contoh sudut
pengambilan kamera adalah :

1. Straight on

Posisi kamera yang umum digunakan. Ia biasanya tidak


menghasilkan arti apa-apa, hanya merekam apa yang sedang
terjadi, dengan posisi sejajar dengan pandangan mata.

2. Low-angle:

Kamera ditempatkan lebih rendah dari obyek, dan jadinya


melihat ke atas ke arah obyek atau orang. Sudut seperti ini
memberi kesan berkuasa, kuat, atau besar pada obyek yang
disorotnya.

3. High-angle:

Kamera melihat ke bawah pada obyek yang disorotnya,


membuat obyek terlihat kecil, tidak penting, hina, dan lemah.

c) Camera movement (gerakan kamera)

22
Gerakan kamera memainkan peranan penting, karena – selain
fungsinya adalah yang paling kelihatan dalam film – ia memungkinkan
penonton untuk mengikuti gerakan atau aksi dari sebuah karakter.
Berikut adalah jenis-jenis dari pergerakan kamera yaitu :

1. Panning:

Kamera bergerak secara horizontal, dari kiri ke kanan atau


sebaliknya. Gerakan ini memungkinkan penonton untuk
mengikuti aksi sebuah karakter.

2. Tilting:

Kamera bergerak secara vertikal, dari atas ke bawah atau


sebaliknya. Baik panning maupun tilting memungkinkan
penonton untuk mengikuti suatu aksi dengan cara voyeuristic
(mengamati). Kedua gerak ini juga memungkinkan sutradara
untuk menjaga momentum adegannya tanpa harus dipotong.
Panning dan tilting juga dapat digunakan secara POV, di mana
gerak kamera merupakan gerakan mata seorang karakter.

d) Depth of field (fokus)

Permainan fokus juga dapat menghasilkan makna. Bila kamera


terfokus pada obyek atau karakter, sementara latar belakang dibuat
kabur, makan perhatian penonton akan terfokus pada karakter atau
obyek tersebut. Sebaliknya bila karakter atau obyek dibuat kabur dan
kamera terfokus pada latar belakang, perhatian penonton akan tersita
untuk latar belakang itu. Deep focus shot, di mana semua hal dalam
frame terfokus, akan membebaskan penonton untuk memilih fokus
perhatiannya pada apa saja dalam layar yang mereka inginkan.

e) Framing

Penempatan orang atau obyek dalam satu frame kamera.

23
Setting Film

Fungsi setting yang paling dasar, penting, dan nyata terlihat


adalah untuk menyatakan tempat dan waktu di mana cerita terjadi.
Namun pengaturan setting juga mempunyai fungsi untuk
mengkonstruksi makna-makna tertentu, yang dapat memberi kontribusi
bagi struktur naratif cerita dan pemahaman karakter dalam suatu film.
Misalnya, kamar yang dipenuhi buku menimbulkan kesan pemiliknya
adalah seorang kutu buku atau kaum intelektual.

1. Lighting

Menurut Graeme Turner, lighting atau tata lampu


mempunyai dua fungsi. Yang pertama adalah fungsi ekspresif,
yaitu menetapkan mood, atau memberi film sebuah
penampilan tertentu, serta memberi kontribusi bagi cerita seperti
karakter atau motivasi (1988:56). Penataan lampu yang dapat
menghasilkan makna – melalui pembagian lampu yang tidak rata
sehingga menghasilkan kontras – disebut low-key lighting. Fungsi
yang kedua adalah realisme. Ini merupakan fungsi lighting yang
paling banyak digunakan dan tidak kelihatan. Bila berhasil, tata
lampu seperti ini akan menerangi karakter dan setting secara
natural, sehingga penonton tidak menyadari kehadirannya, dan tidak
merasakan lighting sebagai sebuah teknologi yang terpisah.
Penggunaan lighting seperti ini disebut high-key lighting.

2. Obyek atau Properti Film

Scenario dalam film bergantung pada benda, atau obyek,


atau prop, sebagai sarana untuk menyampaikan makna.
Properti dapat digunakan untuk menjadi ciri dari suatu jenis film,
misalnya pistol atau senjata untuk film action, salib atau bawang

24
putih untuk film horror. Selain itu, prop juga dapat memberikan
makna bagi sebuah karakter.

3. Kostum

Kostum dapat dipakai untuk mengidentifikasi setting


waktu dari film. Perubahan kostum yang dipakai oleh sebuah
karakter juga dapat mengatakan sesuatu, misalnya perubahan
status, sikap, atau – karena peran kostum sebagai penanda
waktu – perubahan waktu yang panjang.

4. Akting

Seperti halnya kostum, dalam ekspresi wajah dan posisi


tubuh yang ditampilkan oleh seorang aktor juga mengandung
elemen kode yang kuat. Kode-kode ini dalam kehidupan sehari-
hari dikenal sebagai bahasa tubuh atau body language.
Walaupun bahasa tubuh mempunyai persepsi yang berbeda-beda
di tiap budaya, kedekatan industri film dunia dengan Hollywood
(industri film Amerika Serikat) membuat bahasa tubuh dalam
perfilman Amerika dapat dimengerti secara universal. Salah satu
konsekuensi menyebarnya film ke seluruh dunia adalah penetrasi
global dari aspek-aspek bahasa tertentu, misalnya simbol ibu jari
yang menunjuk ke atas sebagai tanda setuju atau bagus.
Cara aktor menampilkan sebuah karakter menggunakan bahasa
tubuh adalah elemen kunci dalam akting atau performance.
Menurut Winfried North (1990:388) dalam Rizal 2003), dalam
mencari makna yang terkandung dalam performance seorang aktor,
semiotika memperhatikan tandatanda dalam komunikasi non verbal,
seperti gesture, kinesic (gerak), body language (bahasa tubuh),
facial signal (raut wajah), gaze (tatapan/pandangan mata), tactile
(sentuhan fisik), dan proxemic (kedekatan) (Burton, 2006).

25
5. Suara dan Musik

Menurut Turner, suara memainkan peran penting dalam


film. Ia dapat memberikan kontribusi bagi fungsi naratif dan
menambahkan efek emosional yang sangat kuat. Peran suara
yang terpenting adalah memperkuat nuansa realisme dengan
memproduksi suara-suara yang biasa diasosiasikan dengan
kejadian yang bisa dilihat, misalnya ketika kita mendengar suara
pecahan kaca yang menyertai gambar sebuah jendela yang pecah.

Semiotika Roland Barthes

Semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti "tanda"


atau sign dalam bahasa inggris ini adalah ilmu yang mempelajari sistem tanda
yang menjadi segala bentuk komunikasi yang mempunyai makna antara lain:
kata (bahasa), ekspresi wajah, isyarat tubuh, film, sign, serta karya sastra yang
mencakup musik ataupun hasil kebudayaan dari manusia itu sendiri. Tanpa
adanya sistem tanda seorang tidak akan dapat berkomunikasi dengan satu
sama lain (Sobur, 2013).

Kancah penelitian semiotika tidak bisa begitu saja melepaskan nama


Roland Barthes (1915-1980), ahli semiotika yang mengembangkan kajian
yang sebelumnya punya warna kental strukturalisme kepada semiotika teks
(Wibowo, 2013). Roland Barthes dikenal sebagai salah seorang pemikir
strukturalis yang mempraktikkan model linguistik dan semiologi Saussuren.
Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah sistem tanda yang
mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu
tertentu (Sobur, 2013).

Barthes merupakan orang terpenting dalam tradisi semiotika Eropa


pasca Saussure. Pemikirannya bukan saja melanjutkan pemikiran Saussure
tentang hubungan bahasa dan makna, namun ia justru melampaui Saussure

26
terutama ketika ia menggambarkan tentang makna ideologis dari representasi
jenis lain yang ia sebut sebagai mitos (Sobur, 2013). Menurut (Vera, 2014),
semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (things).
Memakai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengkomunikasikan (to communicae). Menurut Barthes semiologi
mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai, dalam hal ini tidak dapat disamakan dengan mengkomunikasikan.
Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam
hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusikan
sistem terstruktur dari tanda.

Tabel semiotika menurut Roland Barthes

Dari tabel Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas
penanda (1) dan pertanda (2). Akan tetapi, pada saat bersamaan, tanda
denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Denotasi dalam pandangan
Barthes merupakan tataran pertama yang maknanya bersifat tertutup. Tataran
denotasi menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Denotasi
merupakan makna yang sebenar-benarnya, yang disepakati bersama secara
sosial, yang rujukannya pada realitas. Tanda konotatif merupakan tanda yang

27
penandanya mempunyai keterbukaan makna atau makna yang implisit, tidak
langsung, dan tidak pasti, artinya terbuka kemungkinan terhadap penafsiran-
penafsiran baru. Dalam semiologi Barthes, denotasi merupakan sistem
signifikansi tingkat pertama, sedangkan konotasi merupakan sistem
signifikansi tingkat kedua. Denotasi dapat dikatakan merupakan makna objektif
yang tetap, sedangkan konotasi merupakan makna subjektif dan bervariasi
(Sobur, 2013).

Selain denotasi dan konotasi dalam tatanan simbolik menurut Barthes,


ada satu bentuk penandaan yang disebut sebagai mitos. Mitos dapat dikatakan
sebagai ideologi dominan pada waktu tertentu. Denotasi dan konotasi memiliki
potensi untuk menjadi ideologi yang bisa dikategorikan sebagai konsep mitos
(myth). Mitos adalah sebuah kisah yang melaluinya sebuah budaya
menjelaskan dan memahami beberapa aspek dari realitas (Fiske dalam Sobur,
2013). Mitos membantu kita untuk memaknai pengalaman-pengalaman kita
dalam satu konteks budaya tertentu. Barthes berpendapat bahwa mitos
melakukan naturalisasi budaya, dengan kata lain, mitos membuat budaya
dominan, nilai-nilai sejarah, kebiasaan dan keyakinan yang dominan terlihat
“natural”, “abadi”, “masuk akal”, “objektif”, dan “benar biacara apa adanya”.

Semiotika dalam film

Film umumnya dibangun dengan banyak tanda, sehingga film


merupakan bidang kajian yang relevan bagi analisis struktural atau semiotika.
Tanda- tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang berkerja sama dengan
baik dalam upaya mencapai efek yang diharapkan. Sistem semiotika yang
lebih lagi dalam film adalah digunakannya tanda-tanda ikonis, yakni tanda-
tanda yang menggambarkan sesuatu. Gambar yang dinamis dalam film
merupakan ikonis bagi realitas yang dinotasikannya (Sobur, 2013)

Film sebagai sistem tanda yang berkerja, merupakan bidang kajian


amat relevan bagi analisis struktural atau semiotika. Seperti yang dikemukakan

28
oleh Van Zoest, film dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu
termasuk berbagai sistem tanda yang berkerja sama dengan baik untuk
mencapai efek yang diharapkan. Berbeda dengan fotografi statis, rangkaian
gambar film digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang
mengambarkan sesuatu. Ciri gambar-gambar film adalah persamaannya
dengan realitas yang ditunjukkan. Gambar yang dinamis dalam film merupakan
ikonis bagi realitas yang didenotasikannya (Sobur, 2013).

Dari berbagai tanda dalam semiotika film, dikenal pula istilah mise en
scene yang berkaitan dengan penempatan posisi dan pergerakan aktor pada
set (bloking), serta sengaja dipersiapkan untuk menciptakan sebuah adegan
(scene) dan sinematografi yang berkaitan dengan penempatan kamera. Mise
en scene berarti menempatkan sesuatu pada layar, unsur-unsurnya antara lain
actor’s performance yang terdiri dari script adalah sebuah naskah yang berisi
semua kalimat yang diucapkan oleh pemain film dan movement yaitu semua
hal dan berbagai tindakan yang dilakukan oleh pemain film (Sobur, 2013).

29
Daftar Pustaka

Harlan, A. (2018, November 27). Tempo.co. Dipetik April 5, 2019, dari


https://indonesiana.tempo.co/read/129438/2018/11/27/Akbarrasy25/or
de-baru-masa-kelam-indonesia

Firdaus, D. W. (2014). KEBIJAKAN DWIFUNGSI ABRI DALAM PERLUASAN


PERAN MILITER DI BIDANG SOSIAL-POLITIK TAHUN 1966-1998.
Skripsi Pendidikan Sejarah UPI.

Perlmutter, A. (2010). Militer dan Politik. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Hutagalung, D. (2004, 12). Hegemoni, Kekuasan dan Ideologi. Jurnal


Pemikiran Sosial, Politik dan Hak Asasi Manusia, 12.

Aeni, N. (2017, 10 11). idntimes.com. (I. Zakaria, Editor, & I. Zakaria, Produser)
Dipetik 09 8, 2019, dari idntimes:
https://www.idntimes.com/hype/entertainment/noor-aeni/film-indonesia-
tema-militer-c1c2/full

Effendy, O. U. (2010). Ilmu komunikasi Teori Dan Praktek. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.

Wibowo, F. (2007). Teknik Produksi Program Televisi. Yogyakarta: Pinus.

Sobur, A. (2006). Analisis Teks Media: suatu Pengantar untuk Analisis


Wacana, Analisis semiotika dan analisis Framing. Bandung: Remaja
Rosda Karya.

30
Sobur, A. (2013). Analisis Teks Media: suatu Pengantar untuk Analisis
Wacana, Analisis semiotika dan analisis Framing. Bandung: Remaja
Rosda Karya.

Kumparan. (2016, January 16). Kumparan.com. Diambil kembali dari


https://kumparan.com/@kumparanhits/film-istirahatlah-kata-kata-raih-
penghargaan-internasional

Nurudin. (2009). Komunikasi Massa. Malang: Cespur.

McQuail. (2010). Mass Communication Theory 6th Edition. New York: Sage
Publication.

Mulyana, D. (2009). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Remaja


Rosdakarya.

Mulyana, D. (2014). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Cetakan ke 18.


Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Iradat, D. (2018, Januari 17). Metro News. Dipetik September 14, 2018, dari
news.metrotvnews.com:
http://news.metrotvnews.com/hukum/zNAGX4nk-tito-bongkar-
buruknya-kinerja-polri

Fachruddin, A. (2012). Dasar-Dasar Produksi Televisi (Produksi Berita,


Feature, Laporan Investigasi, Dokumenter, dan Teknik Editing). Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup.

Ardianto, E. (2009). Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Bandung: Simbosa


Rekatama Media.

McQuail, D. (2011). Teori Komunikasi Massa (Vol. 2). Jakarta, Indonesia:


Salemba Humanika.

Kompas.com. (2016, Mei 05). Kompas.com. (K. Erdianto, Produser) Dipetik


Mei 22, 2019, dari Kompas Regional:

31
https://nasional.kompas.com/read/2016/05/25/07220041/Kontras.Papa
rkan.10.Kasus.Pelanggaran.HAM.yang.Diduga.Melibatkan.Soeharto?p
age=4

Arsyad, A. (2011). Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Rikan, K. (2014). KONSEP DWIFUNGSI ABRI DAN PERANNYA DIMASA


PEMERINTAHAN ORDE BARU TAHUN 1965-1998. ARTIKEL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS
PGRI YOGYAKARTA.

Wirasaputri, N. M. (2017, November 25). PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM


KALANGAN MILITER DALAM TRANSISI DEMOKRASI INDONESIA.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 19 , 11.

Salam, M. F. (2006). Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Mandar


Maju.

Pardede, A. D. (2016, Juni 05). Representasi Feminisme dalam Film (Analisis


Semiotika Roland Barthes Mengenai Feminisme Dalam Film Maleficent
). Skripsi Universitas Sumatera Utara.

Vera, N. (2014). Semiotika Dalam Riset Komunikasi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Zamroni, M. (2009). Filsafat Komunikasi. YogyaKarta: Graha Ilmu.

Wibowo, I. S. (2013). Semiotika Komunikasi. Aplikasi Praktis Bagi Penelitian


dan Skripsi Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Barker, C. (2005). CULTURAL STUDIES: Teori dan Praktek. . Yogyakarta:


Bentang.

Hall, S. (2003). The Work of Representation: Representation Cultural . London:


Sage Publisher.

32
33

Anda mungkin juga menyukai