Anda di halaman 1dari 6

A.

Perkembangan ABRI di Orde Baru


Pada masa Orde Baru, militer di Indonesia lebih sering disebut dengan ABRI
(Angkatan Bersenjata Republik Indonesia). ABRI adalah sebuah lembaga yang terdiri
dari unsur angkatan perang dan kepolisian negara (Polri). Pada masa awal Orde Baru
unsur angkatan perang disebut dengan ADRI (Angkatan Darat Republik Indonesia),
ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia) dan AURI (Angkatan Udara Republik
Indonesia). Namun sejak Oktober 1971 sebutan resmi angkatan perang dikembalikan
lagi menjadi Tentara Nasional Indonesia, sehingga setiap angkatan sebut dengan TNI
Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut dan TNI Angkatan Udara.
Latar belakang TNI sebagai kekuatan Sosial Politik di Masa Orde Baru yaitu
keterlibatan TNI dalam sosial politik erat kaitannya dengan konsep dwifungsi ABRI
sebagai doktrinnya.1 Seperti doktrin perjuangan TNI yang dihasilkan dalam seminar
TNI Tri Ubaya Cakti pada tahun 1965 yang antara lain menegaskan bahwa “sebagai
Golongan Angkatan Bersenjata, merupakan suatu kekuatan sosial politik dan
kekuatan militer. Konsep dwifungsi ABRI juga terkandung secara implisit pada
gagasan Mayjen A.H. Nasution (Kepala Staf AD) pada tahun 1958 dengan konsep
“jalan tengah”, dimana peran tentara tidak terbatas pada tugas profesional militer
belaka. Inilah yang mengakibatkan pada awal Orde Baru dwifungsi dalam arti
struktural terus dijalankan karena perwira-perwira ABRI memainkan peran penting
dalam struktur pemerintahan secara langsung. Dimana militer menjadi kunci hampir
disetiap jabatan pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, dan lembaga-lembaga negara
lainnya.
B. PERAN DWIFUNGSI ABRI Masa Orba
1. Dalam Pertahanan dan Keamanan di Masa Orde Baru
Pada masa Orde Baru, pertahanan keamanan negara fokus kepada penumpasan G
30 S/PKI. Strategi yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini adalah
operasi militer tempur, operasi militer intelejen dan operasi militer teritorial, yang
semuanya terkandung dalam Doktrin Tri Ubaya Çakti.2 Doktrin ini kemudian
dikonsolidasikan lagi menjadi Doktrin Sad Daya Dwi Bakti pada tahun 1994 yang

1
Nugroho Notosusanto. Pejuang dan Prajurit: Konsepsi dan Implementasi Dwifungsi ABRI,
Jakarta, Sinar Harapan, 1985, hal . 273
2
Arti kata Tri ubaya cakti dalam Kamus Politik Online adalah tiga doktrin TNI yang terdiri dari keamanan
nasional, kekaryaan dan pembangunan
fokus pada dimensi operasi TNIABRI, keamanan pulau nusantara, keamanan laut,
keamanan udara, keamamanan masyarakat dan pemeliharaan perdamaian dunia. 3
2. Dalam bidang sosial.
Peranan TNI dalam bidang sosial sangat penting terutama dalam menajaga
stabilitas keamanan berbangsa dan bernegara dalam menjamin terlaksananya
proses demokrasi. Untuk mencapai stabilitas tersebut pemerintahan Orde Baru
memberikan pendekatan keamanan dengan memberikan tanggung jawab tersebut
kepada ABRI.
3. Dalam bidang politik
Keterlibatan ABRI dalam sosial-politik erat kaitannya dengan konsep dwifungsi
ABRI. Konsep ini juga terkandung secara implisit pada gagasan Mayjen A.H.
Nasution (Kepala Staf AD) pada tahun 1958 dengan konsep “jalan tengah”
dimana peran tentara tidak terbatas pada tugas profesionalisme militer belaka.
Konsep jalan tengah tentara oleh Mayjen A.H. Nasution dan UUD 1945 telah
membei legitimasi yang kuat kepada golongan fungsional, termasuk tentara untuk
masuk kedalam politik negara.4 TNI telah menguasai berbagai aspek kehidupan
dengan praktik-praktik yang tidak wajar. Mereka dijadikan sebagai alat kekuasaan
oleh Presiden Soeharto. Soeharto mendayagunakan peran sosial politik ABRI
untuk mewujudkan stabiltas politik dan ekonomi dengan menciptakan format
politik Orde Baru. Beberapa karekteristik format politik Orde Baru yang menonjol
adalah sebagai berikut :
a. Politik Sentralisasi di Tangan Eksekutif
b. Pendekatan Keamanan
c. Dominasi Militer dan Perluasan Dwifungsi ABRI
d. Rendahnya Apresiasi terhadap Supremasi Hukum dan HAM
e. Otoritas Birokrasi yang Berlebihan.
f. Pelaksanaan sistem Komando. 3.
C. Pengaruh TNI sebagai kekuatan Sosial Politik
Dalam kaitannya dengan mewujudkan stabilitas keamanan di masa orde baru adalah
sebagai berikut:

3
A.K Wiharyanto, Sejarah Indonesia: Dari Proklamasi Sampai Pemilu 2009, Yogyakarta, Sanata
Dharma, 2011, hal. 171
4
Sundhaussen, The Poltical Orientation and Political Involvement of The Indonesian Officers Corps, 1945-1966:
The Siliwangi Division and The Army Headquarters. (thesis Ph.D.,Monash University), 1971, hal. 389
1. Dalam Bidang Sosial
Perluasan peran sosial politik militer telah menyempitkan ruang gerak masyarakat
untuk bertindak dan menyampaikan aspirasinya, karena militer merupakan
kekuatan utama eksekutif.5 Dalam rangka memisahkan masyarakat dari kehidupan
politik, Orde Baru melakukan depolitisasi yang dilakukan secara langsung dan
tidak langsung. Strategi langsung diarahkan kepada masyarakat didesa, yang
merupakan massa terbesar di Indonesia. Jaringan administrasi pemerintahan,
militer, lembaga-lembaga di desa dalam praktiknya dikontrol oleh aparat
pemerintahan dan militer. Format politik Orde Baru dengan tumpuan dwifungsi
ABRI berperan negatif dalam pertumbuhan sosial masyarakat. Kemandirian
politik tidak diciptakan karena adanya depolotisasi. Kebebasan juga tidak bisa
diciptakan, karena Orde Baru tidak membolehkan organisasi atau kelompok
kepentingan yang ingin bebas dari negara. Akses terhadap lembagara negara juga
sulit diwujudkan, karena pemerintah Orde Baru melarang partisipasi politik
rakyat. Rakyat hanya dikehendaki menerima saja kebijakan pemerintah, apalagi
unjuk rasa dilarang keras oleh pemerintah.
2. Dalam Bidang Politik
Orde Baru dengan dwifungsi militer yang sangat dominan telah menghalangi
partisipasi rakayat, mengekang kebebasan asasi warga negara. seperti kebebasan
menyatakan pendapat, menyampaikan aspirasi, kebebasan berorganisasi,
berkumpul dan sebagainya. Halangan tersebut dilakukan dengan berbagai cara,
baik melalui undang-undang dan peraturan yang diciptakan maupun dengan
tindakan dilapangan berupa kebijakan-kebijakan yang membatasi. Individu,
organisasi masyarakat, dan partai yang melakukan kritik terhadap kebijakan
pemerintah akan mengalami kesulitan karena kontrol pemerintah. Kombinasi
persuasif, refresif akan dilakukan militer untuk menundukkan tantangan.
Sementara budaya politik dan sistem Orde Baru tidak mendukung terciptanya
demokrasi. Akibatnya, masyarakat tidak bisa ikut menyampaikan aspirasi dan
berpartisipasi untuk ikut serta dalam menetukan kebijakan. Partai politik memang
ada, namun hanya hiasan saja. Pemilihan umum semasa Orde Baru adalah
pengukuran yang tidak sempurna mengenai kehendak politik rakyat.6 Pemilihan
itu mencerminkan proses elektoral yang dikontrol ketat oleh pemerintah yang

5
M.R Karim, Peranan ABRI dalam Politik, Jakarta, Haji Masagung, 1989, hal. 49
6
Leo Suryadinata,Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Suharto, LP3ES, Jakarta. 1996
kekuasaannya didukung oleh ABRI, untuk memperlihatkan keabsahannya kepada
rakyat dan dunia luar. Pemilihan umum memang dilakukan secara berkala lima
tahun sekali, namun itu hanya melegitimasi penguasa. Partai terlalu dikekang,
tidak ada kebebasan, calon-calon diseleksi pemerintah dan masih banyak lagi hal-
hal yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.

3. Dalam Bidang Ekonomi

Dominasi militer yang digerakkan oleh militer atas kehidupan politik

akhirnya dibenarkan ketika muncul dwifungsi ABRI, yang disinyalir

berhasil secara jelas “mengatur” DwiFungsi ABRI, baik di bidang

pertahanan maupun keamanan dan politik. Selain justifikasi berdasarkan

dwifungsi ABRI, proses pelibatan militer dalam pemerintahan Orde Baru

tidak terlepas dari janji-janji pemerintah pembangunan ekonomi yang

sebenarnya membutuhkan partisipasi militer, berdasarkan fakta bahwa

militer memiliki kemampuan yang lebih berkompeten dan dekat hubungan

militer dengan Suharto. Pada masa Orde baru, kalangan militer tidak hanya

menampilkan dirinya sebagai stabilisator,7 tetapi juga menyebut dirinya

sebagai dinamisator dan merasa dibutuhkan untuk tugas itu, agar dapat

memainkan peranan penting di bidang ekonomi. Bertolak pada anggapan

bahwa pembangunan ekonomi di masa lalu (masa Orde Lama) telah

terbengkalai karena pemerintah yang didominasi kalangan sipil tidak

berhasil mengatasi perebutan kepentingan golongan, yang di dalamnya

terdapat partai-partai politik mempunyai landasan berpijak. Kalangan militer

dengan dominasi Angkatan Daratnya berusaha menampilkan citra sebagai

kekuatan nasional yang lekat dengan memperjuangkan kepentingan umum

dan sudah sewajarnya giliran bagi mereka untuk memerintah. terpeliharanya

7
Kartini Kartono, ABRI dan permasalahannya : Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era Pembangunan,
Bandung, Mandar Maju, 1996, hal.3
kestabilan politik yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi akan

tercapai. Mereka berharap dengan terciptanya stabilitas maka akan dapat

mendorong pertumbuhan investasi – baik dari luar maupun dari dalam

negeri – yang makin besar di sektor-sektor perekonomian yang modern,

seperti dalam industri-industri ekstraktif, pabrik-pabrik besar dan

perdagangan. Dalam jangka panjang pembangunan ekonomi diharapkan

akan dapat menaikan taraf hidup umum sebagian besar rakyat. Dengan

demikian, konsep militer mengenai pembangunan ekonomi terutama

diarahkan kepada kepentingan- kepentingan kaum elite dan pegawai-

peagawai kantor kelas menengah. Dengan melakukan hubungan bersama

para pengusaha Cina dan penanam modal asing lainnya, mereka semakin

mendominasi dunia perdagangan. Perluasan kesempatan berdagang memang

sangat penting untuk menunjang peranan militer yang diwakili Angkatan

Darat sebagai stabilisator.

menimbulkan ketidakpuasan dan berakibat pada pemberontakan terbuka.

Dalam kondisi yang demikian, maka pimpinan Angkatan Darat memutuskan

untuk mengijinkan praktek-praktek yang sudah berlangsung sejak awal

tahun 1960-an, di mana Angkatan Darat berusaha mencari sendiri dana-dana

untuk menambah apa yang tersedia dari anggaran belanja negara, sedangkan

para perwiranya diperbolehkan bekerja untuk tujuan ekonomi masing-

masing guna menambah pendapatan dari gaji. Penerapan sistem keuangan

yang bersifat inkonvensional bagi angkatan bersenjata oleh pemerintah

ternyata mampu menimbulkan kesan bahwa pengeluaran-pengeluaran untuk

pertahanan dan keamanan tidak naik demi kepentingan pembangunan

ekonomi, sedangkan alokasi anggaran negara untuk pertahanan dan


keamanan pada akhir 1960-an hanya berjumlah sepertiga sampai setengah

dari pengeluaran sesungguhnya – suatu kenyataan yang tidak pernah

diumumkan secara resmi.8 Pemimpin-pemimpin militer mengetahui bahwa

pentingnya perluasan kesempatan mencari uang oleh tentara, sehingga

anggota- anggota militer, khususnya yang berada di daerah-daerah akan

tetap puas. Sejalan dengan itu, praktek keuangan yang tidak biasa itu

menciptakan kebutuhan akan adanya sistem, di mana perwira-perwira

tertentu harus berada pada jabatan yang tertentu pula dan menjadi penunjang

bagi terciptanya kesempatan untuk mengumpulkan kekayaan pribadi.

Daftar Pustaka

Crouch, Harold, Militer dan Politik di Indonesia, Sinar Harapan, Jakarta, 1986

Indonesian Officer Corps, 1945-1966 : The Siliwangi Division and The Army Headquarters.
(Thesis Ph.D Monash University), 1971

Kardiyat Wiharyanto. A, Sejarah Indonesia.dari Proklamasi sampai Pemilu 2009,Universitas


Sanata Dharma, 2011

Kartini Kartono, ABRI dan Permasalahannya: Pemikiran Reflektif Peranan ABRI di Era
Pembangunan, Mandar Maju, 1996

Leo Suryadinata, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Suharto, LP3ES, Jakarta, 1996

Nugroho Notosusanto. Pejuang Dan Prajurit, Sinar Harapan, Jakarta, 1985.

Rusli Karim.M, Peranan ABRI dalam Politik, Haji Masagung, Jakarta, 1986

Sundhaussen, Ulf, The Political Orientation and Political Involvement of the

8
Harold Crouch, Militer dan Politik Di Indonesia, Jakarta,Sinar Harapan, 1986, hal. 309

Anda mungkin juga menyukai