PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemerintahan Sipil
1. Pengertian Pemerintahan Sipil
Menurut CF Strong dalam bukunya yang berjudul Modern Political
Construction terbit tahun 1960 dikemukakan bahwa pemerintah itu dalam arti luas
meliputi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemerintah juga bertugas
memelihara perdamaian dan keamanan. Oleh karena itu pemerintah harus memiliki (1)
kekuasaan militer, (2) kekuasaan legislatif, dan (3) kekuasaan keuangan. 1
Sedangkan menurut SE Filner dalam buku Comperative Gonverment (1974) istilah
pemerintahan memiliki 4 arti yaitu :
a. Kegiatan atau proses memerintah.
b. Masalah-masalah kenegaraan.
c. Pejabat yang dibebani tugas untuk memerintah.
d. Cara, metode, atau sistem yang dipakai pemerintah untuk memerintah. 2
Adapun dalam melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk
pemerintahan sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan kriteria
gaya dan sifat memerintah sebuah pemerintah.
Sedangkan Sayidiman Suryohadiprojo menyatakan bahwa Perkataan Sipil
merupakan satu pengertian yang menyangkut kewarganegaraan (Website’s Ninth
New Collegiate Dictionary : Civil : relating to citizens). Atau dapat dikatakan
bahwa Sipil adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan masyarakat, atau
warga negara pada umumnya.
Pemerintahan Sipil adalah pemerintahan di mana gaya pengambilan
keputusan diambil dengan gaya sipil. Sebelum sebuah keputusan menjadi
perintah, keputusan itu dibicarakan terlebih dahulu, dirembukkan dan kalau perlu
diputuskan lewat pemungutan suara (referendum). Setelah itu pun
2
sebuah keputusan harus menunggu pengesahan terlebih dahulu dari
lembaga negara yang berwenang lewat sebuah sidang.
2. Karakteristik Pemerintahan Sipil
Eric Nordlinger dalam bukunya “Militer dalam Politik” dikemukakan ada
beberapa bentuk pemerintahan sipil :
a. Pemerintahan sipil Tradisional
Bentuk pemerintahan sipil ini terjadi karena tidak adanya perbedaan antara
sipil dan militer, tanpa perbedaan maka tidak akan timbul konflik yang serius
diantara mereka. dengan demikian tidak terjadi campur tangan militer.3
Bentuk pemerintahan sipil tradisional begitu berpengaruh di bawah sistem
pemerintahan kerajaan pada abad ke-17 dan 18, mereka cenderung untuk tidak
menganggap diri mereka sebagai politisi, walaupun ketika sedang memerintah
mereka telah dicekoki dengan ciri-ciri sikap politik yang sama, yang ternyata
kurang dikembangkan oleh elit sipil.
b. Pemerintahan sipil Liberal
Model pemerintahan liberal didasarkan pada pemisahan para elit
berkenaan keahlian dan tanggung jawab masing-masing pemegang jabatan tinggi
di dalam pemerintahan. Tapi sejalan Model liberal akan menutup kemungkinan
militer untuk menekuni arena dan kegiatan politik. Didalam tindakan dan
pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas
pihak militer.4
c. Pemerintahan sipil Serapan
Dalam model serapan ini, pemerintahan sipil memperoleh pengabdian dan
kesetiaan dengan cara menanamkan ide untuk menyatakan ideologi, dan para ahli
politik ke dalam tubuh angkatan bersenjata mereka. Model serapan ini telah
digunakan secara meluas dalam rezim-rezim komunis. Militer dipisahkan dari
bidang sipil karena keahlian profesionalnya, tetapi sejalan dari segi ideologi.5
Dalam sejarahnya, pemerintahan sipil ini banyak dianut oleh negara-
negara barat, karena kebanyakan dari mereka berideologi liberal yang
3 Eric Nordlinger, Militer dalam Politik ( Jakarta : Rineka Cipta 1994) hal 18-19.
4 Ibid,hal 20-21.
5 Ibid,hal 24-25.
3
memunculkan supremasi sipil atas militer (civilian supremacy upon the military).
Dalam kata lain militer adalah subordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih
secara demokratis melalui pemilihan umum. Berbeda dengan apa yang terjadi di
Indonesia yang berideologikan Pancasila, sipil dan militer adalah satu bagian,
tidak ada supremasi di antara keduanya. Yang harus dimunculkan adalah
bagaimana hubungan keduanya dapat menjamin kerukunan hidup rakyat
Indonesia itu sendiri. Sehingga tercipta kebersamaan dalam memperjuangkan
kepentingan bangsa.
B. Pemerintahan Militer
1. Pengertian Pemerintahan Militer
Masa Orde Baru di Indonesia telah berakhir dengan tergulingnya Presiden
Soeharto dari kursi Presidennya, dan dimulailah masa baru yang dinamakan Masa
Reformasi. Sejalan dengan runtuhnya rezim Soeharto, maka runtuh pula dominasi
militer dalam politik Indonesia, masa orde baru tersebut dikendalikan dengan
sistem otoriter. Pada akhirnya, TNI/ABRI sebagai pucuk militer di Indonesia
harus menanggalkan dwifungsinya kembali ke barak dan hanya memainkan peran
sebagai alat pertahanan negara dari ancaman luar.
Sipil berarti masyarakat, maka sebenarnya Militer pun bagian dari
masyarakat. Oleh sebab itu di Indonesia sebelum terpengaruh oleh pandangan
Barat dipahami bahwa TNI adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat
Indonesia. Bahkan yang menjadi TNI adalah seluruh Rakyat yang sedang bertugas
sebagai kekuatan bersenjata untuk membela Negara.
Adapun yang dimaksud dengan pemerintahan militer adalah pemerintahan
yang lebihmengutamakan kecepatan pengambilan keputusan, keputusan
diambil oleh pucuk pimpinan tertinggi, sedang yang lainnya mengikuti keputusan
itu sebagai perintah yang wajib diikut konsekuensi rantai komando dalam
militer. Sebuah undang-undang dalam sebuah pemerintahan militer dibuat oleh
pucuk pimpinan tertinggi, tanpa menyerahkan rancangannya kepada parlemen.
2. Karakteristik Pemerintahan Militer
4
Gaya kepemimpinan pemerintahan militer ini memiliki karakteristik,
sebagaimana dikemukakan Ninik Widiyanti, adalah sebagai berikut:
Dalam pemerintahan militer, untuk menggerakkan bawahannya digunakan sistem
perintah yang biasa digunakan dalam ketentaraan, gerak geriknya senantiasa
tergantung kepada pangkat dan jabatannya senang akan formalitas yang berlebih-
lebihan, menuntut disiplin keras dan kaku dari bawahannya, senang akan upacara-
upacara untuk berbagai-bagai keadaan dan tidak menerima kritik dari bawahannya
dan lain sebagainya.6 Dalam militer tidak ada orang sipil di
pemerintahannya, semuanya orang militer, tatanan sosial terlalu ketat, seperti jam
malam, tidak boleh demonstrasi, dan cara pemilihan pemimpin dilakukan secara
turun temurun.
5
Setelah menjadi Presiden, Soeharto memandang tugasnya adalah :
memulihkan tingkat partisipasi rakyat dalam pemerintahan, menstabilkan negeri
yang secara politis terpecah belah, dan membangun perekonomian yang telah
diabaikan. Maka untuk mendukung upaya tersebut Soeharto memutuskan untuk
membentuk GOLKAR (Golongan Karya) atau kelompok yang fungsional,
mencakup buruh, petani, birokrat sipil, birokrat militer, mahasiswa, dan
intelegensia. Jika Soekarno ingin mengusahakan agar kelompok-kelompok
fungsional tersebut terlepas dari militer, maka Soeharto lebih suka
mengintergrasikan kedua badan tersebut, dalam kata lain Soeharto telah
menyertakan militer dalam politik sembari memberi fungsi politik pada militer.8
Masuk ke Era Reformasi, setelah lengsernya Soeharto, maka kedigdayaan Militer
dalam hal ini ABRI/TNI telah usai, Sejak itu nyaris tiada hari tanpa hujatan dan
caci maki terhadap ABRI.
Sejak awal kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari
kalangan sipil dan tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan
militer. Dalam sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan
dalam membentuk sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk
itu dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari
medan perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di
tangan Presiden Soekarno.
Satu hal yang perlu kita (baik militer maupun sipil)
refleksikan bahwa militer Indonesia telah berkembang menjadi militer
profesional. Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia profesional, yang
bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar "semangat
patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan kependidikan.
Peran politik TNI, menurut saya, tidak boleh melebihi fungsi dasarnya
yaitu pertahanan-keamanan negara, dan hal itu kini bisa ditafsirkan sebagai
tanggung jawab profesi. Peran tersebut cukup diletakkan pada tataran "kebijakan"
(policy) di tingkat pusat, dan tidak perlu diterjemahkan lebih jauh dengan konsep
8 Ibid,hal 15-16
6
kekaryaan seperti pada masa Orde Baru. Dengan demikian, militer bukan lah
institusi untuk merintis karier politik dan meraih insentif ekonomi melalui model
kekaryaan. Jika ada militer yang ingin menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan
presiden, maka harus melepas jaket hijau-lorengnya.
Fungsi pertahanan keamanan sebagai TNI professional itu juga menuntut
TNI untuk hanya punya komitmen dan tangung jawab moral terhadap eksistensi
Negara Kesatuan RI. Konsekuensi moral professional dari komitmen dan
tanggung jawab moral ini adalah bahwa TNI hanya mempunyai loyalitas kepada
Negara dan bukan kepada pemerintah. Loyalitas TNI kepada pemerintah hanya
sejauh pemerintah yang berkuasa. Tidak perduli sipil atau militer, menjalankan
kekuasaan negara sesuai dengan tuntutan dan cita-cita moral bangsa, yaitu demi
menjamin kehidupan bersama yang demokratis, adil, makmur, berprikemanusiaan
dan menjamin hak asasi manusia.
Maka tidak perlu dibicarakan lagi adanya civilian supremacy yang dianut
dunia Barat, karena adanya supremasi satu golongan terhadap golongan lain tidak
sesuai dengan pandangan Panca Sila dan dapat menjadi benih konflik. Namun
secara organisatoris dengan sendirinya setiap unsur negara harus menjalankan
keputusan dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. Maka tanpa ada
ketentuan supremasi sipil dengan sendirinya TNI harus tunduk kepada segala
kepatuhan dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah, siapapun yang duduk
dalam pemerintah itu. Sebaliknya, sesuai dengan jati dirinya TNI wajib dan
berhak menyampaikan pendiriannya kepada Pemerintah sekalipun mungkin
pendirian itu berbeda dari pandangan Pemerintah. Dalam mengembangkan
pendirian itu TNI harus selalu berpedoman pada Panca Sila dan Sapta Marga serta
Sumpah Prajurit yang secara hakiki berarti bahwa TNI harus selalu
memperhatikan berbagai aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Yang sekarang diperlukan adalah tekad untuk melaksanakan proses ini
secara konsisten dan sabar serta memelihara hasilnya secara terus menerus.
Hubungan Sipil-militer yang dihasilkan kemudian akan merupakan faktor positif
dalam perwujudan Ketahanan nasional Indonesia, termasuk pembinaan daya saing
nasional bangsa kita.
7
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam melaksanakan pemerintahan, sejarah mengenal pula bentuk
pemerintahan sipil dan militer. Pembagian bentuk pemerintahan ini berdasarkan
kriteria gaya dan sifat memerintah sebuah pemerintah.
Pemerintahan Sipil adalah suatu bentuk pemerintahan yang menggunakan gaya
sipil dalam menjalankan kehidupan pemerintahannya, sedangkan pemerintahan
militer adalah suatu pemerintahan yang dipimpin oleh penguasa diktator yang
mengandalkan gaya militer yang sarat dengan disiplin dan kental dengan
ketentaraan.
Hubungan antara Sipil dan Militer dalam sejarah lebih diungkapkan dalam
bentuk ekstrim karena kegagalan pemerintahan sipil yang menyebabkan
terjadinya kudeta-kudeta, dan ketidakstabilan rezim militer yang tidak punya opsi
memerintah lebih baik dari pemerintahan sipil. Sehingga pada akhirnya kedua hal
tersebut tidak dapat berkembang sesuai dengan tujuan yang dimilikinya.
Dan pada saat ini ketika semua hal dihadapkan kepada profesionalisme
yang menitikberatkan sejauhmana peran seorang warga negara terhadap
negaranya, maka militer memfokuskan diri dalam ranahnya sendiri, demikian pula
dengan sipil yang sekarang terintegrasi dalam bentuk yang lebih dinamis.
Sehingga tidak akan terjadi supremasi sipil terhadap militer.
8
DAFTAR PUSTAKA