Anda di halaman 1dari 12

-Dwi Fungsi-

ABRI
A.APA ITU FUNGSI DWI ABRI?
Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (atau yang sering disebut dengan istilah
“Dwifungsi ABRI” saja) adalah sebuah konsep politik dan juga kebijakan politik yang ada pada
periode Indonesia era demokrasi terpimpin dan juga pada periode Indonesia era orde baru.
Konsep ini digagas oleh Abdul Haris Nasution saat pidatonya di ulang tahun Akademi Militer
Nasional pada tanggal 13 November 1958. Ia mengemas gagasannya tersebut dalam sebuah istilah
yang bernama “Jalan Tengah.” Gagasan “Jalan Tengah” tersebut kemudian resmi diterapkan sebagai
kebijakan politik orde baru melalui Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1982 (UU No. 82 Thn. 1982).
Gagasan utama konsep Dwifungsi ABRI adalah kebutuhan para tentara untuk dapat tetap
berkontribusi dalam revolusi kemerdekaan dan pembangunan nasional. Seusainya perang perjuangan
dan revolusi mempertahankan kemerdekaan serta operasi militer penumpasan ancaman
pemberontakan, tentara menemui kebuntuan mengenai kegiatan apa yang bisa dilakukan untuk terus
berpartisipasi bagi kemerdekaan. Meskipun demikian, tentara tidak mau terlalu jauh masuk ke
pemerintahan dan merusak demokrasi karena dengan ikut campurnya tentara, sistem politik akan
berubah dari demokrasi menjadi ‘Junta Militer’. Untuk itulah, digagas sebuah konsep dimana tentara
masuk berpartisipasi dalam negara dan pemerintahan sebagai sebuah pribadi-pribadi tunggal yang
mandiri, bukan sebagai organisasi besar angkatan bersenjata. Pada praktiknya di periode Indonesia era
orde baru, konsep ini melenceng jauh dengan masukknya peran ABRI sebagai sebuah organisasi dalam
proses penyusunan dan pelaksanaan pemerintahan. Bentuk partisipasi ABRI sebagai organisasi militer
pada era orde baru dapat digambarkan dengan istilah “dinamisator dan stabilisator” politik dan
ekonomi bangsa.
B.Latar Belakang
Sejarah berdirinya ABRI berawal setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, laskar-laskar
banyak didirikan oleh para pemuda di tingkat lokal. Selain bersifat lokal, umumnya keberadan laskar
kurang terorganisir. Awal berdirinya tentara Indonesia adalah Badan Penolong Korban Perang yang
didirikan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 22 Agustus 1945. Badan tersebut
mencakup Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dalam undang-undang pembentukannya, disebut bahwa
salah satu fugsi BKR adalah memelihara keamanan rakyat bersama badan-badan negara lain yang
bersangkutan. Dalam hierarki pemerintah, BKR ditempatkan dibawah Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP). Sedangkan BKR yang ada di daerah secara paralel juga berada dibawah Komite
Nasional Indonesia (KNI) di daerah. Lalu pada tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara
Keamanan Rakyat (TKR). Hari kelahiran TKR kemudian ditetapakan oleh pemerintah menjadi Hari
TNI dan diperingati setiap tahun. Kemudian Tentara Keamanan Rakyat diganti menjadi Tertara
Keselamatan Rakyat pada 1 Januari 1946 dan sekali lagi menjadi Tentara Rakyat Indonesia pada 24
Januari 1946. Akhirnya pada tanggal 5 Mei 1947 TRI dan berbagai kelompok laskar rakyat digabung
menjadi TNI.
C. Fungsi ABRI
A. ABRI sebagai dinamisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat , dan
untuk memahami serta mersasakan aspirasi serta kebutuhan-kebutuhan rakyat, memungkinkan ABRI
untuk secara nyata membimbing, menggugah dan mendorong masyarakat untuk lebih giat melakukan
partisipasi dalam pembangunan.
2.Kemampuan tersebut dapat mengarah kepada dua jurusan. Di satu pihak hal tersebut merupakan
potensi nyata ABRI untuk membantu masyarakat menegakkan asas-asas serta tata cara kehidupan
bermasyarakat dan bernegara, termasuk juga rencana-rencana serta proyek-proyek pembangunan. Di
lain pihak hal itu menyebabkan ABRI dapat berfungsi sebagai penyalur aspirasi-aspirasi dan pendapat-
pendapat rakyat.
3.Untuk dapat lebih meningkatkan kesadaran nasional dan untuk dapat mensukseskan dan untuk dapat
mensukseskan pembangunan, diperlukan suatu disiplin social dan disiplin nasional yang mantap. Oleh
karena disiplin ABRI bersumber pada Saptamarga dan Sumpah Prajurit, sehingga secara masyarakat,
maka ABRI dapat berbuat banyak dalam rangka pembinaan serta peningkatan disiplin nasional
tersebut.
4.Sifat ABRI yang modern serta penguasaan ilmu dan teknologi serta perlatan yang maju, memberikan
kemampuan kepada ABRI untuk juga mempelopori usaha-usaha modernisasi.
B. ABRI sebagai stabilisator :
1.Kemampuan ABRI untuk berkomunikasi dengan rakyat, untuk merasakan dinamika masyarakat dan untuk
memahami aspirasi-aspirasi yang hidup dalam masyarakat, membuat ABRI menjadi salah satu jalur penting dalam
rangka pengawasan social.
2.Kesadaran nasional yang tinggi yang dimiliki oleh setiap prajurit ABRI merupakan suatu penangkal yang efektif
terhadap pengaruh social yang bersifat negatif dari budaya serta nilai-nilai asing yang kini membanjiri masyarakat
Indonesia.
3.Sifat ABRI yang realistis dan pragmatis dapat mendorong masyarakat agar dalam menanggulangi masalah-
masalah berlandaskan tata pilir yang nyata dan berpijak pada kenyataan situasi serta kondisi yang dihadapi,
dengan mengutamakan nilai kemanfaatan bagi kepentingan nasional. Kemudian rakyat akan dapat secara tepat
waktu menentukan prioritas-prioritas permasalahan dan sasaran-sasaran yang diutamakan.
Dengan demikian akan dapat dinetralisasi atau dikurangi ketegangan, gejolak-gejolak dan keresahan-keresahan
yang pasti akan melanda masyarakat yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembangunan dan karenanya
mengalami perubahan social yang sangat cepat.
D. Pelaksanaan Dwi Fungsi ABRI

Dalam pelaksanaannya, Dwifungsi ABRI didasarkan pada beberapa undang-undang yang menjadi landasan
legal formal berlakunya konsep tersebut. Pengaturan Dwifungsi ABRI dalam undang-undang sendiri baru dimulai
pada era Orde Baru, walaupun sebelumnya beberapa peraturan perundangan telah menyinggung kedudukan ABRI
sebagai golongan fungsional seperti umpamanya UU No. 7 Tahun 1957 tentang Dewan Nasional, UU No. 80
Tahun 1958 tentang Dewan Perancang Nasional, dan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Pada era orde baru,
undang-undang yang mengatur Dwifungsi ABRI ialah Ketetapan MPRS Nomor XXIV/MPRS/1966, yang
kemudian disusul oleh UU No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum dan UU No. 16 Tahun 1969, Ketetapan
MPR No. IV/MPR/1978, Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahaan
Keamanan Negara, dan UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI.

Adapun beberapa pasal lain:


• UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
• Ketetapan MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
• UU No. 20 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara
•  UU no. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit ABRI
Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu
fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era
Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era
ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS
pada tahun 1968. Hal ini dipandang wajar karena pada saat itu sektor militer memiliki kekuatan yang paling besar.
Sebenarnya, sejak awal milliter ikut ambil peran dalam mengurusi urusan sipil telah muncul suatu indikasi dimana
kekuatan militer Indonesia dianggap akan memgang peran penting dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Indikasi ini
muncul sesuai dengan teori Hunnington dan Finner yang mengatakan bahwa penyebab paling penting dari intervensi
militer dalam bidang politik adalah sistem kebudayaan politiknya, struktur politik, serta institusinya. Oleh karena itulah,
tidak heran jika partisipasi politik dari kekuatan militer Indonesia sangat kental pada masa itu mengingat masih
rendahnya level sistem budaya politik pada masa itu serta tidak mampunya membatasi kegiatan militer pada bidang non-
politis saja.
Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi
ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan
kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD),
dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang d di MPR dan DPR tingkat nasional
bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal
dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial diseluruh daerah dari mulai Jakarta
sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa).
-Faktor yang menyebabkan militer berperan dalam
bidang politik-
• Berangapan bahwa militer berperan dalam mengemban tugas sebagai penyelamat negara
• Ada kepercayaan pada golongan militer bahwa sebagai pelindung kepentingan nasional
• Militer mengidentifikasi dirinya sebagai artiber atau stabilisator bagi negaranya
• Militer mengidentifikasi dirinya sebagai pelindung kebebasan umum

ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor Legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang
ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui
Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka
mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisir kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini
diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta
adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam
MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh
MPR.
-Dampak dari Implementasi Dwifungsi ABRI-

a. Dampak negatif:
(a). Kecenderungan ABRI untuk bertidak represif dan tidak demokratis/otoriter. Hal ini dapat
terjadi karena kebiasaan masyarakat yang terbiasa taat dan patuh kepada ABRI. Sehingga
masyarakat enggan untuk mencari inisiatif dan alternatif karena semua inisiatif dan alternatif
harus melalui persetujuan ABRI. Kalaupun masyarakat telah mengungkapkan inisiatifnya, tak
jarang inisiatif tersebut ditolak oleh ABRI yang menjabat sebagai petinggi di wilayahnya tersebut
(b). Menjadi alat penguasa, yakni dengan adanya dwifungsi ABRI ini, maka ABRI dengan bebas
bergerak untuk menjabat di pemerintahan. Sehingga untuk mencapai tingkat penguasa tidak
mustahil untuk dilakukan oleh seorang ABRI, sehingga dengan mudah ABRI mengatur
masyarakat, dan
(c). Tidak berjalannya fungsi kontrol oleh parlemen. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan, misalnya dalam bentuk korupsi. Hal tersebut dapat terjadi karena
ABRI juga yang bertindak sebagai parlemen sehigga ia tidak ingin repot-repot melakukan
kontrol terhadap bawahannya.
Macam-Macam Pengaruhnya:
• Penyederhanaan partai poltik awal tahun 1973 adanya UU No, 3 tahun 1975 berkembang menjadi
UU No.3 tahun 1985 tentang partai politik dan golongan karya dari 10 partai menjadi 3 partai
( ppp, golkar, PDI)
• Pancasila menjadi asas tunggal diseluruh organisasi masyarakat dan organisasi politik sejak tahun
1985. Tujuan: mencegah munculnya “politik aliran” dan tidak ada ideologi lain selain Pancasila.
• Menguatnya peranan masyarakat madani, tanda tandanya:
-Disahkan uu peradilan tata usaha negara pada tahun 1986
-Munculnya komnas HAM
-Menguatnya LSM
-Bertambah golongan masyarakat terdidik
• Pesatnya pembangunan ekonomi
• Meningkatnya stabilitas politik
Kesimpulan:
Kontribusi tentara bagi bangsa dan negara Indonesia sejak zaman kemerdekaan Indonesia tidak dapat
terhitung besarnya, mengingat tentara ini merupakan salah satu ujung tombak dari kemerdekaan dan kedaulatan
Indonesia pada masa penjajahan dahulu. Seiring berjalannya waktu, didukung oleh pergantian pemerintahan
Soekarno menjadi Soeharto dengan ditandai oleh sistem pemerintahan Orde Baru di Indonesia, peran tentara
Indonesia yang kemudian disebut dengan ABRI semakin besar. Dahulu, ABRI yang hanya bergerak dibidang
keamanan dan pertahanan di Indonesia, namun pada era pemerintahan Soeharto, peranan ABRI merangkap kearah
bidang sosial dan politik. Fungsi ganda ABRI ini kerap dikenal dengan konsep Dwifungsi ABRI.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa dengan status Soeharto sebagai seorang pemimpin yang berasal
dari golongan tentara memicu banyaknya ABRI yang mulai terjun dalam bidang politik pemerintahan Indonesia.
Hal ini juga didukung oleh beberapa statement bahwa element yang dapat mengatasi ancaman pertahanan dan
pembangunan nasional adalah dengan menyelaraskan peranan ABRI yang tidak lagi hanya bergerak dibidang
hankam tetapi bidang non-hankam. Akibatnya, tak terhitung banyaknya anggota ABRI yang menjadi anggota
DPR, DPRD, atau posisi lainnya dalam birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Banyaknya anggota ABRI yang duduk di kursi pemerintahan menuai banyak implikasi positif maupun
negatif. Implikasi positif ini cenderung banyak dirasakan oleh para anggota ABRI yang mendominasi kursi
pemerintahan di Indonesia pada era Soeharto. Disisi lain, dampak negatif cenderung banyak dirasakan oleh
masyarakat Indonesia dimana mereka merasakan sistem pemerintahan Indonesia saat itu berada dalam dominasi
ABRI yang memicu banyaknya praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme. Hal ini, jelaslah membawa dampak yang
merugikan untuk bangsa Indonesia sebagai komponen yang seharusnya dilindungi dan dipenuhi kebutuhannya.
SEKIAN DAN TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai