Anda di halaman 1dari 5

HUBUNGAN SIPIL MILITER INDONESIA DI ERA DEMOKRASI

INDONESIA
Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah Militer dan Civil Society pada Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal
Achmad Yani Yang diampu oleh: Anggun Dwi Panorama, S.IP., M.H.I

Disusun Oleh:

Meidy Virdaus (6211171066)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2020
1. Latar Belakang

Pertanyaan utama yang dibahas dalam artikel ini adalah mengapa Setelah
sepuluh tahun reformasi di Indonesia, hubungan demokratis militer-sipil belum
terwujud? Saya pikir ini Disebabkan oleh dua hal. Pertama, warga sipil tidak bisa
membangun tentara profesional. Misalnya, terlihat dari minimnya anggaran militer
yang disetujui Kementerian Pertahanan Sipil. Batas anggaran Hal ini menyebabkan
kurangnya perlengkapan pertahanan (sistem senjata utama), Tanpa pelatihan,
kesejahteraan prajurit masih sangat rendah Akibatnya tentara Indonesia kurang
profesional. kedua, Tokoh dari kalangan sipil itu masih dianggap lemah.

Apa yang terjadi di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri Karena sejarah
berdirinya TNI didasarkan pada perjuangan Mengusir penyusup alih-alih
mengembangkan karier secara internal Bidang militer. TNI telah memberikan
kontribusi besar untuk operasi negara Di bidang militer, Kemudian secara politis
Selain itu, untuk kesejahteraan nasional pun demikian halnya di bidang ekonomi.
Seperti Amerika Serikat, komposisi militer juga diperlukan Warga sipil mengambil
profesi perwira profesional. Kita Sebagai negara kolonial, tidak ada sejarahnya Tidak
ada pengalaman dalam membangun otoritas sipil melawan militer Dibandingkan
dengan Indonesia, ada kendala besar. Kepatuhan sukarela TNI kepada otoritas sipil
dalam sepuluh tahun terakhir bukanlah hasil dari ruang yang diizinkan Ini sengaja
disediakan oleh badan sipil, tetapi karena Inisiatif reformasi militer oleh lembaga sipil
terhenti. Stagnasi ini disebabkan oleh institusi sipil dan Diversifikasi aliansi
sementara antara aktor internal dan eksternal.

Tentang konseptualisasi institusi sipil Indonesia Militer cenderung tidak


menyimpang dari konseptualisasi modern Berdasarkan kemampuan militer yang
menggunakan instrumen ini Wajib, tapi menyimpang dari konsep sejarah yang
beratLestarikan sejarah dan adat istiadat selama suaka Sistem otoriter orde baru. Dari
perspektif principal-agent Seperti yang ditunjukkan Feaver, warga sipil Kemiliteran
terjadi karena asimetri sistem, bukan asimetri informasi. Asimetri kelembagaan yang
dibarengi dengan desentralisasi lembaga swasta ini telah memperkuat kepentingan
TNI. Lembaga yang memelihara otonomi dalam doktrin militer dan konservatisme
strategis dan tradisionalisme postural pertahanan. Dalam beberapa isu tersebut,
dinamika kontrol sipil atas militer merupakan agen tanpa model utama Diusulkan
oleh Feaver. Secara politis, agen tidak Bawahan primer dan sukarela yang
menunjukkan kerentanan Bukan turbulensi, hubungan militer-sipil Indonesia. Secara
sosiologis supremasi militer sipil adalah hal yang mustahil Memperkuat lembaga
urusan sipil di tingkat ideologis dan kebijakan Menjadi agenda prioritas.

2. Pembahasan

Angkatan bersenjata terkait erat dengan siapa yang menjaga siapa (Siapa yang
menjaga wali) Aturan ini sejalan dengan pikiran Klasik Romawi Juvelai dan Omnia
Romae, menunjukkan bahwa demokrasi adalah aturan tertinggi warga negara,
termasuk aturan perintah Pasukannya. Seberapa akurat kontrol demokratis?
Bagaimana mengkonseptualisasikannya? kita harus Pahami bahwa kontrol demokrasi
didasarkan pada pemerintahan, politik, Sejarah dan budaya suatu negara. Oleh karena
itu kami sadari Dikatakan bahwa tidak ada model demokrasi tunggal di dunia Paling
cocok atau paling cocok untuk digunakan di suatu negara / Kawasan. Ada beberapa
definisi tentang pengendalian demokratis yang perlu dipahami, antara lain:

 Samuel P. Huntington (1957) menyatakan bahwa kontrol sipil (civilian


control) harus melakukan sesuatu yang berkaitan dengan kekuatan relatif
sipil terhadap militer yang merupakan bentuk pengendalian, baik subjektif
maupun objektif sipil.

 Pemerintah Czech memandang bahwa pengendalian demokratis


 merupakan umpan balik dari proses manajemen terhadap militer yang
disahkan oleh otoritas konstitusi, termasuk di dalamnya bagaimana
mengumpulkan dan mengendalikan informasi untuk kepentingan operasi
militer (Vlachová 2002).
 Pandangan Stevan Sarvas (1998:2), “Democratic control always implies
civilian control, but civilian control not necesarilly democratic control.
Misalnya, “the political oversight of the Czech communist regime over the
military forces was civilian control, but not democratic control”.
 Chris Donnelly (2006) dari NATO mendefinisikan bahwa pengendalian
demokratis adalah peran pemerintah yang mempunyai kewenangan untuk
mengarahkan kegiatan militer dan juga peran parlemen dalam
memberikan pengawasan kepada militer dan pemerintah.

Dari pemahaman di atas, pendapat Chris Donnelly nampakny yang paling


mendekati situasi dan kondisi di Indonesia. Namun demikian, pemahaman tersebut
masih menyimpan sedikit perbedaan terutama berkaitan dengan parlemen yang
memberikan peran pengawasan kepada militer. Pengawasan yang dilakukan oleh
DPR saa ini masih sebatas anggaran pertahanan dalam rangka mendukun kemampuan
militer. Adapun untuk permasalahan lain, misalnya yan berkaitan dengan doktrin dan
organisasi militer, sistem pengadaa alutsista, dan peningkatan kemampuan
pertahanan, masih belu dikuasai oleh DPR. Kemampuan anggota DPR Komisi I
terkait permasalahan tersebut masih sangat rendah.

Pada relasi sipil–militer yang otoritarian, yang terjadi adalah tidak adanya
kontrol sipil atas militer sehingga keberadaan pemerintahan sipil sering kali
dilangkahi oleh militer. Kondisi ini sama seperti yang terjadi di Indonesia pada awal
masa kemerdekaan. Peran tentara saat itu sangatlah besar dan terkadang tidak ada
kontrol sipil atas operasi-operasi yang dilakukan. Seperti yang terjadi pada era 1950-
an, Tentara Rakyat (sekarang TNI) sering kali melakukan perlawanan terhadap agresi
asing ataupun gerakan pemberontakan tanpa komando Presiden (Sutoro 2002). Hal
ini kemudian dilanjutkan pada era Orde Baru, namun dengan model supremasi yang
berbeda. Berlakunya doktrin Dwifungsi ABRI telah menjadikan kekuatan militer
benar-benar mendominasi aspek-aspek kehidupan masyarakat Indonesia.

Idealnya, posisi tentara sendiri harus dikuasai oleh warga sipil. Secara teori,
kontrol sipil atas tentara sebenarnya sederhana. Semua keputusan pemerintah
termasuk keputusan Mengenai keamanan nasional, tidak bisa ditentukan secara
sepihak Ditentukan oleh militer, tetapi harus berdasarkan keputusan staf sipil Siapa
orang yang dipilih secara demokratis. Keberadaan warga sipil sebagai pemegang
kekuasaan pemerintahan mencakup seluruh aspek kehidupan patriotik. Semua
tanggung jawab militer Hukum perdata disahkan oleh pemerintah sipil. Lebih rinci,
hubungan militer-sipil yang ideal jatuh ke ranah keputusan perintah perang termasuk
pemilihan. Strategi pertahanan yang digunakan, bahkan determinasi Waktu ofensif
militer. Pada saat yang sama, militer telah melakukan desentralisasi Melakukan
operasi militer di alam liar berdasarkan teori militer yang ada, strategi dan
pengalaman militer yang ada Dan kemampuan profesi militer. namun, Pada dasarnya
semua aturan dibentuk dan digunakan akan Kebijakan disesuaikan dengan
masyarakat sipil.

3. Latar Belakang

Berdasarkan hasil Analisa yang sudah dipaparkan oleh penulis bahwa


penerapan supremasi sipil di Indonesia masih belum berjalan dengan baik dan benar,
hal ini dikarenakan sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi budaya anggota militer
sejak zaman ORBA bahwa mereka berkuasa dan juga memiliki control atas
segalanya. Akan tetapi zaman sudah berubah dan dunia perpolitikan di Indonesia
sudah berubah akan tetapi budaya represifnya oleh anggota yang terkait belum
berubah.

LONG LIVE CIVIL SUPREMACY!!!

Anda mungkin juga menyukai