Anda di halaman 1dari 22

KERJASAMA SISTER CITY SEATTLE-KOBE DALAM BIDANG

SOSIAL DAN BUDAYA TAHUN 2010-2020

ABSTRAK

Kerjasama Sister City Seattle-Kobe adalah Kerjasama yang dilakukan oleh


Pemerintah daerah dari negara Amerika Serikat dan juga Jepang yang
sudah berlangsung sejak tahun 1957. Kerjasama ini mencakup di berbagai
bidang seperti ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Kerjasama ini bertujuan
untuk memperbaiki hubungan antara Amerika Serikat dengan Jepang
pasca Perang Dunia ke II. Dalam pelaksanaannya Kerjasama sister city
Seattle-Kobe lebih di dominasi oleh bidang sosial dan budaya melalui
program semacam cultural exchange, bantuan sosial, dan juga acara-acara
eventual lainnya.

Kata Kunci: Sister City, Seattle, Kobe, Sosial, dan Budaya

Pendahuluan

Hubungan Internasional merupakan salah satu hasil pembahasan


dimana seluruh penduduk dunia hidup di dalam batas-batas negara yang
merdeka. Tentunya hal ini mempengaruhi kehidupan manusia yang
merupakan makhluk sosial, artinya bahwa setiap manusia tidak dapat
hidup sendirian dan harus hidup berdampingan secara bersama-sama.
Negara tentu memiliki kebutuhan hidup tetapi tidaklah mudah dipenuhi.
Faktor terbatasnya sumber daya alam dan sumber daya manusia adalah
contoh yang paling umum dalam kehidupan sosial. Hal ini menjadi
permasalahan masyarakat dimana menginginkan pemerintahan berdaulat
yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Maka dari itu, pemerintah
negara melakukan kerja sama yang dapat menghasilkan keuntungan untuk
memenuhi kebutuhan masyarakatnya. (Jackson, 2013)

Hubungan internasional saat ini mulai mengalami transformasi yang


disebabkan dari fenomena globalisasi. Saat ini, negara bukan lagi satu-
satunya aktor dalam hubungan internasional sehingga aktor non-negara,
baik pemerintah maupun non-pemerintah memiliki peranan penting dalam
politik internasional maka pemerintah pusat bukan hanya lagi yang
memiliki wewenang dalam menjalin hubungan kerja sama internasional.
Hal ini bertujuan untuk mencapai kepentingan nasioal secara khusus
sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan suatu daerah tersebut. Maka
dari itu, terdapat penyerahan sebagian kewenangan pemerintahan pusat
kepada pemerintahan daerah dalam menjalin kerja sama internasional.
(Jackson, 2013)

Keadaan Global yang makin lama makin maju dan keberhasilan


pembangunan dalam negeri menyebabkan interaksi suatu kota dengan
negara-negara lain di global makin menigkat. Interaksi antarnegara
tersebutlah yang yang membuat suatu negara memutuskan untuk saling
berhubungan melalui kerjasama bilateral maupun multilateral. Adanya isu
global yang ditandai dengan meningkatnya hubungan antar negara, hal ini
dikarenakan adanya kesadaran bahwa kegagalan dalam mengatasi isu
global tersebut dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat internasional
secara keseluruhan, segala peningkatan keterkaitan akibat globalisasi telah
membuat mudahnya komunikasi dan menyadari hal-hal baru yang terjadi
tidak hanya di negara sendiri, tetapi juga di tempat lain di seluruh dunia.
( (Yani, 2005).

Dalam halnya diplomasi sebagai bentuk umum dalam hubungan


internasional juga tidak kebal terhadap perubahan global yang sedang
berlangsung disemua bidang kehidupan sosial tersebut. Perkembangan
teknologi dan komunikasi telah memberikan kontribusi signifikan terhadap
perilaku diplomatik yang lebih intensif dan efektif. Di mana globalisasi telah
mengubah cara di mana negara dan aktor internasional berkomunikasi,
bernegosiasi dan berinteraksi. Sejak abad ke-19, perbedaan semakin
dirasakan akibat transformasi dari diplomasi klasik (suatu bentuk proses
komunikasi antara negara satu dengan negara lain) ke diplomasi modern
(terbuka pada publik). (Yani, 2005)
Hadirnya fenomena globalisasi menimbulkan banyak dampak
termasuk adanya pergeseran dalam hubungan internasional dimana negara
bukan lagi menjadi satu-satunya aktor penting dalam pembuatan kebijakan
dalam mencapai kepentingan. Perkembangan ini terjadi karena kebutuhan
untuk mencapai kepentingan nasional secara khusus yang tidak dapat
dipenuhi secara mandiri. Kemunculan aktor-aktor baru dalam hubungan
internasional menjadikan format diplomasi berkembang menjadi “the
foreign policy and non-central government” yang juga disebut sebagai
paradiplomasi. Kehadiran paradiplomasi memberikan kesempatan kepada
aktor selain pemerintah pusat seperti kelompok, organisasi, individu,
maupun pemerintah daerah untuk mencapai kepentingannya masing-
masing. (Yani, 2005)

Paradiplomasi adalah aktivitas yang dilakukan untuk memenuhi


kapasitas dengan berhubungan luar negeri dengan pihak asing yang
dilakukan oleh entitas “sub-state”, atau pemerintahan regional/pemda,
dalam rangka melakukan kepentingan mereka secara spesifik. (Stefan,
2009)

Istilah “paradiplomacy” pertama kali diciptakan dalam pendekatan


akademik oleh ilmuwan asal Basque, Panayotis Soldatos tahun 1980-an
sebagai penggabungan istiah “parallel diplom acy” menjadi “paradiplomacy”.
Istilah tersebut mengacu kepada makna “the foreign policy of non-central
governments”. (Criekemans, 2008). Salah satu implementasi dari
paradiplomasi adalah kegiatan kota kembar atau sister city. Kegiatan sister
city yang telah dilakukan oleh para pemerintah daerah bahkan melibatkan
semacam hubungan internasional yang bekerja secara parallel dengan
sistem konvensional melalui kedutaan besar, duta besar, dan perjanjian
yang dinegosiasikan di tingkat negara bangsa. Meski pun istilahnya baru
muncul tahun 1980-an, tetapi kegiatan sister city dianggap berhasil dan
banyak bermunculan setelah Perang Dunia 2. Bahkan, terdapat penelitian
yang mengungkapkan kegiatan tersebut dianggap telah muncul pada abad
ke-9. (Clarke, 2013).

Pada Perang Dunia 2, Jepang melakukan penyerangan terhadap Amerika


Serikat dengan menghancurkan Pearl Harbor di Hawaii. Hal tersebut
mengubah sikap Amerika Serikat yang awalnya tidak akan ikut campur
dalam urusan Perang Dunia 2, berbalik akan melawan Jepang dan poros
aksis lainnya yaitu Jerman dan Italia. Jepang akhirnya dianggap menyerah
terhadap sekutu dari Amerika Serikat dengan melakukan penjatuhan bom
atom di Kota Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. (Makoto, 2008).
Hingga akhirnya Jepang dan Amerika Serikat berhasil melakukan
kesepakatan perdamaian dengan menjadikan mereka sebuah aliansi dalam
bidang keamanan dan pertahanan sejak 1951. (Service, 2020).

Salah satu negara-negara yang baru memiliki hubungan sister city


setelah Perang Dunia 2 adalah Kota Seattle, Amerika Serikat dan Kota
Kobe, Jepang. Hubungan kedua kota yang memiliki jarak cukup jauh ini
tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintahan pusat dan daerah untuk
mencapai kerja sama. Peran pemerintah juga dilakukan agar memenuhi
kebutuhan kepentingan nasional dan daerah masing-masing. Namun,
hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang merupakan sebuah konflik
bermusuhan pada Perang Dunia kedua. (Makoto, 2008)

Kota Seattle adalah kota pelabuhan yang terletak di Pantai Barat


Amerika Serikat. Kota ini menjadi yang terbesar di negara bagian
Washington dan di Barat Laut Pasifik di Amerika Utara. Dengan penduduk
total lebih dari 3.9 juta penduduk, kota ini menjadi masuk ke-15 besar
terpadat di Amerika Serikat. Kota Seattle juga berdekatan dengan
perbatasan Kanada. Pelabuhan di Seattle juga menjadi tempat terbesar
keempat di Amerika Utara dalam hal mengendalikan container per tahun
2015. Pada Juli 2016, Seattle menjadi kota dengan pertumbuhan penduduk
tertinggi di seluruh Amerika Serikat dengan 3.1% angka kelahiran. Kota
Seattle terkenal dengan industri kayu, pusat teknologi komputer, dan
keseniannya. (Seattle Government).

Salah satu kota di Jepang, Kobe, menjadi kota terbesar ketujuh


dengan memiliki populasi lebih dari 1.5 juta penduduk. Kobe memiliki
tempat-tempat industri yang penting seperti menghasilkan besi, mesin
elektronik, alat-alat pelengkap transportasi, karet, dan sebagainya. Kobe
juga menjadi salah satu contoh sebuah kota yang baik di antara kota-kota
besar di Jepang. Kobe dikenal sebagai kota yang memiliki kisah sejarah
yang panjang, perkebunan, dan kuil-kuil kuno yang masih bertahan pada
zaman industri sekarang. Kota Kobe juga menjadi salah satu tempat
pelabuhan yang paling berpengaruh di Jepang. Letaknya strategis
menghadap Samudra Pasifik menjadikan mereka salah satu tempat untuk
melakukan perdagangan yang besar dengan sejarah yang kental. (Seattle
Government).

Sejak tahun 1956, Presiden Amerika Serikat saat itu, Eisenhower


mendorong pemerintah daerahnya untuk melakukan kerja sama sister city.
Hal tersebut mendorong untuk mempromosikan keinginan niat baik
masyarakat dalam mempromosikan perdamaian. Kerja sama sister city
antara Kota Seattle. Hanya dalam waktu satu dekade, Jepang dan Amerika
Serikat dapat mempromosikan kerja sama untuk menpromosikan
perdamaian setelah Perang Dunia 2. (Consulate-General of Japan in Seattle,
2020).

Kota Seattle mengajukan untuk melakukan hubungan kerja sama


jangka panjang terhadap Hubungan Masyarakat Kota Kobe. Walikota
Seattle saat itu, Clifton B. Foster, menyampaikan ketertarikannya untuk
mengirimkan kerja sama sebagai kepentingan bersama-sama. Respon
tersebut baru dibalas setahun kemudian. Inagurasi peresmian hubungan
antar kota tersebut baru terealisasikan pada Mei-Juni 1957. (Goverment,
2017)

Sejak tahun 1957, Kota Kobe menjalin hubungan kerja sama kota
kembar dengan Kota Seattle, Amerika Serikat. Kota Kobe adalah sister city
tertua dan yang masih aktif berhubungan dengan Kota Seattle. Hubungan
tersebut telah berfokus pada bidang yang berfariasi, seperti pendidikan,
kebudayaan, ekonomi, dan pemerintahan. Hubungan sister city juga
berfokus kepada hubungan sister port atau pelabuhan kembar yang
menjadi ikatan yang kuat bagi para perusahaan di antara dua regional
tersebut. (Goverment, 2017)

Pada periode 1960-an, pertumbuhan yang disebabkan oleh kerja sama


sister city tersebut menciptakan dampak yang besar. Pembangunan wilayah
penduduk dan akses jalan tol juga berkembang pesat di Kota Seattle.
Pembangunan gedung untuk penduduk Jepang juga mendapatkan
perlakuan khusus oleh dewan kota setempat. Kota Seattle juga
mendapatkan banyak imigran dari Jepang yang menjadi pebisnis dan
buruh pelabuhan dalam program pertukaran ini. Terdapat penggabungan
budaya yang terjadi pada periode tersebut antara budaya barat dan timur.
(Ogawa, Sister City as A Preservation Strategy, 2012)

Periode 1970-an, kerja sama antar negara semakin menghasilkan


perpindahan penduduk menuju kedua negara. Kota Kobe memberikan
bantuan Kota Seattle dengan memberikan ribuan ton beras untuk
membalas budi kebaikan kota tersebut saat kekalahan Perang Dunia 2.
Terdapat monument Bell Kobe di pusat kota tersebut untuk
mempromosikan kegiatan Pameran Dunia tahun 1962, dimana Seattle
menjadi tuan rumahnya mempromosikan kinerja positif terhadap sister city
tersebut. (Ogawa, Sister City as A Preservation Strategy, 2012)

Pada periode 1980-an dan 1990-an, Kota Seattle memimpin pertemuan


AIA Northwest & Pacific Region Conference untuk menciptakan perencanaan
pembangunan arsitektur bergaya budaya Amerika Serikat dan Jepang. Hal
tersebut semakin terealisasikan, ketika Kota Kobe terkena dampak paling
besar dari gempa tahun 1995. Amerika Serikat melalui tentaranya
memberikan banyak bantuan untuk membangun kembali kota tersebut.
Kota Seattle membantu dengan memberikan banyak kayu untuk
pembangunan rumah para penduduk kembali. (Ogawa, Sister City as A
Preservation Strategy, 2012)

Hubungan paling terkini adalah terkait program Sister Cities Disaaster


Preparedness Initiative yang dikembangkan pada tahun 2010. Program
tersebut diciptakan oleh lebih dari 100 ahli perencanaan dalam mencegah
dan memberi bantuan terkait dampak bencana alam. Kota San Fransisco,
Honolulu, dan Osaka juga terlibat dalam penciptaan Program tersebut
berhasil dijalankan, ketika Jepang terdampak gempa dan tsunami pada
tahun 2011. (Ogawa, Sister City as A Preservation Strategy, 2012)

Di abad ke-21, kerja sama sister city semakin memfokuskan kepada


pertukaran budaya dan pendidikan. Perayaan 50 tahun kerja sama sister
city dan 40 tahun kerja sama sister port dilaksanakan tahun 2007.
Perayaan tersebut digelar di Seattle Art Museum dengan menampilkan
kebudayaan Jepang pada abad ke-16 hingga ke-19, perayaan tersebut juga
menampilkan percampuran budaya Jepang yang sudah dipengaruhi dengan
budaya barat. Penampilan budaya tersebut menampilkan bagaimana sikap
kedua masyarakat mengapresiasi kedua budaya yang berbeda. Hal tersebut
juga meyakinkan betapa pentingnya kedua negara memahami budaya yang
berbeda sesuai dengan perspektif mereka masing-masing. (Ogawa, Sister
City as A Preservation Strategy, 2012)

Per 2017, mereka berhasil merayakan hubungan 60 tahun mereka.


Hubungan kedua kota menjadi hubungan awal sister city yang terjadi di
Amerika Serikat. Hubungan sister port kedua negara juga sudah terjalin
selama 50 tahun. Kota Kobe bukan menjadi satu-satunya untuk menjalin
hubungan sister port. Kota Seattle juga melakukan hubungan sister port
dengan Kota Rotterdam, Belanda. Dengan terdapat perbedaan perayaan
antara sister city dan sister port di Kota Seattle, maka terdapat juga
perbedaan kepentingan yang terjadi untuk memperingati kerja sama
tersebut. Maka dengan latar belakang di atas, Bagaimana pelaksanaan
Kerjasama sister city Seattle-Kobe dalam Bidang Sosial dan Budaya?

Hubungan bilateral yang dilakukan oleh negara satu dengan negara


lain dilakukan dengan tujuan untuk bersama – sama mendapatkan
keuntungan bersama dan “menyamakan” tujuan nasional oleh masing –
masing negara yang mana dijadikan sebagai kepentingan internasional
antar negara tersebut. Hubungan bilateral tersebut dapat dilihat dari
hubungan Amerika Serikat dengan Jepang. Dalam hubungan antar negara,
hubungan antar daerah/kota pun dapat terjalin seperti adanya program
sister city. Penulisan ini akan memfokuskan pada hubungan kerja sama
sister city yang dilakukan oleh Kota Kobe (Jepang) dengan Kota Seattle
(Amerika Serikat). Hubungan yang terjalin antara Jepang dengan Amerika
Serikat dapat dilihat

Jepang mulai membuka hubungan antar negaranya pada periode


modernisasi Jepang pada tahun 1853. Pada saat itu Jepang memiliki
kekuasaan tertinggi di bawah kekaisaran Tenno Heika yang menurut
kepercayaan merupakan keturunan langsung Dewi Matahari Amaterasu-
Omi-kami, dengan kepemilikan kekuasaan duniawi pemerintah dan spiritual
(Tek, Studi Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya, 1983).
Namun sejak abad ke- 12 hingga abad ke-19 berubah menjadu era
feodalisme militer dibawah kewenangan shogun (jenderal). Pada tahun
1600, shogun pertama yang memegang kekuasaan Jepang secara de facto
berasal dari keluarga Tokugawa yang pada saat itu berkedudukan di Tokyo.
Shogun Tokugawa memandang politik sakoku, yaitu politik luar negeri
untuk tidak terlibat aktif dalam hubungan internasional, sebagai sikap
yang idel dalam memberikan kemakmuran bagi masyarakat Jepang (Tek,
Studi Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya, 1983)

Pada periode tersebut, Jepang hanya mengadakan hubungan


perdagangan dengan beberapa negara saja seperti Tiongkok dan Belanda
dikarenakan waktu dan sumber daya manusia yang terbatas. Pada saat itu
juga, negara – negara di Benua Eropa dan Amerika Serikat sedang
memerlukan bahan baku mentah dan pemasaran untuk indsutri mereka
(Akaha & Langdon, 1993, hlm. 69). Di bawah komando Comodor Matthew
Perry dari Amerika Serikat, Jepang akhirnya melakukan hubungan
diplomatic yang berupa perdagangan bebas pertama yang dikenal dengan
Restorasi Meiji pada tahun 1868 yang mana Jepang sedang menganut
sistem politik isolasionisme self-sufficiency (Muhammadiyah, 2016, hlm.
16). Restorasi Meiji yang terjadi pada tahun 1868 tidak hanya menandakan
adanya modernisasi khususnya industrialisasi pertama oleh Jepang, akan
tetapi juga sebagai symbol dari pengembalian kekuasaan kepada
Kekaisaran Tenno Heika. Adanya ancaman militer Amerika Serikat kepada
Jepang membuat Jepang untuk membuka negaranya terhadap
perdagangan internasional menimbulkan krisis nasional berupa kubu
masyarakat yang pro dan kontra terhadap internasionalisme.

Mengetahui hal tersebut, masyarakat Jepang cenderung mendukung


pemerintahan di bawah kekaisaran Tenno Heika untuk merealisasikan
kebijakan modernisasi yang diniliai sangat visioner dikarenakan mampu
beradaptasi dengan kekuatan besar seperti Amerika Serikat. Amerika
Serikat di bawah Comodor Perry memiliki citra yang karismatik dan
memiliki kekuatan yang superior terutama dengan keunggulan
persenjataan api dan kapal – kapal laut (black ship) yang memikat
perhatian masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang beranggapan bahwa
keputusan untuk bekerja sama lebih tepat apabila dibandingkan dengan
mempertahankan kebijakan isolasionisme dan berakhir seperti negara –
negara Asia lainnya yang mengalami penjajahan di bawah tekanan militer.
(Akaha & Langdon, 1993, hlm. 69). Dengan diadakannya Restorasi Meiji
memberikan pengaruh yang sangat besar bagi politik luar negeri dan dalam
negeri Jepang, terutama pada perkembangan pola pikir dan pembangunan
masyarakatnya. Dalam waktu selama hampir enam puluh tahun, Amerika
Serikat telah melakukan kontrol terhadap kebijakan luar negeri ekonomi
dan politik Jepang. Di bawah bimbingan Comodor Perry, Jepang dilatih
untuk membuka perdagangan terhadap negara Barat melaui tariff tetap
yang rendah dan perjanjian yang sesuai dengan kebijakan nasional negara
Barat. Walaupun pada awalnya praktik perdagangan tersebut berifat tidak
adil bagi Jepang, namun masyarakat Jepang merasakan adanya metode
baru dalam pembangunan ekonomi negaranya, terutama sejak tahun 1890-
an dimana Amerika Serikat besama aliansinya mulai fokus terhadap
persiapan Perang Dunia I.

Pada tahun 1890-an, permintaan negara Barat terhadap konsumsi


industry Jepang kemudian berubah menjadi konsumsi perang. Sehingga
sistem perdagangan yang diterapkan Jepang mengalami perkembangan dan
tumbuh menjadi negara industry maju di Asia Timur. Jepang kemudian
mendirikan sejumlah pabrik dan pelabuhan yang dikenal dengan zaibatsu,
yang kemudian dijual dengan harga yang jauh lebih murah jika
dibandingkan dengan hasil produksi negara Barat (Tjeng, 1983, hlm. 357).
Oleh karena itu, pada periode modernisasi ini selain berhasil
memanfaatkan ancaman militer dari Amerika Serikat menjadi titik tolak
untuk melakukan modernisasi ekonomi, Jepang juga berhasil memiliki
modal yang cukup untuk kemudian melakukan ekspansi pertama yang
dilakukan oleh bangsa Asia.

Setelah Restorasi Meiji yang terjadi hampir dua puluh lima tahun,
Jepang memfokuskan dirinya dalam pembangunan industry dan tidak
terlibat dalam politik luar negeri aktif. Namun, hal tersebut tidak membuat
Jepang secara langsung akfif dengan perkembangan internasional yang
sangat mengarah pada politik kekuasaan dan ekspansi wilayah, bahkan
setelah berlakunya Perjanjian Damai Wesphalia tahun 1648. Jepang
berkeinginan untuk menguasai daerah Asia yang didasari pada
pandangannya untuk melepaskan negara Asia lainnya dari pengaruh
kolonialisme Barat, yang dikenal dengan nilai Azia Shugi. Azia Shugi
menargetkan negara Korea yang merupakan daerah paling dekat dari
Jepang dan Manchuria yang merupakan wilayah Asia Timur paling subur.
(Shilliam, 2014, hlm. 226).

Namun keinginan tersebut menuntun Jepang untuk mengambil


tindakan koersif kepada Tiongkok dan Rusia yang pada saat itu kedua
negara tersebut merupakan negara yang meiliki daerah kekuasaan
terhadap Korea dan Manchuria. Korea pada saat itu masih merupakan
wilayah kebudayaan Tiongkok dan dianggap sebagai wilayah kekuasaan
atau dikenal dengan vassal state. Keinginan Jepang untuk mendapatkan
kekuasaan tersebut sudah ada sejak masa pengendalian Comodor Perry
yang berupa pembentukan pasukan ekspedisi Korea pada tahun 1873 yang
memiliki slogan Seikanron berisikan penapat penaklukan Korea. Akan
tetapi, dengan persiapan angkatan perang yang belum modern, pada tahun
1894-1895 Jepang menyerang angkatan laun Tiongkok. Ekspansi tersebut
berhasil dimenangkan dengan pernyataan Tionkok yang mengakui Korea
sebagai negara merdeka dan menyerahkan pulai Taiwan serta semenanjung
Liaotung wilayah Manchuria kepada Jepang melalui kesepakatan Treaty of
Shimonoseki (Tjeng, 1983, hlm. 359).

Pertumbuhan Jepang yang signifikan membuat Amerika Serikat


dengan Inggris melakukan tawaran pembagian kekuasaan dengan
perbandingan 5:5:3 untuk wilayah Lautan Pasifik dan Atlantik yang
dilakukan melalui Perjanjian Washington pada tahin 1921-1922 (Akaha &
Langdon 1993, hlm. 70). Pada saat Jepang mulai memberikan pengaruhnya
hingga kawasan Asia Tenggara, Amerika Serikat melanggar Perjanjian
Washington tersebut dengan memberikan sanksi ekonomi bersama Kanada,
Inggris, dan Belanda berupa embargo persediaan minyak dan bahan baku
mentah yang diperlukan Jepang untuk perang. Menghadapi hal tersebut,
Jepang membentuk aliansi bersama Jerman dan Italia untuk melancarkan
serangan terhadap angkatan laut Amerika Serikat di Pearl Harbor pada
tahun 1941 sebagai bentuk protes terhadap sanksi ekonomi tersebut.
(Tjeng, 1983, hlm. 362). Jepang pada akhirnya harus menerima sanksi
internasional berupa kepemilikan non aktif dan kependudukan oleh
Amerika Serikat pasca kekalahannya pada Perang Dunia II tahun 1945.

Setelah Jepang menerima kekalahan pada Perang Dunia II yang


ditandakan dengan menyetujui Deklarasi Postdam tahun 1945 berisikan
tentang kebersediaan Jepang untuk melucuti Angkatan Darat dan Laut
Kekaisarannya (Takashi & Jain, 2000, hlm. 137). Deklarasi tersebut juga
menandakan bahwa Jepang menerima keputusan untuk diberikan proteksi
keamanan penuh dan patuh pada kependudukan Amerika Serikat di bahwa
jenderal Mc Arthur selama enam tahun. Kependudukan tersebut
berlangsung hingga pada tahun 1951 saat adanya Perjanjian Damai San
Francisco (San Francisco Peace Treaty), dimana Jepang mendapatkan
kemerdekaannya dengan syarat tidak melaksanakan agresi militer dan
bersedia beberapa wilayah kekuasaannya dibangun pangkalan Amerika
Serikat (Tjeng, 1983, hlm. 363). Keputusan tersebut dilakukan oleh
Amerika Serikat dengan tujuan untuk menahan masuknya pengaruh
komunisme dan menjadikan Jepang sebagai negara aliansi utamanya di
Asia, dikarenakan pada tahun 1949 merupakan sudah dimulainya Perang
Dingin berupa perimbangan kekuatan ideology antara sosialis komunis oleh
Uni Soviet dan liberalis kapitalis oleh Amerika Serikat. Perang Dingin
diawali oleh kemunculan China komunis pada tahun 1949 dan pecahnya
Perang Korea tahun 1950 di Asia, serta adanya pembentukan The North
Atlantic Treaty Organizations (NATO) di Eropa. (Takashi & Jain, 2000, hlm.
178).

Aliansi yang dibentuk Amerika Serikat dengan Jepang berbeda


dengan aliansi Amerika Serikat lainnya, dikarenakan Jepang dipersiapkan
untuk lebih berkontribusi dalam politik domestic dan ikut berperang jika
terdapat ancaman yang datang langsung menuju wilayah Jepang.
Walaupun sudah merdeka, Jepang masih dikendalikan oleh Amerika
Serikat dengan motif bantuan dan bimbingan terhadap aliansi baru, berupa
reformasi politik domestic, rekonstruksi ekonomi, dan rehabilitasi
pandangan politik internasional (Takashi & Jain, 2000, hlm. 178).

Selama empat puluh tahun Perang Dingin berlangsung, Jepang dan


Amerika Serikat memiliki hubungan yang relatif dinamis. Ketidakstabilan
hubungan keduanya sering diakibatkan oleh perubahan situasi selama
perang ideology antara liberalis kapitalis dan sosialis komunis. Setelah Uni
Soviet memecahkan diri menjadi negara – negara baru di bagian Eropa
Timur dan China menjalankan dua ideolginya di bawah pemerintahan Mao
Zedong, dan pada saat itu juga hubungan kerja sama ekonomi antara
Jepang dan Amerika Serikat mulai menemui babak baru. Perumusan kerja
sama ekonomi dilakukan dengan tidak lagi didasari pada koalisi paksaan,
namun lebih kepada negara kesatuan yang merdeka (Muhammadiyah,
2016, hlm. 23).

Hubungan kerja sama yang dilakukan Jepang dan Amerika Serikat


untuk meningkatkan dinamika kesejahteraannya secara merata yaitu
melalui program kerja sama sister city. Salah satu program sister city yang
dijalankan yaitu antara Kota Kobe Jepang dengan Kota Seattle Amerika
Serikat. Sister City agreement antara Kota Seattle dengan Kota Kobe dimulai
pada bulan Oktober tahun 1957. Populasi Kota Seattle ada sebanyak
608,660 jiwa dan populasi Kota Kobe sebanyak 1,544,200 jiwa. Kemitraan
kota kembar Seattle-Kobe didirikan pada tahun 1957, setelah perdagangan
tersebut hubungan dimulai kembali antara Seattle dan Tokyo dalam upaya
untuk memperbaiki hubungan antara Amerika Serikat dengan Jepang di
awal tahun 1950-an. Pada tahun 2012, Seattle memiliki total 21 kota
kembar, dan Kobe berafiliasi dengan delapan kota kembar. Sebagai
kemitraan pertama untuk kedua kota tersebut, hubungan antara Kota
Seattle dengan Kota Kobe Jepang tetap menjadi salah satu yang terkuat dan
paling aktif. Dilakukannya kerja sama sister city antara Kota Seattle dan
Kota Kobe di latar belakangi untuk memperbaiki hubungan antara Amerika
Serikat dengan Jepang usai Perang Dunia ke-2 yang mana Amerika Serikat
menjatuhkan bom nuklir berkode “Little Boy” di Hiroshima dan “Fat Man” di
Nagasaki yang mengakibatkan 40% bangunnan di kota Hiroshima dan
Nagasaki hancur total atau rusak parah. (Ogawa, Sister City as a
Preservation Strategy, 2012)

ISI

Dunia internasional saat ini hampir seluruh negara – negara di dunia


memfokuskan negaranya dalam hal kerjasama ekonomi dan menjalin
hubungan politik dibandingkan melakukan gerakan agresif terhadap negara
lain, hal ini dalam hubungan internasional merupakan salah satu konsep
dasar Liberalisme dimana liberalisme lebih mengedepankan konsep
kerjasama dibandingkan melakukan konflik antar negara. Jepang dan
amerika yang pada awal perang dunia merupakan musuh karena memiliki
blok yang berbeda, kedua negara memiliki banyak sejarah kelam dalam
perang dunia ke 2 diantaranya penyerangan pearl harbour oleh pihak
militer jepang pada tanggal 7 desember tahun 1941 dan pengeboman di
hiroshima dan nagasaki yang dilakukan oleh militer amerika pada tanggal 6
– 9 agustus tahun 1945, namun saat ini hubungan diplomatik antara
kedua negara berjalan dengan baik baik itu dalam kerjasama pertahanan
ataupun kerjasama ekonomi antar kedua negara maju tersebut.

Liberalisme sebagai landasan filosofis pemikiran politik modern


merupakan produk dari ‘The European Enlightenment’ atau abad
pencerahan eropa yang diasosiasikan dengan para pemikir eropa seperti
J.J. Rousseau, Jean Bodin, Adam Smith, J.S Mill, dan lain – lain yang
menyurakan peran minimal pemerintah dalam kehidupan sosial – ekonomi
masyarakat, jaminan kebebasan individu dalam berpolitik, demokrasi dan
konstitusionalisme, dan juga kesetaraan hukum. Liberalisme juga meyakini
bahwa sistem sistem perekonomian kapitalisme pasar bebas (free market
capitalism) dapat menjamin kemakmuran bersama dan pengalokasian
sumber – sumber secara efisien di dalam masyarakat. (Scott Burchill, 2005,
hlm. 55)

Masuknya konsep pemikiran liberalisme klasik ke dalam studi


hubungan internasional diketahui melalui beberapa gelombang dimana
seperti yang kita ketahui gelombang pertama terjadi pada saat perang dunia
pertama tahun 1910 – 1919 ketika para pakar hubungan internasional
menggagas tentang pentingnya untuk membentuk semacam pemerintahan
dunia yang didasarkan pada prinsip kebebasan individu dan kesetaraan
hukum. Dalam konteks inilah Sir Alfred Zimmern, Woodrow Wilson, dan
Norma Angell menggagas didirakannya Liga Bangsa – Bangsa atau League
of nations sebagai organisasi antara pemerintah yang berutujuan untuk
mencegah terjadinya perang saudara antar negara. Namun demikian, akibat
lemahnya otoritas yang dimiliki organisasi Lon tersebut dan tidak adanya
instrumen legal untuk melakukan tindakan karena lemahnya dukungan
dari negara – negara superpower saat itu (Amerika dan Russia) yang
ditandai dengan adanya penolakan oleh kedua negara untuk menjadi
anggota Lon, karena hal inilah organisasi League of Nations tidak dapat
berfungsi dengan baik sehingga eksistensinya tidak dapat dipertahankan.
Kelemahan fundamental ini membuat LoN tidak mampu berperan efektif
dalam menegakkan perdamaian dan gagal mencegah pecahnya perang
dunia kedua.(Karns & Mingst, 2004, hlm. 36) Pada masa ini, Liberalisme
menghadapi kritik dan kecaman terutama dari pemikiran Realisme yang
kemudian mendominasi teori Hubungan Internasional hingga berakhirnya
perang dingin di tahun 1990.

Gelombang kedua masuknya pengaruh liberalisme ke dalam kajian


hubungan internasional terjadi pada dekade 1970-an dan 1980-an ketika
para pakar hubungan internasional menaruh perhatian pada peran aktor –
aktor non-negara, terutama negara perusahaan transnasional, dalam
mempercepat proses globalisasi dan peningkatan produktivitas ekonomi
dunia. Dari situasi inilah muncul gagasan untuk memfokuskan pola – pola
kerjasama ekonomi internasional yang digagas oleh Stephen D. Krasner,
dan menandai proses kerjasama antar negara – negara mulai dari hal yang
paling sederhana sampai ke kerja sama yang kompleks.

Gelombang ketiga pengaruh liberalisme di dalam hubungan


internasional terjadi pada dekade 1990-an ketika terjadi proses
demokratisasi global. Pada tahun 1991, Samuel P. Huntington, salah satu
pemikir politik yang terkemuka di Amerika Serikat, menulis buku berjudul
The Third Wave: Democratization in the late twenty century yang berargumen
bahwa saat ini (1990-an) dunia sedang memasuki transisi gelombang ketiga
menuju demokrasi melengkapi transisi gelombang pertama (1820 – 1926)
dan transisi gelombang kedua (1942 – 1962). Demokratisasi gelombang
ketiga menurut Huntington, ditandai oleh runtuhnya legitimasi rezim
otorite, semakin agresifnya negara – negara donor dalam mengkaitkan
demokratisasi dengan bantuan pembangunan, dan efek bola salju dari
proses demokratisasi di suatu kawasan(Huntington, 1993, hlm 3-4) karya
Huntington ini senada dengan karya Francis Fukuyama yang berjudul The
End Of History and The Last Man tahun 1992 yang berargumen bahwa
sejarah perjalanan ideologis umat manusia telah mencapai batas akhir,
dimana Liberalisme telah berhasil mengalahkan sistem – sistem lain yang
ada seperti monarki herediter, fasisme, otoritarianisme, dan komunisme,
sehingga dapat disimpulkan bahwa demokrasi liberal merupakan bentuk
akhir dan paling baik dari sistem pemerintahan manusia.

Sejalan dengan perkembangan ekonomi,politik, dan militer dunia.


Saat ini perkembangan kerjasama yang pada awalnya hanya dapat
dilakukan oleh negara dengan negara dapat diubah dengan adanya
globalisasi dimana masyarakat pun dapat menjalin kerjasama dengan pihak
lain tanpa kesulitan. Globalisasi membantu masyarakat untuk berkembang
dan mengetahui informasi – informasi yang ada di belahan dunia lain
dengan cepat, selain itu pertukaran informasi antar negara pun terjadi
setiap harinya, baik itu pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya yang
berbeda karena itulah globalisasi dapat di anggap sebagai salah satu faktor
penghapus batas negara – negara di dunia pada masa modern ini.
Fenomena globalisasi telah mendapatkan perhatian yang sangat besar dari
EPI, dimana semakin meningkatnya derajat saling keterkaitan ekonomi
antara dua perekonomian nasional, sebagai contoh dalam bentuk
perdagangan ataupun investasi asing yang lebih eksternal, merupakan
salah satu aspek globalisasi ekonomi. (Jackson, 2013)

Globalisasi didukung oleh beberapa faktor, yang paling penting


adalah perubahan teknologi yang digerakkan oleh persaingan ekonomi yang
keras antar antar persuhaan. Langkah – langkah yang diambil negara
(contoh: Liberalisasi perdagangan dan keuangan) juga merupakan faktor
penting. Tiga pendekatan teoritis utama pada EPI juga sepakat bahwa
globalisasi ekonomi sedang berjalan. Tetapi mereka tidak sepakat mengenai
muatan nyata proses tersebut (interdepensi intensif atau sistem ekonomi
global) kemudian EPI juga tidak sepakat mengenai akibat dari globalisasi
ekonomi bagi negara. ( (Jackson, 2013). Dimana EPI beranggapan bahwa
globalisasi ekonomi dapat berdampak negatif bagi negara – negara yang
masih belum dapat melakukan produksi sendiri yang dapat bersaing di
pasar internasional jiga globalisasi ekonomi dilakukan. Kaum ekonomi
liberal berpendapat bahwa perekonomian pasar merupakan wilayah otonom
dari masyarakat, berjalan sesuai dengan hukum ekonominya sendiri.
Pertukaran ekonomi bersifat “positive – sum game”, dan pasar akan
cenderung memaksimalkan keuntungan bagi individu, rumah tangga, dan
perusahaan. Perekonomian merupakan bidang kerjasama yang saling
menguntungkan antar negara dan juga antar individu. (Jackson, 2013)

Selain perkembangan ekonomi akibat globalisasi, perkembangan


hubungan bilateral pun mengalami perubahan karena efek globalisasi
tersebut dimana, hubungan kerjasama yang seharunya hanya bisa
dilakukan oleh negara, saat ini dapat dilakukan oleh pemerintah daerah
antar kota yang memiliki negara yang berbeda, konsep hubungan
kerjasama ini biasa disebut sebagai Sister City dimana konsep hubungan
kerjasama sister city ini dilakukan antara kota yang memiliki negara
berbeda baik itu kerjasama pendidikan dengan cara pertukaran pelajar,
kerjasama ekonomi dengan adanya investasi ataupun pertukaran informasi
dari pihak yang menjalin kerjasama, ataupun sosial – budaya dimana
kedua kota saling berkunjung untuk melihat kelebihan dan kekurangan
yang dimiliki sehingga kedua kota dapat berkembang lebih maju lagi.

Pemerintah daerah dibawah kedaulatan sebuah negara, memiliki


peran andil dalam mengambil peran sebagai aktor penghubung yang
mendasari terjadinya hubungan antar negara, ini lah yang dimaksud
dengan paradiplomasi. Paradiplomasi adalah suatu kegiatan dalam
hubungan internasional yang dilakukan oleh aktor sub-negara untuk
mencapai kepetingannya(Alexander, 2015) kegiatan paradiplomasi dapat
terlihat dengan adanya kerjasama sister province maupun sister city yang
dilakukan oleh pemerintah daerah suatu negara dengan pemerintah daerah
negara lain yang memiliki kesetaraan tingkat adimistratif ataupun keadaan
geografis yang hampir serupa.

Terdapat tiga jenis dalam klasifikasi paradiplomasi. Tiga tipe


paradiplomasi tersebut adalah(Alexander,2015,hlm. 27):

1. Transborder regional paradiplomacy. Ialah kegiatan paradiplomasi yang


umumnya dilakukan oleh aktor – aktor sub negara yang masih memiliki
kedekatan secara geografis.

2. Transregional paradiplomacy. Paradiplomasi ini terjadi ketika adanya


diplomasi yang dilakukan oleh aktor sub-negara yang wilayahnya tidak
berbatasan secara langsung namun masih dalam lingkup wilayah kawasan
yang sama.

3. Global paradiplomacy. Global paradiplomacy merupakan suatu


diplomasi yang dilakukan antar aktor sub-negara dimana kedua aktor tidak
berada dalam satu wilayah kawasan yang sama, dalam hal ini memiliki
benua yang berbeda tetapi tetap menjalin kerjasama paradiplomasi antar
pemerintah daerah.

Hubungan bilateral yang dilakukan oleh negara Amerika dan Jepang


dan hubungan diplomatik pemerintah daerah Sister City Antara Kota Kobe
(Jepang) dengan Kota Seattle (Amerika Serika) bisa dikategorikan sebagai
Global Paradiplomacy dimana lokasi kedua negara berada di kawasan
wilayah dan benua yang berbeda satu sama lain. Keadaan geografis yang
mirip antara kota Kobe (Jepang) dengan Seattle (Amerika) merupakan salah
satu faktor pendorong di adakanya kerjasama sister city antar kedua kota
tersebut. Dimana Kobe adalah ibu kota prefektur Hyogo dan merupakan
salah satu pelabuhan besar yang ada di negara jepang. Dimana di sisi lain
kota Seattle pun memiliki fokus ekonomi yang sama yaitu pelabuhan, kota
seattle menjadikan pelabuhan sebagai penggerak ekonomi utama di kota
tersebut. Ini artinya hubungan sister city yang terjalin merupakan bantuan
dari faktor geografis yang sama satu dengan lainnya.

Program sister city Seattle memberikan peluang untuk menjalin


hubungan persahabatan, Kerjasama, koneksi dan juga bermanfaat. Politik
dan ekonomi Seattle menjadi berpengaruh jauh dari perbatasan negaranya
dengan potensi untuk mempengaruhi ribuan orang diseluruh dunia. Seni
dan budaya, festival, pertukaran pelajar, dan juga kegiatan lainnya yang
memperdalam hubungan komunitas kita dengan beragam populasi yang
tinggal di kota kita dan hubungan kita di seluruh dunia. Melalui
perdagangan, cultural exchange, kegiatan humanitarian, juga melalui
komunitas imigran yang beragam, Seattle's international engagement has
direct impacts on improving education, jobs, the environment, tourism, and
health. (Durkan, 2017) Program sister city Seattle salah satunya dijalankan
dengan Kobe, sebuah kota yang terletak di negara Jepang.

Sister city antara Seattle-Kobe berjalan dengan baik dari awal


terjalinnya programnya ini pada tahun 1957, yang diikuti oleh hubungan
perdagangan yang terjalin kembali antara Seattle dan Tokyo guna
memperbaiki hubungannya dengan Amerika Serikat-Jepang pada awal
tahun 1950-an. Hingga pada saat ini Seattle memiliki 21 sister city dan
Kobe memiliki 8 sister city akan tetapi, hubungan Seattle-Kobe tetap
menjadi yang terkuat dan yang paling aktif dari semuanya.

Hubungan sister city antara Seattle-Kobe diperkuat melalui


serangkaian kegiatan pada yang berada dalam faktor politik, ekonomi, dan
budaya. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud ialah seperti persetujuan antara
Seattle dan Kobe untuk menjalin hubungan sister city untuk memperbaiki
hubungan antara Amerika Serikat dengan Jepang; Persetujuan Kerjasama
sister port antara Seattle dan Kobe karena kedua kota tersebut merupakan
kota Pelabuhan guna mempermudah transfer politik, ekonomi, dan juga
budaya baik dari dunia dan juga antara Seattle dengan Kobe; Pada bulan
Mei tahun 1962 Seattle's World Fair menampilkan model miniatur Kota
Kobe dan berbagai barang dari Kobe. Kobe juga menghadirkan lonceng
persahabatan dan bangunan yang menyertainya, yang sekarang dikenal
sebagai Lonceng Kobe di taman Seattle Center (Office, 2012); Program
Pertukaran Pelajar Sekolah Menengah Kobe-Seattle (juga disebut
Ambassadors Program) dimulai. Siswa dari Seattle pergi ke Kobe untuk
tinggal dengan keluarga angkat, mengunjungi sekolah terdekat, pergi jalan-
jalan, dll. Siswa dari Kobe datang ke Seattle dan melakukan hal yang sama.
Program ini didanai dari 2001 hingga 2003 sebagian oleh Starbucks
Jepang. Setiap kali pitcher Mariners Kazuhiro Sasaki menyelesaikan
penyelamatan, Starbucks Jepang memberikan donasi; Pada tahun 2002
Hari jadi ke-45 hubungan sister city Seattle-Kobe. Pada bulan Juli, Walikota
Kobe Tatsuo Yada datang ke Seattle dan berpartisipasi dalam Parade Senter
Laut. Pada bulan November, Walikota Seattle Greg Nickels pergi ke Kobe;
foto peringatan diambil sebagai bagian dari pertukaran; dan masih banyak
kegiatan lainnya dilakukan antara Seattle-Kobe sampai saat ini terutama
hal-hal yang lebih condong terhadap factor budaya melalui cultural
exchange.

Selama 60 tahun terakhir, Seattle Kobe Sister City Association telah


menyelenggarakan lusinan pertukaran dan acara yang mempromosikan
pengertian antara satu sama lain dan persahabatan yang langgeng. Taman
Teras Kobe di Distrik Internasional Seattle memiliki pohon pinus dan ceri
Jepang serta lentera batu, hadiah dari masyarakat Kobe. Konser Ratu
Vokalis Jazz Kobe mengirimkan pemenang kompetisi menyanyi tahunan di
Seattle dan Kobe untuk tampil di negara lain. Festival Bunga Sakura,
pertukaran sekolah menengah, dan acara lainnya menjaga hubungan ini
tetap kuat. Selama beberapa dekade telah terjadi banyak kunjungan antara
para pemimpin Kobe dan Seattle; terakhir Walikota Ed Murray mengunjungi
Kobe pada Mei 2016. 2017 adalah peringatan 60 tahun hubungan kota
kembar Kobe Seattle dan peringatan 50 tahun hubungan pelabuhan
saudara Pelabuhan Kobe dan Pelabuhan Seattle.

Berdasarkan data yang telah dipaparkan kegiatan yang dekat dengan


budaya dan juga cultural exchange sering mendampingi Seattle dan kobe
sejak dulu kala, hal ini tidak berubah hingga saat ini juga terutama
diantara tahun 2010 sampai dengan 2020. Berikut adalah kegiatan-
kegiatan Kerjasama sister city antara Seattle-Kobe dalam dalam bidang
sosial dan budaya di tahun 2010-2020: Jazz Exchange dilaksanakan setiap
tahun sejak tahun 2000, Pemenang Kontes Ratu Vokalis Jazz Kobe yang
diadakan di lingkungan Shinkaichi di Kobe, tempat kelahiran jazz Jepang,
telah mengunjungi Seattle untuk tampil di Jazz Alley milik Dimitriou. Jazz
Exchange adalah sebuah kompetisi untuk wanita yang diselenggarakan
antara Seattle dan Kobe, hadiah yang diperoleh pemenang dalam kompetisi
ini ialah tamasya ke Kobe untuk menjelajahi kotanya dan juga bernyanyi di
festival jazz Kobe sebagai bagian dari cultural exchange program dari Seattle-
Kobe sister city. Pertukaran musik jazz Seattle-Kobe dimulai pada tahun
2000, sebagai tanggapan terhadap gempa bumi Kobe 17 Januari 1995, atau
"Gempa Bumi Besar Hanshin," yang menyebabkan sejumlah besar
kehancuran, mengakibatkan sekitar 6.500 kematian dan 220.000 orang
mengungsi dari tempat mereka. rumah. Jazz adalah cara kecil untuk
membantu membangun kembali komunitas seni yang tangguh dan
mendapatkan kembali rasa bangga dan kegembiraan. Pada tahun 2005,
SKSCA meluncurkan program timbal balik: sebuah kontes untuk mengirim
dua vokalis jazz wanita dari Seattle untuk tampil di Kobe! Dua vokalis
dipilih, satu siswa SMA dan satu dewasa. Para semifinalis dipilih
berdasarkan lamaran dan pertunjukan mereka yang direkam. Mereka
tampil dalam kompetisi live di Dimitriou's Jazz Alley pada musim semi.
Pemenang kompetisi final ini memenangkan perjalanan yang ditanggung
biaya ke Kobe untuk tampil di Kontes Ratu Vokalis Jazz Jalanan Musik
Shikaichi yang diadakan di Kobe pada musim gugur; Perayaan hari ulang
tahun sister city Seattle-Kobe yang ke 60, Selama enam dekade terakhir,
hubungan Seattle-Kobe Sister City telah menghasilkan investasi ekonomi,
pertukaran budaya, dan penguatan institusi sipil kedua kota. Kota ini
mengadakan Resepsi Hari Jadi ke-60 di markas Pelabuhan Seattle pada 28
Juli; Pada tanggal 25 bulan September tahun 2019 SKSCA (Seattle Kobe
Sister City Association) berpartisipasi dalam kunjungan kehormatan siswa
sekolah menengah Kobe di kota sebagai bagian dari program pertukaran
Duta Laut tahunan dengan Dewan Pendidikan Kobe. Siswa bertemu dengan
Wakil Walikota Seattle Shefali Ranganathan dan melakukan percakapan
yang hebat tentang Seattle dan Kobe. (SKSCA, 2019)

Kesimpulan

Hubungan sister city antara Seattle-Kobe disebut-sebut sebagai


hubungan yang paling kuat dan paling aktif diantara kedua kota tersebut,
berdasarkan data dari serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Seattle-
Kobe mayoritasnya bersifat sosial dan budaya melalui kegiatan cultural
exchange, dan secara implisit menjelaskan bahwa hal yang identic dengan
budaya dapat menjadi bumbu yang dapat membuat suatu hubungan
terlihat harmonis dan juga berhasil. Contohnya antara lain adalah Seattle
dan Kobe yang secara konstan dari awal program sister city berjalan
diantara kedua kota tersebut.

Daftar Pustaka
Criekemans, D. (2008). Are the Boundaries between Paradiplomacy and Diplomacy Watering Down?
Antwerpen: University of Antwerp.

Durkan, M. J. (2017, 5). Seattle.gov. Retrieved from https://www.seattle.gov/oir/sister-cities

Goverment, C. o. (2017). Kobe Trade Information. Retrieved from www.cityofkobe.org

Jackson, R. &. (2013). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Makoto, I. (2008). The History of US-Japan Relations: From Perry to the Present. Kumamoto:
University of Kumamoto.

Office, K. T. (2012). Kobe Trade Information Office. Retrieved from https://cityofkobe.org/seattle-


kobe-sister-cities/

Ogawa, A. (2012). Sister City as a Preservation Strategy. 43.

Ogawa, A. (2012, May 07). Sister City as A Preservation Strategy. Retrieved from
https://core.ac.uk/download/pdf/161440647.pdf

Service, U. S. (2020). U.S-Japan Relations. New York: United States Congressional Research Service.
SKSCA. (2019, September 19). Seattle-Kobe Sister City Associaton. Retrieved from
https://www.seattlekobe.org/

Stefan, W. (2009). Paradiplomacy: Scope, Opportunities, and Challenges. Nottingham: University of


Notthingham.

Tek, T. L. (1983). Studi Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya. In T. L. Tek, Studi
Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya (p. 353).

Tek, T. L. (1983). Studi Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya. In T. L. Tek, Studi
Wilayah Pada Umumnya Asia Timur Pada Khususnya (p. 356).

Yani, A. A. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya Bandung.

Anda mungkin juga menyukai