Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KULIAH SESI 10

MATA KULIAH PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL

Disusun Oleh:
Rasvan Windhi
NPM 2006509781

PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL


SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL

UNIVERSITAS INDONESIA

Jakarta, 10 Mei 2021

1
KEPEMIMPIN STRATEGIS DALAM REFORMASI SEKTOR KEAMANAN
DI INDONESIA

Semakin banyaknya studi literatur mengenai keamanan nasional (Kamnas)


dewasa ini, menggambarkan betapa seriusnya negara-negara demokratis dalam
upayanya untuk menyediakan keamanan bagi rakyatnya. Usaha ini didasarkan pada
keyakinan bahwa kualitas keamanan yang dapat disediakan negara akan tergantung
kepada negara tersebut dalam mengorganisir aparat keamanannya. Upaya ini sejalan
dengan acuan Security Sector Reform (SSR) atau Reformasi Sektor Keamanan (RSK)
yakni gagasan demokrasi. Dalam rangka itu berbagai aktor masyarakat sipil (civil
society) memainkan peranan penting dalam mengelola dan mengawasi sektor
keamanan.1
RSK terkait dengan pembentukan berbagai struktur yang tepat untuk kontrol
sipil. Seperti yang dijelaskan oleh Timothy Edmunds, RSK menuntut kuatnya elemen-
elemen kunci lainnya, yakni: (1) proses pemasyarakatan (civilization) berbagai
birokrasi sektor keamanan, dan (2) de-politisasi sektor keamanan. 2 Pihak
sipil/masyarakat (civilians) adalah bagian dari “keluarga keamanan yang lebih besar”3
yang peranannya cukup penting bagi pengembangan kekuatan keamanan demokratis
serta proses RSK.
Seperti yang kita ketahui, rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto dengan
masa jabatan yang cukup panjang (kurang lebih 32 tahun), menggantikan resim Orde
Lama Soekarno, merupakan masa-masa kelam demokrasi. Soeharto bertindak seolah-
olah telah mengamalkan demokrasi yang benar di Indonesia dengan berlandaskan
pada sila keempat Pancasila, padahal sebenarnya Soeharto dengan basis
pendukungnya berupa kekuatan militer yang kuat telah menempatkan militer sebagai
kekuatan yang lebih superior dibandingkan dengan kekuatan sipil dengan dirinya
sebagai pusat kekuasaan.
Hal ini terus berlanjut hingga rezim otoriter beliau yang berkedok ‘Demokrasi
Pancasila’ runtuh dan digantikan oleh era reformasi dengan titik awalnya dimulai oleh
pengganti beliau yang sebelumnya menjabat Wakil Presiden, yaitu B.J. Habibie. Pada
era Presiden B.J. Habibie inilah dimulainya kembali pondasi dasar hubungan sipil-
militer yang sebenarnya di dalam negara demokrasi sekaligus tonggak sejarah RSK
dengan tiga langkah kebijakan sebagaimana disebutkan di dalam Koesnadi Kardi
sebagai berikut:
“Langkah pertama, militer diupayakan menarik diri secara bertahap dari peran
politik untuk segera kembali ke peran militer yang proporsional di mana sebelumnya
1
Tarak Barkawi & Mark Laffey (1999). ‘The Imperial Peace: Democracy, Force and Globalization’. European
Journal of International Relations, Vol. 5, No. 4, pp. 403-434.
2
Timothy Edmunds (2001). Security Sector Reform: Concepts and Implementation. Report for Geneva Centre
for Democratic Control of Armed Forces, Hal. 6.
3
Ann Fitz-Gerald (2003). ‘Security Sector Reform-Streamlining National Military Forces to Respond to the
Wider Security Needs’. Journal of Security Sector Management, Maret 2003, Vol. 1, No. 1.

1
sangat dominan. Langkah kedua, pemerintah sipil mulai meletakkan dasar-dasar
terhadap bagaimana pengendalian sipil atas militer secara bertahap. Langkah ketiga,
mengupayakan ‘kontrol demokratis’ terhadap militer yang berarti militer menerima
kewajibannya untuk bertanggung jawab kepada pemerintahan yang terpilih melalui
legislasi dan opini publik yang sah.”4
RSK tidak hanya mencakup sektor militer. Aktor-aktor non-militer juga berperan
penting dalam menyediakan keamanan publik, baik secara internal maupun eksternal.
RSK mencakup semua “institusi dan badan negara yang mempunyai otoritas sah
untuk menggunakan kekuatan, memerintahkan kekuatan atau mengancam
menggunakan kekuatan untuk melindungi negara dan warganya”.5 Tujuan utama dari
RSK adalah “untuk menciptakan transparansi dan systemic accountability
berlandaskan kontrol demokratis secara substantif dan sistemis yang meningkat”.6
Dari tujuan ini, kita dapat melihat bahwa RSK menggunakan pendekatan yang
holistik dengan mengakui signifikansi militerisasi (militerised formation) angkatan
bersenjata reguler, sejalan dengan reformasi hubungan sipil-militer.7
Berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), TNI-Polri
telah menarik fraksinya di DPR/MPR sejak 30 September 2004. Hal ini menandakan
TNI telah menarik diri secara keseluruhan dari kancah politik sejak tanggal tersebut.
Langkah tersebut diambil oleh TNI karena berdasarkan UUD 1945, semua lembaga
legislatif hanya terdiri dari anggota yang dipilih (oleh rakyat dalam Pemilu) dan tidak
memungkinkan bagi keberadaan anggota yang diangkat. Apabila seandainya fraksi
TNI-Polri bertahan melampaui tahun 2004, ia akan terkena oleh ketentuan dan akan
dieliminasi keberadaannya dalam lembaga legislatif.
Amandemen UUD 1945 memunculkan bentuk baru di dalam kancah perpolitikan
di Indonesia, khususnya bagi kalangan militer. Kalangan militer memang tidak lagi
bergelut di dalam ranah politik, tapi perannya tersebut digantikan oleh purnawirawan
TNI atau perwira TNI yang memang menanggalkan jabatannya di militer untuk
beralih menjadi warga sipil dalam rangka terjun ke dalam arena politik. Hal ini
menimbulkan pertanyaan, bagaimana peran militer dalam politik praktis? Di era
reformasi ini, anggota TNI tidak serta merta dikekang dari hak politik untuk dipilih,
tetapi apabila anggota TNI aktif tersebut bermaksud untuk mencalonkan diri dalam
sebuah pemilu, maka ia sudah harus menanggalkan status dinas aktif anggota TNI.
Begitu juga dengan purnawirawan TNI. Mereka otomatis memiliki hak untuk
berpolitik karena statusnya adalah bukan lagi anggota aktif TNI, tetapi telah menjadi
warga negara sipil.

4
Koesnadi Kardi (2015). Democratic Civil Military Relations (Hubungan Sipil-Militer di Era Demokrasi
Indonesia), Hal. 35. Jakarta: Pratama.
5
Hans Born & Phillip Fluri (2003). ‘Oversight and Guidance: The Relevance of Democratic Oversight for Security
Sector Reform.’ International Civil Society Forum, Mongolia, 8-9 September 2003, pp. 1-8.
6
Ibid.
7
Anak Agung Banyu Perwita (2005). ‘Reformasi Sektor Keamanan Demi Demokrasi Penanganan Terorisme di
Indonesia’. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Juli 2005, Vol. 9, No. 1, pp. 45-70.

2
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa saat ini militer aktif
telah benar-benar menarik diri dari keterlibatannya di dalam polotik praktis. Hal ini
telah sesuai dengan amanat Undang-Undang dan cita-cita Demokrasi Pancasila.
Namun, tak dapat kita pungkiri juga bahwa, TNI tetap memiliki kharisma yang kuat
dan ketegasan dalam memimpin. Oleh karena itu, para purnawirawan TNI seringkali
menjadi pilihan bagi presiden era reformasi untuk memegang posisi-posisi penting
setingkat menteri dalam upaya membantu presiden menciptakan pemerintahan yang
solid.
Hal ini dapat kita lihat pada pemerintahan dua periode era Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi dalam pemerintahannya mempercayakan pembantunya (menteri-
menteri) kepada beberapa purnawirawan TNI. Contohnya saja Luhut Binsar Panjaitan
yang dalam dua periode pemerintahannya selalu menjabat posisi menteri, hanya
berpindah posisi dari jabatan menteri satu ke menteri lainnya. Ada lagi beberapa
menteri lain yang juga pernah menjabat sebagai perwira TNI, seperti Terawan Agus
Putranto (Mantan Menteri Kesehatan), Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan),
Fachrul Razi (Mantan Menteri Agama), dan lain-lain. Praktek ini menunjukkan bahwa
unsur TNI masih memiliki peranan penting dalam pemerintahan dengan kelebihan
mereka dalam hal ketegasan dan kedisiplinan yang telah dipupuk terus-menerus
selama berkarier. Dengan menggabungkan kekuatan sipil dan para perwira TNI dalam
pemerintahan, secara langsung Jokowi telah menciptakan suatu keseimbangan politik
di Indonesia.

Faktor kepemimpinan (leadership) memegang peranan yang sangat penting


dalam upaya menghadapi dan menanggulangi krisis, terutama RSK setelah
tumbangnya rezim Presiden Soeharto pada 1998. Menurut Gene Klann dalam
bukunya Crisis Leadership, kepemimpinan senior dari suatu organisasi merupakan
kunci pada saat sebelum, ketika, dan setelah krisis.8 Kualitas dari seorang pemimpin
(leader) dapat menentukan durasi, tingkat keparahan, dan konsekuensi akhir dari
krisis. Para pemimpin mampu mengatur ritme penanggulangan krisis dengan langsung
memberikan teladan serta menunjukkan perilaku yang diharapkan selama situasi
krisis. Dengan memperhatikan komponen-komponen pengaruh (terutama komunikasi,
kejelasan visi dan nilai-nilai, serta kepedulian), para pemimpin dapat memberikan
dampak positif yang signifikan terhadap suasana sangat manusiawi dan bermuatan
emosi yang menyertai krisis. Sehingga pada gilirannya dapat mengurangi dampak
negatif dan durasi krisis untuk kepentingan organisasi.9
Indonesia saat ini sudah berada dalam tahap after crisis dalam reformasi
demokrasi. Tapi tentu saja, kepemimpinan yang ideal dalam menghadapi situasi
reformasi sejak 1998 masih relevan untuk diterapkan. Kepemimpinan Presiden

8
Gene Klann (2003). Crisis Leadership: Using Military Lessons, Organizational Experiences, and the Power of
Influence to Lessen the Impact of Chaos on the People You Lead.
9
W.J. Utomo & Margaretha Hanita (2020).’ Strategi Kepemimpinan Krisis dalam Menanggulangi Pandemi
COVID-19 untuk Memastikan Ketahanan Nasional.’ Jurnal Kajian Lemhannas RI, 8, 208-226.

3
Indonesia saat ini, Joko Widodo (Jokowi), adalah contoh kepemimpinan
transformasional yang sangat ideal untuk digunakan dalam rangka suksesnya
penerapan RSK.
Kepemimpinan transformasional (transformational leadership) adalah gaya
kepemimpinan dengan membangun visi bersama untuk menginspirasi pengikut dan
memenuhi tantangan yang ditetapkannya. Pemimpin menumbuhkan kesetiaan dan
kepercayaan diri di antara pengikut. Mereka memotivasi bawahan untuk melakukan
dengan lebih baik. Pemimpin juga mengakui kontribusi individu anggota tim. Mereka
mendorong pertukaran gagasan secara bebas, berbagi penghargaan untuk pencapaian,
dan bertanggung jawab atas kegagalan10
Presiden Jokowi memenuhi ciri-ciri kepemimpinan transformasional yaitu: (1)
bersikap proaktif terhadap permasalahan yang dihadapi dengan menyiapkan strategi;
(2) pemberdayaan budaya; (3) memberikan dorongan dan motivasi terhadap
masyarakat.11 Misalnya saja dalam rangka penanganan tindak terorisme yang
mengancam keamanan di dalam negeri. Presiden Jokowi cepat tanggap dan bersikap
sangat proaktif sehingga beberapa serangan terorisme akhir-akhir ini dapat diredam
dan ditanggulangi dengan cepat. Kemudian beliau juga merubah sudut pandang dan
budaya dalam menghadapi ancaman terorisme dengan menciptakan kekuatan dari
dalam masyarakat sendiri untuk melawan hal tersebut, sehingga terkenal dengan kata-
kata “kami tidak takut”. Beliau juga selalu memberikan motivasi kepada masyarakat
bahwa dengan kerja sama yang solid antara pemerintah dan masyarakat, seluruh
persoalan yang dihadapi bangsa akan bisa diatasi dengan baik.

10
https://cerdasco.com/kepemimpinan-transformasional, diakses pada 10 Mei 2021.
11
Doni Wino Fajar Utomo dan Margaretha Hanita (2020). ‘Strategi Kepemimpinan Krisis dalam Menanggulangi
Pandemi Covid-19 untuk Memastikan Ketahan Nasional’.

Anda mungkin juga menyukai