Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH TENTANG MILITER DAN POLITIK DI INDONESIA

Dosen Pengampu : Drs. H. Darmansyah, M.Si.

Oleh :

1.LALU ALVIAN FERDIANSYAH (2022B1D059T)

2. Putri Kartika

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM

2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mencermati perkembangan dunia politik di Indonesia, tentu saja tidak akan bisa lepas
dari melihat adanya keikutsertaan dan peran militer di dalamnya. Sejak awal kelahiran bangsa
Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini kita akan melihat secra
jelas bagaimana militer telah turut bermain dalam kancah perpolitikan di Indonesia, bahkan
militer pada salah satu era kehidupan bangsa ini telah begitu kuat berperan dan mewarnai
jalannya kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh keberadaan Dwi
Fungsi ABRI adalah salah satu bukti nyata dari adanya keikutsertaan militer dalam dunia
perpolitikan di Indonesia. Untuk lebih memperjelas bagaimana kiprah militer dalam kancah
perpolitikan di negara kita, maka perlu untuk melihat perjalanan politik Indonesia dalam tiga
era yaitu pertama adalah Era Orde Lama yang berjalan dalam kurun waktu tahun 1945 hingga
tahun 1966 di mana pada kurun waktu inilah TNI membentuk dirinya sendiri, kemudian
menempatkan dirinya didalam pergaulan sipil militer di Tanah Air. Kedua yaitu pada Era
Orde Baru yang berjalan antara kurun waktu tahun 1966 hingga tahun 1998, di mana pada
masa kepemimpinan presiden soeharto selama 32 tahun inilah kita akan melihat betapa
besarnya keikutsertaan dan peran militer dalam kancah perpolitikan di Indonesia.
Dan ketiga yaitu pada Era Reformasi dan pasca turunnya soeharto dari kursi kepresidenan
yang bergerak dalam kurun waktu tahun 1998 hingga sekarang yang mana pada era ini kita
akan melihat sebuah titik balik dari perjalanan militer dalam kancah perpolitikan di
Indonesia, yaitu dengan adanya gerakan sipil yang sangat kuat yang menekan militer untuk
keluar dari kancah perpolitikan di Indonesia dan kembali pada jati dirinya sebagai
pengemban fungsi pertahanan negara.
Beberapa peristiwa selanjutnya yang merupakan tonggak terlibatnya militer baik secara
de facto maupun de jure dalam politik juga akan dibahas, seperti peristiwa “17 Oktober tahun
1952” kemudian munculnya SOB serta dipakainya kembali UUD 1945 sebagai kostistusi
negara. Selanjutnya tentang adanya Dwi Fungsi ABRI yang secara lebih terbuka memberikan
wadah bagi ABRI pada saat itu untuk berperan dalam dunia politik hingga di hapusnya Dwi
Fungsi ABRI tersebut pasca gerakan reformasi dan runtuhnya rezim orde baru. Walaupun
keterlibatan secara de jure masih dapat diperdebatkan keabsahannya, tetapi fakta sejarah
menorehkan catatan bahwa keterlibatan politik TNI saat itu telah diakui secara de jure,
dengan mengakui militer sebagai salah satu golongan fungsional seperti disebut dalam salah
satu pasal UUD 1945.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang penulis uraikan, banyak permasalahan yang penulis
dapatkan. Permasalahan tsb antara lain :
1. Bagaimana Peranan Militer dan Politik di Indonesia?
2. Bagaimana Hubungan Militer dan Politik di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan
Sehubungan dengan latar belakang dan permasalahan di atas, maka tujuan dalam
penulisan ini adalah:
1. Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Politik.
2. Untuk Mengetahui Militer dan Politik Pada Masa Orde Lama.
3. Untuk Mengetahui Militer dan Politik Pada Masa Orde Baru.
4. Untuk Mengetahui Militer dan Politik Pada Masa Reformasi.

D. Manfaat Penelitian
Dari penulisan sebuah karya ilmiah ini, penulis berharap agar karya ini memiliki manfaat
sebagai berikut:
1. Secara teoritis akan dapat dipakai sebagai bahan pertimbangan untuk penelitian-penelitian
sejenis.
2. Untuk memberikan wawasan kepada pembaca agar lebih memahami dan mendalami pokok
bahasan khususnya tentang Militer dan Politik di Indonesia.

E. Sistematika Penelitian
Dalam penulisan karya ilmiah ini peneliti menggunakan sistematika sebagai berikut:

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Mengenal Militer dan Politik
Militer merupakan sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan umum
tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha organisasi itu. Militer
adalah sesuatu profesi sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di
dalamnya, namun ia juga bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk
membentuk suatu perkumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu situasi birokrasi.
Militer selama berjalannya sistem demokrasi di Indonesia selalu mengiringi perjalanan
tersebut. Bahkan dalam beberapa kesempatan militer sangat mempengaruhi proses politik
yang ada di Indonesia.
Politik (dari bahasa Yunani: politikos, yang berarti dari, untuk, atau yang berkaitan
dengan warga negara), adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini
merupakanupayapenggabunganantaraberbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik
yang dikenal dalam ilmu politik.
Politikadalahsenidanilmuuntukmeraihkekuasaan
secara konstitusional maupun nonkonstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, yaitu antara lain:
1. politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori
klasik Aristoteles)
2. politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara
3. politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan
kekuasaan di masyarakat
4. politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.

B. Peran Militer Terhadap Politik di Indonesia


Mencermati perkembangan dunia politik di Indonesia, tentu saja tidak akan bisa lepas
dari melihat adanya keikutsertaan dan peran militer di dalamnya. Sejak awal kelahiran bangsa
Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini kita akan melihat secra
jelas bagaimana militer telah turut bermain dalam kancah perpolitikan di Indonesia, bahkan
militer pada salah satu era kehidupan bangsa ini telah begitu kuat berperan dan mewarnai
jalannya kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh keberadaan Dwi
Fungsi ABRI adalah salah satu bukti nyata dari adanya keikutsertaan militer dalam dunia
perpolitikan di Indonesia.
Peristiwa selanjutnya yang merupakan tonggak terlibatnya militer baik secara de facto
maupun de jure dalam politik juga akan dibahas, seperti peristiwa “17 Oktober tahun 1952”
kemudian munculnya SOB serta dipakainya kembali UUD 1945 sebagai kostistusi negara.
Selanjutnya tentang adanya Dwi Fungsi ABRI yang secara lebih terbuka memberikan wadah
bagi ABRI pada saat itu untuk berperan dalam dunia politik hingga di hapusnya Dwi Fungsi
ABRI tersebut pasca gerakan reformasi dan runtuhnya rezim orde baru.Walaupun
keterlibatan secara de jure masih dapat diperdebatkan keabsahannya, tetapi fakta sejarah
menorehkan catatan bahwa keterlibatan politik TNI saat itu telah diakui secara de jure.

C. Hipotesis
Berdasarkan uraian pada kerangka dasar teori di atas, maka dapat dikemukakan hipotesis
sebagai berikut:
1. Diduga bahwa Militer sangat berpengaruh terhadap Politik di Indonesia.
2. Diduga Peran Militer sangat kuat dalam bidang Politik
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Gambaran Umum Militer dan Politik di Indonesia


Militer merupakan sebuah organisasi yang paling sering melayani kepentingan umum
tanpa menyertakan orang-orang yang menjadi sasaran usaha-usaha organisasi itu. Militer
adalah sesuatu profesi sukarela karena setiap individu bebas memilih suatu pekerjaan di
dalamnya, namun ia juga bersifat memaksa karena para anggotanya tidak bebas untuk
membentuk suatu perkumpulan sukarela melainkan terbatas kepada suatu situasi birokrasi.
Mencermati perkembangan dunia politik di Indonesia, tentu saja tidak akan bisa lepas
dari melihat adanya keikutsertaan dan peran militer di dalamnya. Sejak awal kelahiran bangsa
Indonesia melalui Proklamasi 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini kita akan melihat secra
jelas bagaimana militer telah turut bermain dalam kancah perpolitikan di Indonesia, bahkan
militer pada salah satu era kehidupan bangsa ini telah begitu kuat berperan dan mewarnai
jalannya kehidupan berpolitik, berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh keberadaan Dwi
Fungsi ABRI adalah salah satu bukti nyata dari adanya keikutsertaan militer dalam dunia
perpolitikan di Indonesia.
Peristiwa selanjutnya yang merupakan tonggak terlibatnya militer baik secara de facto
maupun de jure dalam politik juga akan dibahas, seperti peristiwa “17 Oktober tahun 1952”
kemudian munculnya SOB serta dipakainya kembali UUD 1945 sebagai kostistusi negara.

B. Pendekatan dan Metode


1. Pendekatan
Dalam penulisan makalah ini, penulis memilih bentuk penelitian dengan pendekatan
penelitian kualitatif.
2. Metode
Metode dalam penulisan ini adalah: Mencari bahan materi dalam internet yang
berkaitan dengan Militer dan Politik di Indonesia.

C. Sumber Data
Sumber data diperoleh dari website yang dikaji secara ilmiah.
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Militer Dan Politik Pada Era Orde Lama


1. Awal tahun 1945
Sejak kelahirannya, Republik Indonesia, yang diproklamasikan oleh Bapak Bangsa
IR. Soekarno dan Mohammad Hatta, para pendiri bangsa telah memilih jalan demokrasi
dalam proses politik di negeri ini. Pilihan ini dapat dirasakan sebagai pilihan yang baik pada
masa itu, namun dapat juga dirasakan sebagai suatu pilihan yang sulit bagi sebuah negara
yang baru terbentuk, dan dimana fundamental bangsa Indonesia sebagai suatu “Imagined
Community Indonesia” belum sempurna terbentuk. Beragamnya suku, etnis dan adat istiadat
yang menjadi fondasi terbentuknya Indonesia dapat menjadi suatu kekuatan, atau sebaliknya
bisa menjadi sumber ancaman bagi kelangsungan negeri ini.
Nafas yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan jelas menyatakan
bahwa Indonesia menganut konsep supremasi sipil atas militer. Perhatikan pasal 10
konstitusi tersebut, di sana dengan jelas disebutkan bahwa “Presiden memegang kekuasaan
tertinggi atas Angkatan darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara”. Selanjutnya pasal 6
UUD 45 menjelaskan bahwa presiden adalah orang Indonesia asli yang “dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat dengan suara terbanyak”. Maka adalah suatu konsekuensi logis
bahwa siapa saja yang orang Indonesia, yang dipilih oleh MPR menjadi presiden, maka
dialah pemegang kendali atas tentara Indonesia. Dengan kata lain pemimpin tertinggi tentara
Indonesia bukanlah tentara itu sendiri, melainkan rakyat Indonesia yang dipilih menduduki
jabatan presiden. Namun sejarah Indonesia pula yang kemudian menunjukkan bahwa
konstitusi adalah satu hal, kenyataan sehari-hari adalah hal yang lain. Berbagai faktor yang
muncul dan menjadi kenyataan sejarah kemudian membentuk hubungan sipil-militer di
Indonesia dalam suatu bentuk yang unik.

2. Politik masa 1945-1949


Supremasi sipil atas militer, sebagai salah satu ciri terlaksananya sebuah demokrasi
yang sehat terbukti berulang kali mengalami berbagai ujian dan hambatan. Sejak awal mula
terbentuknya pemerintahan Indonesia, militer Indonesia telah memiliki peran yang sangat
besar dalam menentukan garis sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga selama masa
lima tahun revolusi Indonesia (1945-1949) dengan mudah kita dapat menyaksikan betapa
mencoloknya peranan militer. Demikian jelas dan penting peranan politik tentara ketika itu
sehingga sangat masuk akal apabila dikatakan bahwa karakteristik yang paling mencolok
dalam masa itu adalah adanya dualisme kepemimpinan, yaitu militer dan politik.
Melihat dari penjelasan teori Huntington dan Perlmutter di atas, Tentara Indonesia
mungkin dapat dikategorikan dalam tipologi tentara pretorian revolusioner yang memiliki
kecenderungan kuat untuk berpolitik. TNI adalah tentara yang menciptakan diri sendiri (self
created army), artinya bahwa mereka tidak diciptakan oleh pemerintah, juga tidak oleh suatu
partai politik sebagaimana layaknya terjadi pada negara demokratis lainnya. Tentara
Indonesia terbentuk, mempersenjatai diri dan mengorganisasi dirinya sendiri. Hal ini terjadi
akibat adanya keengganan pemerintah sipil pada waktu itu untuk menciptakan tentara.
Pemerintah pusat yang didominasi oleh generasi tua dibawah pimpinan Soekarno, berharap
bisa mencapai kemerdekaan secara damai. Namun, Tentara Indonesia yang pada saat itu
dimotori oleh para pemuda berpendapat lain dengan Sukarno, mereka kemudian berinisiatif
untuk mempersenjatai diri dan mendirikan organisasi tentara sendiri, dengan tekad untuk
mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan tersebut. Pertimbangan
pemerintah pusat yang diambil pada tanggal 22 Agustus 1945 dalam sidang PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu tidak membentuk tentara kebangsaan dilandasi oleh
pertimbangan politik, dimana para pemimpin nasional pada waktu itu memutuskan untuk
menempuh terutama cara diplomasi untuk memperoleh pengakuan terhadap kemerdekaan
Indonesia. Pembentukan tentara kebangsaan akan mengundang reaksi dari pasukan-pasukan
Jepang yang masih merupakan kekuatan riil, maupun pasukan-pasukan sekutu yang akan
segera mendarat di Indonesia. Dari gambaran di atas jelaslah bahwa TNI memiliki sifat
tentara revolusi, tentara yang lahir bersama rakyat, namun berbeda dengan jenis tentara
revolusioner pada umumnya seperti Tentara Pembebasan Rakyat Republik Rakyat China,
yang kemudian dikuasai oleh satu partai tunggal yang berkuasa (Partai Komunis
China), atau seperti tentara merah Rusia yang juga dikuasai oleh satu partai tunggal yang
berkuasa mutlak.
Catatan sejarah tentang terbentuknya Tentara Indonesia ini akhirnya menjadi salah
satu penyebab betapa kuatnya peranan politik mereka dalam penentuan kebijakan
pemerintahan dikemudian hari, disamping sebab lain yaitu pertama kurangnya institusi
politik yang kuat seperti partai politik, lembaga legislatif dan pengadilan yang otonom serta
kebebasan pers yang dapat memperkuat kontrol terhadap militer, kedua tingkah laku politik
Panglima Besar Sudirman, dan ketiga pengalaman tentara dalam menjalankan pemerintahan
militer dimasa perang gerilya 1948-1949, dan keempat ketidakmampuan politisi sipil dalam
mengatasi kesulitan dalam pengembangan ekonomi dan nation building.
Sebab lain yang menyebabkan kuatnya peranan Tentara Indonesia dalam politik
adalah pola tingkah laku Panglima Besar Sudirman dimana menurut A.H. Nasution,
Sudirman berulangkali mengatakan bahwa tentara bukanlah alat mati, tetapi alat hidup.
Disiplin tentara bukanlah disiplin kadafer, melainkan disiplin berjiwa. Sudirman juga tidak
pernah menghindari persoalan politik negara, bergaul secara rapat dengan kaum politik,
bahkan tidak jarang menjadi penengah dalam konflik antara pemerintah dan pihak oposisi.
Dalam beberapa kesempatan yang lain A.H. Nasution juga mengungkapkan bahwa betapa
Sudirman selalu bertindak selaras dengan pengertian bahwa tentara adalah alat revolusi dan
alat perjuangan, jadi bukan semata-mata alat pemerintah. Pidato-pidato beliau, demikian
Nasution, mengupas soal-soal politik dan khusus hubungan dengan Belanda, beliau berusaha
menghubungkan ‘pemerintah sayap kiri’ dengan oposisi ‘persatuan perjuangan’. Beliau
selalu mengambil bagian dalam pertemuan-pertemuan penting dari pihak pemerintah maupun
dari pihak oposisi. Dari uraian diatas, dapat dilihat betapa tingkah laku dalam berpolitik
Sudirman telah menjadi contoh dan inspirasi bagi para pimpinan TNI sesudahnya, dalam
menyikapi hubungan sipil militer, serta menentukan keterlibatan mereka dalam politik di
negeri ini.
Melihat kondisi riil bangsa Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945, bahwa sangat sedikit lembaga politik yang terbentuk serta berjalan dengan baik. Masih
teramat jauh untuk dikatakan adanya suatu lembaga politik yang mapan, sebagai salah satu
prasyarat terlaksananya demokrasi yang baik dan sehat. Tidak mengherankan apabila tentara
kemudian mengisi kekosongan-kekosongan lembaga politik tersebut, dan kemudian
mengambil peran yang penting dalam proses pengambilan keputusan politik pada masa tahun
1945-1949. Hal tersebut bagi Huntington, yang menekankan pembangunan politik melalui
lembaga-lembaga politik, sebenarnya intervensi militer dalam politik masih dapat diterima
jika hanya merupakan suatu periode transisi dalam usaha menciptakan lembaga-lembaga
politik yang kuat dalam mengantarkan sipil membangun pemerintahan sipil yang kuat. Masa
1945-1949 dapat diterima dan dipahami sebagai suatu masa transisi bagi bangsa Indonesia
didalam berpolitik sebagai suatu negara yang baru terbentuk.
Salah satu sejarah dimana tentara memainkan peranan politiknya adalah manakala
Belanda mendarat di Indonesia untuk melaksanakan agresinya yang kedua, Sukarno
kemudian memerintahkan tentara melalui Sudirman untuk tetap berada di kota Yogyakarta
sebagai suatu keputusan politik, namun kemudian sebaliknya tentara menolak perintah
tersebut dan memilih untuk meninggalkan kota dan melakukan perang gerilya. Kali kedua
dimana tentara memainkan peran politik sentral adalah ketika Sukarno dan Hatta ditangkap
oleh Belanda pada masa agresi Belanda kedua, sementara belum ada lembaga politik lainnya
yang dapat memerankan peranan politik melawan kolonial Belanda, praktis tentara adalah
tinggal satu-satunya kekuatan yang tersisa, sehingga kemudian TNI atas dasar pertimbangan
situasi mengambil alih peran politik tersebut, dan secara aktif kemudian mengambil
keputusan-keputusan politik dalam perjuangan menghadapi Belanda. Berbagai peristiwa lain
pada kurun waktu 1945-1949 turut memperburuk situasi politik dalam negeri, seperti
pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948 dan peristiwa penculikan politik tanggal
3 Juli 1946, hal ini memaksa TNI yang pada dasarnya memang memiliki kecenderungan
berpolitik untuk terjun di arena politik. Peran politik yang dilakukan tentara ini membuat
kemudian tentara memperoleh legitimasi rakyat yang begitu besar untuk ikut campur di
dalam masalah politik.
3. Masa Demokrasi Parlementer
Peristiwa 17 Oktober 1952 serta kejadian yang mengawali dan mengakhirinya,
mungkin dapat dilihat sebagai suatu peristiwa yang paling dapat menjelaskan awal
keterlibatan kembali tentara dalam percaturan politik pada masa ini. Pada saat itu terjadi
demonstrasi di gedung parlemen, demonstrasi dilakukan oleh sekitar 5000 orang dan
kemudian bertambah sampai sekitar 30.000 orang. Demonstrasi ini kemudian bergerak ke
istana presiden, dimana massa menuntut pembubaran parlemen dan menggantinya dengan
parlemen baru, serta menuntut segera dilaksanakannya pemilihan umum.
Peristiwa ini dipicu oleh mosi Manai Sophiaan, Sekretaris Jenderal PNI, yang diawali
oleh serangkaian kegiatan politik di parlemen yang menurut penilaian TNI telah mencampuri
teknis militer. Mosi Manai Sophiaan bermula dari rencana TNI untuk me-reorganisasi TNI
menjadi tentara Indonesia yang profesional dan “to transform the existing army into highly
trained core army”. Rencana ini disetujui dan didukung oleh Menteri Hamengkubuwono,
namun rencana demobilisasi ini ditentang oleh Kolonel Bambang Supeno yang pada bulan
Juli 1952 kemudian mendesak kepada Presiden Sukarno untuk mengganti Kepala Staf
Angkatan Darat Kolonel A.H. Nasution. Akibat konflik intern Angkatan Darat ini, Kolonel
Bambang Supeno kemudian dipecat.
Sementara itu, persoalan ini ternyata telah menjadi sorotan parlemen Komisi
Pertahanan sehingga akhirnya masalah ini menjadi political issue, yang memancing
munculnya serangkaian mosi di parlemen. Tanggal 28 September 1952, Zainal Baharuddin
(Ketua Komisi Pertahanan), yang didukung oleh Partai Murba, Partai Buruh, PRN dan PKI
mengajukan mosi yang menyatakan “tidak percaya dan tidak menerima policy yang
dijalankan Menteri Pertahanan dalam menyelesaikan konflik di dalam tubuh TNI dan
meminta agar diadakan reformasi serta reorganisasi pimpinan Kementrian Pertahanan serta
pimpinan Militer”. Berikutnya pada tanggal 13 Oktober 1952, I.J. Kasimo dari partai
Katholik mengajukan mosi yang merupakan counter motiondengan dukungan dari wakil-
wakil partai Masyumi, Parkindo dan Parindra, yang intinya berisikan kemungkinan
penyempurnaan struktur Kementrian Pertahanan dan struktur kemiliteran. Pada tanggal 14
Oktober 1952 muncul mosi ketiga yang dimotori oleh Sekjen PNI, Manai Sophiaan yang
didukung oleh NU (Nahdlatul Ulama) dan PSII yang intinya agar Panitia Negara memberikan
saran “kemungkinan penyempurnaan pimpinan dan organisasi Kementrian Pertahanan dan
Kemiliteran”. Mosi Manai Sophiaan ini memungkinkan dilakukannya pemecatan atau
penggantian pimpinan-pimpinan militer yang tidak disetujuinya, dan ternyata mosi ini
mendapat dukungan yang diam-diam dari Presiden Sukarno, yang melalui Mr. Ishaq dan Mr.
Sunarjo mendesak agar pimpinan PNI (Ali Sastroamidjojo dan Sartono) mendukung mosi
tersebut.
Demonstrasi pagi tanggal 17 Oktober 1952 tersebut direncanakan oleh Markas Besar
Angkatan Darat atas inisiatif Letnan Kolonel Soetoko dan Letnan Kolonel S. Parman
akibat perasaan tidak puas dikalangan militer karena urusannya dicampuri oleh orang non-
militer. Pelaksanaannya saat itu diorganisir oleh Kolonel Dr. Mustopo, Kepala Kedokteran
Gigi Angkatan Darat dan Perwira Penghubung Presiden, dan Mayor Kemal Idris, Komandan
Garnisun Jakarta. Seksi Intel Divisi Siliwangi mengerahkan demonstran dari luar ibukota
dengan menggunakan kendaraan truk militer.
Pada waktu itu pasukan tank muncul di Lapangan Merdeka dengan moncong meriam
diarahkan ke Istana Presiden, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Kemal Idris. Dalam
gerakannya, para demonstran memasuki gedung parlemen sambil berteriak: ”Ini peringatan!
Ini peringatan!” dan mereka juga merusak alat-alat perlengkapan parlemen. Pada hari itu
juga, KSAD dan beberapa perwira senior TNI AD menghadap Presiden. Para perwira
tersebut terdiri atas para panglima tentara dan teritorium, serta perwira di Mabes Angkatan
Darat. Sebagai juru bicara saat itu adalah sang penggagas ide demonstrasi, Deputy KSAD
Kolonel Soetoko. Turut hadir dalam pertemuan tersebut adalah Wakil Presiden, Perdana
Menteri Wilopo dan Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang didampingi
KSAP Jenderal Mayor T.B. Simatupang. Dari pertemuan tersebut terungkap bahwa tentara
(khususnya Angkatan Darat) menganggap bahwa mosi Manai Sophiaan yang berisi tentang
upaya penyempurnaan organisasi kementrian pertahanan, dianggap telah melampaui batas
kewenangan DPRS dan melakukan intervensi politik yang merupakan kewenangan teknis
militer, sehingga delegasi mendesak Presiden untuk membubarkan parlemen dan secepatnya
mengadakan pemilu. Hal-hal tersebut di atas juga dianggap oleh A.H. Nasution sebagai
akibat dari terlalu jauhnya campur tangan kaum politisi terhadap masalah intern APRI
(Angkatan Perang Republik Indonesia). Bentuk campur tangan politisi sipil dalam rumah
tangga militer, yang dilakukan semasa demokrasi parlementer ini, telah menarik kembali
tentara ke panggung politik. Suka atau tidak suka, fakta sejarah menyatakan bahwa saat
otonomi tentara dalam mengatur dirinya sendiri diganggu serta diintervensi oleh elemen
politik sipil, ada kecenderungan tentara untuk kembali masuk dalam ajang politik praktis
untuk memperjuangkan hak-haknya mengatur rumah tangga sendiri. Lebih daripada itu,
campur tangan pihak sipil selalu mempunyai pengaruh penting terhadap para perwira militer.
Tindakan yang demikian biasanya dianggap sebagai penghinaan terhadap profesionalisme
prajurit dan citra diri para perwira dengan cara menggantikan kriteria prestasi dengan kriteria
politik, menimbulkan keraguan terhadap identitas militer sebagai pesona yang netral dan
bebas serta dihormati, mengangkangi hierarki yang sudah baku, serta merusak kemampuan
perwira didalam mempertahankan kepentingan mereka bersama. Campur tangan sipil
terhadap urusan-urusan militer akan sangat menyakitkan bagi citra diri korps militer dan
dapat menjadi sumber utama bagi terjadinya kudeta berdarah. Peristiwa 17 Oktober ini pada
akhirnya adalah merupakan manuver politik TNI yang gagal, karena Presiden Sukarno
sampai akhir pertemuan dengan pimpinan TNI menolak untuk melakukan tindakan diktator
dengan membubarkan parlemen seperti yang diharapkan oleh TNI. Namun peristiwa ini
tidaklah hanya sampai disitu saja, masalah ini berekor panjang dikemudian hari dan menjadi
inspirasi bagi para pimpinan TNI untuk kembali ke dalam gelanggang politik.

4. TNI sebagai kekuatan politik setelah jatuhnya kabinet Ali


Pada tanggal 2 Mei 1955, seminggu setelah Konferensi Asia Afrika digelar, KSAD
Bambang Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya, didorong oleh ketidakmampuannya
melaksanakan amanat Piagam Yogya sebagai buntut dari penyelesaian peristiwa 17 Oktober.
Untuk menduduki jabatan tersebut, kabinet berketetapan akan mengangkat salah satu perwira
dari “kelompok anti 17 Oktober” dan segera mengajukan calon-calonnya, namun pimpinan
TNI AD menjelang akhir Mei menegaskan bahwa pengisian dan pengangkatan KSAD harus
didasarkan pada senioritas dan kecakapan sejalan dengan kepentingan militer. Tetapi
kemudian kabinet Ali memutuskan untuk mengangkat Kolonel Bambang Utojo menjadi
KSAD yang baru, yang sebenarnya pada saat itu senioritasnya masih rendah. Pimpinan TNI
menolak keputusan tersebut, dan menganacam akan melakukan boycott terhadap
pengangkatan Bambang Utojo apabila tetap akan dilaksanakan. Pada hari pengangkatan
Kolonel Bambang Utojo dengan suatu upacara pelantikan sebagai KSAD, dengan pangkat
Mayor Jenderal, Pimpinan TNI dan para perwira yang diundang memboikotnya atas perintah
Pejabat KSAD Zulkifli Lubis, dan Lubis menolak untuk menyerahkan otoritasnya kepada
Bambang Utojo. Pemerintah kemudian melalui menteri pertahanan Mr. Iwa Kusuma
Sumantri atas instruksi dari Presiden Sukarno bertindak dengan memecat Lubis dari segala
jabatannya. Kolonel Lubis tidak menggubris pemecatan itu dengan menyatakan bahwa dia
didukung oleh seluruh perwira Komandan Teritorium, serta seluruh pimpinan TNI. Akhirnya
timbullah polemik dimana para pimpinan TNI disatu pihak dan Pemerintah di pihak yang lain
tetap berkeras pada keputusan masing-masing. Sementara itu, ternyata keputusan politik
pemerintah terhadap TNI AD itu ditentang oleh partai-partai, dan bahkan partai-partai
pemerintah di Parlemen mengajukan mosi tidak percaya atas keputusan tersebut, serta
menuntut agar menteri-menterinya ditarik dari kabinet. Hanya PNI dan PKI-lah yang tetap
mendukung keputusan tersebut, dan menyuarakan dalam media massa tentang adanya bahaya
diktator militer.
Karena masalah ini berlarut-larut, maka pada tanggal 13 Juli 1955, menteri Iwa
Kusuma Sumantri mengundurkan diri, sehingga mengakibatkan krisis politik yang demikian
hebat dan memaksa Ali Sastroamidjojo menyerahkan mandatnya kembali kepada Pejabat
Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 24 Juli 1955. Walaupun apabila dilihat dari
mekanisme sistem politik kabinet Ali jatuh karena partai-partai politik dan parlemen, namun
pada hakikatnya momentum jatuhnya kabinet Ali adalah karena Angkatan Darat. Dan sejak
saat itulah Angkatan Darat secara de facto merupakan suatu kekuatan politik yang mulai aktif
memainkan peranannya.
5. Militer sebagai kekuatan politik pada Masa Transisi 1957-1959
Profesor Finer berpendapat mengenai peranan politik yang mungkin dimiliki oleh
Militer, bahwa sekalipun militer memiliki political strenght, namun Militer sebagai suatu
institusi menderita political weakness yang lebih besar, yaitu bahwa walaupun militer pada
suatu ketika telah merupakan suatu kekuatan politik de facto (political force), tetapi Militer
dengan demikian saja masih selalu dalam keadaan “tidak mempunyai kewibawaan untuk
memerintah” atau lack of legitimacy. Hal ini berarti, bahwa sekalipun Militer telah
merupakan suatu kekuatan politik secara de facto, tetapi kaum sipil tidak mau mengakui
keadaan itu, dan kewibawaannya tidak diakui kaum sipil.
Pada masa transisi di dalam kehidupan politik di Indonesia ini Tentara Nasional
Indonesia melalui Mayor Jenderal A. H. Nasution sebagai KSAD, menitik beratkan
tindakannya untuk mengurangi, dan bahkan untuk menghilangkan kerapuhan politis yang
merupakan kelemahan paling fundamentil yang ada pada TNI. Dan Jenderal Nasution
menitik beratkan usahanya untuk mendapatkan legitimacy atau “dasar hukum” bagi TNI
untuk melakukan peranan-peranan non-militer dalam hal ini peranan politik yang selama ini
belum dimiliki TNI. Pada bulan Oktober 1956, Presiden Sukarno menawarkan alternatif
sistem pemerintahan “Demokrasi Terpimpin”, yang merupakan konsepsinya sendiri yang
kemudian pada tanggal 21 Pebruari 1957, Sukarno mengemukakan konsepnya dihadapan
pimpinan-pimpinan organisasi sipil dan militer di Istana Negara. Usulan-usulan Sukarno
dalam rangka pelaksanaan ide Demokrasi Terpimpin adalah pertama, dibentuk kabinet baru
yang mencakup semua partai besar – termasuk PKI, kedua, dibentuk suatu badan penasehat
tertinggi yang anggotanya terdiri dari seluruh wakil golongan fungsionil di dalam
masyarakat. Akibat konsepsi yang dilemparkan oleh Bung Karno tersebut, timbullah reaksi
pro dan kontra yang luar biasa dikalangan masyarakat dan terutama di kalangan partai-partai
politik, sehingga muncul polarisasi antara dua kekuatan yang pro Sukarno maupun yang
kontra Sukarno. Bahkan daerah-daerah sudah banyak yang kemudian semakin keras
menentang pemerintah pusat dan diantaranya menyatakan daerah kekuasaannya dalam
keadaan darurat perang. Melihat pimpinan pusat TNI yang terus berdiam diri sehubungan
dengan gagasan politik Sukarno, hal bagi Sukarno menunjukkan keinginan TNI secara
tersirat untuk “mendapatkan lebih banyak porsi kekuasaan”. Sehingga ketika Jenderal
Nasution tidak berhasil mengkompromikan kaum daerah dengan pusat, dan lalu mendesak
Presiden Sukarno agar menyatakan seluruh wilayah negara berlaku “keadaan darurat perang”,
Sukarno-pun lalu mendesak Perdana Menteri Ali, yang pada saat itu memng tidak mampu
lagi menghadapi tantangan yang ada, untuk menyetujui peraturan negara dalam keadaan
darurat perang. Sehingga pada tanggal 14 Maret 1957, sesaat sebelum Perdana Menteri Ali
menyerahkan mandatnya kembali kepada Presiden, dia menandatangani sebuah dekrit yang
menatakan “keadaan darurat perang” untuk seluruh negara. Pada hari itu juga Presiden
Sukarno mengumumkan Negara dalam keadaan darurat/bahaya perang, atau S.O.B. SOB
inilah yang akhirnya memberikan dasar hukum legitimacy kepada militer, untuk melakukan
tindakan-tindakan non-militer khususnya tindakan politik.
Setelah kabinet Ali kedua jatuh, Presiden menunjuk Suwirjo untuk membentuk
kabinet, namun upaya inipun gagal sehingga akhirnya Sukarno menunjuk dirinya sendiri
sebagai “warganegara Sukarno” menjadi formatir guna membentuk suatu kabinet darurat.
Sukarno berhasil membentuk kabinet dengan Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai Perdana
Menteri merangkap sebagai Menteri Pertahanan, dan kabinet tersebut diberi nama Kabinet
Kerja. Dalam proses pemilihan anggota Kabinet Kerja tersebut, terlihat dengan kentara
bahwa militer telah dijadikan landasan utama oleh pemerintah, dengan mengurangi peranan
partai-partai politik serta parlemen, dan sebaliknya selaras dengan naiknya peranan politik
Presiden dan Angkatan Darat. Dengan dasar SOB ini pula Kabinet Djuanda membentuk
suatu Dewan Nasional, yang keanggotaannya didasarkan pada golongan fungsionil, sehingga
militer terutama TNI-AD yang juga termasuk dalam golongan ini sangat mendukung adanya
Dewan Nasional. Sukarno beranggapan bahwa Dewan Nasional ini merefleksikan seluruh
masyarakat Indonesia berkedudukan lebih tinggi dari kabinet yang hanya mewakili
parlemen.
Atas dasar SOB ini Angkatan Darat yang dimotori oleh Jenderal Nasution, lebih
berkesempatan memasuki arena politik, dan berusaha merenggangkan hubungan partai politik
dengan kalangan fungsional yang merupakan inti perjuangannya. Nasution mendirikan
berbagai organisasi yang berlabelkan Badan Kerja Sama, seperti BKS-PM (Badan Kerja
Sama – Pemuda Militer), BKS-Bumil dan BKS-Tamil (Tani Militer dan Buruh Militer), dll.
Namun upaya tersebut tidak sepenuhnya berhasil karena pada akhirnya hanya organisasi
Veteran di bawah TNI saja yang tetap eksis. Langkah selanjutnya TNI berhasil membentuk
organisasi Front Nasional Pembebasan Irian Barat (FNIB) yang berbasiskan “Badan Kerja
Sama Sipil-Militer” itu.
Pemberontakan PRRI-Permesta yang dimotori oleh militer di daerah merupakan
akibat ketidakpuasan daerah terhadap kebijaksanaan politik pemerintah pusat, namun pada
akhirnya pemberontakan tersebut dapat dikuasai oleh TNI. Bagi internal TNI sendiri hal
tersebut membawa dua akibat yaitu pertama, tersingkirnya beberapa perwira yang menurut
Ahmad Yani adalah “perwira kelompok radikal”. Kedua, TNI memiliki dan mendapatkan
posisi yang lebih kuat di dalam pemerintahan, ditambah dengan berlakunya SOB. Karena itu,
setelah pemberontakan PRRI-Permesta lumpuh, Angkatan Darat mengeluarkan dua pokok
tujuan sehubungan dengan peranan politik yang sedang diraihnya. Pertama, mengurangi
peranan partai politik seminimum mungkin; dan kedua, menjadikan peranan politik yang
telah dimiliki oleh TNI bersifat permanen, tidak bergantung pada SOB, yang justru sifatnya
hanya sementara, sehingga menjadi peranan politik yang memuaskan baik misi dan ambisi
kaum elite-TNI.

6. Politik setelah RI Kembali ke Undang Undang Dasar 1945


Selaras dengan dua tujuan yang telah ditetapkan pimpinan Angkatan Darat
sebelumnya, Nasution mengusulkan kepada Presiden untuk mengusahakan mengurangi
ketegangan diantara partai-partai politik, dan perlunya suatu peraturan yang membatasi
jumlah partai. Kemudian kepada Dewan Nasional, Nasution juga mengusulkan agar seluruh
pegawai negeri dilarang memasuki suatu partai politik, termasuk di dalamnya adalah anggota
militer dan polisi. Sebagai implikasinya ia mengusulkan agar wakil-wakil militer harus
ditunjuk untuk duduk di parlemen, serta badan-badan pemerintahan lainnya. Inilah yang
merupakan hal kunci dari pemikiran Nasution untuk mengurangi ketidakstabilan peranan
politik TNI dan kemudian memberikan kedudukan tetap dalam pemerintahan. Kunci pokok
yang kedua, menurut Nasution, berdasarkan pengalaman revolusi, Indonesia selalu
membutuhkan kepemimpinan yang secure dan stabil. Hal ini menurutnya hanya dicapai
dengan UUD 1945. Kita dapat menganalisis tentang latar belakang pengusulan
diberlakukannya kembali UUD 1945 bagi TNI baik secara konstitusional maupun secara
politis. Pertama, dalam UUD 1945 ada pasal tertentu yang bisa ditafsirkan guna membentuk
golongan fungsional. Kedua, guna membubarkan Konstituante yang dianggap suatu perang
ideologi partai. Terhadap usul-usul Nasution di Dewan Nasional itu, sekalipun ada yang
mendukung, namun sebagian besar menolak dan tidak mau menerimanya. Namun pada saat
berikutnya, berawal dari pemberitaan pers yang berturut-turut tentang beberapa kudeta militer
di luar negeri, kemudian hingga Nasution memberikan ceramahnya pada peringatan Hari
Ulang Tahun Akademi Militer Nasional di Magelang pada tanggal 12 Nopember 1958, yang
oleh disebut pidato “jalan tengah”, issue tentang wakil golongan fungsional gagasan Nasution
itu memperoleh kemajuan yang berarti. Namun pidato middle way Nasution, sungguh telah
memberikan dampak psikologis yang menguntungkan bagi TNI, dimana memberikan pilihan
yang sulit bagi Dewan Nasional: apakah TNI akan diberi kesempatan, atau TNI akan dipaksa
untuk “merebut” kesempatan itu. Akhirnya pada sidang tanggal 21-23 Nopember 1958,
Dewan Nasional menyetujui TNI diakui sebagai golongan fungsional Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia. Dewan Nasional kemudian mengambil keputusan untuk kembali
memakai UUD 1945 sebagai sistem pelaksanaan Demokrasi Terpimpin nantinya, dan
keputusan ini lalu diajukan kepada Kabinet Djuanda. Dan pada tanggal 19 Februari 1959,
kabinet dengan suara bulat menyetujui keputusan tersebut serta mengucapkan keputusan
kembali ke UUD 1945 di depan sidang pleno DPR pada tanggal 2 Maret 1959. Ditambah
dengan deadlock-nya Konstituante sejak bulan Februari 1959 dalam rangka merumuskan
serta memutuskan dasar negara, akhirnya dengan dukungan dari TNI Presiden Sukarno pada
tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan Dekrit yang antara lain menyatakan pembubaran
Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945 (setelah UUDS 1950 dinyatakan tidak
berlaku lagi). Akhirnya, dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini dapat
dikatakan bahwa tujuan yang terkandung dalam peristiwa “17 Oktober” tercapai di sini.

B. Militer Dan Politik Pada Era Orde Baru


Keterikatan ABRI dalam politik terlihat yaitu pada prakteknya militer bukan saja di
perbolehkan mengikuti dunia politik, melainkan juga ”bersama kekuatan sosial politik
lainnya” terlibat dalam kehidupan kenegaraan, yang bersumber pada aspek legal empirik.
Militer secara kelembagaan atau individu terlibat dalam berbagai kegiatan seperti ;
1. Sebagai pilar Orde Baru, duduknya TNI di DPR melalui jalur pengangkatan meskipun
bukan partai tetapi didasarkan atas Susduk DPR/MPR RI yang mengesahkan kedudukan
tersebut.
2. Sebagai stabilisator dan dinamisator, kehadiran politik TNI di wujudkan melalui Golkar.
Disamping untuk menjamin berjalannya sistem demokrasi, politisi Orde Baru juga berusaha
melahirkan kekuatan politik yang dominan.
3. TNI bukan saja hadir di lembaga legislatif tetapi juga di eksekutif. Hal tersebut dapat dilihat
dari TNI yang duduk pada jabatan kunci di pemerintahan, baik yang masih aktif maupun
yang sudah purnawirawan.
4. Dala usaha menopang kesejahteraan keluarga TNI, Presiden Soeharto juga banyak
memberikan kesempatan untuk berbisnis.
5. Disamping tugas-tugas kekaryaan dan ekonomi, TNI juga memerankan fungsi modernisasi
dengan ABRI masuk desa (AMD) pada daerah tertinggal dengan nama TNI.

Dominasi peran dalam dwi fungsi ABRI memang berada pada angkatan darat, hal tersebut
terjadi karena sejarah panjang politik di Indonesi. Kegagalan kekuatan politik nasionalis
melawan kekuatan politik Islam dalam pemerintahan Soekarno, telah menjadikan pamor
kekuatan militer naik. Kup yang di lakukan PKI pada tahun 1965, membuat angkatan darat
menjadi mobilisator dari masyarakat untuk menghalau kekuatan PKI, telah membawa nama
militer (AD) semakin dicintai pada saat itu. Terutama dari kalangan priyayi dan santri dalam
usaha menandingi kekuatan komunis. Percaturan politik di Indonesia sejak tahun 1959 hingga
terjadi perebuatan kekuasaan oleh PKI sangat didominasi oleh Soekarno sampai dengan hal-
hal yang sangat sepele.

1. Sekilas dwi fungsi ABRI


Indonesia khususnya tentang Dwi fungsi ABRI yang dimulai dari konsep pemikiran
Jalan Tengah yang dikemukakan oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) A.H.Nasution
pada pidatonya di AMN Magelang pada bulan November 1958. Dalam konsep jalan tengah
ini dijelaskan perlunya keterlibatan militer selaku perseorangan untuk turut secara aktif
menyumbangkan tenaganya diluar bidang militer yang dikemudian hari berkembang menjadi
doktrin Dwifungsi yang ternyata menyimpang menjadi penekanan peranan politik lembaga
TNI.
Dari perkembangan sejarah lahirnya Dwifungsi pada masa Demokrasi terpimpin ke
Dwifungsi era Orde Baru diwarnai dengan dinamika adanya politik Balance of Power
Presiden Soekarno yang kemudian adanya Gerakan 30 Septembernya PKI yang disusul
dengan lahirnya Orde Baru. Dimasa Orde Baru Doktrin Dwifungsi yang semakin gencar
dilakukan oleh TNI menghadapi berbagai kritik baik dari dalam maupun dari luar tubuh TNI,
Hal ini lebih disebabkan oleh karena makin merambahnya peranan TNI dalam posisi posisi
sipil baik dalam pemerintahan maupun dalam badan legislatif.
Pada masa masa menjelang runtuhnya rezim orde baru, kritikan-kritikan mengenai
Dwifungsi makin gencar disuarakan dari dalam tubuh TNI itu sendiri diatandai dengan
semakin beraninya para perwira TNI yang menyuarakan tentang peninjauan ulang doktrin
Dwifungsi, tidak terlepas para purnawirawan sepert Jendral Soemitro dan bahkan Jendral
A.H.Nasution selaku peletak dasar Dwifungsi turut bicara karena kondisi doktrin dwifungsi
yang makin menyimpang dari arah semula.
Munculnya konsepsi Empat Paradigma Baru untuk menggantikan Dwifungsi pada masa
pasca lengsernya kepemimpinan Soeharto yang telah selama 32 tahun memimpin dengan
ditopang oleh TNI sebagai alat kekuasaan menunjukan bahwa sebetulnya konsep Dwifungsi
belum sepenuhnya hilang seperti yang diharapkan oleh public terutama kaum intelektual sipil
yang dimotori mahasiswa. Empat Paradigma Baru tidak lebih dari sebuah bentuk Dwifungsi
yang diperlunak, hal ini menunjukan bahwa TNI masih berusaha mempertahankan posisinya
sebagai kekuatan politik.
Angkatan bersenjata selaku salah satu komponen dalam sebuah negara memiliki
peranan yang berbeda beda dalam prakteknya di dunia. Katakanlah negara-negara Eropa
Barat dan Amerika serikat yang menganut asas Supremasi sipil menempatkan angkatan
bersenjatanya hanya manjalankan fungsi Pertahanan saja. Lain halnya di negara-negara
Amerika latin, Asia, Afrika dan timur tengah, selain menjalankan fungsi Pertahanan,
Angkatan bersenjata juga menjalankan peran politik yang cukup besar. Dimana tentara
tampil sebagai aktor politik utama yang sangat dominan yang secara langsung menggunakan
kekuasaan atau mengancam dengan menggunakan kekuasaan mereka. Kondisi tersebut
diistilahkan oleh Eric A. Nordlinger dalam bukunya “Militer dalam Politik” sebagai
Pretorianisme yaitu campur tangan militer dalam pemerintahan.
Berkenaan dengan konsep supremasi militer dan supremasi sipil DR Salim Said
menjadikan konsep tersebut sebagai landasan teori dalam penulisan bukunya. Dengan
berlandaskan teori tersebut DR.Salim Said mengupas tuntas tentang peranan TNI dalam
kancah politik baik pada masa negara-negara Eropa Barat dan Amerika mendukung posisi
TNI dalam pemerintahan sebagai upaya menghalau pengaruh komunis pada masa perang
dingin hingga kebalikannya yaitu dimana Amerika dan Eropa Barat mengecam keberadaan
TNI dalam pemerintahan dan digaungkannya asas supremasi sipil oleh mereka dimasa pasca
perang dingin.
Pada masa Soeharto tampil mengendalikan kekuasaan, militer mengukuhkan keyakinan
dan kebenaran dwifungsi yang kemudian secara resmi dinyatakan sebagi doktrin, yang secara
eksplisit menolak pandanagn yang secara tegas mengharuskan militer mengambil jarak dari
kehidupan politik, sembari menyatakan militer sebagai penyelamat negara dan penjaga
idiologi negara, Pancasila. Dengan kata lain Dwifungsi dikembangkan menjadi sejumlah
asumsi dasar sebagai justifikasi peran politik militer, yang mencakup: Nilai kesejarahan,
dalam hal ini militer Indonesia dipersepsikan sebagai institusi yang memiliki sejarah sendiri
sebagai tentara rakyat yang berperan besar dalam menghadapi perlawanan militer ;
Mengamankan Idiologi negara, dalam hal ini militer bertanggung jawab mengamankan
ideologi negara, Pancasila; Bentuk Negara, Militer merumuskan pandangan bentuk negara
Indonesia sebagai negara kesatuan yang diatur dalam system kekeluargaan. Militer dan sipil
adalah satu keluarga, yang memiliki hak dan tanggung jawab yang sama. Berangkat
darisejumlah asumsi dasar tersebut menjadikan pihak militer dengan penuh keyakinan
menerapkan kebijakan dwifungsi yang dengan praktek ini membawa TNI kemudian menjadi
bagian penting dalam system kekuasaan di Indonesia. Militer muncul sebagai Power
Elite (Zainuddin Maliki, Birokrasi Militer dan Partai politik dalam Negara Transisi, 2000).
Ditinjau dari sudut Sosiologis, Maurice Duverger dalam bukunya Sosiologi
Politik memberikan definisi atas istilah Sosiologi Politik sebagai suatu ilmu kekuasaan
didasarkan pada pendekatan sosiologi. Dua factor penyebab antagonisme politik yaitu sebab
sebab individu (individual dan psikologis) dan sebab sebab kolektif (perjuangan kelas,
konflik rasial, konflik antar kelompok horisontalantara kelompok kelompok territorial),
dalam buku yang ditulis oleh DR. Salim Said terlihat bahwa munculnya kekuatan militer
dalam kancah perpolitikan tidak terlepas dari sebab sebab kolektif dimana militer
menganggap pihak politisi sipil tidak mampu melaksanakan perannya di kancah politik
sehingga menuntut dirinya untuk tampil menggantikan posisi mereka.
Doktrin Dwifungsi yaitu fungsi sebagai kekuatan sosial politik dan fungsi sebagai
kekuatan pertahan dan keamanan. Seperti pengungkapan tindakan tindakan TNI dalam
menghadapi hakekat ancaman yang dihadapi oleh bangsa Indonesia baik berupa subversi,
gangguan kamtibmas, ancaman dari luar negeri, pelanggaran wilayah maupun kerawanan
yang ditimbulkan oleh ekstrim kiri maupun ekstrim kanan. Upaya yang dilakukan TNI dalam
rangka pemantapan ketahanan nasional hanya dilihat dari perspektif kedudukan TNI sebagai
fungsi kekuatan sosial politik, bukan dari fungsi pertahan keamanan sebagaimana konsep
dwifungsi.
Kepemimpinan TNI dalam kancah politik Indonesia , dinyatakan bahwa keterlibatan
politik militer di Indonesia dimulai sejak pertengahan tahun limapuluhan dan mencapai
puncaknya pada tahun 1966 seiring dengan makin mundurnya peran politik golongan
sipil. Kemunduran kekuatan sipil tersebut pada akhirnya mengubah hubungan kekuatan
antara sipil dan militer kearah yang menguntungkan pihak TNI. Keadaan inilah yang
digunakan oleh TNI untuk memperbesar peranan politik mereka dalam pemerintahan.
Kondisi ini juga diakui oleh Letjen TNI Agus Widjojo, bahwa memang telah terjadi over
reach (kebablasan) tentara dalam fungsi-fungsi non militer di masa lalu sebagai akibat dari:
Peran generasi 1945 yang berjuang dengan cara gerilya; kesiapan tentara menduduki posisi-
posisi administrative yang ditinggalkan pejabat colonial Belanda; pandangan diri (self
perception) tentara sebagai agen pembangunan (agent of development) dan agen persatuan
nasional (agent of nation unity), serta pengawal bangsa (guardian of the nation; persepsi
mengenai demokrasi parelmenter yang gagal memajukan kemakmuran bangsa di tahun lima
puluhan; kekuasaan yang diberikan kepada militer dalam masa SOB (martial Law) sejak
terjadinya pemberontakan regional ; lemahnya pengawasan system politik.

C. Militer Dan Politik Pada Era Reformasi


Tuntutan masyarakat mengenai dihapuskannya dwifungsi akhirnya bertemu dengan
pemikiran reformasi yang berkembang dalam TNI melalui ditinggalkannya Empat Paradigma
Baru. Pada tangggal 12 April 200 Pimpinan TNI menegaskan bahwa tugas pokok TNI sudah
berubah secara signifikan, TNI tidak lagi mengemban tugas social politik, dan tidak juga
mengemban tanggung jawab bidang keamanan yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab
Polisi.
1. Tinjauan terhadap peran politik militer
Dalam kaitannya dengan kritik yang disampaikan oleh Letjen TNI (Purn) A Hasnan
Habib dalam purnakata, kami sependapat yakni bahwa DR.Salim Said bagaimanapun juga
sebagai pengamat TNI yang berada diluar institusi TNI, tidak hidup dan berkarya dalam
lembaga dan komunitas militer sehingga tidak dapat menghayati kehidupan, pelaksanaan
tugas,semangat dan perasaan suatu komunitas yang disebut TNI atau militer. Karena terdapat
hubungan emosional diantara sesama warga komunitas baik secara horizontal maupun secara
vertical yang mungkin dapat dijelaskan tetapi tidak dapat diresakan oleh DR. Salim Said yang
berada diluar komunitas itu. Kekhasan komunitas militer itu dipertegas lagi dengan hakikat
lembaga militer yang memiliki struktur dan system hirarki sangat ketat yang sama sekali
melarang munculnya pemikiran dan kepentingan pribadi yang bertentangan dengan Esprit
de Corps. Peran politik militer dalam buku DR.Salimsaid dapat dilihat dari tiga perspektif,
yaitu :
a) Perspektif Sosiologis Militer yang dalam hal ini lebih menekankan pada hubungan sosial
antara para elite militer dengan masalah sosial budaya yang diakibatkannya.
b) Perspektif Perbandingan Politik, yang mana kelompok militer dianalisis sebagai kekuatan
politik yang berperan penting dalam proses perubahan yang direncanakan dalam suatu
negara.
c) perspektif strategi dan ilmu hubungan internasional yang menitikberatkan pada peran
militer dalam interaksi hubungan antar bangsa sebagai dampak perkembangan pemikiran
strategis darinya.

2. Hapusnya dwi fungsi ABRI


Dalam penelitian yang di lakukan oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada
tahun anggaran 1996-1997 dalam dua tahap di lima belas propinsi tentang harapan
masyarakat terhadap Peran Sosial – Politik ABRI menghasilkan beberapa temuan di
lapangan antara lain yaitu empat kategori kelompok :
a) Kelompok yang menolak dwi fungsi ABRI bertolak dari pemikiran yang menentang
kehadiran ABRI dalam maslah non-,iliter. Kelompok ini jelas berpegang pada prinsip
supremasi sipil, dan hanya mengijinkan tentara terlibat pada urusan non-militer pada keadaan
darurat.
b) Kelompok yang tidak apriori menolak peran sosial-politik ABRI, tetapi menghendaki
pembatasan yang disesuaikan dengan kebutuhan yang ada dalam masyarakat. Secara terinci
kelompok ini menunjuk MPR sebagai tempat ABRI untuk berperan. Dengan melibatkan
ABRI di MPR, kelompok ini mengharapkan ABRI bisa terhindar dari kudeta.
c) Kelompok yang tergolong pragmatis melihat dwi fungsi ABRI sebagai tidak terhindarkan
lagi karena dalam politik riil kekuatan masih di perlukan. Kendati demikian kelompok ini
berharap agar realitas politik tersebut hendaknya tidak di jadikan ukuran atau landasan dalam
mengambil kebijakan secara nasional dan lintas waktu. Oleh sebab itu kelompok ini berharap
agar Peran sosial-politik ABRI di bidang kekaryaan harus senantiasa disesuaikan dengan
kebutuhan.
d) Kelompok struktural melihat ABRI sebagai penjamin stabilitas pembangunan dan
persatuan bangsa. Bagi kelompok ini pengurangan jumlah personel ABRI dalam jabatan-
jabata sipil yang selama ini di pegangnya, bahkan di DPR-RI akan mempengaruhi proses
manajemen pemerintahan pada umumnya, dan pengendalian konflik pada khususnya.

Berdasarkan temuan tersebut, LIPI memberikan enam rekomendasi kebijakan yaitu :


a) Dalam rangka reformasi politik, dengan semakin mapannya lembaga-lembaga politik dan
sipil, ABRI perlu menitikberatkan perannya secara strategis dan mengurangi keterlibatannya
dalam politik praktis, keorganisasian dan kepartaian.
b) Dalam bidang sosial-ekonomi, jika kemanunggalan ABRI dan rakyat di masa lalu bersifat
fisik, kini harus ditujukan kepada tantangan yang lebih abstrak, seperti bagaimana
meningkatkan demokrasi, menanggapi masalah kemiskinan, kesenjangan sosial dan masalah
hak asasi manusia.
c) Dalam pemerintahan, peran sosial-politik ABRI atau dwi fungsi di perlukan untuk
mendorong dinamika penyelenggaraannya. Kehadiran ABRI didalamnya hanya
dimungkinkan pada cabang pemerintahan yang memerlukan penanganan keamanan.
d) ABRI diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelaksanaan politik luar
negeri, yang di maksudkan di sini yaitu adalah perlunya ABRI secara militer menjadi sangat
kuat sehingga negara asing tidak tergoda untuk memandang enteng negara kita, terutama
ketika memiliki masalah dengan beberapa negara tetangga dalam urusan tapal batas.
e) Peran sosial-politik ABRI di perlukan untuk mempercepat proses pengembangan sumber
daya manusia indonesia yang handal dalam kompetisi internasional. Caranya dengan
menciptakan iklim yang kondusif terhadap daya cipta dan daya saing.
f) Peran sosial-politik ABRI di arahkan untuk membantu proses penegakan hukum dan
pemberdayaan masyarakat.

Pada era baru pasca lengsernya Soeharto, militer Indonesia masih akan memainkan
peranan politik untuk waktu entah berapa lamalagi, semua orang yang mengerti politik di
Indonesia melihat itu sebagai kenyataan yang sulit ditolak. Tetapi bentuk dan besar kecilnya
peranan itu nantinya akan merupakan hasil dari kesepakatan antara kekuatan-kekuatan politik
yang ada di Indonesia lewat dialog yang panjang mengenai format baru politik Indonesia
serta posisi militer didalam format tersebut.
BAB V
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan yang telah kami sampaikan, maka dapat disimpulkan :
Peranan militer dalam system politik di Indonesia sebelum reformasi sangatlah bertolak
belakang dengan peranan militer setelah masa reformasi. Dimana sebelum reformasi, militer
berperan sebagai alat politik. Hal ini sejalan di masa orde baru, Presiden Soeharto kala itu
menggunakan militer sebagai alat politik. Misalnya saja, terjadi kekerasan politik oleh militer
terhadap mahasiswa di tahun 1998 sebagai akibat dari ketidakinginan Soeharto melepaskan
tahta kekuasaannya. Sedangkan di masa reformasi peranan militer telah menjadi mitra sipil
dalam membangun demokrasi dan tidak lagi sebagai alat politik yang bertujuan dalam
pertahanan keamanan.
DAFTAR PUSTAKA

https://ferli1982.wordpress.com/2012/04/07/militer-dan-politik/
http://sitinurhasanahfurqani.blogspot.co.id/2014/11/tugas-siti-nurhasanah-furqani-
fakultas.html
http://www.imparsial.org/publikasi/opini/militer-dan-politik/
http://sumber-ilmu-islam.blogspot.com/2015/05/makalah-militer-dan-politik.html
http://www.academia.edu/8806736/Politik_Militer_Indonesia_Pasca_Orde_Baru
https://www.scribd.com/doc/98248392/Pengaruh-Militer-Dalam-Sistem-Politik-Indonesia

http://www.wikipedia.org/sejarah-indonesia-1945-1949.html

Anda mungkin juga menyukai