Anda di halaman 1dari 6

1

REFORMASI BIROKRASI TNI DALAM SATU DEKADE

Seiring dengan lingkungan politik yang berubah, militer di Indonesia pasca


Orde Baru juga dituntut untuk berubah. Reformasi internal harus dilakukan guna
menjawab lingkungan baru yang menuntut TNI lebih profesional di bidangnya. Sejak
1998 respons TNI atas tuntutan reformasi telah mengemuka. Militer Indonesia tidak
dapat lagi menolak perubahannya walaupun dalam tubuh militer sendiri memintanya
untuk berjalan secara bertahap. Tapi, seiring dengan kencangnya dinamika politik
sipil, perubahan secara bertahap itu tidak dapat dilakukan secara berlama-lama.

Dalam iklim perubahan politik yang ditandai dengan perubahan struktur besar-
besaran dalam tubuh politisi sipil,militer Indonesia sempat menjadi bulan- bulanan
akibat pemihakan dan sikapnya di masa lampau yang terlalu menghegemoni di
segala bidang, lebih mementingkan kepentingan penguasa dan kerap melukai
rakyat, dengan serangkaian pelanggaran HAM yang serius. Militer di tuntut untuk
berubah, tidak saja berkaitan dengan tata organisasinya, tapi yang lebih penting
adalah budaya dan mentalitasnya.

Berangkat dari kondisi itu, pimpinan ABRI menyadari perlu adanya perubahan
yang dilakukan di tubuh ABRI, yang selanjutnya kita kenal dengan nama Reformasi
Internal TNI. Namun reformasi TNI jangan dilihat sebuah gerakan yang berdiri
sendiri, tetapi harus dikaitkan dengan proses reformasi nasional yang berjalan dan
kepada reformasi sektor keamanan pada khususnya. Reformasi tidak dapat dilihat
sebagai sebuah sasaran, tetapi sebuah proses yang akan terus berubah secara
dinamis mengikuti perkembangan dan tuntutan pada jamannya.

Istilah Reformasi TNI (Tentara Nasional Indonesia) awalnya muncul pada


masa reformasi 1998, sebagai isu yang terkait dengan upaya reformasi internal
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Munculnya istilah ini merupakan
respon kalangan TNI terhadap desakan publik atas penghapusan peran politik dan
ekonomi TNI serta akuntabilitas mereka terhadap pelanggaran-pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan sebelum1998. Tuntutan tersebut berujung
pada jatuhnya pemerintahan Rezim Orde Baru (Orba).
2

Reformasi TNI sendiri tidak lepas dari kerangka besar reformasi nasional yang
digagas paska lengsernya Presiden Soeharto pada Mei 1998. Dalam hal ini
reformasi TNI merupakan bagian kecil namun penting dari agenda transisi dari
sistem politik yang otoriter menuju satu sistem pemerintahan yang demokratis,
setelah selama 32 tahun berada dibawah satu rezim yang notabene dipandang
sebagai rezim militer. Dalam konteks yang lebih luas, reformasi TNI awalnya
merupakan bagian dari reformasi sektor keamanan, dimana aktivitas TNI, Polri,
Badan-badan Intelijen, Parlemen dan Pemerintah di sektor keamanan pada masa
lalu terintegrasi dalam satu sistem otoritarian yang dibangun oleh Rezim Orba.

Tuntutan yang muncul kemudian adalah pembentukan satu sektor keamanan


yang merupakan anti-tesis sektor keamanan pada masa Orba, yaitu rezim sektor
keamanan yang tunduk pada supremasi pemerintahan sipil, profesional, akuntabel
dan menghormati HAM. Beragam pro-kontra muncul terkait capaian Reformasi TNI
yang telah berjalan satu dekade ini. secara umum, memang reformasi TNI di satu sisi
telah memiliki beberapa capaian yang dianggap menggembirakan dan menunjukkan
i’tikad baik untuk melakukan reformasi, namun di sisi lain juga menyisakan sejumlah
tantangan dan agenda yang belumterselesaikan, baik oleh DPR, pemerintah maupun
internal TNI sendiri.

Bertitik tolak dari permasalahan tersebut diatas, maka kita dapat menarik
suatu permasalahan yaitu : Bagaimana capaian reformasi Birokrasi TNI dalam
satu dekade ?

Seiring dengan proses Reformasi TNI, pada tahun 2002 DPR RI


mengesahkan UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Lalu pada tahun
2004 DPR RI juga mengesahkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dilihat dari sisi
regulasi, sebetulnya masih banyak regulasi yang dibutuhkan untuk mengatur sektor
keamanan, namun hingga kini berbagai regulasi tersebut belum lahir, meski ada
yang sudah dibahas dalam 2 periode kekuasaan.

Pembatasan fungsi dan peran TNI di bidang pertahanan memiliki arti penting
bagi terwujudnya tatanan negara yang demokratis. Di era reformasi sekarang ini TNI
tidak lagi menjadi kekuatan dominan, yang dapat menentukan arah kebijakan
negara, peran TNI hanya pendukung kekuatan politik sipil, dalam hal pelaksanaan
kebijakan pemerintahan sipil dalam bidang pertahanan.
3

Dengan terbitnya beberapa regulasi tentang TNI tersebut, masyarakat


Indonesia berharap memiliki tentara profesional, dan mampu melaksanakan tugas
pertahanan dengan sebaik mungkin.

Setelah melewati 14 tahun, tujuan reformasi TNI yakni membangun tentara


professional belum juga mewujud, proses reformasi tidak menghasilkan perubahan
besar. Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies(CSIS) Rizal
Sukma, memandang kegagalan reformasi TNI dapat dilihat dari rendahnya
kemampuan TNI dalam menerapkan strategi menghadapi ancaman yang ada.

Secara umum ancaman yang dihadapi Indonesia terbagi ke dalam 4 janis


ancaman; ancaman tradisional; konflik internal; ancaman non tradisional; dan
bencana alam. Menurut Rizal, untuk menghadapi ancaman tersebut TNI baru
menggambarkan secara jelas penerapan strategi perlawanan atas ancaman
tradisional dengan menerapkan strategi pertahanan yang dirumuskan dalam strategi
penggunaan kekuatan atau pola operasi berdasarkan strategi pertahanan pulau-
pulau besar, yang bertumpu pada kekuatan darat.

Dua kekuatan lain, Angkatan Laut dan Angkatan Udara perannya sebatas
pendukung Angkatan Darat saja. Bila pun melakukan serangan sebatas pada upaya
balasan dengan mengatasnamakan Perlawanan Rakyat Semesta. Masih dianutnya
sistem Komando Teritorial memperkuat analisa bahwa sejauh ini masih belum ada
upaya pembenahan terhadap sistem pertahanan yang sesuai dengan kondisi wilayah
NKRI sebagai negara maritim. Padahal sistem Koter yang bertumpu pada kekuatan
darat sangat tidak mungkin diterapkan dalam rangka membangun postur pertahanan
Indonesia yang mampu menimbulkan efek penangkalan (deterrent), penyangkalan
(denial), penghancuran (annihilation) serta pemulihan (rehabilitation).

Tidak hanya itu, kegagalan Reformasi TNI juga masih dibayangi hubungan
sipil – militer yang belum beres. Pasis berpendapat bahwa hubungan Sipil-Militer di
Indonesia masih rancu, di satu sisi Undang-undang mengamanatkan institusi militer
dikendalikan oleh otoritas sipil (Kemhan), di sisi lain Panglima TNI dan Menhan
berada pada posisi sejajar, dimana keduanya bertanggungjawab kepada Presiden.

Menurut pendapat Pasis seharusnya hubungan Sipil-Militer ditempatkan


dalam kerangka Joint Chief of Staf, militer ada di bawah kendali Kemenhan yang
merupakan departemen sipil, tidak langsung di bawah Presiden. Keadaan sekarang
4

ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi demokratisasi di Indonesia, sebab


dengan kedudukan Panglima TNI di bawah Presiden memungkinkan Panglima,
sebagai representasi dari militer, ikut terlibat dalam merumuskan keputusan politik
Pemerintah, dan menjerumuskan TNI ke ranah politik.

Terobosan besar terjadi pada revitalisasi industri pertahanan untuk memenuhi


kebutuhan alutsista TNI. Menhan juga melakukan kerjasama pertahanan dengan
Korea Selatan untuk pembuatan pesawat tempur. Hal tersebut dilakukan sebagai
upaya memenuhi standar minimum kebutuhan alutsista Pertahanan di masa yang
akan datang. Pengambilalihan bisnis TNI sepertinya menjadi persoalan yang rumit
dalam pelaksanaannya. Bisnis militer tak beringsut, meski menjadi amanat UU TNI,
alasannya berbenturan dengan kepentingan peningkatan prajurit TNI yang juga
dijamin oleh Undang-undang.

Secara garis besar, tercatat Reformasi TNI yang telah dilakukan, yakni :
Pertama, periode 1999 sampai 20 April 2001. Dimulai dengan mengemukanya
Paradigma Baru Sosial Politik TNI. Tawaran ini masih kental dengan nuansa politik
dimana TNI masih menghendaki kekuatan politik. Perubahan paradigma yang
dilakukan belumlah menyangkut dihilangkannya peran sosial politik yang dianggap
sebagai penyebab utama distorsi peran TNI, melainkan baru pada tahap
penyesuaian peran sosial poltik ABRI dalam implementasinya yaitu : 1) Merubah
posisi dan metode tidak selalu di depan; 2) Merubah dari konsep menduduki menjadi
mempengaruhi; 3) Merubah dari cara mempengaruhi secara langsung menjadi tidak
langsung; 4) Kesediaan melakukan political role sharing (kebersamaan dalam
pengambilan keputusan penting kenegaraan dan pemerintahan) dengan komponen
bangsa lainnya. Kedua, tahap Redefinisi, Reposisi, dan Reaktualisasi peran TNI
dalam kehidupan bangsa yang dimulai tahun 2001, dimana terjadi perubahan doktrin
dan strukturorganisasi. Redefinisi adalah pendefinisian dwifungsi ABRI pada masa
terminologinya menjadi peran ABRI. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah
tafsir yang selama ini diidentikan dengan kekaryaan. Istilah peran ABRI,
mengandung pemahaman adanya integrasi fungsi pertahanan keamanan dan sosial
politik secara utuh sehingga tidak ada peran dikotomis dan distingtif. Reposisi adalah
suatu agenda yang diformulasikan sebagai penataan kembali posisi ABRI yang
diletakkan pada wacana kehidupan bangsa, yang berpangkal dan berujung pada titik
kebebasan dan transparasi sebagai kosakata reformasi dengan ketertiban dan
5

kepastian sebagai pagar kebebasan. Pengambilan posisi tersebutmenggambarkan


betapa ABRI/TNI disamping bersifat pro aktif dalam mendorong terwujudnya
kehidupan demokratis dan kesejahteraan yang berkeadilan, ABRI juga concerndalam
penegakan kepastian hukum. ABRI telah membuka diri terhadap saran dan kritikan.
Sikap terbuka ini bermakna bahwa ABRI dapat menerima perkembangan
pemahaman pemikiran untuk berhasilnya reformasi internalnya. Reaktulisasi adalah
suatu upaya penataan kembali implementasi peran ABRI pada masa mendatang.
Sudah menjadi komitmen ABRI untuk menetapkan perannya di masa depan secara
tepat sesuai perkembangan zaman dan aspirasi masyarakat. Ketiga,tahap
Implementasi Paradigma Baru TNI dalam berbagai keadaan mutakhir atau dalam
periode kekinian, terutama setelah disahkannya UU no.34 tahun 2004 tentang TNI.
Dimana UU ini menjadi payung hukum yang sah dalam berjalannya peran TNI yang
diharapkan.

Beberapa capaian yang diraih selama periode ini antara lain : 1) likuidasi staf
Komunikasi Sosial padatahun 2005 (Skep Panglima TNI No 21/VI/2005); 2) netralitas
TNI dalam pilkada 2004 (Hasil Rapim TNI, telegram rahasia No STR/527/2004, buku
Pedoman Netralitas Pemilu 2004); 3) persiapan penghapusan bisnis militer (meski
belum selesai); 4) keputusan harus pensiun terlebih dahulu sejak tahap penyaringan
bagi prajurit TNI yang akan ikut pilkada; 5) pengesahan doktrin TNI. Capaian yang
ada, masih belum memadai untuk mewujudkan keamanan sebagaimana digariskan
olehkonstitusi, terutama jika bertolak dari prinsip demokrasi dan penghormatan
kepada HAM yang harus di penuhi, antara lain : 1) tertatanya ketentuan perundang-
undangan berdasarkan the rule of law; 2) terbangunnya kemampuan pengembangan
kebijakan, menyusun perencanaan pertahanan dan keamanan (defense and security
planning); 3) kemampuan dan efektifitas pengawasan; 4) pengelolaan anggaran
yang logis dan profesional dan 5) terselesaikannya kasus pelanggaran HAM.

Berdasarkan pembahasan tersebut diatas, maka dapat ditarik suatu


kesimpulan yaitu Reformasi pertahanan yang semata-mata penarikan pendulum
dari sepak terjang tentara pada masa Orde Baru, mengakibatkan pandangan
pembangunan kapabilitas pertahanan menjadi sangat mahal. Dalam konteks ini
reformasi dipandang sebagai pengembalian fungsi pertahanan ke dalam relnya,
steril dari berbagai fungsi yang lain, mengabaikan kapabilitas strategisnya sebagai
“munisi” diplomasi. Sementara revisi UU Peradilan Militer di DPR untuk penegakan
6

hukum terhadap anggota TNI menemui jalan buntu. Sejalan dengan masih adanya
impunitas itu, pelanggaran yang dilakukan aparat hukum baik TNI maupun Polri
terus terjadi. Dengan demikian reformasi TNI saat ini perlu diarahkan pada 4 hal
yaitu : 1) Membangun postur pertahanan yang sesuai dengan akurasi analisis
ancaman yang konkrit, pergeseran fokus strategi pertahanan ke pertahanan
integrated forces, serta transformasi pertahanan kepada pertahanan yang berbasis
teknologi, 2) Pengembangan industri pertahanan dalam negeri, 3) Melakukan revisi
UU Peradilan Militer dan 4) Melaksanakan remunerasi secara signifikan untuk
menghapus bisnis militer.

Bandung, 30 Juli 2012


Perwira Siswa

Jeffry Antonius Bojoh


Mayor Inf NRP 11970045250676

Anda mungkin juga menyukai