Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PEMERINTAHAN SIPIL DAN MILITER

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 2

WARI ANDINI

GUSTI AYU TRISNA PUTRI

NAJWA ASSABILA HERMAWATI

RIZKY RAHMAWATI

L.ASTAYUGATHA ADYARESTA

RADITYA PRATAMA
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Suatu negara berdiri atas beberapa unsur, misalnya adanya wilayah, rakyat, diakui negara lain
dan kedaulatan. Namun suatu negara tidak akan berjalan dengan lancar tanpa adanya suatu
sistem yang mengatur gerak atau langkah negara yang akan mereka majukan. Karena negara
akan bersifat pasif dan negatif jika tidak melakukan gerak – gerik apapun.
Dengan adanya sistem, maka rakyat dapat menjalankan kehidupannya dengan teratur, sistem
juga dapat mengontrol arah kemajuan sebuah negara. Dengan adanya cita-cita serta tujuan
negara maka kerja sistem akan lebih efektif. Sistem yang digunakan sebuah negara untuk
mengatur gerak langkah perjalanan sebuah negara inilah yang disebut sistem pemerintahan.
Berdasarkan uraian diatas kami berharap akan menambah wawasan pengetahuan masyarakat
tentang pemerintahan baik di Indonesia maupun di negara lain, sehingga masyarakat dapat
mengontrol sistem kerja pemerintah.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah yang dimaksud dengan pemerintahan?
2.      Bagaimanakah karakteristik pemerintahan sipil dan militer?
3.      Bagaiamanakah hubungan sipil-militer di Indonesia?
C.    Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Memahami pengertian dari pemerintahan
2.      Memahami karakteristik pemerintahan sipil dan militer
3.      Mengetahui hubungan antara sipil dan militer di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Pemerintahan
Pemerintah (Government) secara etimologis, berasal dari bahasa yunani kuno yaitu
“kubernan” atau nahkoda kapal. Artinya, menatap ke depan. Lalu, perkataan “memerintah”
berarti melihat ke depan, menentukan berbagai kebijakan diselenggarakan untuk mencapai
tujuan masyarakat atau negara, memperkirakan arah perkembangan masyarakat masa mendatang
dan mempersiapkan langkah-langkah kebijakan untuk menyongsong perkembangan masyarakat
serta mengelola dan mengarahkan masyarakat kepada tujuan yang telah ditetapkan. Maka terkait
dengan hal tersebut, pengertian pemerintah dapat ditinjau dari tiga dimensi (aspek), yaitu :
1.        Aspek kegiatan (dinamika)
2.        Aspek struktural fungsional
3.        Aspek tugas dan kewenangan (fungsi)
Jikalau dilihat dari aspek dinamika, pemerintah dapat diartikan sebagai segala kegiatan atau
usaha yang terorganisasikan yang bersumber dari kedaulatan dan berlandaskan kepada Dasar
Negara, rakyat, wilayah negara tersebut demi tercapainya tujuan negara, dan jikalau konsep
pemerintah dilihat dari aspek struktural fumgsional maka pemerintah dapat diartikan sebagai
seperangkat fungsi negara yang berhubungan satu dengan yang lainnya, berhubungan secara
fungsional dan melaksanakan fungsinya berlandaskan kepada dasar-dasar dan prinsip tertentu
demi tercapaianya tujuan negara, dan yang terakhir aspek tugas dan kewenangan negara
diartikan pemerintah di sini adalah seluruh tugas dan kewenangan negara.

Maka dengan berdasarkan pada ketiga pengertian tentang pemerintah di atas, dapat


disimpulkan bahwa pemerintahan dapat berarti segala kegiatan yang berkaitan erat dengan tugas
dan kewenangan negara atau sebagai fungsi negara,
dan yang melaksanakan tugas dan kewenangan negara itu adalah pemerintah. Berkaitan dengan
pengertian pemerintahan sebagai kegiatan yang berkenaan dengan fungsi negara, ada juga
pengertian pemerintahan dalam arti yang luas dan dalam arti yang sempit
Pemerintahan dalam arti yang luas, adalah mencakup seluruh fungsi negara, yakni fungsi
legislatif, fungsi eksekutif dan fungsi yudikatif. Sedangkan pengertian pemerintahan dalam arti
sempit, adalah hanyalah salah satu dari fungsi negara yakni fungsi eksekutif. (Surbakti,
2010:168-169). Hal ini sama artinya dengan memandang dan memahami politik itu sebagai
pemerintahan sehingga politik ekuivalen dengan pemerintahan itu sendiri, yang dimaksudkan
dengan pemerintahan (government) itu sendiri adalah mekanisme politik (lembaga), Undang-
Undang (UU), Kebijakan Publik dan Pelaku-Pelaku utama dalam pemerintahan. Terkadang
pengertian antara pemerintahan (politik) dan negara dipandang sama, dan bahkan dalam
definisinya yakni di mana politik dipahami sebagai semua kegiatan, proses dan struktur dalam
pemerintahan. Segala yang terjadi di Senat Amerika Serikat (AS), Bundestag di Jerman, dan
Parlemen di Inggris, setuju dengan definisi di atas adalah termasuk dalam bidang politik.
Sementara itu segala yang terjadi di dalam masyarakat, yaitu di luar wilayah pemerintahan tidak
bersifat politik. Meskipun fenomena sosial memang bisa menumbuhkan dampak daripada
politik, tetapi fenomena sosialnya itu sendiri tidak bersifat politik. (Caporaso, 2008: 4-5).[2]
Dalam hal pelaksanaan di lapangan, pemerintahan di setiap negara sangat beragam. Hal
demikian menyangkut bentuk-bentuk pemerintahan yang dianut oleh suatu negara.
Bentuk pemerintahan suatu negara dibedakan sebagai berikut,
1.      Berdasarkan jumlah orang yang memerintah
a.       Monarki
Bentuk pemerintahan dikatakan monarki apabila pemerintahan itu terletak di tangan satu orang.
b.      Oligarki
Adalah bentuk pemerintahan dimana kekuasaan terletak di tangan sejumlah orang yang
memerintah.
c.       Demokrasi
Pada bentuk pemerintahan ini kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat.
2.      Berdasarkan cara pengangkatan kepala negara atau kepala pemerintahan
a.       Kerajaan (Monarki)
1.      Monarki absolut (kerajaan mutlak)
Raja selaku kepala negaranya memegang seluruh kekuasaan negara, baik eksekutif, legislative,
maupun yudikatif. Monarki absolut biasanya dilandasi paham teokrasi, yaitu raja dianggap
sebagai wakil Tuhan di bumi.
2.      Monarki konstitusional
Kekuasaan raja selaku kepala negara dibatasi oleh konstitusi.
b.      Republik
1.      Republik absolut
Pemerintahan bersifat diktator tanpa ada batasan kekuasaan. Dalam pemerintahan ini parlemen
tidak berfungsi.
2.      Republik konstitusional
Presiden memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Namun,
kekuasaan presiden dibatasi oleh konstitusi.
3.      Republik parlementer
Presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara. Kepala pemerintahan berada di tangan perdana
menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen.
3.    Berdasarkan segi kabinet dan fungsi kepala negara
a.       Presidensial
b.      Parlementer

B.       Pemerintahan Sipil dan Militer


Perbedaan mendasar tentang keduanya yaitu terletak pada sejauh mana kelompok tersebut
berpengaruh dan ikut serta dalam pemerintahan. Serta sejauh mana satu kelompok mampu
mengatur kelompok yang lain. Kendati keduanya memiliki wewenang masing-masing, dalam
sejarah pemerintahan keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan roda
pemeritahan. Jika dalam pemerintahan tersebut, kalangan sipil mampu lebih dominan bahkan
dalam masalah kemiliteran dan politik keamanan Negara, maka dapat dikatakan bahwa
pemerintahan tersebut adalah pemerintahan sipil. Sebaliknya jika militer banyak kontrol dalam
politik dan kehidupan sipil maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah
pemerintahan militer.
1.         Pemerintahan Sipil
Pemerintahan sipil adalah pemerintahan di mana gaya pengambilan keputusan diambil
dengan gaya sipil. Sebelum sebuah keputusan menjadi perintah, keputusan itu dibicarakan
terlebih dahulu, dirembukkan dan kalau perlu diputuskan lewat pemungutan suara (referendum).
Setelah itu pun sebuah keputusan harus menunggu pengesahan terlebih dahulu dari lembaga
negara yang berwenang lewat sebuah sidang. 
Istilah pemerintahan sipil digunakan sebagai kebalikan dari istilah pemerintahan militer.
Kedua istilah ini muncul ketika terjadi hubungan antara elit sipil yang diwakili oleh politisi yang
dipilih oleh rakyat melalui pemilu dengan elit militer dalam suatu Negara.  

Secara teoritis, pemerintahan sipil dapat dibagi menjadi tiga: 


a)        Model tradisional
Pemerintahan sipil model ini adalah pemerintahan yang tidak memiliki perbedaan yang jelas
antara elit sipil dengan elit militer. Model ini merupakan gambaran pemerintahan kerajaan di
eropa pada abad 17 dan 18, dengan pendukung utamanya terdiri dari golongan aristokrat eropa
baik dari kalangan elit sipil maupun elit milliter. Di dalam model ini masing-masing mereka
memegang satu kekuasaan saja, mereka membangun ikatan kekeluargaan dalam
memepertahankan kekuasaan masing-masing. Karena tidak adanya perbedaan prinsip inilah pada
masa model pemerintahan tradisional tidak ditemukan adanya konflik-konflik diantara keduanya.
b)        Model liberal
Pemerintahan jenis ini adalah pemerintahan yang mendasarkan pada pemisahan para elitnya
menurut keahlian dan tanggung jawab masing-masing sesuai dengan jabatannya dalam
pemerintahan. Posisi militer dalam pemerintahan ini adalah masih dibawah kendali sipil. Dalam
bidang keamanan, perwira hanya dapat menasehati pemerintah serta hanya mampu
melaksanakan apa yang diinstruksikan pihak sipil. Dalam model ini kemungkinan militer dalam
melakukan intervensi dan kegiatan politik terhadap elit sipil akan tertutup.
Terdapat prinsip penting yang dipegang oleh model liberal ini, dimana elit tidak melakukan
intervensi terhadap persoalan-persoalan profesionalisme militer. Misalnya melalui pengangkatan
perwira militer yang didasari oleh kesetiaan mereka di bidang politik domestik. Jika prinsip ini
dilaksanakan elit sipil dengan konsisiten, maka semakin kecillah alasan militer untuk melakukan
intervensi di bidang politik dan pemerintahan.
c)      Model serapan
Model ini adalah suatu pemerintahan sipil dengan karakteristik kebijakan sipil untuk
mendapatkan pengabdian dan loyalitasnya melalui penanaman ide dan penempatan para ahli
politik kedalam tubuh angkatan bersenjata. Sepanjang model ini berkuasa. Para ahli politik
ditempatkan di setiap unit dan peringkat hierarki militer. Mereka bertanggung jawab kepada
politisi yang lebih tinggi kepada pemimpin sipil, bukan kepada perwira militer yang lebih tinggi
pangkatnya. Jadi dapat dikatakan pada model ini pemerintahan sipil yang berkuasa benar-benar
telah mengambil alih kekuasaan dan pemerintahan secara penuh bahkan sampai ke seluk-beluk
militer.
2.         Pemerintahan Militer
Pemerintahan militer ini pada dasarnya merupakan bagaimana partisipasi militer dalam
politik dan pemerintahan. Keikutsertaan ini didasarkan pada perasaan mereka tentang tanggung
jawab dalam melindungi keutuhan negara, termasuk didalamnya tanggung jawab tehadap
konstitusi negara. 
Seperti yang kita ketahui bahwa Negara mempunyai kelegalan dalam monopoli dan
penggunaan kekerasan terhadap warganya ataupun terhadap siapapun atas alasan dan sebab-
sebab tertentu. Dalam hal ini keberadaan militer boleh dikatakan merupakan konsekuensi dari
kebutuhan Negara akan perangkat keamanan dan kekerasan dalam tujuan pertahanan Negara.
Sejauh mana keterlibatan militer ke dalam kehidupan politik, dalam pandangan Amos
Perlmutter,[3] pada gilirannya telah melahirkan pengelompokkan militer ke dalam tiga jenis
militer, yakni militer professional, militer pretorian dan militer revolusioner.
Adapun partisipasi militer dalam pemerintahan sipil sering juga disebut dengan
pretorianisme. Kajian ini digunakan dalam rangka menggambarkan keikutsertaan tentara sebagai
aktor utama yang sangat dominan dalam menggunakan kekuasaannya. Istilah tersebut diambil 
dari contoh kasus campur tangan militer yang paling awal dan paling terkenal dalam
pemerintahan kerajaan romawi pada abad 17 dan 18. Pada masa ini tentara pretorian mereka
digunakan sebagai prajurit khusus yang digunakan untuk mengawal raja.  
Sebagaimana dalam pemerintahan sipil, di dalam pemerintah militer terdapat tiga model: 
a)        Moderator pretorian
Ciri khas dalam model ini adalah adanya penggunaan hak veto terhadap keputusan dalam
pemerintahan dan politik, tanpa menguasai pemerintahan itu sendiri. Sekalipun  kelompok sipil
yang memerintah, mereka masih bisa untuk tidak mengikuti sepenuhnya supremasi pihak sipil.
Kelompok pretorian masih bertindak sebagai kelompok yang berpengaruh dan terlibat dalam
politik
Dalam praktiknya, apabila ada ketidak sepakatan dengan kebijakan sipil, pretorian mediator
ini dapat melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil dan menggantikannya dengan
sekelompok elit sipil yang dapat dikuasai dan diterima oleh militer. Perilaku politik dalam
metode ini hanya sebatas mempertahankan status-quo, menjaga keseimbangan atau
ketidakseimbangan kekuasan di antara fraksi-fraksi atau kelompok politik yang bersaing. Serta
melarang setiap percobaan penting dalam hal pengalihan hasil ekonomi, dan menjaga stabilitas
politik dan pemerintahan.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa kelompok militer ini merupakan kekuatan politik konservatif
yang lebih menyukai untuk mengalihkan perubahan daripada pelaksanaanya yang dapat
diperoleh dengan pemerintahan. Alasan-alasan inilah yang melatari mengapa kelompok ini tidak
meguasai puncak pemerintahan.
b)        Pengawal Pretorian
Pemerintahan model ini merupakan lanjutan dari moderator pretorian. Jika yang pertama
bersifat konservatif, kelompok ini lebih bersifat reaksioner terhadap kebijakan sipil ketika
menjalankan pemerintahannya. Setelah para moderator berhasil menggulingkan  kekuasaan
pemerintah, akhirnya mereka mengubah diri sebagai pengawal pretorian sebelum akhirnya
berkuasa penuh atas pemerintahan.
Setelah penggulingan elit sipil, umumnya kelompok ini akan memegang tampuk
pemerintahan untuk periode singkat antara dua sampai empat tahun. Seperti halnya kelompok
pertama, para pengawal pretorian tidak setuju terhadap perubahan politik serta akan berusaha
untuk mempertahankan poltik yang lama. Perbedaan mencolok kelompok ini ialah keyakinan
mereka akan agenda pemerintahan yang mereka canangkan hanya mereka sendirilah yang dapat
melaksanakannya. Keyakinan ini muncul dari asumsi mereka tentang tidak adanya elit di luar
mereka yang mampu mempertahanan status-quo politik dan ekonomi. Atau tanpa tindakan
kudeta, kekuasaan akan berpindah ke tangan elit politik yang memiliki tujan dan agenda politik
yang berbeda.
Langkah selanjutnya setelah kudeta  adalah tindakan pemecatan ahli politik sipil yang diduga
melakukan kecurangan dalam penyusunan kembali struktur pemerintahan dan administrasi serta
pembagian kekuasaan dan fungsi ekonomi di kalangan kelompok sipil. Sisi lain dari kelompok
ini ialah sikap yang tidak terlalu otoriter, karena kebebasan politik, kebebasan pers dan berserikat
adalah dibenarkan.
Sebagai kelompok reaksioner mereka berusaha melakukan perubahan-perubahan, prinsip-
prinsip dasar dalam politik, ekonomi dan kehidupan sosial. Namun seluruh agenda perubahan
yang mereka lakukan tetap dalam koridor membatasi kegiatan dan hak sipil. Bagi mereka
perubahan mendasar dalam hal-hal tersebut tidaklah dibutuhkan, karenanya kelompok ini tidak
menganggap penting untuk membentuk sebuah rezim yang dapat menguasai orang banyak.
c)        Penguasa  Pretorian
Pemerintahan model ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan model yang dua
sebelumnya. Yang membedakan model ini dengan model yang lain ialah luasnya wilayah
kekuasaan serta tingginya cita-cita politik dan ekonomi yang mereka agendakan. Model yang
ketiga ini tidak hanya menguasai pemerintahan namun juga mendominasi rezim yang berkuasa,
bahkan kadang kala mencoba menguasai sebagian ekonomi-politik dan sosial melalui mobilisasi.
Kelompok ini sering disebut sebagai kelompok moderis radikal atau kelompok revolusioner
dengan visi menata kembali negara dari segi moral, institusi dan materi lainnya.
Dengan agenda yang menyeluruh dan mendalam dari kelompok ini, pastinya akan
membutuhkan waktu yang lama. Maka mendominasi rezim dan pemerintahan yang cukup lama
adalah diperlukan. Jika kelompok pengawal pretorian berkuasa dalam tempo sementara dan
berjanji akan mengembalikan kekuasaan ke tangan sipil dalam waktu singkat, sebaliknya
penguasa pretorian tidak demikian. Umumnya mereka mengatakan bahwa rezim sipil akan
dipulihkan kembali.
3.         Hubungan Sipil-Militer di Indonesia
Sejalan lengsernya Orde Baru pada 21 Mei 1998, berahir pula lah dominasi militer di
Indonesia. Masa setelahnya ialah masa reformasi dimana menjalankan demokrasi secara tepat
adalah tujuan pada era setelah orde baru lengser. Pada masa transisi ini tak jarang hujatan serta
kritik ditujukkaan masyarakat kepada ABRI atau TNI atas peran yang mereka lakukan selama
Orde Baru. Karena selama itu pula terjadi hubungan sipil-militer yang tidak seimbang yang
mengakibatkan krisis di Indonesia dalam segala aspek kehidupan. 
Kehadiran TNI/ABRI di hampir semua lembaga baik di pemerintahan maupun swasta yang
mencakup hampir seluruh aspek kehidupan mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial, budaya
sampai ke soal agama dianggap menutup upaya kalangan sipil yang berpotensi, dan itu dapat
diartikan  pula mengurangi kesempatan sipil untuk menunjukan kemampuannya dalam berkiprah
di bidang kemasyaraktan kenegaraan. Kritik dan sinyalemen lainnya yang perlu diperhatikan
oleh TNI adalah pernyataan beberapa kalangan masyarakat bahwa ABRI tak lagi membela
kepentingan rakyat, melainkan membela dan menjadi alat para penguasa untuk mempertahankan
status-quo. Bahkan ABRI dicurigai sebagai mengarah pada militerisme dan kediktatoran.  
Di barat terdapat model hubungan sipil-militer yang menekankan “supremasi sipil atas
militer”, atau militer merupakan subordinat dari pemerintahan sipil yang dipilih secara
demokratis melalui pemilihan umum. Tetapi pada kasus-kasus di negara berkembang termasuk
Indonesia hubungan sipil-militer tidaklah dapat disamakan dengan kenyataan dengan praktik
yang terjadi di negara barat. Karena pada kenyataannya, makna hubungan sipil-militer di
Indonesia lebih mengandung pengertian adanya  “kerja sama” dan hubungan kemitraan. Secara
historis pola hubungan sipil-militer Indonesia lebih banyak merupakan suatu pembagian peran
antara sipil-militer yang sangat nyata pada masa revolusi kemerdekaan (1945-1949)
Keikutsertaan militer dalam penataan sosial dan administrasi pemerintahan pada akhirnya
melahirkan konsep dwifungsi ABRI yang menjadi doktrin dasar keterlibatan kaum militer diluar
bidang keamanan. 
Lahirnya konsep dwifungsi ABRI sendiri karena di masa itu belum terbentuk atau lahir
sebuah tentara reguler, kala itu baru terbentuk badan keamanan rakyat yang bersatu dengan
rakyat dalam menjaga keamanan negara. 
Dan untuk menggalang perlawanan terhadap kekuatan pasukan Belanda yang hendak
kembali menjajah, pasukan direkrut dari kalangan siapa saja untuk memanggul senjata dan
menunjukan kualitas kepemimpinannya. Basis untuk menjadi tentara adalah non-profesionalisme
seperti semua kedudukan dalam revolusi. Dengan sendirinya banyak tentara melakukan baik
fungsi politik maupun pemerintahan. Fakta sejarah awal inilah yang melandasi konsepsi tidak
dipisahkannya tentara dari kegiatan politik. 
Sebenarnya sudah ditegaskan bahwasanya intervensi militer dalam politik ini merupakan
sebuah proses yang lama, hampir setua umur republik ini. Pada awalnya intervensi tersebut lahir
dari tradisi perang gerilya. Dimana mau tidak mau membuat tentara harus mempelajari fungsi
non-militer, karena perang ini melibatkan seluruh masyarakat. Dan dengan jalan mempelajarinya
pengelolaan masyarakat dan desa sebagai kekuatan perang semesta bisa dilakukan. Selanjutnya
pengalaman dalam perang gerilya ini tak hanya menunjukan bagaimana kemampuan militer
dalam mengurus urusan non-militer, namun juga bukti tentang jasa-jasa militer dalam merebut
kemerdekaan. Dikemudian hari jasa-jasa ini menjadi klaim utama bagi keterlibatan para perwira
dalam urusan politik. 
Bukan itu saja, adalah ketidakcocokan para pemimpin militer dengan cara-cara
kepemimpiman sipil tak jarang menjadi presepsi buruk tentang kepemimpinan sipil. Sudah tentu
anggapan-anggapan sepihak ini bisa dibaca sebagai upaya mendeskreditkan para pemimpin sipil,
sambil megedepankan para perwira sebagai sumber daya yang tersedia untuk mengatur politik. 
Dalam sejarah politik Indonesia, hubungan antara sipil-militer dapat dijelaskan secara
singkat melalui pasang surut intervensi sipil atas militer atau sebaliknya. Misalnya pada masa
demokrasi parlementer, partai poltik pernah mendominasi dan mengontrol militer secara
subjektif. Dengan kata lain, kontrol subjektif sipil terhadap militer telah terjadi secara mendalam
dalam tubuh militer, diantaranya dalam masalah menentukan posisi jabatan di dalam struktur
TNI, khususnya angkatan darat.
Puncaknya pada peristiwa 17 Oktober 1952 saat pasukan TNI-AD mengarahkan moncong
meriam kearah istana Presiden, dan memaksa presiden Soekarno untuk membubarkan
konstituante.  
Lalu ketika runtuhnya Orde Lama dan tegaknya Orde Baru dibawah rezim Soeharto
bergantilah intervensi militer yang terlalu jauh dalam urusan sipil yang mencakup politik,
ekonomi, sosial bahkan sampai bidang Olah Raga. Memang pemerintahan militer yang bergulir
di Indonesia paling terlihat jelas adalah ketika Mayjen Soeharto menjabat sebagai presiden
Indonesia yang ke dua menggantikan presiden Soekarno. Ancaman militer secara terang-
terangan untuk tidak melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil jika tuntutan yang mereka
ajukan dikabulkan. Mengambil alih kekuasaan pemerintahan dan mengubah rezim sipil menjadi
rezim militer .Tentara mendapatkan kekuasaanya melalui kudeta. Para pejabat tinggi negara telah
bertugas atau terus bertugas dalam angkatan bersenjata. Pemerintahan masih terus bergantung
kepada dukungan perwira militer aktif dalam mempertahankan kekuasaanya.adalah praktik-
praktik yang dilaksanakan dalam pemerintahan militer.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Seperti yang kita ketahui, pengertian pemerintah dapat kita tinjau dari 3 aspek dimensi
yaitu  aspek kegiatan, aspek struktural fungsional, dan aspek tugas dan kewenangan (fungsi)
maka dapat disimpulkan bahwa pemerintahan dapat berarti segala kegiatan yang berkaitan erat
dengan tugas dan kewenangan negara atau sebagai fungsi negara, dan yang melaksanakan tugas
dan kewenangan negara itu adalah pemerintah.
Pemerintahan di setiap negara terbagi menjadi dua, yaitu Pemerintahan Sipil dan
Militer. Perbedaan mendasar tentang keduanya yaitu terletak pada sejauh mana kelompok
tersebut berpengaruh dan ikut serta dalam pemerintahan. Serta sejauh mana satu kelompok
mampu mengatur kelompok yang lain. Kendati keduanya memiliki wewenang masing-masing,
dalam sejarah pemerintahan keduanya tidak dapat dipisahkan dalam kaitannya dengan roda
pemeritahan. Jika dalam pemerintahan tersebut, kalangan sipil mampu lebih dominan bahkan
dalam masalah kemiliteran dan politik keamanan Negara, maka dapat dikatakan bahwa
pemerintahan tersebut adalah pemerintahan sipil. Sebaliknya jika militer banyak kontrol dalam
politik dan kehidupan sipil maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan tersebut adalah
pemerintahan militer. 
Adapun hubungan sipil-militer di Indonesia, tidak ada golongan yang lebih dominan.
Hubungan sipil-militer lebih ke arah  “kerja sama” dan hubungan kemitraan. Secara historis pola
hubungan sipil-militer Indonesia lebih banyak merupakan suatu pembagian peran antara sipil-
militer.
DAFTAR PUSTAKA

Ruhpina, H.L. Said, 2005, Menuju Demokrasi Pemerintahan, Universitas Mataram Press, Mataram.
Sitepu, P. Anthonius, 2012, Teori – Teori Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta.
Gatara, A.A. Sahid, 2009, Ilmu Politik: Memahami dan Menerapkan, Pustaka Setia, Bandung.
Hadiwijoyo, Suryo Sakti, 2012, Negara, Demokrasi, dan Civil Society,  Graha Ilmu, Yogyakarta.
Tokoh Indonesia, Hubungan Sipil dan Militer,
http://www.tokohindonesia.com/publikasi/article/333-makalah/577-hubungan-sipil-militer.

Anda mungkin juga menyukai