Anda di halaman 1dari 8

CRITICAL REVIEW 4

Nama : Abdul Rahman Ma’mun


NPM : 1806252095/ Magister Ilmu Politik – UI
Pengajar : Dr. Isbodroini Suyanto, MA.
Dr. Valina Singka Subekti, MSi.
Julian Aldrin Pasha, MA., Ph.D.
Mata Kuliah : Pembangunan Politik
Sumber bacaan:
Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2000
Judul asli: Perlmutter, Amos, The Military and Politics and Modern Times, Yale University,
1977.

Militer dan Politik: Profesional, Pretorian, dan Revolusioner


Buku Amos Perlmutter yang berjudul The Military and Politics and Modern Times atau
Militer dan Politik dalam versi Bahasa Indonesia ini bisa dikatakan pengembangan dari buku
yang telah ditulis sebelumnya oleh Samuel P. Huntington, The Soldier and the State yang
terbit 1957. Hal itu diakui oleh Perlmutter, bahwa penelitian yang diterbitkan sebagai buku
ini mendapat rangsangan dan pengaruh yang kuat dari buku karya Samuel P. Huntington
tersebut.1
Pandangan Huntington dalam karyanya tersebut pada pokoknya adalah perubahan
korps perwira militer dari bentuk ‘penakluk’ (warrior) menjadi kelompok professional.
Profesionalisme perwira ini ditandai dengan perubahan dari “tantara pencari keuntungan
materi” menjadi “tantara karena panggilan suci, pengabdi negara”. 2 Perlmutter sendiri
menggolongkan militer ke dalam tiga tipe yaitu Prajurit Profesional, Prajurit Pretorian dan
Prajurit Profesional Revolusioner. Ketiga pembagian itu juga menjadi pembagian bab dalam
buku ini. Semua tipe yang membentuk organisasi militer tersebut tercipta secara spesifik
tergantung beberapa hal terutama sejarah pembentukannya, relasinya dengan sipil, ideologi
dan perannya dalam pembentukan dan mempertahankan negara.3
Tipe organisasi Prajurit Profesional adalah suatu bentuk organisasi militer yang
disamakan dengan model organisasi birokratis yang bersifat hirarkis, rasional dan dilengkapi
orientasi legal. Profesi jabatan dan upaya meraih karier khusus merupakan ciri penting dari
tentara modern. Militer profesional sebagai tentara modern menjalankan suatu corporate
professionalism sebagai suatu pengejaran terhadap penghargaan sosial dan corporate

1
Perlmutter, Amos, Militer dan Politik, Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2000, hal. LIII
2
Magenda, Burhan D, Kata Pengantar Edisi Indonesia, buku Amos Perlmutter Militer dan Politik, Jakarta; Raja
Grafindo Persadam 2000, hal.V.
3
Ibid, hal. 14-24
endowment. Mereka bersifat inovatif dan berani serta pantang menyerah, juga loyal kepada
komandan (patron).
Dalam kaitan itu perwira profesional di zaman modern memiliki ciri-ciri antara lain 1)
keahlian (managemen kekerasan), 2) pertautan (tanggung jawab kepada klien, bangsa dan
negara), 3) korporatisme (kesadaran kelompok dan organisasi birokrasi), dan 4) ideologi
(semangat militer). Semua ciri ini bisa ditemuka pada semua lembaga militer baik di negara
maju maupun negara berkembang.
Menurut Huntington keempat ciri tersebut menjadi variabel penting yang dapat
menjauhkan fungsi militer dari intervensi politik suatu negara. Huntington melihat bahwa
prajurit profesional klasik timbul apabila koalisi sipil memperoleh supremasi terhadap
tentara. Prajurit dengan keahlian dan pengetahuan profesionalnya kemudian menjadi
pelindung negara.
Prajurit Pretorian adalah tipe militer yang lahir dari kondisi pretorian dan
revolusioner. Semakin tinggi kedudukan seorang perwira maka semakin politis yang
dimungkinkan melibatkan organisasi militer secara keseluruhan dalam aksi politik. Istilah
pretorian berasal dari nama salah satu unit tentara khusus di kerajaan Romawi. Unit tersebut
begitu kuat sehingga memiliki kekuatan politik yang sangat memengaruhi sipil.
Pretorianisme militer timbul sebagai efek samping kegagalan revolusi sosial, politik atau
revolusi modernisasi.
Prajurit pretorian lebih sering timbul dalam masyarakat agraris atau transisi atau
masyarakat yang secara ideologis terpecah-pecah. Secara keseluruhan, kondisi pretorian
memengaruhi lembaga militer secara negatif dan menurunkan standar-standar
profesionalisme. Perlmutter membedakan tipe praetorian dalam dua kategori yaitu tipe
praetorian yang paling ekstrem (tipe penguasa) dan tipe praetorian yang kurang ekstrem (tipe
penengah). Tentara ‘pretorian penguasa’ mendirikan eksekutif yang independen serta suatu
organisasi politik untuk mendominasi masyarakat dan politik. Sedangkan tentara ‘pretorian
penengah’ tidak mempunyai organisasi politik dan tidak banyak menunjukan minat dalam
penciptaan ideologi politik.
Prajurit revolusioner merupakan tentara yang lahir sebagai alat revolusi. Sebelum dan
selama revolusi tipe prajurit revolusioner ini mempunyai kecenderungan yang kuat untuk
tunduk pada pengaruh politik. Ketika revolusi berangsur-angsur melembaga, partai menjadi
pemegang kekuasaan tertinggi di negara, kemudian prajurit revolusioner ini menentang
peranan tentara sebagi alternatif dalam politik. Di sisi lain mereka menerima bentuk
organisasi militer yang dikendalikan oleh para perwira yang rasional (profesional). Namun
demikian mereka menolak pandangan korporatisme tentara dan intervensi militer ke dalam
politik. Tipe prajurit revolusioner, meskipun menjauh dari politik, biasanya mereka tetap
mempunyai peranan politik yang laten
Tentara revolusioner bukan merupakan hasil dari keahlian militer, melainkan
pengabdian pada revolusi dan mendapatkan dukungan partai politik. Tentara revolusioner
tidak melalui pendaftaran dan penerimaan perwira sebagaimana tantara professional. Mereka
tumbuh karena kesadaran sendiri untuk ikut bergabung membela kepentingan revolusi. Oleh
karna itu tentara revolusi tidak ada pembatasan dalam hal jumlah prajurit.
Ketiga jenis organisasi militer yang dikemukakan Perlmutter tersebut merupakan
generalisasi untuk memudahkan melakukan eksaminasi model-model organisasi militer di
setiap negara. Dalam perkembangannya masing-masing tipe bisa saja saling beririsan sesuai
dengan perkembangan peran politik militer dalam suatu negara.

Indonesia
Pidato “Jalan Tengah” Nasution pada intinya menyatakan bahwa TNI-AD tidak bisa
mengikuti tingkah laku kaum militer di Amerika Latin yang memainkan peranan politik
secara langsung, tetapi tidak pula akan merupakan suatu institusi yang pasif dalam politik
sebagaimana militer di Eropa barat, maka TNI-AD akan mencari “jalan tengah” diantara
kedua jalan yang ekstrim tersebut.  Nasution menyatakan bahwa TNI harus diberi
kesempatan untuk melakukan partisipasinya di dalam pemerintahan, menentukan politik
negara di berbagai bidang, sehingga TNI harus diberi juga tempat di segala lembaga
kenegaraan, tidak hanya dalam kabinet dan Dewan Nasional, seperti yang pada waktu itu
telah dilaksanakan, tetapi juga dalam Dewan Perancang Nasional, korps diplomatik,
parlemen, dan lain-lain badan pemerintahan.  Apabila ini tidak dilaksanakan, Nasution
mengancam, bahwa tidak dapat dipertanggungjawabkan kemungkinan dilakukannya
kekerasan oleh TNI guna menghindari “diskriminasi” TNI oleh orang sipil.

Pada era Orde Baru, kepemimpinan ABRI mudah sekali ditenggarai lewat
kepemimpinan ABRI di berbagai bidang kehidupan bersama di negeri ini. ABRI bertindak
sebagai pelopor ideologi, pembaruan, dan dinamisasi kehidupan politik. Selain perannya
yang menonjol pada umumnya, maupun dalam bidang-bidang khusus, seperti pembangunan
pedesaan (lewat program AMD/ABRI Masuk Desa), perkotaan, industri, dan lain sebagainya.
Di era itu, tidak sedikit elite di kalangan ABRI, juga cendekiawan di tengah masyarakat
umum yang meyakini, selama terdapat ancaman terhadap UUD 1945 dan ideologi negara
Pancasila, yang tertuju langsung atau tidak langsung ke negara dan masyarakat Indonesia,
selama itu pula ABRI tidak akan berdiam diri. Dorongan itu, disebabkan ABRI
memposisikan diri, selain diposisikan oleh lingkungannya sebagai kekuatan bersenjata,
sekaligus dinamisator dan stabilisator.
Selama pemerintahan Presiden Soeharto, Dwifungsi ABRI dimanifestasikan lewat
organisasi politik Jenderal Soeharto, yaitu Golkar. Di dalam Golkar pada tingkat pusat
Presiden Soeharto adalah Ketua Dewan Pembina, sedangkan pada tingkat daerah, Panglima,
Komandan Kodim, merupakan penentu organisatoris dalam kepengurusan Golkar. ABRI
adalah jalur terpenting di dalam Golkar, disamping Korpri.
Pada masa Orde Baru nyaris tidak terjadi friksi yang kentara dalam tubuh militer.
Terjadi kolaborasi yang sangat tertata antara negara sebagai klien dari tentara. Sehingga yang
terjadi bukanlah supremasi sipil terhadap militer, melainkan pemanfaatan kekuatan militer
oleh rezim yang bersikap layaknya sipil. Dalam konteks ini William Liddle menegaskan ada
empat kendala besar supremasi sipil sulit terwujud di Indonesia. Kendala yang pertama
adalah sikap pemimpin partai yang enggan menegakkan sendi-sendi supremasi sipil secara
tegas. Mereka masih mengharapkan dukungan politik tentara untuk masing-masing partai.
Kedua, secara keuangan tentara mandiri dan sangat tidak transparan mengenai keuangannya,
serta negara hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari anggaran militer sehingga militer
lebih otonom terhadap negara. Ketiga, peran politik riil yang dimainkan oleh perwira TNI
saat ini dalam bentuk komando teritorial (kini komando kewilayahan) yang mencakup skup
terkecil administrasi birokrasi pemerintahan sipil dan mempunyai kekuatan intelejen yang
tinggi. Keempat, sikap arogan banyak anggota TNI yang membuatnya tak mudah untuk
menyatu dengan sipil.
Dengan kuatnya militer dalam masa Orde Baru, maka dengan serta-merta kekuatan itu
memberikan teror pada rakyat atau kalangan sipil oposisi. Pada masa Orde Baru yang muncul
adalah tipe pretorian yang paling ekstrem (tipe penguasa). Ini bisa terlihat jelas dengan
Jenderal Soeharto yang langsung memegang kendali rezim. Juga sangat banyak perwira aktif
menduduki jabatan yang seharusnya diperuntukkan oleh sipil. Yang terjadi juga sama dengan
orde sebelumnya subjective civilian control walaupun pada hakikatnya Presiden Soeharto
bukanlah sipil. Saat itu militer dijadikan alat represi oleh rezim. Seperti yang dikatakan
Liddle, rezim sama sekali tidak memiliki intense untuk menjadikan ABRI sebagai tentara
profesional
1. ISI BUKU

Pretorian dirumuskan Amos Perlmutter sebagai situasi dimana militer dalam suatu
masyarakat tertentu melaksanakan kekuasaan politik yang otonom dalam masyarakat tersebut
berkat penggunaan kekuatan aktual atau ancaman penggunaan kekuataan. Pretorian terbagi
dalam dua jenis yaitu pretorian historis dan pretorian modern. Pretorian historis dimulai dari
tentara ibukota Romawi yang selalu mendesakkan calon pemimpin negara untuk disetujui
senat. Pretorianisme jenis ini kemudian berkembang subur di masyarakat feodal yang berciri
patrimonial. Di dalam masyarakat ini tentara menjadi alat utama pendukung kekuasaan raja
atau bangsawan. Hubungan antara tentara dengan penguasa didasarkan pada orientasi tradisi.
Dalam pretorianisme modern, tentara justru menentang penguasa dan menawarkan jenis
kekuasaan baru. Tentara dalam pretorianisme modern cenderung campur tangan dalam
pemerintahan dan mendominasi eksekutif sehingga terjadi pembusukan politik dan kekuasaan
eksekutif menjadi tidak efektif.

Pretorianisme modern terbagi atas 3 bentuk yaitu otokrasi militer, oligarki militer dan
pretorianisme otoriter. Dalam otokrasi militer, pimpinan pemerintahan dipegang oleh seorang
perwira militer yang sekaligus menjadi penguasa tertinggi. Dalam rejim ini, pemilu
ditiadakan. Sedangkan dalam oligarki militer, pemerintahan dijalankan oleh beberapa orang,
dimana eksekutif terdiri dari para perwira militer sedangkan eksekutif utama diduduki oleh
pensiunan perwira militer atau orang sipil yang didukung militer secara penuh. Rejim ini
hanya bisa bertahan selama mendapat dukungan dari militer dan selalu melakukan mobilisasi
dukungan. Rejim ini juga hanya kadang-kadang saja mengadakan pemilu. Ada pun dalam
pretorianisme otoriter, pemerintahannya merupakan fusi militer dan sipil dengan kontrol yang
sangat sedikit atau tidak ekstrim. Kombinasi dari ketiga bentuk pretorianisme modern itu bisa
berwujud rejim militer otoriter, dimana tentara, birokrat, manajer dan tehnokrat memainkan
peranan yang penting. Birokrasi terdiri dari militer dan sipil sedangkan kepala pemerintahan
bisa dari sipil murni. Dukungan rejim ini adalah lembaga militer. Rejim ini juga
mengusahakan dukungan politik dari luar negeri. Pemilu diadakan dengan pembatasan-
pembatasan dan masih bisa menolerir adanya struktur politik nasional yang tidak mendukung
rejim.

Kondisi-kondisi sosial yang melahirkan pretorianisme adalah pertama, sindrom negara


transisi, dimana pola tradisional sudah rusak sementara pola baru belum terbentuk. Dalam
masyarakat ini, kesatuan masyarakat tidak ada, lembaga-lembaga negara dan kontrol sosial
tidak bisa beroperasi secara efektif, saluran komunikasi sangat minim dan tidak ada lambang-
lambang kesatuan masyarakat. Militer paling mampu mengatasi sindrome ini karena ia bisa
memakai simbol-simbolnya untuk memerintah dan mempersatukan masyarakat dan sifat
netral yang dimilikinya serta kesanggupannya menjalin komunikasi dengan rakyat bawah
memampukan militer menjalankan kepemimpinan secara efektif. Kedua, terjadinya jurang
kelas sosial yang tajam sebagai akibat pertumbuhan ekonomi dan perubahan sosial yang
sangat cepat sehingga melahirkan jurang antara kaya dengan miskin, dimana secara
kuantitatif kaum miskin jauh lebih banyak daripada kaum kaya. Ketiga, terjadinya aksi sosial
berdasarkan kelompok-kelompok dan mobilisasi sumber-sumber materiil yang rendah.
Masyarakat terpecah belah dan hidup berdasarkan nilai-nilainya sendiri-sendiri. Program
pemerintah tidak mendapat dukungan, bahkan selalu dirong-rong sehingga selalu gagal.
Sumber materiil yang diperlukan pemerintah tidak ada. Para pengusaha berusaha tidak
membayar pajak, kaum birokrat berusaha menerima suap dan petani hanya menimbun hasil
pertaniannya.

Tentara pretorian cenderung melakukan kudeta. Kudeta adalah aksi politik untuk
menggantikan kelompok atau rejim yang menjadi saingannya dengan rejim sendiri atau rejim
lain yang mereka dominasi. Kudeta ini dilakukan bila militer merupakan kelompok yang
paling solid, paling terorganisir secara politik dan tidak ada oposisi yang kuat. Kudeta
dilaksanakan oleh aktivis politik dan kelompok politik dalam organisasi militer, perwira yang
memiliki ambisi politik dan perwira yang tidak menganggap militer sebagai profesi seumur
hidup. Korps Perwira dipolitisir oleh perwira lain yang secara politik atau ideologi terikat
dengan politisi sipil atau sipil yang minta perlindungan tentara atau karena kejadian
perjuangan anti kolonial, datangnya kemerdekaan atau kekacauan ekonomi. Kudeta militer
diorganisir oleh koalisi para aktivis politik dalam militer dan sekutu-sekutu mereka atau oleh
persekongkolan para perwira yang mendapat dukungan politik dari luar militer. Keputusan
kudeta tergantung dari kesiapan politik dan saat tepat. Ada pun kudeta ini memperoleh
legitimasinya dari sekutu-sekutu militer dan orang-orang yang sealiran dengan oposisi rejim
lama serta dari orang-orang yang tidak senang terhadap rejim lama dan para oportunis.

Tentara menjadi pretorian bila segelintir perwira militer berhasil menggerakkan tentara
karena politik. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, tentara pretorian menjadi tentara
penguasa dengan mendirikan lembaga eksekutif independen dan organisasi politik untuk
mendominasi masyarakat dan politik. Dalam bentuknya yang kurang ekstrim, tentara
pretorian menjadi tentara arbitrator dengan tidak memiliki organisasi politik dan tidak
berminat menciptakan ideologi politik.

Ada pun ciri tipe tentara arbitrator ini meliputi penerimaan atas tata sosial yang ada
dan tidak mengadakan perubahan fundamental di dalam rejim. Tentara ini juga berorientasi
kepada sipil dan ingin agar keadaan segera normal sehingga mereka bisa kembali ke barak.
Mereka tidak memiliki memiliki organisasi politik yang independen dan tidak berusaha
memaksimalkan pemerintahan militer, bahkan membatasi waktu pemerintahan militer untuk
kemudian menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sipil agar bisa segera memusatkan
perhatian kepada profesionalisme militernya. Mereka cenderung beroperasi di belakang layar
sebagai kelompok penekan dan sangat takut akan aksi balasan dari sipil.

Ciri-ciri tipe tentara penguasa meliputi penolakan atas orde yang berlaku dan
menentang keabsahannya, tidak percaya pada pemerintahan sipil dan tidak mau kembali ke
barak, memiliki organisasi politik dan cenderung memaksimalkan kekuasaan tentara, politik
lebih penting daripada profesionalisme militer, beroperasi secara terbuka dan tidak takut pada
aksi balasan dari sipil.

Kritik Atas Isi Buku.

Pembahasan Amos Perlmutter mengenai militer dan politik bertolak dari pembatasan
pembahasan militer hanya pada golongan perwira. Perwira di sini yang disoroti utamanya
adalah perwira staf yang membuat perencanaan. Mereka ini berpangkat kapten sampai
kolonel sehingga keinginan politiknya tidak sebanding dengan pangkatnya. Dengan titik tolak
ini, Amos telah membuat sebuah kekeliruan besar dalam hal metode. Kekeliruan metode ini
dimulai dari pertama, kekeliruan asumsi yang ditetapkan yaitu bahwa kudeta hanya bisa
dilakukan oleh perwira. Fakta sejarah menunjukkan bahwa ada beberapa negara yang kudeta
militernya dipimpin oleh seorang bintara. Fakta empirik di Indonesia, bintara dan tamtama
adalah unsur pelaksana, yang justru memegang kendali gudang munisi dan senjata serta
memiliki esprit d’accord yang sangat tinggi di antara mereka daripada korps perwira.
Bintara-bintara dilatih agar mampu memimpin pasukan setingkat regu (10 orang) dan bintara
serta tamtama sudah banyak yang berpendidikan strata satu. Kasus tembak menembak di
Binjai beberapa tahun lalu yang meluluh-lantakkan instalasi polri dan menewaskan beberapa
perwira dan bintara polri dipimpin oleh seorang prajurit berpangkat kopral. Bila kopral ini
menggerakkan pasukan lebih jauh untuk melakukan kudeta, sangatlah mungkin kudeta itu
terjadi. Jadi, tidak benar bahwa kudeta harus selalu dipimpin perwira. Semua prajurit bisa
memimpin kudeta dengan segala motivasinya. Kedua, keinginan militer melakukan kudeta
tidak semata-mata selalu berasal dari faktor ekstern militer. Faktor intern militer misalnya
gaji yang tidak memadai sehingga tidak dapat hidup secara layak juga bisa menjadi faktor
pemicu kudeta. Faktor ekstern seperti lemahnya pemerintahan, kemiskinan yang merajalela
kadang-kadang hanya menjadi casus belli saja dari faktor intern prajurit. Dalam hal ini, teori
agregat psikologis dari Ted Gurr bisa digunakan sebagai penjelasannya.

Sumbangan pemikiran Amos Perlmutter adalah perumusannya mengenai profesionalisme


prajurit yaitu keahlian, pertautan, korporatisme, ideologi. Dengan perumusan ini Amos
mengingatkan bahwa profesionalisme prajurit harus ditempatkan dalam kerangka tugas
pokok militer yaitu perang melawan musuh yang akan menyerang negara. Karena tugas ini
bertaruh nyawa, maka profesionalisme harus mencakup segi batiniah yaitu komitmen untuk
menjadikan militer sebagai profesinya yang sangat dicintai (ideologi) dan segi lahiriah yaitu
keahlian militer untuk memenangkan perang. Sarana profesionalisme adalah pendidikan,
latihan dan kenaikan pangkat berdasarkan prestasi. Oleh karena itu keterlibatan militer dalam
dunia politik sama artinya mengkhianati profesionalisme militer.

Anda mungkin juga menyukai