Anda di halaman 1dari 16

NILAI-NILAI MEMBANGSA-NEGARA

Oleh : DR. Anhar Gonggong


Tenaga Professional Bidang Sosial Budaya
Lemhannas RI

1. Pendahuluan : Perubahan-perubahan Nilai-Nilai Semenjak dan Menjadi


Bangsa-Negara
Apa yang coba dijelaskan pada kesempatan ini adalah nilai-nilai yang terkait
dengan periode-periode kesejarahan bangsa-negara, yaitu yang disepakati menjadi
Indonesia  bangsa Indonesia dan negara Indonesia! Nilai-nilai yang dimaksud telah
mengalami perubahan; dalam arti setiap periode memiliki nilai-nilai yang menjadi
pegangan-anutan dalam masyarakat pada periodenya tersebut. Perubahan yang
dimaksudkan adalah keadaan yang berubah, yang berbeda dengan keadaan sebelum
perubahan terjadi. Nilai-nilai yang menjadi pegangan hidup bersama masyarakat dalam
era Nusantara, sebelum datangnya bangsa Belanda, berbeda dengan keadaan setelah
bangsa Belanda datang dan membentuk perusahaan dagang Vereenigde Oostindische
Compagnie (VOC). Ketika Belanda/VOC berhasil mengembangkan kekuasaannya,
berkembang pula nilai-nilai yang berbeda dalam masyarakat. Demikianlah selanjutnya,
sampai pada periode di era kemerdekaan bangsa-negara Indonesia, sampai sekarang.
Untuk memahami diri kita di era dewasa ini, perubahan-perubahan yang terjadi itu
amat berguna dan penting untuk diketahui secara seksama, karena kalau kita tidak
mengetahui perjalanan perubahan itu, maka dengan sendirinya akan terjadi
pendangkalan pemahaman terhadap diri kita sebagai bangsa-negara yang bertegak
karena dibentuk secara bersama dan karena adanya kehendak bersama untuk
mengada-ciptakannya.

2. Dari Nusantara ke Periode VOC-Belanda


Dalam konteks waktu sekarang, istilah Nusantara diartikan sebagai sebutan
(nama) bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia, sebagaimana yang dijelaskan di
dalam Kamus Besar bahasa Indonesia (KBBI) terbitan Balai Pustaka, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, cetakan ke-2, 1993, hal.695. Untuk mendapatkan
pengetahuan yang lebih luas tentang istilah Nusantara ini, sangat berguna untuk
mengutip keterangan yang diberikan oleh Prof. A.B. Lapian, dalam pidato
pengukuhannya sebagai Guru Besar Sejarah di Universitas Indonesia, yang
menyatakan :
“Istilah Nusantara yang sudah ditemukan dalam beberapa naskah kuno,
mula-mula dalam Nagarakertagama dan demikian pula dalam naskah yang lebih
belakangan, seperti Kidung Sunda, digunakan untuk menyebut pulau-pulau di luar
Pulau Jawa : sebuah ungkapan yang terdiri dari kata Jawa kuno nusa (pulau) dan
antara (lain). jadi yang dimaksudkan adalah pulau-pulau lain. akan tetapi sebelum
Perang Dunia II, nama ini diperluas artinya dan mencakup seluruh kepulauan
Indonesia.” (hal.i)

1
Gambar 1
Pengertian Istilah Nusantara Menurut Prof. A.B. Lapian

NUSANTARA

Dalam Pergerakan Kebangsaan


sebelum Perang Dunia II 
Di dalam naskah-naskah kuno
pengertiannya diperluas
diartikan pulau-pulau lain  di
luar pulau Jawa mencakup seluruh kepulauan
Indonesia

Dikatakan selanjutnya,
“Barangkali dalam hal ini kata antara, kini telah dipahami dalam arti lainnya,
yaitu ruang atau jarak, di sela-sela dua benda, paham sebagaimana juga diartikan
dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Dengan demikian, beberapa tokoh
pergerakan, terutama Ki Hajar Dewantara, menggunakan Nusantara sebagai
sinonim untuk seluruh kepulauan, termasuk pula pulau Jawa, sehingga sekarang
kata ini telah masuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan diartikan pula
sebagai sinonim kepulauan Indonesia.” (hal.1-2)

Istilah Nusantara ini dalam perkembangannya kemudian, telah menjadi judul buku
sejarah yang ditulis oleh seorang sejarawan bangsa Belanda, Vlekke. Judul buku
sejarawan asing itu ialah B.H.M. Vlekke, Nusantara. A History of the East Indian
Archipelago, Cambridge, Mass, Harvard University Press, 1943, passim.
Dilihat dengan situasi kesejarahan di wilayah Nusantara pada ribuan tahun yang
lampau, terdapat sekian banyak kerajaan. Dalam kaitan berapa banyak kerajaan yang
terdapat di Nusantara/Indonesia pada waktu itu, seorang ahli antropologi-ahli Indonesia,
Clifford Geertz, di dalam bukunya, Negara Teater, Benteng, Yogyakarta, 2000,
menyatakan : ....., tetapi jumlahnya pasti mencapai ratusan, dan mungkin ribuan.
(hal.5). Geertz selanjutnya menerangkan :
“Sejak masa dituliskannya prasasti Sansekerta pada paro pertama abad
kelima dan seterusnya, kerajaan-kerajaan dengan berbagai dimensi dan daya
tahan bangkit, bercaturan, berperang, dan runtuh dalam arus yang semakin besar.
Nama-nama yang tersohor—Mataram, Syailendra, Sriwijaya, Melayu, Singasari,
Kediri, Madjapahit, dan setelah datangnya Islam, Demak, Banten, Aceh, Makassar,
dan Mataram baru—hanyalah sebagai peserta yang sohor dalam suatu proses
kebangkitan dan kejatuhan negara yang terus berlangsung dan hanya berakhir
dengan dominasi Belanda yang di sebagian Nusantara, baru terjadi di abad ini.”
(hal.6)

2
Kerajaan-kerajaan di Nusantara telah lama bersentuhan dengan “penjelajah”
bangsa asing, seperti Portugis, Belanda, dan Inggris. Penjelajah Portugis misalnya,
pada masa lalu pernah bersentuhan, bahkan berperang dengan kerajaan Ternate di
bawah Sultan Ba’abullah. Selanjutnya, bangsa Belanda, dan kemudian bangsa Inggris,
dalam abad 19. Tetapi, di antara bangsa-bangsa asing tersebut, bangsa Belandalah
yang paling lama bersentuhan dengan warga Nusantara, yaitu ketika bangsa asing ini
berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Untuk menguasai perdagangan di
Nusantara itulah, para pedagang besar bangsa Belanda mendirikan perusahaan
dagang, VOC, pada 1602. VOC, yang oleh pemerintah Belanda diperkenankan
menggunakan kekuatan bersenjata dalam melakukan kegiatan dagangnya, melakukan
usaha perdagangan, membangun kantor dan benteng-benteng. Pada mulanya
dilakukan di Maluku, tetapi karena strategi dalam persaingan, Gubernur Jenderal Jan
Pieterszoon Coen memindahkannya ke Jakarta pada 1609. Dengan demikian, dua
peradaban dengan nilainya masing-masing bertemu. Kerajaan-kerajaan Nusantara
yang didatangi oleh petugas-petugas VOC berbangsa Belanda, tentu saja menjalankan
kehidupan bersamanya dalam kerajaannya masing-masing dengan sistem
feodalismenya masing-masing. Kerajaan-kerajaan pribumi dipimpin oleh seorang raja
dengan kekuasaan otoriter-feodalistik yang berkuasa penuh secara diktatorial.
Demikian pula penguasa-penguasa pada tingkat kabupaten/kadipaten, bupati-bupatinya
pun berkuasa secara otoriter-diktatorial.
Sementara itu, VOC melakukan kegiatannya dan menciptakan sistem pengaturan
kehidupan untuk membangun kekuasaannya, yaitu kekuasaan kolonialisme. Secara
berangsur, VOC melakukan penaklukkan-penaklukkan terhadap kerajaan-kerajaan
pribumi-tradisional dalam rangka mempertahankan dan meluaskan wilayah kekuasaan
ekonominya. Sistem kolonialisme yang pada akhirnya berkembang dari usaha dalam
bidang ekonomi untuk mendapatkan keuntungan material-keuangan. Agar keuntungan
di bidang ekonomi itu dapat dipertahankan, maka penguasaan wilayah dan politik
dilakukan pula secara berangsur-angsur. Dalam kaitan itulah, sistem kekuasaan
kolonialisme mengembangkan kekuasaannya dalam penguasaan wilayah dan politik
sebagai cara untuk mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan ekonominya.

3. Sistem Kekuasaan Feodalisme Pribumi dan Sistem Kolonialisme VOC-


Belanda
Sejak berkembangnya kekuasaan kolonialisme melalui kegiatan usaha dagang
bangsa Belanda /VOC, dengan cara penguasaan penaklukkan wilayah, maka dua
sistem kekuasaan “bertemu”, yaitu sistem kekuasaan feodalisme pribumi dan sistem
kekuasaan kolonialisme yang dikembangkan oleh Belanda/VOC. Kedua sistem ini tentu
mempunyai perbedaan nilai dalam mengatur dan mempertahankan kekuasaannya.
Sistem kekuasaan pribumi anak negeri telah berkembang dalam proses waktu yang
panjang dengan tradisi-tradisi yang dijalankan dalam jarak waktu yang lama, ratusan,
bahkan mungkin “ribuan” tahun yang lalu. Sistem mereka tentu saja feodalistik dengan
kekuasaan absolut yang dijalankan oleh raja/sultan bersama lingkungan keluarga atau
pihak-pihak yang dipercaya dengan jabatan-jabatan masing-masing. Dalam sistem
3
pemerintahan feodalisme itu, tatanan masyarakat bersifat berjenjang/berstrata dengan
jenjang tertinggi, di puncak kekuasaan, duduklah raja/sultan bersama keluarganya, para
bangsawan, golongan agama, pedagang, dan rakyat kebanyakan.

Gambar 2
Tatanan masyarakat Indonesia Pada Masa Sistem Pemerintahan Feodal

RAJA/ SULTAN

BANGSAWAN

PEMUKA AGAMA

PEDAGANG

RAKYAT KEBANYAKAN

Dalam menjalankan pemerintahannya, tentu raja/sultan dan masing-masing


kerajaan mempunyai susunan pemerintahan masing-masing. Setiap kerajaan juga
mempunyai peraturannya sendiri-sendiri, dan dijalankan sesuai dengan tradisi mereka
masing-masing. Misalnya dalam hal pergantian raja/ratu/sultan dari kerajaan yang
bersangkutan. Ada kerajaan—dan ini tampaknya berlaku sebagian besar kerajaan—
yang pergantian raja/ratu/sultannya ditentukan bahwa raja digantikan oleh anak tertua
atau saudara tertua jika raja yang akan diganti itu tidak mempunyai anak. Selanjutnya,
ada kerajaan yang raja/sultannya harus laki-laki. Namun, di kerajaan lain, takhta
tertinggi berhak juga diduduki oleh perempuan, tetapi ratu yang diangkat pun juga harus
anak tertua.
Ketika VOC/Belanda membangun kekuasaan kolonialismenya, kekuasaan yang
dibangunnya juga otoriter-diktatorial. Jadi, “sama” dengan sistem kekuasaan feodalisme
anak negeri. Kekuasaannya di tingkat nasional yang berpusat di Batavia ialah Gubernur
Jenderal, sedang pada tingkat propinsi diangkat seorang gubernur.; di daerah ada
resident, asisten residen, wedana, asisten wedana, dan lain-lain. Walaupun ada
susunan pemerintahan seperti di atas, itu semua jabatan-jabatan untuk pemerintah
kolonial di dalam wilayah koloninya. Sementara, kekuasaan tradisional di kerajaan tetap
dipertahankan, tetapi tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal
menjalankan pemerintahan yang mengatur kehidupan rakyat di wilayah kerajaan,
pemerintah kolonial tetap menyerahkan kepada raja, dan/atau bupati setempat. Dalam
kaitan pada kegiatan ekonomi yang langsung dengan rakyat, VOC/Belanda
menggunakan warga Tionghoa sebagai perantara.

4
Dari keterangan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa selama VOC/Belanda
menjajah bangsa-wilayah Nederlandsch-indie, sistem pemerintahan dijalankan secara
tidak langsung! Kalau demikian, maka warga pribumi dikuasai/diperintah dengan dua
sistem otoriter-diktatorial, yaitu sistem pemerintahan feodalisme pribumi, yang lainnya
ialah diperintah/dikuasai sistem pemerintaha kolonialisme.

Gambar 3
Dua sistem otoriter-diktatorial Pada Masa Penjajahan VOC

NUSANTARA/ VOC --- NEDERLANDSCH-


INDIE

SISTEM FEODALISME PRIBUMI SISTEM KOLONIALISME VOC –


NEDERLANDSCH-INDIE

4. Nederlandsch-indie dan Pergerakan Nasional


VOC/Belanda yang mengembang-pertahankan kekuasaan ekonomi perdagangan
monopoli dan kekuasaan politik kolonialnya selama hampir 200 tahun, 1602-1799. VOC
akhirnya bubar, dan semua asetnya diberikan kepada pemerintah kerajaan Belanda.
Karena itu, kemudian Nusantara berubah nama menjadi Nederlandsch-indie (Hindia
Belanda). Keruntuhan VOC sebagai lembaga dagang dilatari oleh salah urus, KKN,
korupsi, yang dilakukan oleh pejabat-pejabat mereka sendiri. Kenyataan-kenyataan
buruk seperti yang disebut itu berlangsung terus sampai saat VOC dibubarkan. Dengan
pembubaran VOC itu, kerajaan Belanda melanjutkan kekuasaan resmi kolonialistik
kepada wilayah-wilayah kerajaan yang telah dikuasai oleh VOC sebelumnya.
Sebenarnya, selama hampir 200 tahun, VOC menguasai wilayah-wilayah kerajaan
di Nusantara, untuk memenuhi kebutuhannya, VOC memerlukan tenaga-tenaga pribumi
untuk membantu penguasa VOC dan pemilik perkebunan dalam menjalankan usaha
mereka; paling tidak untuk pekerjaan-pekerjaan rendahan, tetapi memerlukan
pengetahuan tertentu. Untuk memenuhi kebutuhannya itu, VOC dan pemilik
perkebunan memerlukan untuk memberikan pendidikan tertentu kepada warga pribumi
yang nanti akan dipekerjakan. Pengusaha perkebunan misalnya, memerlukan tenaga-
tenaga pribumi untuk mencatat keperluan tertentu, misalnya berat barang yang
ditimbang, mengantar surat administrasi antar perkebunan, atau instansi tertentu. Untuk
melakukan tugas-tugas itu, seorang pribumi harus mempunyai latar belakang
pendidikan tingkat rendah. Dalam kaitan itu, pemerintah kemudian membuka lembaga
pendidikan tingkat rendah selama dua tahun, sekolah ongko loro, pendidikan dua tahun

5
yang memungkinkan seorang murid keluaran sekolah itu sudah dapat membaca hal-hal
sederhana, seperti contoh di atas.
Kebutuhan pemerintah kolonial dan pengusaha kolonial makin hari makin
meningkat. Itu berarti kebutuhannya terhadap warga pribumi yang berpendidikan untuk
bidang-bidang tertentu juga semakin besar. Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial
kemudian mencetuskan apa yang dikenal dengan politik etis. Tuntutan untuk
melaksanakan politik etis ini merupakan usaha dari sejumlah politikus Belanda yang
“beraliran liberal” yang berusaha untuk “mengurangi” beban moral mereka selama
penjajahan bangsanya terhadap warga pribumi Nederlandsch-indie, yang tidak pernah
mendapat perhatian perbaikan keadaan kehidupannya. Tiga hal utama yang mendapat
perhatian melalui politik etis itu, yaitu kolonisasi (transmigrasi), irigasi, dan edukasi
(pendidikan). Di antara ketiga hal yang dimaksud itu, pendidikan—dalam
perkembangannya kemudian—juga memang menjadi kebutuhan pemerintah kolonial
untuk menjalankan pemerintahan kolonialnya. Demikian pula tingkat pendidian yang
dibuka, juga semakin tinggi; tidak hanya tingkat rendah, bahkan juga sekolah
menengah—pertama dan atas—dan bahkan juga sekolah tinggi. Pemerintah kolonial
membuka sekolah kedokteran (STOVIA) di Jakarta, dan sekolah teknik tinggi (sekarang
Institut Teknologi Bandung/ITB). Dengan adanya lembaga-lembaga pendidikan yang
dibangun oleh pemerintahkolonial itu, lahirlah sejumlah warga pribumi Nederlandsch-
indie yang terdidik-tercerahkan dan tampil ke depan sesama warganya untuk bergerak
ke depan sejarah, guna mengubah nasibnya, dari warga tertindas-dihinakan untuk
menjadi manusia merdeka yang berharkat-kemanusiaan sebagaimana yang dimiliki
oleh bangsa Belanda yang menjajah mereka. Untuk mewujudkan harapan hari
depannya itu, mereka kemudian menciptakan strategi baru yang berbeda dengan
strategi perlawanan yang selama ini—dari abad 17, 18, 19—dalam bentuk strategi otot,
kekuatan fisik menjadi strategi otak-rasional. Mereka, warga terdidik-tercerahkan ini
tidak menggunakan senjata-senjata fisik, melainkan senjata-senjata yang bertumpu
pada kemampuan otak-rasional, yang berupa :
Gambar 4
Ciri Strategi Perlawanan Warga Pribumi Nederlandsch-Indie Pada Abad 20

PERGERAKAN NASIONAL

SENJATA PERLAWANAN :
ORGANISASI
DARI STRATEGI OTOT KE STRATEGI OTAK-RASIONAL IDEOLOGI
MEDIA MASSA
DIALOG

Diawali dengan terbentuknya organisasi pendidikan-kebudayaan yang lebih


“bersifat etnis Jawa”, Boedi Oetomo, 1908, kemudian menyusullah organisasi lainnya
dengan ideologi masing-masing, seperti Indische Partij yang dibentuk oleh tiga

6
serangkai Douwes Dekker—seorang Belanda, dr. Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi
Suryaningrat (kemudian dikenal sebagai Ki Hajar Dewantara).
Selanjutnya, pemimpin-pemimpin Islam—yang berawal dari ide pedagang-
pedagang batik di Solo yang dipimpin oleh Haji Samanhudi—mendirikan Sarekat Islam
(1912), yang lebih berkembang sebagai kekuatan politik di bawah kepemimpinan H.
Oemar Said Tjokroaminoto, sejak 1913. Kemudian juga lahir Partai Komunis Indonesia
(PKI) pada 1920, yang sebagian dari pemimpinnya adalah tokoh-tokoh Sarekat Islam
(SI).
Setelah terjadi pelbagai bentuk perlawanan dan sikap dari pemerintah kolonial
Belanda, maka Indische Partij dianggan radikal, menentang pemerintah. Para
pemimpinnya ditangkap dan dibuang antara lain ke negeri Belanda. Pada tahun
1926/1927, PKI melakukan pemberontakan di sekitar Jakarta/Banten dan di
Silungkang, Sumatera Barat. Pemberontakan PKI ini dengan cepat dapat ditumpas,
baik di Jakarta/Banten maupun di Silungkang. Sebagian besar pemimpinnya dibuang
ke Digul. Sarekat Islam, walau tidak dibubarkan, tetapi tidak dapat melakukan
gerakanhya dengan baik, karena pemerintah kolonial juga mencurigai SI dan
pimpinannya, Tjokroaminoto.
Di tengah situasi yang serba tidak menentu itu, Soekarno (kemudian bergelar
insinyur, Ir.) tampil ke arena politik pergerakan dengan membentuk Partai Nasional
Indonesia (PNI) pada 1927. Dalam pembentukan PNI, Soekarno dibantu oleh tokoh-
tokoh dari Perhimpunan Indonesia (organisasi pemuda/mahasiswa Indonesia di negeri
Belanda) seperti Mr. Ali Sastroamijoyo, Mr. Sunaryo, dan Drs. Moh. Hatta yang masih di
negeri Belanda. Mereka memberi dukungan penuh, dan mereka yang sudah menjadi
sarjana menjadi pengurus dan pemimpin terkemuka PNI. Sejak awal terbentuknya, PNI
sudah mendapatkan pengawasan yang sangat ketat karena memang sejak awal pula,
PNI telah mengambil sikap non-kooperasi, tidak mau bekerjasama dengan pemerintah
kolonial. Karena itu, dalam melakukan kegiatannya, pemimpin-pemimpin PNI mendapat
pengawasan yang sangat ketat. Bahkan kemudian, karena dianggap membahayakan
pemerintah kolonial, pada akhir 1929, Ir. Soekarno ditangkap oleh pemerintah kolonial
dan dipenjarakan di penjara Sukamiskin, Bandung. Sementara itu, di negeri Belanda.
Moh. Hatta justru lebih dulu ditangkap oleh pemerintah kerajaan Belanda. Hatta
kemudian diadili oleh Mahkamah Belanda di Den Haag pada Maret, 1928. Pidato
pembelaannya diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul : Indonesia Merdeka.
Kemudian Ir. Soekarno diadili di Landraad, Bandung pada 1930 dan pembelaannya
diterbitkan dengan judul Indonesia Menggugat.
Demikianlah, Pergerakan Nasional sejak 1908 sampai dengan datangnya
pasukan pendudukan Jepang pada 1942, para pemimpin pergerakan menghadapi
situasi dinamika di Nederlandsch-indie (Indonesia) dengan segala akibatnya. Para
pemimpin pergerakan nasional itu berhasil merumus-ciptakan pelbagai hal konkrit yang
menjadi landasan untuk membangun kehidupan bersama. Hasil dari para pemimpin
pergerakan itu, antara lain :

7
1. Menciptakan kesadaran baru di dalam masyarakat bangsa terjajah untuk
bersama-sama mengubah keadaan hidup (nasib) mereka dari manusia
terjajah menuju dan menjadi manusia (bangsa) merdeka.
2. Merumuskan nama baru untuk sebutan diri mereka secara bersama :
Indonesia.
3. Menciptakan semangat persatuan dari warga etnik yang banyak menjadi satu-
bersatu di dalam simbol nama : Indonesia.
4. Menciptakan kesepakatan untuk membangun pemerintahan dan bangsa-
negara yang berlandaskan pada demokrasi.
Dengan berpegang pada hal-hal tersebut di atas, ketika pemerintah pendudukan
fasisme Jepang menduduki wilayah Nederlandsch-indie, maka sebagian dari pemimpin
pergerakan itu, bersedia dan harus bekerjasama dengan pemerintah fasisme Jepang
itu, termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Namun, terdapat juga sejumlah
pemimpin yang bergerak di bawah tanah dan tidak bersedia bekerjasama dengan
pemerintah fasisme Jepang. Mereka ini sering disebut sebagai pemimpin golongan
muda, antara lain Sutan Syahrir dan Amir Syarifuddin. Dalam menjalankan
pemerintahan otoriter fasistisnya, Jepang melarang semua organisasi politik dan
organisasi massa, terkecuali organisasi Islam Masyumi. Dalam menghadapi pemerintah
dan pasukan Sekutu (Amerika Serikat, Inggris, dll) pemerintah/pasukan fasisme
(Jerman, Italia, dan Jepang) secara berangsur mengalami kekalahan.
Dalam situasi itu, pada pertengahan tahun 1945—menjelang kekalahannya—
pemerintah fasisme Jepang di Asia Tenggara mendekati pemimpin-pemimpin Indonesia
di Jawa dan Sumatera, dan membentuk Dokuritsu Zyunbi Tyosakai atau Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang oleh Mr. Muhammad
Yamin disebut sebagai Badan Konstituante pertama, dengan anggota-anggota yang
terdiri dari pelbagai golongan, aliran pemikiran, terkecuali golongan komunis, dengan
ketuanya, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, seorang tokoh tua dari Boedi Oetomo,
pemimpin-pemimpin terkemuka yang ditunjuk sebagai anggota lembaga yang diberi
tugas untuk membicarakan perangkat-perangkat atau hal-hal apa yang diperlukan
untuk mengatur bangsa Indonesia, jika kelak Indonesia merdeka!
BPUPKI melakukan persidangannya, oleh ketuanya, Dr. K.R.T. Radjiman
Wedyodiningratdiarahkan untuk menjawab pertanyaan kalau kelak Indonesia merdeka,
dasar negaranya apa? Pembicaraan tentang hal ini terbagi dalam dua sessi, sessi
pertama, 29 Mei – 1 Juni 1945. Pada sessi ini berbicara beberapa anggota, antara lain
Prof. Dr. Soepomo, yang antara lain mengajukan ide manunggaling kaulo gusti, atau
meninjau filosof Spinoza, integralistik. Pada hari terakhir sessi pertama itu, tampillah
anggota Ir. Soekarno berbicara dan beliau memberikan keterangan tentang apa
sebenarnya maksud dari permintaan ketua BPUPKI untuk dibicarakan. Anggota
terkemuka ini menyatakan bahwa yang diminta oleh ketua untuk dibicarakan dan
dirumuskan ialah dasar, weltanschauung, philosofische principe. Singkatnya, akhirny—
setelah menerangkan apa yang dimaksud dengan kemerdekaan, dan dasar yang
diajukannya satu persatu, beliau mengajukan lima dasar negara yang diberi nama :

8
Pancasila. Pidato beliau ini diterbitkan untuk pertama kalinya pada 1946, dengan judul :
Lahirnya Pancasila.

5. Indonesia Merdeka : 1945 – Sekarang


Menjelang kejatuhan-kekalahannya, pemerintah pendudukan Jepang di Asia
Tenggara memanggil Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat ke Dalat,
Vietnam, untuk berkonsultasi. Ternyata yang terjadi ialah pemerintah Jepang mengganti
BPUPKI dengan lembaga baru, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
dengan menunjuk Ir. Soekarno sebagai ketua dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua.
Setelah mereka pulang ke Jakarta, singkatnya, beberapa waktu kemudian, 15 Agustus
1945, setelah Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom oleh Amerika Serikat, Tenno
Heika menyatakan takluk kepada Sekutu yang diwakili oleh pimpinan pasukan Sekutu
di Asia, Jenderal Mc Arthur, di Tokyo. Dengan demikian, pemerintah pendudukan
Jepang tidak mempunyai kekuasaan lagi di wilayah jajahannya, dan mereka hanya
bertugas untuk menjaga ketertiban dan keamanan di wilayah bersangkutan, termasuk
di wilayah Indonesia.
Dengan keadaan seperti itu, di Indonesia terjadi vacuum kekuasaan, karena
pemerintah pendudukan Jepang tidak dapat lagi menjalankan pemerintahan sebagai
penguasa Indonesia. Di tengah situasi yang demikian, antara 15-16 Agustus 1945,
terjadi ketegangan di antara pemimpin bangsa Indonesia, karena terjadi “konflik”
penentuan hari pernyataan kemerdekaan. Konflik akhirnya dapat diselesaikan, dan para
pemimpin bangsa Indonesia yang berkumpul di rumah dinas Kepala Perwakilan
Angkatan Laut Jepang di Jakarta, Laksamana Maeda, sepakat, untuk menyatakan
kemerdekaan bangsa Indonesia.
Pada 17 Agustus 1945 jam 10 pagi, Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia
dilakukan di halaman depan rumah pribadi ketua PPKI, Ir. Soekarno. Demikianlah, 17
Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya, yang diucapkan
oleh Ir. Soekarno. Naskah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia itu diketik oleh
Sayuti Melik dan ditandatangani oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta, atas nama
bangsa Indonesia. Keesokan harinya, sabtu, 18 Agustus 1945, PPKI bersidang dan
memutuskan beberapa hal penting yang menentukan ditegakkannya negara Republik
Indonesia. Keputusan-keputusan sidang PPKI tertanggal 18 Agustus 1945 itu ialah (1)
mensahkan Pembukaan UUD negara yang di dalamnya terdapat visi bangsa-negara
Indonesiamerdeka, yang di dalamnya juga tercantum butir-butir yang disepakati
sebagai butir-butir Pancasila—walau istilah Pancasila tidak disebutkan—sebagai dasar
dan tujuan negara Republik Indonesia, NKRI; (2) memilihPresiden dan Wakil Presiden
Republik Indonesia. Atas interupsi dari anggota PPKI, Otto Iskandardinata dan diterima
oleh sidang, terpilihlah Ir. Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia dan Drs. Moh.
Hatta sebagai Wakip Presiden Republik Indonesia; (3) menentukan pembagian wilayah
negara, yang terdiri dari 8 propinsi, beserta gubernur dari masing-masing propinsi yang
disepakati itu.

9
Demikianlah, 17 Agustus 1945, sebuah bangsa—bangsa Indonesia—telah
menyatakan diri sebagai bangsa merdeka dan tidak lagi dijajah oleh bangsa manapun,
terutama tidak lagi menjadi bangsa jajahan Belanda dan Jepang. Keeseokan harinya,
18 Agustus 1945, bangsa Indonesia yang merdeka ini membentuk-tegakkan sebuah
negara merdeka dengan nama : Negara Kesatuan Republik Indonesia, NKRI.
Tentu saja pernyataan proklamasi kemerdekaan bangsa-negara Indonesia itu
tersebar ke seluruh penjuru dunia, dan dengan sendirinya pemerintah pelarian Belanda
yang mengungsi ke Inggris dan Australia mendengarnya pula. Van Mook yang
berkedudukan sebagai Letnan Gubernur Jenderal Belanda untuk nederlandsch-indie
yang lari menyingkir ke Australia setelah Jepang menduduki Nederlandsch-indie,
segera menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia itu tidak sah dan dianggap tidak
pernah ada, karena kemerdekaan itu hanyalah “buatan Jepang”. Karena itu, seluruh
wilayah NKRI yang dinyatakan merdeka itu, tetap merupakan kepunyaan kolonialis
Belanda. Sebuah “angan-angan kolonialis” yang tidak masuk akal. Sebab, sejak
pemerintah Nederlandsch-indie menyerah tanpa syarat kepada Jepang, maka
sebenarnya, sejak saat itu, runtuh dan berakhir pulalah kekuasaan kolonialis Belanda di
wilayah Indonesia.
Tetapi dasar angan-angan kolonialis yang tetap terobsesi untuk mewujudkan
kekuasaan kolonialismenya, pemerintah dan bangsa Belanda tetap berusaha
memaksakan kehendak untuk kembali ke wilayah jajahannya yang—waktu itu—
memang kaya dengan pelbagai potensi hasil alam dan tambangnya. Dengan
pernyataan kemerdekaan bangsa-negara Indonesia, bangsa Belanda tidak hanya
kehilangan wilayah jajahan berupa wilayah yang sangat strategis, melainkan terutama
karena Belanda kehilangan kehormatannya sebagai bangsa kolonialis. Selain itu juga,
Belanda kehilangan sumber ekonomi-keuangan yang kaya yang selama ini
memberikan sumbangan ekonomi-keuangan yang sangat banyak.
Dengan alasan itu—yang tentu saja tidak dinyatakannya secara terbuka—
pemerintah Belanda menggunakan segala cara untuk mengembalikan kekuasaan
kolonialisnya dintengah-tengah bangsa-negara Indonesia yang merdeka. Dalam
usahanya itu, pemerintah/bangsa Belanda mendapat dukungan dari negara-negara
Sekutunya, seperti Australia dan Inggris. Bahkan, untuk mewujudkan tujuan
kolonialismenya itu, pemerintah kerajaan Belanda menggunakan kekuatan senjata
untuk memaksa bangsa Indonesia merdeka menerima kehendak kolonialnya itu.
Tentu saja para pemimpin bangsa-negara Indonesia yang telah membentuk
pemerintahan negara menolak kehendak kolonialisme Belanda itu. Dengan situasi yang
demikian itu, dua pihak berhadapan dengan sikap dan kehendak yang berbeda, dan
tampak tidak dapat dengan mudah dipertemukan.ujung akhirnya adalah perang.
Belanda memaksakan perang untuk mewujudkan tujuan kolonialnya, sebaliknya,
bangsa Indonesia menerima pemaksaan perang itu dalam sikap untuk
mempertahankan hak kemerdekaan kebangsaannya!
Perang itu berlangsung dalam jarak waktu 1945-1949. Sejarawan Indonesia
menyebut periode itu sebagai Perang Mempertahankan Kemerdekaan, kemerdekaan

10
bangsa-negara Indonesia.perang itu berlangsung “di seluruh wilayah Indonesia”.
Perlawanan bangsa Indonesia, tidak hanya di Jawa—sebagaimana sering digambarkan
oleh sementara pihak—melainkan di seluruh wilayah negara republik. Perang memang
berawal di Jawa, di Surabaya, Jawa Timur pada 10 November 1945. Peristiwa ini
(perang Surabaya), 10 November, kemudian dijadikan sebagai hari resmi yang
diperingati dengan nama Hari Pahlawan. Tenti saja perang selalu melahirkan tragedi-
tragedi kemanusiaan, baik karena kekejaman maupun karena korban yang jatuh.
Demikian pula dengan Perang Mempertahankan Kemerdekaan yang berlangsung
selama ± 4 tahun itu. Sekedar contoh, pada akhir 1946 dan awal 1947, pasukan
Belanda melakukan kegiatan “pembersihan” terhadap rakyat Sulawesi Selatan, yang
dipimpin oleh Kapten Westerling. Sampai dengan tahun 1970-an, rakyat Sulawesi
Selatan—terutama pejuang-pejuang dan keluarganya—menyatakan bahwa yang
dibunuh secara kejam oleh Westerling dan pasukannya disebutkan dengan jumlah
simbolis, korban 40.000 rakyat Sulawesi Selatan.
Gambar 5
periode Perang Mempertahankan Kemerdekaan

Perang di Indonesia
1945-1949

Bangsa-negara Indonesia bertujuan


untuk mempertahankan kemerdekaan
Kerajaan/bangsa Belanda berkehendak
dan harkat diri sebagai bangsa-negara
untuk mengembalikan tujuan
merdeka. Tidak menghendaki
kolonialisnya untuk kembali menjajah
pemerintah bangsa asing di tengah-
bangsa-negara Indonesia.
tengah kehidupan bersamanya.

Singkatnya, setelah melalui liku-liku konflik antara bangsa Indonesia dengan


bangsa Belanda, karena adanya kekuatan diplomasi, akhirnya kerajaan Belanda
mengakui kedaulatan negara Republik Indonesia melalui hasil Konferensi Medja
Bundar (KMB) yang diadakan di Den Haag, negeri Belanda, pada 27 Desember 1949.
Namun demikian, yang diakui oleh pemerintah kerajaan Belanda adalah negara
Republik indonesia Serikat (RIS). Presiden RIS adalah Ir. Soekarno dengan perdana
Menteri Drs. Moh. Hatta. Perubahan bentuk negara dari NKRi menjadi RIS melahirkan
konflik di antara warga/pemimpin pendukung NKRI dan pendukung RIS. Setelah
berlangsung ± 8 bulan, 27 Desember 1949 sampai 15 Agustus 1950, maka RIS bubar
dan NKRI kembali sebagai bentuk negara yang diterima oleh pemimpin dan rakyat
bangsa-negara Indonesia.

11
Selanjutnya, sejak 1950, bangsa Indonesia mengatur negaranya dengan sistem
demokrasi liberal-parlementer dengan berdasar UUD Sementara 1950. Sebagai sebuah
negara baru merdeka, tentu saja para pemimpin bangsa-negara ini masih mencari
sistem dan cara yang mungkin dapat digunakan untuk mengatur pemerintahan dan
kehidupan bersamanya sebagai bangsa dan di dalam negara NKRI. Selama 8 tahun
dari pengakuan kedaulatan dan kembali ke NKRI serta menjalankan pemerintahan
negara dengan sistem demokrasi liberal-parlementer, tampak gejala stabilitas
pemerintahan dan keamanan dalam negeri tidak berjalan dan terwujud sebagaimana
yang diharapkan. Selama 8 tahun, 1950-1958, pemerintahan negara berganti-ganti
sejalan dengan berkembangnya dinamika sistem liberal-parlementer yang digunakan.
Sebuah kabinet tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik, karena konflik di
antara partai-partai koalisi pendukung kabinet pemerintahan. Selama 8 tahun
pemerintahan dengan sistem demokrasi liberal-parlementer, telah terjadi pergantian
kabinet sebanyak 11 kali. Ada saja permasalahan yang mendorong jatuhnya suatu
kabinet untuk kemudian digantikan dengan kabinet yang lain. dari segi keamanan, juga
terjadi pelbagai masalah yang melahirkan konflik , seperti konflik yang dilatari oleh
ideologi yang bermula dengan gerakan DI/TII oleh Krtosuwiryo di Jawa Barat, yang
melebar ke Aceh di bawah pimpinan Tengku Daud Beureuech, juga ke daerah Sulawesi
Selatan di bawah pimpinan Letkol. Abdul Qahhar Mudzakkar, dan juga ke Kalimantan
Selatan di bawah pimpinan Letnan Satu Ibnu Hajar. Terjadi juga konflik internal di dalam
tubuh Angkatan Darat, yang diawali dengan “pembangkangan” perwira-perwira
Angkatan darat di daerah, seperti di Sulawesi, dan di Sumatera yang diawali dengan
gerakan PERMESTA di Makassar pada 2 Maret 1957, yang kemudian berpindah ke
Manado/Sulawesi Utara sebagai pusat gerakannya. Selanjutnya, di Sumatera terjadi
gerakan-gerakan—Dewan Gajah, Dewan Banteng—yang dipimpin oleh perwira-perwira
seperti Letkol. Ahmad Husain, Kol. Dahlan Djambek, Kol. Simbolon, yang kemudian
melahirkan gerakan PRRI, yang di dalamnya juga termasuk pemimpin-pemimpin partai
politik seperti Syafruddin Prawiranegara, Muh. Natsir dari partai Masyumi, dan Prof. Dr.
Sumitro dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Gerakan ini dimulai pada 1958. Dalam
sejarah, kedua pembangkangan ini sering disebut dalam gabungan istilah gerakan
PRRI-PERMESTA. Dalam perkembangannya, kedua gerakan ini, bersama dengan
gerakan DI/TII, merencanakan untuk menciptakan gerakan gabungan dengan nama
Republik Persatuan Indonesia (RPI). Persoalan keamanan dan stabilitas pemerintahan
dalam periode 1950-1958 dan selanjutnya dari 1960 sampai 1965, terus berlangsung,
walaupun pemimpin-pemimpinnya ada yang ditembak mati, ada yang menyerah
kepada pemerintah NKRI.
Ketidakstabilan yang demikian itu, sangat menyulitkan pemerintah untuk
menjalankan pemerintahan negara sebagaimana seharusnya. Keadaan yang rumit
sejak 1956 itu tidak dapat diselesaikan walaupun sudah diadakan pemilu (pertama)
pada 1955 dan berlangsung dengan baik. Walaupun demikian, pemilu itu
menunjukkanbahwa rakyat pemilih terbelah-belah sehingga tidak ada partai yang
mendapat suara rakyat secara mayoritas. Pemilu pertama itu menghasilkan 4 partai
yang mendapat suara terbanyak dilihat dari jumlah kursi di dalam parlemen; yaitu PNI
57 kursi, Masyumi 57 kursi, NU 45 kursi, dan PKI 35 kursi. Sedang partai-partai lainnya

12
mendapat kursi di bawah 10 kursi. Partai Sosialis Indonesia (PSI) pimpinan Sutan
Syahrir—yang dianggap sebagai partai kader terbaik—ternyata hanya mendapat 5
kursi. Dengan demikian, pemilu 1955 yang diharapkan dapat menyelesaikan persoalan
pemerintahan negara, tidak terwujud. Keadaan semakin rumit, karena pertentangan
antara Presiden Ir. Soekarno dengan Wakil Presiden Drs. Moh. Hatta tidak dapat
diselesaikan; bahkan berujung pada pengunduran diri Drs. Moh. Hatta dari jabatannya
sebagai Wakil presiden RI.
Tampak bahwa Presiden Soekarno sangat tidak senang menghadapi dan melihat
situasi yang dianggapnya tidak sesuai dengan apa yang diperjuangkannya selama ini.
Untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan-kenegaraan yang terjadi, maka pada
1957, Presiden mengemukakan idenya yang diberi nama Konsepsi Presiden. Isi idenya
itu ialah pembentukan Dewan Nasional yang keanggotaannya terdiri dari kekuatan
politik dan golongan yang ada di masyarakat; dan pembentukan Kabinet Gotong
Royong, dimana kekuatan politik—termasuk PKI—akan menjadi anggota kabinet yang
akan dibentuk itu. Tetapi, ide Konsepsi Presiden yang digagasnya itu, tidak mendapat
sambutan sebagaimana yang diharapkannya. Ketika Presiden mengundang pemimpin-
pemimpin partai untuk dimintai pendapat tentang konsepsi Presiden itu, beberapa partai
langsung menyatakan penolakannya, seperti Masyumi yang disampaikan oleh
ketuanya, Muh. Natsir, dan partai Katolik yang disampaikan oleh ketuanya, I.J. Kasimo;
juga PSI yang disampaikan oleh ketuanya, Sutan Syahrir. Sedangkan yang
mendukungnya adalah PNI dan PKI. Dalam perkembangannya kemudian, Presiden
Soekarno kembali mengajukan gagasannya—Demokrasi Terpimpin—untuk mengganti
sistem demokrasi liberal-parlementer yang selama ini digunakan untuk mengatur
pemerintahan dan kehidupan bersama sebagai bangsa merdeka. Menurut Presiden
Soekarno, demokrasi liberal-parlementer tidak cocok untuk dijalankan di negara
Indonesia merdeka, karena hanya mementingkan demokrasi politik dan mengabaikan
demokrasi ekonomi. Hal ini sebenarnya sudah dinyatakannya sejak 1933, dan
diulanginya kembali dalam pidatonya di depan sidang BPUPKI, 1 Juni 1945, Lahirnya
Pancasila.
Untuk penerimaan gagasannya tentang Demokrasi Terpimpin itu, Presiden
Soekarno meminta kepada Kabinet Karya pimpinan Ir. Djuanda untuk
membicarakannya dalam sidang kabinet. Singkatnya, Kabinet Djuanda menerima
Demokrasi Terpimpin menggantikan sistem demokrasi liberal-parlementer. Walaupun
demikian, pelaksanaannya tidaklah mudah, karena harus mengganti UUD Sementara
1950 yang tentu saja isinya sebagian besar bertentangan dengan makna dari
Demokrasi Terpimpin gagasan Presiden Soekarno itu. Kemudian, Jenderal A.H.
Nasution , Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) mengusulkan kepada Presiden untuk
kembali memberlakukan UUD negara yang pertama yang disetujui, disahkan oleh
sidang PPKI, 18 Agustus 1945.
Singkatnya, setelah Badan Konstituante menolak menerima UUD pertama itu
sebagai UUD negara—yang kemudian setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikenal-
sebut sebagai UUD 1945—maka dengan didukung penuh oleh Angkatan Darat
bersama Angkatan Laut, Angkatan Udara, serta Kepolisian Negara, UUD 1945

13
diberlakukan kembali sebagai UUD negara. Dengan UUD 1945 itu, Presiden Soekarno
mendapat kekuatan kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan negara sebagai
Kepala Negara sekaligus sebagai Kepala Pemerintahan Negara; sistem kabinet
pemerintahannya pun adalah presidensil.
Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, demokrasi liberal-parlementer pun berakhir
dan diganti oleh sistem demokrasi gagasan Presiden Soekarno, Demokrasi Terpimpin.
dalam periode Demokrasi terpimpin, presiden bersama kekuatan pendukungnya
melakukan pelbagai perubahan dalam pemerintahan dan menjalankan pelbagai
kebijakan, sesuai dengan tafsiran kekuasaannya berdasarkan UUD 1945. Salah satu
kegiatan utama yang dilakukannya ialah kebijakan untuk mengambil wilayah Irian Barat
(sekarang propinsi Papua dan propinsi Papua Barat) menjadi bagian dari wilayah
negara Republik Indonesia, NKRI. Pimpinan untuk merebut kembali Irian Barat itu ialah
Brigadir JenderalSoeharto, sebagai Panglima Komando Mandala yang berpusat di kota
Makassar. Untuk merealisasikan tujuan merebut Irian Barat itu, diperlukan kekuatan
bersenjata, karena pemerintah kolonial Belanda tidak akan menyerahkan begitu saja
kepada Republik Indonesia. Di balik itu, negara-negara kapitalis liberal Barat, termasuk
Amerika Serikat dan Perancis, tidak bersedia memberikan bantuan kepada Indonesia,
karena meraka memberi dukungan kepada kerajaan Belanda sebagai sesama blok
Barat, lawan dari Unie Sovyet—Blok Timur yang komunis. Jadi persoalan yang tampil
ketika itu, berkaitan dengan perang ideologi, idelogi kapitalis-liberal vs ideologi Marxis-
Komunis, atau yang lebih dikenal dengan Perang Dingin.
Dengan keadaan yang demikian, pada akhirnya blok Timur—komunis yang
dipimpin oleh Unie Sovyet bersedia memberikan bantuan senjata dan pelbagai
peralatan militer, termasuk pesawat tempur, kapal perang, tank, dan persenjataan berat
lainnya. Ketika itu, 1960-1964, Republik Indonesia berkembang menjadi negara yang
memiliki kekuatan angkatan perang yang terkuat di Asia Tenggara. Hal ini berkaitan
dengan situasi, posisi Amerika Serikat di Asia Tenggara dalam kaitannya dengan
Perang Dingin. Akhirnya, Presiden kennedy mengambil inisiatif untuk menyelesaikan
permasalahan Irian Barat sebagai wilayah Republik Indonesia dengan jalan diplomasi.
Setelah melalui langkah-langkah diplomasi atas inisiatif Amerika Serikat dan
Perserikatan Bangsa-Bangsa, akhirnya Irian Barat dimasukkan ke dalam wilayah
Republik Indonesia melalui pemerintahan transisi PBB (UNTEA) pada 1962.
Keberhasilan memasukkan daerah Irian Barat ke dalam wilayah Republik,
membawa pengaruh akan daya tarik kharisma Presiden Soekarno yang semakin besar
dan kuat. Pada saat yang bersamaan, Presiden Soekarno menjalankan apa yang
disebut dengan Ganyang Malaysia, yaitu penolakannya terhadap rencana PM Tengku
Abdurrahman dari Kesultanan Malaya untuk menggabungkan wilayah Kalimantan
Inggris—tadinya Singapura termasuk, tetapi keluar dari federasi itu—menjadi satu
negara federasi dengan nama baru, Malaysia. Soekarno, yang mendapat dukungan
dari Jenderal nasution dan Angkatan Perang, mencanangkan sikap menentang dengan
mengumumkan apa yang disebut dengan Dwi Komando Rakyat.
Dalam periode Demokrasi Terpimpin, 1959-1965, Presiden Soekarno
mencanangkan pula beberapa istilah yang berkaitan dengan ideologi yang dikaitkan
14
dengn tujuan mencapai masyarakat adil dan makmur berdasar pancasila. Dua istilah
ideologis yang sangat “laris” ketika itu, yakni NASAKOM (Nasionalis yang simbolis
diwakili PNI, Agama yang simbolis diwakili oleh Partai NU, dan Komunis yang simbolis
diwakili PKI), dan sosialisme Indonesia. Untuk menunjukkan sikap revolusioner bangsa
Indonesia, maka Presiden Soekarno mencanangkan pula apa yang disebutnya dengan
berdaulat dalam bidang politik, berdikari dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian
dalam bidang kebudayaan.
Walaupun Presiden Soekarno berusaha untuk membangun kerjasama yang solid
antara kekuatan-kekuatan pendukungnya melalui simbol ideologi itu, tampaknya beliau
kurang berhasil. Konflik antara TNI Angkatan darat dengan PKI terus terjadi walau tidak
terbuka; demikian pula konflik antara kekuatan Marxis-komunis-Leninis (PKI) di bawah
pimpinan DN Aidit dengan aliran Marxis-Troskist (Partai Murba) di bawah pimpinan
Chaerul Saleh dan Adam Malik, terus terjadi. Dalam periode itu, memang salah satu
persoalan politik-ideologis yang dihadapi oleh Presiden Soekarno ialah hal yang
berkaitan dengan posisi PKI, yang oleh Presiden justru dianggap dan diberi tempat
sebagai kekuatan ideologis-revolusioner dalam rangka penyelesaian revolusi.
Konflik kekuatan yang ada di sekeliling Presiden, tampaknya terus berkembang
dan presiden tampak pula makin sulit menyelesaikannya. Hal yang demikian terus
berlangsung sampai terjadinya Gerakan 30 September 1965 yang dipimpin oleh Letnan
KolonelUntung, Komandan Batalyon Cakrabirawa. Enam Jenderal dan seorang perwira
pertama diLubangBuayakan dalam arti dibunuh dengan cara yang sangat kejam, cara
yang mungkin hanya akan dilakukan oleh orang-orang yang tidak beradab dan tidak
berperikemanusiaan. Belakangan—menurut Mayor Jenderal Soeharto, ketika itu,
gerakan tersebut dilakukan oleh PKI, karena Letkol Untung yang pernah menjadi anak
buah Jenderal Soeharto adalah kader binaan PKI.
Demikianlah, dalam perkembangannya kemudian, Gerakan 30 September/PKI
1965 itu berproses dengan cepat untuk kemudian membawa Jenderal Soeharto ke
puncak kekuasaan, sebagai presiden, menggantikan Presiden Soekarno. Sejak Maret
1967, sebagai Pejabat Presiden, dan setahun kemudian, 1968, diangakat sebagai
presiden penuh!

6. Penutup : Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Reformasi


Sengaja saya mengakhiri uraian ini sampai dengan G 30 S/PKI, karena dari segi
peristiwa sejarah, dua periode selanjutnya—periode Orde Baru pimpinan Presiden
Jenderal Soeharto, 1967-1998, dan periode Reformasi, 1998-sekarang—sebenarnya
adalah periode-periode yang sangat dekat dengan kita. Bahkan mungkin sebagian dari
kita adalah pelaku, bagian dari peristiwa yang terjadi dalam kedua periode sejarah
kontemporer bangsa Indonesia ini.
Namun patut juga disinggung sebagai penutup, bahwa dalam periode Orde baru,
Presiden Soeharto telah melakukan perubahan dalam pelbagai bidang, terutama
ekonomi dan politik. Di bidang ekonomi, Orde baru memberi prioritas dengan
melaksanakan pembangunan berencana Repelita, per lima tahun. Repelita pertama
15
dijalankan pada 1969-1974. Dalam bidang politik, Orde Baru menjalankan sistem
demokrasi yang disebut dengan Demokrasi Pancasila dengan memasukkan Dwifungsi
ABRI sebagai salah satu unsurnya.
Selanjutnya, Orde Baru melakukan penyederhanaan partai sebagai kekuatan
politik. Semua partai Islam digabungkan ke dalam Partai Persatuan Pembangunan
(PPP) dan semua partai non-Islam (termasuk partai Katolik dan partai Kristen) digabung
menjadi satu dengan nama Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Langkah
penyederhanaan jumlah partai ini dilakukan pada awal 1970-an. Dengan demikian,
sejak 1970-an, dalam periode Orde Baru, hanya ada tiga organisasi kekuatan politik,
yaitu PPP, PDI, dan kekuatan politik ciptaan pemerintah Orde Baru, (Sekber) Golkar.
Selama Orde Baru, Golkar tidak mau menggunakan istilah partai bagi organisasi
politiknya, walaupun jelas Golkar adalah partai politik dalam tingkah lakunya sebagai
kekuatan politik milik pemerintah.
Demikianlah uraian singkat tentang nilai-nilai dengan perubahan-perubahan
menuju dan menjadi bangsa dan negara Republik Indonesia. Mudah-mudahan ada
gunanya bagi peserta pertemuan yang diadakan oleh Deputi Taplai, Lemhannas RI.

16

Anda mungkin juga menyukai