BAB II
SISTEM POLITIK & PEMERINTAHAN
DI INDONESIA
Tidak ada satupun sistem politik dan pemerintahan suatu negara yang sama persis
dengan sistem politik negara lainnya. Adapun sistem politik yang ada di dunia sekarang ini
hanyalah untuk menjadi suatu perbandingan tertentu untuk melihat sejauh mana perbedaan
dan kesamaan dari berbagai sistem politik dan pemerintahan yang ada, dengan mengetahui
tolak ukur pertanggungjawaban pemerintah suatu negara terhadap rakyat yang diurusnya.
2.1 Pengertian Sistem Politik
Istilah kata sistem merupakan terjemahan dari kata system (bahasa inggris) yang berarti
tatanan, cara, jaringan, atau susunan. Sistem adalah kerjasama suatu kesatuan dari sebuah
rangkaian yang utuh yang saling berkaitan satu sama lain, bagian kecil dari suatu sistem yang
b. Kedaulatan Penguasa
Negara kekuasaan adalah Negara yang pemerintahannya dipegang oleh pemimpin
yang memiliki kekuasaan mutlak, diperoleh tidak dari hasil seleksi kepemimpinan,
melainkan terjadi, yang diklasifikasikan sebagai Negara yang dipimpin oleh pimpinan
yang tradisional.
.kepemimpinan tradisional adalah yang mendasarkan hanya pada kepercayaan,
kebiasaan dan kepatuhan pada kepemimpinan turun menurun, atau pada pemimpin
kharismatik (charisma berarti pengampunan). Seseorang atau beberapa orang pemimpin
ditaati atas dasar kesaktian, kekuatan atau atas dasar keteladanannya.
Apabila penguasa Negara teokrasi menyandarkan setiap kebijakannya pada nilai-
nilai agama, yang tafsirnya harus diterima sebagai kebenaran mutlak, yang mana
penguasa memperoleh kekuatan legitimasi, maka penguasa, dalam Negara kekuasaan,
harus mampu memaksakan kepatuhan mutlak rakyat kepada setiap kebijakan yang
digulirkan, kalau perlu dengan kekerasan. Cirri Negara kekuasaan adalah menempatkan
kebijakannya identik sebagai kebijakan Negara. Kebijakan penguasa adalah hokum
Negara. Artinya hokum diposisikan sebagai bagian dari alat kekuasaan.
Dua tipe Negara kekuasaan yaitu :
1. Negara yang meletakkan kedaulatan Negara berpangkal pada penguasa
Artinya Negara di bawah kekuasaan satu figure pemimpin (kepemimpinan
tunggal). Kekuasaan Negara semacam ini disebut sebagai Negara monokrasi atau
kadang disebut sebagai Negara otokrasi. Negara monokrasi dapat berbentuk kerajaan
ataupun republic. Untuk Negara monrakhi absolute, kekuasaan atau kedaulatan
Negara terletak pada diri raja dan untuk Negara republic (system presidensial),
kekuasan atau kedaulatan Negara terletak pada seorang presiden. Sebagai pemegang
c. Kedaulatan Rakyat
Negara yang berkedaulatan rakyat mengandung arti seperti yang dinyatakan oleh
Franz Magnis Suseno, bahwa rakyat memiliki kekuasaan mutlak, tertinggi, tak
terbatas, tak tergantung, dan tanpa kecuali. Negara yang berkedaulatan rakyat adalah
Negara demokrasi. Negara dikatakan berkedaulatan rakyat apabila rakyat berperan serta
langsung maupun tidak langsung menentukan nasib dan masa depan Negara. Dan Negara
yang berkedaulatan rakyat apabila ada kejelasan tanggung jawab Negara terhadap
rakyatnya.
Hal yang paling mendasar yang membedakan posisi rakyat dalam Negara
demokrasi dan Negara non demokrasi adalah dalam Negara non demokrasi, rakyat adalah
obyek sedangkan pada Negara demokrasi, rakyat adalah subyek sekaligus obyek. Rakyat
adalah subyek antara lain ketika suara atau pendapat rakyat diperlukanuntuk memilih
pemimpin, memilih wakil-wakilnya dalam pemilu. Rakyat adalah subyek ketika suara dan
pendapat rakyat diperlukan untuk secara langsung ikut memutuskan masalah
controversial atau yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak atau yang
menyangkut masa depan dan kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Rakyat
adalah obyek setelah fungsi dan kewajibannya selaku subyek telah dilakukan yakni ketika
pemerintahan pilihan rakyat telah terbentuk atau ketika pilihan atas masalah
controversial, yang dikembalikan kepada rakyat, telah menghasilkan kesimpulan tertentu.
Anatomi Perundang-Undangan
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan dari
sifat-sifat yang khusus dan terbatas.
Hal ini sejalan dengan pendapat A. Hamid S. Attamimi, yang menegaskan bahwa teori
perundang-undangan yang berkembang di Eropa Continental hendak memodernisasikan
pranata ketatanegaraan pada umumnya dan pranata perundang-undangan pada khususnya,
sehingga perlu juga dilihat, dibandingkan, dan jika perlu ditiru sistemnya di negara lain. Akan
tetapi cita dan filsafat yang mendasarinya, nilai-nilai titik tolaknya, pengertian dan
pemahaman dasarnya, serta ruang lingkup dan tata kerja penyelenggaraannya, singkatnya
paradigma-paradigmanya, harus tetap mempertahankan apa yang digariskan oleh Cita Negara
Kekeluargaan Rakyat Indonesia, Teori Bernegara Bangsa Indonesia, dan Sistem
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia, sebagaimana termaktub dalam
Hukum Dasar kita, yaitu UUD 1945.
Kedudukan TAP MPR tidak bisa dipisahkan dengan kedudukan dan kewenangan MPR
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Amandemen UUD 1945 pasca reformasi membawa
konsekuensi terhadap kedudukan serta kewenangan yang melekat kepada MPR. Salah satu
perubahan penting dalam UUD 1945 yang mempengaruhi kedudukan dan kewenangan MPR
adalah perubahan pada bagian bentuk dan kedaulatan Negara khususnya pada Pasal 1 ayat (2)
UUD. Sebelum amandemen disebutkan bahwa, Kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan
dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sedangkan setelah
amandemen dirubah menjadi, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan yang signifikan juga terlihat pada Pasal 3 UUD
1945. Jika sebelum amandemen MPR diberikan kewenangan untuk menetapkan Garis-Garis
Dimasa lalu, konsekuensi dari kedudukan dan kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-
Garis Besar dari pada Haluan Negara (GBHN), mengakibatkan eksistensi TAP MPR(S)
sebagai salah satu pengaturan perundang-undangan yang memuat pengaturan. Hal ini
kemudian semakain dipertegas dengan adanya Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966
yang menempatkan TAP MPR sebagai salah satu peraturan perundang-undangan yang
memiliki derajat di bawah UUD. Namun menurut Mahfud MD, Pemosisian TAP MPR
sebagai peraturan perundang-undangan dalam derajat kedua (di bawah UUD 1945)
sebenarnya hanyalah tafsiran MPRS saja, sebab UUD sendiri tidak menyebutkan bahwa TAP
MPR itu harus berisi pengaturan (regeling) dan berbentuk peraturan perundang-undangan.
Menetapkan itu sebenarnya dapat hanya diartikan sebagai penetapan (beschikking) yang
bersifat konkret, individual.
Secara umum, implikasi dari perubahan UUD 1945, memberikan akibat perubahan
kedudukan dan kewenangan MPR pula. Setidaknya terdapat 3 (tiga) implikasi mendasar
akibat perubahan UUD 1945 terhadap kedudukan dan kewenangan MPR, antara lain :
1. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara sebagai perwujudan Pasal 1 ayat 2
UUD 1945, yakni menjadi representasi absolut dari kedaulatan rakyat Indonesia.
MPR pasca perubahan UUD 1945, kini memiliki kedudukan sederajat dengan
lembaga tinggi Negara lainnya, yakni Lembaga Kepresidenan, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
2. Sebagai konsekuensi MPR yang tidak lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, maka
MPR bukanlah lembaga perwakilan, akan tetapi cendrung menjadi joint sesion
antara anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki fungsi bersifat lembaga
konstituante yang bertugas merubah dan menetapkan Undang-undang Dasar. Secara
implisit, roh atau eksistensi MPR menjadi ada atau diadakan jika berkenaan dengan
kewenangan yang diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagaimana pendapat Jimly Asshidiqie yang menyatakan bahwa, organ MPR itu
sendiri baru dikatakan ada (actual existence) pada saat kewenangan atau functie-nya
sedang dilaksanakan. Dalam pola Negara kesatuan sebagaimana dianut oleh
3. MPR tidak lagi memiliki kewenangan untuk membuat ketetapan yang bersifat
mengatur (regelling). MPR pasca perubahan UUD 1945 hanya diberikan
kewenangan dalam membuat ketetapan yang bersifat keputusan (beshickking).
Dihilangkannya kewenangan MPR untuk menetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara, berarti aturan dasar Negara kita berlaku secara singular atau tunggal yang
bertumpu kepada UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kini tidak lagi
berwenang menerbitkan aturan dasar Negara (grundnorm) di luar UUD NRI Tahun
1945 yang bersifat mengatur.
Secara garis besar, TAP MPR dikategorikan sebagai aturan dasar Negara
(staatsgrundgesetz) atau dapat juga disebut sebagai norma dasar (grundnorm). Akan tetapi
kategorisasi yang dilakukan oleh Attamimi ini dilakukan disaat kedudukan MPR masih
sebagai lembaga tertinggi Negara atau sebelum perubahan UUD 1945. Kedudukan TAP MPR
sebelum perubahan UUD, memang menjadi salah satu produk hukum yang berada setingkat
dengan UUD. Hal tersebut mengacu kepada kewenangan dan kedudukan MPR sebagai
lembaga perwujudan kedaulatan rakyat dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hal ini
sejalan dengan penjelasan Pasal 3 UUD 1945, yang menyatakan bahwa, Oleh karena
Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak
terbatas, mengingat dinamik masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan
segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan
apa yang hendaknya dipakai untuk di kemudian hari.
Dalam periode era reformasi, TAP MPR dianggap sebagai perpanjangan tangan dari
kekuasaan untuk membuat peraturan-peraturan tertentu yang menguntungkan atau
meligitimasi kepentingan kekuasaan. Untuk itu kemudian muncul istilah sunset clouse,
yakni upaya sedikit demi sedikit untuk menghapus TAP MPR sebagai sumber hukum dalam
sistem perundang-undangan Indonesia. Ini juga yang mendasari proyek evaluasi yang disertai
penghapusan secara besar-besaran terhadap TAP MPR(S) ditahun 2003 melalui Sidang
Umum (SU) MPR. Mahfud MD menyebut agenda ini sebagai Sapu Jagat, yakni TAP MPR
yang menyapu semua TAP MPR(S) yang pernah ada untuk diberi status baru.
Puncak dari agenda sunset clouse dan sapu jagat ini adalah diterbitkannya Undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang
tidak memasukkan TAP MPR sebagai salah satu sumber hukum. Eksistensi TAP MPR
seharusnya tetap diakui meskipun dengan sifat dan norma yang berbeda. TAP MPR tetap saja
boleh ada dan dikeluarkan oleh MPR, tetapi terbatas hanya untuk penetapan yang bersifat
beschikking (kongret dan individual) seperti TAP tentang pengangkatan Presiden, TAP
tentang pemberhentian Presiden dan sebagainya. Bahkan TAP MPR tetap dijadikan sebagai
sumber hukum yang bersifat materiil. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Mahfud MD,
RESUME BUKU SISTEM POLITIK & PEMERINTAHAN INDONESIA 36
bahwa sebagai sumber hukum, TAP MPR dapat dijadikan sebagai sumber hukum materiil
(bahan pembuatan hukum), namun bukan sumber hukum formal (peraturan perundang-
undangan). Sebagai sumber hukum materiil, TAP MPR bisa menjadi bahan hukum seperti
halnya nilai-nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat, keadaan
social dan ekonomi masyarakat, warisan sejarah dan budaya bangsa dan lain-lain.
Implikasi Hukum
TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan
melalui penjelasan pasal tersebut yang mengatakan bahwa, Yang dimaksud dengan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang masih berlaku
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 4 Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan
Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, tanggal 7
Agustus 2003. Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003, telah diputuskan yang mana saja TAP
MPR(S) dari total 139 ketetapan sejak tahun 1966 hingga 2002, yang masih berlaku dan tidak
berlaku lagi.
Dalam TAP MPR Nomor I/MPR/2003 TAP MPR yang ada, diberikan status hukum baru
yang dikelompokkan ke dalam 6 (enam) pasal, antara lain :
Pasal 1 tentang Ketetapan MPR/MPRS yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (8
Ketetapan)
Pasal 3 tentang Ketetapan MPRS/MPR yang dinyatakan tetap berlaku sampai dengan
terbentuknya pemerintahan hasil pemilihan umum tahun 2004 (8 Ketetapan)
Berdasarkan pengelompokan di atas, maka TAP MPR yang masih dianggap berlaku tertuang
dalam Pasal 2 dan Pasal 4, dengan total sebanyak 13 TAP MPR yang masih berlaku. TAP
MPR yang masih berlaku tersebut, adalah :
5. Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas KKN.
9. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri.
11. Ketetapan MPR No. VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan.
13. Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolahan
Sumber Daya Alam.
Ketiga belas TAP MPR inilah yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (1) huruf b
Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
dengan pengelompokan 11 TAP MPR yang sudah tidak berlaku akibat telah dibentukknya
UU (Pasal 4 TAP MPR Nomor I/MPR/2003) dan 3 TAP MPR yang masih berlaku hingga saat
ini (Pasal 2 TAP MPR Nomor I/MPR/2003). Adapun Ketetapan MPR No V/MPR/1999
tentang Penentuan Pendapat di Timor Timur, secara otomatis tidak berlaku lagi akibat norma
yang diatur didalamnya sudah terlaksana. Dengan demikian, sisa 2 TAP MPR yang masih
berlaku hingga saat ini akibat status hukumnya yang tidak dicabut atau diganti melalui UU.
Diluar 2 TAP MPR tersebut, TAP MPR dapat dinyatakan berlaku kembali dan dijadikan
sebagai sumber hukum formill, secara logika hukum, hal tersebut mustahil mengingat tidak
mungkin keberlakukan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi justru dilegitimas
atau dibuat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, dalam hal ini
Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
1. Sentralisasi
Dalam sentralisasi semua kewenangan tersebut baik politik maupun administrasi
berada di tangan presiden dan para menteri (pemerintah pusat). Atau dengan kata lain berada
Gambar 1: Sentralisasi
Sumber : Hanif Nurcholis, 2005
2. Desentralisasi
Adanya pemerintahan daerah dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi
berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas dan Centrum yang artinya pusat.
Decentrum berarti melepas dari pusat. Dengan demikian, maka desentralisasi yang berasal
dari sentralisasi yang mendapat awal de berarti melepas dari pemusatan. Desentralisasi
berkaitan dengan aspek administrasi. Salah satu bagian dari administrasi adalah organisasi.
Sebuah organisasi selalu terdiri dari jenjang hirarki. Jenjang hirarki ada yang tingkatannya
banyak dan ada yang memiliki sedikit tingkatan. Misalnya, satuan pemerintahan terdiri dari
atas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Tingkat I, Pemerintah Daerah Tingkat II, dan
Pemerintah Daerah Tingkat III, merupakan contoh organisasi dengan jenjang hirarki yang
lebih panjang dari satuan pemerintahan yang terdiri atas Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah Tingkat I, Pemerintah Daerah Tingkat II. Dan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi
Daerah Tingkat I, dan Pemerintah Kabupaten/Kotamadya/Daerah Tingkat II, dan Pemerintah
Kecamatan lebih panjang daripada Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah
Kabpaten/Kota. Pada setiap jenjang hirarki terdapat pejabat yang bertanggung jawab atas
satuan organisasi yang menjadi wewenangnya. Misal, pada pemerintah provinsi terdapat
gubernur, pada pemerintah kabupaten terdapat bupati, dan pada pemerintah kota terdapat
walikota. Gubernur bertanggung jawab atas penyelenggaraan provinsi. Bupati bertanggung
jawab atas penyelenggaraan pemerintah kabupaten. Walikota bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pemerintah kota (Nurcholis, 2005).
Organisasi yang besar dan kompleks seperti negara Indonesia tidak akan efisien jika
semua kewenangan politik dan administrasi diletakkan pada puncak hirarki
organisasi/pemerintahan pusat, karena pemerintahan pusat akan menanggung beban yang
RESUME BUKU SISTEM POLITIK & PEMERINTAHAN INDONESIA 47
berat. Agar kewenangan tersebut dapat diimplementasikan secara efisien dan akuntabel, maka
sebagian kewenangan politik dan administrasi perlu diserahkan pada jenjang organisasi yang
lebih rendah. Penyerahan sebagian kewenangan politik dan administrasi pada jenjang
organisasi yang lebih rendah disebut desentralisasi. Jadi, desentralisasi adalah penyerahan
wewenang poliyik dan administrasi dari puncak hirarki organisasi (pemerintah pusat) kepada
jenjang organisasi dibawahnya (pemerintah daerah. Dua kewenangan tersebut diserahkan
pemerintah daerah (Nurcholis, 2005).
Gambar 2: Desentralisasi/Devolusi
Sumber : Hanif Nurcholis, 2005
Karena jenjang hirarki yang lebih rendah, pemerintah daerah diserahi wewenang
penuh, baik politik maupun administrasi, maka pada jenjang organisasi yang diberi
penyerahan wewenang tersebut timbul otonomi. Otonomi artinya kebebasan masyarakat yang
tinggal di daerah yang bersangkutan untuk mengatur dan mengurus kepentingannya yang
bersifat lokal, bukan yang bersifat nasional. Desentralisasi menimbulkan otonomi daerah,
yaotu kebebasan masyarakat yang tinggal di daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingannya yang bersifat lokal. Jadi, otonomi daerah adalah konsekuensi logis penerapan
asas desentralisasi pada pemerintah daerah (Nurcholis, 2005).
Henry Maddick dalam (Dalam Nurcholis, 2005) menjelaskan desentralisasi adalah
penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang/fungsi-fungsi tertentu
kepada daerah otonom. Rondinelli, Nellis dan Chema (Dalam Nurcholis, 2005),
mengemukakan desentralisasi merupakan penciptaan atau penguatan, baik keuangan maupun
hukum pada unit-unit pemerintahan subnasional yang penyelenggaraannya substansial berada
diluar control langsung pemerintah pusat.
PBB (dalam Koswara, 2001:48) memberikan batasan tentang desentralisasi yaitu
desentralisasi merujuk pada pemindahan kekuasaan dari pemerintah pusat baik melalui
dekonstruksi (delegasi) pada pejabat wilayah maupun melalui devolusi pada badan-badan
otonom daerah (Nurcholis, 2005). Sedangkan Rondinelli (Dalam Nurcholis, 2005),
merumuskan desentralisasi adalah penyerahan perencanaan, pembuat keputusan, atau
kewenangan administrative dari pemerintah pusat kepada organisasi wilayah, satuan
Menurut Smith
Sedangkan urusan yang bersifat nasional, misalnya politik luar negeri, keamanan,
pertahanan, keuangan, pengaturan hukum keagamaan, kebijakan ekonomi makro, dan
kebijakan politik makro sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat (Nurcholis,
2005).
Dalam desentralisasi pejabat yang menerima tanggung jawab adalah kepala daeraeh
otonom, yaitu pejabat yang ditentukan sendiri oleh masyarakat setempat, sebagai kesatuan
masyarakat hukum. Kepala daerah otonom bukan pejabat pusat yang berada di daerah,
melainkan pejabat yang diangkat oleh rakyat melalui pemilihan bebas dari daerah otonom
yang bersangkutan. Dengan demikian, tindakan hukumnya bukan atas nama pejabat pusat
tapi atas nama dirinya sendiri mewakili masyarakat daerah otonom. Oleh karena itu, pejabat
tersebut bertanggung jawab kepada rakyat yang memilihnya (Nurcholis, 2005).
3. Dekonsentrasi
1. Krama Desa
Krama desa adalah struktur teratas dalam masyarakat adat Tenganan yang juga
berfungsi sebagai lembaga pemeritahan adat yang paling utama dan merencanakan serta
menyelenggarakan program-program didalam masyarakat Tenganan. Pemerintahan adat
bersifat kolektif. Ada tiga struktur utama dalam Krama Desa. Pertama disebut Luanan. Ini
merupakan penasihat atau penglingsir desa yang diisi oleh keluarga yang memiliki nomor
urut perkawinan 1-5. Luanan biasanya hadir ketika sudah selesainya persiapan rapat atau
suatu acara.
Struktur kedua yakni Bahan Roras. Posisi Bahan Roras ini terbagi menjadi dua yakni
Bahan Duluan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 6-11 dan Bahan Tebenan
yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 12-17. Bahan Duluan merupakan
pelaksana pemerintahan sehari-hari, perencana, pelaksana atau pucuk pimpinan. Pasangan
keluarga nomor urut 6-7 disebut dengan nama Tamping Takon (tampi artinya menerima dan
takon artinya pertanyaan) yang bertugas untuk menampung atau menjawab segala macam
pertanyaan dari Krama.selanjutnya keluarga dengan nomor urut-12-17 disebut dengan Bahan
Tebenan. Tugasnya sebagai pembantu atau cadangan Keliang Desa.
Struktur terakhir Peneluduan. Lapisan ini merupakan keluarga dengan nomor urut
perkawinan 18 dan seterusnya. Seorang dari Peneluduan tampil sebagai Saya atau Juru Warta
secara bergiliran setiap bulan. Peneluduan ini pun dibagi lagi menjadi dua yakni Tambalapu
Duluan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan 18-23 sebagai penggerak dalam
segala kegiatan dan Tambalapu Tebenan yang diisi keluarga dengan nomor urut perkawinan
RESUME BUKU SISTEM POLITIK & PEMERINTAHAN INDONESIA 62
24-29 sebagai cadangan atau pengganti. Jika seorang Bahan Duluan meninggal dunia atau
anaknya menikah, tidak serta merta posisinya digantikan sang anak. Posisi itu akan diisi oleh
keluarga di nomor urut berikutnya. Sementara anak Bahan Duluan itu masuk sebagai krama
desa dengan nomor urut terbaru.
Enam orang anggota Bahan Duluan secara keseluruhan berperan sebagai Keliang
Desa. Dalam keseharian, gabungan Bahan Duluan dengan Bahan Tebenan dengan anggota
yang berjumlah 12 orang yang disebut Bahan Roras bertugas sebagai Penyarikan (sekretaris).
Tugas sebagai Penyarikan ini dipegang setiap anggota secara bergantian, satu orang setiap
bulan.
Sementara gabungan antara Tambalapu Duluan dengan Tambalapu Tebenen yang
berjumlah 12 orang disebut Tambalapu Roras, bertugas sebagai Saya Arah atau Juru Warta.
Pembagian tugasnya adalah tiap empat orang anggota secara bergantian setiap bulan,
mengerjakan tugas sebagai Saya Arah. Kelompok tugas yang lain disebut Peneluduan yang,
mempunyai tugas menjemput anggota Luanan yang untuk mengikuti rapat atau sangkepan di
Bale Agung.
Masyarakat Tenganan memiliki sistem Pemerintahan di Desa Adat dipimpin oleh
Bahan Duluan dibantu oleh seorang Penyarikan dan empat pasang keluarga yaitu Saya
Arah.Masyarakat di desa Tenganan sangat menghormati tata ruang. Kepemilikan Tanah
secara pribadi diakui tetapi tetap diatur oleh adat. Dalam desa Tenganan tersebut terdapat 25
krama desa Krama Desa itu sendiri yakni sepasang suami-istri yang sama sama berasal dari
desa Tenganan. Krama desa mempunyai 4 syarat khusus akni :
a. Tidak boleh berpoligami
b. Diberhentikan apabila salah satu dari pasangan suami istri itu meninggal
c. Diberhentikan apabila anaknya menikah
d. Diberhentikan apabila melakukan kesalahan yang sama
Jika misalkan anak mereka sudah besar dan menikah secara otomatis orang tuanya pindah
jabatan menjadi krama gumi pulangan.
Krama desa ini selalu berpasangan dalam arti selalu suami beserta istrinya. Yang
berhak sebagai warga desa terlebih dahulu dilihat dari latar belakang kawinnya secara
berturut-turut tersusun sebagai berikut :
a. Krama no. 1 s.d no.5 (lima orang) disebut luanan
b. Krama no. 6 s.d no.11 (enam orang) disebut bahan duluan
c. Krama no. 12 s.d no.17 (enam orang) disebut bahan tebenan atau 6 orang bahan
duluan dan 6 orang bahan tebenan yang disebut bahan roeres (12)
d. Krama no. 18 s.d no. 23 (enam orang) disebut tambalapu duluan.
3. Krama Bumi
Krama Bumi yaitu berasal dari krama yang berarti warga maka Krama Bumi yang
merupakan struktur ketiga yang berisi seluruh warga desa tenganan itu sendiri, termasuk
yang cacat fisik, karena anggota masyarakat yang cacat fisik tidak bisa menduduki jabatan
dalam lembaga pemerintahan.
Program pemerintahan adatnya terdapat suatu kebiasaan yang baik dalam
meyelesaikan persoalan yaitu pasangkepan (musyawarah). Pasangkepan sendiri dilakukan
untuk menertibkan pelaksanaan pemerintahan desa Tenganan melalui awig-awig (aturan yang
disepakati bersama). Pemerintah adat juga mempunyai program berupa aturan-aturan yang
harus ditaati masyarakat Adat Tenganan, dimana dalam aturan itu terdapat larangan untuk
menjual tanah atau lahan kepada masyarakat luar Tenganan, larangan memotong rambut bagi
perempuan (boleh potong tetapi rambutnya masih bisa untuk disanggul), pemisahan anak dari
orang tua 3 bulan setelah acara pernikahannya, perizinan terhadap penebangan pohon, dan
perkawinan. Satu yang menjadi ciri khas dalam perkawinannya yaitu jika seorang perempuan
menikah dengan laki-laki diluar desa Tenganan maka perempuan tersebut harus
meninggalkan desa Tenganan. Dan jika seorang laki-laki menikah dengan perempuan diluar
desa Tenganan maka harus dilakukan penyamaan agama yang sesuai dengan si laki-laki
apabila ingin tetap tinggal di desa Tenganan dengan catatan tidak bisa menjadi anggota
legislatif. Sebaliknya apabila si laki-laki menyamakan agamanya dengan si perempuan maka
mereka harus meninggalkan desa Tenganan. Kemudian ada aturan khusus dalam pemberian
sanksinya yaitu dengan perumpamaan ada seorang perempuan yang hamil diluar nikah maka
orang tua pihak perempuan akan ditariki uang sebesar Rp 1.000,- pertahun yang berlaku
..
tampak jelas yakni masing-masing diberikan tugas sebagai penyelenggara upaeara adat
dan keagamaan. Soroh Pasek dan Soroh Pande Besi Tenganan Pegringsingan memang
sengaja didatangkan dari luar desa sehingga yang ada saat ini adalah berasal dari luar desa
dan bukan merupakan keturunan asli warga setempat. Selain itu, berfungsi untuk
menyambung keturunan soroh yang telah camput dan juga untuk melaksanakan tugas-tugas
desa adat terutama yang ada hubungannya dengan upacara adat dan agama. Soroh-soroh
tadi mempunyai hak dan kewajiban berbeda dengan soroh yang lainnya. Misalnya,
dalam hal tugas sebagai Mangku Desa adalah dan Soroh Sanghyang sebagai golongan
keturunan tertinggi yang telah disyahkan melalui prosesi upacara sesuai dengan upacara
adat setempat dan diakui oleh desa.
Dalam kehidupan warga Desa Adat Trunyan diorganisasikan dalam satu kesatuan
social yang secara bersama-sama dan atas tanggungan bersama memelihara kesucian desa,
sehingga pola kehidupan desanya lebih terstruktur, religious dan fungsi utama anggota adalah
untuk kepentingan desa. Adapun struktur organisasi Desa Adat Trunyan yang tertinggi adalah
Perbekel yang ditunjuk langsung oleh warga Desa Adat Trunyan dan diawasi oleh BPD
(Badan Pengawas Desa).
Perbekel dibantu oleh Sekdes dan membawahi beberapa kepala urusan sesuai dengan
bidangnya masing-masing serta membawahi kelihan banjar dinas. Disamping organisasi
social Desa Adat Trunyan yang telah diuraikan mengenai fungsi dan struktur organisasinya,
terdapat pula beberapa organisasi social yang dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Banjar, terdapat lima buah banjar di Desa Adat Trunyan, yaitu Banjar Dinas Trunyan,
Banjar Dinas Madia, Banjar Dinas Bunut, Banjar Dinas Puseh, dan Banjar Dinas Mukus.
Banjar pada Desa Adat Trunyan ini tidak sama dengan banjar-banjar lain yang memiliki
struktur, aturan dan fungsi organisasi yang kuat. Banjar dinas disini berfungsi lebih
kepada batasan wilayah terkait dengan pembagian daerah subak. Untuk masing-masing
banjar dipimpin oleh kelihan dinas.
2. Sad Khayangan, merupakan tempat dimana masyarakat Desa Adat Trunyan melaksankan
upacara-upacara keagamaan. Masyarakat Trunyan tidak mengenal istilah Khayangan Tiga
(Pura Puseh, Pura Desa, Pura Dalem). Satu-satunya tempat sembahyang masyarakat
RESUME BUKU SISTEM POLITIK & PEMERINTAHAN INDONESIA 77
Trunyan adalah Pura Pancering Jagat yang kini dipahami sebagai sad khayangan
disamping Sanggah Dadia untuk tiap-tiap 60 KK kuren.
3. Subak, merupakan sebuah organisasi kemasyarakatan dalam penataan irigasi yang
anggotanya didasarkan atas lokasi sawahnya pada sungai yang sama. Di Desa Trunyan
terdapat 20 organisasi subak yang wilayahnya terbagi kemasing-masing lima banjar dinas
yang terdapat di Trunyan. Dimana pada Banjar DinasTrunyan terdapat 3 buah subak,
Banjar Dinas Madia terdapat 6 buah subak, Banjar Dinas Bunut terdapat 5 buah subak,
Banjar Dinas Puseh terdapat 3 buah subak.
4. Dadia merupakan sebuah kelompok yang didasarkan atas garis keturunan laki-laki.
Terkait dengan dadia, masyarakat Desa Trunyan melaksanakan persembahyangan pada
Merakan Dadia untuk beberapa kuren yang dikarena kan tidak adanya pemerajan pribadi
masing-masing kuren.
5. Sakeha merupakan suatu bentuk organisasi social yang memiliki beberapa
perkumpulan yang dimiliki oleh masyarakat Desa Trunyan untuk memeuhi berbagai
macam kebutuhan hidupnya. Masyarakat Desa Trunyan mengenal tiga macam sakeha
yang masing-masing dibentuk dan diberinama sesuai dengan kebutuhan atau kehiat yang
menjadi tujuan utama perkampungan tersebut.
PENYARIKAN JERO
SAING 6 SAING 6 PASEK
DESA
SAING 7 SAING 7
SAING 8 SAING 8
SAING 9 SAING 9
SAING 10 SAING 10
SAING 11 SAING 11
PUNGGAWA PUNGGAWA
Struktur Pemerintahan Desa Adat Trunyan
KERAMA D(Sumber
E S A : Keunikan
A D A TDesa&Trunyan,
P E2015)
MANGKU
SEKEHE TRUNA TEMPEK PREBAT TEMPEK TEMPEK SAYA PAIDER SEKEHE DEHE BAJANG
TENGEN & KIWA PREGAMBEL PREGINA ADAT (PELADEN) TENGEN & KIWA
Untuk pembagian air minum, orang Trunyan yang memiliki lading yang
letaknya jauh dari Danau Batur, membuat sekehayeh (yeh berarti air) atau dikenal
dengan subak. Untuk kepentingan membuat rumah terutama untu katap rumah yang
dibuat dari sejenis rumput bernama blu. Mereka mendirikan sekeha blu. Untuk
memenuhi kebutuhan pesta dan upacara manusa yadnya, mereka mendirikan sekeha
beras. Perkumpulan-perkumpulan ini dibentuk berlandaskan solidaritas diantara
sesama warga meskipun solidaritas itu terpengaruh oleh prinsip timbale balik,
sehingga mengurangi kerelaannya. Pada masyarakat Trunyan, prinsip tiimbal balik
ini disebut dengan istilah simpan pinjam, artinya seseorang (wajib) memberikan
bantuan kepada yang membutuhkan dengan maksud menanam budi, sehingga kelak
jika tiba saatnya dia membutuhkan bantuan, dia berhak untuk mundut atau memungut
bantuandari orang yang pernah dibantunya. Namun demikian, jiwa solidaritas masih
tetap terpelihara dengan mengingatkan bahwa fungsi setiap perkumpulan ini bisa
tidakt erbatas, misalnya jika terjadi kecelakaan, kematian, atau musibah lainnya,
mereka akan menolong dengan rela tanpa mengharapkan balas jasa. Yang terpenting
dari semua itu adalah adanya perkumpulan-perkumpulan semacam sekeha ini dapat
menjadi daya pengikat dan penggerak seluruh kehidupan masyarakat Desa Trunyan di
Bali, untuk tetap bertahan sebagai sebuah komuniti kecil.
B. Sistem Kekerabatan
KELIAN TEMPEK TRUNYANKELIAN TEMPEK MADIAKELIAN TEMPEK BUNTUTKELIAN TEMPEK PUSEH KELIAN TEMPEK MUKUS
SAYA DINAS SAYA DINAS SAYA DINAS SAYA DINAS SAYA DINAS
TRUNYAN MADIA BUNTUT PUSEH MUKUS
HANSIP / WANKAMRA
M A S Y A R A K A T
DAFTAR PUSTAKA