Anda di halaman 1dari 6

BAB

Upaya Bangsa Indonesia Mengatasi Ancaman Disintegrasi Bangsa

Tujuan Pembelajaran
 Menjelaskan pengertian integrasi dan integrasi nasional
 Menganalisis upay bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa

A. Integrasi untuk Kedaulatan Sebuah Negara


1. Pengertian Integrasi dan Integrasi Nasional
Sebelum membahas berbagai upaya gerakan disintegra bangsa yang tercatat sepanjang sejarah
Indonesia, penting untuk memahami pengertian integrasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
integrasi adalah pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat Menurut sejarawan politik dari
Inggris William Howard Wriggins (1996) integrasi berarti penyatuan bangsa (suku) berbeda dari suatu
masyarakat menjadi satu kesatuan yang utuh untuk menjadi satu bangsa. Menurut Ernast Renan bangsa
terbentuk dari orang-orang yang mempunyai latar belakang sejarah, pengalaman sejarah yang sama, dan
perjuangan, serta hasrat untuk bersatu
Berdasarkan cakupan wilayah muncul istilah integrasi Basional atau bangsa Bangsa (nation)
adalah kelompok manusia vang heterogen (beraneka ragam) sifatnya, tetapi memiliki kehendak yang
sama dengan menempati daerah tertentu dan bersifat permanen. Menurut Ernest Renan bangsa terbentuk
dari orang-orang yang mempunyai latar belakang sejarah. pengalaman sejarah yang sama, dan
perjuangan, serta hasrat untuk bersatu.
Berdasarkan berbagai definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa integrasi nasional atau bangsa
adalah usaha atau proses mempersatukan perbedaan-perbedaan dalam suatu negara berdasarkan bahasa,
darah, sejarah, tanah, dan tujuan yang sama sehingga tercapai keserasian dan keselarasan nasional.
Terwujudnya integrasi dalam cakupan nasional penting bagi sebuah negara untuk
mempertahankan keutuhan dan kedaulatannya Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa dibentuk
berdasarkan ikatan bersama karena memiliki kesamaan sejarah yaitu sama-sama pernah dijajah oleh
Belanda.
Masyarakat yang terintegrasi merupakan harapan setiap negara, terutama yang memiliki wilayah
yang luas dan keragaman penduduk di beberapa aspek kehidupan. Masyarakat yang mampu membangun
integrasi nasional memiliki kekuatan dalam mempertahankan kedaulatan bangsa dan membangun
kejayaan nasional Kekuatan tersebut merupakan kondisi yang penting untuk mencapai tujuan nasional
yang diharapkan.
Ketika di dalam masyarakat sering terjadi pertentangan atau konflik, akibatnya akan lebih banyak
kerugian, baik fisik maupun mental. Keadaan tersebut dapat mengganggu stabilitas pemerintahan negara
dan mengancam integritas bangsa, negara dan masyarakatnya yang tidak terintegrasi akan sulit dalam
mencapai tujuan nasional yang diharapkan
Terdapat beberapa faktor yang mendorong dan menghambat terwujudnya integrasi nasional di Indonesia.
Berikut ini sejumlah faktor yang dapat mendorong terwujudnya integrasi nasional di Indonesia.
1) Menurut Ernest Renan faktor pendorong terwujudnya integrasi adalah perasaan senasib dan
mempunyai tujuan yang sama.
2) Kekuasaan kolonialisme Belanda selama kurang lebih 350 tahun telah banyak memberikan andil bagi
terbentuknya integrasi nasional. Hal ini sebagai akibat adanya persamaan nasib dalam sejarah, yaitu
sebagai bangsa yang sama-sama dijajah oleh Belanda dan memiliki cita-cita yang sama. Cita-cita
tersebut adalah melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan Belanda untuk menjadi bangsa yang
merdeka dan berdaulat
3) Keinginan bersatu, seperti telah dinyatakan dalam Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
4) Rasa cinta tanah air dan bangsa yang diwujudkan dalam upaya memperoleh kemerdekaan,
menegakkan kedaulatan, baik melalui perlawanan dan perjuangan bersenjata maupun perjuangan
diplomasi melalui meja perundingan.
Adapun sejumlah faktor yang dapat menghambat terwujudnya integrasi nasional di Indonesia adalah
sebagai berikut.
1) Masih adanya etnosentrisme, yaitu sikap atau pandangan yang berpangkal pada masyarakat dan
kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan
kebudayaan lain.
2) Tidak meluasnya pembangunan ekonomi dan infrastruktur sehingga mendorong munculnya
ketidakpuasan daerah terhadap pemerintah pusat.

1
2. Penyerahan Kedaulatan Indonesia dan Kembali ke Bentuk Negara Kesatuan
Pada 23 Agustus 1949, Konferensi Meja Bundar dimulai di Den Haag. Konferensi ini selesai
pada 2 November 1949. Salah satu hasilnya adalah Belanda menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia
dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 15 Desember 1949, diadakan pemilihan Presiden
RIS dengan calon tunggal Ir. Sukarno. Keesokan harinya, Ir. Sukarno terpilih sebagai Presiden RIS,
kemudian diambil sumpahnya pada 17 Desember. Pada 20 Desember 1949, Kabinet RIS yang pertama di
bawah Moh. Hatta selaku perdana menteri, dilantik oleh Presiden Sukarno.
Pada 23 Desember, Moh. Hatta memimpin delegasi RIS berangkat ke Belanda untuk
menandatangani piagam penyerahan dan pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda Selanjutnya,
pada 27 Desember 1949, baik di Indonesia maupun di Belanda, diadakan penandatanganan naskah
penyerahan dan pengakuan kedaulatan. Di Belanda, di Ruang Takhta Amsterdam. Ratu Juliana (Belanda),
Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees. Menteri Seberang Lautan Belanda Mr. A. M. JA Sassen, dan
Ketua Delegasi Indonesia Moh. Hatta bersama- sama membubuhkan tanda tangan pada piagam
penyerahan dan pengakuan kedaulatan kepada RIS.
Sementara itu, pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil
Tinggi Mahkota Belanda A. H. J. Lovink, membubuhkan tanda tangan mereka pada naskah penyerahan
dan pengakuan kedaulatan Hal ini menandakan bahwa secara formal Belanda mengakui kedaulatan penuh
suatu negara Indonesia di seluruh bekas wilayah Hindia Belanda (kecuali Papua). Demikian, secara resmi,
berakhirlah perang kemerdekaan Indonesia.
Pada hakikatnya, penandatanganan piagam penyerahan dan pengakuan kedaulatan kepada RIS
adalah pengakuan Belanda terhadap kedaulatan bangsa Indonesia sendiri atas wilayah nasionalnya, yang
dalam hal ini diwakili oleh RIS Republik Indonesia Serikat terdiri dari enam belas negara bagian. Selain
Republik Indonesia, beberapa di antaranya adalah Negara Sumatra Timur Negara Sumatra Selatan,
Negara Pasundan dan Negara Indonesia Timur
Sebenarnya, dibentuknya Republik Indonesia Serikat merupakan upaya Belanda untuk memecah
belah bangsa Indonesia. Oleh karena itu, rakyat di negara-negara federal yang sejak akhir tahun 1949
menjadi negara bagian RIS, tetap menghendaki bentuk negara kesatuan. Sejak awal tahun 1950, sudah
muncul gerakan-gerakan yang menuntut pembubaran negara bagian dan penggabungannya dengan RI

2. Kondisi Politik Masa Demokrasi Liberal


Salah satu hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah terbentuknya negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) Pembentukan negara federal yang diprakarsai oleh Belanda untuk melemahkan integrasi
Indonesia sebagai negara kesatuan ternyata tidak mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Banyak
negara bagian yang menyatakan ingin kembali ke negara kesatuan. Pada 15 Agustus 1950, Perdana
Menteri Kabinet RIS. Mohammad Hatta, kemudian menyerahkan mandatnya kepada Presiden Sukarno.
Selanjutnya, pada 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi negara kesatuan
Maka, dimulailah usaha-usaha untuk mempertahankan dan mengisi kemerdekaan yang telah
susah payah diperjuangkan. Masa revolusi fisik atau masa perjuangan harus segera ditinggalkan.
Gangguan keamanan yang selama ini banyak menyita perhatian, waktu, dan dana negara harus segera
digantikan dengan langkah-langkah konkret Hal ini agar perbaikan berbagai bidang, seperti sistem politik
dan pemerintahan, perekonomian, pertahanan dan keamanan negara.
Setelah berakhirnya pemerintahan RIS pada 1950 pemerintah Republik Indonesia masih
melanjutkan model demokrasi parlementer yang liberal. Kabinet dipimpin oleh seorang perdana menten
dan bertanggung jawab kepada parlemen Presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Pada
kurun waktu 1950-1959, kembali terjadi silih berganti kabinet Kabinet jatuh bangun karena munculnya
mosi tidak percaya dari partai lawan D samping itu, terjadi perdebatan dalam Konstituante yang sering
menimbulkan konflik berkepanjangan.
Jatuh bangunnya kabinet-kabinet yang berkuasa pada masa Demokrasi Liberal lebih disebabkan
oleh kegagalan. kegagalan atau dianggap gagal dalam mengendalikan pemerintahan. Contoh, Kabinet
Wilopo yang harus mengakhiri masa tugas karena tidak berhasil menyelesaikan masalah peristiwa 17
Oktober 1952. Peristiwa 17 Oktober dipicu oleh adanya gerakan yang diprakarsai oleh sejumlah perwira
angkatan darat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah. Mereka menghendaki agar Presiden
Sukarno membubarkan parlemen.
Pada 17 Oktober 1952, sejumlah perwira senior TNI-AD, Kepala Staf Angkatan Perang Mayor
Jenderal TB Simatupang, Kepala Staf Angkatan Darat A. HNasution, dan para panglima tentara dan
teritorium menghadap presiden Tujuannya adalah menuntut presiden membubarkan parlemen karena
menganggap para politisi tersebut terlalu mencampuri urusan internal TNI AD tenitama masalah
2
kepemimpinan TNI AD Sementara itu terjadi demonstrasi di luar Istana Merdeka dan di belakang para
demonstran telah berderet meriam milik pasukan arteri Resimen 7 di bawah pimpinan Mayor Kemal Idris.
Moncong moncong meriam tersebut diarahkan ke Istana Presiden Sukarno menolak tuntutan tersebut
karena tidak mau dianggap diktator. Sebenarnya, sumber utama konflik adalah ketidakkompakan yang
terjadi dalam tubuh TNI-AD sendiri. Peristiwa ini mengakibatkan terjadinya pergantian KSAD dari A. H.
Nasution kepada Kolonel Bambang Sugeng
Pada masa pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I atau sering juga disebut dengan Kabinet
Ali-Wongso (Ali Sastroamijoyo sebagai perdana menteri dan Wongsonegoro sebagai wakil perdana
menteri), diselenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 18-25 April 1955 Konferensi
ini dihadiri 29 negara Asia dan Afrika yang kemudian membawa pengaruh penting bagi terbentuknya
solidaritas dan perjuangan kemerdekaan dari bangsa- bangsa Asia-Afrika. Pemilihan umum pertama yang
diselenggarakan pada 1955 juga merupakan rancangan kabinet ini, tetapi pelaksanaannya kemudian
dilanjutkan oleh kabinet berikutnya.

b. Kebijakan Ekonomi Masa Demokrasi Liberal


Banyak hal yang terkait dengan masalah keamanan dan pertahanan negara yang harus dihadapi
pemerintah Indonesia. Masalah tersebut di antaranya kemelut yang terjadi di tubuh Angkatan Darat,
upaya-upaya memecah intergrasi bangsa, dan sejumlah permasalahan ekonomi negara. Permasalahan
yang muncul ini tidak terlepas dari beberapa hal berikut.
1) Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda yang diumumkan pada 27 Desember 1949, bangsa
Indonesia dinyatakan menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup besar seperti yang
diputuskan dalam Konferensi Meja Bundar.
2) Ketidakstabilan politik akibat jatuh bangunnya kabinet berdampak pada ketidakberlanjutan program
sehingga pemerintah harus lebih banyak mengeluarkan anggaran untuk mengatasi biaya operasional
pertahanan dan keamanan negara.
Di samping itu, permasalahan lain yang harus dihadapi adalah ekspor Indonesia yang hanya
bergantungpada hasil perkebunan dan angka pertumbuhan penduduk semakin meningkat dengan tajam.
Sumitro Djojohadikusumo, seorang ahli ekonomi Indonesia berhasil merancang Gerakan Benteng sebagai
salah satu usaha untuk memperbaiki perekonomian negara.
Gerakan Benteng didasari oleh gagasan pentingnya mengubah struktur ekonomi kolonial
menjadi ekonom nasional. Gagasan Sumitro kemudian diterapkan dalam program Kabinet Natsir pada
bulan April 1950 dengan nama Program Benteng. Program Benteng tahap satu resmi dijalankan selama
tiga tahun (1950-1953) dengan tiga kabinet berbeda (Natsir, Sukiman, dan Wilopo Selama tiga tahun,
lebih dari 700-an bidang usaha bumiputra memperoleh bantuan kredit dari program ini. Namun, hal yang
diharapkan dari program in tidak sepenuhnya tercapai, bahkan banyak pula yang membebani keuangan
negara. Ada banyak faktor yang menyebabkan kegagalan program ini, salah satunya mentalitas para
pengusaha bumiputra yang konsumtit besarnya keinginan untuk memperoleh keuntunga secara cepat, dan
menikmati kemewahan.
Program Benteng tahap dua dimulai pada Kabinet Ali pertama. Program Benteng tahap dua
merancang pemberian kredit dan lisensi pada pengusaha swasta nasional bumiputra agar dapat bersaing
dengan para pengusaha nonbumiputra. Jika pada awal tahun 1953 para importir pribumi hanya menerima
37,9% dari total ekspor-impor, maka mereka telah menerima 80-90% pada masa Kabinet Ali. Total dari
700 perusahaan yang menerima bantuan menjadi 4.000-5.000 perusahaan masa
Program Benteng dinilai gagal karena salah sasaran. Banyak pengusaha bumiputra yang menjual
lisensi impor yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha non-bumiputra. Hal ini
menimbulkan istilah perusahaan "Ali-Baba". Sebutan "Ali" merepresentasikan bumiputra, sedangkan
"Baba" non-bumiputra. Bantuan kredit dan pemberian kemudahan dalam menerima lisensi impor
kemudian dinilai tidak efektif. Padahal pemerintah telahmenambah beban keuangannya sehingga menjadi
salah satu sumber defisit. Program Benteng dianggap gagal karena salah sasaran. Selain itu, program
ekonomi benteng diterapkan ketika industri Indonesia masih lemah dan tingginya persaingan politik.
Program ini dimanfaatkan oleh sebagian partai politik untuk memperoleh dukungan.
Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951) berintikan Masyumi dan PSI dengan Mohammad
Natsir sebagai perdana menteri. Kebijakan-kebijakan Natsir mengutamakan pembangunan perekonomian
negara. Hal ini dianggap oleh oleh partai oposisi telah mengabaikan masalah kedaulatan Papua. Sukarno
pun menyatakan hal yang sama bahwa masalah kedaulatan Papua melalui perundingan tidak mengalami
kemajuan dan tidak boleh dianggap rendah. Kondisi ini membua Natsir bersikeras agar Sukarno
membatasi dirinya dalam peran presiden hanya sebagai lambang saja Puncaknya, Natsir menyerahkan
jabatannya dar digantikan oleh Sukiman pada April 1951.

3
Jatuhnya pemerintahan Kabinet Sukiman disebabkan oleh adanya kegagalan dalam pertukaran
nota keuangan antara Menteri Luar Negeri Indonesia Achmad Soebardjo dan Duta Besar AS Merle
Cochran. Kesepakatan bantuan ekonomi dan militer dari AS kepada Indonesia didasarkan pada ikatan
Mutual Security Act (MSA). Di dalam MSA, terdapat pembatasan terhadap kebebasan politik luar negeri
yang bebas aktif. Indonesia diwajibkan lebih memperhatikan Amerika sehingga tindakan Sukiman
tersebut dipandang telah melanggar politik luar negeri yang bebas aktif dan dianggap lebih condong ke
blok Barat. Di samping itu, penyebab lainnya adalah semakin merebaknya korupsi di kalangan birokrat
dan gagalnya Kabinet Sukiman dalam menyelesaikan masalah Irian Barat.
Lain halnya dengan Kabinet Ali I yang merupakan kabinet koalisi antara PNI dan NU. Kabinet ini
jatuh karena tidak dapat menyelesaikan kemelut yang ada ditubuh Angkatan Darat dan pemberontakan
DI/TII yang berkecamuk di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Di tambah pula dengan konflik
antara PNI dan NU, yang mengakibatkan NU menarik semua menterinya yang duduk di kabinet.
Jatuh bangunnya kabinet dalam waktu yang singkat menimbulkan ketidakstabilan politik.
Akibatnya. program-program kabinet tidak berjalan dengan baik. Kondisi ini yang kemudian membuat
Presiden Sukarno mengumumkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Kata dekrit berasal dari bahasa Latin decemere yang berarti mengakhiri atau memutuskan. Kata
dekrit, kemudian digunakan untuk menunjukkan adanya perinta dari kepala negara atau kepala
pemerintahan untuk mengakhiri atau memutuskan sesuatu yang terkait dengan sistem pemerintahan yang
berjalan Presiden Sukame mengeluarkan dekat yang isinya adalah
1) Pembubaran badan Konstituante ha Pemilu 1955,
2) Memberlakukan kembali UUD 1945 menggantikan UUD Sementara 1950, dan
3) Membentuk MPR Sementara (MPRS) yang terdiri dari para anggo DPR ditambah dengan para
utusan daerah dan golongan
Mengapa Presiden Sukamo harus mengeluarkan dekrit? Ada beberapa alasa yaitu sebagai berikut
1) Kegagalan Konstituante untuk membuat UUD baru meskipun sudah berkali-k melakukan sidang.
Padahal, UUD sangat dibutuhkan sebagai pijakan hukum yang penting dalam melaksanakan
pemerintahan.
2) Situasi politik dan ketidakstabilan keamanan dalam negeri semakin memburu
3) Konflik antarpartai yang terus-menerus terjadi sangat mengganggu stabili nasional
4) Para politisi partai yang saling berbeda pendapat sering bersikap menghalalkansegala cara agar
tujuan kelompok/partai tercapai
5) UUD Sementara 1950 dengan penerapan Demokrasi Liberal dianggap tida sesuai dengan kondisi
masyarakat Indonesia. 6) Terjadi sejumlah pemberontakan di berbagai wilayah Indonesia yang
semak mengarah kepada gerakan separatis.
Sisi positif dari adanya dekrit ini adalah
1) Perintah untuk kembali ke UUD 194 telah memberikan pedoman yang jelas bagi kelangsungan
negara,
2) Menyelamatk negara dari perpecahan dan krisis politik yang berkepanjangan, dan
3) Meri pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara (MPRS dan DPAS) yang selama ma Demokrasi
Liberal tertunda pembentukannya.

3. Indonesia Masa Demokrasi Terpimpin


a. Kondisi Politik Masa Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin adalah sistem demokrasi yang semua keputusan dan pemikiran terpusat
kepada pemimpin, yakni Sukarno Masa Demokrasi Terpimpin berlangsung dari 1959-1965 yang diawali
dengan berakhirnya Demokrasi Liberal dan juga ditandai dengan mundurnya Ir Djuanda sebagai perdana
menteri Landasan dari Demokrasi Terpimpin ditatsirkan dari sala ke-4 Pancasila Menurut Ketetapan
MPRS. Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di
antara semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan nasionalisme, agama,
dan komunisme (nasakom).
Ada tiga hal pokok yang kemudian melatarbelakangi keputusan Presiden memberlakukan Demokrasi
Terpimpin di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1) Dari segi politik, Konstituante dinilai gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUD
Sementara 1950.
2) Dilihat dari hal vang menyangkut masalah keamanan nasional. pada masa Demokrasi Liberal,
banyak terjadi gerakan separatis di berbagai wilayah yang menyebabkan ketidakstabilan keamanan
negara
3) Dari sudut pandang perekonomian nasional, sering terjadinya pergantian kabinet menyebabkan
program- program yang telah dirancang tidak dapat dijalankan secara maksimal. Akibatnya
pembangunan ekonomi berjalan tersendat-sendat.
4
Berangkat dari tiga hal tersebut pada tanggal 5 Jul 1959, Presiden Sukarno membubarkan
parlemen sekaligus menyatakan kembali pada UUD 1945 Sukarno kemudian membentuk Kabinet Kerja
dengan dirinya bertindak sebagai Perdana Menteri serta It Djuanda menjadi menteri pertama Kabinet ini
kemudian dilantik pada 10 Juli 1959 dengan program kerjanya In Program Kabinet Kerja Tugasnya
mengatasi masalah sandang pangan serta meningkatkan keamanan di dalam negers dan mengembalikan
wilayah negara, misalnya Inan Barat
Pemerintah kemudian membentuk lembaga-lembaga MPRS (Penetapan Presiden No 2 Tahun
1959) dengan keanggotaan yang ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Kemudian dibentuk pula Bowen
Bertimbangan Agung DEA melalui Fenetapan Presiden Nomos Fabars 19 DPA dipimpin langsung oleh
Presiden Sukamo dengan Roslan Abdulgani sebagai wakil ketus
Dalam pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Preside Sukarno menerapkan sistem politik
keseimbangan halan of Hal ini diterapkan tidak hanya dalam lembaga pertahanan negara, seperti angkatan
darat laut dan udara tetapi juga antara institusi, militer dan partai-partai polita yang ada Presiden
kemudian mengambil alih secara langsung pimpinan tertinggi angkatan militer dengan membentuk
Komando Operasi Tertinggi (Koti)
Perkembangan politik masa Demokrasi Terpimpin seluruhnya terpusat pada Presiden Sukarno
dengan TNI AD (Angkatan Darat) dan PKI sebagai pendukung utama Melalui semboyannya yang sangat
populer "Kembali ke possi UUD 1945 Sukarno memperkuat angkatan bersenjata dengan mengangkat
sejumlah jenderal pilihannya ke posisi penting dalam struktur kelembagaan militer
Partai Komunis Indonesia sendiri berkembang menjadi besar karena didukung oleh presiden,
contohnya melalui pembentukan Kabinet Gotong Royong atau Kabinet Kaki Empat Kaki-kaki yang
dimakud adalah empat partai politik besar ketika itu, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI) Majelis Syuro
Muslim Indonesia (Masyumi), Nahdlatul Ulama (NU) dan Partai Nasional Indonesia (PNI)
Pada masa ini. Sukarno merencanakan konsep pentingnya persatuan antara kaum nasionalis,
agama, dan komunis. Konsep ini lebih populer dengan sebutan nasakom Dampak dan ajaran ini memang
sangat menguntungkan PKI Seolah-olah partai ini telah ditempatkan pada garda terdepan dalam
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Konsepsi Presiden tentang nasakom ini banyak mendapatkan
tantangan, baik dari tokoh-tokoh dari Masyumi, NU, PNI maupun dari sejumlah tokoh masyarakat. Akan
tetapi Presiden Sukarno selalu menegaskan bahwa masyarakat jangan terlalu memandang atau
memberikan penilaian negatif kepada PKI dan komunisme. Semua ideologi harus bersatu dan bergerak
secara progresif dan revolusioner demi pembangunan Indonesia. Meskipun Sukarno selalu berusaha
untuk membina hubungan baik antara militer dan partai partai politik yang ada, tetapi konflik antara
militer dan PKI justru semakin tajam. Apalagi ketika PKI mulai melakukan aksi-aksi sepihak yang
menyangkut masalah landreform dan berpotensi mengganggu keamanan masyarakat, misalma peristiwa
Bandar Betsy di Simalungun, Sumatra Utara, dan peristiwa Jengkol di Kediri, Jawa Timur.
Meskipun banyak menuai protes, Presiden Sukarno semakin mempertegas konsepsi tentang
nasakom. Hal ini disampaikannya dalam pidato pada 17 Agustus 1959 berjudul "Penemuan Kembali
Revolusi Kita". Naskah pidatonya ini kemudian diserahkan kepada panitia kerja Dewan Pertimbangan
Agung yang ketika itu dipimpin oleh Aidit, pemimpin PKI. Kemudian dirumuskan menjadi Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) serta selanjutnya diberi judul "Manifesto Politik Republik Indonesia" yang
lebih dikenal kemudian dengan istilah Manipol. Kebijakan politik luar negeri pun cenderung lebih
memihak kepada Tiongkok atau blok komunis, yang akhirnya memicu peristiwa 30 September 1965.
Peristiwa ini pulalah yang menjadi penyebab utama berakhirnya pemerintahan Sukarno atau
pemerintahan Orde Lama.

b. Kondisi Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin


Pada masa Demokrasi Terpimpin, perekonomian Indonesia mengarah pada sistem perekonomian
etatisme, artinya seluruh kegiatan ekonomi diatur dan dikendalikan pemerintah. Kegiatan perekonomian
yang diatur tersebut banyak mengabaikan prinsip dasar ekonomi. Akibatnya, terjadi defisit keuangan
negara yang meningkat tajam dari tahun ke tahun. Sebagai contoh pada lanuari-Agustus 1965
pengeluaran negara tercacat sebesar 11 miliar rupiah sedangkan penerimaan negara hanya mencapai
kisaran sebesar 3.5 miliar rupiah Sebelumnya pada 28 Maret 1963 pemerintah mengeluarkan landasan
baru bagi perbaikan perekonomian negara yaitu Deklarasi Ekonomi (Dekon) dengan 14 peraturan pokok
Pembentukan Dekon ini bertujuan menciptakan perekonomian yang bersifat nasional, demokratis,
dan terbebas dari pengaruh sisa-sisa imperialisme sehingga dapat mencapai tahap ekonomi sosialis
Indonesia yang terpimpin Namun, dalam pelaksanaannya, Dekon berakibat pada stagnasi perekonomian
Indonesia sehingga kesulitan ekonomi semakin terasa. Bahkan, pada 1961-1962, harga-harga barang pada
umumnya mengalami kenaikan hingga 400%, Kondisi ini pun semakin diperparah dengan
berlangsungnya konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat yang semakin mempercepat
kemerosotan perekonomian Indonesia.
Usaha pemerintah dalam mengatasi kemerosotan ekonomi di antaranya menerapkan kebijakan
dalam bidang moneter Pada 13 Desember 1965, melalui Penetapan Presiden Nomor 27 Tahun 1965,

5
pemerintah mengambil langkah devaluasi, yaitu kebijakan untuk menekan inflasi. Pemerintah
menggunting uang senilai Rp1.000 menjadi senilai Rp1.
Tindakan kebijakan moneter pemerintah ini di dalam praktiknya semakin meningkatkan inflasi.
Hal ini semakin diperparah oleh kegiatan ekspor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dan impor
yang dibatasi oleh lemahnya devisa negara. Pada 1965, untuk pertama kalinya dalam sejarah moneter
Indonesia, pemerintah telah membelanjakan cadangan devisa negara hingga 3 juta dolar AS. Sebagian
besar dana tersebut dihabiskan untuk membiayai kegiatan politik konfrontasi, baik dengan Malaysia
maupun dengan negara-negara lainnya Barat.
Susunan Kabinet Era Demokrasi Terpimpin
Nama Kabinet Tahun Pemerintahan Nama Pimpinan
Kabinet Kerja I 10 Juli 1959-18 Februari 1960 Ir Soekarno
Kabinet Kerja II 18 Februari 1960-6 Maret 1962 Ir Soekarno
Kabinet Kerja III 8 Maret 1962-13 November 1963 Ir Soekarno
Kabinet Kerja IV 13 November 1963-27 Agustus 1963 Ir Soekarno
Kabinet Dwikora I 27 Agustus 1964-22 Februari 1966 Ir Soekarno
Kabinet Dwikora II 24 Februari 1966-28 Maret 1966 Ir Soekarno

C. Beberapa Perbedaan dalam Pelaksanaan Demokrasi Liberal dan Terpimpin


1. Keterkaitannya dengan Masalah Kedaulatan Rakyat
Pada Masa Demokrasi Liberal, kedaulatan rakyat dilaksanakan sepenuhnya oleh DPR
(parlemen/legislatif) DPR dapat membentuk serta membubarkan pemerintah dan kabinet (eksekutif). Pada
Demokrasi Terpimpin, secara normatif konstitusional, ditetapkan kedaulatan rakyat berada dan
dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR. Namun, dalam pelaksanaannya, kedaulatan rakyat sepenuhnya
berada di tangan presiden. Selanjutnya, presiden kemudian membentuk MPR (S) dan DPR Gotong
Royong berdasarkan keputusan presiden
2. Keterkaitannya dengan Masalah Pembagian Kekuasaan
Pada Masa Demokrasi Liberal, kekuasaan DPR (legislatif) lebih kuat jika dibandingkan dengan
kekuasaan pemerintah/ kabinet (eksekutif). DPR dapat memberhentikan pemerintah/ kabinet (eksekutif).
Sementara itu, kedudukan presiden hanya sebagai kepala negara. Dalam Demokrasi Terpimpin,
kekuasaan presiden (eksekutif) menjadi sangat dominan. Di samping itu, jabatan presiden ditetapkan
seumur hidup sehingga tidak dapat diberhentikan oleh MPRS.
3. Keterkaitannya dengan Masalah Pengambilan Keputusan
Dalam pelaksanaan sistem Demokrasi Liberal, semua pengambilan keputusan berada di tangan
DPR dengan mekanisme keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak Adapun pada Masa Demokrasi
Terpimpin, pengambilan keputusan dilaksanakan oleh MPRS dan DPR-GR serta berdasarkan suara bulat

Anda mungkin juga menyukai