Anda di halaman 1dari 3

Dengan disetujuinya hasil – hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 2 November

1949 di Den Haag, maka terbentuklah negara Republik Indonesia Serikat (RIS). RIS terdiri dari 16 negara
bagian dengan masing – masing mempunyai luas daerah dan jumlah penduduk yang berbeda. Di antara
negara – negara bagian yang terpenting, selain Republik Indonesia yang mempunyai daerah terluas dan
penduduk terbanyak, ialah Negara Sumatra Timur, Negara Sumatra Selatan, Negara Pasundan, dan
Negara Indonesia Timur. Sebagai Presiden atau kepala negara yang pertama RIS Ir. Sukarno, dan Drs.
Moh. Hatta diangkat menjadi perdana menteri yang pertama. Tokoh – tokoh terkemuka yang duduk
dalam kabinet ini antara lain dari pihak Republik Sri Sultan Hamenkubowono IX, Ir. Djuanda, Mr.
Wilopo, Prof. Dr. Supomo, dr. Leimena, Arnold Mononutu, Ir. Herling Laoh, sedangkan dari FBO adalah
Sultan Hamid II dan Ide Anak Agung Gde Agung.
Kabinet ini merupakan Zaken Kabinet (yang mengutamakan keahlian dari anggota – anggotanya)
dan bukan kabinet koalisi yang bersandar pada kekuatan partai – partai politik. Anggota – anggota
kabinet ini sebagian besar pendukung unitarisme dan hanya 2 orang yang mendukung sistem federal yaitu
Sultan Hamid II dan Anak Agung Gde Agung. Sehingga gerakan untuk membubarkan negara federal dan
membentuk negara kesatuan semakin kuat. Lebih – lebih karena pembentukan negara federal itu tidak
berdasarkan landasan konsepsional. Menurut kenyataannya negara federal itu bermula kepada usaha
Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia hasil proklamasi 17 Agustus 1945. Sudah pasti
pembentukannya ditentang oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Dalam pada itu ternyata di dalam
lingkungan negara – negara bikinan Belanda pun terdapat Republikein yang kuat berhasrat menegakkan
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengenai pembentukan Negara Kesatuan terjadi setelah pemerintah Negara Indonesia Timur dan
pemerintah Negara Sumatra Timur menyatakan keinginannya untuk bergabung kembali ke dalam wilayah
Negara Kesatuan RI. Kedua negara bagian tersebut memberikan mandatnya kepada Pemerintah RIS guna
mengadukan pembicaraan mengenai pembentukan Negara Kesatuan dengan Pemerintah RI. Setelah
pertimbangan mengenai pokok – pokok pikiran tentang pembentukan Negara Kesatuan disetujui oleh
pemerintah RIS dan pemerintahan RI, maka realisasi pembentukan Negara Kesatuan terlaksana setelah
ditandatanganinya Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dan Pemerintah RI pada tanggal 19 Mei
1950. Dalam piagam tersebut dinyatakan bahwa kedua belah pihak dalam waktu sesingkat – singkatnya
bersama – sama melaksanakan pembentukan Negara Kesatuan sebagai jelmaan daripada Republik
Indonesia berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Kabinet RIS di bawah pimpinan Hatta memerintah sampai tanggal 17 Agustus 1950. Pada hari itu
RIS menjelma menjadi negara kesatuan Republik Indonesia (RI). Dengan demikian negara federal itu
tidak sampai mencapai usia 1 tahun. Dalam usia yang singkat itu RIS dengan satu – satunya
pemerintahannya di bawah Perdana Menteri Hatta memecahkan masalah – masalah yang merupakan
akibat Perang Kemerdekaan maupun masalah – masalah yang intern dengan kehidupan suatu negara
muda.
Sebagai akibat Perang Kemerdekaan banyak prasarana yang hancur, keadaan ekonomi pada
umumnya buruk, dan terdapat pula di sana – sini kerusakan mental. Di bidang ekonomi masalah utama
adalah terdapatnya inflasi dan defisit dalam anggaran belanja. Untuk mengatasi inflasi ini pemerintah
menjalankan suatu tindakan dalam bidang keuangan yaitu mengeluarkan peraturan pemotongan uang
pada tanggal 19 Maret 1950. Peraturan ini menentukan bahwa uang yang bernilai 2,50 gulden ke atas
dipotong menjadi dua, sehingga nilainya tinggal setengahnya. Walaupun banyak pemilik uang yang
terkena peraturan ini, tetapi pemerintah mulai dapat mengendalikan inflasi agar tidak cepat meningkat.
Disamping soal keuangan ini, ekonomi juga dapat diperbaiki, karena dengan meletusnya perang Korea,
perdagangan ke luar negeri meningkat, terutama untuk bahan mentah seperti karet. Sehingga expor
Indonesia meningkat dan pendapatan negara juga bertambah.
Masalah utama lain terdapat di bidang kepegawaian, baik sipil maupun militer. Setelah selesainya
perang, jumlah pasukan harus dikurangi karena keuangan negara tidak mendukungnya. Mereka perlu
mendapat penampungan bila diadakan rasionalisasi. Untuk itu membuka kesempatan untuk melanjutkan
pelanjarannya ke pusat – pusat latihan yang memberi pendidikan keahlian untuk memberi mereka
kesempatan menempuh karir sipil professional. Juga dilakukan usaha transmigrasi dengan wadah Corps
Tjadangan Nasional (CTN). Walaupun demikian masalah ini belum dapat diselesaikan.
Dalam pembentukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) intinya diambil dari
TNI, sedangkan lainnya diambi dari kalangan bekas anggota Angkatan Perang Belanda.
Personel bekas Angkatang Perang Belanda yang akan dilebur ke dalam APRIS meliputi kira –
kira 33.000 orang dengan 30 orang perwira. Pada Angkatan Udara diserahkan 10.000 orang.
Pembentukan APRIS sebagai salah satu keputusan KMB dengan TNI sebagai intinya ternyata telah
menimbulkan masalah psikologis. Di satu pihak TNI berkeberatan untuk bekerja sama dengan bekas
musuhnya. Sebaliknya dari pihak KNIL terdapat pula tuntutan untuk ditetapkan sebagai aparat negara
bagian dan menentang masuknya TNI ke dalam negara bagian tersebut. Gejala ini terlihat di Bandung
berupa gerakan APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang mengirimkan ultimatum kepada Pemerintah
RIS dan Negara Pasundan serta menuntut untuk diakui sebagai tentara Pasundan dan menolak
dibubarkannya negara tersebut. Di Kalimantan Barat Sultan Hamid II menetang masuknya TNI serta
menolak untuk mengakui Menteri Pertahanan RIS dan menyatakan bahwa dialah yang berkuasa di daerah
tersebut. Di Makassar muncul gerakan Andi Azis di Ambon gerakan Gerakan Maluku Selatan (RMS).
Keadaan tersebut sengaja oleh kekuatan reaksioner Belanda dengan tujuan untuk mempertahankan
kepentingannya dan untuk mengacau RIS, sehingga di dunia Internasional akan timbul citra bahwa RIS
tidak mampu memelihara keamanan dan ketertiban di wilayah kekuasaannya. Selain harus mengatasi
suasana instabilitas nasional sebagai akibat bom – bom waktu yang sengaja ditinggalkan oleh pihak
kolonialis, maka pemerintah juga tetap harus menghadapi pemberontakan DI/TII.
Kabinet Hatta menjalankan politik luar negeri yang bebas – aktif, walaupun hubungan diplomatik
masih lebih banyak dengan negara – negara barat daripada dengan negara komunis. Hubungan dengan
negara Belanda diusahakan untuk menjadi lebih baik dengan harapan Belanda akan menyerahkan Irian
Barat (Irian Jaya). Maka atas inisiatif pihak RI di Jakarta pada bulan April 1950 dilangsungkan
Konferensi Tingkat Menteri yang pertama antara Indonesia dan Belanda. Pada konferensi tersebut telah
dibicarakan pula mengenai persiapan – persiapan untuk membicarakan sengketa Irian Barat. Sebagai
hasilnya kemudian dibentuk suatu Komisi Irian, yang anggota – anggotanya terdiri atas wakil – wakil
Indonesia dan Belanda. Tugas komisi ialah mengadakan penyelidikan di Irian Barat serta melaporkan
hasilnya. Konferensi selanjutnya memutuskan untuk melanjutkan perundingan mengenai masalah Irian
Barat atas dasar laporan Komisi dalam Konferensi Tingkat Menteri Kedua di Den Haag pada tanggal 4
Desember 1950. Delegasi RI yang diketuai oleh Menteri Luar Negeri Mr. Mohamad Roem telah
mengajukan dua kali usul kompromi, yaitu agar pengakuan kedaulatan atas Irian Barat agar dilaksanakan
pada tanggal 27 Desember 1950, sedangkan penyerahannya dapat dilaksanakan pada pertengahan tahun
1951. Delegasi Indonesia juga telah memberikan jaminan mengenai kemerdekaan agama, hak – hak asasi
manusia dan otonomi seluas – luasnya bagi penduduk Irian Barat serta jaminan perlindungan atas
kepentingan – kepentingan Belanda. Pihak Belanda hanya menyetujui suatu persetujuan di mana
kedaulatan atas Irian Barat berada pada Uni Indonesia – Belanda, sedangkan de fakto pemerintahan tetap
di tangan Belanda. Belanda menyarankan pembentukan suatu Dewan Irian Barat dimana Indonesia
mempunyai wakil – wakil yang sama jumlahnya dengan wakil – wakil Belanda. Perundingan dengan
demikian sudah tidak bisa diharapkan mencapai hasil.

Anda mungkin juga menyukai