BANGSA, DAERAH,
DAN AMBIGUITAS MODERNITAS
DI INDONESIA TAHUN 1950-AN
1 Lihat terutama uraian yang mengesankan dari Feith 1962; juga beberapa artikel dalam Bourchier dan
Legge 1994; dan Lev 1966.
BANGSA, DAERAH, DAN AMBIGUITAS MODERNITAS 297
sesuatu daerah atau tempat, sampai pada rekayasa etnis. Tetapi daerahisme
dan nasionalisme bergandengan tangan. Sebagai manifestasi sovinisme lokal,
pemberontakan-pemberontakan itu merupakan ungkapan harapan-harapan
yang tak terlaksana mengenai jalan yang telah ditempuh oleh negara-bangsa
Indonesia. Tidak satu pun dari pemberontakan-pemberontakan itu bertujuan
memisahkan diri dari negara Indonesia, dan tidak ada perpecahan yang jelas
antara mereka yang mendukung negara kesatuan dan mereka yang tidak
mendukungnya.
Posisi ambigu daerah-daerah menjadi masalah pokok dalam pembentukan
negara-bangsa Indonesia. Kendati ada dorongan kuat untuk mengutamakan
kesatuan dan bangsa, perspektif-perspektif daerah cukup dominan di tahun 1950-
an, bahkan di tengah mereka yang berjuang untuk revolusi di tempat-tempat
lain di Indonesia, dan bahkan di antara anggota-anggota terkemuka partai-partai
nasional. Pembentukan wilayah daerah dan pemerintahan lokal, pembentukan
dewan-dewan perwakilan lokal dan departemen daerah, reorganisasi, dan bahkan
tata nama resimen-resimen tentara Indonesia, penerapan sistem pajak, dan
lahirnya cabang-cabang lokal partai-partai nasional, semua dilakukan dengan
perspektif daerah dan dikendalikan oleh kepentingan daerah. Di pihak lain,
kalaupun bangsa Indonesia pertama-tama adalah suatu gagasan, dan suatu cita-
cita, yang dihidupkan oleh para pemimpin negeri di Jakarta, ia pun diterima di
provinsi-provinsi, sekalipun dengan syarat.
Dalam bab ini, kita akan mencurahkan perhatian pada ungkapan
sentimen-sentimen daerah sebagai akibat kepedulian yang semakin meningkat
di provinsi-provinsi di Indonesia terhadap identitas lokal dan otonomi daerah,
demikian juga terhadap posisi daerah di tengah bangsa yang baru. Kepedulian
ini tidak mesti berdasar pada gagasan-gagasan mengenai solidaritas daerah
atau kepentingan umum. Kepedulian itu bisa jadi juga tertuju pada hilangnya
prestise perorangan di antara anggota kelompok elite. Dan tidak selamanya
juga kepedulian itu bernuansa negatif, sebab situasi politik yang baru telah
memberikan kesempatan kepada kaum elite lokal untuk memperoleh kekuasaan
dan kekayaan. Dalam nada yang lebih ideologis, kepedulian itu tidak terbatas
pada masalah-masalah kebebasan lokal, tetapi juga menyangkut arah masa
depan negara-bangsa Indonesia. Kepedulian ini sering kali diungkapkan dalam
rangka wacana kedaerahan, dan paling jelas dikumandangkan oleh kaum elite
lokal, baik oleh kaum bangsawan lama maupun kaum politisi baru. Dengan
memusatkan perhatian pada pikiran dan aksi kaum politisi, para pembesar dan
kaum cendekiawan daerah ini, pada keyakinan mereka, kebimbangan mereka,
298 REMCO RABEN
dan oportunisme mereka, kita berharap tidak hanya bisa membentuk kutub-
kutub artifisial wilayah dan bangsa, tapi juga menelusuri kembali sebagian
terungkapnya kejadian-kejadian yang begitu sering dilukiskan dengan istilah
teleologi integrasi nasional.
2 Untuk survei yang baik tentang pembentukan wilayah-wilayah administratif, lihat The 1994.
BANGSA, DAERAH, DAN AMBIGUITAS MODERNITAS 299
3 Bunyi teks: Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan ketjil jang berhak mengurus rumah
tangganja sendiri (autonoom).
300 REMCO RABEN
4 Rancangan undang-undang yang diajukan oleh Parlemen dihalangi oleh Presiden Suharto dan tak
pernah diwujudkan. Sakai 2003: 192.
302 REMCO RABEN
lebih jauh dari perbatasan desa. Untuk Bali, Adrian Vickers telah menunjukkan
bahwa pulau kecil ini telah mengembangkan wacananya sendiri bersifat lokal
mengenai modernitas yang tidak mengacu semata pada konsep gaya hidup dan
lembaga-lembaga ekonomi dan politik Barat secara eksklusif dipakai sebagai
cetak biru (Vickers 1996: 2-9). Memang, seperti dinyatakan oleh Frederick
Cooper, modernitas hanyalah instrumen diskursif, kosong secara analitis, dan
tidak mapan secara inheren (Cooper 2005: 127-34). Berkat hal ini, ia menjadi
sarana yang potensial di tangan banyak orang untuk mengajukan tuntutan bagi
masyarakat Indonesia baru yang sedang dibangun, baik di pusat maupun di
provinsi-provinsi.
Para pemimpin gerakan pemberontakan, seperti negara tandingan Kahar
Muzakkar di hutan Sulawesi Selatan, melegitimasikan tindakan-tindakannya
tidak hanya dalam kerangka keadilan sosial atau determinisme keagamaan,
melainkan juga dalam kerangka modern. Di tempat lain di Indonesia,
perdebatan publik sering berpusat pada gagasan tentang yang modern. Topik-
topiknya mencakup bentuk demokrasi yang benar, masalah apakah nilai-nilai
Barat bisa diterapkan di Indonesia, tapi juga kedudukan perempuan, cara
berpakaian yang tepat, seksualitas, dan kesehatan. Perdebatan tidak hanya
dilakukan di surat-surat kabar nasional, tapi juga di media daerah. Jelaslah,
perubahan-perubahan dan peluang-peluang mendadak di tengah negara-bangsa
yang baru telah mengajak para cendekiawan, seperti ditulis oleh surat kabar di
Makassar, untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman (Velthoen 2004:
155). Kebebasan pers dan kebebasan berorganisasi telah mendorong orang
untuk mengantisipasi masa depan yang lebih baik. Kehidupan publik telah
dipolitikkan seluruhnya. Konferensi-konferensi diadakan dan demonstrasi-
demonstrasi massal memenuhi jalan-jalan, lapangan-lapangan, dan tempat-
tempat pertemuan di pusat-pusat kota. Kehidupan publik menyaksikan
menjamurnya organisasi-organisasi sipil yang menggabungkan kelompok
keagamaan, kelompok fungsional, dan kelompok lain. Partai-partai politik, di
antaranya yang paling waspada dan kuat dari Jawa, mendirikan toko di daerah.
Gerakan perempuan, organisasi mahasiswa, serikat petani dan buruh, serta
gerakan adat melimpah.
Dalam beberapa hal, organisasi-organisasi itu mewakili masyarakat
madani yang mulai lahir. Namun efektivitasnya dalam memengaruhi negara
pusat tidak signifikan. Bahkan di daerah-daerah seperti Sumatera Barat dan
Tengah, yang penyebaran organisasinya sangat luas, posisi tawar-menawarnya
terhadap pemerintah pusat sangat terbatas. Sama juga dengan kapasitasnya untuk
BANGSA, DAERAH, DAN AMBIGUITAS MODERNITAS 303
oleh pemerintahan tak langsung dalam kerangka politik kolonial, dan selama
revolusi diperkuat oleh konsep federalisme di pihak Belanda dan legislasi
mengenai desentralisasi di pihak Republik Indonesia. Pengalaman-pengalaman
negatif selama tahun 1950-an mendorong terjadinya perlawanan terhadap
negara pusat serta pembelaan identitas dan otonomi daerah. Frustrasi yang
pokok dipicu oleh akan berdominasinya para pejabat dari Jawa atau dari daerah-
daerah tetangga, meningkatnya kekhawatiran terhadap aturan perpajakan dan
inefisiensi, juga korupsi di pihak pemerintah pusat.
Yang menonjol ialah kekhawatiran akan kemungkinan didominasi oleh
orang dari daerah-daerah lain. Seringkali mereka itu adalah orang Jawa, tetapi
di daerah yang rumit tata etnis dan politiknya, seperti Sulawesi Selatan dan
Tenggara, persaingan lokal merupakan faktor yang penting. Banyak sekali
contoh bisa diberikan mengenai ketidakpercayaan yang melanda semua tempat
di negeri ini: orang Sasak tak menyukai dominasi orang Bali, orang Minahasa
lebih menyukai negara Indonesia daripada kekuasaan Makassar, Riau meminta
status provinsinya sendiri, dan sebagainya. Tahun 1940-an, menjanjikan
kemerdekaan dari dominasi asing, di tahun 1950-an perjuangan kemerdekaan
berubah melawan ancaman campur tangan dari luar.
Yang menambah kekecewaan terhadap kegagalan otonomi adalah
semakin meningkatnya frustrasi terhadap bagaimana beroperasinya negara pusat
di tahun 1950-an. Sarjana, pengarang, dan wakil jangka pendek Partai Sosialis
Indonesia (PSI) dari Sumatera Barat, Takdir Alisjahbana, mengikhtisarkan
dengan baik sentimen-sentimen ini dalam sebuah pidato di hadapan Kongres
Adat Sumatera bulan Maret 1957:
5 Takdir Alisjahbana, Perdjuangan untuk autonomi; terjemahan diambil dari Feith dan Castles 1970:
322.
BANGSA, DAERAH, DAN AMBIGUITAS MODERNITAS 309
Epilog
Pada tahun 1950-an pembentukan negara dan membangun semangat bangsa
berjalan tanpa diiringi realisasi janji akan demokrasi dan otonomi. Sesudah
BANGSA, DAERAH, DAN AMBIGUITAS MODERNITAS 311
6 Lihat penggunaan mobilisasi etnis dalam persaingan di antara kaum elite lokal, Van Klinken 1999.
312 REMCO RABEN
Bibliografi
Ali, Fachry
1997 Sharing a Room with Other Nonstate Cultures: The Problem
of Indonesias Kebudayaan Bernegara. Dalam: Jim Schiller dan
Barbara Martin-Schiller (eds.), Imagining Indonesia: Cultural
Politics and Political Culture, hlm. 186-97. Athens: Ohio University
Center for International Studies.
Bourchier, David dan John Legge (eds.)
1994 Democracy in Indonesia: 1950s and 1990s. Clayton: Monash
University, Centre of Southeast Asian Studies [Monash Papers on
Southeast Asia 31.]
BANGSA, DAERAH, DAN AMBIGUITAS MODERNITAS 313
Cooper, Frederick
2005 Colonialism in Question: Theory, Knowledge, History. Berkeley:
University of California Press.
Drake, Christine
1989 National Integration in Indonesia: Patterns and Policies. Honolulu:
University of Hawaii Press.
Feith, Herbert
1957 The Indonesian Elections of 1955. Ithaca: Cornell University.
[Modern Indonesia Project.]
1962 The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Ithaca:
Cornell University Press.
Feith, Herbert dan Lance Castles (eds.)
1970 Indonesian Political Thinking 1945-1965. Ithaca dan London:
Cornell University Press.
Finkelstein, Lawrence S.
1951 The Indonesian Federal Problem. Pacific Affairs 24 (3): 284-95.
Gaonkar, Dilip Parameshwar
2001 On Alternative Modernities. Dalam: Lawrence S. Finkelstein
(ed.), Alternative Modernities, hlm. 1-23. Durham dan London:
Duke University Press.
Kahin, George McTurnan
1952 Nationalism and Revolution in Indonesia. Ithaca dan London:
Cornell University Press. [Reprinted in 1970.]
Kipp, Rita Smith
1996 Dissociated Identities: Ethnicity, Religion, and Class in an
Indonesian Society. Ann Arbor: The University of Michigan
Press.
Klinken, Gerry van
1999The Maluku Wars: Bringing Society Back In. Indonesia 71: 1-26.
2004 Dayak Ethnogenesis and Conservative Politics in Indonesias
Outer Islands. Dalam: Hanneman Samuel dan Henk Schulte
Nordholt (eds.), ,QGRQHVLD LQ 7UDQVLWLRQ 5HWKLQNLQJ &LYLO
6RFLHW\ 5HJLRQ DQG &ULVLV, hlm. 107-28. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
314 REMCO RABEN
Legge, J. D.
1961 Central Authority and Regional Autonomy in Indonesia: A Study
in local Administration 1950-1960. Ithaca: Cornell University
Press.
Lev, Daniel S.
1966 The Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics, 1957-
1959. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project Monograph
Series.
Magenda, Burhan Djabier
1989 The Surviving Aristocracy in Indonesia: Politics in Three Provinces
of the Outer Islands. Disertasi, Cornell University, Ithaca.
Maryanov, Gerald S.
1958 'HFHQWUDOL]DWLRQ LQ ,QGRQHVLD DV D 3ROLWLFDO 3UREOHP. Ithaca:
Modern Indonesia Project, Cornell University.
Ricklefs, M. C.
2001A History of Modern Indonesia since c.1200. Basingstoke: Palgrave.
[Cetakan ke-3.]
Robinson, Geoffrey
1995 The Dark Side of Paradise: Political Violence in Bali. Ithaca, NY,
London: Cornell University Press.
Sakai, Minako
2003 Resisting the Mainland: The Formation of the Province of the
Bangka-Belitung (Babel). Dalam: Damien Kingsbury dan Harry
Aveling (eds.), Autonomy and disintegration in Indonesia, hlm.
189-200. London dan New York: RoutledgeCurzon.
Schiller, A. Arthur
1955 The Formation of Federal Indonesia 1945-1949. The Hague dan
Bandung: W. van Hoeve Ltd.
Schulte Nordholt, Henk
2003 Renegotiating Boundaries: Access, Agency, and Identity in Post-
Soeharto Indonesia. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde
159: 550-89
Sjamsuddin, Nazaruddin
1990 Pemberontakan Kaum Republic: Kasus Darul Islam Aceh. Jakarta:
Pustaka Utama Grafiti.
BANGSA, DAERAH, DAN AMBIGUITAS MODERNITAS 315
Smail, John R. W.
1968 The Military Politics of North Sumatra: December 1956-October
1957. Indonesia 6: 128-87.
Takdir Alisjahbana, Sutan
1957 Perdjuangan untuk Autonomi dan Kedudukan Adat di Dalamnja:
Pidato Prof. Mr. S. Takdir Alisjahbana pada Kongres Adat se-
Sumatera di Bukittinggi dari 12-20 Maret 1957. Djakarta: Pustaka
Rakjat.
The Liang Gie
1994 Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia.
Yogyakarta: Penerbit Liberty. [Cetakan ke-2.]
Velthoen, Esther
2004 Hutan and Kota: Contested Visions of the Nation-State in
Southern Sulawesi in the 1950s. Dalam: Hanneman Samuel dan
Henk Schulte Nordholt (eds.), Indonesia in Transition: Rethinking
&LYLO 6RFLHW\ 5HJLRQ DQG &ULVLV, hlm. 147-74. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Vickers, Adrian
1996 Modernity and Being Modern: An Introduction. Dalam:
Adrian Vickers (ed.), Being Modern in Bali: Image and Change,
hlm. 1-36. New Haven: Yale University Southeast Asia Studies.
[Yale Southeast Asia Studies Monograph 43.]