Anda di halaman 1dari 61

BAB I

KONTEKS NASIONAL

Sekitar tahun 1958-1961 di Indonesia terjadi krisis yang hampir menyeluruh. Krisis
disebabkan oleh kekecewaan terhadap penyelenggaraan demokrasi parlementer yang di anut
Indonesia pada masa itu. Kekecewaan tersebut berupa adanya anggapan bahwa dengan
bentuk negara yang demikian itu, menyebkan Indonesia menjadi negara yang birokratis, tidak
efisien, dan korup.
Terjadinya krisis diikuti dengan adanya pertentangan antar kelompok dan perorangan
mengenai berbagai pandangan tentang cara mengatasi kekurangan sistem politik, filsafat, dan
struktur negara yang dijalankan.Selain itu juga hubungan anatra pemerintah pusat dan daerah,
pernyataan yang tegas tentang kontrol nasional atas ekonomi, peranan partai politik dan
tentara, serta kedudukan Islam dan komunisme dalam negara turut menjadi pemicu
pertentangan. Pertentngan tersebut semakin diperparah ketika tidak adanya kesepakatan
mengenai nilai-nlai fundamental.
Kemudian pertentangan menjadi sebuah dimensi kedaerahan yang disebabkan adanya
perbedaan sifat ekonomi, kultur, serta sosial pulau Jawa dengan pulau lainnya di Indonesia.
Pulau Jawa. Pada masa kolonialisme Belanda, Jawa sebagai tempat kerajaan purbakala
berkebudayaan agraria merupakan sebuah sasaran bagi pengaruh kebudayaan India. Selain itu
juga Jawa juga menjadi sasaran penetrasi kolonialisme Belanda dibandingkan dengan pulau
lainnya. Sementara itu pada pendudukan Jepang, pulau Jawa dijadikan sebagai pusat politik
Indonesia dengan adanya pemusatan lembaga pendidikan tingkat lanjutan dan tinggi,
perkembangan pergerakan nasional, pertumbuhan baru dari industri barang jadi, dan
politiisasi secara mendalam pada masa Jepang ( 1942-1945) serta revolusi nasional (1945-
1949).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar warisan kolonial
Indonesia adalah ketidakseimbangan struktural antara Jawa yang secara politis dominan akan
tetapi secara ekoomi lemah. Sedangkan pulau selain awa secara ekonomi kuat atan tetapi
secara politik lemah. Ketidak seimbangan antara awa dan lainnya menadi faktor gawat dalam
hubungan antara pusat dan daerah yang mempersulit usaha penyelesaian krisis nasional pada
tahun 1956-1957.
a. Krisis Daerah dalam Konteks Nasional
Perbedaan ekonomi dan kebudayaan yang berdasarkan kedaerahan sampai pada
pertentangan politik Indonesia menjadi sebuah gamabaran adanya pembagian dukungan
terhadap partai-partai besar pada pemilihan tahun 1956. Kemudian dengan adanya
kekecewaan terhadap hasil pemilihan bekaitan dengan munculnya ketidakpuasan terhadap
demokrasi parlementer yang berujung krisis politik tahun 1956-1957.
Dalam pemilihan tersebut tidak ada partai yang keluar sebagai pemenang,
akan tetapi setidaknya dapat memunculkan 4 partai besar seperti PNI yang mendapat 22,3%
suara dari suara keseluruhan, Masyumi 20,9%, NU 18,4%, PKI 16,4%. Dari hasil pemilihan
yang telah dilaksanakan PNI, NU, dan PKI memiliki suara dominan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur, sementara Masyumi mendapatkan suara yang cenderung mearata dari seluruh

1
pulau di Indonesia. Dengan persebaran suara yang demikian maka pertentangan antar partai
cenderung mencerminkan perpecahan kedaerahan dan ideologi.
Kesuksesan PNI mendulang suara tertinggi dalam pemilihan diyakini dilatarbelakangi
oleh keberhasilannya menampilkan citra partai yang modrat ditengah gencarnya pergerakan
Masyumi dan PKI. Masyumi menenkankan akan terwujudnya negara Islam dan PKI dengan
paham komunismenya. Meskipun pemilihan itu sendiri diperlukan, akan tetapi acara tersebut
dipandang banyak orang sebagai perusakan terhadap kesatuan nasional. Debat terbuka
mengenai persoalan filsafat negara dan peranan Islam telah menciptakan pertentangan dalam
masyarakat .Pembagian sosio-kultural di desa-desa pulau Jawa menjadi terformalisasi
sehingga menjadi terpadu, dan basis etnoregional dalam ideologi dan perbedaan politik
menjadi tegas.
Pemilihan umum yang telah dilaksanakan dianggap sebagai suatu obat ketika
kemerdekaan tidak kunjung menghadirkan masyarakat yang adil dan makmur dan mmbuat
sistem parlementer berjalan karena anggota parlemen yang baru bukan merupakan orang
pilhan Belanda untuk dewan boneka federal. Selain itu juga diselenggaraknnya pemilihan
umum diharapkan dapat mengurangi jumlah partai yang diwakili oleh parlemen dan akan
membawa kepada cara kerja yang tertib serta efisien. Kmudian diharapkan partai yang
mendapatkan suara mayoritas dapat mengambil tindakan dalam menentukan struktur negara,
ideologi dan politik, mengakhiri keraguan, kelambanan, serta ketidaksetabilan masa lalu.
Akan tetapi pemilihan yang telah dilaksanakan tidak dapat menghasilkan partai yang
mendapatkan suara mayoritas, keempat partai mendapatkan suara yang cukup seimbang.
Sehingga kabinet didasarkan atas sebuah koalisi yang kurang serasi antara PNI, Masyumi,
dan NU dengan dipimpn oleh Ali Sastromidjojo. Hasil dari pemilihan hanya dapat
mempengaruhi pembagian kekuasan dalam sistem politik yang ada dan tidak menjamin akan
adanya sebuah perubahan yang berarti. Pada akhirnya keputusan diserahkan kepada suara
mayoritas parlemen dengan komposisi anggota didominasi oleh orang Jawa.
Selain itu juga terdapat masalah lain yang tidak dapat diselesaikan oleh pemilihan
yaitu mengenai peranan terbatas yang diberikan oleh sistem parlementer pada tiga pelaku,
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan TNI. Selain itu juga terdapat juga
permasalahan mengenai perhatian khusus terhadap derah, yaitu kebijakan ekenomi dan
otonomi daerah.
b. Kebijakan Ekonomi
Sejak pemerintahan kolonial Indonesia telah mewarisi struktur ekonomi yang selalu
digambarakan bersifat dualistis, dengan pertanian dan padat karya. Serta digambarkan
kehidupa petaninya pas-pasan serta berdampingan dengan perkebunan dan pertambangan
asing yang terkontrol, modern, padat modal. Kemudian kaum nasionalis radikal menuntut
untuk mematahkan dominasi asing atas ekonomi Indonesia agar kebijaksanaan politik bagi
kepentingan rakyat Indonesia bisa dijalankan, dan negara menjadi sungguh-sungguh
merdeka. Kaum knservatif yang pragmatis takut akan kekacauan ekonomi yang pasti akan
mengikuti tindakan ini mengingat kekurangan personil terlatih dan tergantung pada pajak
ekspor.
Kelompok pedagang luar Jawa takut akan adanya kemerosotan ekonomi jika birokrat
yang tidak berpengalaman memegang kuasa pengawasan ekstra ekonomi. Akan tetapi pada
dasarnya jumlah pengusaha ekspor yang menghasislkan pajak sebagian besar berada di Jawa.
Sehingga tidak dapat terhindarkan akan melibatkannya kepentingan daerah ke dalam
kebijakan pusat. Pada umumnya kebijakan yang dilaksanakan untuk kepentingan konsumen

2
di atas kepentingan pengusaha. Kemudian dengan adanya dominasi ekonomi luar negeri atas
sektor nonpertanian menyebabkan terbatasnya kesempatan bagi kelompok pengusaha pribumi
untuk mrnumpuk dan menanam modal, serta menekankan pengarahan kepada konsumen.
Kecenderungan pemerintah Indonesia untuk mempertahankannilai kurs berlebihan
menghasilkan suatu ketidaksesuaian sekitar 300 persen antara nilai rupiah yang resmi dan
tidak.Perorangan, pengusaha ekspor hasil bumi yang dibayar dengan kurs resmi maka akan
mendapat sepertiga dari yang bisa diterimanya dari perdagangan barter langsung tersebut.
Oleh karena itu, perangsang keuangan untuk melakasanakan perdagangan langsung semacam
itu memperjelas adanya kelaziman penyelundupan dalam daerah ekspor di pulau luar Jawa.
c. Otonomi Daerah
Tuntutan otonomi daerah erat hubungannya dengan tuntutan asuatu pembagian
penghasiln yang lebih adil dari pendapatan ekspor pulau-pulau luar Jawa. Perluasan ekonomi
agi daerah juga dilihat sebagai suatu jalan keluar bagi dilema yang ditimbulkan kelemahan
pemerintah pusat dan hilangnya kepercayaan bagi sistem parlementer.
d. Dimensi Kemiliteran
Tuntutan untuk otonomi daerah yang lebih besar dapat dilihat sebagai sarana untuk
memuat pemerintahan efektif dari segi pandangan daerah. Tuntutan yang ada bukanlah
sebuah serangan serangan terhadap sistem demokrasi parlementer. Serangan yang paling
langsung pada saat pelaksanaan demokrasi liberal datang dari dua sumber, yaitu Presiden
Soekarno dan TNI.Serangan dari TNI diakibatkan adanya kecurigaan terhadap politisi dan
memandang rendah kelemahan serta ketdakcakapan pemerintah sipil. Akan tetapi ditengah
serangan tersebut, ditubuh TNI seendiri terjadi perpecahan ideologi, persaingan
perseorangan, serta ketegangan pusat-daerah.
Perbedaan pendapat di kalangan TNI cederung mencerminkan adanya persoalan
semacam sifat tentara sebagai suatu kekuatan gerilya/profesional, yang memberikan perhatian
relatif terhadap semangat revolusioner dan kecakapan teknis dalam pengangkatan pangkat,
serta hubugannya dengan pemerintah sipil dan partai politik. Selain itu didalam tubuh TNI
uga terdapat persaingan pribadi yang berasal dari fakta bahwa anggota TNI diduduki oleh
anak muda yang semuran dan memiliki kedudukan yang sama atas pimpinan. Ditambah
dengan kelemahan struktur komando pusat yang mempersulit pemantapan otoritas secara
hierarki.
e. Hubungan Militer-Sipil
Hubungan atara pemerintahan militer dan sipil kurang harmonis terutama ketika
kekecewaan terhadap demokrasi parlementer menyebar, beberapa perwira TNI
menganjurakan kembali kepada peranan politik yang penting yang dirasa telah mereka
telantarkan sesudah revolusi. Sebenarnya peranan TNI selamanya akan besar dalam
pemerintahan terutama mengena keberhasilannnya menjatuhkan berbagai kabinet sebelum
pemilihan.
TNI cenderung melihat dirinya sebagai pencipta dan pengawal negara, melawan
pelaksanaan pengawasan sipil atas militer. Kaum politisi sipil dianggap mewakili
kepentingan pengikut yang terbatas, serta perselisihan yang terjadi didalam maupun luar
dianggap merusak kesatuan TNI.
f. Hubungan Pusat-Daerah dalam TNI
Dilaksanakannya reorganisasi angkatan bersenjata yang meliputi pengurangan
kekuasaan komandan regional. Tujuh Komando teritorial yang lama (Tentara teritorium/TT)
akan dipecah menjadi komando teritorial yang lebih kecil, yaitu Komando Daerah Mliter

3
(KMD). Rencana tersebut setidakya dapat memenuhi keinginan sejumlah daerah salahsatunya
Sulawesi Selatan yang menginginkan status militer tersendiri.
Adanya pemecahan ini juga akan mengurangi kekuasaan komandan teritorial secara
individual dengan mengurangi jumlah pasukan dan luasnya daerah yang ada di bawah
kekuasan mereka. Akan tetapi, bagaimanapun reorganisasi merupakan suatu rencana jangka
panjang, dan hanya bisa dijalankan sesudah kekuasaan para panglima yang akan dipatahkan.
g. Kecaman Orang Sipil terhadap Demokrasi Parmenter: Dwitunggal
Soekaarno dan Hatta yang telah dipasangkan sejak awal kemerdekaan Indonesia
sama-sama mengecam pelaksanaan demokrasi parlementer dan partai politik, akan tetapi
memiliki perbedaan dalam penyelesaiannya. Hatta menuduhpartai hanya memajukan
kepentingan mereka dengan mengorbankan rakyat dan menyalahkan mereka sebagi penyebab
kakacauan yang terjadi. Sementara Soekarno mengecam partai hanya melayani kepentingan
pemimpiin mereka.
Usaha untuk menghidupkan kembali tradsi Indonesia mengenai perundigan dan
permufakatan merupakan pendapat baik Soekarno dan Hatta. Tetapi Soekarno
membayangkan proses ini bisa dilaksanakan dalam pengendalian parlemen nasional,
sementara Hatta melihatnya sebagai sesuai untuk masyarakat desa. Hatta membela
perkembangan koperasi dan pemberian otonomi yang luas pada satuan pemerintahan
setempat sebagai cara untuk melaksanakan perinsip ini. Perbedaan dalam pandangan kedepan
cukuplah mendasar, dalam membbangun suatu pemerintahan/gerakan nasional. Hatta
menekankan perlunya kesabaran membangun sejak dari dasar. Sementara Soekarno
mengandalkan pimpinan yang diilhami dari atass untuk membangkitkan rakyat menangani
tugas yang dihadapi dan menciptakan suatu permufakatan secara nasional.
Perbedaan antara keduanya mencangkup masalah pandangan dan gaya. Soekrno
romantis dan emosional, pongah dan egoistis, seorang tukang mimpi yang tidak praktis.
Sedangkan Hatta praktis, mempunyai pengertian tajam mengenai timing politik dan batas
dalam mengatur siasat agar lebih lama bertahan sebagai suatu kegiatan politik. Selama
revolusi nasional dinamisme Soekrno dan keteguhan Hatta telah digabungkan dalam
perjuangan untuk kemerdekaan. Pada akhirnya pada 1 Desember 1956, Hatta mengundurkan
diri karena tidak bersedia terus berada dalam suatu kedudukan yang tidak memberikan
kekuasaan untuk mempengaruhi politik pemerintah, tetapi dapat menimpakan tanggung
jawab kepadanya.

4
BAB II

Konteks Daerah Sulawesi

Pada tahun 1956 daerah Indonesia Timur terdiri dari tiga privinsi administratif antara
lain Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara, di samping Irian Barat yang masih berada dalam
penguasaan Belanda. Seluruh daerah tersebut terdiri dari satu komando militer teritorial TT-
VII/ Wirabuana dengan markas besar di Makassar, Sulawesi Selatan. Permesta secara resmi
dikeluarkan pada 2 Maret 1957 di Makassar. Daerah inti Permesta adalah di Sulawesi : di
Makassar, tempat perencaanaan proklamasi dan di Minahasa, di ujung utara pulau itu, tempat
rakyat dalam satu tahun mempersiapkan diri melawan pemerintah pusat di bawah bendera
Permesta.

Kekuasaan Belanda mula-mula diyehallam di wilayah sekitar Makassar di selatan,


sesudah kekalahan kerajaan Gowa, tahun 1667. Gorontalo dan Minahasa di semenanjung
utara, dan pulau-pulau Sangihe di luar pantai menjadi daerah kekuasaan Belanda melalui
perjanjian-perjanjian persahabatan yang ditandatangani antara tahun 1667 dan 1679. Sulawesi
dibgai menjadi dua unit administrasi pada 1938 yaitu Celebes dan daerah sekitarnya di
selatan dan tenggara, dan Karesidenan Manado di Utara dan sebagian tengah. Pada tahun
1930 Karesidenan Manado mempunyai perbandingan tertinggi antara pelajar dan penduduk,
dan angka melek huruf yang paling tinggi di Hindia Belanda. Sebab, di sana sudah terdapat
sejumlah sekolah swasta, baik dalam bahasa daerah maupun Belanda. Sebagian besar sekolah
itu dikelola misi Kristen, yang menyebabkan Minahasa mempunyai kelebihan di bidang
pendidikan daripada daerah lain di Sulawesi.

Di Sulawesi Selatan pada tahun 1936-1937 perbandingan antara jumlah pelajar dan
jumlah penduduk adalah satu dan lima puluh lima, dibandig dengan satu dan sembilan belas
di Karesidenan Manado. Sekalipun di sana ada perluasan pendidikan cara Barat selama
kekuasaan Belanda namun pendidikan bahasa Belanda jauh lebih sedikit dibanding di
Minahasa, jumlah orang melek huruf di Sulawesi Selatan pada tahun 1930 adalah diantara
terendah di Hindia Belanda. Orang Bugis dan Makassar kebanyakan beragama Islam dan
selama tahun 1930-an suatu jalinan sekolah dan organisasi yang disponsori gerakan Islam
modern, Muhammadiyah meluas di seluruh daerah tersebut.

Bangsawan daerah itu mempertahannlan banyak martabat tradisional, pengaruh dan


kekayaannya diwilayah yang secara langsung maupun tidak langsung diperintah rezim
kolonial. Pada umumnya daerah itu terlepas dari kerja sama dengan pemerintah kolonial,

5
sebab kekuasaan dari pemerintah ini sebagian besar dilaksanakan melalui dinas-dinas sipil
dan hanya orang-orang Minahasa-Ambon dengan pendidikanbahasa Belanda mereka yang
dianggap mampu duduk dalam hierarki administrasi.

Secara ekonomi, Sulawesi tergantung pada kopra. Diperkirakan, kopra merupakan


sumber penghasilan utama bagi 70% penduduk Sulawesi pada tahun 1950-an. Dibanding
dengan Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan tidak mendasarkan ekonominya pada satu macam
hasil tanaman, sebab setiap tahun Selatan memproduksi kira-kira 60.000 sampai 70.000 ton
beras surplus untuk diekspor ke bagian-bagian lain kepulauan itu. Tetapi suatu
pemberontakan meletus di Selatan pada tahun1950 dan menjelang 1955 kaum pemberontak
menguasai begitu banyak pedalaman, sehingga pemerintah tak mampu menyediakan beras
sama sekali.

Pada mula revolusi pada Agustus 1945, Sulawesi dijadikan salah satu dari delapan
provinsi Republik Indonesia. Makassar menjadi ibukotanya, dan seorang pemimpin
nasionalis asal Minahasa, Dr. G.S.S.J. (Sam) Ratulangie diangat sebagai gubernur. Dalam
satu tahun terbentuklah Negara Indonesia Timur yang disponsori Belanda, berpusat di
Makassar.

Setelah kemerdekaan, rakyat Minahasa merasa, bagi mereka merupakan suatu


kemunduran martabat untuk digabung dalam suatu provinsi tunggal dengan Makassar sebagai
ibukota, sebab dalam periode kolonial, Manado sejajar dengan Makassar sebagai ibukota
Karesidenan. Pimpinan di Selatan cenderung menyetujui otonomi untuk provinsi itu sebagai
satu keseluruhan, suatu otonomi yang bisa didasarkan pada penghasilan dari pedagangan
kopra Sulawesi Utara dan Tengah. Bagi selatan,otonomi provinsi dilihat tidak saja sebagai
pemberian suatu lambang kekuasaan setempat dan berguna dalam mengimbangi protes para
pemimpin pemberontakan terhadap dominasi Jawa, melainkan juga perlu untuk
menghidupkan aktivitas ekonomi dan menyediakan lapanga kerja, yang bisa menarik kaum
pemberontak keluar dari hutan.

Sekalipun revolusi itu merupakan pengalaman yang lebih memecah daripada


menyatukan bagi rakyat Sulawesi, beberapa hubungan antara Utara dan Selatan telah
ditempa, bukan saja dalam PKR yang berpangkalan di Makassar tetapi juga kalangan pemuda
dari semua bagian pulau itu, yang telah bertempur di Jawa melawan Belanda. Yang paling
terkenal di antara organisasi-organisasi itu, yang beranggotakan para pemuda Sulawesi,
adalah KRIS ( Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), yang didirikan di Jakarta pada 8

6
Oktober 1945. Diantara mereka yang turut dalam pembentukan organisasi ini adalah A.
“Zus” Ratulagie, anak perempuan gubernur Republik di Sulawesi, yang pimpinannya, dan
Kahar Muzakkar, seorang anak mud dalam pembuangan dari daerah kelahirannya Luwu di
Sulawesi Selatan yang menjabat menjadi sekretaris pertama.

Pada 1951 suatu persetujuan telah dicapai untuk memberikan statuus cadangan
sementara kepada kaum gerilya, sebelum penerimaan mereka ke dalam TNI atau akan
didemobilisasikan. Tetapi, persetujuan itu gagal dan Kahar Muzakkar beserta separuh dari
kaum gerilya itu kembali ke hutan.menjelang tahun 1953 Kahar Muzakkar dan pengikut-
pengikutnya secara resmi telah berhubungan dengan pemberontakan Darul Islam di Jawa
Barat, dan menjelang tahun 1956 mereka telah menguasa sebagian besar pedalaman Sulawesi
Selatan. Sekalipun pemberontakan Kahar adalah bagian dari suatu perjuangan untuk merebut
kekuasaan dalam daerah Sulawesi Selatan, dia dihidupkan oleh penentang teradap dominasi
Jawa dan Minahasa dalam jabatan-jabatan sipil dan militer, dan oleh kebencian terhadap
pasukan-pasukan Jawa yang dikirim untuk menundukannya.

Pada tanggal 16 November 1952, Warouw sebagai kepala staf TT-VII mendaulat
komandan Jawa, Kolonel Gatot Subroto, yang telah menegaskan sokongannya pada Nasutipn
serta tantangannya terhadap presiden. Tindakan Warouw telah didorong Sukarno, dan terlihat
setidak-tidaknya mendapat sokongan diam-diam dari Gubernur Sudiro ( orang Jawa dan
anggota PNI ). Pada bulan Mei 956, Letnan Kolonel .H.N.V Sumual yang tadinya menjadi
kepala staf Warouw di Brigade XVI, diangkat dalam kedudukan itu jugga di TT-VII. Dia
segera saja menjadi penjabat komanda, ketika Warouw berangkat menemui Presiden
Soekarno.

Baik rencana reorganisai teritorial ketetaraan maupun rencana mengukuhkan


program-program pendidikan dan latihan erat sekali hubungannya dengan Kolonel Ahmad
Yani, yang menjadi wakil pertama Nasution pada bulan Desember 2956, beberapa bulan
sesudah kembali latihan satu tahun di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat Amerika
serikat di Fort Leavenworth, Kansas. Sementara berada di Amerika, Yani berkenalan dengan
seorang perwira Bugis, Mayor Adi Muhammad Yusuf Amir. Yusuf adalah perwira pertama
dari Sulawesi Selatan yang mengikuti SSKAD di Bandung, dan yang pertama dilatih di luar
negeri.

Dia cepat mengetahui pentingnya pendidikan dalam ketentaraan profesional .


dikatakan bahwa Yusuf benar-benar merasakan bahwa karena dalam kekaauan di Sulawesi

7
Selatan, persatuan Indonesia berada dalam bahaya oleh adanya nada-tambahan kesukuan,
tanggung jawab penyelesaian ini harus diberikan kepada mereka dari daerah itu sendiri.
Disebabkan sebagian besar pasukan yang menindas pemberotakan itu adalah orang Jawa,
Kahar Muzakkar telah menggunakan semboyan-semboyan anti-Jawa untuk menarik
dukungan terhadap pemberontakan. Tuntutannya supaya Sulawesi Selatan dipimpin dan
diatur anak-anak daerah sendiri, juga ditujukan kepada orang-orang Minahasa, yang mengisi
begitu banyak kedudukan tinggi di jawatan-jawatan militer dan sipil.

Begitulah menjelang pertengahan tahun 1956, krisis politik nasional menghebat dan
tuntutan-tuntutan daerah pada Jakarta menumpuk, persaingan sipil dan militer di dalam
Sulawesi membuat keadaan menjadi lebih buruk. Rakyat di dua daerah yaitu Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Utara menafsirkan tujuan-tujuan Permesta dalam hubungan
kepentingan-kepentingan mereka yang khusus, di Selatan mengakhiri pemberontakan Kahar
Muzakkar, dan di Utara, menguasai hasil perdagangan kopra.

Persoalan di Utara berpusat pada kopra, terutama dalam penguasaan dan penggunaan
penghasilan ekspornya. Rakyat Minahasa merasa penghasilan ini dengan peraturan-peraturan
pemerintah yang ada, tidak digunakan untuk memenuhi kebutuhan mereka, tetapi dihambur-
hamburkan untuk proyek mercusuar di Jakarta. Mereka ingin mempertahankan tingkat yang
tinggi dalam pendidikan dan melek huruf mereka, tetapi pembiayaan sekolah dari pemerintah
pusat sama seklai tidak mencukupi. Kota Manado telah sangat rusak oleh pemboman sekuru,
namun pemerintah pusay mengabaikan permohonan mendapat sebagian dari uang pampasan
perang Jepang. Jalanan diterlantarkan dan sering tidak bisa dilalui.

Jual beli kopra di Indonesia Timur adalah monopoli Yayasan Kopra. Pada mulanya
didirikan pemerintah Hindia Belanda pada 1940. Yayasan ini terus bekerja sesudah
pengalihan kekuasaan dengan pada dasarnya struktur dan peraturan yang sama, sekalipun
markas besarnya dipindah dari Makassar ke Jakarta, dan orang-orang Indonesia
menggantikan personil Belanda. Perdagangan kopra sangat dipengaruhi keputusan Kabinet
Ali Sastroamidjojo pertama tahun 1954.

Tiga kejadian di Sulawesi yang menggambarkan ketidakpuasan pada kebijakan


pemerintah dan Yayasan Kopra, petama pada September 1954 terjadi perubahan dalam
struktur dan operasi-operasi Yayasan Kopra, komandan militer dari Indonesia Timur, Kolonel
J.F Warouw, secara terbuka mensponsori ekspor gelap kopra dengan Muang Bama ( sebuah
kapal Burma) dan peristiwa-peristiwa South Breeze. Kedua, di Manado pada Januari 1955,

8
terdapat suatu kelompok pengusaha setempat, penanaman kopra, dan para veteran menguasai
kantor lokal Yayasan Kopra, lalu mereka menyatakan berdirinya Yayasan Kelapa Minahasa.
Ketiga, pada bulan April 1956 terjadi pengambilan kantor pusat Indonesia Timur dari
Yayasan Kopra di Makassar oleh suatu kelompok, yang sebagian besar terdiri dari veteran
TNI yang menamakan diri Komite Aksi Desentralisasi dari Yayasan Kopra.

BAB III
PIAGAM PERJUANGAN SEMESTA

Sejarah Permesta sebagian adalah penciutan basis teritorial gerakan dari seluruh Indonesia
Tmur ke wilayah yang secara kultural dan religius serba sama, yaitu Minahasa, di ujung
paling utara Pulau Sulawesi. Sejarah Permesta sebagian merupakan perjuangan rakyat
Minahasa melindungi kekuasaannya di pulau-pulau bagian timur, yang mereka warisi dari
zaman kolonial. Tetapi sejarah ini telah bermula di Makasar, ibu kota provinsi Sulawesi
dengan perencanaan bagi Proklamasi 2 Maret – Piagam Perjuangan Semesta Alam.
A. Perencanaan-perencanaan Sipil
Orang-orang sipil yang merupakan inti perencanaan Permesta adalah anggota-
anggota PKR (Partai Kedaulatan Rakyat) partai yang telah mempersatukan kaum
intelektual kota dan kaum bangsawan maju untuk menyokong Republik dalam
parlemen NIT semasa revolusi. Meskipun penampilannya lemah dalam pemilu tahun
1955, anggota-anggota PKR memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan
setempat salah satu contohnya Andi Pangerang Petta Rani sebagai gubernur Sulawesi.
Pada permulaan bulan Februari 1957 Gubernur Andi Pangerang pergi ke Jakarta
untuk membicarakan dengan pejabat-pejabat pemerintahan pusat, sejumlah soal
serupa dengan yang kemudian tergabung dalam tuntutan-tuntutan Piagam Permesta.
Dikabarkan beliau telah membicarakan dengan Menteri tentang keinginan rakyat
Sulawesi untuk membagi pulau itu menjadi 2 provinsi otonom dan Menteri
menjanjikan akan mengirim kemudian suatu komisi ke Sulawesi pada bulan itu untuk
mempelajari hal tersebut.
Tentang kondisi-kondisi di Sulawesi, Gubernur mengatakan sangat diharapkan
untuk mengangkat orang-orang Sulawesi menduduki jabatan-jabatan administratif
dalam provinsi, sebab orang-orang setempat lebih menyadari adat dan tradisi
setempat, yang otomatis membuat pekerjaan lebih lancar. Selain itu, beliau juga telah
memohon sekitar Rp. 400.000.000, 00 untuk melaksanakan rencana-rencana

9
pembangunan bagi seluruh provinsi. Pada pertengahan Februari mereka
mengorganisasi diri mereka sendiri ke dalam suatu perkumpulan, konsentrasi Tenaga
untuk keselamatan Rakyat Sulawesi. Pemimpin-pemimpinnya, semua dari PKR:
adalah Ketua, Residen Andi Burhanuddin; Wakil Ketua, J. Latumahina; Sekretaris,
Henk Rondonuwu (ketua umum PKR dan wartawan di Makasar); Bendahara, Ny.
Milda Towoliu-Hermanses. Pembantu-pembantu ditunjuk dari partai-partai lain:
Achmad Siala, PNI; A. Tadjuddin, PSII; dan Abdul Muluk Makkatita, Masyumi.
Menurut suatu laporan, dalam waktu konperensi pers pada tanggal 20 Februari
mereka menyatakan, maksud mereka adalah untuk bekerja sama dengan pemerintah
daerah agar mendapatkan pengertian yang lebih baik dari pihak pemerintah pusat atas
tuntutan rakyat Sulawesi untuk otonomi provinsi. Tujuan mereka dengan menuntut
otonomi adalah untuk memainkan kemakmuran rakyat Sulawesi, bukan untuk
memisahkan diri mereka dari Republik kesatuan, yang ikut mereka perjuangkan
semasa revolusi. Mereka menetapkan, istilah otonomi termasuk pembagian
penghasilan antara pusat dan pemerintah daerah. Menjelang akhir Februari sebuah
delegasi telah diutus ke Jakarta, yang terdiri dari Andi Burhanuddin, Henk
Rondonuwu. dan Achmad Siala untuk mendukung tuntutan otonomi Gubernur
sebelumnya.
Pada tanggal 3 Februari 1957, Dewan Pemuda Sulawesi dibentuk, dengan
tujuh puluh tujuh anggota perseorangan, dan dukungan dari empat puluh tujuh
kelompok pemuda. Penggabungan oraganisasi ini menunjukkan sifat kelompok-
kelompok regional, agama, dan politik. Di antara mereka adalah oraganisasi pemuda
federalis, nasional, sosialis dan komunis. Dewan Pemuda Sulawesi sekali lagi
bersidang pada 20 Februari 1957 dan menyetujui garis-garis pimpinan organisasi dan
suatu program terperinci mengenai politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pokok pertama
program itu adalah suatu tuntutan akan otonomi seluas-luasnya. Selama bulan
Februari ada pertemuan-pertemuan antara kelompok-kelompok pemuda, orang-orang
sipil yang lebih tua, dan perwira-perwira militer setempat. Letnal Kolonel Saleh
Lahade, adalah seorang dari tokoh-tokoh penting, yang menghubungkan kelompok-
kelompok sipil dan militer tersebut.

10
B. Rencana-rencana Bikinan Militer
Perwira militer senior di Indonesia Timur, komandan TT-VII, Letnan Kolonel
H.N.V. (Ventje) Sumual, menghadiri reuni SSKAD di Bandung pada November
1956. Di sana keadaan TNI dan negara diperbincangkan, dan disana seruan untuk
persatuan di dalam TNI adalah kedok penentangan terhadap kebijakan KSAD
Nasution guna meningkatkan kekuasaan MBAD. Sumual rupanya sudah berhubungan
dengan kolonel Sumatra yang membangkang, Simbolon dan Husein. Sumual juga
berhubungan dengan pemimpin-pemimpin sipil di Minahasa termasuk A.C.J (Abe)
Mantiri, seorang direktur Perindo. Sumual juga cukup menyadari ketidakpuasan di
daerah asalnya yang telah mendidih dan siap untuk meletus.
Dengan begitu, inisiatif militer di Indonesia Timur diambil perwira-perwira
dari Sulawesi Selatan. Letnan Kolonel Saleh Lahade dan Mayor Andi Muhammad
Jusuf Amir telah bertemu dengan KSAD Nasution pada 7 dan 8 Januari 1957, atas
permintaanya, untuk membicarakan keadaan Sulawesi dan reaksi disana atas
peristiwa-peristiwa yang beru terjadi di Sumatra. Pada pertemuan itu Saleh Lahade
memperingatkan faktor yang terjadi di Sumatra itu ada di Sulawesi dan untuk
menghalangi kejadian serupa maka langkah yang harus diambil di empat bidang : (1)
militer- KoDPSST harus digantikan Komando Daerah Militer (KDM) untuk Sulawesi
Selatan dan Tenggara, sebagai suatu komando tingkat divisi, langsung
bertanggungjawab kepada MBAD. (2) keamanan-kebijaksanaan harus tetap, tidak
berubah-ubah dan sebuah mandat penuh harus diberikan kepada penguasa-penguasa
sipil dan militer daerah dan anggaran belanja harus disediakan. (3) pemerintah
Provinsi Sulawesi harus diberi otonomi sesuai dengan UUD Sementara. (4)
pembangunan-perhatian yang sungguh-sungguh harus diberikan pada pembangunan.
Nasution menjawab hanya urusan-urusan militer dan keamanan yang berada dalam
kekuasaannya.
Pada pertemuan ini juga disetujui, dalam persiapan pembentukan komando-
daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDMSST), KRU Hasanuddin akan ditugasi
sebagai satu resimen infantri tetap, dan Resimen Infantri 23 (RI-23) akan
direorganisasikan, dengan empat batalyon Jawa yang berada di bawah komandonya
akan dipulangkan ke daerah asal mereka. Sesuai dengan persetujuan ini KRU
Hasanuddin pada 20 Januari 1957 diresmikan sebagai RI Hasanuddin, tetap di bawah
komando Mayor Jusuf. Karena ada perbedaan kepentingan antara perwira-perwira
Utara dan Selatan mengenai persoalan-persoalan militer, diusahakan untuk membatasi

11
diskusi di bidang ini pada satu “program minimum” yang dapat disetjui keduanya-
pembubara KoDPSST. Jaminan militer bagi tuntutan orang-orang sipil untuk otonomi
provinsi dan perkembangan daerah akan memberikan suatu tameng bagi proklamasi
keadaan darurat perang yang diusulkan Indonesia Timur, dengan begitu secara efektif
menghapuskan KoDPPST dan komandannya Kolonel Sudirman dari yurisdiksi di
Sulawesi Selatan.
Dalam hal ini laporan berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kebijak.
umum terhadap Kahar Muzakkar termasuk usul-usul bahwa anak daerah mencoba
merundingkan persetujuan dengannya dibicarakan dalam pertemuan itu. Namun.
laporan lain mengatakan bahwa hal itu muncul dalam pembicaraan-pembicaraan
berikutnya di panitia pekerja yang disiapkan pada saat itu. Disetujui, Panglima
Sumual (dia tidak hadir dalam penemuan itu) akan berangkat ke Jakarta untuk
meyakinkan pemerintah pusat tentang gawatnya situasi di Indonesia Timur, dan untuk
menyongsong tuntutan-tuntutan Gubernur dan pemimpin-pemimpin sipil akan
otonomi provinsi. Suatu komite sebelas orang telah dibentuk untuk membikin
rancangan yang hampir pasti akan dilaksanakan apabila tuntutan-tuntutan Gubernur
dan Panglima tentang pemberian otonomi provinsi pada 1 Maret tidak dipenuhi.
Saleh Lahad mengepalai komite ini, dan dia, dengan bantuan Kapten Bing
Latumahina dan Kapten Lendy Tumbelaka, menyusun Piagam Perjuangan Semesta
Alam (Permesta), yang rneringkaskan berbagai keluhan, tuntutan, dan saran pejabat-
pejabat dan rakyat dan Sulawesi. Sesudah pertemuan itu Jusuf dan Saleh Lahade
menghubungi Panglima Sumual, dan memberi keterangan kepadanya mengenai
putusan-putusan yang diambil pada pertemuan 25 Februari itu. Dikatakan, Jusuf telah
menawarkan bantuan dari tujuh batalyon RI-Hasanuddin untuk menghalangi
batalyon-batalyon Brawijaya di bawah KoDPSST mengambil tindakan terhadap
tantangan yang diajukan kepadanya dan kepada pemerintah pusat.
Sumual berangkat ke Jakarta untuk kunjungan dua hari, ditemani Jusuf dan
Arnold Baramuli, jaksa tinggi provinsi dan militer, untuk menemui secara pribadi
perwira-perwira yang bersimpati di sana. Pada sore hari tanggal 1 Maret, Jusuf dan
Sumual kembali ke Makassar. Di kapal terbang yang sama ada delegasi sipil, yang
diketuai Andi Burhanuddin dan Henk Rondonuwu, yang telah berada di Jakarta dan
tak berhasil mendesak pemerintah pusat untuk memberikan otonomi kepada Sulawesi.

12
C. Proklamasi 2 Maret
Pada tengah malam 1 Maret itu, orang-orang sipil terkemuka di Makassar
dibangunkan dari tidur mereka oleh pasukan berseragam membawa undangan untuk
satu pertemuan di Gubernuran; ke tempat itulah mereka akan dibawa dengan segera.
Sebagian takut, menyangka mereka diculik gerilya dan seorang istri yang histeris,
kabarnya telah menjerit-jerit nekat dalam jip yang menyeret suaminya, sehingga
membantah Ny. Towoliu bahwa dia satu-satunya wanita yang hadir dalam pertemuan
itu. Meskipun jalan-jalan Kota Makassar dikawal ketat oleh orang-orang bersenjata
dari Rl-Hasanuddin yang ditempatkan pada setiap sudut suasana bahaya tidak
berkurang. Baru ketika para undangan itu tiba di Gubernuran yang aman dan terang-
benderang, dan mereka disambut Andi Pangeran sendiri, ketegangan itu menurun.
Sekitarlima puluh orang berkumpul dalam pertemuan itu, yang secara resmi
dibuka pukul tiga subuh oleh komandan TT-VII, Sumual. Dia membacakan
proklamasi keadaan darurat perang di Indonesia Timur. Saleh Lahade kemudian
membacakan Piagam Perdjuangan Semesta Alam (Permesta). Tujuan-tujuan dalam
tingkat wilayah termasuk pemberian otonomi kepada provinsi; lebih banyak perhatian
pada perkembangan wilayah; suatu alokasi yang lebih adil dari penghasilan dan
devisa asing; pengesahan atas perdagangan barter; dan sesuai dengan program TT-
Vll, pembangunan Indonesia Timur sebagai suatu daerah pertahanan teritorial dan
pemberian suatu mandat dan bantuan keuangan dan peralatan untuk penyelesaian
keamanan di daerah. Pada tingkat nasional, piagam itu menyerukan bagi penghapusan
"sentralisme”, sebab dasar bagi birokrasi, korupsi, dan stagnasi dalam perkembangan
wilayah, dan pemulihan dari ”dinamisme, inisiatif dan kewibawaan” melalui
desentralisasi.
Menyertai proklamasi keadaan perang ada Perintah Harian yang
memerintahkan anggota-anggota angkatan bersenjata dan pegawai-pegawai
pemerintah yang lain: berpegang teguh pada disiplin dan peraturan, menjaga keutuhan
sebaik-baiknya sesuai dengan Piagam Yogya, menjanjikan kerja sama yang baik
antara wakil-wakil pemerintah dan rakyat, melindungi rakyat dan desa-desa, dan tidak
memperuncing pertentangan suku-suku atau mengambil tindakan sewenang-wenang.
Peraturan-peraturan khusus juga dikeluarkan (barangkali bukan di pertemuan itu
sendiri, melainkan hari berikutnya) yang membatasi jumlah uang yang bisa dibawa ke
luar daerah itu, melarang menimbun atau mengirim ke luar daerah bahan-bahan pokok

13
dan barang-barang (beras, gula, minyak lampu, dan lain-lain) dan menempatkan
hubungan-hubungan laut dan udara di bawah pengawasan resmi.
Peraturan-peraturan yang sama dan seruan kepada rakyat supaya tenang,
mengerjakan tugas-tugas mereka yang biasa, dan menaati peraturan-peraturan dari
pemerintah militer dikeluarkan di Manado pada tanggal 2 dan 4 Maret. Pada hari
setelah proklamasi itu bentuk pemerintahan militer yang ditegakkan dalam keadaan
darurat perang menjadi jelas. Yang tertinggi adalah Panglima Sumual, sebagai
administrator militer, yang dibantu Saleh Lahade sebagai kepala staf. Empat gubernur
militer ditunjuk dan bertanggung jawab kepada Sumual sebagai administrator militer:
a. Sulawesi Selatan dan Tenggara -Andi Pangerang Petta Rani (Gubernur
Sulawesi).
b. Sulawesi Utara -Mayor DJ. Somba (Komandan Rl-24 Manado).
c. Maluku dan Irian Barat Letnan Kolonel Herman Pieters (Komanda RHS
Ambon).
d. Nusa Tenggara -Letnan Kolonel Minggu (Komandan RI-26 Bali).
Satu Komando Sulawesi Selatan dan Tenggara (KoSST) dibentuk dan secara
organisasi bertanggung jawab kepada TT-Vll; Andi Mattalatta ditunjuk sebagai
komandannya. Andi Pangerang secara formal dilantik sebagai gubernur militer
Sulawesi Selatan dan Tenggara, dengan kekuasaan penuh bagi kebijaksanaan
keamanan, pada tanggal 8 Maret. Dalam suatu upacara di Manado pada tanggal 11
Maret. Panglima Sumual menugasi Mayor Somba sebagai gubernur militer Sulawesi
Utara dan Tengah.

D. Reaksi-reaksi Pertama: Peghindaran Kekerasan


Proklamasi keadaan darurat perang di Indonesia Timur adalah suatu tantangan
yang dramatis terhadap MBAD dan kepada pemerintah pusat. Tetapi, bahaya yang
segera adalah, perkelahian mungkin akan meletus antara pasukan-pasukan Brawijaya
dan Hasanuddin di Sulawesi Selatan. Sesungguhnya, MBAD digoda untuk
menggunakan kesatuan-kesatuan KoDPSST di Indonesia Timur untuk menundukkan
tantangan wilayah itu. Sudirman mempunyai reputasi sebagai seorang yang tidak
menyukai kekerasan, tetapi pengendalian dirinya juga berdasar pada pertimbangan,
pemberontakan yang dipimpin Kahar Muzakkar berada di puncak kekuatannya,
sehingga terlalu berbahaya menghadapi risiko suatu perang saudara yang lain.
Sudirman memerintahkan pada kesatuan-kesatuan yang berada di bawah komandonya

14
untuk tidak melakukan tindakan sebagai jawaban terhadap proklamasi 2 Maret itu,
dan menjaga keselamatan tentara dan rakyat.
Segera sesudah pertemuan 2 Maret, Sumual mengirim seorang perwira Jawa
pada staf Bing Latumahina untuk memberitahu Sudirman apa yang telah terjadi.
Sudirman menolak menemui Sumual, tetapi meminta Saleh Lahade menemuinya.
Ketika Saleh lahade mengirim kembali pesan bahwa dia sakit, Sudirman yang pasti
prihatin akan pengaturan-pengaturan berkenaan keuangan dan komunikasi yang
dikeluarkan sehubungan dengan proklamasi dari keadaan darurat perang mengirimkan
ultimatum tiga pasal kepada Sumual: (1) jangan menghentikan atau mencampuri
keuangan KoDPSST, (2) jangan menutup perhubungan, (3) jangan mencoba
menduduki Mandai (lapangan terbang). Jika salah satu tuntutan ini dilanggar,
KoDPSST tidak akan bertanggung jawab atas akibat-akibatnya.
Keduanya, Sumual dan Sudirman menerima radiogram dari Kepala Staf
Nasution pada tanggal 2 Maret, yang memerintahkan mereka agar tidak melakukan
perubahan-perubahan organisasi dalam komando mereka, dan menghindari
mengambil suatu tindakan yang bisa membahayakan keamanan tentara dan
masyarakat. Jika terjadi kekerasan, tanggung jawab penuh akan tertimpa pada
Komandan TT-Vll (Sumual). Untuk menjamin perintahnya akan ditaati, supaya tidak
ada perubahan dalam status quo, Nasution mengirim suatu misi, yang terdiri dari
kepala staf TT-Vll terdahulu, Kolonel Kretarto, dan juru bicara Angkatan Darat.,
Letnan Kolonel Rudy Pimgadie ke Makasar pada tanggal 7 Maret. Pada waktu yang
bersamaan Komandan Brawijaya, Kolonel Sarbini datang ke Makassar, dan pada
tanggal 14 Maret diberitahukan, dia dan Sumual sudah mencapai persetujuan
mengenai petunjuk-petunjuk yang akan disampaikan kepada pasukan-pasukan
komando mereka masing-masing.

E. Pembenaran dan Penjelasan


Semua pihak TT-Vll, KoDPSST, dan MBAD berusaha menghindari kekerasan
segera sesudah proklamasi 2 Maret, tetapi pemimpin-pemimpin Permesta juga
prihatin untuk membenarkan tindakan mereka terhadap MBAD, dan
mengorganisasikan dukungan rakyat bagi tuntutartuntutan yang tercakup dalam
piagam itu. Secara tems-menerus ditekankan, tidak ada niat memisahkan Indonesia
Timur dari Republik, tetapi semata-mata suatu "koreksi" terhadap pemerintah
nasional. Suatu pembenaran khusus ditekankan dalam hubungan-hubungan intern

15
TNI, dan yang oleh Sumual ditegaskan dalam laporannya yang pertama kepada
Kepala Staf Nasution pada 2 Maret bahwa konsepsi Presiden Sukarno, usul untuk
memasukkan wakil-wakil PKI dalam pemerintahan tak bisa diterima rakyat Indonesia
Timur yang teguh keagamaannya (Islam maupun Kristen), dan mungkin akan
menghasut suatu reaksi negara-negara tetangga Indonesia yang antikomunis Filipina,
Australia, dan Belanda di Irian Barat yang semua ini berbatasan dengan Indonesia
Timur. Dalam melihat perkembangan-perkembangan kemudian. menarik pula bahwa
Sumual menambahkan, Amerika Serikat bisa menjadi terlibat dalam tindakan-
tindakan subversi di Indonesia dalam usaha menghalangi pertumbuhan "bahaya
merah".
Dalam suatu uraian ringkas bertanggal 24 Maret untuk suatu pertemuan
pejabat-pejabat sipil dan militer Indonesia Timur, keperluan dibubarkannya
KoDPSST telah diberikan sebagai salah satu alasan bagi proklamasi keadaan perang
tanggal 2 Maret. Selanjutnya, Kahar telah menjawab tawaran Kolonel Sudirman
dengan usul perundingan-perundingan atas dasar negara ke negara, dan hal ini
sangatlah berbahaya bagi negara dan tentara. Juga diperingatkan kegagalan
pemerintah pusat menyediakan dana yang perlu untuk melaksanakan persetujuan Juni
1956 dengan pemberontak-pemberontak TKR dan TRI dan ketiadaan pengertian di
antara kesatuan tentara tentang alasan-alasan persetujuan itu. Tetapi, dasar
pembenaran yang diberikan pada proklamasi keadaan perang itu adalah reaksi negatif
yang diperkirakan muncul baik dalam ncgeri maupun asing terhadap konsepsi
Presiden.

F. Penyusunan dukungan Sipil


Sesudah proklamasi 2 Maret 1957, pemerintahan militer di bawah Sumual
dan Saleh Lahade bergerak cepat menyusun dukungan npnl dan membangkitkan
semangat rakyat bagi tindakan mereka. Team Asisten, yang meliputi baik anggota-
anggota militer maupun sipil, dilantik pada 4 Maret. Seratus sebelas anggota Dewan
Pertimbangan Pusat (DPP) telah diangkat pada tanggal 7 Maret dan dilantik sehari
kemudan. Turut sertanya orang-orang sipil dalam Permesta disalurkan melalui kedua
organisasi ini, yang beranggotakan banyak orang-orang yang sama.
Sekalipun fungsi pokok DPP adalah memberi nasihat pada pemerintahan
militer Permesta, dia juga digunakan sebagai kelompok kerja untuk merencanakan
rapat-rapat umum dan suatu kongres Indonesia Timur guna menunjukkan dukungan

16
rakyat bagi tuntutan-tuntutan proklamasi 2 Maret. Laporan-laporan ketika itu, dan
diskusi-diskusi kemudian dengan para peserta, menunjukkan pada permulaannya ada
semangat yang besar terhadap inisiatif pemimpin-pemimpin Permesta itu. Tetapi
harus dicatat. orang-orang sipil yang terlibat dalam Permesta disadarkan sungguh-
sungguh akan adanya peranan dominasi militer dalam gerakan itu.
DPP juga digunakan untuk mengadakan perwakilan-perwakilan pada
pemerintah pusat atas nama Permesta. Pada tanggal 14 Maret suatu delegasi, yang
ditugasi Sumual dan disetujui DPP, pergi ke Jakarta untuk menjelaskan latar belakang
proklamasi 2 Maret kepada Presiden dan pemerintah pusat. Delegasi ini bertemu
secara terpisah dengan Sukarno dan Hatta, dan dengan anggota-anggota Parlemen dan
Majelis Konstituante dari Indonesia Timur. Pada mulanya tidak ramah, tetapi
kemudian dikatakan bahwa Sukarno agak lega dengan jaminan-jaminan dari delegasi
itu, mereka bukan kaum separatis ,dan bukan federal, dan berakhir dengan ucapan
selamat Sukarno pada mereka bagi usaha mereka untuk menjamin tidak merusakkan
kesatuan negara.
DPP mengadakan sembilan pertemuan pada akhir April, termasuk siding-
sidang khusus untuk membicarakan tuntutan-tuntutan piagam itu, persoalan-persoalan
ekonomi (terutama kopra), dan persoalan keamanan (menghentikan pemberontakan
Kahar Muzakkar). Anggota-anggota dari berbagai seksi dari Team Bantuan sering
bertemu dan menyusun saran-saran untuk pembangunan ekonomi, mengambil alih
perusahaan-perusahaan asing di daerah, perbaikan pendidikan. dan menghadapi
berbagai macam persoalan.

G. Usaha untuk Mencapai suatu Penyelesaian: secara Militer


Karena krisis yang muncul akibat Proklamasi 2 Maret itu adalah suatu krisis
militer, inisiatif dalam menyelesaikannya datang dari MBAD. Instruksi-instruksi awal
kepada TT-Vll dan KoDPSST, seperti telah dicatat di atas, adalah untuk
mempertahankan status-quo dan menghindarkan tindakan yang bisa berakibat
kekerasan. Untuk memperkuat kewibawaan mereka untuk menjabarkan suatu
penyelesaian bagi problem-problem yang diciptakan pernyataan keadaan perang di
Indonesia Timur dan di Sumatera Utara, Nasution dan wakilnya. Kolonel Gatot
Subroto, membujuk Presiden Sukarno untuk menyatakan negara dalam keadaan
bahaya dan perang secara nasional. Ini dilakukan pada tanggal 14 Maret 1957, pada
hari yang sama Kabinet Ali menyerahkan mandatnya kepada Presiden.

17
Dari tanggal 15 sampai 22 Maret komandan-komandna teritorial (kecuali
Husein dari Sumatera Tengah) di MBAD di Jakarta; Kolonel Sudirman juga termasuk
di dalamnya. Konperensi itu dimulai dengan kunjungan kehormatan pada Presiden
Sukarno. Pembicaraan dalam pertemuan itu berkisar sekitar pengembangan dan
perbaikan tentara, dan melindunginya dari pengaruh politik, yang hanya bisa
mengganggu kesatuan tentara. Tak ada keputusan bisa ditemukan mengenai krisis
daerah, tetapi persetujuan telah disusun mengenai struktur pemerintahan militer untuk
disahkan di bawah negara dalam keadaan bahaya dan perang secara nasional.
Bulan berikutnya (26-28 April) administrator-administrator militer dan
gubernur-gubernur sipil dari seluruh Indonesia berapat di Jakarta untuk
membicarakan penyelesaian masalah yang dihadapi negeri ini. Mereka menyimpulkan
bila kerja sama antara Sukarno dan Hatta bisa terlaksana, beberapa penyelesaian
mengenai persoalan nasional mungkin akan didapat. Mereka juga menganjurkan
supaya Dewan Nasional yang telah diusulkan tersusun dari wakil-wakil provinsi,
supaya suatu kebijaksanaan yang konsekuen dijalankan terhadap para pemberontak,
supaya administrasi diperbaiki dan korupsi diberantas, supaya pembangunan provinsi
dipercepat. dan supaya soal-soal di daam TNI diselesaikan dengan cara damai, tanpa
mengabaikan "tata tertib militer”.
Keputusan ini diumumkan dalam komunike TNI 5 dan 27 Mei yang
menyatakan TT-Vll dan KoDPSST akan disatukan dalam satu komando, di bawah
pengawasan KSAD, dan sebagai akibatnya Sumual dan Sudirman akan dipindahkan
ke jabatan lain, yang belum ditentukan. Kemudian juru bicara TNI, Letnan Kolonel
Rudy Pimgadie berkata, TNI meneruskan rencananya mengadakan reorganisasi
teritorial, dengan membagi Indonesia Timur menjadi 4 daerah militer: Sulawesi
Selatan dan Tenggara, Sulawesi Utara dan Tengah, Maluku dan Irian Barat, dan Nusa
Tenggara. Gubernur Sulawesi Andi Pangerang Petta Rani, ditunjuk sebagai gubernur
militer Sulawesi Selatan dan Tenggara, dengan pangkat tituler kolonel, yang mulai
berlaku sejak 1 April 1957. Penunjukan gubernur militer di daerah-daerah lainnya
masih dalam pertimbangan, begitulah komunike itu diakhiri.
Keduanya baik Sumual maupun Saleh Lahade memberikan reaksi terhadap
pengumuman ini yang menghapuskan komando tempat mereka memegang kedudukan
resmi tanpa memberikan pengakuan kepada pemerintah militer Permesta untuk
Indonesia Timur yang mereka dirikan dengan menekankan, siapa yang telah
memelopori inisiatif baru Piagam Permesta perlu tetap tinggal di daerah untuk

18
melaksanakan tujuan-tujuan yang telah dikemukakan. Di Manado, Mayor Somba
mengeluarkan pemyataan bahwa ia tidak setuju dengan keputusan yang dikemukakan
dalam komunikasi MBAD yang menjalankan kebijaksanaan divide et impera, yang
berbahaya untuk kesatuan TNl keseluruhan, maupun untuk kesatuan TT-VII. Ia
khusus menekankan, ia tidak setuju dengan keputusan untuk mencopot Sumual dari
jabatannya. la tidak akan bertanggung jawab, katanya selanjutnya, tentang akibat-
akibat keputusan ini, yang datangnya sangat mengejutkan pada masyarakat.
Pada pihak lain, Andi Pangerang, yang kedudukannya sebagai gubernur
militer di Sulawesi Selatan dan Tenggara telah ditetapkan, pada waktu ia kembali dari
pertemuan gubernur-gubernur dan penguasaan militer di Jakarta pada permulaan Mei,
menekankan pemerintah pusat telah memberikan perhatian yang semestinya pada
persoalan yang dihadapi daerah-daerah. Sambil terus mencela birokrasi dan
sentralisasi pemerintah pusat, Andi Pangerang memperingatkan mereka di daerah
yang "berjuang katanya untuk kepentingan rakyat, tetapi kenyataannya tidak
demikian."

H. Menyusutnya dukungan masyarakat


Pengakuan Andi Pangerang sebagai gubernur militer untuk Sulawesi Selatan
dan Tenggara adalah satu tindakan yang sengaja dari pihak Nasution dan pemerintah
pusat untuk mendapatkan keyakinan tentang kesetiaan dari pemimpin-pemimpin
daerah yang dihormati dengan harapan selanjutnya, mereka ini akan mempengaruhi
yang lebih muda berpihak pada mereka. Sekitar bulan Mei 1957, perbedaan pendapat
antara Andi Pangerang dan pimpinan militer dari Permesta sudah jelas. Benar ia
menyatakan secara pribadi kurang setuju dengan apa yang telah dilakukan di bawah
bendera Piagam 2 Maret, segera setelah ia menandatanganinya.
Tanda selanjutnya dari kemauannya untuk menghindarkan dirinya dari
Permesta ialah ketidakhadirannya di Kongres Bhinneka Tunggal Ika, tempat delegasi-
delegasi dari seluruh Indonesia Timur bertemu di Makassar, pada 8-12 Mei 1957,
untuk membicarakan tujuan Piagam yang diproklamasikan pada tanggal 2 Maret.
Kongres ini dalam banyak hal merupakan titik puncak kegiatan Permesta di lndonesia
Timur, tetapi ada tanda-tanda bahwa kegairahan masyarakat terhadap gerakan ini
mulai menurun. Pada minggu-minggu sebelum Kongres DPP, Permesta mengirimkan
misi jasa baik ke Manado, Ambon, dan Kupang (Timor), untuk mengatur kedatangan
utusan-utusan pada pertemuan itu.

19
Walaupun beberapa pimpinan nasional telah diundang untuk Kongres
Bhinneka Tunggal Ika (Sukarno, Hatta, Perdana Menteri Djuanda, Mayor Jenderal
T.B Simatupang bekas Panglima Angkatan Bersenjata) tidak seorang pun hadir.
Kolonel Sumatra, Simbolon dan Husein pun menyatakan tidak bisa hadir.
Ketidakhadiran Andi Pangerangsudah dikemukakan. Ada perasaan tidak enak pada
pembukaan rapat kongres itu ketika Mayor Jusuf, yang telah ditentukan untuk
berbicara dalam persoalan keamanan. ternyata tidak muncul.
Tiadanya gairah terhadap gerakan Permesta baik dari pihak beberapa
pemimpin lokal maupun nasional mungkin menjadi sebab menurunnya dukungan
rakyat terhadapnya. Tetapi. kongres itu sendiri dilihat dari pihak mereka yang
pertama-tama mendukung pergerakan ini lebih dititikberatkan pada pameran daripada
isinya. Suasana kemegahan kongres itu dikritik karena dianggap tidak cocok di
tcngah-tcngah rakyat yang sedang menderita, dan tidak sesuai dengan tujuan Piagam
2 Maret.

I. Reorganisasi Militer
KSAD, Nasution tiba di Makassar pada tanggal 30 Mei untuk melantik
Komando Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara (KDM-SST), dan membicarakan
penyelesaian soal-soal lain dengan Sumual, para pejabat setempat, dan Komandan
Resimen di Indonesia Timur. la disertai sebuah tim perwira yang diharapkan mencari
jalan keluar bagi masalah keuangan dan ekonomi di daerah, dan ia siap tinggal di
Makassar hingga Sumual dan Sudinnan menyerahkan komando kepadanya. Suasana
di Makassar tegang, karena Sumual belum bersedia menyerahkan komandonya, dan
telah menjelaskan keputusannya untuk tidak berbuat demikian. Sungguhpun Sumual
berkata ia menerima pengakuan resmi dari empat daerah komando (KDM) di
Indonesia Timur, ia menentang penghapusan TT-Vll dan penggantiannya dengan
komando daerah yang hanya memiliki kekuasaan koordinasi dan bukan operasi.
Apa yang digambarkan Nasution sebagai "perang urat saraf" terjadi. Insiden
pertama ini merupakan kemenangan yang jelas untuk Nasution dan MBAD sebab
pada tanggal 1 Juni 1957, KDM-SST dengan resmi dibentuk, dengan Letnan Kolonel
Andi Mattalatta sebagai panglima, dan Mayor Her Tasning sebagai penjabat kepala
staf. Dalam sebuah pernyataannya kepada pers, Mattalatta menyetujui peletakan
tanggung jawab untuk menyelesaikan persoalan Sulawesi ke tangan rakyat daerah,

20
dan menyerukan kepada rakyat daerah agar tidak membesar-besarkan pertentangan
golongan tetapi bekerja sama untuk perdamaian dan kemajuan.
Sambil menunggu persetujuan Sumual untuk menyerahkan komandonya, tim
perunding yang mengikuti Nasution membicarakan persoalan keuangan dan ekonomi
dengan para perwira dan pejabat daerah. Tim yang dikepalai Kolonel Dahlan Jambek
tinggal di Sulawesi beberapa minggu, dan mengunjungi Manado dan Makassar dalam
pemeriksaan persoalan perekonomian dacrah, misalnya perdagangan kopra. Tetapi.
titik pusat pemeriksaannya adalah pengambilan uang oleh TT-Vll dari cabang-cabang
Bank Indonesia di lndonesia Timur. Dalam komunike yang dikeluarkan pada tanggal
29 dan 31 Mei dan 6 Juni TT-Vll telah menjelaskan bahwa pengambilan itu adalah
“utang bisnis” atau ”utang darurat”, yang akan dibayar kembali sesuai dengan
perjanjian antara pimpinan bank dan Panglima, bahwa uang itu akan dipergunakan
untuk membiayai proyek-proyek pembangunan dan bahwa Rp 2. 000.000 telah
diberikan kepada setiap kabupaten untuk tujuan ini, dan bahwa sirkulasi keuangan di
daerah tetap normal. Barulah pada tanggal 23 Juni tercapai “pemecahan” dalam
sebuah pidato di Makassar Nasution menyatakan, ia mengambil tanggung jawab itu
demi kepentingan hubungan baik antara pemerintah pusat dan daerah.
Dalam pada itu Nasution telah memenangkan perang urat saraf dengan
Sumual dan Sumual menyetujui pembubaran TT-VII. Kemenangan Nasution ini dapat
terjadi karena pergeseran dukungan dari perwira-pemra pentmg Sulawesi Selatan dari
Permesta ke pimpinan TNI. Di Sulawesi Utara timbul reaksi yang tajam terhadap
pembubaran TT-VII dan pendaulatan Sumual dari komando Indonesia Timur. Dalam
sebuah , siaran radio tanggal 13 Juni Mayor Somba menyatakan, ia akan selalu
mendukung Sumual sebagai Panglima TT-VII, dan mengulangi pernyataan 8 Mei
tentang hal yang sama. ”Adalah keyakinan kita bersama bahwa Proklamasi 2 Maret
itu merupakan jalan baru dan titik-tolak ke arah keamanan dan kesejahteraan rakyat di
wilayah Indonesia bagian Timur.” ”Pemerintah Pusat sukar mempersalahkan tuntutan
Proklamasi 2 Maret, karena ia tahu, Proklamasi itu mengandung kebenaran dan
keadilan, berbeda dengan peraturan-peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Pusat di
masa-masa lampau, yang senantiasa membawa kerugian dan perpecahan." Secara
tidak langsung ia mengatakan bahwa hal ini merupakan sebab mengapa pemerintah
pusat mengambil taktik pecah belah dan kuasai, dan memindahkan Letnan Kolonel
Sumual dari Indonesia Timur.

21
Tidak ada reaksi terbuka dari Nasution atau dari MBAD terhadap pernyataan
Somba. Maka pada tanggal 19 Juni Letnan Kolonel Jonosewojo, kepala staf TT-Vll
yang lama yang juga ditunjuk bersama Sumual menjadi staf di perencanaan komando
koordinasi Indonesia Timur, menyatakan Sumual telah menyelesaikan pekerjaannya
dengan staf perencana dan telah pergi ke Manado untuk menjelaskan kepada Mayor
Somba tentang persetujuan 8 Juni mengenai pembubaran TT-VII.
MBAD meneruskan pembentukan komando daerah militer yang lainnya di
Indonesia Timur. Letnan Kolonel Herman Pieters dilantik sebagai komandan untuk
Maluku dan lrian Barat pada tanggal 26 Juni, dan pada tanggal 5 Juli Letnan Kolonel
Minggu dilantik sebagai komandan untuk Nusa Tenggara. Pada tanggal 5 Juli, Pieters,
Minggu, dan Somba juga ditunjuk sebagai administrator militer dari daerah mereka
sesuai dengan hukum darurat perang; Andi Pangerang yang ditunjuk sebagai gubernur
militer di Sulawesi Selatan dan Tenggara pada April juga dijadikan administrator
militer pada bulan Juli. Baru setelah tanggal 28 September, setelah diselenggarakan
Musyawarah Nasional tentang krisis daerah, Mayor Somba dilantik oleh Nasution
sebagai komandan Sulawesi Utara dan Tengah (KDM-SUT).
KADlT, Komando Antardaerah Indonesia bagian Timur, akhirnya KOANDA-
lT, ditetapkan pada tanggal 20 Agustus 1957. Jonosewojo ditunjuk sebagai penjabat
kepala stafnya, tetapi tidak ditunjuk seorang komandan sampai bulan Februari 1958.
Sesuai dengan rencana Yani, KADIT bertanggung jawab kepada KSAD akan
koordinasi keempat daerah militer (KDM) di Indonesia Timur, tetapi tidak
mempunyai kekuasaan operasional terhadap komando ini dan pasukannya. Kekuasaan
MBAD menjadi sangat bertambah besar, dan kekuasaan daerah komando menjadi
berkurang. Kenyataan komandan Komando Antar Daerah ditunjuk sebagai wakil
panglima angkatan darat dan ditempatkan di MBAD di Jakarta menunjukkan
pergeseran dari otonomi daerah ke penguasaan pusat.

J. Sulawesi Selatan: Fokus mengenai Keamanan


Penyelesaian militer pada 6 Juni 1957, yang memberikan kesempatan kepada
putra daerah menguasai persoalan keamanan dan militer di Sulawesi Selatan disambut
baik di pers Makassar sebagai "mendekati kesempurnaan". Dengan pembentukan
Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan dan Tenggara di Makassar, perhatian para
perwira Bugis dan Makassar sebagian besar ditujukan pada persoalan menumpas
pemberontakan Kahar Muzakkar. Bagi beberapa perwira, terutama Jusuf,

22
penghapusan TT-VII dan KoDPSST merupakan langkah pertama, dan pembentukan
komando militer yang terpisah di bawah perwira setempat Sulawesi Selatan,
merupakan langkah kedua, untuk mengakhiri pemberontakan. Tetapi, untuk dapat
mengandalkan pasukan setempat, bekas pemberontak TKR dan TRI harus
diintegrasikan ke dalam TNI, yang akan menjadi KDM-SST, dan latihan dan
kepatuhan seluruh unit lokal ini harus ditingkatkan. Pada persoalan inilah perbaikan
kekuatan lokal untuk menghadapi ancaman militer pemberontak, dan perundingan
dengan pemberontak Darul Islam perhatian perwira-perwira KDM-SST pada waktu
itu dipusatkan.
Perundingan dengan Kahar Muzakkar merupakan topik pembicaraan pada
pertemuan Dewan Permesta pada tanggal 16 April 1957, dan ada laporan pers pada
pertengahan Maret bahwa seorang perwira senior dari RI-Hasanuddin (belakangan
diketahui sebagai Mayor Jusuf) telah bertemu dengan Kahar untuk membicarakan
“persetujuan permulaan” untuk kemungkinan menyerahnya" Kahar. Walaupun ada
keraguan apakah, pertemuan serupa itu pernah terjadi, imbauan pada Kahar untuk
berunding anak daerah yang sekarang ini memegang tanggung jawab telah
dikemuakan dalam pidato Saleh Lahade pada rapat missal pada tanggal 10 Maret.
Segera setelah menerima tanggung Jawab penuh untuk keamanan di Sulawesi
Selatan, Andi Pangerang dan Andi Mattalatta pada tanggal 12 Juni menyiarkan lewat
radio sebuah seruan pada Kahar dan semua pemberontak yang masih berada dalam
hutan, agar kembali ke kepangkuan Ibu Pertiwi Republik lndonesia (pasukan) Mereka
mengulangi seruan ini pada pidato peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus.
Keduanya menekankan, tanggung jawab soal-soal daerah sekarang seluruhnya
ditangani anak daerah, dan bahwa pintu terbuka untuk mereka yang masih berada di
hutan untuk kembali dan mengabdikan dirinya untuk pembangunan daerah.
Seperti kita sebutkan di atas, kebijaksanaan menanggulangi pemberontakan
tidak seluruhnya hanya digantungkan pada perundingan saja, tetapi juga dengan
memperkuat unit TNI setempat, sedemikian rupa sehingga mereka ini dapat memikul
tanggung jawab operasi keamanan. Pada tanggal 17 Agustus 1957, 6.228 bekas
pemberontak TKR dan TRI secara resmi diterima ke dalam TNI yang membuat
kekuatan di bawah komando KDM-SST menjadi hampir lipat dua. Untuk memberi
latihan pada pasukan ini, dan kursus “penataran” untuk eks-batalyon CTN (yang
dulunya juga pasukan gerilya) Pendidikan Pendahuluan Ulangan Perwira dibuka di
Malino di sebelah selatan Makassar, pada tanggal 28 Oktober 1957. Mattalatta dan

23
Jusuf yangberbicara pada upacara pembukaannya berkata, dalam waktu tiga puluh
bulan semua perwira di KDM-SST sudah akan mendapat pendidikan selama tiga
bulan di pusat latihan itu.
KDM-SST sekarang terususun dari satuan-satuan yang terdiri hampir
seluruhnya dari anak daerah. Pada 22 Jaanuari 1958, satuaan-satuan ini dibagi lagi
antara komando Kota Makasar, RI-Hasannuddin dan RI-23. Dengan pembentukan
KDM-SST dan permulaan penarikan pasukan Jawa kian Sulawesi Selatan, Jusuf telah
berhasil dengan tujuannya yang pertama. Ia Menjelaskan kepuasannya akan
persetujuan yang dicapai dengan Nasution pada pertemuan 4 Juni oleh perwira-
perwira yang pertama kali merencanakan Permesta. Sejak saat itu Jusuf jelas
merupakan pimpinan kelompok yang anti-Permesta. Ia dengan teguh didukung kepala
staf KDM-SST, Mayor Her Tasning, Saleh Lahade, perwira Sulawesi Selatan yang
dianggap palingdekat dengan Permesta jelas menjadi pimpinan kekuatan yang pro-
Perrnesta di situ. Perwira-perwira lainnya, termasuk Andi Mattalatta, komandan
KDM-SST sikapnya kurang jelas.
Beberapa perwira Permesta yang jabatannya hilang dengan pembubaran TT-
VU dan KoDPSST, diberi tugas belajar, atau kedudukan staf yang tidak fungsional
tanpa tugas tertentu. Karena tugas belajar sering digunakan untuk membebaskan
perwira yang tak disukai atau tak mampu, mereka ini sering diremehkan. Kedudukan
yang tidak berfungsi itu juga tidak disukai, karena ini biasanya berarti tamatnya karier
militer. Perwira-perwira yang mendapatkan kedudukan seperti itu, dalam bahasa
pemeo Indonesia diistilahkan sebagai "perwira yang diperhantukan.

BAB IV

DARI KEMELUT KE PERTENTANGAN

Pembubaran TT - VII dan KoDPSST pada bulan Juni 1957 telah meredakan
situasi tegang yang meliputi Makassar semenjak pengumuman undang - undang
keadaan darurat pada tanggal 2 Maret. Walaupun sebagian besar perwira
Sulawesi Selatan puas dengan persetujuan Juni serta KDM - SST namun muncul
pihak oposisi dari perwira Minahasa yang menentang pembagian Indonesia Timur
dalam komando - komando daerah yang koordinasinya dipusatkan di MBAD. Para
perwira dari Minahasa berhasil menguasai TT-VII semenjak pembentukannya

24
pada tahun 1950, tetapi sekarang mereka nampaknya akan dibatasi sampai
Sulawesi Utara saja, suatu daerah terbatas yang tidak memberi janji apa - apa
bagi perwira yang ambisius.

Tahun 1956 adanya pengambilalihan Yayasan Kopra dan banjir protes


menentang penutupan Pelabuhan Bitung. Tuntutan untuk mendapatkan otonomi
daerah di Sulawesi Utara digabung dengan agitasi untuk memecah pulau itu
menjadi dua provinsi atau lebih, kelompok politik yang dominan di Sulawesi Utara,
menyokong pembagian menjadi dua provinsi dengan batas - batas yang sejalan
dengan kerisedenan zaman kolonial, yaitu Sulawesi Tengah dengan Gorontalo,
Bolaang Mongondow, Sangihe- Talaud, dan Minahasa, dan akan merupakan satu
provinsi dengan Manado sebagai ibukotanya. Namun ada indikasi yang
menunjukkan bahwa ada pandangan yang cukup kuat. di Donggala dan Poso,
dan bahkan di Gorontalo, untuk pembagian lebih lanjut menjadi provinsi - provinsi
yang terpisah, yakni Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Tahun 1957,
perpecahan antara Sulawesi Utara dan Selatan, yang dilambangkan dengan oleh
pindahnya Sumual ke Minahasa pada Juni semakin mendalam. Kemungkinan
mencapai penyelesaian krisis di daerah yang semakin menggawat sejak
permulaan tahun 1956 menjadi pudar.

Tanggal 20 Juni 1957, secara sepihak di sana diumumkan pembentukan


suatu provinsi, yaitu Sulawesi Utara. Perbatasan Provinsi ini sama dengan
kerisedenan kolonial Manado, jadi meliputi baik Sulawesi Tengah maupun Utara.
Sebagai gubernur provinsi baru itu Konperensi mengangkat H.D. Manopo,
Residen-koordinator Sulawesi Tengah, kelahiran Kabupaten Bolaang Mangondow
yang penduduknya sebagian terbesar beragama Islam itu. Pembenrukan provinsi
tersendiri akan membantu mengatasi kesulitan yang ditimbulkan oleh pemusatan
kontrol pemerintahan atas seluruh provinsi Sulawesi di Makassar. Kemudian ia
menjelaskan lebih jauh bahwa Sulawesi Utara sudah kenyang dengan janji
Pemerintah pusat untuk membantu Sulawesi Utara dengan uang dan bahan bagi
pembangunan daerah ini. Berkat barter kopra, cengkeh, pala, dan kopi, rakyat
mengharap akan mampu memulai pembangunan dengan alat – alat modern.

Kepala enam distrik di Sulawesi Utara dan Tengah memberikan dukungan


terhadap gerakan Permesta serta para pemimpinnya, mereka meminta para

25
proklamator 2 Maret tetap berada di kedudukannya dan meminta Sumual untuk
menyelesaikan pekerjaannya sesuai dengan Piagam Permesta dan keputusan –
keputusanKongres Bhineka Tunggal Ika. Juru bicara PNI E. A Kandou mengatakan
partainya sudah berjuang bertahun – tahun untuk terbentuknya suatu provinsi
sendiri J.A Sondakh dan PSI menyatakan adalah suatu hal yang baik untuk
mendapatkan pengakuan formal dari pemerintah pusat atas pembentukan provinsi
itu. PSII dan PKI tidak memberikan tanggapan. Memang penolakan PKI terhadap
gerakan Permesta sudah jelas di dalam suatu pertemuan antara partai – partai politik
di Manado dan SUmual pada Maret, dan PNI tidak pernah membetikan sokongan
aktif kepada gerakan itu. Kedua – duanya menyokong konsepsi Presiden Soekarno
untuk mengikutsertakan PKI dalam kabinet di tengah tentang umum di Manado dan
Minahasa.

Tindakan untuk membungkam PKI dan orang lain yang mungkin akan
bersikap ketus terhadap Permesta diambil beberapa saat sebelum pertemuan di
Gorontalo. Sekitar 19 Juni sekitar 30 orang diantara banyak anggota PKI ditangkap
di Minahasa dan di tahan di Gorontalo. 21 Juni O.F Pua anggota PNI dan ketua
dewan perwakilan daerah Minahasa dipenjara dengan alas an yang tidak
diterangkan, walaupun waktunya hanya sebentar.

Setelah Konferensi Gorontalo, Dewan Pemuda Indonesia Timur


mengadakan rapat di Tondano yang diadakan pada 5 - 11 Juli 1957 yang dihadiri
oleh perwakilan dari Sulawesi Selatan dan dari Nusa Tenggara (Bali). Ketua
Pemuda sendiri yaitu Nordin Djohan tidak menghadiri pertemuan tersebut.
Komando Pemuda Permesta yang dibentuk dalam kongres ini di beri status
setengah resmi oleh Sumual. Sumual mengatakan jika ada seseorang yang
dengan sengaja mau membendung Permesta, namun kami (Permesta) akan
berusaha menerima, mempersatukan serta mempertemukan mereka dengan kita.
Tetapi kalau dalam kenyataan ada gejala - gejala yang kuat seolah - olah tindakan
- tindakan terlalu merugikan maka demi keselamatan Permesta kita terpaksa
menjalankan hukum revolusioner. Saat Sumual ditawari belajar di Amerika Serikat
ia menolaknya dan bermaksud untuk mengabdikan semua kegiatannya bagi
Permesta. Profesor Sumitro Djojohadikusumo yang merupakan dekan Fakultas
Ekonomi Universitas Indonesia lari ke Minahasa meninggalkan kemelut yang
meliputi tuduhan - tuduhan korupsi, kemudian ia menjadi pelarian politik dam

26
menjadi seorang juru bicara utama pemberontak di luar negeri. Somba dalam
pidatonya di berbagai rapat umum mengatakan pembentukan provinsi Sulawesi
Utara adalah salah satu cara memenuhi keinginan rakyat untuk membangun
daerah mereka.

REAKSI TERHADAP PEMBENTUKAN PROVINSI SULAWESI UTARA

Pemerintah Pusat bersikap dingin terhadap penyerobotan kekuasaannya


melalui pembentukan sebuah provinsi secara sepihak di Sulawesi Utara walaupun
sudah mengumumkan rencananya untuk membagi Sulawesi menjadi dua provinsi
pada bulan Januari 1956. Menteri Penerangan memberitahukan kepada pers,
kebijaksanaan pemerintah tentang pembentukan provinsi - provinsi otonom baru
tidak akan ditentukan oleh perkembangan akhir - akhir ini di Sulawesi Utara, tetapi
oleh laporan dari panitia negara Kementrian Dalam Negeri untuk Pembagian
daerah yang sesang mengumpulkan bahan - bahan tentang soal itu.

Sebenarnya sudah lama Gubernur Gorontalo tahu tentang keinginan rakyat


di Sulawesi Utara untuk memiliki provinsi otonom di wilayah mereka. Andi
Pangerang telah mengatakan pada Februari bahwa rakyat Sulawesi
berkepentingan untuk mempunyai dua provinsi otonomi pulau itu dan
sebagaimana di catat di atas, ia telah mengadakan dengar pendapat mengenai
masalsh itu di Manado pada September 1956. Konsep Piagam Permesta yang di
bawa ke pertemuan 2 Maret, mengusulkan agar Indonesia Timur dibagi menjadi
lima provinsi otonom yaitu : Sulawesi Selatan dan Tenggara, Sulawesi Utara,
Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Barat, usul ini diajukan supaya daerah wilayah
Timur memiliki otonomi yang luas.

Dalam keputusannya 20 Maret, pemerintah militer TT – VII


memerintahkan pembentukan enam provinsi, yang membagi Nusa
Tenggara menjadi Timur dan Barat, dan menunjuk gubernur –
gubernur provinsi yang baru dibentuk itu. Keputusan – keputusan
Maret tidak diumumkan pada waktu itu dan mungkin Andi
Pangerang juga tidak diberitahu masalah ini, dan jika ditanya
mengenai kebenaran berita Proklamasi Provinsi Sulawesi Utara dia
selalu menjawab tidak tahu. Tetapi Proklamasi pembentukan
Sulawesi Utara secara sepihak nampaknya menjadi salah satu factor

27
yang membuat Andi Pangerang semakin tidak suka kepada gerakan
Pemesta. Pada bulan September ia dilaporkan menyukai Sulawesi
tetap merupakan satu provinsi, berdasarkan pendapatnya bahwa
penggabungan kedua ekonomi yang saling mengisi yang satunya
penghasil kopra dan yang lainnya beras – akan bermanfaat bagi
perkembangan sosial dan ekonomi.

Perbedaan antara Utara dan Selatan dilambangkan oleh posisi


dan sikap yang berbeda – beda dari Andi Pangerang dan Ventje
Sumual. Dimana Andi Pangerang yang jauh lebih tua dari Sumual
diakui oleh Pemerintah Pusat menjadi Gubernur sipil seluruh
Sulawesi dan juga sebagai gubernur militer untuk Sulawesi Selatan
dan Tenggara, posisi Permestanya hanyalah yang disebut terakhir.
Sebagai Panglima TT – VII, Sumual adalah komandan militer buat
seluruh Indonesia Timur, dan sebagai penguasa undang – undang
darurat dibuat wilayah itu posisinya bahkan akan lebih kuat. Bukan
tanpa arti Andi Pangerang pada September 1957 mendukung
pembagian wilayah militer Indonesia Timur menjadi empat komando
tetapi menentang pembentukan provinsi tersendiri buat Sulawesi
Utara, Sumual membantu terbentuknya provinsi Sulawesi Utara tetap
ingin setidak – tidaknya menjadi kepala Komando Antar Daerah
Indonesia Timur (KADIT) karena penghapusan TT – VII telah
meniadakan posisinya sebagai Panglima Indonesia Timur. Reaksi
yang negative atas pembentukan provinsi Sulawesi Utara juga datang
dari daerah yang berdekatan, dimana Sulawesi Tengah mengirim
beberapa delegasinya untuk menemui pemerintah pusat dan
menyampaikan protes atas dimasukkannya wilayah mereka secara
sepihak ke dalam provinsi yang sama dengan Sulawesi Utara.
Sebagian merupakan protes menentang pelembagaan kontrol
monopoli atas perdagangan kopra oleh pembesar – pembesar militer
setempat (Mayor Palar) dan sebagian lain merupakan suatu tuntutan
otonomi provinsi bagi Sulawesi tengah. Sejak pembentukan provinsi
Sulawesi Utara oleh pimpinan Permesta, rakyat daerah itu dilarang
untuk berhubungan dengan Makassar.tetapi Manado sendiri

28
nampaknya tidak berminat mengurus kepentingan penduduk
Sulawesi tengah dan mereka ini merasa terputus sama sekali dengan
dunia luar.

PERMESTA DI SULAWESI UTARA : PEMBANGUNAN DAN


KOPRA

Dengan perdagangan barter kopra yang sudah dijalankan seja


permulaan tahun 1956 oleh Yayasan Kopra Minahasa sebagai basis
ekonomi. Sulawesi Utara berada dalam posisi yang kuat guna
melaksanakan tuntutan Piagam Permesta untuk suatu otonomi.
Rencana pembangunan lima tahun Sulawesi Utara sudah mulai
disusun, titik beratnya akan ditekankan pada perbaikan pertanian
melalui irigasi yang diperbaiki, penggunaan pupuk, dan
pengorganisasian kursus – kursus latihan pertanian sehingga daerah
menjadi berdiri sendiri dalam memenuhi kebutuhannya. Di sektor lain
akan dikembangkan pabrik – pabrik untuk memproduksi bahan –
bahan bangunan dan untuk memproses bahan baku yang telah
dibelanjakan Rp 23.000.000. Pada akhir1957 ada sebuah pelabuhan
baru yang mana dari pelabuhan itu telah diekspor kopra seharga Rp.
28.000.000. Dana dari perdagangan itu digunakan untuk pengadaan
perlengkapan dan persediaan bagi proyek – proyek pembangunan.

Ada 20.000 sampai 25.000 ton kopra yang diekspor setiap bulan
dari Sulawesi Utara. 8000 – 9000 ton dari Minahasa saja. Impor beras
yang dibutuhkan untuk seluruh Sulawesi Utara kira – kira 2000 –
3000 ton sebulan dimana impor itu berasal dari system barter dengan
Singapura dengan basis satu lawan satu. Karena kopra adalah hasil
usaha petani bukan dari perkebunan besar, maka bagi pembesar –
pembesar Permesta di Sulawesi Utara adalah soal mudah untuk
berhubungan langsung dengan para penghasil dan untuk menghindari
peraturan devisa Jakarta. Di Sumatera suatu penghasil devisa yang
jauh lebih besar, tetapi aktiva minyak dan karetnya sebagian besar
merupakan modal asing sehingga penghasilan devisanya tidak begitu
tergantung pada kontrol daerah karena perusahaan – perusahaan asing

29
masih terus berurusan dengan pemerintah pusat. Sesudah bulan Maret
1957 sangat sulit mengetahui informasi struktur pemerintahan militer
di Sulawesi Utara. Di sana dibentuk Team Bantuan yang kepala
seksinya merupakan starf Gubernur militer, Mayor SOmba. Seksi
keuangan dan ekonominya dikepalai J.M.J. Pantrouw dan telah
mengambil alih banyak fungsi Yayasan Kopra Minahasa. Juga telah
dibentuk sebuah Badan Kopra yang terdiri dari wakil – wakil tiap
daerah tingkat dua Sulawesi Utara. Ada koordinasi perdagangan
dengan wilayah – wilayah Indonesia Timur terutama Maluku Utara
yang menghasilkan 6000 – 7000 ton kopra setiap bulan, dengan
Sulawesi Selatan yang dalam arti ekonomi sangat tergantung pada
pengapalan kopra. Pemerintah di Selatan hanya sedikit saja dapat
mengontrol daerah pedalaman, produksi kopra dan beras Sulawesi
hanya sedikit saja dapat mengontrol daerah pedalaman, produksi
kopra dan beras Sulawesi Selatan tidak bisa di ekspor para pejabat
melainkan oleh para penguasa militer lokal DI dan TNI. Jadi, para
pembesar di Selatan tidak hanya tidak mempunyai kopra untuk
diekspor sendiri, melainkan juga tidak memiliki beras untuk ditukar
dengan kopra dan pada tahun 1957 teraksa mengimpor beras untuk
memenuhi keperluan sendiri.

Utara sudah berketetapan hati untuk mengontrol perdagangan


kopra sehingga sumber pendapatan utama bebas dari pemerintah
pusat. Pemimpin Permesta menyadari arti penting sumber devisa ini
dan pada April 1957, Sumual mengangkat seorang ahli ekonomi
muda yaitu Drs. Sual untuk mengepalai biro ekonomi dan keuangan
dengan tujuan agar pemerintahan militer dapat menjamin pelaksanaan
kebijaksanaan perkopraan. Pada April muncul keluhan bahwa kepala
BUK Drs. Baharuddin Rachman atas wewenang sendiri telah menjual
kopra di luar negeri dengan harga yang lebih rendah daripada dijual di
Jawa dan diam – diam lari ke Singapura membawa keuntungan
penjualan kopra tersebut. Tidak adanya kontrol para pembesar di
Makassar atas daerah pedalaman Sulawesi Selatan dan penyaluran
kopra Utara melalui Pelabuhan Bitung berakibat buruk untuk terhadap

30
situasi ekonomi di Makassar yang menurut taksiran sudah sejak bulan
Juli 1957 ada 10.000 buruh pelabuhan menganggur di Makssar.

Pabrik – pabrik minyak kelapa di Makassar ditutup karena


kekurangan kopra. Dlaam upaya – upaya menyediakan lapangan
pekerjaan dan memperbaiki situasi ekonomi di Makassar. Gubernur
Andi Pangerang mengumunkan pada tanggal 14 Agustus, semua
pengapalan ekspor dan penjualan kopra dari Sulawesi Selatan dan
Tenggara harus melalui Pelabuhan Makassar. Kemudian atas
persetujuan Somba dan Sumual setiap bulannya diekspor 5000 –
10.000 ton kopra dari Utara melalui Makassar, dibentuklah sebuah
biro perdagangan darurat di Makassar untuk menangani perdagangan
ini. Tiga puluh persen penghasilan untuk pemerintah pusat.
Seterusnya kepentingan rakyat dan daerah akan diutamakan dan
ditempatkan di atas kepentingan perorangan atau kelompok tertentu
dan tujuan perdagangan adalah untuk mengembangkan masyarakat
dan menguntungkan rakyat.

ASPEK MILITER

Walaupun kegiatan pimpinan Permesta berpusat pada proyek –


proyek pembangunan dan pada perdagangan kopra yang menjadi
sumber pembelanjaannya, mereka juga prihatin terhadap situasi
militer di daerah mereka. Desember 1956 ada berita – berita tentang
peningkatan aktivitas Pasukan Pembela Keadilan PPK di Minahasa
bagian selatan, setelah penarikan mundur pos tentara di Motoling.
Januari 1957, Saerang mengumumkan niatnya untuk menjumpai
pimpinan pemberontak guna meyakinkannya agar “kembali ke
kehidupan normal”. Penyerahan Timbuleng disebut – sebut Sumual
pada jumpa pers 13 Maret sebagai suatu contoh hasil yang bisa
diharapkan dari kebijaksaan pemerintah militer Permesta yang
mempercayakan pelaksanaan kebijaksaan keamanan kepada para
gubernur militer yang diangkat belum lama berselang

31
Perhatian pokok para pimpinan militer di Sulawesi Utara adalah
nasionalisasi struktur Resimen Infanteri 24 dan setelah bulan
September 1957 penggantinya, Komando Sulawesi Utara dan tengah
(KDM SUT) dan memperkuasai kehidupan TNI di daerah itu dengan
memasukkan sejumlah bekas serdadu KNIL ke dalam satuan yang
beberapa satuannya ditempatkan di Maluku Utara. Dari Batalyon 70
yang datang ke Utara disusun menjadi batalyon yang kedua. 717.
Satuan TNI di Sulawesi Tengah yaitu Batalyon 719 (dua kompi) di
bawah Mayor L.J Palar dan sebuah kompi di bawah Frans Karangan
di daerah Palu tidak begitu pasti berada di bawah wewenangnya.
Somba setelah berunding dengan Sumual, telah mengusulkan kepada
MBAD agar kekuatan RI – 24 ditingkatkan menjadi dua batalyon. Ia
mendapat izin untuk membentuk kira – kira dua kompi baru dari
bekas serdadu KNIL di daerah itu , dan pada tanggal 11 Maret 1957,
387 orang bekas KNIL dilantik menjadi TNI.

Kemudian tanggal 25 Juni 1957, pengumuman dari Seleksi


Penerangan Team Bantuan Sulawesi Utara akan diadakan percobaan
milisi di wilayah GubMil Sul-Ut, percobaan ini akan dilakukan dalam
waktu yang singkat sedangkan mereka yang akan dilatih diutamakan
mereka yang sudah pernah memanggul senjata, pengumuman ini
sampai di Jakarta bersamaan dengan berita proklamasi pembentukan
provinsi Sulawesi Utara secara sepihak oleh konverensi kerja
Permesta di Gorontalo. Dalam pers dimuat sebagai berita kepala
pernyataan wajib militer umum di Sulawesi Utara dan tuduhan –
tuduhan di DPR bahwa ribuan bekas serdadu KNIL sengaja
dipersenjatai secara diam – diam. Dalam suatu wawancara pers
Somba menyangkal bahwa orang – orang bekas KNIL diberi senjata,
tetapi mengakui bahwa usul untuk memasukkan 18.000 bekas KNIL
ke dalam TNI telah disampaikan kepada MBAD. Katanya belum ada
jawaban atas usul ini juga atas permohonan untuk mengesahkan
pembentukan suatu resimen infanteri yang kedua untuk Sulawesi
Utara.

32
Ideology TNI kata Mayor Somba “ialah mempertahankan
negara, dan bagi Sulawesi Utara ideology tentara harus disesuaikan
dengan keinginan dan hasrat masyarakat. Tampaknya tanpa
pengesahan MBAD, KDM SUT mengumumkan pada bulan
November 1957 rencana melaksanakan suatu organisasi atas satuan –
satuan militer yang berada dibawah wewenangnya. Batalyon 714 akan
dipecah menjadi dua batalyon, masing – masing dengan tanda
pengenal “P” dan “S” dengan seterusnya dua batalyon “Q” dan “R”
akan dibentuk dari kedua kompi dari Batalyon 719 di bawah Mayor
Palar dan kompi yang satu di bawah Kapten Frans Karangan di
Sulawesi Tengah dan masing – masing perwira akan menjadi
komandan masing – masing batalyon yang baru itu terbentuk.

UPAYA PEMERINTAH PUSAT UNTUK MENCAPAI SUATU


PENYELESAIAN

Pada Juli 1957 pemerintah pusat menyatakan keprihatinannya


terhadap problem Sulawesi Utara, bukan terhadap problem Permesta.
Situasi di Selatan nampaknya cukup baik terkendali di bawah
pimpinan seorang tokoh daerah yang dihormati, Andi Pangerang,
yang sering – sering menyatakan prihatin terhadap kesatuan Republik
dan mengecam mereka yang menggunakan semboyan
“pembangunan” untuk menyembunyikan maksud – maksud separatis.
Ada sebuah misi yang diadakan di Sulawesi Utara yang terdiri dari
pejabat tinggi pemerintah pusat yang berasal dari Minahasa G.A
Maengkom, Menteri Kehakiman F.J Inkiriwang, Menteri
Perindustrian L.N Palar duta besar untuk Kanada dan Arnold
Mononutu anggota Konstituante, mereka mengadakan perjalanan luas
di Sulawesi Utara dan mengadakan pembicaraan dengan Sumual,
Somba, Saerang, Manoppo, dan sebuah delegasi DPP dari Makassar
yang sedang berkunjung. Selama kunjungan, anggota – anggota
mengadakan berbagai komentar yang bersifat pujian tentang Permesta

33
dan tampaknya optimistis tentang kemungkinan tercapainya suatu
persetujuan antara para pemimpin daerah dan pemerintah pusat.

Para anggota misi mengeluarkan sebuah pernyatan yang


membenarkan tindakan Sumual untuk membagi Indonesia Timur
menjadi enam provinsi otonom mendukung pembentukan sebuah
universitas di Sulawesi Utara, menjamin komunikasi udara dan laut
antarpulau, menganjurkan agar provinsi Sulawesi Utara dan
kabupaten – kabupaten yang berada di bawahnya, dan begitu pula
kantor – kantor pemerintah menerima anggaran belanjanya langsung
dari pemerintah pusat dan menganjurkan agar perdagangan barter
dibolehkan terus sampai tercapai suatu persetujuan akhir dengan
pemerintah pusat. Misi mengajukan rekomendasi kepada pusat agar
diselenggarakan Musyawarah Nasional untuk membicarakan situasi
yang gawat didalam negeri, munas ini diselenggrakan dari tanggal 10
– 15 September dan Sumual setelah mengadakan pembicaraan dengan
Perdana Menteri Djuanda di Jakarta pada akhir Agustus
mengumumkan bahwa ia akan hadir. Sebelum Munas, Sumual
menggabung pada pembangkang dari Sumatera, Kolonel Husein dan
Kolonel Barlian, dan mengadakan rapat di Palembang pada tanggal 8
September (yang oleh MBAD dicoba dilarang). Para colonel – colonel
pembangkang ini menandatangani Piagam Palembang yang berisi
tentang tuntutan – tuntutan mereka dan perlunya diadakan koordinasi
aktivitas di bidang militer dan ekonomi keuangan.

Piagam Palembang berisi :

 Pemulihan Dwitunggal Soekarno – Hatta


 Penggantian MBAD sebagai langkah pertama untuk kestabilan
TNI
 Desentralisasi pemerintah nasional
 Pembentukan sebuah senat
 Peremajaan dan penyederhanaan aparat negara
 Larangan terhadap komunisme karena hakikatnya yang bersifat
internasionalnya.

34
Sumual pada konferensi adalah sebagai penasihat delegasi Sulawesi
Utara yang dipimpin Mayor Somba. Didalamnya termasuk H.D
Manopo, W J Ratulangie, sejumlah anggota sipil dan militer, serta
beberapa penasihat. Sulawesi Selatan mempunyai delegasi tersendiri
yang dipimpin Gubernur Andi Pangerang.

Musyawarah – musyawarah Nasional dibagi dalam komite – komite


yang membicarakan empat bidang yaitu :

 Pemerintahan dan Administrasi


 Keuangan dan Pembangunan
 Angkatan Bersenjata, terutama angkatan darat
 Dwitunggal Soekarno Hatta
Kedua komisi ini mengajukan rekomendasi yang pada umumnya
mendesak pemerintah pusat agar memenuhi permintaan daerah untuk
kontrol lokal dan otonomi, pembagian pendapatan yang lebih adil dan
izin untuk mengambil prakarsa dalam proyek – proyek pembangunan
dengan bantuan keuangan dan tehnik dari pemerintah pusat. Pada
penutupan konferensi semua peserta terbang ke Yogyakarta untuk
menyatakan ikrar setia kepada Soekarno Hatta yang dilakukan di
makam Soedirman. Sumual mengatakan secara terbuka, hasil
konferensi “memuaskan” dan berucap, daya upaya gerakan Permesta
untuk mempercepat pembangunan di Indonesia Timur akan
disesuaikan dengan keputusan – keputusan Munas.

Pada permulaan Oktober gubernur Sulawesi Utara yang diangkat


Permesta, H.D Manopo, melaporkan sekembalinya dari Jakarta,
pemerintah pusat mungkin akan menyetujui pembentukan provinsi
Sulawesi Utara dan akan memberikan anggaran belanja sebesar Rp.
300.000.000. beberapa hari kemudian seorang pejabat Kementrian
Dalam negeri tiba untuk membicarakan soal ini. Setelah Munas
colonel – colonel Sumatera bertemu kembali di Palembang (21 – 22
September). Mereka menyusun suatu lampiran bagi Piagam Daerah
yang oleh Husein dan Barlian dibawa ke Makassar untuk
ditandatangani Sumual. Ada beberapa perubahan dari tuntutan Piagam

35
Asli, tetapi hal ini penting karena ia menunjukkan keyakinan suatu
penyelesaian betul – betul tidak mungkin. Seterusnya karena colonel –
colonel itu berpendapat bahwa komunisme memperluas pengaruhnya
di pemerintahan pusat mereka bersetuju untuk memulai perispan
segera untuk mendirikan Pemerintah Pusat Darurat Republik
Indonesia di luar Jawa. Dalam pada itu, Panitia Tujuh yang ditunjuk
Munas untuk menganjurkan suatu jalan penyelesaian problem personil
TNI memulai pekerjaannya dengan membentuk suatu Panitia
Pengumpul Fakta yang terdiri dari tiga anggota Kolonel Mokoginta,
Kolonel Sudirman, dan Mayor Muskita. Komite yang disebut terakhir
mengunjungi Makassar dan Manado pada pertengahan bulan Oktober.
Mereka tidak berjumpa dengan Sumual, yang rupanya tidak berada di
Sulawesi pada waktu itu, tetapi mengadakan pembicaraan dengan
Saleh Lahade, yang menyampaikan kepada mereka usul – usul untuk
menyelesaikan sengketa yang pada hakikatnya adalah pengulangan
tuntutan – tuntutan Proklamasi 2 Maret.

Komite Pengumpul Fakta akan mengirimkan kepada Panitia


Tujuh usul yang mereka terima di Makassar yaitu agar Sumual
ditunjuk menjadi komandan KADIT (Komando Antar Daerah
Indonesia Timur), komando yang mengkoordinasikan Indonesia
Timur. Tanggal 26 Oktober diumumkan, ia akan ditempatkan di
MBAD di Jakarta, dan kedudukannya nanti akan ditentukan Panitia
Tujuh. Pada waktu Musyawarah Nasional Pembangunan diadakan di
Jakarta pada 4 November 1957, suasana harapan umum setelah Munas
sudah tidak banyak lagi yang tertinggal. Perdebatan di DPR mengenai
undang – undang dalam keadaan perang yang baru memberi
kesempatan untuk melontarkan kritik yang meluas terhdap tindakan –
tindakan yang diambil komandan – komandan militer daerah dibawah
undang – undang yang ada, yang merupakan peninggalan penjajah.
Pada November MBAD mengumumkan penyelidikan terhadap
korupsi akan diluaskan sampai ke daerah – daerah. Untuk itu mereka
di daerah yang bertanggung jawab memecahkan soal itu para
komandan territorial, gubernur, dan kepala polisi mestilah menjadi

36
orang – orang pertama yang hak milik kekayaan pribadinya diperiksa
suatu panitia yang terdiri dari para perwira berkedudukan tinggi yang
akan ditunjuk KSAD.

Pada bulan Oktober, diumumkan di Manado perdagangan barter


akan diteruskan sampai ada jaminan yang pasti dari pemerintah pusat,
pendapatan daerah akan digunakan untuk pembangunan daerah yang
bersangkutan, dan proyek – proyek pembangunan yang sudah dimulai
tidak boleh dibiarkan mati karena kekurangan dana, system ekspor
pemerintah pusat (BE) berlku hanya untuk pusat, dan tidak boleh
diberlakukan di provinsi karena itu hanya menguntungkan orang asing
dan bukan pengusaha nasional. Para utusan ke Musyawarah
Pembangunan adalah orang – orang yang kedudukannya jauh lebih
rendah daripada mereka yang menghadiri Munas pada September,
walaupun para komandan daerah diinstruksikan menghadirinya.
Panitia Tujuh tampaknya telah menyetujui suatu rumusan yang akan
memberikan amnesty kepada berbagai perwira yang tidak menggubris
Angkatan Darat semenjak tahun 1956 dan menawarkan kepada
mereka kesempatan untuk memilih lapangan kerja di TNI atau
lapangan sipil.

Tanggal 30 November 1957 terjadilah percobaan membunuh


Presiden Soekarno, komplotan itu dituduhkan pada Kolonel Zulkifli
Lubis yang bersembunyi setelah bertikai dengan Nasution. Karena
hubungannya dengan colonel pembangkang di Sumatera maka seluruh
gerakan daerah dituduh secara luas oleh pers di Jakarta sebagai sebuah
pengkhianatan. Tanggal 11 Februari atas rekomendasi Panitia Tujuh
Munas tentang kebijaksanaan personil AD, bakal ada amnesty umum
bagi para calon perwira yang terlibat menantang wewenang AD
dibatalkan karena adanya Peristiwa Cikini. Peristiwa ini terjadi
bersamaan dengan kegagalan Indonesia dalam penyelesaian masalah
Irian Barat, suatu pemogokan solidaritas yang meliputi seluruh negeri
dan disetujui pemerintah guna menentang kedudukan Belanda di Irian
Barat yang disusul dengan aksi dari PNI dan PKI yang mengambil
alih perusahaan Belanda termasuk maskapai pelayaran KPN, bank,

37
perusahaan dagang, dan perkebunan. Perdana Menteri DJuanda
maupun KSAD Nasution tidak membenarkan penyitaan yang
melumpuhkan bank dan komunikasi itu dan yang dalam waktu singkat
memperburuk keadaan ekonomi. Tanggal 5 Desember Nasution
melarang penyitaan lebih lanjut dan menempatkan perusahaan yang
sudah diambilalih di awah pengawasan Angkatan Darat. Tiga puluh
empat perusahaan Belanda di Sulawesi Selatan dan Tenggara
ditempatkan dibawah pengawasan pemerintah provinsi. Sebuah Badan
Pengawasan Umum provinsi dibentuk yang didalamnya duduk wakil
pemerintah sipil, militer, dan Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat,
dimana badan ini adalan badan yang ditunjuk untuk
mengkoordinasikan aksi – aksi melawan Belanda.

Dengan memuncaknya ketegangan di Jakarta dan diseluruh


negeri maka pemisahan menjadi semakin tajam dan kemungkinan
penyelesaian melalui perundingan merosot. Sejumlah pemimpin
Masyumi yang merasa terpojok dan diancam tuduhan – tuduhan tidak
membantu pengambilalihan perusahaan Belanda dan terlibat dengan
Kolonel Lubis dalam Peristiwa Cikini yang mencoba melakukan
pembunuhan terhadap Presiden lari meninggalkan Jakarta menuju
Padang, tempat mengadakan kerjasama dengan Husein dan Simbolon.
Pada bulan Desember Pemerintah tampaknya menyadari bahwa para
colonel yang membangkang sudah punya kontak dengan para
pendukung asing yang potensial. Pemerintah sendiri menghadapi
sikap ogah – ogahan ketika berusaha membeli senjata dari Amerika
Serikat, pada Desember sebuah misi pembelian senjata berangkat ke
Eropa Timur dan Uni Soviet. 11 Januari 1958, pemerintah pusat
mengeluarkan satu pengumuman yang menyatakan tidak sah “semua
peraturan dan keputusan baik yang diambil pejabat militer maupun
sipil di daerah dalam bidang perdagangan luar negeri yang
menyimpang dari peraturan yang dikeluarkan pemerintah. Pemerintah
akan mempertimbangkan subsidi kepada mereka. Menteri Keuangan
menjelaskan perdagangan barter perlu dihentikan untuk mencegah
kerugian yang besar terhadap keuangan negara.

38
Biro Perdagangan Makassar mengatakan ia menyambut baik
keputusan itu karena ia akan diterapkan secara seragam dan semua
daerah akan diperlakukan sama. Gubernur Andi Pangerang
memerintahkan agar semua perdagangan Barter dihentikan. Dalam
pembicaraan Mayor Somba dengan Nasution di Jakarta pada
permulaan Februari, kepadanya dipastikan akan dibentuk suatu badan
ekspor impor baru yang akan memenuhi permintaan daerah dan pada
waktu itu Somba menegaskan, Sulawesi Utara dan Tengah akan
menaati instruksi yang melarang perdagangan barter. Pada 9
Desember 1957 diadakannya percobaan terakhir untuk menghidupakn
kembali Permesta di Makassar yaitu ketika Sumual meresmikan
Dewan Tertinggi Permesta dan Dewan Tertinggi Pemuda Permesta
dimana ia menjadi kepala Dewan Tertinggi Permesta, Saleh Lahade
sebagai wakilnya, dan Bing Latumahita sebagai sekretaris. Setiap
dewan punya anggota 17 orang dan kebanyakan atau malah semuanya
adalah orang Makassar. Pada akhir tahun 1957, kecuali Saleh Lahade
tidak lagi banyak para pemimpin pemula Permesta asal Sulawesi
Selatan yang masih tetap aktif. Pada 11 Desember gubernur Sulawesi
Utara H.D Manopo mengumumkan berakhirnya pengawasan
keuangan dan pemerintahan yang selama ini dilakukan Makassar atas
Utara (pemerintah pusat masih mengakui Makassar sebagai ibukota
Sulawesi). 13 Januari 1958 Menteri Dalam Negeri mengatakan
subsidi pemerintah pusat akan dikirim melalui Makssar. Tanggal 7
januari Gubernur Manoppo mengumumkan pembentukan jawatan –
jawatan vertical pemerintah yang terpisah. Perhubungan antara Utara
dan Selatan menjadi tambah sulit. Pelayaran antarpulau terputus
karena kapal – kapal disita oleh Jakarta saat pengambilalihan
perusahaan Belanda. Penerbangan nasional, Garuda terganggu.
Sejumlah penerbangan berkebangsaan Belanda minta berhenti ketika
terjadi gelombang kembalinya orang – orang Belanda ke negerinya.
Pada bulan Januari penerbangan Garuda ke MManado dikurangi dan
pada 14 Januari diumumkan bahwa penerbangan Garuda ke Manado
akan di berhentikan, seminggu kemudian muncul pengumuman bahwa

39
akan dibuka kembali penerbangan Garuda ke Manadao seminggu
sekali tapi tidak lewat Makassar melainkan lewat Banjarmasin.

TAHAP AKHIR

Menegangnya suasana setelah Peristiwa Cikini dan juga


Pengambilalihan Perusahaan Belanda, pimpinan pusat AD mencoba
memperoleh sebanyak mungkin dukungan di kalangan TNI dan
merongrong simpati orang kepada para colonel pemberontak.
Menempatkan perusahaan yang diambil alih di bawah kekuasaan TNI
AD dapat dianggap sebagai tema yang semakin menonjol dari gerakan
daerah, dia bersedia mencegah serikat buruh komunis dan nasionalis
radikal memegang kontrol atas sektor ekonomi yang penting itu.
Tindakan – tindakan langsung telah diambil dimana Nasution
mendukung Letnan Kolonel Herman Pieters, komandan KDM Maluku
untuk melawan usaha SUmual dan menggantinya pada bulan
Desember 1957, dan kabarnya memberi izin kepada Pieters untuk
meneruskan perdagangan barter langsung. Diadakan suatu konferensi
pada 7 – 9 Januari di Tretes Jawa Timur. Dari kDM – SST hadir
Mattalatta, Her Tasning dan Jusuf : KDM SUT diwakili mayor –
mayor Gagola, Joseph, dan Tenges. Dan dikabarkan bahwa Somba
sedang sakit. Nasution mencecar pada perwakilan dari Sulawesi Utara
tersebut dengan berbagai macam pertanyaan karena menaruh curiga
dengan aktivitas yang ada di Sulawesi Utara karena ditakutkan adanya
aksi – aksi pemberontakan dan memanfaatkan perwira – perwira
bekas KNIL untuk melakukan pemberontakan.

Kecurigaan tidak hanya terdapat di antara delegasi dari MBAD


tetapi juga di antara kelompok yang dari Sulawesi Utara, Somba bisa
saja sakit namun tidak menutup kemungkinan bahwa dia takut
ditangkap karena pesawat yang membawa delegasi setiap daerah
mendarat terlebih daehulu di Gorontalo untuk diperiksa dan baru
boleh melanjutkan perjalanannya. Kecenderungan Pemesta kepada
AURI yang dipimpin Suryadarma memiliki kecenderungan kiri

40
semakin menguat, semenjak adanya penghentian hubungan udara
dengan Manado atas perintah Suryadarma. Namun dibuka kembali
karena ada permohonan untuk membuka kembali penerbangan, tetapi
dengan jadwal terbatas. Walaupun tidak datang ke Tretes Somba
mengunjungi Jakarta untuk bertemu Nasution. Diumumkan bahwa
TNI / AD sedang meneliti mengenai usaha pembentukan “Negara
Sumatera”. Memang sebelum berjumpa dengan Nasution, Somba tahu
bahwa sedang dipersiapkan rencana memaksakan konfrontasi dengan
Jakarta dan dia khwatir, pertemuan tidak akan dapat dihindarkan lagi
kecuali jika tidak ada tindakan – tindakan cepat untuk memenuhi
tuntutan Piagam Permesta dipenuhi secepat – cepatnya mengingat
ketegangan semakin memuncak didalam negeri. Nasution menjawab
bahwa itu adalah urusan DPR dan meminta daftar senjata – senjata
yang diimpor, namun Somba mengatakan bahwa tidak ada senjata
yang dimasukkan. Dan Somba telah menyetujui penghentian
pedagangan barter di Sulawesi Utara dan kembali ke Manado pada 6
Februari.

Sumual sudah meninggalkan markasnya di Kinilow sesaat


sebelum Natal dan tanggal 9 sampai 11 Januari ia berada di Sungai
Dareh di Sumatera Barat. Pada suatu rapat dengan para perwira
pembangkang Sumatera dan politisi sipil yang bergabung dengan
mereka, diambil keputusan membentuk pemerintah tandingan jika
Jakarta menolak menyetujui tuntutan kaum pemberontak. Sumual
mengatakan bahwa menurut perkiraannya, pemerintah pusat akan
menjawab dengan kekerasan tetapi pada waktu rapat di Sungai Dareh
itu kaum pemberontak hanya mempunyai rencana, tidak memiliki
senjata yang dapat mereka gunakan menghadapi serangan Jakarta.
Segera setelah pertemuan, Sumual berangkat ke Singapura untuk
mencari senjata. Walaupin Sumual tidak memberitahukan apa - apa mengenai
pertemuan di Sungai Dareh kepada rekan - rekannya di Sulawesi Utara namun ia mengirim
kawat kepada Somba untuk berhati - hati mengenai "provokasi Jakarta" Ia juga
memerintahkan kepada Gerungan untuk membuat rencana atau studie untuk perebutan kota

41
Jakarta sejara fisik termasuk segala jumlah kebutuhan material, operasi planning akan
dilaksanakan oleh tiga daerah bergolak.

Menurut Sumual, di Singapura ia menemui sejumlah orang yang bersedia menjual


senjata kepadanya (Taiwan, Amerika Serikat, Italia) namun tidak mendapat izin ekspor
penjualan perorangan. Lalu ia pergi ke Hongkong untuk bertemu dengan Kolonel Joop
Warouw yang digantikannya sebagai Panglima TT-VII. Kedua orang itu kemudian pergi ke
Tokyo. Pada 5 Februari Warouw menemui Presiden Soekarno dengan harapan krisis yang
memuncak akan menjadi reda selama ketidakhadirannya di dalam negeri. Banyak pendapat
mengenai sikap Warouw pada saat itu terhadap rencana para perwira pembangkang untuk
melancarkan pemberontakan terang – teranngan. Menurut pers, Warouw berjumpa dengan
Soekarno sebagai utusan para colonel yang memberontak untuk mengingatkan Presiden,
pemberontak sudah siap mendirikan pemerintah revolusioner jika ia menolak tuntutan
mengeluarkan PKI dari pemerintahannya. Namun menurut Sumual pertemuan antara
Soekarno dengan Warouw hanya untuk mengulur waktu saja, sementara Sumual mencari
senjata untuk para pemberontak. Sumual masih berada di Manila untuk mencari senjata saat
ultimatum kepada Presiden dan Pemerintah dikeluarkan Simbolon dan Husein di Padang
pada 10 Februari 1958. Ultimatum itu bernama “Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan
Negara” yang isinya menuntuk Kabinet Djuanda mengundurkan diri, Presiden Soekarno
menduduki kembali jabatannya sebagai Presiden “konstitusional” dan Hatta serta Sultan
Hamengkubuwono ditunjuk membentuk “zaken cabinet” yang terdiri dari orang – orang
jujur, terhormat, mampu, dan tidak memasukkan “unsur – unsur” anti agama kedalamnya.
Karena batas waktu ultimatumnya sudah habis maka diumukanlah tanggal 15 Februari 1958
di Padang terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) .

“BUKAN TANPA AMERIKA”

Jadi dalam jangka waktu satu tahun gerakan daerah sudah


menjadi pemberontakan daerah, upaya pendamaian dan perundingan
sudah gagal. Mungkin kekerasanlah satu – satunya langkah keluar dari
jalan buntu antara eksponen otonomi daerah dan penganjur perluasan
kekuasaan pusat sebagai pemecahan problem Indonesia. Tetap
keterlibatan luar negeri membuat kekerasan tak terelakkan, dimana
tawaran senjata dan pengakuan luar negeri yang menggoda

42
memberikan semangat kepada kaum pemberontak untuk mengajukan
tuntutan – tuntutan yang mesthinya mereka ketahui tidak akan
diterima pemerintah manapun. Sejumlah pemberontak bisa saja secara
naïf mengharapkan bahwa ancaman campur tangan kekuasaan asing
akan membuat pemerintah takut dan mengalah, namun mereka salah
yang terjadi malahan ancaman itu telah mendorong pemerintah
mengambil tindakan – tindakan menentukan dan cepat yang wajar,
jadi jalan buntu sudah tembus.

Pemerintah pusat yang mengharap terhindarnya perang dan


sangat terpengaruh gaya Jawa Soekarno yang mengutamakan
konsultasi dan pemufakatan tampaknya enggan mengutuk tindak
pembangkangan dewan – dewan daerah. Penyataan – pernyataan khas
pemerintah menyiratkan, pemerintah maklum dan bersimpati dengan
tujuan gerakan Permesta namun yang disayangkan adalah jalan yang
ditempuh untuk melaksanakannya tidak dapat disetujui. Nasution
dengan cepat mengambil tindakan membubarkan TT-VII dan
membebastugaskan Sumual dari kedudukan komandan. Somba sendiri
heran karena pada waktu itu ia tidak pernah ditegur oleh Nasution
ataupun oleh MBAD atas tindakannya yang salah dan
memperbolehkan perdagangan barter tetap dilaksanakan dengan
jaminan kesetiaan pada pemerintah yang ada. Pada Oktober 1957
Soekarno berkunjung ke Sulawesi Utara dan menyapa Gubernur yang
diangkat oleh Permesta dan memebrikan restu untuk mendirikan
Universitas “Permesta” di Manado ketika berbicara di sana.

Gaya politik Minahasa adalah gaya politik yang langsung


menuju sasaran dan berterus terang ketimbang gaya Jawa, namun ada
yang menarik keuntungan dari kehalusan Jawa yaitu orang – orang
sipil dan militer yang sudah berpengalaman selama revolusi di Jawa,
termasuk juga hubungan yang dekat dengan penduduk setempat
sehingga mereka menikah dengan wanita – wanita Jawa. Tidak dapat
diramalkan hasil terakhir apa yang akan dicapai seandainya situasi
perundingan, kompromi, dan jalan buntu dibiarkan berlanjut terus
tanpa campur tangan luar. Sudah sejak bulan Spetember 1957 ada

43
tanda – tanda pemerintah Amerika Serikat mungkin sekali akan
membantu gerakan anti komunis di Indonesia dan ada kontak – kontak
pribadi antara agen – agen pemerintah Amerika Serikat dan setidak –
tidaknya beberapa diantara para colonel pembangkang. Cukup banyak
dokumentasi tentang dukungan Amerika Serikat kepada kaum
pemberontak setelah pemberontakan itu mulai, tetapi perlu diingat
janji – janji pemberian bantuan memegang peranan yang penting
dalam pengambilan keputusan yang mengakibatkan pecahnya
pemberontakan.

John Foster Dulles, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, sudah


beberapa tahun gelisah dengan bertambah kuatnya PKI, dan khawatir
jika Soekarno akan bersekutu dengan komunisme di Indonesia, dan
Indonesia dengan blok komunis secara internasional. Politik
mendukung kaum pemberontak di pulau – pulau luar yang ia jalankan
selama tahun 1957 – 1958 bersama saudara laki – lakinya Allan,
kepala CIA, sudah terbayang bahkan sejak bulan Oktober 1953 yaitu
dalam pengarahan yang diberikannya kepada Duta Besar Maerika
Serikat Hugh S Cumming sebelum dikirim ke posnya di Jakarta. Pada
permulaan bulan September 1957, Menteri Luar Negeri Dulles
menyatakan keprihatinannya atas situasi berbahay yang timbul di
Indonesia sebagai akibat dari kemenangan PKI dalam pemilihan
Daerah dan dari Washington diberitakan, pengaruh PKI yang
bertambah di Indonesia akan diperbincangkan dalam suatu rapat
ANZUS pada bulan Oktober. Alison berkata, ia telah menganjurkan
kepada pemerintah Amerika Serikat agar memikat Soekarno dengan
jalan menekan Belanda supaya merundingkan soal Irian Barat dan
mendukung Indonesia dalam hal ini di PBB.

Amerika Serikat seharusnya berusaha untuk terbentuknya”rezim


baru yang memuaskan” dengan aktif mendorong dan menyediakan
“pendongkel” bagi mereka yang di Indonesia merencanakan suatu
pemerintah nonkomunis dengan memberitahukan, mereka dapat
mengharapkan bantuan militer dan ekonomi serta dukungan
diplomatic dari Amerika Serikat. Ada tuntutan terang – terangan yang

44
pertama dari kaum pemberontak untuk pelarangan komunisme
dilontarkan di dalam Piagam Palembang yang ditandatangani Sumual,
Husein, dan Barlian pada tanggal 8 Septermber 1957. Namun semakin
menggebu – gebunya anti komunisme dalam retorika daerah
bukannya tidak mempunyai kaitan dengan peristiwa – peristiwa dan
pertimbangan dalam negeri. Sejumlah anggota PKI ditangkap di
Minahasa pada bulan Juni 1957 karena sikap mereka yang berlawanan
terhadap Permesta. Baik pemimpin Islam maupun Kristen menentang
masuknya PKI dalam pemerintahan. Para pemimpin Permesta
bersikeras mengatakan mereka tidak mengadakan hubungan dengan
agen – agen pemerintah asing dan tidak dilakukan upaya mendapatkan
senjata, sampai sesudah rapat di Sungai Dareh tanggal 9 hingga 13
Januari 1958. Tetapi selama revolusi 1945 – 1949 Pantouw telah
beroperasi sebagai “penembus blockade” untuk republic dan
membarterkan karet dan tembakau Sumatera dengan obat – obatan
dan senjata dan mungkin telah membuka kembali hubungan –
hubungan lama pada 1956 – 1967.

Sumual dengan Pantouw menangani bagian terbesar hubungan


luar negeri bagi kepentingan Permesta mengatakan ia mengadakan
hubungan dengan agen – agen asing baru sesudah pertemuan terakhir
strategi pemberontakan di Sungai Dareh, dan baru sesudah proklamasi
pmerintah revolusioner pada bulan Februari 1958 mendapat tawaran
bantuan tak terbatas dari Amerika. Sumual dan Patrouw mengatakan
pertama kali mendapatkan senjata untuk di Manila dan Taipei dan
dibawa ke Manado pada 21 Februari 1958. Seorang wartawan
Amerika dalam bukunya yang judulnya tepat Not Without the
Americans menggambarkan pengiriman senjata ke Padang tahun
1957. Petunjuk pertama bagi saya untuk mengetahui apa yang terjadi
di Sumatera saya peroleh pada tahun 1957 ketika berkunjung ke
Padang. Tampaknya sebuah kapal barang Amerika yang bermuatan
perlengkapan pembangunan juga mengangkut senjata yang terakhir
ini diperuntukkan bagi kelompok penasihat militer Amerika Serikat di
Thailand. Setelah mengetahui penemuan yang mengherankan ini.

45
Letnan Kolonel Ahmad Husein, memerintahkan supaya senjata itu
dibingkar untuk “diamankan”. Seminggu kemudian ketika saya
menyebut hal ini kepada seseorang sahabat CIA saya di Bangkok ia
tenang saja. “ Memang“ katanya dengan tenang “hal itu bukan yang
pertama di Sumatera”

BAB V
PERMESTA DALAM PERANG
Tanggapan mengenai ultimatum pemberontak tanggal 10 Februari dan terhadap
proklamasi pemerintahan revolusioner tanggal 15 Februari berbeda-beda. Hampir sejak hari
proklamasinya, dukungan kepada Permesta di Selatan sudah berkurang. Gubernur Andi
Pangerang lebih menyukai kerja sama dengan pemerintah pusat. Sebenarnya banyak dari
pengikut sipil Permesta menyadari bahwa tuntutan mereka akan menuju ke arah timbulnya
pemberontakan bersenjata. Pada bulan November 1957 didirikan Dewan Tinggi Permesta di
Makassar dan susunan di dalamnya menunjukkan adanya dukungan bagi Permesta di
Sulawesi Selatan terbatas pada masyarakat kecil cendekiawan Kota Makassar.

Setelah bulan Juni 1957, Summual dan para perwira Minahasa mengundurkan diri
dari staf TT-VII dan menuju ke Sulawesi Utara. Di Selatan, inti dukungan militer bagi
Permesta menciut sampai pada Saleh Lahede dan sekelompok kecil perwira yang sehalauan
dengannya. Dengan proklamasi PRRI, banyak perwira merasa menderita tekanan batin.
Sebagian merasa bahwa keteguhan mendukung tuntutan Piagam Permesta yang tidak
terpenuhi dan yang telah mereka tanda tangani setahun sebelumnya, mengharuskan mereka
untuk mendukung PRRI.

Di Sulawesi Utara, para perwira menghadapi masalah yang serupa yang diakibatkan
proklamasi PRRI. Barangkali dukungan bagi PRRI tidak begitu didasarkan pada asas-asas
yang abstrak, melainkan pada ketetapan untuk meneruskan perdagangan barter yang
menguntungkan. Di Utara pendapatan dari perdagangan barter digunakan untuk membiayai
proyek yang nyata seperti perbaikan dan pembangunan jalan, mengimpor bahan makanan,
tekstil, dan alat-alat perlengkapan.

Keputusan pemerintah pusat tertanggal 11 Januari 1958 untuk melarang perdagangan


barter mula-mula ditentang di Sulawesi Utara. DPD Minahasa mengajukan sebuah mosi yang

46
mendesak agar pemerintah pusat mengatur keseimbangan keuangan antara pusat dan daerah,
ekspor-impor akan terus dilakukan di Sulawesi Utara apabila belum ada penyelesaian terakhir
mengenai masalah-masalah yang terdapat antara pemerintah pusat dan daerah.

Di Sulawesi Utara tidak hanya orang-orang Sipil saja menimbulkan keadaan yang
menentang pemerintah pusat. Harus diingat bahwa perdagangan barter dilakukan tidak hanya
di bawah perlindungan kaum militer, melainkan melalui organisasi-organisasi yang pada
hakikatnya dikendalikan kaum militer.

Selanjutnya, Somba mendapat tekanan dari beberapa perwira staf agar menempuh
garis keras untuk menentang pemerintah pusat. Beberapa dari mereka antara lain Lendy
Tumbelaka dan Dee Gerungan menuju ke Minahasa bersama dengan Sumual dan pada bulan
Juni 1957, TT-VII dibubarkan. Mereka bersama Eddy Gagola memegang peranan utama
dalam mengembangkan gerakan Permesta berikutnya setelah gerakan tersebut pindah ke
Sulawesi Utara.

Kebebasan Somba bertindak dan mengambil keputusan setelah bulan Juni 1957
dibatasi oleh hadirnya Sumual. Dia adalah orang Minahasa dan menjadi kepala pemerintahan
militer Permesta untuk Indonesia Timur dan dia merupakan tumpuan bagi orang-orang
Minahasa yang merasa tidak puas dengan Jakarta.

Tanggapan awal terhadap PRRI di Sulawesi Utara

Antara dikeluarkannya ultimatum kepada pemerintah pusat dan pengumuman


terbentuknya pemerintah revolusioner, banyak rapat diselenggarakan di Sulawesi Utara,
kecuali PKI yang para pemimpinnya sejak bulan Juni 1957 dijebloskan ke dalam penjara dan
PNI yang bungkam saja. Para pemimpin partai politik yang besar serta para pemimpin
golongan pemuda yang terkemuka menyampaikan dukungan mereka terhadap keputusan
Sumatera kepada pemerintahan militer. Para perwira dari KDM-SUT mengadakan rapat
semalam sebelum diadakannya rapat raksasa di Lapangan Sario, Manado pada tanggal 16
Februari.

Seorang perwira yang hadir pada pertemuan tersebut melukiskan adanya pilihan yang
dihadapi anggota TNI di Sulawesi Utara. Di satu pihak, mereka memilih rakyat dan
mendukung PRRI, namun hal ini akan bertentangan dengan disiplin militer. Dan dipihak lain
mereka setia kepada pemerintah pusat dan berjuang melawan rakyat, kendatipun tuntutan

47
rakyat itu adil. Namun banyak pejabat sipil di Sulawesi Utara merasa mendapat paksaan dari
TNI untuk mendukung kaum militer yang menentang pemerintah pusat.

Somba sendiri mengatakan bahwa ia mendapat tekanan untuk mendukung PRRI dan
memutuskan hubungan dengan Kabinet Djuanda, tidak saja dari pejabat dan golongan sipil,
melainkan juga dari para anggota stafnya sendiri. Menurut Somba, sekalipun ia mendukung
program Permesta, ia tidak suka hubungan dengan pemerintah pusat terputus. Namun
akhirnya pada tanggal 17 Februari ia mengeluarkan pengumuman resmi bahwa ia
memutuskan hubungan dengan Kabinet Djuanda dan hanya akan berhubungan dengan PRRI.
Ia dan Runturambi segera dipecat dari TNI.

Tanggapan awal terhadap PRRI di Sulawesi Selatan

Ultimatum Padang tanggal 10 Februari dan proklamasi PRRI tanggal 15 Februari


yang di dalamnya dua anggota Dewan Tertinggi Permesta yaitu Saleh Lahade dan Mochtar
Lintang diangkat menjadi menteri menyebabkan kekuatan di Sulawesi Selatan terbagi dua
yaitu yang pro dan yang anti Permesta.

Pada malam hari pada tanggal 11 Februari, diadakan rapat di Makassar untuk
menetapkan sambutan mengenai ultimatum tersebut. Ternyata hasil dari perdebatan tersebut
mengharuskan KDM-SUT bersikap netral, bahkan menjadi penengah antara pemerintah pusat
dan kolonel-kolonel pemberontak. Namun netralitas menjadi lebih sulit karena penunjukan
Saleh Lahade sebagai menteri penerangan dalam kabinet PRRI.

Pada tanggal 15 Februari dilangsungkan pertemuan kedua. Pertemuan ini membahas


mengenai apakah yang harus dilakukan dengan Saleh Lahade. Kemudian Mayor A. Lathief
memutuskan akan memindahkan Saleh dari kota ke tempat yang lebih aman di luar kota.
Rupanya pada saat yang sama, Mochtar Lintang dipindahkan.

Kemudian pada tanggal 16 Februari, Kepala Staf Nasution mengeluarkan ultimatum


kepada Warouw, Saleh Lahade, dan Mochtar Lintang. Nasution memberi waktu tiga hari
kepada mereka untuk melaporkan apakah mereka menerima atau tidak kedudukan mereka
dalam kabinet PRRI. Saleh tidak menjawabnya. Dengan habis berlakunya ultimatum itu,
Andi Mattalatta sebagai komandan KMD-SST diperintahkan menangkap Saleh Lahde dan
Mohtar Lintang. Namun ia menolaknya karena Saleh tidak diberitahu sebelumnya bahwa dia
akan diangkat dalam Kabinet PRRI.

48
Tidak dibuat pernyataan mengenai tempat Saleh Lahade dan Mochtar Lintang berada
sekalipun ada berita bahwa mereka telah melarikan diri dari kota. Pada tanggal 3 Maret
diumumkan bahwa Saleh Lahade dipecat dari TNI.

Perjuangan antara kekuatan yang pro dan anti Permesta di Sulawesi Selatan terus
berjalan selama tiga bulan berikutnya dan setiap golongan berusaha menarik Andi Mattalatta
ke pihaknya. Andi Mattalatta dalam posisi sulit. Dia dan Saleh merupakan sebuah tim dengan
Mattalatta sebagai prajurit yang jujur dan Saleh sebagai penasihat politik yang pandai.
Mattalatta tidak mendukung PRRI dan tidak pula menangkap Saleh. Tampaknya mereka
berharap mempertahankan sikap yang netral.

Ada seorang yang bersedia mengambil tindakan tegas dan orang itu adalah Jusuf,
komadan RI-Hasanuddin. Perlawanan Jusuf terhadap Permesta sudah jelas bagi kebanyakan
sesama perwira, setidaknya sejak Juni 1957. Sementara Jusuf mengembangkan kekuatan
pendukungnya dan menghancurkan dukungan Permesta di Sulawesi Selatan, pusat perhatian
tertuju ke daerah-daerah yang mengadakan pemberontakan Sumatera dan Sulawesi Selatan.

Tanggapan Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat mengambil keputusan yang tegas dan cepat untuk menanggapi
Proklamasi Padang. Ultimatum pemberontak itu ditolak dengan tepat dan para perwira yang
terlibat dalam Proklamasi PRRI itu dipecat dari angkatan bersenjata.

Soekarno mengunjungi Hatta dan kebanyakan orang memandang bahwa kunjungan


tersebut sebagai usaha terakhir untuk berkompromi dan memecahkan krisis tersebut secara
damai. Tetapi tindakan kaum pemberontak tidak memungkinkan tercapainya hasil yang
sedemikian itu. Rupanya Hatta menginginkan penyelesaian masalah secara damai dan hal ini
didukung oleh Perdana Menteri Djuanda, tetapi pimpinan angkatan bersenjata memutuskan
untuk mengambil tindakan yang tegas.

Pemerintah pusat melakukan pengeboman Padang dan Manado pada tanggal 21 dan
22 Februari. Soekarno dan Nasution menyadari bahwa kalau tidak cepat diambil tindakan,
kaum pemberontak akan beruntung karena mereka sudah berhubungan dengan badan-badan
pemerintah asing dan juga memperoleh senjata. Nasution percaya hubungan luar negeri
dengan kaum pemberontak harus diputus dan kedudukan yang kuat dicegah supaya mereka
tidak memperoleh pengakuan luar negeri sebagai pemerintah tandingan.

49
Operasi militer dipusatkan di Sumatera hingga penyerbuan Padang yang berhasil pada
tanggal 17 April serta jatuhnya ibu kota PRRI, Bukittinggi, pada tanggal 4 Mei. Pada tanggal
31 Maret pasukan pemerintah puat berhasil mendarat di daerah Palu-Donggala, Sulawesi
Tengah, dengan bantuan sebuah kompi TNI setempat di bawah Kapten Frans Karangan dari
Toraja dan pasukan Brigade Mobil setempat.

Tanggapan terhadap Pemboman Manado-Konsolidasi Dukungan

Akibat pertama pengeboman di sana itu adalah dukungan di belakang pimpinan


Permesta terpadu dan persekutuan antara cabang pemberontakan di Sumatera dan di Sulawesi
bertambah erat. Pendukung Permesta yang tidak mengharapkan timbulnya pemberontakan
bersenjata, tidak bersedia mendukung tuntutan otonomi daerah dengan menggunakan
kekerasan dan dengan diam-diam menarik dukungan mereka. Karena pemerintah pusat
mempergunakan kekerasan, sebagian besar rakyat makin mendukung pimpinan Permesta dan
keputusan mereka untuk menentang keputusan pemerintah pusat.

Sejumlah perwira Minahasa dan pejabat-pejabat sipil di bagian lain dari Indonesia dan
di luar negeri bergabung dengan pemberontakan itu karena tidak setuju dengan pemboman
Manado. Sudah pasti bahwa jumlah orang TNI yang berjuang bersama Permesta di Sulawesi
Utara lebih banyak daripada jumlah yang ditugaskan di KDM-SUT.

Salah satu seorang perwira bernama Kolonel Akhmad Junus Mokonigta yang berasal
dari Sulawesi Utara tidak menggabungkan diri dengan kaum pemberontak. Hal ini
disebabkan karena ia tidak setuju penggunaan cara yang tidak sesuai dengan UUD yakni
memaksakan tuntutan mereka. Ia juga berpandangan pragmatis bahwa kaum pemberontak
tidak dapat menghadapi tentara.

Pemboman di Manado mempercepat keputusan dua perwira TNI asal Minahasa yaitu
Kawilarang dan Warouw untuk pulang dari luar negeri dan bergabung dengan orang-orang
sedaerah mereka. Kawilarang yang dahulu teman sekelas Nasution di Akademi KNIL
sebenarnya mengadakan perundingan agar pemberontakan itu diakhiri. Tetapi hal ini tidak
mungkin. Menurut Kawilarang, ia menganggap krisis daerah timbul karena adanya salah urus
di Jakarta, dan dari Wasington dikirim telegram kepada Nasution bahwa dia tidak menyetujui
apa yang sedang dilakukan oleh Nasution dan pemerintah. Nasution mengatakan telah
menerima beberapa buah telegram dari Kawilarang dan dari Warouw yang mengatakan tidak
setuju tindakan militer terhadap kaum pemberontak.

50
Strategi dan Operasi Permesta

Sekalipun Kawilarang dan Warouw turut dalam pembahasan tentang strategi militer,
kebanyakan perencanaan sudah ditangan Sumual. Sumual mengharapkan bahwa selama
pemerintah pusat memusatkan tindakannya untuk menghancurkan pemberontakan yang di
Sumatera, pasukan di Sulawesi dapat diperluas dan dilatih. Mereka mengadakan persiapan
untuk memperoleh senjata, pesawat udara, serta anak buahnya dari luar negeri. Kemudian
Sumual dan pemimpin Permesta memutuskan agar yang menjadi sasaran awal adalah
pengamanan Lapangan Terbang Morotai. Mereka mengharapkan juga bisa merebut lapangan
terbang di Balikpapan. Serangan semacam itu dikira akan meyakinkan para pemberi bantuan
dari luar negeri bahwa dukungan mereka itu dipergunakan dengan baik.

Rencana awal dipusatkan kepada perebutan Lapangan Terbang Morotai dengan


mempergunakan pasukan KDM-SUT yang ditempatkan di Maluku Utara dan perebutan
kembali daerah Palu-Donggala dari pasukan pemerintah pusat.

Kekuatan Militer Permesta

Pada tanggal 24 Februari, dua hari setelah Manado dibom, KDM-SUT mengeluarkan
seruan kepada semua bekas KNIL yang telah mendapat latihan dalam pasukan antipesawat
udara dan senjata berat melapor untuk didinaskan. Walaupun banyak bekas KNIL itu terlalu
tua untuk pasukan tempur, banyak di antara mereka secara sukarela melatih para pemuda
yang datang berduyun-duyun untuk mendaftarkan diri pada Permesta.

Pada akhir Maret ada berita, Timbuleng dan Somba telah bertemu, dan Timbuleng
serta Pasukan Pembela Keadilannya akan bertempur di garis depan dan akan menguasai
hutan atas nama Permesta. Pada akhir bulan Maret gerombolan pemberontak lain bergabung
dengan Permesta. Len Karamoy (bekas istri Jan Timbuleng) menawarkan untuk melatih
sebuah laskar wanita untuk permesta.

Bantuan Asing

Janji-janjipemberi bantuan kepada PRRI diterima dari wakil Amerika Serikat dan
wakil Inggris. Pada April 1958 dua sekutu Amerika Serikat yang paling dekat di Asia,
Taiwan dan Korea Selatan berjanji memberikan dukungan moril serta bantuan materiil.
Kantor berita Filipina kemudian memberitakan senjata-senjata yang diterima kaum
pemberontak dari Filipina diperoleh dari para penyelundup dari Sulu.

51
Sumual dan Pantouw memperoleh senjata pertama bagi kaum pemberontak Permesta
dari Manila dan Taipeh. Pada pertengahan Mei terjadi pengiriman senjata secara besar-
besaran ke Sulawesi Utara melalui laut oleh Angkatan Laut Amerika Serikat. Dukungan
asing juga meliputi pemberian latihan para penerbang dan personil di bidang perhubungan di
pangkalan Amerika Serikat di Guam, Okinawa, dan Filipina.

Tawaran yang paling penting bagi kaum pemberontak adalah tawaran tentang suatu
angkatan udara lengkap dengan pesawat udara dan penerbangnya. Di Sulawesi Utara
dibentuk Angkatan Udara Revolusioner (AUREV) dan dipimpin oleh Marsekal (muda)
Muharto. Menjelang April, AUREV mempunyai delapan hingga sembilan pesawat dengan
penerbang-penerbang bangsa Amerika Serikat, Filipina, dan Taiwan.

Operasi-Operasi Militer

Angkatan udara dari kaum pemberontak menguasai udara Indonesia Timur dari
pertengahan April sampai pertengahan Mei. Pada tanggal 13 April AUREV menyerbu
sasaran yang pertama yaitu Pelabuhan Udara Mandai di Makassar. Tiga hari kemudian,
Balikpapan diserang. Pada tanggal 27 dan 29 April Pelabuhan Ambon diserang, sebuah
korvet Angkatan Laut Indonesia ditenggelamkan dan sebuah kapal barang Yunani menderita
kerusakan berat.

Pasukan Permesta juga berhasil dengan baik di darat. Pada tanggal 29 April
diumumkan Pelabuhan Udara Morotai jatuh di tangan Permesta. Pada tanggal 8 Mei Somba
menyerang pasukan pemerintah di Parigi dan dalam seminggu Parigi dan Toboli kembali ke
tangan Permesta.

Dengan munculnya kekuatan ini di Indonesia bagian Timur, ketika Bukittinggi jatuh
di tangan pasukan pemerintah pada tanggal 4 Mei, maka ibu kota pemberontak secara resmi
pindah ke Manado dan Warouw ditunjuk untuk memimpin pemerintah PRRI di sana sebagai
wakil perdana menteri.

Kemunduran Militer

Dalam pekan 15 sampai 23 Mei keadaan berbalik, baik di udara maupun di darat.
Kekuasaan Permesta di udara sudah dipatahkan oleh serangan AURI yang berhasil atas
pelabuhan-pelabuhan udara di Manado dan Tondano dan di pelabuhan udara tersebut 6
pesawat udara AUREV dihancurkan.

52
Selain kejadian tersebut, penarikan pesawat-pesawat udara serta para penerbang asing
setelah seorang penerbang Amerika Serikat, Allen Pope, tertembak jatuh dan tertangkap
sewaktu pada tanggal 18 Mei dilancarkan pengeboman atas Ambon.

Jadi, ketika Pope jatuh di tangan pemerintah Indonesia, sudah ada pendapat yang
menyetujui perubahan dalam politik Amerika Serikat. Pada tanggal 20 Mei, Menteri Luar
Negeri Dulles mengeluarkan pernyataan pers yang menyatakan keadaan Indonesia
seharusnya diselesaikan tanpa campur tangan luar negeri dan hari berikutnya Kementerian
Luar Negeri memberikan izin ekspor pengiriman senjata, amunisi, dan peralatan militer
lainnya kepada pemerintah Indonesia.

Pemerintah Amerika Serikat kini setuju membekali TNI dan tidak diadakan
penggantian untuk pesawat-pesawat udara kaum pemberontak yang hilang atau rusak. Kini
langit di Indonesia Timur menjadi daerah AURI. Pada saat Permesta tidak lagi menguasai
udara, pasukan pemerintah meraih serangkaian kemenangan militer di darat yang secara
efektif membatasi kekuasaan Permesta di Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 20 Mei
Morotai direbut kembali oleh pasukan pemerintah. Antara tanggal 14 dan 20 Mei Gorontalo
direbut kembali dengan bantuan kesatuan gerilya di bawah pimpinan tokoh PNI. Di sebelah
utara, pasukan pemerintah pusta di bawah pimpinan Mayor Magenda merebut pulau-pulau
Sangihe-Talaud pada 21 Mei.

Tamatnya Riwayat Permesta di Sulawesi Selatan

Pada bulan-bulan sejak PRRI diproklamasikan, manuver-manuver politik di Sulawesi


Selatan sangat giat, dengan Jusuf secara aktif memimpin kekuatan-kekuatan anti-Permesta
dan kedudukan para pendukung kaum pemberontak makin lama lemah dan kacau.

Setelah Saleh Lahade dan Mochtar Lintang mundur ke Barru, Dr. Engelen dan Bing
Latumahena adalah perwira militer pro-Permesta yang paling penting yang masih ada di
Makassar. Mereka juga membantu mencegah timbulnya bentrokan bersenjata antara
kelompok pro dan anti-Permesta dalam tentara. Pada tanggal 15 April, mereka dipecat dari
TNI dan ditahan rumah sejak 6 Mei. Sejumlah pemuda pendukung Permesta yang berani
menyatakan pendapat ditangkap dan dipenjarakan pada 9 Mei.

Pada waktu yang bersamaan, Jusuf bergerak untuk menunjukkan kesetiannya kepada
pemerintah pusat. Sasaran yang pertama adalah Saleh Lahade. Perundingan antara Saleh
Lahade dan Mochtar Lintang dengan Kahar Muzakkar mengenai persetujuan bersama untuk

53
bekerja sama dalam tujuan yang sama memerangi kaum komunis Indonesia dan internasional.
Namun sebenarnya perundingan tersebut dari pihak Permesta mempunyai rencana untuk
melanjutkan pemberontakan terhadap pemerintah pusat. Inilah sebabnya inti dari rencana
perjanjian antara Kahar dan Saleh Lahade dan ini adalah pengkhianatan. Oleh karena itu
Jusuf melakukan penangkapan kepada Saleh Lahade. Penangkapan itu dilakukan sesuai
dengan perintah KSAD dalam kedudukannya sebagai Penguasa Keadaan Darurat Perang
Pusat dan didasarkan kepada keputusan KDM-SST dan panglimanya.

Pertempuran di Sulawesi Utara

Jadi dalam sepekan, 15-23 Mei 1958, Permesta sudah tidak punya harapan lagi
mendapat dukungan dari Sulawesi Selatan, ia diusir dari Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sangir,
dan Morotai, ia ditinggalkan tanpa angkatan udara. Harapan dan rencana menyerang Jakarta
hancur lebur begitu kaum pemberontak di Sumatera menghilang ke hutan.

Sumual minta berunding dengan Jakarta untuk mencapai pemecahan yang wajar
mengenai keadaan dewasa itu. Sumual dan Warouw mengatakan bahwa tawaran untuk
berunding itu diajukan bukan karena merasa lemah tetapi karena perasaan peri kemanusiaan
jika dilihat akibat-akibat perang saudara dan karena keinginan untuk meyakinkan Jakarta,
bahwa peperangan demekian itu hanya dapat merugikan seluruh bangsa Indonesia saja.

Pada 8 Juni Angkatan Laut mulai menembaki Manado dan Angkatan Udara ikut serta
menyerang Pelabuhan Udara Mapanget di Manado, Tondano, dan Tomohon pada tanggal 11
dan 13. Menjelang 26 Juni, Manado diduduki pasukan pemerintah dari Komando Merdeka di
bawah pimpinan Letnan Kolonel Rukminto Hendraningrat.

Setelah pemboman Manado pada Februari, markas besar Permesta dipindahkan ke


Pineleng, di pinggiran kota sebelah selatan. Sebelum pasukan pemerintah mendarat,
pemerintah sipil dan militer Permesta dipindahkan lebih jauh ke pedalaman Tomohon.
Kepada Daerah Minahasa yang diangkat pemerintah itu, E.A Kandou, mengatakan bahwa
pendapat umum yang terbanyak adalah pro-Permesta dan sulit sekali mengubah cara pikir
rakyat.

Jatuhnya Manado mempunyai pengaruh politis dan psikologis yang lebih besar
daripada pengaruh militer, karena kekuatan militer Permesta belum dipatahkan dan sudah
dibuat rencana untuk mundur ke pangkalan-pangkalan gerilya. Pasukan Permesta mundur ke
Tomohon, tempat merencanakan membendung kemajuan pasukan pemerintah pusat.

54
Hampir satu bulan setelah Manado jatuh, pasukan pemerintah merebut Tondano pada
21 Juli setelah bertempur dengan seru selama seminggu. Sasaran selanjutnya adalah
Tomohon. Dengan menguasai Tondano dan Tomohon merupakan hal yang penting sekali
karena berarti pula menguasai perbekalan bahan makanan untuk daerah itu.

Komando sektor Tomohon adalah Mayor Eddy Mondong. Mondong bertanya kepada
Somba bahwa apakah Somba mau menyerahkan komando kepadanya dan Somba sadar
bahwa Mondong bermaksud menyerah. Somba menolaknya. Pada saat Mondong berbicara
kepada Somba, rupanya ia sudah mengadakan hubungan dengan pasukan pemerintah pusat.
Pada 16 Agustus, pasukan pemerintah masuk ke Tomohon dan berkat Mondong hampir tidak
terjadi perlawanan.

Daerah yang terletak di sebelah utara garis Amurang Langoan adalah daerah yang
diperebutkan, dan pasukan pemerintah pusat menguasai kota-kota serta jalan-jalan utama di
daerah tersebut sedangkan pasukan Permesta menguasai daerah pedalaman. Somba dan para
komandan distrik mendirikan markas-markas besar di daerah-daerah pegunungan atau di
daerah terpencil yang cocok untuk pangkalan peperangan gerilya.

Sekalipun banyak pertempuran yang dilancarkan setelah September 1958 berbentuk


serangan gerilya secara kecil-kecilan namun ada pula beberapa pertempuran yang besar. Pada
17-19 Februari 1959. Pasukan Permesta melancarkan serangan umum terhadap Amurang,
Kawangkoan, Langoan, dan Tondano. Serangan itu gagal, demikian menurut Sumual, karena
terdapat kesulitan untuk mengoordinasikan pasukan Permesta. Pula karena mereka tidak
terlatih dalam pertempuran frontal atau menduduki kota.

Walaupun serangan tersebut gagal, hal ini sama sekali tidak menunjukkan kaum
pemberontak kalah. Hal ini dapat dibuktikan dengan walaupun pasukan pemerintah
menduduki tempat strategis penting, kegiatan Permesta terus meningkat. Tetapi keadaan
mulai berubah ketika ibu kota Bolaang Mongondow, Kotamobagu jatuh ke tangan pasukan
pemerintah.

Jatuhnya Kotamobagu

Jatuhnya Kotamobagu merupakan titik balik penting dalam pemberontakan dan


menandai dimulainya tahap terakhir peperangan. Bolaang Mongondow berada di bawah
komando Dolf Raturambi yang ditunjuk oleh Somba memimpin sektor utara KDM-SUT.

55
Pertahanan Permesta dilemahkan tidak saja oleh adanya intel yang buruk tetapi juga
oleh kebijaksanaan yang telah melenyapkan simpati rakyat Bolaang Mongondow terhadap
mereka. Raturambi memerintahkan agar dilaksanakan politik bumi hangus, bertentangan
dengan nasihat para perwira Permesta yang berasal dari daerah itu. Ketika pasukan TNI
mendekat, Kotamobagu dibakar. Rumah sakit merupakan hampir satu-satunya bangunan
yang tinggal berdiri. Kemudian ketika pasukan Permesta mundur menuju Minahasa, mereka
membakar pedalaman pula.

Dengan jatuhnya Kotamobagu, tidak ada lagi daerah pangkalan yang aman bagi
Permesta dan staf militer, pemerintah sipil, dan Pasukan Wanita Permesta menyebar ke
berbagai kantung di gunung-gunung di sepanjang tapal batas Minahasa-Bolaang
Mongondow.

BAB VI
AKHIR PEMBERONTAKAN
Jatuhnya Kotamobagu pada September 1959, merupakan pukulan yang dahsyat bagi
gerakan Permesta. Alasannya, meski pasukan-pasukan Permesta berhasil tetap
melangsungkan perang gerilya yang berkepanjangan, posisi mereka menjadi amat lemah.
Para pemberontak menjadi kehilangan daerah pangkalan aman mereka yang terletak antara
Minahasa Selatan dan Bolaang-Mongondow, mereka pun menjadi tercerai berai di bagian
utara Amurang-Langoan sesudah September 1958. Para komandan banyak yang kehilangan
alat komunikasi mereka, dan hubungan satu sama lain menjadi sangat sulit. Kecuali bagi
beberapa di antara mereka yang tinggal di daerah pesisir, perbekalan merupakan masalah
yang merisaukan.
Menurut Harvey, yang mengakhiri pemberontakan tersebut bukanlah menyusutnya
daerah pangkalan mereka, atau berkurangnya dukungan rakyat terhadap gerakan, bahkan
bukan pula keberhasilan pasukan pemerintah pusat, melainkan karena perpecahan-
perpecahan yang terjadi antara para perwira gerakan tersebut.
Para Pemimpin Permesta
a. Alex Kawilarang
Kawilarang merupakan perwira Minahasa yang memegang jabatan paling tinggi di
dalam TNI, dan merupakan tentara resmi yang disegani karena kemampuannya yang tidak
diragukan. Selama gerakan Permesta, ia tidak mempunyai pasukan sendiri. Tampaknya,

56
kegiatan utamanya adalah mengunjungi satuan-satuan di daerah gerilya, mengkoordinasikan
mereka, dan menurut cerita memberi mereka semangat. Pengaruhnya terasa di seantero
pasukan Permesta, dan demikian pula di seluruh kalangan rakyat Minahasa meskipun
penampilan tubuhnya berwibawa, ia seorang manusia yang rendah hati, tidak berpakaian
militer melainkan selalu mengenakan celana pendek dan sendal karet.
b. Joop Warouw
Warouw mempunyai hubungan yang lebih erat dengan orang-orang AD yang masuk
sebagai pejuang dibanding Kawilarang si perwira Siliwangi profesional. Pada masa revolusi
ia dianggap simpatisan sayap kiri, terutama dengan Murba. Mejelang permulaan tahun 1958,
perasaan simpati ini sudah memudar; Warouwjuga meninggalkan hubungannya yang dulu
erat dengan Presiden Soekarno. Setelah pemboman Manado, Warouw bergabung dalam
gerakan pemberontakan, dan akhirnya tidak hanya diskors, melainkan juga dipecat dari TNI
pada 6 Mei 1958.
c. Ventjie Sumual
Sumual berasal dari Remboken, sebuah desa di pantai Desa Tondano. Di kalangan
Permesta, Sumual, yang jabatan resminya sebagai staf PRRI/Permesta, satu-satunya nama
yang terlibat dengan Permesta sejak malam proklamasinya pada 2 Maret 1957. Tetapi
anehnya, mula-mula ia tidak tidak terlalu terlibat dengan gerakan tersebut.
d. Daniel Julius Somba
Somba merupakan yang paling yunior dari keempat perwira tinggi Permesta. Namun
demikian. Ia dikenal bukan sebagai perwira staf, tetapi seorang komandan pasukan yang baik.
Dari pemimpin Permesta yang lain, Somba merupakan orang yang paling banyak memimpin
pasukan. Sebagai komandan Permesta di Minahasa, ia mengepalai para komandan empat
distrik militer yang sama-sama mengatur kuraang lebih 15.000 tentara. Markas besar Somba
di Distrik III yang dikomando Lentan Kolonen Wim Tenges, yang pasukannya merupakan
yang berpendidikan dan berdisiplin terbaik, dan memiliki semangat serta prestasi perjuangan
di antara semua satuan Permesta.
e. Laurens Saerang
Selama Permesta, ia memimpin satuannya sendiri, yakni Brigade Manguni. Saerang
memegang peranan yang penting, namun sama dengan Timbuleng bahwa sekalipun dirinya
pernah menjadi anggota TNI, namun tidak tergabung dalam gerakan langsung dari TNI.
f. Jan Timbueleng

57
Timbuleng merupakan tokoh yang memegang peran penting dalam perselisihan
pendapat yang berkembang antara kaum pemimpin Permesta. Ia pernah menjadi pemimpin
pemberontakan Pasukan Pembela Keadilan
Sumual, Warouw, serta pemerintah sipil mempunyai markas besar di Minahasa Selatan.
Sedangkan Somba dan Kawilarang berada di Minahasa bagian Utara. Agar dapat
berhubungan antara satu dengan yang lain, maka mereka harus melewati daerah kekuasaan
Timbuleng.
Pokok-pokok yang Menimbulkan Pertentangan: Penyusunan Kembali Militer
Terjadi perselisihan paham antara para pemimpin Permesta mengenai jatuhnya
Kotamobagu; lalu tampak sekali bahwa mereka saling menyalahkan, tanpa ada yang mau
mengakui bersalah. Beberapa perwira yang tadinya menjadi anggota staf Sumual, termasuk
Lendy Tumbelaka, Arie Supit, dan Joseph pindah ke utara ke Distrik III, tempat Kawilarang
dan Somba bermarkas besar.
Pada 11 Oktober 1959, Sumual sebagai kepala staf PRRI/Permesta, mengeluarkan
perintah nomor 004 yang menyusun kembali tanggung jawab wilayah. Dengan
dikeluarkannya perintah tersebut, telah menimbulkan perselisihan antara Timbuleng dengan
Tenges. Maksud awal Sumual, tampaknya adalah menempatkan Timbuleng di komando
wilayah yang menguasai Minahasa Selatan, kemudian membagi Minahasa Utara antara
Tenges dengan Ottay. Somba dimaksudkan untuk tetap mempertahankan posisi sebagai
komandan keseluruhan daerah Minahasa, dan sebagai tambahan dijadikan wakil kepala staf
Sumual. Rencana awal Sumual tentang pembagian daerah komando tersebut berubah, lewat
dikeluarkannya perintah 004, yang mana Minahasa Selatan diberikan kepada Timbuleng,
sedangkan Minahasa Utara diberikan kepada Ottay. Tenges bersama pasukannya
diperintahkan mengambil sikap bertempur di daerah Gorontalo/Bolaang-Mangondow,
dimana daerah tersebut secara mutlak sudah berada di bawah kendali pemerintah pusat.
Tenges yang didukung oleh pasukannya, serta para pemimpin Permesta lainnya di Minahasa
Utara, menolak melaksanakan perintah tersebut. Alasan penolakan tersebut adalah bahwa
daerah Minahasa Utara sudah dalam keadaan perang gerilya selama lebih dari satu tahun, dan
serdadu yang ditempatkan di situ telah berhasil memantapkan posisi mereka dan membentuk
hubungan baik dengan penduduk setempat. Selain itu, mereka menyatakan jika sikap
Timbuleng dan Brigade 999 yang berada di bawah pimpinannya terkenal berhubungan
memiliki hubungaan buruk dengan penduduk di tempat mereka berkuasa, dan meluaskan
daerah kekuasaan tersebut hanya akan mencemarkan perjuangan Permesta.

58
Dasar penolakan terhadap perintah 004 antara lain adalah perasaan iri dari pasukan
Timbuleng yang bukan merupakan bekas TNI, perselisihan pribadi, serta penentangan yang
wajar terhadap gaya operasional Timbuleng.para komandan pasukan Permesta serta
pasukannya di Minahasa Utara menolak melaksanakan perintah tersebut. Hal sebaliknya yang
justru terjadi adalah pada November dan Desember 1959 pertempuran justru meletus antara
satuan-satuan Distrik III, daerah Komando Tenges dengan satuan-satuan Brigade 999
Timbuleng.
Masalah yang Menimbulkan Pertentangan: Republik Persatuan Indonesia (RPI)
Perintah 004 merupakan masalah paling utama yang menyebabkan memuncaknya
pertentangan antara pemimpin Permesta. Kemudian, pokok kedua, yeng bermula beberapa
bulan sebelumnya, meliputi rencana yang dirancang PRRI serta pemuka-pemuka DI (Darul
Islam) di Sumatera untuk menggabungkan pemberontakan menjadi suatu ketahanan bersatu
melawan pemerintah pusat dengan membentuk suatu Republik Persatuan Indonesia Serikat
(RPI).
Agustus 1959, Warouw memimpin sebuah rapat di Singsingon, batas kota sebelah utara
Kotamobagu, untuk membahasa usul yang diajukan Sumatera mengenai RPI. Ia menerima
kawat dari Presiden PRRI Sjafruddin Prawiranegara yang menjelaskan kerangka tujuan
menetapkan suatu pemerintahan federal, yang di dalamnya setiap unsur negara bagian berhak
menentukan agama serta falsafah kenegaraannya masing-masing. Pertemuan tersebut dihadiri
oleh para anggota militer kecuali Kawilarang dan Somba. Pada dasarnya para hadirin setuju
dengan usulan tersebut, akan tetapi Warouw sebagai pimpinan rapat menentang ide tersebut.
hal ini dikarenakan, dengan kata lain PRRI merupakan usaha membentuk suatu pemerintahan
pusat alternatif, sedangkan RPI merupakan usaha membentuk negara terpisah. Di lain
pertemuan, sikap Warouw tersebut didukung oleh Kawilarang. Ketika RPI telah
dideklarasikan, dan menggantikan posisi PRRI, Kawilarang dan Somba tidak pernah merasa
jika mereka merupakan bagian dari RPI, melainkan hanya menerangkan diri mereka sebagai
Permesta saja.
Pada 18 November 1959 suatu dokumen berjudul “Progam Perjuangan Pemerintah
Revolusioner Republik Indonesia” disebarkan di Minahasa dengan tanda tangan Warouw.
Dalam dokumen tersebut, maksud tujuan perjuangan PRRI terlibat dikatakan memaktubkan
pembelaan terhadap Proklamasi 17 Agustus 1945 dan Pancasila, penyatuan kembali bangsa
Indonesia, pelaksanaan hak otonomi regional, penyelesaian secara damai krisis Irian Barat
melalui PBB, diakhirinya rezim Soekarno, dan penghapusan komunisme internasional di
Indonesia.

59
Dalam usaha untuk memecahkan perbedaan pendapat mengenai RPI dan untuk
mengakhiri pertempuran antara pasukan-pasukan Timbuleng dan Tenges, maka pada Januari
1960 Warouw menuju ke Utara dan markas besarnya di Tonsewang untuk bertemu dengan
Kawilarang, Somba, serta beberapa perwira lain di daerah tersebut.
Sementara Warouw masih berada di kampung halamannya, ia ditemui oleh Ds. A.L.R
Wenas, ketua Sinode Gereja Injili Minahasa yang membawa surat dari presiden Soekarno
yang menyatakan keinginan mengadakan perundingan untuk mengakhiri pemberontakan.
Menurut Drs. R.A. Ventje Sual yang hadir pada pertemuan tersebut, Warouw mengajukan
sejumlah syarat sebelum ia bersedia mempertimbangkan kemungkinan terjadinya
perundingan. Salah satu syarat tersebut adalah, bahwa semua pasukan pemerintah pusat harus
ditarik lebih dahulu. Sual mengatakan bahwa Warouw merupakan satu-satunya tokoh yang
paling potensial untuk mengatasi perpecahan di dalam tubuh Permesta. Sehingga tidak akan
bermanfaat juga bagi pemerintah pusat untuk menyingkirkan Warouw.
Dalam rangka mengatasi perpecahan antara para pimpinan Permesta itu, Warouw
mendatangi markas Kawilarang dan Somba di utara, serta markas Sumual yang berada di
Selatan. Di dalam perjalanannya, baik untuk menuju ke Distrik III maupun daerahnya sendiri,
Warouw harus melewati darah yang dikuasai Timbuleng. Namun pada akhirnya perjuangan
Warouw untuk memulihkan keretakan berakhir sudah, ketika dirinya ditangkap oleh pasukan
Timbuleng dengan status tawanan, yang kemudian berujung pada kematiannya di tangan
pasukan tersebut.
Mendengar penangkapan Warouw oleh Brigadir 999, maka Sumual memanggil
Timbuleng guna meminta pertanggungjawaban darinya. Timbuleng ditahan, dan Sumual
merencanakan untuk membawa Timbuleng ke pengadilan militer. Namun ketika maksud itu
belum sempat terlaksana, Timbuleng terlebih dahulu sudah mati tertembak, karena berusaha
melarikan diri ketika dirinya akan dipindahkan ke rumah tahanan lain.
Dalam perkembangan selanjutnya, yakni pada 31 Maret 1960 Sulawesi dibagi menjadi
dua provinsi, yakni Provinsi Sulawesi Utara dan Tengah, dengan Manado sebagai
ibukotanya, lalu pada 25 Mei 1960 Tumbaleka diangkat sebagai wakil gubernur dengan
tanggung jawab khusus untuk memulihkan keamanan daerah tersebut. Setelah melalui
berbagai perundingan antara Tumbaleka dan para pimpinan Permesta utamanya Somba dan
Kawilarang, maka pada 4 April 1961 dilaksanakan upacara penandatanganan atas pernyataan
bahwa Permesta kembali ke pangkuan ibu pertiwi, di mana surat pernyataan tersebut
ditandatangani oleh Somba. Pada 22 Juni 1961, sebuah dekrit presiden dikeluarkan yang

60
memberi amnesti kepada para pengikut Kawilarang, Somba, dan Saerang yang telah
menerima baik seruan kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
Akan tetapi, ketika Somba dan Kawilarang sudah memutuskan untuk bergabung
dengan RI, Sumual yang sejak awal memang paling getol dalam mendukung RPI, masih terus
bertahan dengan pendiriannya. Setalah melalui pertempuran, amnesti, serta tukar menukar
surat, maka pada tanggal 20 Oktober 1961, akhirnya menyerah tanpa syarat bersama 50 orang
bawahannya. Pernyataan penyerahannya yang resmi dialamatkan kepada Kepala Staf
Angkatan Darat Nasution, diubah tanggalnya menjadi 4 Oktober. Untuk RPI sendiri, pada
tanggal 17 Agustus 1961 sang presiden, yakni Sjafruddin Prawiranegara mengumumkan
berakhirnya permusuhan, dan memerintahkan diakhirinya segala tentangan terhadap
pemerintah Republik Indonesia dan angkatan bersenjatanya.

61

Anda mungkin juga menyukai