Anda di halaman 1dari 20

RESUME SEJARAH LOKAL

PEMBERONTAKAN PETANI BANTEN 1888

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Sejarah Lokal

Dosen Pengampu : Drs. Tri Yuniyanto, M. Hum

Disusun Oleh:

1. IRMA DWI RACHMAWATI (K4417040)


2. NADIF HANAN NARENDRA (K4417051)
3. RISKA AYU NOURMAWATI (K4417058)
4. RISKA WIDYA SARI (K4417059)
5. SAVIRA LALITA LARASATI (K4417067)
6. SHERLY IKA MARSELINA (K4417068)
7. SYAHDIRAMA ARQUM S. (K4417071)
8. WIDA ROSITA (K4417074)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME yang telah


melimpahkan hidayah dan karunia-Nya sehingga tugas sejarah lokal yang bertema
“Pemberontakan Petani Banten 1888” dapat terselesaikan. Disusun sebagai
pemenuhan tugas kelompok. Penulis menyadari resume ini dapat tersusun
sedemikian rupa dan terselesaikan dengan baik atas bantuan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Tri
Yuniyanto, M. Hum selaku pengampu dosen mata kuliah sejarah lokal dan teman-
teman yang banyak memberikan masukan dan informasi demi pemenuhan tugas
ini. Saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan tugas
ini karena penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya. Semoga tugas
makalah kelompok ini dapat memberi manfaat bagi pembacanya.

Surakarta, 27 April 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI.........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah..............................................................................1

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................2

1.4 Manfaat Penulisan........................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3

2.1 Kajian Teoritis Pemberontakan Petani Banten 1888...............................3

2.2 Faktor-Faktor Pendorong Pemberontakan Petani Banten 1888.............5

2.4 Pemberontakan Petani Banten 1888...........................................................9

2.4 Dampak Pemberontakan Petani Banten 1888.........................................14

BAB III PENUTUP.............................................................................................16

3.1 Kesimpulan.................................................................................................16

3.2 Saran............................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada abad ke-19 merupakan suatu periode pergolakan yang menyertai


perubahan sosial akibat dari pengaruh Barat semakin kuat. Proses peralihan dari
tradisionalitas ke modernitas ditandai dengan kegoncangan sosial yang silih
berganti. Pemberontakan Petani Banten 1888 adalah salah satu dari serentetan
pergolakan sosial yang terjadi di Jawa. Karakteristik pemberontakan tersebut
bersifat tradisional, lokal atau regional, dan berumur pendek. Istilah
pemberontakan petani (peasant revolt) memerlukan banyak penjelasan. Perlu
diketahui bahwa partisipan pemberontakan tidak hanya petani saja namun dari
kelompok elite pedesaan.

Kepustakaan yang ada sekarang mengenai historiografi di Indonesia


memberikan kesan bahwa petani tidak memainkan peran dalam sejarah Indonesia
serta mereka yang bersikap masa bodoh, selalu penurut, dan pasrah kepada nasib.
Sartono Kartodirdjo memberikan warna yang berbeda dalam historiografi
Indonesia. Sartono memberikan kritik terhadap pendekatan konvensional dalam
historiografi kolonial yang didasarkan fakta bahwa kaum petani berperan sangat
pasif. Pada abad ke-19 dan 20 tampak tanda yang jelas mengenai pergolakan
petani dan revolusionisme agraria yang aktif.

Ada banyak yang harus dibahas mengenai faktor-faktor pendorong


terjadinya pemberontakan petani Banten 1888. Terdapat hal menarik pada
historiografi ini yaitu Sartono menggunakan pendekatan dari disiplin ilmu lain
seperti sosiologi, antropologi sosial, dan ilmu politik untuk menganalisis
fenomena pergerakan sosial di Banten. Hal tersebut yang melatar belakangi
penulis untuk mengulas lebih dalam mengenai karya Sartono Kartodirdjo yaitu
“Pemberontakan Petani Banten 1888.”

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa kajian teoritis yang digunakan Sartono Kartodirdjo mengenai
Pemberontakan Petani Banten 1888?
2. Apa saja faktor-faktor pendorong terjadinya Pemberontakan Petani Banten
1888?
3. Bagaimana jalannya peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888?
4. Apa dampak dari Pemberontakan Petani Banten 1888?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui kajian teoritis yang digunakan Sartono Kartodirdjo
mengenai Pemberontakan Petani Banten 1888.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor pendorong terjadinya Pemberontakan
Petani Banten 1888.
3. Untuk mengetahui jalannya peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888.
4. Untuk mengetahui dampak dari Pemberontakan Petani Banten 1888.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Bagi Universitas Sebelas Maret

Untuk menambah sumber literasi bagi mahasiswa Universitas


Sebelas Maret.

2. Bagi Mahasiswa

Untuk menambah wawasan pengetahuan mahasiswa mengenai


kajian teoritis dan peristiwa pada disertasi Sartono Kartodirdjo mengenai
Pemberontakan Petani Banten 1888.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kajian Teoritis Pemberontakan Petani Banten 1888


Pergolakan sosial yang muncul pada abad ke-19 merupakan akibat dari
pengaruh Barat yang semakin kuat. Sejumlah pemberontakan yang terjadi di Jawa
tidak menunjukan ciri modern melainkan bersifat tradisional, lokal, dan berumur
pendek. Disertasi Sartono Kartodirdjo merupakan sebuah studi yang menyoroti
gerakan pemberontakan yang paling rusuh di Pulau Jawa yaitu Banten.
Pemberontakan Petani Banten (The Peasant’s Revolt of Banten in 1888) tidak
berarti partisipannya petani saja namun terdapat elite desa seperti para pemuka
agama.

Sartono memberikan kritik terhadap pendekatan konvensional dalam


historiografi kolonial yang bersifat Belandasentris menganggap petani tidak
memiliki peran penting pada sejarah. Sartono telah memberikan corak yang
berbeda pada historiografi Indonesia yaitu lebih berkesan Indonesiasentris.
Pendekatan yang digunakan Sartono melalui berbagai sudut pandang teoritis
terutama ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, politik, dan budaya-
antropologi. Pendekatan multidimensi digunakan untuk memperkaya studi sejarah
terhadap masalah yang dibahas. Berbagai dimensi baru akan terbuka dan
membantu dalam pemahaman pergerakan sosial.

Studi ini menunjukan sebuah hubungan yang dinamis antara kelompok-


kelompok sosial dalam suatu pergerakan. Dengan menggunakan pendekatan sosial
sebagai ilmu bantu maka mampu menganalisis konflik-konflik yang terjadi di
masyarakat Banten. Masalah konflik sosial diantara kelas-kelas yang berbeda
dalam masyarakat Banten jelas paling terasa di mana-mana. Sistem tradisional dan
keagamaan sebagai kekuatan konservatif untuk menentang westernisasi yang pada
tingkatan akulturasinya mampu menimbulkan perselisihan serta mempercepat
kehancuran masyarakat Banten. Upaya untuk menghubungkan kecenderungan
sosial dan peristiwa politik dengan pola budaya memerlukan pendekatan sosio-
antropologis.

3
Gagasan milenari yang digunakan oleh para pemuka agama untuk
menghasut rakyat agar memberontak dapat dijelaskan melalui kajian teoritis atau
sudut pandang sosiologi dan antropologi berdasarkan orientasi ideologi kegamaan
golongan. Pendekatan-pendekatan terdahulu mengenai pergerakan sosial di
Indonesia kekurangan unsur dari aspek sosio-historis. Sehingga Sartono dalam
studi Pemberontakan Petani Banten 1888 tidak hanya menempatkan narasi
peristiwa sejarah dalam kajian teoritis yang benar, tetapi juga mengubah kesan
yang diberikan dari sudut pandang sejarawan kolonial.

Sartono Kartodirdjo dalam studi ini mempergunakan pendekatan ilmu


sosial disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

a. Sejarah deskriptif-naratif sudah tidak memuaskan lagi untuk menjelaskan


berbagai masalah atau gejala yang serba kompleks.
b. Pendekatan multidimensional atau social scientific adalah yang paling
tepat dipergunakan untuk menggarap permasalahan atau gejala tersebut.
c. Ilmu-ilmu sosial telah mengalami perkembangan pesat sehingga mampu
menyediakan teori dan konsep yang merupakan alat analitis relevan sekali
untuk keperluan analisis historis.
d. Studi sejarah tidak terbatas pada pengkajian terhadap hal-hal informatif
mengenai apa, kapan, di mana, dan bagaimana tetapi juga melacak
berbagai struktur masyarakat, pola kelakuan, kecenderungan proses dalam
berbagai bidang, dan sebagainya. Kesemuanya membutuhkan alat analitis
yang tajam dan mampu mengekstrapolasikan fakta, unsur, pola, dan lain-
lain.

Di sini terdapat keuntungan dari penggunaan pendekatan ilmu sosial yaitu mampu
menyoroti multiperspektivitas atau multidimensionalitas. Tidak dapat diingkari
bahwa tanpa bantuan kerangka teoritis dan konseptual dari ilmu-ilmu sosial,
gejala-gejala tersebut akan sukar dianalisis dan dipahami jalan prosesnya.

4
2.2 Faktor-Faktor Pendorong Pemberontakan Petani Banten 1888
Peristiwa pemberontakan petani Banten merupakan suatu pergolakan di
Jawa yang begitu menonjol pada abad ke-19. Terdapat beberapa faktor-faktor
pendorong sehingga pemberontakan tersebut bisa meletus, antara lain:

1. Faktor Geografis

Banten terletak di bagian paling barat Pulau Jawa dan memiliki luas
sekitar 114 mil persegi. Berdasarkan angka statistik resmi, penduduk Banten pada
1892 berjumlah 568.935 jiwa. Banten dapat dibagi menjadi dua bagian yang
berbeda. Pada bagian selatan merupakan daerah pegunungan, sebagian besar
terdiri dari hutan dan sangat jarang penduduknya. Sebaliknya, Banten bagian
Utara sebagian besar terdiri dari lahan yang sudah digarap pada dasawarsa
terakhir abad ke-19. Penduduknya jauh lebih padat. Kelompok etnik terbesar di
Sunda adalah orang Baduy dan mendiami daerah pegunungan bagian selatan.

Bagian utara membentang dari Anyer sampai Tanara, secara administratif


dibagi menjadi dua afdeling yaitu Serang dan Anyer. Penduduk daerah ini
merupakan keturunan orang Jawa yang datang dari Demak dan Cirebon. Kalangan
Belanda menganggap orang Banten Utara terkenal dengan fanatisme agama, sikap
agresif, dan semangat pemberontak mereka. Sejumlah perbedaan nyata antara
Banten Utara dan Selatan disebabkan oleh perbedaan lingkungan alam, faktor
ekologis, dan perbedaan yang bersifat sosio-kultural atau historis.

2. Faktor Sosial

Stratifikasi sosial di Banten pada abad ke-19 dapat dibedakan menjadi elite
bangsawan, birokrasi dan pedesaan (lokal). Elite bangsawan sendiri dibagi
menjadi dua yaitu bangsawan tinggi dan rendah. Pada puncak struktur sosial elite
bangsawan tinggi terdapat kelas yang berkuasa secara turun temurun terdiri dari
golongan kerabat sultan dan semua anggotanya berhak atas hibah tanah, pusaka
kawargaan atau kanayakan serta berhak atas kerja wajib dan upeti dari rakyat.
Pada lingkungan bangsawan ini terdapat sejumlah tingkat dan privilese.
Keturunan sultan sampai generasi ketiga disebut warga dan mereka yang berada

5
di bawah lagi dalam garis silsilah disebut nayaka (bergelar Pangeran, Ratu, dan
Tubagus). Di Banten juga terdapat satu golongan bangsawan yang tidak termasuk
keluarga sultan (bergelar Mas, Raden, Apun, Ujang, Ayu).

Elite bangsawan rendahan terdiri dari orang-orang dengan pangkat raja


yang lebih rendah biasanya bergelar raden. Kemudian menyusul di bawahnya
yaitu pejabat tinggi yang pada mulanya adalah pengikut sultan. Di bawah mereka
terdapat golongan mardika atau kaum. Pada tingkat hierarki paling bawah terdapat
kaum abdi atau hamba. Pada struktur sosial eselon birokrasi yang paling atas
diduduki oleh patih, di bawahnya ada tumenggung bertugas mengawasi
perdagangan dan pabean. Syahbandar berfungsi sebagai penghubung antara sultan
dan orang-orang asing. Pada tingkatan yang lebih rendah dalam hierarki birokrasi
terdapat demang atau kepala distrik, para mantri, dan lurah. Sedangkan golongan
sosial di luar kelas yang berkuasa mencakup petani, tukang, dan orang-orang dari
kalangan agama seperti kiai dan haji.

Pada awal periode setelah Kesultanan Banten dihapuskan, rakyat biasa


yang disenangi diangkat untuk menduduki jabatan rendahan dalam birokrasi
dengan kemurahan hati pemerintah kolonial. Kaum bangsawan yang tadinya
menempati kedudukan teratas dalam masyarakat Banten perlahan menyusut dan
elite birokrasi modern yaitu pamong praja sebagai aristokrasi baru menjadi inti
dari golongan status. Hal tersebut nantinya menimbulkan pertentangan pada
golongan bangsawan karena keinginan kembali pada tatanan yang sudah mapan di
masa kesultanan.

3. Faktor Ekonomi

Pada masyarakat agraris, tanah menjadi sumber utama produksi serta


kekayaan dan pemilikan tanah berarti prestise yang tinggi. Klasifikasi tradisional
penduduk desa didasarkan pada pemilikan tanah. Sumber-sumber penghasilan
alternatif bagi sultan adalah tanah. Petani menggarap sawah negara atau tanah
milik sultan. Pajak atas tanah dan tenaga kerja khususnya menjadi sumber utama
pendapatan kesultanan. Sedangkan pada tahun 1808, Daendels menghapuskan
tanah-tanah milik sultan serta kerja wajib yang melekat pada tanah-tanah itu, lalu
memungut seperlima bagian dari hasil panen sebagai pajak tanah.

6
Jelaslah bahwa para kerabat sultan dan pejabat kesultanan sebagai pihak
yang paling diuntungkan oleh sistem lama cenderung menghendaki kembalinya
kebiasaan tradisional sebab itu mereka berusaha mempertahankan hak meskipun
sudah menerima ganti rugi. Meskipun sudah diganti rugi dengan gigih menentang
diberlakukan ketentuan yang ditetapkan Daendels karena hal itu juga berdampak
kehilangan banyak pengaruh politik pada mereka. Akibatnya ketentuan-ketentuan
tesebut menimbulkan rasa tidak puas dan itulah yang dianggap sebagai sumber
kerusuhan di Banten.

Meletusnya Gunung Krakatau (1883) menyebabkan luas tanah yang tidak


dapat digarap menjadi semakin besar, terutama di bagian barat afdeling Caringin
dan Anyer. Kegagalan panen selama beberapa tahun (1878-1886) semakin
memperburuk keadaan tersebut. Kesulitan ekonomi terjadi karena disebabkan oleh
bencana-bencana fisik seperti tersebut pada akhirnya berkaitan langsung dengan
kecenderungan penduduk untuk melakukan gerakan sosial berupa pemberontakan.

4. Faktor Politik

Pada masa kesultanan, kaum elite agama menempati kedudukan yang


strategis baik tingkat lokal maupun pusat. Sehingga mereka dapat dengan mudah
berhubungan dengan keraton dan birokrasi tingkat atas. Banyak anggota elite
agama dimasukan dalam kerangka umum sistem administratif. Jabatan ketua
Mahkamah Agung dipegang oleh seorang ulama yang biasanya memakai nama
resmi Fakih Najamudin. Setelah kesultanan dihapuskan, kaum elite agama tidak
lagi mendapatkan kesempatan untuk berpartisipasi dalam urusan penetapan
kebijakan. Peranan para pejabat agama dikurangi, perjalanan naik haji berusaha
untuk ditekan pemerintah dengan mengeluarkan peraturan pembatasan kuota
selama abad itu.

Sebagain elite agama masih mempunyai kebebasan dalam


menyelenggarakan kegiatan agama, pesantren, bahkan mendirikan tarekat. Peran
elite agama dalam pemerintahan kolonial telah diturunkan derajatnya menjadi
sekedar peran ritual atau seremonial. Kekuasaan polik para kiai dan haji sebagai
guru tarekat dan pesantren banyak terdapat di Banten Utara selama 1870-an dan
1880-an. Masalah persekutuan politik di Banten abad ke-19 adalah hubungan

7
antara elite agama dan bangsawan Banten. Sebenarnya kedua golongan mengejar
tujuan yang sama yaitu mempertahankan status tradisional. Kedua golongan
tersebut telah kehilangan sebagain besar kekuasaan politik mereka. Oleh karena
itu, mereka selalu aktif berpartisipasi dalam pergolakan politik. Dalam
pertarungan politik yang multiaspek ini, kaum elite agama dan sebagian kaum
bangsawan cenderung mengembangkan orientasi politik yang lebih ekstrem dan
ikut dalam pergerakan.

5. Faktor Psikis dan Religi

Ambruknya tatanan tatanan tradisional dan gejala yang menyertainya


secara psikis menimbulkan keresahan sosial bagi masyarakat Banten pada saat itu
sehingga mendorong kegiatan di bidang agama. Pada abad ke-19 di Banten,
revivalisme agama dan jenis-jenis pergerakan sosial lainnya tampak mempunyai
banyak persamaan, khususnya dalam cita-cita milinearis dan landasannya para
kelas bawah. Revivalisme agama menjadi alat pengerahan untuk melakukan
pemberontakan. Selama beberapa dasawarsa, sebagian besar Pulau Jawa dilanda
gerakan kebangkitan kembali agama, seperti melakukan salat, naik haji,
memberikan pendidikan Islam tradisional, mendirikan cabang tarekat,
penyelenggaran khotbah yang meluas, dan sebagainya.

Tanda pertama dari sentimen revivalis adalah terus bertambahnya orang


yang menunaikan ibadah haji pada abad ke-19. Meningkatnya kegiatan ibadah ini
sangat penting bagi pertumbuhan golongan elite agama. Tanda kedua yang
tampak berkaitan dengan semangat kebangkitan kembali adalah pertumbuhan
fenomenal pesantren yang berfungsi sebagai tempat pendidikan partisipan
pergerakan kebangkitan kembali yang militan. Bukti lain tentang kebangkitan
kembali agama Islam adalah banyaknya masjid baru yang penuh sesak setiap
diselenggarakan salat Jumat. Syekh-syekh atau khatib yang mengembara, orang-
orang memamerkan kesalehannya. Terakhir, aspek paling vital dari gerakan
keagamaan yang tidak diragukan lagi adalah kebangkitan kembali mistisisme
Islam, seperti yang menjelma dalam tarekat.

Tarekat adalah alat yang sangat baik untuk mengatur gerakan keagamaan
dan melakukan indoktrinasi tentang cita-cita kebangkitan kembali. Pada abad ke-

8
19 di Pulau Jawa hanya terdapat tiga tarekat yaitu Kadiriah, Naksibandiah, dan
Satariah yang memiliki arti penting. Secara keseluruhan di Pulau Jawa,
Naksibandiah adalah tarekat terkuat sedangkan Banten berkembang tarekat
Kadiriah. Satu ciri yang cukup lazim dari gerakan kebangkitan agama adalah
munculnya ide-ide milenari dalam hal ini ide eskatologis Islam yang mencakup
pula harapan akan datangnya Mahdi. Orang-orang dirasuki oleh semangat Perang
Sabil yang membara dan rasa benci mendalam terhadap kolonial “pemerintah
kafir”.

2.4 Pemberontakan Petani Banten 1888


Pemberontakan tahun 1888 bukan merupakan suatu tindakan tiba-tiba dari
pihak petani yang mengamuk karena fanatik agama. Sejak hari pertama, sudah
jelas bahwa ini merupakan suatu pemberontakan yang telah direncanakan dan
dipersiapkan jauh melampaui batas-batas kota kecil Cilegon. Peristiwa tersebut
merupakan kulminasi suatu gerakan pemberontakan yang selama bertahun-tahun
bergiat secara terang-terangan ataupun rahasia. Peristiwa yang telah terjadi
menunjukan bahwa tarekat telah memainkan peranan yang penting dalam
menyebarkan informasi-informasi rahasia dan komunikasi di antara anggota-
anggota komplotan. Apabila diuraikan maka gerakan ini dimulai dari:

1. Akar Muncul Pemberontakan

Para pemimpin tarekat seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail,
dan Haji Wasid memiliki peranan yang penting dalam pemberontakan di Banten.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama besar dan sebagai guru tarekat Kadiriah.
Berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-khotbah Haji Abdul Karim
mempunyai pengaruh yang besar terhadap para penduduk. Revivalisme agama di
Banten berlangsung dengan cepat. Pada akhirnya para kiai dan haji di pedesaan
memiliki prestise sosial yang sangat besar dan keadaan tersebut menjadi satu
ancaman cukup mencemaskan bagi pemerintah kolonial.

Khotbah, janji, ramalan Haji Abdul Karim terus membakar rakyat.


Ramalan mengenai hari kiamat, kedatangan Mahdi, dan tentang jihad

9
menimbulkan gelora keagamaan umum. Semangat jihad dihidupkan oleh kesadran
yang kuat bahwa negeri mereka harus dianggap sebagai sebuah dar al-Islam,
untuk sementara waktu diperintah oleh orang asing dan harus direbut kembali.
Beberapa tahun berlalu baru pada tahun 1883, kaum pemberontak giat kembali.
Kedatangan Kiai Haji Tubagus Ismail sebagai seorang murid dari Haji Abdul
Karim di tarekat Kadiriah. Kiai Haji Tubagus dianggap sebagai calon Wali Allah
karena tanda-tanda bahwa ia akan menjadi orang suci sudah terlihat dengan tidak
mencukur rambutnya dalam jamuan tidak makan apa-apa. Setelah menarik
perhatian terhadap kepribadiannya, Kiai Haji Tubagus Ismail mulai
berpropaganda untuk gerakan pemberontakan melawan orang kafir.

Sejak 1884 gagasan mengenai pemberontakan sudah mulai matang dan


pemimpnnya sudah tidak sabar lagi untuk mulai bertindak. Kedatangan Haji
Marjuki di Batavia 1887, gerakan pemberontakan mencapai satu tahap baru. Haji
Marjuki melanjutkan propagandanya tentang jihad dengan cara mengunjungi para
kiai taraket Kadiriah di luar Banten seperti daerah Tangerang dan Batavia. Ia
mengecam keras pemberontakan yang dipimpin oleh Haji Wasid sebagai hal
prematur dan hanya menimbulkan korban jiwa serta ini menjadi sumber
perselisihan yang tidak bisa didamaikan antara mereka.

Haji Marjuki telah gagal dalam menyelesaikan rencana pemberontakan


terhadap penguasa-penguasa kafir kemudian Haji Wasid mulai mengabdikan
dirinya kepada perjuangan untuk tujuan suci sampai akhir hayatnya. Ia tampil
sebagai pemimpin pemberontak beberapa tahun sebelum pemberontakan Banten
dimulai. Kegiatan-kegiatan persiapan pemberontakan selama tiga bulan terakhir
pada 1887 dan pertengahan pertama 1888 ditandai oleh faktor-faktor sebagai
berikut: (1) latihan pencak dipergiat; (2) Pengumpulan dan pembuatan senajata;
(3) propaganda di luar Banten dilanjutkan. Kegiatan lain juga diteruskan, seperti
menghasut rakyat dengan jalan membakar semangat mereka melalui khotbah-
khotbah, ramalan, dan ajaran tentang perang Sabil serta pertemuan keagamaan.
Kegiatan-kegiatan pergerakan benar ditingkatkan dan salah satu bukti yang nyata
adalah sering diadakan pertemuan oleh para pemimpin pemberontak hampir setiap
minggu.

10
2. Puncak Pemberontakan

Sebelum pemberontakan meletus di Cilegon tiba-tiba Haji Wasid


mengadakan kontak yang intens dengan Haji Tubagus Ismail dan pemimpin
pemberontak terkemuka lainnya. Mereka pada akhirnya memutuskan bahwa
waktu untuk bertindak telah tiba dan pemberontakan harus dimulai di Cilegon
pada Senin, 9 Juli 1888 disusul dengan serangan terhadap Serang. Setalah
mengadakan rembukan terakhir dengan Haji Tubagus Ismail dan Haji Iskak di
Saneja pada Minggu malam menjelang dimulainya pemberontakan itu, Haji
Wasid segera berangkat ke arah utara untuk memimpin persiapan terakhir di
distrik Bojonegoro. Sebagai ibu kota afdeling anyer, Cilegon merupakan tempat
tinggal pejabat-pejabat pamong praja Eropa dan pribumi.

Adegan pembuka tragedi berdarah yang berlangsung selama enam bulan


Juli itu direncanakan di Desa Saneja yang berbatasan dengan Cilegon. Serangan
pertama ke Desa Saneja itulah Haji Tubagus Ismail memimpin pasukannya pada
Minggu malam, tanggal 8 Juli kaum pemberontak bergerak menuju tempat tinggal
pejabat di Cilegon. Lalu terjadilah peristiwa pertama yang tercatat dalam
pemberontakan itu. Rumah Dumas sebagai seorang juru tulis di kantor asisten
residen merupakan sasaran serangan yang pertama pada hari Senin, 9 Juli 1888
pukul 02.00 dini hari. Dumas melarikan diri dan brsembunyi di rumah
tetangganya. Istri Dumas terluka dengan dua anak pertamanya berlindung di
rumah ajun kolektor. Minah, pembantu Dumas berusaha melindungi anak bungsu
majikannya yang ternyata mendapat luka lebih parah.

Serangan umum dipimpin oleh Haji Wasid, atas perintahnya sebagian


kaum pemberontak akan menyerbu penjara untuk membebaskan semua tahanan,
sebagian lagi akan menyerang kepatihan, dan lainnya bergerak menuju rumah
asisten residen. Pasukan pertama dipimpin oleh Lurah Jasim; pasukan kedua
dipimpin oleh Haji Abdulgani dari Beji dan Haji Usman dari Arjawinangun, dan
pasukan terakhir dipimpin oleh Kiai Haji Tubagus Ismail dan Haji Usman dari

11
Tunggak. Perintah untuk memulai serangan disambut oleh kaum pemberontak
yang sudah berkobar semangatnya dengan teriakan Sabil Allah. Kekerasan dan
kekacauan berkecamuk sepanjang hari dan dalam waktu yang mengerikan itu
hampir semua pejabat terkemuka di Cilegon jatuh sebagai korban dari senjata
kaum pemberontak yang haus darah. Di sini kekuasaan asing benar-benar
berhadapan dengan kekuatan pemberontak.

Selama pertumpahan darah, Dumas merupakan korban pertama. Ia jatuh


ke tangan Kiai Haji Tubagus Ismail, Kamidin, dan lainnya di rumah seorang Cina,
Tan Heng Kok serta dibunuh ditempat persembunyiannya. Pemberontak di bawah
pimpinan Lurah Jasim bergerak menuju rumah jaksa dan ajun kolektor. Tempat
lainnya yang menjadi luapan amukan rakyat pada Senin yang bersejarah itu adalah
rumah asisten residen Gubbels. Semua personil di rumah asisten residen yakni dua
buah babu, seorang jongos, istri tukang masak, istri penjaga kandang kuda, juga
dua anak perempuan Gubbels (Elly dan Dora). Kedua anak mereka dibunuh tanpa
ampun lagi.

Kekejaman mereka yang lain itu terjadi pada rumah di sebelah barat alun-
alun yang didiami oleh Bachet, kepala penjualan gudang garam. Terlepas dari
jabatan yang dipegangnya, kenyataan bahwa ia seorang pejabat Eropa tidak
disangsikan lagi telah ikut menimbulkan kebencian yang mendorong kaum
pemberontak untuk menyerangnya. Meskipun Bachet sempat melakukan tindakan
perlawanan namun ia tetap tewas dibunuh sedangkan ketiga anak kecilnya tetap
selamat. Setelah Cilegon diduduki oleh kaum pemberontak, dilancarkan usaha
besar-besaran untuk mencari pejabat-pejabat yang berhasil meloloskan diri.

Para pemberontak membawa wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat,


jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan ajun Kolektor Raden Purwadiningrat ke
alun-alun untuk dieksekusi. Para pemberontak kemudian membunuh Grondhout
seorang insinyur pengeboran pada departemen pertambangan di Cilegon beserta
istrinya. Para pemberontak juga menghabisi Mas Asidin (diperbantukan sebagai
asisten wedana Bojonegoro), Mas Jayaatmaja (mantri ulu atau pegawai pengairan
distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten residen anyer), dan Jasim (pelayan
asisten wedana Krapyak Cilegon). Pengejaran Gubbels seorang asisten residen

12
terus digencarkan hingga ia benar tidak berdaya kemudian mayatnya diseret ke
luar rumah dan disambut dengan pekik kemenangan yang gemuruh; asisten
residen yang dianggap sebagai alat utama pemerintah kolonial sudah mati.

3. Akhir Pemberontakan

Setelah menduduki Cilegon, Haji Wasid memipin para pemberontak


menuju Serang untuk merebut ibukota karesidenan dan menghabisi para
pegawainya baik pribumi maupun Eropa. Terjadi pertempuran di Toyomerto,
tentara berhasil memukul mundur para pemberontak. Pengikut Haji Wasid
kemudian menyusut dan memutuskan untuk mundur ke belantara Banten Selatan
melalui rute sepanjang pantai barat. Pada 17 Juli 1888, Haji Iskak menjadi
pemimpin pertama yang tewas setelah menyerang tentara. Beberapa hari
kemudian Haji Madani, Haji Jahli, Agus Suradikaria, Haji Nasiman, dan Haji
Arbi menemui ajalnya.

Pada 30 Juli 1888, ekspedisi tentara mengakhiri pelarian mereka di daerah


Sumur. Para pemberontak memberikan perlawanan meski akhirnya dilumpuhkan.
Tentara membawa mayat mereka ke Cilegon dan diidentifikasi sebagai haji
Wasid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Dua mayat jatuh
ke sungai dan dinyatakan hilang meski kemudian satunya ditemukan. Sementara
itu, Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman berhasil
meloloskan diri. Bahkan, Haji Sapiudin, Haji Kalipudin, dan Haji Abdulhalim
melarikan diri sampai ke Mekah. Operasi pengejaran terus dilancarkan sampai ke
Jedah dan Mekah, di mana kiai-kiai Banten yang terkemuka seperti Haji Abdul
Karim dan Haji Marjuki terus dimata-matai pihak Belanda. Kedua haji tersebut
dianggap sebagai dalang utama gerakan pemberontakan.

Korban tewas oleh pemberontak sebanyak 17 orang. Korban luka-luka


oleh pemberontak sekitar 7 orang. Sedangan para pemberontak yang tewas kisaran
30 orang, sebelas diantaranya dihukum gantung. Pemberontak yang mengalami
luka-luka sebanyak 13 orang. Pemberontak yang dibuang sejumlah 94 orang dan
tempat pembuangan di Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Salayar, Kema
(Minahasa), Padang Sidempun, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh,

13
Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukit Tinggi), Bengkulu, Pariaman,
Saparau, Pacitn, dan Balangnipa (Sulawesi Selatan).

2.4 Dampak Pemberontakan Petani Banten 1888


Pemberontakan di Banten jelas menunjukan bahwa pada abad ke-19
berlangsung suatu pergeseran kepemimpinan secara konstan atau perputaran
peranan elite revolusioner dan mengakibatkan dampak pada berbagai bidang,
antara lain:

1. Dampak Politik
a. Pemerintah menempatkan pasukan-pasukan kecil di tempat-tempat
yang dianggap sebagai pusat pemberontakan.
b. Pemecatan terhadap pejabat-pejabat yang dianggap bersalah
melakukan tindakan sewenang-wenangnya di bidang administratif.
c. Pencabuan ketetapan dan peraturan mengenai pemungutan berbagai
macam pajak serta ada peraturan baru mengenai kerja wajib, sewa
tanah, pajak perdagangan, dan pajak kepala.
d. Pemerintah mengambil tindakan-tindakan jangka panjang untuk
mencegah pemberontakan.
e. Menunjukan adanya pertumbuhan nasionalisme meskipun berupa
kesadaran politik dari pemimpin terhadap keinginan untuk
mengembalikan tanah kepada rakyat bukan penguasa Barat.
2. Dampak Ekonomi
a. Perekonomian sangat hancur setelah peritiwa pemberontakan tersebut.
b. Pertanian sudah tidak subur lagi dan banyak penyelewengan yang
dilakukan oleh para elite bangsawan mengenai lahan.
3. Dampak Sosial
a. Rakyat Banten menjadi semakin menderita karena adanya kerja paksa
untuk pembuatan jalan Anyer-Panurukan.
b. Adanya kaum elite baru yaitu peran pamongraja
c. Adanya sikap westernisasi dari masyarakat
4. Dampak Religi
a. Membuat peraturan baru tentang ketentuan pembatasan jamaah Haji
bagi masyarakat Banten pada khususnya.

14
b. Mendirikan sekolah-sekolah model Barat sebagai upaya penekanan
untuk mengurangi perlawanan masyarakat Banten.
5. Dampak Budaya
a. Sistem tradisional mulai luntur dengan adanya budaya Barat.
b. Sikap masyarakat Banten mulai kebarat-baratan.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pemberontakan Petani Banten 1888 jika ditinjau sebagai suatu gerakan
sosial maka itu terjadi karena ditentukan banyak faktor. Seperti di Banten terdapat
suatu tradisi untuk memberontak, di daerah itu terdapat satu aspek ketegangan
yang berlangsung terus-menerus yang bersumber pada keadaan di mana satu
lapisan besar penduduk mengalami ketersingkiran politik dan hak istimewa
mereka. Dampak penetrasi dominasi kolonial secara berangsur telah mengacaukan
beberapa bagian kehidupan beragama, terdapat satu pimpinan revolusioner yang
memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan tersebut yaitu para
elite agama yang menginginkan untuk terjadinya revivalisme.

Para elite agama yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat Banten
mendirikan pesantren, tarekat dan mulai menanamkan semangat revolusioner.
Suatu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengerahkan operasi dan
memobilisasi sumber daya manusia dan material menurut ruang dan waktu.
Melalui kajian teoritis berupa pendekatan ilmu-ilmu sosial maka Sartono
Kartodirjo mampu menganalisis gejala-gejala struktural yang terjadi pada
Pemberontakan Petani Banten 1888.

3.2 Saran
Seharusnya penulisan sejarah pada masa ini tidak hanya berbatas
deskriptif-naratif namun mampu seperti karya Sartono Kartodirdjo yaitu dengan
menggunakan pendekatan multidimensional.

16
DAFTAR PUSTAKA

Kartodirdjo, Sartono. 2015. Pemberontakan Petani Banten 1888. Depok:


Komunitas Bambu

Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.


Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

17

Anda mungkin juga menyukai