Disusun Oleh:
SURAKARTA
2019
i
KATA PENGANTAR
Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Tri
Yuniyanto, M. Hum selaku pengampu dosen mata kuliah sejarah lokal dan teman-
teman yang banyak memberikan masukan dan informasi demi pemenuhan tugas
ini. Saran dan kritik dari pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan tugas
ini karena penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangannya. Semoga tugas
makalah kelompok ini dapat memberi manfaat bagi pembacanya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................3
3.1 Kesimpulan.................................................................................................16
3.2 Saran............................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................17
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa kajian teoritis yang digunakan Sartono Kartodirdjo mengenai
Pemberontakan Petani Banten 1888?
2. Apa saja faktor-faktor pendorong terjadinya Pemberontakan Petani Banten
1888?
3. Bagaimana jalannya peristiwa Pemberontakan Petani Banten 1888?
4. Apa dampak dari Pemberontakan Petani Banten 1888?
2. Bagi Mahasiswa
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Gagasan milenari yang digunakan oleh para pemuka agama untuk
menghasut rakyat agar memberontak dapat dijelaskan melalui kajian teoritis atau
sudut pandang sosiologi dan antropologi berdasarkan orientasi ideologi kegamaan
golongan. Pendekatan-pendekatan terdahulu mengenai pergerakan sosial di
Indonesia kekurangan unsur dari aspek sosio-historis. Sehingga Sartono dalam
studi Pemberontakan Petani Banten 1888 tidak hanya menempatkan narasi
peristiwa sejarah dalam kajian teoritis yang benar, tetapi juga mengubah kesan
yang diberikan dari sudut pandang sejarawan kolonial.
Di sini terdapat keuntungan dari penggunaan pendekatan ilmu sosial yaitu mampu
menyoroti multiperspektivitas atau multidimensionalitas. Tidak dapat diingkari
bahwa tanpa bantuan kerangka teoritis dan konseptual dari ilmu-ilmu sosial,
gejala-gejala tersebut akan sukar dianalisis dan dipahami jalan prosesnya.
4
2.2 Faktor-Faktor Pendorong Pemberontakan Petani Banten 1888
Peristiwa pemberontakan petani Banten merupakan suatu pergolakan di
Jawa yang begitu menonjol pada abad ke-19. Terdapat beberapa faktor-faktor
pendorong sehingga pemberontakan tersebut bisa meletus, antara lain:
1. Faktor Geografis
Banten terletak di bagian paling barat Pulau Jawa dan memiliki luas
sekitar 114 mil persegi. Berdasarkan angka statistik resmi, penduduk Banten pada
1892 berjumlah 568.935 jiwa. Banten dapat dibagi menjadi dua bagian yang
berbeda. Pada bagian selatan merupakan daerah pegunungan, sebagian besar
terdiri dari hutan dan sangat jarang penduduknya. Sebaliknya, Banten bagian
Utara sebagian besar terdiri dari lahan yang sudah digarap pada dasawarsa
terakhir abad ke-19. Penduduknya jauh lebih padat. Kelompok etnik terbesar di
Sunda adalah orang Baduy dan mendiami daerah pegunungan bagian selatan.
2. Faktor Sosial
Stratifikasi sosial di Banten pada abad ke-19 dapat dibedakan menjadi elite
bangsawan, birokrasi dan pedesaan (lokal). Elite bangsawan sendiri dibagi
menjadi dua yaitu bangsawan tinggi dan rendah. Pada puncak struktur sosial elite
bangsawan tinggi terdapat kelas yang berkuasa secara turun temurun terdiri dari
golongan kerabat sultan dan semua anggotanya berhak atas hibah tanah, pusaka
kawargaan atau kanayakan serta berhak atas kerja wajib dan upeti dari rakyat.
Pada lingkungan bangsawan ini terdapat sejumlah tingkat dan privilese.
Keturunan sultan sampai generasi ketiga disebut warga dan mereka yang berada
5
di bawah lagi dalam garis silsilah disebut nayaka (bergelar Pangeran, Ratu, dan
Tubagus). Di Banten juga terdapat satu golongan bangsawan yang tidak termasuk
keluarga sultan (bergelar Mas, Raden, Apun, Ujang, Ayu).
3. Faktor Ekonomi
6
Jelaslah bahwa para kerabat sultan dan pejabat kesultanan sebagai pihak
yang paling diuntungkan oleh sistem lama cenderung menghendaki kembalinya
kebiasaan tradisional sebab itu mereka berusaha mempertahankan hak meskipun
sudah menerima ganti rugi. Meskipun sudah diganti rugi dengan gigih menentang
diberlakukan ketentuan yang ditetapkan Daendels karena hal itu juga berdampak
kehilangan banyak pengaruh politik pada mereka. Akibatnya ketentuan-ketentuan
tesebut menimbulkan rasa tidak puas dan itulah yang dianggap sebagai sumber
kerusuhan di Banten.
4. Faktor Politik
7
antara elite agama dan bangsawan Banten. Sebenarnya kedua golongan mengejar
tujuan yang sama yaitu mempertahankan status tradisional. Kedua golongan
tersebut telah kehilangan sebagain besar kekuasaan politik mereka. Oleh karena
itu, mereka selalu aktif berpartisipasi dalam pergolakan politik. Dalam
pertarungan politik yang multiaspek ini, kaum elite agama dan sebagian kaum
bangsawan cenderung mengembangkan orientasi politik yang lebih ekstrem dan
ikut dalam pergerakan.
Tarekat adalah alat yang sangat baik untuk mengatur gerakan keagamaan
dan melakukan indoktrinasi tentang cita-cita kebangkitan kembali. Pada abad ke-
8
19 di Pulau Jawa hanya terdapat tiga tarekat yaitu Kadiriah, Naksibandiah, dan
Satariah yang memiliki arti penting. Secara keseluruhan di Pulau Jawa,
Naksibandiah adalah tarekat terkuat sedangkan Banten berkembang tarekat
Kadiriah. Satu ciri yang cukup lazim dari gerakan kebangkitan agama adalah
munculnya ide-ide milenari dalam hal ini ide eskatologis Islam yang mencakup
pula harapan akan datangnya Mahdi. Orang-orang dirasuki oleh semangat Perang
Sabil yang membara dan rasa benci mendalam terhadap kolonial “pemerintah
kafir”.
Para pemimpin tarekat seperti Haji Abdul Karim, Haji Tubagus Ismail,
dan Haji Wasid memiliki peranan yang penting dalam pemberontakan di Banten.
Haji Abdul Karim adalah seorang ulama besar dan sebagai guru tarekat Kadiriah.
Berkat kedudukannya yang luar biasa, khotbah-khotbah Haji Abdul Karim
mempunyai pengaruh yang besar terhadap para penduduk. Revivalisme agama di
Banten berlangsung dengan cepat. Pada akhirnya para kiai dan haji di pedesaan
memiliki prestise sosial yang sangat besar dan keadaan tersebut menjadi satu
ancaman cukup mencemaskan bagi pemerintah kolonial.
9
menimbulkan gelora keagamaan umum. Semangat jihad dihidupkan oleh kesadran
yang kuat bahwa negeri mereka harus dianggap sebagai sebuah dar al-Islam,
untuk sementara waktu diperintah oleh orang asing dan harus direbut kembali.
Beberapa tahun berlalu baru pada tahun 1883, kaum pemberontak giat kembali.
Kedatangan Kiai Haji Tubagus Ismail sebagai seorang murid dari Haji Abdul
Karim di tarekat Kadiriah. Kiai Haji Tubagus dianggap sebagai calon Wali Allah
karena tanda-tanda bahwa ia akan menjadi orang suci sudah terlihat dengan tidak
mencukur rambutnya dalam jamuan tidak makan apa-apa. Setelah menarik
perhatian terhadap kepribadiannya, Kiai Haji Tubagus Ismail mulai
berpropaganda untuk gerakan pemberontakan melawan orang kafir.
10
2. Puncak Pemberontakan
11
Tunggak. Perintah untuk memulai serangan disambut oleh kaum pemberontak
yang sudah berkobar semangatnya dengan teriakan Sabil Allah. Kekerasan dan
kekacauan berkecamuk sepanjang hari dan dalam waktu yang mengerikan itu
hampir semua pejabat terkemuka di Cilegon jatuh sebagai korban dari senjata
kaum pemberontak yang haus darah. Di sini kekuasaan asing benar-benar
berhadapan dengan kekuatan pemberontak.
Kekejaman mereka yang lain itu terjadi pada rumah di sebelah barat alun-
alun yang didiami oleh Bachet, kepala penjualan gudang garam. Terlepas dari
jabatan yang dipegangnya, kenyataan bahwa ia seorang pejabat Eropa tidak
disangsikan lagi telah ikut menimbulkan kebencian yang mendorong kaum
pemberontak untuk menyerangnya. Meskipun Bachet sempat melakukan tindakan
perlawanan namun ia tetap tewas dibunuh sedangkan ketiga anak kecilnya tetap
selamat. Setelah Cilegon diduduki oleh kaum pemberontak, dilancarkan usaha
besar-besaran untuk mencari pejabat-pejabat yang berhasil meloloskan diri.
12
terus digencarkan hingga ia benar tidak berdaya kemudian mayatnya diseret ke
luar rumah dan disambut dengan pekik kemenangan yang gemuruh; asisten
residen yang dianggap sebagai alat utama pemerintah kolonial sudah mati.
3. Akhir Pemberontakan
13
Banda, Bantaeng, Manado, Fort de Kock (Bukit Tinggi), Bengkulu, Pariaman,
Saparau, Pacitn, dan Balangnipa (Sulawesi Selatan).
1. Dampak Politik
a. Pemerintah menempatkan pasukan-pasukan kecil di tempat-tempat
yang dianggap sebagai pusat pemberontakan.
b. Pemecatan terhadap pejabat-pejabat yang dianggap bersalah
melakukan tindakan sewenang-wenangnya di bidang administratif.
c. Pencabuan ketetapan dan peraturan mengenai pemungutan berbagai
macam pajak serta ada peraturan baru mengenai kerja wajib, sewa
tanah, pajak perdagangan, dan pajak kepala.
d. Pemerintah mengambil tindakan-tindakan jangka panjang untuk
mencegah pemberontakan.
e. Menunjukan adanya pertumbuhan nasionalisme meskipun berupa
kesadaran politik dari pemimpin terhadap keinginan untuk
mengembalikan tanah kepada rakyat bukan penguasa Barat.
2. Dampak Ekonomi
a. Perekonomian sangat hancur setelah peritiwa pemberontakan tersebut.
b. Pertanian sudah tidak subur lagi dan banyak penyelewengan yang
dilakukan oleh para elite bangsawan mengenai lahan.
3. Dampak Sosial
a. Rakyat Banten menjadi semakin menderita karena adanya kerja paksa
untuk pembuatan jalan Anyer-Panurukan.
b. Adanya kaum elite baru yaitu peran pamongraja
c. Adanya sikap westernisasi dari masyarakat
4. Dampak Religi
a. Membuat peraturan baru tentang ketentuan pembatasan jamaah Haji
bagi masyarakat Banten pada khususnya.
14
b. Mendirikan sekolah-sekolah model Barat sebagai upaya penekanan
untuk mengurangi perlawanan masyarakat Banten.
5. Dampak Budaya
a. Sistem tradisional mulai luntur dengan adanya budaya Barat.
b. Sikap masyarakat Banten mulai kebarat-baratan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pemberontakan Petani Banten 1888 jika ditinjau sebagai suatu gerakan
sosial maka itu terjadi karena ditentukan banyak faktor. Seperti di Banten terdapat
suatu tradisi untuk memberontak, di daerah itu terdapat satu aspek ketegangan
yang berlangsung terus-menerus yang bersumber pada keadaan di mana satu
lapisan besar penduduk mengalami ketersingkiran politik dan hak istimewa
mereka. Dampak penetrasi dominasi kolonial secara berangsur telah mengacaukan
beberapa bagian kehidupan beragama, terdapat satu pimpinan revolusioner yang
memberikan landasan rasional kepada gerakan pemberontakan tersebut yaitu para
elite agama yang menginginkan untuk terjadinya revivalisme.
Para elite agama yang memiliki pengaruh besar pada masyarakat Banten
mendirikan pesantren, tarekat dan mulai menanamkan semangat revolusioner.
Suatu alat keorganisasian telah diciptakan untuk mengerahkan operasi dan
memobilisasi sumber daya manusia dan material menurut ruang dan waktu.
Melalui kajian teoritis berupa pendekatan ilmu-ilmu sosial maka Sartono
Kartodirjo mampu menganalisis gejala-gejala struktural yang terjadi pada
Pemberontakan Petani Banten 1888.
3.2 Saran
Seharusnya penulisan sejarah pada masa ini tidak hanya berbatas
deskriptif-naratif namun mampu seperti karya Sartono Kartodirdjo yaitu dengan
menggunakan pendekatan multidimensional.
16
DAFTAR PUSTAKA
17