Anda di halaman 1dari 13

1

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH BIMBINGAN ORIENTASI SEJARAH
NAWAKSARA ATAU KUDETA KONSTITUSI














DISUSUN OLEH
BONNY NUR I. D.
CHINTYA
PRADISAMIA DWI P.
ULFA RODILLAH




ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
2014
2

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa penulis dapat
menyelesaikan tugas pembuatan makalah yang berjudul Nawaksara atau Kudeta
Konstitusi? dengan lancar.
Dalam membuat makalah ini penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penulis pada khususnya, penulis menyadari dalam membuat makalah ini masih jauh dari kata
sempurna untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan kearah yang lebih baik. Akhir kata penulis sampaikan terima kasih.



Jakarta, 30 September 2014

Tim Penulis
















3

DAFTAR ISI
Kata Pengantar .......................................................................................... .................... 1
BAB I Pendahuluan
1.1. Latar Belakang ......................................................................... ......... 3
1.2. Rumusan Masalah .......................................................................... ......... 3
1.3. Tujuan Penulisan ...................................................................... ......... 4
1.4. Ruang Lingkup Penulisan ......................................................... ......... 4
1.4.1. Lingkup Permasalahan ................................................ ......... 4
1.4.1. Lingkup Periodeisasi ........................................................... ......... 4
1.5. Manfaat Penulisan .............................................................................. ......... 4
BAB II Pembahasan
2.1. Latar Belakang Nawaksara dan Kontroversinya ..................................... 5
2.2. Penolakan Nawaksara hingga Peralihan Kekuasaan
2.2.1. Nawaksara dan Penolakannya ............................................. 8
2.2.2. Pelengkap Nawaksara dan Penolakannya ............................ 9
2.2.3. Peralihan Kekuasaan ................................................................... 10
BAB III Kesimpulan ..................................................................................................... 11
Daftar Pustaka ..................................................................................................... 12
















4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia akan berusaha membela dirinya dan
mempertanggung jawabkan suatu masalah tanpa harus disuruh terlebih dahulu untuk
mempertanggungjawabkan sesuatu yang menjadi tanggung jawabnya meskipun itu
bukan kesalahan dari dirinya sendiri. Hal itu adalah suatu yang wajar karena setiap
manusia seyogianya ingin menjaga harga dirinya dan mengevaluasi diri dan kelompoknya
untuk bisa meningkatkan kualitas mereka. Dari kesadaran dan usaha untuk
mempertanggungjawabkan suatu masalah tersebut tentunya akan menghasilkan suatu
pertanggungjawaban, namun tentunya seperti yang sudah kita ketahui pertanggung
jawaban tersebut bisa menghasilkan suatu pertanggung jawaban yang diterima dan tidak
terima atau dengan kata lain ditolak.
Melihat sejarah masa lalu pada era demokrasi terpimpin tanpa disuruh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atau yang biasa disebut MPR Presiden Soekarno memberikan
pidato pembelaaannya yang terkait kemerosotan sosial budaya dan ekonomi yang
berjudul NAWAKSARA.
Nawaksara adalah bentuk salah satu pertanggung jawaban Presiden atau seorang
mandataris yang ditujukan kepada MPRS. Dalam Konstiusi UUD 1945 dan ketentuan
Pasal 1 Ketetapan MPRS No. XVI/MPRS/1966 Tentang Pengertian Mandataris MPRS
adalah Presiden pemegang kekuasaan Pemerintahan menurut UUD 1945.
1

Pertanggungjawaban Presiden Soekarno terkait kemerosotan sosial budaya dan
ekonomi yang berjudul Nawaksara itu ditolak oleh MPRS dan ternyata penolakan itu
berujung pada peralihan kekuasaan dari rezim orde lama ke orde baru yang penuh dengan
kontroversi.
1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan ini yang berjudul NAWAKSARA atau KUDETA
KONSTITUSI? terbagi atas
beberapa pokok masalah.Masalah yang diangkat pada penulisan ini adalah:
a. Latar belakang Nawaksara beserta Kontroversinya
b. Penolakan Nawaksara hingga Peralihan Kekuasaan

1
Mulyosudarmo Suwoto,Peralihan Kekuasaan dalam Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara
(Jakarta: Gramedia, 1997) hlm. 82
5

1.3. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk menjelaskan kontroversi politik yang menjadi
latar belakang Nawaksara hingga peralihan kekuasaan dari orde lama ke orde baru.
1.4. Ruang Lingkup Penulisan
Ruang lingkup masalah pada penulisan ini terdiri dari dua bagian, yaitu
lingkup permasalahan dan lingkup periodesasi.
1.4.1. Lingkup Permasalahan
Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis berfokus pada kontroversi politik
yang menjadi latar belakang Nawaksara hingga peralihan kekuasaan dari orde lama
ke orde baru.
1.4.2. Lingkup Periodesasi
Penulis memilih era akhir demokrasi terpimpin karena pada era tersebut
terjadi penyampaian pidato pembelaan oleh Presiden Soekarno yang berjudul
Nawaksara dan kontroversi peralihan masa orde lama ke orde baru
1.5. Manfaat Penulisan
Sesuai dengan tema yang diambil oleh penulis adalah pidato pertanggung
jawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara. Penulis mengharapkan agar
hasil penulisan karya ilmiah dapat memberikan manfaat dan sumbangan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu sejarah dan terutama
kajian sejarah pidato pertanggungjawaban Soekarno yang berjudul Nawaksara.














6

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Latar Belakang Nawaksara dan Kontroversinya
Selain karena alasan konstitusi UUD 1945 dan Pasal 1 Ketetapan MPRS No.
XVI/MPRS/1966 yang menyebutkan presiden merupakan mandataris MPRS, meskipun
dalam prakteknya MPRS justru dibawah pengaruh presiden. Pidato Nawaksara yang
disampaikan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 22 Juni 1966 dihadapan Sidang Umum IV
MPRS itu juga tidak terlepas dari upaya penanggulangan yang timbul dari terjadi G30S/PKI,
yang secara kronologi dapat dipaparkan sebagai berikut :

a. 30 September 1965 terjadi percobaan kudeta yang dilakukan oleh PKI
2


b. 1 November 1965 Panglima Kostrad Mayor Jendral Soeharto diangkat sebagai
Panglima Operasi Pemulihan Keamaan dan Ketertiban (Pangkoptamtib) oleh Presiden
Soekarno selaku Panglima Tertinggi ABRI/KOTI. SK pengangkatan Soeharto
sebagai Panglima Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban ini ditetapkan dalam
Keppres. No 179/KOTI/1965.

c. Jumat pagi 11 Maret 1966 saat berlangsung sidang kabinet 100 menteri. Kota Jakarta
diserbu Ribuan mahasiswa. Mereka bergerak ke Istana Merdeka untuk satu tujuan
turun kejalan berdemo sebagai kelanjutan menyuarakan Tritura : Bubarkan
PKI, Bubarkan kabinet 100 mentri, dan Turunkan Harga.
Pada hari itu juga ditetapkan surat perintah terhadap Letnan Soeharto yang
sebelumnya untuk mengambil tindakan yang perlu bagi terjaminnya keamanan dan
ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan revolusi. Surat Perintah yang
ditetapkan pada 11 Maret 1966 (Supersemar) itu merupakan kekuasaan
derivatif yang berbentuk pemberian kuasa dari Presiden Soekarno terhadap
Letjen Soeharto selaku Menteri Panglima Angkatan Darat untuk melaksanakan
stabilitas keamanan dan politik berdasarkan tritura. Disamping itu pemegang
SP 11 Maret diwajibkan melapor segala sesuatu yang bersangkutan dengan
sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya.

2
Ibid. hlm. 92
7


Bukti bahwa surat itu berisi pelimpahan kuasa secara derivatif ada dalam wawancara
DeTak dengan Soebandrio, mantan wakil perdana menteri dan menteri luar negeri
1957-1966 (Hari Rabu, 24 Februari 1999)

Konon, di halaman dua alinea terakhir tertulis kalimat setelah keadaan
terkendali Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno. Apakah
benar kata-kata seperti itu?

Soebandrio : Ya, ya ada, ada disitu

Tapi, mengapa dalam Supersemar yang resmi beredar kata-kata itu, tidak ada?
Dihilangkan?

Soebandrio : Ya, saya enggak tahu, kenapa dihilangkan. Tapi, yang pasti
kata-kata itu memang ada. Saya enggak tahu kemudian ko dihilangkan. Kenapa
dihilangkan, ko nanya ke saya?
3


d. Pada tanggal 12 Maret 1966. Atas dasar SP 11 Maret Soeharto Membubarkan Partai
Komunis Indonesia termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai
bawahannya serta menyatakan Partai Komunis adalah partai yang terlarang di seluruh
kekuasaan Negara Republik Indonesia.

Hal itu bertentangan dengan yang diperintahkan Soekarno. Dari wawancara dengan
Sri Mulyono Herlambang, mantan Menteri Panglima AU :

Apa yang dibicarakan Bung Karno?

Bung Karno Bertanya : Kalian ini bagaimana? Sudah diajak koordinasi Soeharto
atau belum? Itu gimana? Perintah saya hanya dibidang keamanan. Mengapa

3
Arif Hakim dan Lensi Supersemar Bukan Pelimpahan Kekuasaan, Misteri Supersemar,(Jakarta: Mediakita,
2008) hlm. 13
8

mengambil tindakan membubarkan PKI? Itukan wewenang saya. Bung Karno
marah, kata-kata go to hellnya keluar.
4


e. Sebelum Tap MPR dikukuhkan pada 21 Juni 1966 Soeharto terlebih dulu mengobok-
obok MPRS. Ini terlihat dari Soeharto, dkk melancarkan manuver untuk menggusur
para pendukung Soekarno di MPRS dan menggantikannya dengan orang-orang anti-
Soekarno. Misalnya : Ketua MPRS Chaerul Saleh yang digantikan dengan A.H.
Nasution. Juga Wakil Ketua MPRS Ali Sastromidjojo yang digantikan dengan Osa
Maliki.
5


Supersemar yang pada awalnya adalah sebuah perintah eksekutif diubah menjadi
Tap MPRS Pada tanggal 21 Juni 1966 dan dikukuhkan dengan Ketetapan MPRS
No.IX/MPRS/196.

Dahlan Ranuwihardjo mengatakan :
Supersemar itu perintah eksekutif. Order wewenang itu adalah presiden, bukannya
wewenang MPR. Jadi tidak bisa dong MPR melakukan sesuatu yang bukan
wewenangnya. Ini Sesuatu yang janggal.

Dari pernyataan Dahlan diatas yang menyebutkan MPRS tidak punya wewenang
untuk mengukuhkan Supersemar itu ditambahkan lagi dengan pernyataannya yang
fenomenal :
Saya dibisiki itu maksudnya supaya Supersemar tidak dicabut kembali
6


Berbeda dengan Dahlan, Ismail Sunny beranggapan :
Dilihat dari tata hukum negara. Perubahan Supersemar menjadi Tap MPRS itu
dibenarkan. Mandataris itu adalah presiden dan yang lebih tinggi dari presiden itu
MPRS. Jadi, MPRS berhak mengukuhkan Supersemar menjadi Tap MPR.
7


4
Agustono dan Bhimo Semua Panglima tak Hadir, Misteri Supersemar,(Jakarta: Mediakita, 2008) hlm. 32
5
Jarot Eross, dkk.Misteri Supersemar,Mediakita,Jakarta,2008 hal 48,49.
6
Wawancara Dahlan Ranuwihardjo oleh Bhimo dan Widadi Dari Executive Order Menjadi Tap MPR. (Jarot
Eross, dkk.Misteri Supersemar.Mediakita,Jakarta,2008.hal 50)
7
Wawancara Ismail Sunny, pakar hukum Tata Negara oleh Arif Rahman Hakim dan Lensi Dari Executive Order
menjadi Tap MPR. (Jarot Eross, dkk.Misteri Supersemar.Mediakita,Jakarta,2008.hal 50)
9

Dari berbagai hasil wawancara tersebut, pengukuhan SP 11 Maret 1966 menjadi
Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/196 terdengar seperti di rekayasa.

Dari wawancara Adnan Buyung Nasution oleh Ezki Suyanto. Adnan Buyung mantan
ketua Kesatuan Aksi Sardjana Indonesia (KASI) :

Jadi, Apakah bisa dikatakan bahwa SP 11 Maret menjadi Tap merupakan
rekayasa?

Adnan Buyung Nasution : Memang sejarah tidak bisa dimungkiri. Bung Karno
sudah banyak kesalahannya dan Bung Karno memang harus turun. Abang orang
paling yakin saat itu, tidak akan goyah. Kalau Soeharo kita anggap salah, Lalu
Soekarno kita anggap betul, itu tidak boleh. Makannya kita harus kembali melihat
konteksnya.
8


2.2. Penolakan Nawaksara hingga Peralihan Kekuasaan
2.2.1. Nawaksara dan Penolakannya
Pada tanggal 22 Juni 1966 dilangsungkan Soekarno mengurai tiga keterangan
pokok yang berkaitan dengan G-30S/PKI :

a. Keblingeran pimpinan PKI.
b. Subversi neo-kolonialisme dan imperialisme (nekolim)
c. Adanya oknum-oknum yang tidak benar.

Pada tanggal 5 Juli 1966 Pidato Nawaksara oleh Presiden Soekarno dihadapan
Sidang Umum Ke : IV MPRS ditolak karena dinilai tidak bisa memberi
pertanggungjawaban secara politis terhadap kehidupan bangsa Indonesia saat itu.
Pidato tersebut dinilai hanya sebagai progress report, bukan pertanggungjawaban
presiden mengenai kondisi pasca G30S.

MPRS dan jajarannya dalam Ketetapan No.5/MPRS/1966 meminta Soekarno untuk
segera melengkapi isi pidato tersebut.Wajar saja, karena yang duduk dalam jajaran

8
Wawancara Adnan Buyung Nasution, mantan ketua KASI oleh Ezki Suyanto Abang Memang Ikut Serta
(Jarot Eross, dkk.Misteri Supersemar.Mediakita,Jakarta,2008.hal 53)
10

MPRS saat itu adalah kalangan Angkatan Darat yang memang sudah lama
berkontroversi dengan kubu Soekarno
9
. Dilihat dari Ketua MPRS waktu itu A.H.
Nasution (AD) yang menggantikan Chaerul Saleh (Pro-Soekarno) dan Osa Maliki
(AD) yang menggantikan Ali Sastromidjojo pada tanggal 21 Juni 1966.
10


2.2.2. Pelengkap Nawaksara dan Penolakannya
Soekarno cukup tanggap dengan reaksi masyarakat. Pada 10 Januari 1967 ia
kemudian menyerahkan Pidato Pelengkap Nawaksara. Namun pelengkap tersebut belum
juga sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Mengapa pelengkap Nawaksara ditolak A.H Nasution selaku ketua MPRS dalam
wawancara khusus dengan Majalah D & R mengatakan demikian :
Bung Karno memang melengkapi dengan apa yang disebut sebagai Pel-Nawaksara.
Pimpinan MPRS telah menerima dengan resmi surat Presiden RI tentang pelengkap
pidato NAWAKSARA yang diantarkan oleh Sekretarias Militer Presiden Mayjen
Suryo Sumpeno. Setelah membaca surat tersebut, maka catatan sementara dari
Pimpinan MPRS adalah presiden masih meragukan keharusan untuk memberikan
pertanggungjawaban kepada MPRS, sebagaimana yang telah ditentukan oleh
keputusan MPRS No.5/MPRS/1966.
11






Disaat yang sama Nasution mengatakan dengan tegas :

MPRS sependapat dengan penolakan-penolakan itu, sebagaimana yang kami
simpulkan dalam rapat pula 10 Januari 1967 Secara tidak langsung, ia mendukung
segala tindakan yang diambil tentara untuk melemahkan kekuasaan Sukarno.
12


2.2.3. Peralihan Kekuasaan

9
Nuryanti Reni,Tragedi Sukarno dari Kudeta sampai Kematiannya (Yogyakarta: Ombak, 2008) hlm.38
10
DJarot Eross, dkk.Misteri Supersemar,Mediakita,Jakarta,2008 hal 48,49.
11
Tiarma Siboro, Wawancara Majalah D&R, 17 Januari 1998, http://www.Tem-
pointeraktif.com/ang/min/02/46.nas2.htm diakses 02 Oktober 2014.
12
Reni op. cit. hlm. 45.
11

Dengan penolakan Nawaksara dan Pelengkapnya, gagal sudah Soekarno
mempertahankan dirinya sebagai Presiden RI.

Pada Tanggal 20 Februari 1967 diumumkan Pengumuman Presiden/Mandataris
MPRS tentang penyerahan kekuasaan kepada Pengemban Ketetapan MPRS
IX/MPRS/1966 yang dulu sebelum di kukuhkan masih berbentuk Surat
Perintah 11 Maret 1966.

Dari proses kekuasaan ini nampak adanya kaitan yang erat antara Ketetapan MPRS
No.IX/MPRS/1966
13
dengan No.XXXIII/MPRS/1967
14
. Semua itu menunjukan
adanya suatu rangkaian yang sistematik untuk menjatuhkan pemerintahan
Soekarno melalui lembaga tertinggi negara (MPRS)

Dalam pertimbangannya dinyatakan bahwa, Pertama. Pidato tanggal 22 Juni 1967
(Nawaksara) dan Surat Presiden No.1/Pres/1967 Tanggal 10 Januari 1967
(Pelengkap Nawaksara) tidak memenuhi harapan rakyat pada umumnya. Kedua,
bahwa Presiden/Mandataris MPRS telah menyerahkan kekuasaan pemerintah
Kepada Pengemban Ketetapan MPRS.
15












13
Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966 berisi tentang SP Presiden/Mandatarin MPRS,dinyatakan tidak berlaku
karena sudah ditampung dalam Ketetapan MPR-RI No.X/MPR/1973 tentang Pelimpahan Tugas dan
Kewenangan Kepada Presiden/Mandataris MPRS untuk Melaksanakan Tugas Pembangunan.(Soemantri
Sri,Ketetapan MPRS Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata Negara (Bandung: Remadja Karya, 1985, hlm. 61)
14
Ketetapan MPRS No.XXXIII/MPRS/1967 berisi tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno, Berlaku satu kali.(Soemantri Sri,Ketetapan MPRS Sebagai Salah Satu Sumber Hukum Tata
Negara. Remadja Karya, Bandung,1985, hlm. 64)
15
Mulyosudarmo Suwoto,Peralihan Kekuasaan dalam Kajian Teoritis dan Yuridis terhadap Pidato Nawaksara.
Gramedia, Jakarta,1997, hal 12.
12

BAB IV
KESIMPULAN

Menurut penulis berdasarkan data-data yang penulis dapatkan, Surat Perintah 11
Maret 1966 Supersemar bukan sebuah bentuk pelimpahan kekuasaan melainkan Surat
pemberian kekuasaan untuk menertibkan dan mengamankan keadaan, Maka yang terjadi
bukanlah DUALISME KEPEMIMPINAN. Melainkan Kudeta Konstitusi yang dilakukan
Letjen Soeharto dan Angkatan Darat.
Setelah Soeharto melaksanakan tugasnya yang diberikan Soekarno terkait
TRITURA, Soeharto tidak mengembalikan kekuasaan bahkan tidak pernah melapor. SP 11
Maret yang dilanggar kemudian dikukuhkan oleh MPRS menjadi Tap MPRS
No.IX/MPRS/1966. Padahal order Eksekuif tidak bisa dikukuhkan oleh MPRS. Hal itu
dikarenakan SP tersebut takut dicabut.
Karena intrik-intrik politik licik sudah terlalu menggurita, maka dengan wajar MPRS
yang sendirinya pihak Angkatan Darat menolak Pidato Nawaksara yang diberikan Presiden
Soekarno tanggal 22 Juni 1966 dan Pelengkap Nawaksara yang diberikan pada 10 Januari
1967.
Tujuan penulis menulis makalah ini adalah memberikan informasi kepada pembaca
sekaligus sebagai pembelajaran bagi penulis sendiri. Penulis sadar makalah ini masih jauh
dari kata sempurna maka dari itu penulis akan dengan senang hati menerima kritik dan saran.
Dengan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak.













13







DAFTAR PUSTAKA

Djarot Eross, dkk, Misteri Supersemar, Jakarta : Mediakita, 2006
Istanto Sugeng, Fungsi Madjelis Permusyawaratan Rakjat Sementara dalam Undang-
Undang 1945, Jokjakarta : Karyaputera, 1971
Mulyosudarmo Suwoto, Peralihan Kekuasaan Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato
Nawaksara, Jakarta : Gramedia, 1997
Nuryanti Reni, Tragedi Sukarno Dari Kudeta Sampai Kematiannya, Jokjakarta : Ombak,
2008
Rosadi Otong, Hukum Tata Negara Indonesia : Teori dan Praktek, Padang : Fakultas Hukum
Universitas Eka Sakti, 2004
Soemantri Sri, Ketetapan MPRS Sebagai Salah Satu Sumber Tata Negara, Bandung :
Remadja Karya, 1985
Tiarma Siboro, Wawancara Majalah D&R, 17 Januari 1998,
http://www.Tempointeraktif.com/ang/min/02/46.nas2.htm, diunduh 02 Oktober 2014.

Anda mungkin juga menyukai