Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS INDONESIA

MAKALAH GEOGRAFI SEJARAH


KEBIJAKAN SISTEM TANAM PAKSA DI PULAU JAWA

DISUSUN OLEH:
CHINTYA
NPM: 1406537501

Diajukan untuk memenuhi


tugas akhir Geografi Sejarah

ILMU SEJARAH
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA
DEPOK, 2014

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2
LATAR BELAKANG ........................................................................................................ 3
AWAL MUNCULNYA KEBIJAKAN SISTEM TANAM PAKSA ................................. 3
PELAKSANAAN SISTEM TANAM PAKSA .................................................................. 4
DAMPAK PENERAPAN SISTEM TANAM PAKSA ...................................................... 6
Dampak yang Dirasakan Belanda .................................................................................. 6
Dampak yang Dirasakan Masyarakat Jawa Tengah ...................................................... 6
AKHIR PELAKSANAAN SISTEM TANAM PAKSA .................................................... 7
SIMPULAN ........................................................................................................................ 8
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 9
LAMPIRAN GAMBAR ................................................................................................... 10

LATAR BELAKANG
Pulau Jawa merupakan sebuah pulau yang memiliki sisi sejarah yang
sangat menarik. Banyak sejarawan yang telah menulis sejarah yang terjadi di
Pulau Jawa, sehingga sumber-sumber sejarah kehidupan masyarakat Pulau Jawa
dapat diperoleh dengan mudah. Khusus dalam makalah ini, saya akan memberi
batasan wilayah di Jawa Tengah saja agar dapat mempermudah pengumpulan
sumber sejarah.
Sementara itu, sistem tanam paksa (cultuurstelsel) sendiri sebenarnya
diterjemahkan sebagai sistem budidaya, karena memang tujuannya untuk
membudidayakan tanaman-tanaman komoditas ekspor. Akan tetapi, dalam
prakteknya, sistem ini mengalami berbagai penyimpangan, sehingga akhirnya
disebut sebagai sistem tanam paksa.
Diterapkannya

sistem

tanam

paksa

di

Jawa

Tengah

tentulah

mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa Tengah pada masa itu. Bagaimana


pelaksanaan sistem tanam paksa di daerah Jawa? Apa pengaruh sistem tanam
paksa terhadap kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah? Hal ini
tentu sangat menarik untuk dijadikan bahan kajian sejarah.
AWAL MUNCULNYA KEBIJAKAN SISTEM TANAM PAKSA
Kebijakan ini muncul ketika Belanda berhasil menguasai Pulau Jawa,
tetapi Belanda mengalami kebangkrutan. Hanya perkebunan kopi di daerah
Priangan (Jawa Barat) yang masih mendatangkan keuntungan bagi Belanda.
Adapun keuntungan di Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah habis dipakai untuk
biaya militer dan administrasi. Maka itulah, Belanda berusaha agar keberhasilan
mereka menguasai Pulau Jawa juga memdatangkan keuntungan secara finansial.1
Kebangkrutan yang dialami Belanda ini merupakan akibat terjadinya
Perang Jawa dan Revolusi Belgia. Peperangan-peperangan ini membuat utang
dalam negeri Belanda berikut bunganya membubung tinggi. Sehingga pada
tahun 1830, Johannes van den Bosch menyampaikan usulan kepada Raja
Belanda.

Usulan-usulan tersebut kelak disebut cultuurstelsel,2 yang mana

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern: 1200-2008, terj. Tim Penerjemah Serambi (Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2008), hlm. 259
2
Ibid. hlm. 260

kebijakan ini dianggap sesuai dengan dengan sistem feodal di Pulau Jawa.3
Cultuurstelsel sendiri sebenarnya berarti sistem pembudidayaan. Akan tetapi,
karena pelaksanaannya mengakibatkan penderitaan bagi rakyat Hindia Belanda,
maka kata cultuurstelsel dimaknai sebagai sistem tanam paksa.
PELAKSANAAN SISTEM TANAM PAKSA
Konsep tanam paksa yang diusulkan van den Bosch adalah bahwa setiap
desa harus menyisihkan sebagian tanahnya guna ditanami komoditas ekspor,
khususnya kopi, tebu, dan nila.4 Hasil tanam paksa ini dijual kepada pemerintah
kolonial dengan harga yang sudah ditentukan. Apabila pendapatan desa dari
penjualan hasil panen kepada pemerintah lebih banyak daripada pajak tanah yang
harus dibayar, maka desa tersebut akan menerima kelebihannya, apabila kurang,
makan desa tersebut harus membayar kekurangannya dari sumber-sumber lain.5
Ketentuan-ketentuan pokok cultuurstelsel (sistem tanam paksa) yang
tertera dalam stadsblad (Lembaran Negara) tahun 1834 no. 22 beberapa tahun
setelah tanam paksa dijalankan di Pulau Jawa adalah sebagai berikut.6
1. Persetujuan-persetujuan akan diadakan dengan penduduk agar mereka
menyediakan sebagian tanah milik mereka untuk penanaman tanaman
dagangan yang dapat dijual di pasar Eropa.
2. Bagian tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak
boleh melebihi seperlima tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagangan tidak boleh
melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan
dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
5. Tanaman dagangan yang dihasilkan di tanah-tanah yang disediakan wajib
diserahkan kepada pemerintah Hindia Bleanda jika nilai hasil-hasil

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Sejarah Daerah Jawa Tengah (Jakarta: Proyek Penerbitan
Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1978) hlm. 110.
4
R.Z. Leirissa, G.A. Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan, Sejarah Perekonomian Indonesia (Jakarta: Proyek
Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1996) hlm.53
5
Ricklefs op. cit. hlm. 261
6
Marwati Djoened Poeponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Edisi
Pemutakhiran (Jakarta: Balai Pustaka, 2009), hlm. 354355

tanaman dagangan yang ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus
dibayar rakyat, selisih positifnya harus diserahkan kepada rakyat.
6. Panen tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada
pemerintah, sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh
kurang rajin atau ketekunan dari pihak rakyat.
7. Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka di bawah pengawasan
kepala-kepala

mereka,

sedangkan

pegawai-pegawai

Eropa

hanya

membatasi diri pada pengawasan apakah membajak tanah, panen, dan


pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik dan tepat pada
waktunya.
Dari peraturan-peraturan tersebut, sistem tanam paksa terkesan tidak
begitu menekan rakyat.

Akan tetapi, dalam prakteknya, sistem ini justru

sangat menekan rakyat.


Sistem ini membuat rakyat merasa sangat tertekan karena adanya
cultuurprocenten, yaitu persentase tertentu dari penghasilan yang diperoleh
dari penjualan tanaman-tanaman ekspor yang diserahkan kepada pegawaipegawai Belanda dan para bupati serta para kepala desa jika mereka berhasil
mencapai atau melampaui target produksi yang dibebankan kepada setiap
desa. Niat awal pemberian cultuurprocenten ini adalah untuk merangsang
para pegawai Belanda, bupati, dan kepala desa menjalankan tugas mereka
dengan baik, yaitu mengawasi pelaksanaan sistem tanam paksa.7

Alfred

Russel Wallace bahkan menyatakan bahwa bila bupati menginginkan


peningkatan produksi perkebunan di wilayahnya, kadang-kadang rakyat
dipaksa terus bekerja di perkebunan sehingga hasil panen padi berkurang.
Sebagai akibatnya, rakyat kelaparan. Hal tersebut merupakan hal yang tidak
seharusnya terjadi. Wallace menganggap hal tersebut sebagai penyalahgunaan
sistem.8
Selain cultuurprocenten, hal yang juga merugikan rakyat adalah
mengenai pembebasan pajak tanah. Menurut ketentuan resmi, tanah yang
disediakan untuk tanam paksa dibebaskan dari pajak tanah. Dalam praktik,
7

Ibid. hlm. 356


Alfred Russel Wallace, Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian Manusia, dan Alam,
terj. Tim Komunitas Bambu (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009), hlm. 71
8

ternyata petani-petani harus menganggung dua macam beban, yaitu pekerjaan


paksa menanam tanaman-tanaman ekspor dan pembayaran pajak tanah.
Penerimaan pemerintah kolonial yang diperoleh dari pajak tanah juga
mengalami peningkatan.
Penerimaan dari Pajak Tanah9
Tahun

Penerimaan

1829

f3.305.698

1835

f7.679.359

1840

f9.364.907

DAMPAK PENERAPAN SISTEM TANAM PAKSA


Dampak penerapan sistem tanam paksa akan saya bagi dalam dua bagian,
yaitu dampak yang dirasakan Belanda dan dampak yang dirasakan rakyat Jawa
Tengah.
Dampak yang Dirasakan Belanda
Sistem tanam paksa telah menghasilkan keuntungan besar bagi Belanda.
Orang-orang Belanda bahkan sempat memuji-muji secara berlebihan terhadap
kebijakan yang diusung Johannes van den Bosch ini. Ada pihak yang akhirnya
bersedia meniti karier di bidang tanam paksa, ada pula yang berperan sebagai
pembaru sistem, hingga pada akhir tahun 1850-an dan 1860-an, dorongan
pembaruan tersebut berubah menjadi penghapusan sistem tanam paksa.10 Perihal
keuntungan yang Belanda dapatkan sejak tahun 18411851 menurut Pierson
sebesar Rp461.000.000,00.11
Dampak yang Dirasakan Masyarakat Jawa Tengah
Dampak sistem tanam paksa di Jawa Tengah paling terasa di daerah
Demak dan Grobogan. Pada tahun 1848, Demak mengalami paceklik, sementara
pada tahun 18491850 di daerah Grobogan terjadi bencana kelaparan. Dalam
kurun waktu dua tahun, jumlah penduduk 89.500 jiwa berkurang drastis sehingga
9

Poesponegoro dan Notosusanto op. cit. hlm. 359


Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, terj. Hardoyo (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
2003), hlm. 184
11
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan op. cit. hlm. 112

10

hanya menyisakan 9.000 jiwa saja, karena 9/10 penduduk mengalami kematian
akibat kelaparan.

Penduduk Demak yang awalnya berjumlah 33.600 jiwa

akhirnya menyisakan 12.000 jiwa saja. Di bagian lain di Jawa Tengah, ada
354.000 jiwa yang mati kelaparan. Hal ini menimbulkan kekacauan di daerah
Rembang, Kedu, dan Banyumas. Mendengar penderitaan rakyat di Demak dan
Grobogan, Gubernur Jenderal Rochussen menetapkan bahwa daerah-daerah yang
diserang bahaya kelaparan mendapatkan keringanan dalam cultuurstelsel.12
Sistem tanam paksa juga menimbulkan disintegrasi struktur sosial
masyarakat Jawa. Hal ini terutama karena makin meresapnya ekonomi dan lalu
lintas

uang

yang sebelumnya

tidak

dikenal

dalam

masyarakat

Jawa.

Perkembangan ekonomi dan lalu lintas uang ini juga disebabkan meluasnya
pekerjaan upah dan penyewaan tanah para petani kepada para pengusaha Belanda
yang dibayar dalam bentuk uang.13
Perkembangan perusahaan tebu di Jawa pada masa tanam paksa juga
meningkatkan jalur kereta api di Jawa dan Madura seperti yang tersajikan dalam
tabel berikut ini (dihitung dalam satuan kilometer).
Peningkatan Jalur Kereta Api di Jawa dan Madura14
Tahun

1867

1879

1888

1899

1913

1920

Km.

25

372

1.286

3.008

4.540

5.016

AKHIR PELAKSANAAN SISTEM TANAM PAKSA


Robert van Niel menyatakan runtuhnya sistem tanam paksa karena ada
pandangan liberal baru yang ditandai oleh perubahan politik 1848 di Belanda.
Hal tersebut memunculkan rasa tidak suka terhadap personalisme, favoritisme,
dan otokrasi sistem kolonial di daerah Jawa.15 Maka itu, setelah Partai Liberal
sukses menguasai Parlemen Belanda, dimulailah revisi UUD negeri Belanda.
Selain itu, protes terhadap kebijakan tanam paksa juga dilancarkan sekelompok
penulis, pegawai menteri, dan sebagian besar kaum kolonis lama.16 Salah satu
12

Ibid. hlm. 112


Poesponegoro dan Notosusanto op. cit. hlm. 370
14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan op. cit.hlm. 111
15
Van Niel op. cit. hlm. 187
16
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan op. cit. hlm. 113

13

tokoh yang terkenal berjasa dalam penentangan sistem tanam paksa adalah
Douwes Dekker, seorang mantan pegawai pemerintahan kolonial.

Dengan

mengambil nama samaran Multatuli, ia menulis buku berjudul Max Havelaar atau
The Coffee Auctions of the Dutch Trading Company. Tulisan tersebut menuai
pujian karena kualitas tulisan dan pembeberan kekejaman pemerintah Belanda di
Jawa. Akan tetapi, menurut Wallace, cerita dalam buku tersebut sangat panjang
dan membosankan serta sering menyimpang dari pokok pembicaraan. Inti dari
cerita tersebut hanya ingin menunjukkan bahwa para residen dan asisten residen
Belanda yang pura-pura tidak melihat pemerasan yang dilakukan para bangsawan
lokal. Di beberapa distrik, rakyat seringkali harus bekerja tanpa upah. Harta
mereka juga sering dirampas tanpa ganti rugi. Wallace juga menyatakan bahwa
uraian-uraian dalam buku tersebut sebenarnya tidak seburuk fakta sebenarnya.17
Tahun 1870 menjadi titik balik dalam politik kolonial Belanda karena pada
tahun tersebut terwujudlah UU Agraria (Agrarische-wet). Dalam UU Agraria itu
di antaranya ditetapkan:
1. Larangan pengambilan alih tanah-tanah penduduk pribumi.
2. Perusahaan perkebunan dapat menyewa tanah pertanian penduduk
dalam jangka pendek (5 tahun).
3. Perusahaan perkebunan dapat menyewa tanah pemerintah dalam
jangka panjang.
SIMPULAN
Jadi, sistem tanam paksa memang dicetuskan Johannes van den Bosch
sebagai cara memanfaatkan seluruh Jawa sebagai mesin penghasil keuntungan
bagi Belanda. Kebijakan tersebut mulai berlaku pada tahun 1830. Akan tetapi,
sistem ini mulai menuai kecaman setelah Partai Liberal menguasai Parlemen
Belanda. Pada akhirnya, sistem tanam paksa berakhir dengan diberlakukannya
UU Agraria pada tahun 1870.

17

Wallace op. cit. hlm. 71

DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sejarah Jawa Tengah. Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah, 1978.
Leirissa, R. Z., G. A. Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan. Sejarah Perekonomian
Indonesia. Jakarta: Proyek Investarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional,
1996.
Niel, Robert van. Sistem Tanam Paksa di Jawa. Terj. Hardoyo. Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, 2003.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, ed. Sejarah Nasional
Indonesia. Jilid IV. Edisi Pemutakhiran. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.
Ricklefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern 12002008. Terj. Tim Penerjemah
Serambi. Cetakan II. Jakarta: P.T. Serambi Ilmu Semesta, 2009.
Wallace, Alfred Russel. Kepulauan Nusantara: Sebuah Kisah Perjalanan, Kajian
Manusia dan Alam. Terj. Tim Komunitas Bambu. Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009.

LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 1: Peta Jawa Tengah pada zaman penjajahan Belanda


Sumber: http://www.swaen.com/os/Lgimg/31924.jpg, diakses 22 Desember 2014, pukul 22.10 wib

Gambar 2: Johannes van den Bosch, pencetus kebijakan cultuurstelsel


Sumber:
http://www.dbnl.org/tekst/algr001disp03_01/algr001disp03ill66.gif,
diakses 22 Desember 2014, pukul 22.14 WIB.

10

Anda mungkin juga menyukai