Anda di halaman 1dari 12

Seminar Dies XXVI Fakultas Sastra

“Peran Pendidikan Humaniora


dalam Mewujudkan Demokrasi yang Bermartabat”

Relasi Kekuasaan
dalam Novel Bertema Politik
pada Sastra Indonesia 2000-an

oleh
S.E. Peni Adji

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta | 26 April 2019


Relasi Kekuasaan dalam Novel Bertema Politik
pada Sastra Indonesia 2000-an

S.E. Peni Adji


Program Studi Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
peni@usd.ac.id

Pendahuluan
Tahun 2019 merupakan tahun politik, saat kita menyaksikan proses pemilihan
presiden dan anggota legislatif dengan berbagai ekspresi masyarakat yang tanpa
batas. Terdapat beragam sikap, tindakan, dan ekspresi para kontestan berikut
pendukungnya; dari yang santun hingga kasar, dari yang berdasarkan “fakta”
hingga hoaks.
Karya sastra merupakan salah satu ekspresi manusia, termasuk dalam
mengekspresikan sikap dan pandangan politiknya. Selain itu, pertumbuhan sastra
suatu bangsa berhubugan dengan kondisi politiknya, entah hubungan itu bersifat
serasi maupun tidak serasi. Dicatat oleh Taum (2015:1), bahwa awal sejarah
sastra Indonesia, kondisi politik tidaklah berdampingan mesra dengan sastra.
Pada masa Balai Pustaka, karya yang bermuatan ideologi, agama, dan politik
tidak akan lolos sensor untuk diterbitkan (Teeuw, 1989:31).
Pada dekade berikutnya, pada masa Orde Lama, karya sastra yang dinilai
tidak sesuai dengan ideologi pemerintah, tidak banyak dicatat dalam sejarah
sastra Indonesia (Teeuw, 1989 dan Rosidi, 1986). Sementara pada masa Orde
Baru, tepatnya masa pemerintahan Soeharto (1966-1998), pemerintah melalui
Kejaksaan Agung melarang peredaran buku sastra yang diduga berafiliasi pada
komunis. Orde Baru juga melarang buku sastra yang kritis terhadap pemerintah,
bahkan memenjarakan sastrawannya (Suroso, 2015). Oleh karena itu, jika ada
sastrawan yang ingin mengritik pemerintah, haruslah kreatif seperti yang
dilakukan oleh Sena Gumiro Ajidarma, yaitu “jika jurnalisne dibungkam, sastra
bicara”.
Pada masa Reformasi kebebasan berekspresi sangatlah terbuka, termasuk
berekspresi dengan media karya sastra. Tema politik yang dulu dilarang, pada
saat Reformasi sangatlah bebas diekspresikan, termasuk pada karya sastra
Indonesia yang terbit tahun 2000-an.
Dalam karya sastra bertema politik tersebut, permasalahan relasi
kekuasaan sangatlahmengemuka. Dua di antara karya tersebut adalah novel
Lolong Anjing di Bulan karya Arafat Nur (2018) yang mengangkat tema politik di
Aceh dan Dasamuka karya Junaedi Setiono (2017) yang mengangkat tema politik
di Jawa.
Novel Lolong Anjing di Bulan mengisahkan peristiwa di Aceh saat tokoh
Nazir masih SD hingga ia lulus SMA. Paman Nazir merupakan orang penting dalam
Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pada awalnya, Nazir, seperti halnya ayah dan
kakak laki-lakinya, ia tidak peduli dengan gerakan tersebut, mereka lebih fokus
bertani dan menjauhi intrik dengan tentara RI. Namun, karena ayah Nazir
dibunuh dengan sangat kejam oleh tentara RI, Nazir berubah menjadi sangat
benci kepada Indonesia. Ia bergabung dalam perjuangan GAM.
Novel Dasamuka mengisahkan Willem, peneliti dari Universitas Edinburgh
Inggris yang mendarat di Palabuhan Sunda Kelapa tanggal 3 Agustus 1811 bersama
seratus kapal perang untuk mengalahkan Belanda. Kedatangan Willem ke tanah
Jawa didasarkan pada dua alasan. Yang pertama, alasan ilmah, dia menjadi tim
2 | “Peran Pendidikan Humaniora dalam Mewujudkan Demokrasi yang Bermartabat”
peneliti Doktor Leyden untuk meneliti dan mempublikasikan (di London Times)
salah satu budaya Jawa, yaitu “bronjong”. Kedua, alasan pribadi, yaitu dia
frustasi karena tunangannya, Ailsa, justru menikah dengan ayahnya, Jeremias.
Untuk menjalankan tugasnya, Willem belajar bahasa Jawa kepada Den Wahyono.
Dari guru bahasanya ini, Willem mengetahui tentang budaya dan intrik politik di
Yogyakarta.
Dua karya sastra bertema politik ini tidak disebut dalam buku Sejarah Sastra
Indonesia tahun 2000-an, baik yang dirangkum oleh Rampan (2000) maupun
Wiyatmi (2018). Hal-hal inilah yang menyebabkan penulis, tertarik menelisik dua
karya tersebut.

Relasi Kekuasaan
Relasi kekuasaan selalu berkaitan dengan perjuangan, melibatkan satu kelompok
dengan kelompok yang lain dalam beberapa variasi: kelas atas - kelas bawah,
perempuan – laki-laki, hitam - putih, muda - tua, dan sebagainya (Fairclough,
1989: 34). Relasi kekuasaan juga berkaitan dengan siapa yang menguasai dan
siapa yang dikuasai beserta segala strategi dan unsur-unsurnya.
Menurut Praptomo (2012: 18), dalam bahasa, terkandung maksud
kekuasaan. Maksud inilah yang disebut dengan ideologi (bandingkan dengan
Fairclough, 1989: 77-108). Ideologi merupakan gagasan penting di dalam kajian
tentang relasi kekuasaan.
Gagasan tentang bahasa dalam relasi kekuasaan juga dikemukakan oleh
Bourdieu. Menurutnya, usaha produksi dan reproduksi bahasa baku selalu terkait
dengan usaha memperkuat otoritas kekuasaan (1991 : 43-45). Berikutnya,
penguasaan bahasa dan pengekspresian pemikiran menggunakan bahasa (baku)
yang merupakan kreativitas seseorang, sebenarnya dibatasi oleh struktur
kekuasaan (bandingkan dengan Haryatmoko 2016: 41). Menurut Bourdieu,
struktur kekuasaan ini mempunyai unsur modal (ekonomi, budaya, sosial,
simbolik), kelas, habitus, dan arena (Haryatmoko 2016:35-61).
Menurut Gramsci untuk mempertahankan relasi kekuasaan, pihak yang
menguasai akan melakukan hegemoni. Hegemoni diperlukan setelah adanya
proses dominasi. Hegemoni mempunyai dimensi kelas dan dimensi nasional
kerakyatan. Dalam konteks inilah Gramsci mengkaji ulang struktur dominasi
Marxisme Klasik yang membagi kelas ke dalam dua hal pokok, yaitu basic
structure (ekonomi) dan super structure (ideologi, politik, pendidikan, budaya,
dan sebagainya). Menurutnya, hubungan siapa yang menguasai dan yang
dikuasai, tidak selalu dipicu oleh struktur dasar ekonomi (Gramsci, 2013: 513-
514).
Dengan mengadopsi konsensus (bagian dari proses hegemoni) dalam
masyarakat kapitalis, Gramsci menyatakan adanya kesadaran yang bertentangan
(contradictory consciousness). Dengan demikian, hegemoni yang dilakukan oleh
kelas borjuis adalah hasil konsensus yang samar-samar. Berdasar realitas ini,
Gramsci mengemukakan tiga tingkatan hegemoni, yaitu hegemoni total
(integral), hegemoni yang merosot (decadent), dan hegemoni yang minimum.
Hegemoni total terjadi bila hubungan penguasa dan yang dikuasai bersifat
kuat, terdapat kesatuan moral dan intelektual yang kokoh. Tidak terdapat
kontradiksi dan perlawanan, baik secara sosial maupun etik. Hegemoni yang
merosot ditandai dengan adanya potensi disintegrasi atau potensi konflik yang
tersembunyi. Artinya, meskipun sistem kekuasaan yang ada telah mencapai
kebutuhan dan sasarannya, mentalitas masyarakat yang dikuasai tidak sungguh-
sungguh selaras dengan pemikiran penguasa. Hegemoni minimum terjadi bila
tidak ada kesatuan ideologis antara elit ekonomi, politik dan intelektual, yang

Dies Natalis ke-26 Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta | 3


berlangsung bersamaan dengan keengganan terhadap setiap campur tangan
masyarakat dalam hidup bernegara.
Dalam konteks politik, Gramsci memberikan tiga tiga batasan, yaitu
ekonomi, masyarakat politik, dan masyarakat sipil. Ekonomi adalah batasan yang
digunakan untuk mengartikan moda produksi yang paling dominan dalam sebuah
masyarakat. Cara produksi tersebut terdiri dari teknik produksi dan hubungan
sosial produksi yang tumbuh karena munculnya perbedaan kelas-kelas sosial,
dalam arti kepemilikan produksi (Gramsci, 2013:289-300).
Masyarakat politik merupakan tempat berlangsungnya birokrasi negara
dan tempat munculnya praktik-praktik kekerasan negara. Istilah masyarakat
politik menunjuk hubungan koersif yang terwujud dalam berbagai lembaga
negara - angkatan bersenjata, polisi, lembaga hukum dan penjara, bersama
dengan semua departemen administrasi yang mengurusi pajak, keuangan,
perdagangan, industri, keamanan sosial, dan sebagainya. Gramsci menyatakan
bahwa aktivitas negara tidak hanya melakukan tindakan koersif, tetapi juga
berperan dalam membangun konsensus melalui pendidikan dan fungsi
kelembagaan (Gramsci, 2013: 200-204).
Selanjutnya, masyarakat sipil menunjuk pada organisasi selain negara,
dan organisasi di luar sistem produksi material dan ekonomi. Dalam masyarakat
sipil-lah kaum intelektual menjalankan tugasnya secara khusus, misalnya
mengkonter hegemoni lama dengan cara mengubah kesadaran, pola pikir,
pemahaman dan konsepsi masyarakat tentang dunia, serta mengubah norma
perilaku moral mereka. Gramsci menyebut gerakan ini sebagai revolusi
intelektual dan moral. Dengan demikian, kelompok yang didominasi/dihegemoni
bisa memiliki kesadaran akan perlawanan yang dimotori oleh masyarakat sipil
yang melibatkan kaum intelektual (Gramsci, 2013: 3-5).
Gagasan mengenai relasi kekuasaan yang dikemukakan oleh Fairclough,
Bourdieu, dan Gramsci inilah yang akan dijadikan kerangka berpikir untuk
menelisik novel Lolong Anjing di Bulan dan Dasamuka. Adapun gagasan yang akan
ditelisik meliputi bahasa sebagai modal untuk mengakses kekuasaan, dominasi
kekuasaan, perlawanan terhadap dominasi.

Bahasa sebagai Modal


Kemampuan berbahasa menyebabkan tokoh memiliki modal1 untuk akses yang
lebih luas pada arena kekuasaan, baik kekuasaan yang bersifat ideologi
pengetahuan maupun politik praktis. Tokoh Willem dalam Dasamuka, sebagai
asisten peneliti dari Universiras Edinburg, Inggris akan meneliti “bronjong” di
Jawa. Hasil penelitian ini harus dilaporkan ke tim peneliti yang dipimpin oleh
Doktor Leyden dan dipublikasikan ke London Times. Untuk melakuan kerjanya
ini, dia harus berguru bahasa Jawa kepada Den Waryono2.
Dalam konteks ini, Waryono juga merupakan orang Jawa yang “lebih”, dia
berperan sebagai intelektual, karena memiliki kemampuan berbahasa Belanda
dan Inggris. Dia memiliki kekuasaan mengarahkan Willem untuk belajar hal-hal
tentang Jawa, misalnya belajar tentang konsep pangreh praja, politik keraton,
perang Diponegoro, serta “bronjong”. Hasil penelitian Willem yang dilaporkan
kepada Universitas Edinburg disusun berdasarkan kerangka arahan Waryono.

1
Strukturasi kekuasaan yang dikemukakan Bourdieu meliputi modal budaya. Budaya dianggap sebagai modal
seseorang untuk masuk dalam arena kekuasaan. Dalam konteks ini, bahasa termasuk dalam bagian modal
budaya.
2
Dalam Novel Dasamuka, Den Waryono adalah bangsawan Jawa dan ahli bahasa yang berafiliasi kepada
perjuangan Raden Rangga (bupati Madiun) yang dianggap pemberontak oleh Belanda. Ia juga orang penting
dalam perjuangan Pangeran Diponegoro II, sebuah afiliasi yang berseberangan dengan pemerintahan resmi di
Yogyakarta, saat itu.
4 | “Peran Pendidikan Humaniora dalam Mewujudkan Demokrasi yang Bermartabat”
Karena tulisan William tentang bronjong3 dimuat di majalah London
Times, pemerintah Inggris membuat aturan agar bronjong tidak boleh lagi
dilakukan di Jawa. Dalam hal ini, Waryono berperan besar dalam membentuk
pengetahuan Barat tentang apa itu Jawa, secara khusus tentang hukuman
bronjong. Waryono juga berperan penting (memiliki kuasa) dalam politik praktis
Inggris untuk meniadakan hukuman tersebut. Dengan demikian, penguasaan
bahasa “baku” penguasa (penjajah), menjadiakan Waryono memiliki kekuasaan
membentuk pengetahuan dan secara tidak langsung menentukan kebijakan
politik.
Dalam novel Lolong Anjing di Bulan, permasalahan bahasa sebagai modal
untuk mengakses kekuasaan, tidak sekompleks dalam novel Dasamuka. Dalam
novel Lolong Anjing di Bulan, digambarkan tokoh Nazir mempunyai kemampuan
berbahasa Indonesia dengan baik. Dengan demikian, dia lebih memiliki akses
berkomunikasi dengan tentara Indonesia disbanding dengan orang-orang di
kampungnya. Paling tidak, hal ini meyebabkan ia selamat ketika diinterograsi
oleh tentara Indonesia.

Dominasi dan Hegemoni Kekuasaan


Relasi kekuasaan yang menunjukkan siapa yang mendominasi dan siapa yang
didominasi tergambar kuat dan jelas dalam novel Lolong Anjing di Bulan.
Kebijakan wilayah Aceh dijadikan DOM (Daerah Operasi Militer) oleh RI,
menjadikan tentara RI selaku masyarakat politik bertindak sangat koersif dan
tidak berperikemanusian terhadap rakyat di kampong Alue Rambe (selaku
masyarakat sipil). Tindak kekerasan ini dilakukan baik secara fisik, psikologis,
maupun verbal.
Pada halaman 84 digambarkan bahwa masyarakat sipil, meliputi semua
warga laki-laki dan perempuan, tua hingga bayi dikumpulkan di lapangan dari
pagi hingga sore. Beberapa laki-laki ditampar dan disiksa di depan istri dan anak-
anak. Secara ironis dan kontradiksi, Komandan berujar, “Jadilah kalian warga
yang patuh pada hukum dan tidak melawan tentara. Tentara itu membela
negara, masa kalian musuhi. Kami orang baik-baik. Tidak suka kekerasan. Kami
tidak suka memukul. Bahkan, kami tidak tega menyakiti binatang,” (Nur, 2018:
84). Sementara itu, pada saat rakyat dikumpulkan di lapangan, para tentara
menggeledah rumah penduduk dan mengambil perhiasan, uang, serta beras.
Selain itu, warga yang bepergian diperiksa di pos-pos, digertak, diancam,
dihina, dan dibuat malu di depan anak-anak mereka (Nur, 2018: 97). Secara
ironis, warga kampung dipaksa memasang lampu di depan rumah dan jalan, untuk
mempermudah tentara menangkap warga yang diduga menjadi pemberontak.
Sementara puncak kekerasan verbal terlihat dalam terlihat dalam kutipan,
“Keluar semua, Keluar ke jalan, babi!” (Nur, 2018:101).
Bejatnya tindakan tentara RI, digambarkan secara simbol pada bab 14
yang diberi judul “Kemanusiaan dan Kesetiaan Anjing”. Pada bab ini dipaparkan
Dahli (ayah Nazir) ditangkap tentara dan dibunuh secara keji.
“Mayat Ayah dapat ditemukan keluarga berkat petunjuk anjing peliharaan
kesayangan Ayah, Nono. Jasad Ayah tersangkut pada sebatang kayu rebah di
sungai. Tubuh Ayah tercabik tujuh peluru. Kemeja coklat dan celana katun
hitamnya koyak dan bolong di sana sini, namun sedikit pun tidak terdapat noda
darah. Darah telah habis terkuras dari tubuhnya lewat daging kedua pahanya
yang koyak dan lewat lubang-lubang di paha dan punggung. Wajah peyot, pipi

3
Hukuman keraton kepada seseorang dengan cara memasukkan orang tersebut di kandang tertutup untuk
melawan seekor macan. Hukuman tersebut dilakukan di ruang terbuka yang bisa ditonton oleh banyak orang.

Dies Natalis ke-26 Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta | 5


kembung, dan hidung patah, semuanya tanpa noda darah karena telah habis
terbasuh air sungai yang kecoklatan….
Bagi serdadu, pemberontak yang sudah menjadi mayat pun masih
dianggap najis dan berbahaya, dan tidak boleh dikuburkan secara layak” (Nur,
2018: 175-176).
Teks pada bab 14 ini dimaknai sebagai upaya pengarang menggambarkan
tentara RI jauh lebih rendah dibanding anjing yang notabene haram bagi orang
Aceh.
Pada awalnya, sikap Nazir cenderung bisa menerima dominasi RI. “Aku
tidak pernah membenci pemerintah Indonesia, tidak pernah melawan berniat
melawan tentara, dan tidak pernah punya keinginan memberontak. Aku tidak
peduli apakah kelak rakyat Aceh bisa terbebas dari penindasan” (Nur, 2018: 182).
Sikap Nazir ini bisa dikatakan sebuah kesepakatan pihak yang didominasi
terhadap kebijakan pihak yang mendominasi, sebuah situasi berlakunya
hegemoni RI di wilayah Aceh. Meskipun sebenarnya, hegemoni ini bersifat
parsial.
Namun, sikap akhirnya sikap Nazir ini berubah menjadi konter hegemoni
(bahkan konter dominasi) karena represif RI masuk pada wilayah domestik
keluarga Nazir. “Yang kubenci adalah manusia-manusia laknat yang telah
membunuh Ayah, dan membunuh ribuan lelaki lainnya yang tak berdosa, yang
telah memerkosa Baiti (kakak perempuannya), dan memerkosa ratusan
perempuan lainnya yang tak bersalah” ( Nur, 2018:182).
Dominasi RI di Aceh terjadi pada masa Orde Baru hingga masa Reformasi.
Dominasi ini berakhir dengan disepakatinya Perjanjian Penghentian antar-
Pemerintah RI dan Pejuang Aceh 9 Desember 2001 di Swiss. Dengan demikian,
hegemoni pemerintah RI di Aceh bersifat minimum. Tidak ada kesatuan ideologis
antara masyarakat politik dan masyarakat sipil, masyakarat sipil pun sempat
enggan untuk campur tangan dalam hidup bernegara.
Berbeda dengan novel Lolong Anjing Di Bulan, relasi kekuasaan yang
tergambar dalam novel Dasamuka, sangatlah kompleks. Di dalam arena
masyarakat politik, terjadi hegemoni minimum, yaitu Raden Rangga (Bupati
Madiun) memberontak kepada Kasultanan Yogyakarta dan Belanda. Penyebabnya
adalah aturan-aturan pajak baru yang diterapkan keraton kepada para bupati dan
masyarakat sipil. Aturan ini sebenarnya dirancang oleh Gubernur Jendral Belanda
(Setiono, 2017: 20). Dengan demikian, dasar perjuangan Raden Rangga tetaplah
berkaitan dengan struktur dasar, yaitu masalah ekonomi.
Bagi masyarakat sipil (misalnya Ki Sena dan Den Waryono), Raden Rangga
dianggap sebagai pahlawan, merepresentasikan kebutuhan mereka yang
seharusnya diakomodasi keraton, sebagai penguasa. Dalam hal ini, Raden Rangga
berhasil menjadikan pembebasan pajak sebagai sebuah kepentingan kolektif. Dia
berhasil menciptakan hegemoni total kepada masyarakat sipil. Situasi ini,
menyebabkan dia mendapatkan dukungan rakyat untuk memberontak keraton
(baik Kasultanan maupun Kasunanan) dan Belanda.
Keraton Yogyakarta yang diwakili Patih Natadiningrat, mengetahui dan
merestui rencana pemberontakan tersebut. Sikap keraton ini dapat dipahami,
bahwa ternyata secara legal, posisi keraton di hadapan Belanda tidaklah lebih
tinggi, digambarkan sebagai berikut. “Residen Belanda tidak lagi perlu melepas
topinya sebagai tanda kehormatan saat bertemu Sultan. Bahkan, Sultan harus
bangkit berdiri dari singgasananya pada saat residen berjalan memasuki istana
dan mempersilakannya duduk di kursi yang letaknya bersebelahan dengan
singgasana sultan” (Setiono, 2017:20). Dengan demikian, terjadi hegemoni
merosot dalam relasi kekuasaan Belanda dan keraton Yogyakarta.

6 | “Peran Pendidikan Humaniora dalam Mewujudkan Demokrasi yang Bermartabat”


Sementara dengan keraton Kasunanan Surakarta, Raden Rangga
mengirimkan surat kepada Sunan dan para bupati di wilayah tersebut untuk
mengakui dirinya sebagai raja (Setiono, 2017:23). Dalam hal ini Raden Rangga
berhasil menciptakan kepentingan ekonomi bersama dengan rakyat, yang
kemudian rakyat mendukungnya untuk memberontak. Di sisi lain, strategi ini dia
pakai untuk kekuasaan menjadi raja. Walaupun akhirnya pemberontakan Rangga
gagal, hegemoni total Raden Rangga terhadap masyarakat sipil, tetaplah
berhasil. Hal ini terlihat dari sudut pandang Ki Sena, “Dia (Rangga) menjemput
ajalnya untuk menjunjung tinggi harkat dan martabatnya sebagai manusia, bukan
sebagai ternak, bukan sebagai cecunguk Belanda. Dia pantas dikenang oleh orang
Jawa selama bertahun-tahun lamanya setelah gugurnya” (Setiono, 2017:24).
Terkait dengan keraton Yogyakarta, ternyata Belanda mempunyai
otoritas politik yang tinggi. Hal ini terlihat dari dipecatnya Patih Natadiningrat
karena dianggap Belanda lebih berpihak kepada Sultan Hamengkubuwono II.
Posisi patih diganti dengan Patih Danurejo yang bisa disetir Belanda.
Perubahan dominasi kekuasaan di Jawa terjadi pada tahun 1811, saat
Inggris menahklukan Belanda di Indonesia, termasuk di keraton Kasultanan dan
Kasunanan. Dari sudut Willem (peneliti Inggris) situasi itu digambarkan sebagai
berikut.
Keraton Jawa sudah tidak ada. Barang-barang berharga sudah diangkut ke
luar oleh Jendral Robert Gillespie dan pasukannya menyerbu keraton pada 21
Juni 1812… Aku bisa menuliskan kebangkrutan keraton Jawa dengan rinci karena
pernah diikutkan dalam perampokan Keraton Yogyakarta oleh Gillespie yang
direstui Gubernur Jendral Raffles….
Penggempuran keraton itu tentu saja berlangsung seperti yang sudah
jamak terjadi. Bila tidak ada perlawanan berarti, sorak kemenangan selalu
dilanjutkan dengan pekik perampokan…
Teriakan-teriakan biadab para serdadu ketika berhasil menggondol
jarahannya, sesuatu yang sungguh tidak pantas dilakukan oleh orang yang
mengaku punya peradapan unggul. ….
Bila perampokan tidak mendapatkan perlawana akan selalu dilajutkan
dengan perkosaan? (Setiono, 2017:51-53).
Kutipan di atas menunjukkan bahwa dominasi kolonialisme di muka bumi,
ini tetapkah sama. Penjajahan Inggris tidak lebih baik, dibandingkan Belanda.
Mereka sama-sama mendominasi dengan pertumpahan darah,
mengeruk/merampok kekayaan, dan memperkosa perempuan. Ideologi utama
dominasi penjajahan tetaplah struktur dasar kekuasaan menurut Marxisme, yaitu
ekonomi.
Kompleksnya relasi kekuasaan di Jawa dalam novel Dasamuka, juga
tergambar melalui sepakatnya Belanda dan keraton bersama-sama mendominasi
rakyat Jawa.
“Bertahun-tahun di bawah kekuasaan penjajah Belanda sudah mengubah
perangai raja-raja sejati yang menyejahterakan rakyatnya menjadi raja-raja
boneka yang memakmurkan penjajah Belanda …. Ketika ada raja yang sudah
tidak menguntungkan Belanda disingkirkan. Sultan Hamengku Buwono II dibuang
ke Pulau Penang 28 Juni 2812…. Kekuatan penjajah sudah demikian mustajab
melenyapkan hakikat raja Jawa dan dengan gampang menjadikannya sekadar
bidak-bidak catur yang dilakukan oleh kroco-kroco tangsi (Setiono, 2017:50).
Jika dengan rakyat Jawa, keraton dan Belanda bersama-sama melakukan
dominasi, antara Belanda dan keraton terjadilah hegemoni. Keraton sepakat
dengan dengan kebijakan Belanda, sehingga menjadikan keraton seperti berikut,
“Orang Jawa lebih-lebih para ningratnya, paling takut dengan kerja keras.

Dies Natalis ke-26 Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta | 7


Mereka tidak pantas dilibatkan dalam kemajuan peradaban manusia sedunia….
Orang Jawa sudah kepayahan, sudah habis terkuras otaknya, terkuras tenaganya
mengurusi wisma, curiga, kukila, turangga, dan wanita. Urusan rumah, keris,
burung, kuda, dan perempuan yang mereka gandrungi membuat mereka
kepayahan untuk memahami pengertian bangsa dan negara (Setiono, 2017:51).
Selanjutnya, keraton yang telah terhegemoni oleh Belanda/Inggris,
menjadi represif terhadap rakyatnya sendiri. Hal ini digambarkan melalui
perilaku dan kebiasaan Sultan Hamengkubuwono IV sebagai berikut. (1) Sultan
mempunyai kebiasaan pelesir mengendarai kereta kencana dengan kuda Persia,
diringi para pengawal berkuda di depan dan belakang. Dia mengendarai kereta
dengan sangat kencang sehingga pengawal di depan sering mati karena terjatuh
dan terinjak oleh kuda dan tergilas roda kereta Sultan. Begitu juga dengan orang-
orang di jalan yang sering tertabrak oleh keretanya. (2) Ibundanya, Gusti Ratu
Kencono, selalu menyediakan wanita-wanita cantik di keputren yang setiap hari
dipilih Sultan utk melayaninya. Tidak sedikit wanita-wanita tersebut sangat
tersiksa dengan hal ini. (3) Sultan memiliki kesenangan pelesir ke Karangbolong
untuk menikmati matinya para pencari rumah burung wallet yang jatuh dari
ketinggian karang di tepi laut.
Perebutan kekuasaan untuk keberlangsungan koersif keratin terus terjadi,
setelah Sultan Hamengkubuwono IV meninggal. Gusti Ratu Kencana kuatir jika
tahta akan diisi oleh Pangeran Diponegoro II. Dengan demikian, putra mahkota,
anak Hamenkubuwono IV yang baru berusia tiga tahun diangkat menjadi raja.
Otomatis kebijakan keraton ditentukan oleh Gusti Ratu dan Patih Danurejo.
Pemilihan Sultan V pun tetap atas restu Residen Baron de Salis (Belanda). Hal ini
tergambar dalam kutipan berikut.
Kasultanan menjadi kacau sejak meninggalnya Sultan Hamengkubuwono
IV, dan menjadi kacau sejak diangatnya Smissaert menjadi Residen Yogyakarta
pada 10 Februari 1823. Resident Smissaert, Patih Danurejo, dan seorang Kolonel
bernama Wiraguna menjadi semakin berkuasa. Tiga serangkai itu memandang
Puri Tegalrejo (kubu Diponegoro II) sebagai ancaman terbesar….
Pajak-pajak menjadi semakin tidak masuk akal – banyak pintu rumah
dipajaki, anak yang digendong ibunya di pasar dipajaki, dan masih banyak
lainnya. Munculnya bebagai macam jenis pajak baru menadikan kesenjangan
antara Keraton denagn rakyatnya semakin melebar (Setiono, 2017:275).
Dari paparan di atas, terlihat bahwa relasi kekuasaan (siapa yang
mendominasi dan siapa yang didominasi) dalam novel Lolong Anjing di Bulan
sangatlah jelas. Dominasi dilakukan oleh masyarakat politik, tentara RI, yang
bertindak sangat koersif kepada masyarakat sipil Kampung Alue Rambe, Aceh.
Terdapat adanya hegemoni parsial yang bersifat minimum, yaitu Nazir, yang
memilih untuk mengelola alam dan tidak terlibat konflik dengan tentara RI.
Namun, karena tindakan koersif tentara ini, masuk ke wilayah domestiknya,
maka Nazir pun melakukan konter dominasi dengan masuk tentara GAM.
Sementara dalam novel Dasamuka, siapa yang mendominasi dan siapa
yang didominasi sangatlah kompleks. Terdapat hegemoni parsial Belanda kepada
keraton di Jawa. Dua kelompok masyarakat politik ini mendominasi para Bupati
dan masyarakat sipil dengan pemungutan pajak. Akibatnya, terjadilah
perlawanan dari kelompok yang didominasi. Disamping itu, terdapat juga
dominasi Inggris kepada keraton di Jawa pada awal kolonialisme; yang
dilanjutkan dengan hegemoni dalam rangka kepentingan ekonomi. Para elit
keraton sangat mengandalkan perekonomian mereka dari menyewakan tanah
kepada kolonial Inggris dan Belanda, sementara posisi masyarakat sipil hanyalah
buruh dalam pengelolaan tanah.

8 | “Peran Pendidikan Humaniora dalam Mewujudkan Demokrasi yang Bermartabat”


Agen Perubahan Sebagai Sebuah Konter Dominasi/Hegemoni
Dalam dua novel ini tergambar adanya kelompok intelektual organik yang
berperan sebagai konter dominasi maupun hegemoni. Kelompok inilah yang
dalam konstelasi politik menjadi agen perubahan.
Dalam novel Lolong Anjing di Bulan, tokoh Arkam digambarkan sebagai
sosok yang memiliki tindakan, sikap, dan ideologi untuk melawan dominasi RI di
Aceh. Dengan ideologinya dia mampu mempengaruhi masyarakat Alue Rambe
(Buloh Blang Ara, Kuta Makmur, di pegunungan Aceh Utara) yang selama ini
cendrerung sepakat dengan kebijakan RI4. Kehadiran Arkam di desa itu (setelah
pulang dari Malaysia dan Libya) menyebabkan pemuda tergerak untuk
mempertahankan kepemilikan lahan, dengan ikut sebagai anggota GAM. Dalam
hal ini dia berada pada posisi masyarakat politik yang memiliki peran sebagai
intelektual organik karena memiliki ilmu pengetahuan (dalam hal ini ilmu
keprajuritan) untuk mempengaruhi orang-orang di desanya agar berubah dan
melawan dominasi dan hegemoni RI. Arkam adalah Panglima Sagoe yang
mempunyai kuasa mempersenjatai para pemuda, memimpin langsung empat
puluh pejuang, serta mengatur jabatan di GAM.
Selain Arkam, sosok intelektual organik dalam novel Lolong Anjing di
Bulan adalah Nazir5 (keponakan Arkam). Pada awal cerita (Juli 1989, saat dia
SMP), Nazir tidak tertarik dengan provokasi dan perjuangan Arkam. Dia lebih
memilih sekolah dan membantu ayahnya (Dahli) di ladang. Bagi dia, Dahli adalah
sosok ayah teladan. Selain dari bangku sekolah, ia mendapatkan ilmu dari Dahli,
secara khusus ilmu megelola alam: sawah dan kebun. Bersama dengan Muha,
kakak iparnya, ia menjadi andalan keluarga mengelola alam. Dengan demikian,
Dahli, Muha, dan Nazir adalah kelompok masyarakat sipil yang bisa menerima
hegemoni tentara RI.
Nazir sendiri dengan tanpa protes melihat semakin banyaknya serdadu
Indonesia yang berkeliaran di desanya. “Aku tahu mereka sedang mengintai dan
memburu orang yang terlibat pemberontakan –semacam Arkam dan pengikutnya”
(Nur, 2018:9). Dia juga sebagai saksi beroperasinya perusahaan gas Mobil Corp.
milik Amerika dengan kilang megah dan pipa-pipa cerobong di tepi pantai Aceh.
Dalam nalarnya yang masih SMP, dia menghubungkan perlawan Arkam,
perusahaan gas Amerika, dominasi tentara RI, sebagai berikut.
“Konon kabarnya, bangkitnya pemberontakan Hasan Tirto punya kaitan dengan
pembangunan kilang-kilang yang sudah dimulai sejak 1976. Sebagaimana yang
dikatakan Arkam dalam salah satu pidatonya, hampir semua kekayaan alam Aceh
diangkut ke Jakarta, tanpa sedikit pun yang dikembalikan hasilnya. Kekayaan
alam Aceh terus dikuras oleh pemerintah dengan kebijakan yang menjadikan
Aceh hanya sebagai sapi perahan. Rakyat Aceh tetap hidup melarat meskipun
tanahnya mengandung kekayaan alam berlimpah. Ladang gas Arun merupakan
penghasil gas terbesar di dunia. Rakyat Aceh hanya bisa terkesima melihat hasil
alamnya dijarah tanpa bisa berbuat apa-apa. (Nur, 2018:10).
Di kampung Alue Rambe hanya Nazir yang menempuh berpendidikan
hingga SMA. Sementara anak muda yang lain hanya cukup lulus SD. Oleh karena
itu, dia mempunyai kemampuan membaca dan menulis, serta kefasihan
berbahasa Indonesia sehingga bisa berkomunikasi lancar dengan tentara RI.

4
Pada awalnya, masyarakat Alue Rambe takut kepada tentara RI. Mereka menghindari konflik dengan tentara
RI dan memilih bekerja keras mengolah sawah dan ladang.
5
Nazir adalah tokoh aku dalam cerita. Dengan demikian, novel ini menggunakan sudut pandang akuan yang
menyebabkan sebagian besar cerita berada pada kontrol Nazir.

Dies Natalis ke-26 Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta | 9


Dengan demikian, Nazir adalah pemuda dengan kemampuan inteketual di atas
rata-rata. Dia tidak protes dan cenderung bisa menerima hegemoni tentara RI.
Namun, sikap Nazir dan Muha ini berubah ketika Dahli, ayah yang sangat
mereka hormati dibunuh secara kejam dan tidak manusiawi. Ditambah lagi
dengan diperkosanya Baiti (adik) dan Zulaiha (kekasih Nazir) oleh tentara RI.
Didasari dengan amarah dan dendam karena tentara RI telah merusak ranah
domestiknya, Nazir memutuskan bergabung dengan GAM, memberontak RI (Nur,
2018: 307).
Dalam novel Dasamuka agen perubahan terdapat dalam diri Raden
Rangga, Ki Sena, Den Waryono, dan Pangeran Diponegoro II. Raden Rangga
(Bupati Madiun) memberontak kepada Kasultanan Yogyakarta dan Belanda.
Penyebabnya adalah aturan-aturan baru berkenaan dengan pelaksanaan resmi
keraton yang datang dari Gubernur Jendral” (Setiono, 2017: 20). Dalam hal ini,
posisi dia sebagai masyarakat politik dan menkonter dominasi struktur politik di
atasnya, yaitu Sultan dan Belanda.
Pada awalnya, posisi Ki Sena adalah masyarakat sipil, namun dalam
perkembangannya berubah menjadi masyarakat politik dengan bergabungnya ia
dalam perjuangan Raden Rangga. Hal ini, disebabkan oleh dua hal. Pertama,
disebabkan keputusan Gubernur Jendral Daendels dalam bentuk peraturan pajak
resmi keraton (Setiono, 2017: 20). Kedua, disebabkan oleh alasan pribadi, yaitu
dendamnya dengan masyarakat politik, elit priyayi, kerabat istrinya sendiri.
Digambarkan bahwa Ki Sena adalah petani dari Bagelen yang berdiam di wilayah
barat keraton, suatu daerah yang sering diejek karena tutur kata dan bahasanya
yang kaku dan kasar (Setiono, 2017:20-21). Ia mengawini Den Rara Ningsih,
seorang putri berdarah biru. Dia tidak tahan lagi dengan perlakuan sewenang-
wenang yang datang dari kerabat istrinya. Ki Sena merasa tenteram berada di
antara para pementang pemerintah (Setiono, 2017: 22). Meskipun ia hanyalah
petani biasa, ia adalah orang yang pintar dari segi pengetahuan sejarah, olah
diri, dan dan strategi perang. Hal ini didasarkan pada kemampuannya memenuhi
persyaratan untuk melamar Rara Ningsih, yaitu menjawab pertanyaan tentang
berbagai hal tentang Pangeran Diponegoro dan selamat dari pertempuran
melawan Den Mas Mangli (kakak Rara NIngsih). Dengan demikian, Ki Sena dapat
dikategorikan sebagai intelektual organik untuk mengkonter hegemoni dan
dominasi.
Agen perubahan yang ketiga dalam novel Dasamuka adalah Den Waryana,
guru bahasa Jawa Willem yang menguasai bahasa Belanda dan Inggris. Karena ia
yang megarahkan hal-hal apa saja yang perlu diketahui Willem, secara tidak
langsung dialah membentuk pengetahuan tentang Jawa di dunia internasional.
Pengetahuan tentang seluk-beluk keraton sangat diketahuinya.
Bagi Willem sendiri, Den Waryana adalah misteri. Latar belakang keluarga
dan masa lalu Den Waryana tidak pernah dijelaskan. Ia pun menyembunyikan
sesuatu dalam gerak-geriknya. Di akhir cerita barulah dijelaskan bahwa ia adalah
orang penting dalam gerakan perjuangan Diponegoro II melawan kerato yang
didukung oleh Belanda. Sementara Inggris melalui kedekatan Willem dengan Den
Waryana, siap membantu pihak Diponegoro II. Namun, akhirnya Den Waryana
menulis surat kepada Willem yang isinya “menurut Diponegoro II perang jihad ini
dilakukan demi tegaknya aturan agama di tanah Jawa, perang ini didukung oleh
sebagian besar kyai yang berdiam di wilayah Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta. Dengan demikian, mereka tidak membutuhkan bantuan
Inggris” (Sutiono, 208: 286).
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa agen perubahan dimiliki
oleh kelompok inteketual. Sebagian besar, mereka berasal dari masyarakat sipil

10 | “Peran Pendidikan Humaniora dalam Mewujudkan Demokrasi yang Bermartabat”


yang kemudian berubah menjadi masyarakat politik (Nazir, KI Sena, dan
Waryono). Tedapat juga agen perubahan yang muncul dari masyarakat politik,
yaitu Arkam dan Raden Rangga. Dalam perjuanggannya mereka berhasil
melakukan hegemoni kepada masyarakat sipil untuk melawan dominasi
masyarakat politik di tingkat yang lebih tinggi.

Penutup
Permasalahan relasi kekuasaan sangat kuat tergambar dalam novel Lolong Anjing
di Bulan karya Arafat Nur dan Dasamuka karya Setiono. Permasalahan tersebut
menjadi menarik dikaji menggunakan kerangka berpikirnya Fairclough, Bourdieu,
dan Gramsci yang berujung pada tiga gagasan, yaitu bahasa sebagai modal,
dominasi kekuasaan, dan perlawanan terhadap dominasi.
Kemampuan berbahasa merupakan modal untuk memperluas arena
kekuasaan. Kekuasaan ini bisa bersifat ideologi pengetahuan maupun politik
praktis.
Relasi kekuasaan yang tergambar dalam novel Lolong Anjing di Bulan
sangatlah jelas. Dominasi dilakukan oleh masyarakat politik, tentara RI, yang
bertindak sangat koersif kepada masyarakat sipil di Aceh. Terdapat adanya
hegemoni parsial yang bersifat minimum yang melekat pada masayarkat sipil.
Mereka memilih mengelola alam dan tidak terlibat konflik tentara. Namun,
ketika tindakan koersif tentara ini, masuk ke wilayah domestiknya, mereka
melakukan konter dominasi dengan masuk tentara GAM.
Sementara dalam novel Dasamuka, relasi kekuasaan sangatlah kompleks.
Terdapat hegemoni parsial Belanda kepada keraton di Jawa. Dua kelompok
masyarakat politik ini mendominasi para Bupati dan masyarakat sipil dengan
pemungutan pajak. Akibatnya, terjadilah perlawanan dari kelompok yang
didominasi ini. Disamping itu, terdapat juga dominasi Inggris kepada keraton di
Jawa pada awal kolonialisme; dominasi ini dilanjutkan dengan hegemoni dalam
rangka kepentingan ekonomi. Hal ini mengakibatkan para elit keraton sangat
mengandalkan perekonomian mereka dari menyewakan tanah kepada kolonial
Inggris dan Belanda, sementara posisi masyarakat sipil hanyalah buruh dalam
pengelolaan tanah.
Perlawanan terhadap dominasi dilakukan oleh kelompok inteketual.
Sebagian besar, mereka berasal dari masyarakat sipil dan kemudian berubah
menjadi masyarakat politik. Tedapat juga agen perubahan yang muncul dari
masyarakat politik. Dalam hal ini mereka berhasil melakukan hegemoni kepada
msyarakat sipil untuk melawan dominasi masyarakat politik di tingkat ang lebih
tinggi.
Permasalahan relasi kekuasan yang meliputi bahasa, dominasi, hegemoni,
serta konter terhadap dominasi dan hegemoni tersebut, bersumber pada
permasalahan klasik yaitu kepentingan ekonomi. Hal ini melitupi, (1) eksplorasi
gas alam di Aceh yang keuntungannya untuk mengalir ke pemerintah pusat RI dan
Amerika, (2) pemungutan pajak masyarakat sipil oleh keraton dan Belanda, (3)
kebijakan sewa tanah oleh Belanda dan Inggris yang menyebabkan pihak keraton
secara ekonomi bergantung kepada kolonial dan masyarakat sipil hanya berfungsi
buruh, semua keuntungan mengalir ke pihak kolonial. Dengan demikian, ideologi
yang ada pada relasi kekuasaan ini tetaplah ekonomi, yang oleh paham Marxisme
Klasik dipandang sebagai struktur dasar kelas.

Dies Natalis ke-26 Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta | 11


Daftar Pustaka
Adian, Dony Gahral. 2011. Setelah Marxisme: Sejumlah Teori Kontemporer.
Depok: Koekoesan.
Baryadi, I. Praptomo. Bahasa, Kekuasaan, dan Kekerasan. 2012. Yogyakarta: USD
Press.
Bourdieu, Pierre. 1991. Language & Simbolic Power. Cambridge: Blackwell
Publisher.
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London dan New York: Longman
Group.
Gramsci, Antonio.2013. Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara (terj.
Teguh Wahyu Utomo).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Haryatmoko. 2016. Membongkar Rezim Kepastian: Pemikiran Kritis Post-
Strukturalis. Yogyakarta: Kanisius.
Arafat, Nur. 2018. Lolong Anjing di Bulan. Yogyakarta: USD Press.
Patria, Nezar & Arief, Andi, 2015. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Rampan, Korrie Layun. 2000. Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Jakarta:
Grasindo.
Rosidi, Ajib. 1986. Ikhtiar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta
Wiyatmi. 2018. Novel Indonesia Periode 2000-an. Yogyakarta: Ombak.
Setiono, Junaedi. 2017. Dasamuka. Yogyakarta: Ombak.
Suroso, 2015. “Sastra dan Kekuasaan di Era Orde Baru”. Makalah. Disampaikan
dalam Seminar Nasional
“Bahasa, Sastra, dan Kekuasaan”, 26 November 2015, FBS, UNY.
Taum, Yoseph Yapi. 2015. Sastra dan Politik. Yogyakarta: USD Press.
Teeuw, A. 1980. Sastra Baru Indonesia I. Ende: Nusa Indah.
Teeuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.

12 | “Peran Pendidikan Humaniora dalam Mewujudkan Demokrasi yang Bermartabat”

Anda mungkin juga menyukai