Anda di halaman 1dari 12

p-ISSN: 2088-6991 Jurnal Tarbiyah: Jurnal Ilmiah Kependidikan

e-ISSN: 2548-8376 Vol. 10 No. 2. Juli – Desember 2021 (51-57)

KONFLIK POLITIK NOVEL REVOLUSI SECANGKIR KOPI


(ANALISIS WACANA KRITIS)
1) 2), 3)
Fajarika Ramadania Tengsoe Tjahjono Haris Supratno
fajarika.19016@mhs.unesa.ac.id, harissupratno@unesa.ac.id, tengsoetjahjono@unesa.ac.id
Universitas Negeri Surabaya

Website: http://jurnal.uin-antasari.ac.id/index.php/jtjik

Received: 02 Desember 2020; Accepted: -; Published: Juli-Desember 2020

Abstrak
Tujuan penelitian ini difokuskan pada dimensi politik dalam novel Revolusi Secangkir Kopi karya
DIdik Fortunadi akibat praktik kuasa. Fokus penelitian ini dijabarkan menjadi tiga, yaitu (1) praktik kekuasaan
pergerakan mahasiswa, (2) praktik kuasa pada peran mahasiswa, (3) praktik kuasa dalam upaya perlawanan.
Tujuannya untuk mengungkapkan konflik politik akibat praktik kuasa dalam novel tersebut. Jenis penelitian ini
adalah kualitatif dengan pendekatan sosiologisastra dan metode Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough.
Dalam kaitan ini AWK digunakan untuk mengungkapkan ideologi dan kekuasaan yang terdapat dalam bahasa
yang digunakan Didik Fortunadi dalam Novel Revolusi Secangkir Kopi. Hasil penelitian menunjukkan terdapat
tiga dimensi politik sosial yaitu (1)praktik kuasa dalam pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam ada
dua tipe pergerakan. Pertama pergerakan mahasiswa yang merekan lakukan ialah gerakan sosial dan gerakan
reformasi. (2) praktik kuasa dalam peran mahasiswa ialah agent of change (pelaku perubahan) dan sosial kontrol
(pengendalian sosial). (3) praktik kuasa dalam upaya perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa ialah mereka
memanfaatkan dengan media massa sebagai alat perjuangan mereka dan upaya yang lainnya ialah dengan
membentuk organisasi.

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Karya sastra merupakan fenomena sosial budaya melibatkan kreativitas manusia.
Maka dari itu, umumnya karya sastra lahir akibat pergolakan batin penulis, sebuah karya
sastra juga terlahir dari pengaruh lingkungannya. Bagaimana keterlibatan penulis dengan
masyarakat sekitarnya, lingkungan, dan budaya-budaya yang masih melekat dengan
masyarakat tersebut. (Susanto, 2011:10) mengatakan dalam konteks sosiologi, sastra
dipandang sebagai produk budaya satu masyarakat. Sastra dalam konteks ini direpsentasikan
sebagai hasil dari pergulatan batin pengarang dan ekspresi-ekspresi dari perasaan pengarang.
Salah satu karya sastra yang kerap menjadi bahan pelampiasan manusia atas
pergolakan batinnya ataupun akibat pengaruh sosial yang dihadapinya ialah karya sastra
berupa novel yang menjadi media penampungan aspirasinya ataupun gejolak batinnya.
Novel ialah sebuah karya sastra yang berkaitan dengan peristiwa nyata atau fiksional yang
dibayangkan pengarang melalui pengamatannya terhadap realitas. Maka dari media yang
kerap menajdi penampung aspirasi terhadap gejala sosial maupun batin, manusia kerap
menuangkannya lewat tulisan dan menjadikannya sebuah karya sastra prosa yang berbentuk
novel.
Pergerakan mahasiswa bukan sebuah kata baru yang didengar di masyarakat luas,
terutama di Indonesia. Bagaimana pergerakan mahasiswa selalu menjadi sorotan publik yang
tidak pernah absen dalam menjadi garda terdepan membela masyarakat kalangan bawah.
Segala ragam bentuk perlawanan yang dilakukan oleh pergerakan mahasiswa lebih
merupakan dalam kerangka melakukan koreksi atau kontrol atas perilaku-perilaku politik
penguasa yang dirasakan telah mengalami distorsi dan jauh dari komitmen awalnya dalam
melakukan serangkaian perbaikan bagi kesejahteraan hidup rakyatnya. Oleh sebab itu,
peranannya menjadi begitu penting dan berarti tatkala berada di tengah masyarakat. Karena
begitu berartinya, sejarah perjalanan sebuah bangsa pada kebanyakan negara di dunia telah
mencatat bahwa perubahan sosial (social change) yang terjadi hampir sebagian besar dipicu
dan dipelopori oleh adanya gerakan perlawanan mahasiswa.
Novel Revolusi Dari Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi salah satu karya sastra
yang tercipta akibat pergolakan batin dan pengaruh sosial. Didik Fortunadi lahir di Blitar,
Jawa Timur, 1973. Menempuh pendidikan sebagai Mahasiswa di ITB jurusan Geologi, Didik
Fortunadi aktif di dunia keorganisasian mahasiswa selama menempuh kuliah. Ia juga salah
satu mahasiswa yang tercatat kerap ikut turun aksi dalam menyuarakan aspirasi masyarakat,
Didik Fortunadi juga salah satu mahasiswa yang mengambil bagian dalam meruntuhkan
rezim pemerintahan orde baru.
Kalau umumnya novel hanya berkutat tentang cerita romantis dan alam saja, novel
Revolusi Dari Secangkir Kopi tampil dengan perbedaan mencolok. Novel ini menampilkan
tentang pergerakan mahasiswa dalam menentang rezim orde baru dan juga tentang gambaran
situasi politik di Indonesia pada masa itu. Novel yang berlatar waktu kejadian di tahun 1990
sampai 1998 ini menampilkan konflik-konflik yang menarik sehingga para pembaca ingin
mengetahui inti cerita. Sisi menarik dari novel ini ialah tentang penggambaran hakikat
mahasiswa yang tidak hanya duduk belajar saja, tetapi ikut berperan dalam menyampaikan
aspirasi masyarakat yang tidak tersampaikan.
Situasi pergerakan mahasiswa menentang rezim orde baru yang terdapat dalam novel
menjadi topik penelitian. Pergerakan mahasiswa yang kerap menjadi perdebatan apakah
pergerakan mahasiswa diperlukan atau tidak, terutama dikalangan orang tua yang takut
anaknya bila duduk di bangku kuliah akan ikut aksi atau ikut pergerakan mahasiswa.
Persoalan pergerakan mahasiswa dalam novel Revolusi dari Secangkir Kopi akan ditinjau
melalui metode Analisis Wacana Kritis (AWK). Tinjauan AWK mengacu pada model
Norman Fairclough, sekaligus sebagai pisau analisis. Analisis model ini dimulai dari (1)
proses pendeskripsian teks, (2) interpretasi teks, dan (3) menjelaskan proses interaksi terkait
dengan tindakan sosial (Fairclough, 1995: 33–3 & 2003: 29).
Masalah kehidupan yang dihadirkan dalam teks-teks sastra penting dikaji untuk
mengungkapkan makna dan nilainya. Citra kehidupan dengan segala bentuk problematikanya
diungkapkan dengan bahasa sastrawan secara tersirat dan tersurat serta penuh gaya estetis.
Novel tetap menjadi salah satu media untuk melakukan resistensi. Melalui keindahan seni
bahasa sejak zaman kolonial sampai sekarang sastra tetap hadir dan menyuarakan
kegelisahan masyarakat kecil. Menyuarakan berbagai bentuk penyimpangan kekuasaan dan
melakukan perlawanan terhadap kesewenangwenangan para pemegang kekuasaan.
2. Penelitian Terdahulu
Muksin (2018) melakukan penelitian yang memfokuskan pada konflik
politik dalam novel Hanum karya Mustofa W. Hasyim akibat praktik kuasa. Konflik politik
pada novel Hanum muncul akibat adanya praktik kuasa pada sektor hukum, ekonomi, dan
budaya. Praktik tersebut muncul sebagai nilai ekperiensial, relasional, dan ekpresif pada teks
dan partisipan. Partisipan menunjukkan keyakinan, identitas sosial, dan hubungan sosial
melalui penggunaan kalimat deklaratif dan interogatif serta penggunaan metafora.
Rahmawati (2016) menggunakan metode analisis wacana kritis (critical discourse
analysis) yang didasarkan atas pemikiran Norman Fairclough mengenai fungsi bahasa
sebagai interpersonal meaning dan Widdowson dari bentuk makna negosiasi dalam
komunikasi.
Purnomo (2017) menunjukkan bahwa dalam dwilogi karya Ayu Utami ditemukan
ideologi liberalism-feminisme, yaitu ideologi pedagogi transcendental, yaitu pedagogi yang
berorientasi kepada keilahian.
Kurniawati (2018) menganalisis ideologinya tentang perempuan Cina baru dan bahwa
Lu Xun bernegosiasi dengan nilai-nilai Barat dan nilai-nilai tradisional. Ia mentransformasi
nilai-nilai Barat dan tradisionalisme Cina menjadi ideologi yang lebih sesuai dengan budaya
Cina. Dengan menggunakan prinsip “Zhong Yong” (Jalan Tengah) dari Konfusianisme, ia
membuat transformasi ini.
Saraswati (2017) memanfaatkan teori analisis wacana kritis Norman Fairclough untuk
melihat praktik sosial Persebaya 1927 (sebagai arek Suroboyo) dalam hal ini tidak bisa
tinggal diam untuk mengembalikan hak dan statusnya sebagai anggota PSSI, meskipun pihak
PSSI telah mengecewakannya. Selain itu, di dalam wacana arek-arek Persebaya 1927 juga
mengandung unsur pragmatik untuk mempengaruhi pihak PSSI agar mewujudkan
keinginannya.

KAJIAN TEORI
1. Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough
Analisis konflik politik dalam perspektif AWK Fairclough melalui tiga dimensi, yakni
teks (discourse), praktik wacana (discourse practice), dan praktik sosial-budaya
(socialculture practice). Model Fairclough teks dianalisis secara linguistik; dengan melihat
kosa kata, semantik, dan tatakalimat. Fairclough juga memasukan koherensi dan kohesivitas.
Bagaimana antar kata dan antarkalimat tersebut digabung, sehingga membentuk pengertian.
Semua elemen tersebut dilakukan untuk melihat tiga hal. 1. Ideasional yang merujuk pada
representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan
ideologi tertentu. 2. Relasi, merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan, seperti
apakah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. 3. Identitas,
merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas, serta bagaimana personal dan identitas ini
hendak ditampilkan dan digambarkan dalam teks (Darma, 2014).
Analisis model Fairclough mewakili metode dan teori yang paling cepat
perkembangannnya di bidang komunikasi, budaya, dan masyarakat. Hal ini disebabkan
Fairclough mengobinasikan analisis teks, praktik kewacanaan, dan praktik sosial budaya
dalam sebuah wacana (Jorgensen & Phillips, 2002: 60).
Fairclough membedakan intertektualitas ke dalam dua jenis, yaitu manifesto
intertekstualitas dan interdiskursivitas. Intertekstualitas adalah teks-teks lain yang hadir
secara eksplisit dalam suatu wacana berupa representasi wacana, praanggapan, negasi,
metawacana, dan ironi. Sementara jenis kedua berupa genre, tipe aktivitas, gaya, dan wacana
(ibid. 1992). Dimensi praktik diskursif ini memberikan pemahaman tentang tindakan
diskursif produsen teks dan hubungan antara teks dan konteks sehingga menunjukkan relasi
kuasa yang bekerja dalam suatu wacana. Analisis dimensi ini merupakan interpretasi dari
tindakan tekstual produsen yang dipengaruhi oleh tindakan diskursifnya sehingga wacana
yang dikonstruksi dapat diterima secara logis.
Fairclough menggunakan wacana menunjuk pada pemakaian bahasa sebagai sebuah
praktik sosial, lebih daripada aktivitas Individu atau untuk merefleksikan sesuatu. Pertama,
wacana adalah bentuk dari tindakan, seseorang menggunakan bahasa sebagai suatu tindakan
pada dunia dan khususnya sebagai bentuk representasi dari realita yang ada. Kedua, implikasi
adanya hubungan timbal balik antara wacana dan struktur sosial (Eriyanto, 2001).
2. Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra merupakan landasan teori yang menganalisis masalah yang
menyangkut hubungan antara sastra dengan masyarakat. Secara epistimologi sosiologi sastra
adalah dua disiplin ilmu yang digabungkan menjadi satu. Seperti pendapat Heru (2012:5)
sosiologi sastra sebuah pemahaman terhadap totalitas karya sastra yang disertai aspek-aspek
kemasyarakatan. Dapat dikatakan sosiologi adalah sebuah studi yang berusaha menjawab
pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan
mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Sedangkan sastra merupakan ekspresi masyarakat
yang penuh dengan interaksi.
Relasi sosiologi dengan sastra dimediasi oleh pengarang. Kenyataannya, penulis
karya sastra adalah pengarang sebagai individu yang hidup dalam konteks masyrakat. Pikiran
dan perasaan yang ditulis pengarang dalam karya sastra selalu mempresentasikan pandangan-
pandangannya pada masyarakat tempat pengarang itu eksis. Nilai-nilai yang menginternal
dalam diri penulis sebagai bentukan dalam kehidupan bermasyarakat itulah yang selanjutnya
muncul sebagai pandangan dunia dalam karya sastra (Heru, 2012:6). Dari kutipan tersebut
dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan sastra selalu berhubungan dengan masyarakat.
Penelitian ini selanjutnya lebih menekankan pada karya sastra sebagai cerminan
masalah sosial masyarakat khususnya pada pergerakan mahasiswa karena sistem otoriter
yang dilakukan oleh pemerintah. Karya sastra sebagai dokumen sosio-budaya yang mencatat
kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada masa tertentu akan digunakan sebagai
pendekatan penelitian. Pendekatan ini melihat karya sastra tidak secara keseluruhan,
melainkan dari unsur-unsur sosial budaya di dalamnya sebagai unsur yang lepas dari kesatuan
karya. Pendekatan ini melihat hubungan langsung antara unsur dalam karya dihubungkan
dengan unsur masyarakat yang digambarkan dalam karya.

METODE PENELITIAN
Menurut Creswell (2014:4) penelitian kualitatif bertujuan untuk mengekspolarasi
serta memahami makna yang ditengarai bersumber dari masalah sosial atau kemanusiaan.
Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Penelitian kualitatif dilakukan dengan
pertimbangan untuk mengekspolarasi makna praktik kuasa pada novel Revolusi dari
Secangkir Kopi karya Didik Fortunadi dalam bentuk narasi bukan angka/statistik. Menurut
Creswell (2014:4) penelitian kualitatif bertujuan untuk mengekspolarasi serta memahami
makna yang ditengarai bersumber dari masalah sosial atau kemanusiaan. Teori yang
digunakan dalam membedah novel ini adalah Analisis Wacana Kritis (AWK) mengacu pada
model Norman Fairclough, sekaligus sebagai pisau analisis. Analisis model ini dimulai dari
(1) proses pendeskripsian teks, (2) interpretasi teks, dan (3) menjelaskan proses interaksi
terkait dengan tindakan sosial (Fairclough, 1995: 33–3 & 2003: 29). 1. Proses pendeskripsian
teks adalah upaya membuat segmen-segmen teks pada setiap dialog tokoh pada novel
Revolusi dari Secangkir Kopi. Dengan demikian, makna terkait praktik kuasa pada novel
Revolusi dari Secangkir Kopi dapat diungkapkan. Selanjutnya pendekatan yang digunakan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra merupakan landasan teori yang menganalisis
masalah yang menyangkut hubungan antara sastra dengan masyarakat. Secara epistimologi
sosiologi sastra adalah dua disiplin ilmu yang digabungkan menjadi satu.
PEMBAHASAN
Tujuan dalam gerakan reformasi ialah membenahi sistem perpolitikan.
Salah satu reformasi perpolitikan ialah membenahi sistem pemerintahan. Hal ini sering
berkaitan dengan apakah pemerintahan tersebut demokrasi atau tidak, baik atau tidaknya
pemerintah tersebut dalam mengurus rakyatnya. Novel Revolusi Dari Secangkir Kopi Karya
Didik Fortunadi juga terdapat gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa. Dapat dilihat
dari kutipan di bawah ini.
“Hari senin kemarin, kami di bandung menerima berita kemajuan gerakan kawan-kawan
FKSMJ- Forum Koordinasi Senat Mahasiswa Jakarta. Mereka berhasil memaksa Ketua MPR Harmoko
untuk meminta Soeharto mundur dari jabatannya. Hal itu setelah terjadi rentetan peristiwa pilu
kematian kawan-kawan mahasiswa Tri Sakti, yang disusul kerusuhan teroganisir 13-15 mei lalu.
Tetapi, seruan ketua MPR itu dihadang panglima TNI, bahwa itu tidak konstitusional. (Fortunadi,
2014:418).

Dari teks diatas bagaimana pergerakan reformasi dilakukan mahasiswa yaitu


menuntut Presiden mundur dari jabatannya, mahasiswa menganggap Presiden harus mundur
setelah secara banyak terjadi kerusuhan yang sengaja disetting. Selain itu juga mahasiswa
menginginkan sebuah reformasi bertujuan untuk mencari pemimpin yang baru, selama ini
mahasiswa merasa banyak kejanggalan yang dilakukan oleh Presiden. Bagaimana mungkin
bagi mahasiswa sebuah negara menganut paham demokrasi dipimpin oleh penguasa yang
lebih dari tiga puluh tahun menjabat.
Pejabat pemerintah, partai politik, petinggi institusi, kroni, teman, kolega yang masih
bercokol, yang notabene sebagai calon Orang-orang penting di negeri ini. Dikotomi
‘ketidakadilan Pemerintah” dibangun sehingga memunculkan kebencian pembaca sebagai
representasi sosial rakyat kolektif yang hidup menderita terhadap pengurus orpol yang hidup
dalam kesewenang-wenangan.
“tolong temani aku. Kita sapu massa mulai dari perpustakaan”, pinta jurkam pada Ivan, Anto
dan Aku. Berempat kami menuju sisi utara kampus dengan membawa toa, bagai sekawanan koboi liar
yang membuka jalan perang, lincah dan sesekali berlompatan kecil. Sampai dengan perpustakaan ungu,
jurkam menyelut toanya, menyalak-nyalak. Suaranya berisik, sepintas bercerita tentang dunia
pendidikan , berganti tentang kebebasan beorganisasi, lalu pembunuhan karakter kemahasiswaan, dan
tentang menolak skorsing yos dan mel.
“ayo kawan-kawan, tunjukan kita peduli!” kata jurkam. Tangan memegang toa , sementara
tangan satunya mengacung tinggi. Nanar matanya begitu mengintimidasi, mahasiswa yang tertumbuk
mata elang jurkam, tak berkutik dan berdiri menyerah, ikut bergabung. (Fortunadi, 2014:180).

Dalam paragraf selanjutnya aksi protes massa kian tidak terbendung, muncul
beberapa gabungan perhimpunan dari berbagai fakultas. Hal ini menunjukan bagaimana
ketegasan mahasiswa dalam aksi gerakan sosial mereka dan melakukan protes mereka
menginginkan yang namanya government demokrasi dan kebebasan berpendapat ditegakan
didalam kampus mereka. Teks ini menggunakan modus pernyataan dan interogatif
(pertanyaan) pada teks sebagai bentuk penegasan digunakan secara dominan untuk
menyampaikan ketidakberpihakan pemerintah atas produk yang dibuat oleh Presiden dan
Pemerintahan. Hal ini sekaligus memberikan gambaran bahwa adanya relasi kekuasaan
antara pembuat Undang-Undang (pemerintah) dengan pihak yang memiliki modal.
“Pukul sebelas, tidak seperti biasanya Soeharto muncul di layar kaca yang bisa kami saksikan di
lobi gedung ini. Sosok yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu bersumpah siap mundur sesegera
mungkin. Menjanjikan pemilihan umum. Di momen itu pula, ia berjanji tidak akan mencalonkan diri
untuk pemilu berikutnya. Ia mengatakan akan membentuk dewan perumus arah reformasi.
Janji itu kami sambut dengan cibiran.
“Kita tidak akan meninggalkan gedung ini kecuali satu, Soeharto mundur!” teriakan lantang
salah satu mahasiswa saat orasi di anak tangga gedung kura-kura, yang telah kami ubah sebagai titik
pusat demonstrasi. (Fortunadi, 2014:420)
Mahasiswa sudah merasa kecewa dengan pemerintah. Bagi mahasiswa selama tiga
puluh tahun memimpin tidak ada perubahan. Mahasiswa merasa rezim pemerintahan yang
ada terlalu otoriter, mahasiswa mengharapkan secepat mungkin Presiden yang memimpin
utnuk mundur bukan hanya sekedar berjanji saja. Mereka para mahasiswa menginginkan
reformasi dibidang pemerintahan dengan cara Presiden yang memimpin mundur dari
jabatannya. Apabila dilihat dari aspek kebahasaannya, mahasiswa menyindir Presiden dengan
menggunakan sebuah kalimat sarkasme Artinya, kalimat “Kita tidak akan meninggalkan
gedung ini kecuali satu, Soeharto mundur!” yang digunakan oleh mahasiswa karena
ketidakpercayaan mahasiswa yang hilang walaupun Presiden sudah berkata akan mundur.
Akan tetapi, hal itu ditanggapi mahasiswa dengan bentuk kalimat yang dituliskan penulis ”
Janji itu kami sambut dengan cibiran”.
Modus kalimat berkenaan dengan cara bagaimana kalimat itu diekspresikan kepada
mitra bicara. Terdapat tiga macam modus: deklaratif, interogatif, dan imperatif. Ketiganya
menempatkan subjek secara berbeda. Dalam deklaratif, posisi penutur adalah pemberi
informasi, dan mitra tuturnya sebagai penerima informasi. Dalam interogatifnya, penutur
dalam posisi menanyakan sesuatu dan mitra tuturnya sebagai penyedia informasi. Dalam
imperatif, penutur berposisi sebagai peminta dan pemerintah kepada mitra tutur, dan mitra
tutur sebagai pelaku yang tunduk melakukan sesuatu.
Lebih lanjutnya dalam novel Revolusi Dari Secangkir Kopi Karya Didik Fortunadi
gerakan reformasi yang bertujuan membenahi tatanan sosial ialah tentang organisasi PSIK.
Seperti dalam cerita, PSIK ialah sebuah organisasi yang bergerak dalam hal pengamatan
tentang isu-isu sosial, namun PSIK tiba-tiba mengalami kemunduran. PSIK tidak lagi
bergerak sehingga mendapat respon dari organisasi MENWA untuk bergerak, seperti yang
terdapat dalam kutipan berikut.
“Kubaca tulisan merah darah itu : “PSIK SEKARAT”, PSIK MANDUL,
KEMAHASISWAAN MATI”, dipojok beberapa kertas tertulis ttd MENWA”, aku
tertegun. (Fortunadi, 2014:101).

Menurut pandangan peneliti gerakan reformasi diingikan oleh MENWA terhadap


PSIK, MENWA mengharapkan PSIK kembali pada tujuan awalnya yaitu bergerak dalam isu-
isu sosial. Bukannya malah diam saja, MENWA mengharapakan PSIK kembali menjadi
garda terdepan dalam pergerakan mahasiswa. Dilihat dari aspek kebahasaannya, mahasiswa
menyindir PSIK dengan menggunakan sebuah kalimat perumpamaan atau majas
personifikasi yang melekatkan sifat-sifat manusia pada benda mati. Artinya, kata “mandul”
yang digunakan oleh mahasiswa merupakan sesuatu yang melekat pada manusia (dalam
artian seorang wanita yang tidak bisa mempunyai anak) dilekatkan pada benda mati berupa
sebuah organisasi yang tidak produktif lagi. Kemudian kata “mati” yang digunakan
mahasiswa dalam menjelaskan organisasi yang tidak produktif dan hidup lagi. Kata mati
biasanya erat kaitannya dengan makhluk hidup bukan benda mati.
Masalah isu-isu perpolitikan atau hukum yang berlaku sering menjadi sorotan utama
dikalangan para intelektual atau kaum cendikiawan. Seperti didalam cerita tokoh Didik
mengamati tatanan hukum di era orde baru yang sangat otoriter dan sangat mudah
mencebloskan orang tanpa adanya pradilan terlebih dahulu.
“Dituduh subversive?” Aku mencoba menebak, tanyaku bersemangat untuk alasan yang tak
kumengerti
“Demikianlah kacamata penguasa melihatnya. Satu kata multitafsir itu telah mencebloskan mereka
kepenjara,” jawabnya
“pasal lentur seperti karet, namun efektif” tandasnya dengan geram (Fortunadi, 2014:85).

Tokoh Didik kembali menyoroti tentang hukum yang diterapkan dimasa rezim orde
baru, yaitu bagaimana pemerintahan terlalu respresif dalam menanggapi keberadaan orang-
orang kritis, pemerintah terlalu mengekang kebebasan berpendapat sehingga orang yang krtis
yang secara terang-terangan mengkrtik pemerintahan ataupun secara tertutup langsung
ditangkap dan dijebloskan kepenjaran tanpa pradilan yang harus dijalani. Pemerintah orde
baru kala itu menanggapi adanya orang-orang krtis adalah pengancam stabilitas negara.
Wacana perlawanan yang dilakukan mahasiswa ini memang tidak mengandung kata-kata
sarkasme, tetapi maknanya menyindir keras untuk pihak pemerintahan. Pemilihan kata seperti
itu khas dengan identitas mahasiswa kritis yang terkenal santai dalam menghadapi persoalan,
namun sekali berkata-kata ucapannya akan terasa pedas atau menusuk tepat sasaran.
Mahasiswa juga menggunakan bahasa informal dalam menuliskan tulisan wacana
perlawanan.
Dalam kutipan selanjutnya tokoh Didik yang sebagai mahasiswa yang juga berarti
sebagai Agent Of Change atau pelaku perubahan dalam masyarakat menyoroti juga tentang
kebebasan berpendapat ia memiliki pengetahuan tentang makna pendidikan yang bebas
berpendapat. Tokoh Didik menginginkan perubahan pradigma didalam pendidikan selama ini
yang hanya menjadikan siswa atau peserta didik hanya menerima saja, tapi juga harus
mengemukakan pendapatnya. Seperti didalam kutipan berikut.
“Di situasi yang tak seorang pun bisa mencegahnya ini, aku mencoretkan beberapa baris kata
renungan makna pendidikan di perguruan tinggi.
“Hal pokok dalam dunia pendidikan adalah tempat bermulanya hasrat mencari yang terus-menerus.
Tempat dipupuknya jiwa untuk menghadapi persoalan hidup yang tak putus-ptus. Kampus tak bisa
tidak harus menanamkan rasa ingin tahu dan sikap malu ingin bertanya pada anak didiknya. Kampus
mesti memberi “ruang kebebasan” mengekpresikan diri, bukan memaksa diam dan menuntut
mahasiswa menjadi penurut. Kampus harus mendorong mahasiswa menajdi pribadi yang pemberani
mengatakan salah jika salah, dan benar jika benar.( Fortunadi, 2014:151)

Peneliti memaknai tokoh Didik sangat menginginkan yang namanya pendidikan yang
ideal di negara. Tokoh Didik sebagai Agent of change atau pelaku perubahan berharap
pendidikan yang mampu menciptakan siswa-siswa yang kritis dalam berpikir. Sifat-sifat
demikian yang disebut sebagai Agent of change.
Kalimat di atas juga mengandung unsur pragmatik, Schriffin (2007:69-70)
mengatakan bahwa unsur-unsur pragmatik dalam sumbangan terbesar Austin, yaitu berupa
tindak tutur lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Tindak tutur lokusi (tindakan yang menyatakan
sesuatu, yang memiliki makna leksikal dan gramatikal) di mana pihak mahasiswa
menyatakan bentuk perlawanan dan penentangannya melalui kalimat tersebut “Kampus mesti
memberi “ruang kebebasan” mengekpresikan diri, bukan memaksa diam dan menuntut
mahasiswa menjadi penurut”. “Kata “ruang kebebasan” adalah bentuk pernyataan bahwa
mahasiswa ingin mengatakan bahwa kampus memberi kebebasan dalam menyampaikan
aspirasi dan ditambahi dengan kata kiasan “ruang kebebasan” sebagai bentuk penegasan
bahwa mereka benar-benar berani memberikan pendapat dan sebagai wadah aspirasi. Selain
tindak tutur lokusi, kalimat tersebut juga mengandung tindak tutur ilokusi (tindakan yang
berfungsi untuk mengatakan dan menginformasikan sesuatu). Kalimat tersebut sudah cukup
jelas maksudnya, mahasiswa menginformasikan kepada pembaca bahwa mereka berani
melawan demi menjaga aspirasinya yang pada masa itu selalu dikekang dan tidak boleh
menyampaikan pendapatnya. Unsur terakhir, kalimat tersebut juga mengandung tindak tutur
perlokusi (tindakan yang memiliki efek atau pengaruh yang kuat) dari adanya tulisan
tersebut, diharapkan pihak kampus dapat segera menyelesaikan atau memberi ruang untuk
memberikan aspirasi sesuai dengan harapannya atau tidak dan apabila pesan itu tidak
mendapatkan efek atau pengaruh yang kuat kepada pihak kampus untuk memberikan
kebebasan berpendapat bahwa Kampus harus mendorong mahasiswa menajdi pribadi yang
pemberani mengatakan salah jika salah, dan benar jika benar dan jika tidak disetujui maka
mahasiswa siap memberikan bentuk perlawanan lain.
Paragraf selajutnya bagaimana tokoh Ivan mulai mengamati tentang kinerja para DPR
yang hanya menginginkan kehormatan dan jabatan tinggi serta keserakahan, Ivan menilai
para anggota legislatif tersebut hanya mementingkan diri sendiri, serta bekerja hanya
meminta gajih yang besar tanpa ada bentuk kerja yang berkembang disetiap jabatannya.
“Alih-alih memikirkan nasib rakyat, para anggota dewan yang gila hormat, malah meminta kenaikan
tunjangan 70% -100%, tetap jalan-jalan keluar negeri yang katanya studi banding, jelas sekalian
membawa keluarga. Enak to, diongkosi pajak,” balas Ivan (Fortunadi,2014:109)

Kata “gila hormat” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memiliki arti
orang yang dihormati. Kata tersebut memiliki relasi makna ideologis dengan pejabat
pemerintah yang dengan sengaja menggunakan kekuasaan dan wewenangnya. Kekuasaan dan
wewenang tersebut tidak berdasarkan tugas yang diembankan melainkan pada ambisi pribadi.
Kadang lebih pada kepentingan golongan ketika dibutuhkan. Justru yang lebih parah, ketika
kekuasaan dan wewenang digunakan untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun
golongan. Berbeda dengan kalimat sebelumnya, kalimat di atas lebih menggunakan bahasa
atau kalimat sarkasme dan frontal yang ditujukan untuk pihak wakil rakyat Hal ini terlihat
dari kata umpatan khas gila hormat. Kata umpatan tersebut sangat khas dengan identitas
wakil rakyat yang meminta dihargai. Namun bila dilihat konteksnya ini, umpatan itu adalah
negatif, yaitu berbicara kasar dan tidak sopan.
Dari beberapa teks di atas, Pengarang memegang kendali interaksional dalam
menentukan kata-kata ideologis. Pembaca ‘di dalam teks’ dan pembaca ‘di luar teks’
dikendalikan oleh Pengarang dalam interaksinya. Pengarang dominan dalam menentukan
interaksional. Apabila Novel Secangkir Kopi ini dibacakan, tampak identitas Pengarang
dalam mengkonstruksi Pembaca melalui bahasa yang
digunakan.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan pada bab sebelumnya, dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut.
1. Konflik Politik dalam pergerakan yang dilakukan oleh mahasiswa dalam novel
Revolusi Dari Secangkir Kopi Karya Didik Fortunadi ada dua tipe pergerakan. Pertama
pergerakan mahasiswa yang merekan lakukan ialah gerakan sosial dan gerakan
reformasi. Mahasiswa melakukan sebuah gerakan sosial yaitu mereka melakukan protes
massa dengan menuntut akan kebijakan yang jelas yang kedua gerakan sosial muncul
karena aspirasi yang tertampung tidak didengarkan. Sedangkan gerakan reformasi yang
dilakukan oleh mahasiswa bertujuan untuk membenahi tatanan sosial, tatanan
pendidikan dan tatanan pemerintahan.
2. Konflik politik dalam peran mahasiswa didalam novel Revolusi Dari Secangkir Kopi
Karya Didik Fortunadi ialah agent of change (pelaku perubahan) dan sosial kontrol
(pengendalian sosial)
3. Konflik politik dalam upaya perlawanan yang dilakukan oleh mahasiswa ialah mereka
memanfaatkan dengan media massa sebagai alat perjuangan mereka dan upaya yang
lainnya ialah dengan membentuk organisasi.

Daftar Pustaka
Agusyanto, Ruddy. 2007. Jaringan Sosial Dalam Organisasi. Jakarta: PT Raja Gravindo
Persada.

Creswell. J. W. 2014. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed.


Jakarta: Pustaka Pelajar.

Creswell. J. W., Miller, D.L. 2000. Determining Validity in Qualitative Inquiry. Theory Pract.
39, 124–130. Canada: Canadian Publication.

Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta: Prenada Media.


Darma A. Yoce. Analisis Wacana Kritis dalam Multiperspektif. Bandung: PT Rfaika
Aditama.

Endraswara, Suwardi. 2013. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Endraswara. Suwardi. 2014. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center For
Academic Publishing Service).
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKSI.

Evyta. 2010. Gerakan Mahasiswa Antara Idealitas dan Realitas. Medan.

Fairclough, N. (1992). Discourse And Social Change. Cambridge: Polity Press.

Firmansyah, M. Bayu. 2018. Dimensi Sosial Dalam Novel Negeri Para Bedebah Karya Tere
Liye (Perspektif Analisis Wacana Kritis). Jurnal KEMBARA Volume 4 Nomor 1. Hal
60-68. Diakses tanggal 25 September 2020.

Furtonadi, Didik. 2014. Revolusi Dari Secangkir Kopi. Bandung: Percetakan Mizan
Pustaka.

Gunawan, H Ary. 2010. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: PT Rineke Cipta.

Jorgensen, M. & Phillips, L. 2002. Discourse Analysis as Theory and Method. London:
SAGE Publications Ltd.

Kurniawan, Heru. 2012. Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Kurniawati, Neni. 2018. Prinsip Jalan Tengah ‘Zhong Yong’ Lu Xun: Pendekatan Analisis
Wacana Kritis. Jurnal KANDAI Volume 14 Nomor 2. Hal 269-289. Diakses tanggal 26
September 2020.
Muksin, Feni M. 2018. Konflik Politik Pada Novel Hanum: Analisis Wacana Kritis. Jurnal
Gramatika Volume VI Nomor 2. Hal 125-136. Diakses pada tanggal 25 September
2020.

Mustofa. 2014. Analisis Wacana Kritis (Awk) Dalam Cerpen Dua Sahabat Karya Budi
Darma: Konteks Pembelajaran Bahasa Dan Sastra Indonesia. Jurnal Bastra Volume 1
Nomor 1. Hal 13- 22. Diakses tanggal 25 September 2020.

Noverino, Romel. 2015. A Bathtub Of Popcorn: Kajian Analisis Wacana Kritis Buku Cerita
Anak Dwi Bahasa. UNS Journal of Language Studies Volume 04, Number 01. Diakses
tanggal 27 September 2020.

Purnomo, Mulyadi Eko. 2017. Paradigma Kritis dalam Kajian Sastra. Jurnal Seminar Bulan
Bahasa Universitas Sriwijaya. Diakses tanggal 25 September 2020.

Rachmawati, Dian Karina. 2016. Pemosisian Tokoh Habibie Pada Negosiasi Antara
Soeharto-Habibie Dalam Novel Habibie & Ainun: Kajian Analisis Wacana Kritis.
Jurnal Stilistika Volume 9 Nomor 2. Hal 16-36. Diakses tanggal 27 September 2020.

Saraswati, Ardhina dan Ni Wayan Sartini. 2017. Wacana Perlawanan Persebaya 1927
terhadap PSSI: Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough. Jurnal Mozaik Humaniora.
Vol. 17 Nomor 2. Hal 181-191. Diakses tanggal 25 September 2020.

Sholikhati, Nur Indah dan Hari Bakti Murdikantoro. 2017. Analisis Tekstual dalam
Konstruksi Wacana Berita Korupsi di Metro TV dan NET dalam Perspektif Analisis
Wacana Kritis Norman Fairclough. Jurnal Seloka Volume 6 Nomor 2. Hal 123-129.
Diakses tanggal 27 September 2020.

Soekanto, Soejarno. 2014, Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: PT Raja Gravindo Persada.

Seputra, Agung. 2014, Manajemen dan Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Situmorang, Wahib Abdul. 2013. Gerakan Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Siswanto, Angger dan Poppy Febriana. 2017. Representasi Indonesia dalam Stand Up
Comedy (Analisis Wacana Kritis Norman Fairclough dalam Pertunjukan Spesial Pandji
Pragiwaksono “Mesakke Bangsaku”). Jurnal KANAL Volume 5 Nomor 2. Hal 121-130.
Diakses pada tanggal 27 Maret 2020.

Suyanto, Bagong dan Narwoko Dwi. 2014, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta.
Prenada Group.

Nurgiyantoro, Burhan.2015. Teori Pengkajian Fiksi. Yagyakarta: Gadjah Mada Universitas.


Sulistyowati, Endang dan Tarman Effendi Tarsyad, 2015. Kajian Prosa Fiksi. Banjarbaru:
Cipta Cendikia.

Sztompka Piotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai