Anda di halaman 1dari 17

PENGARUSUTAMAAN ISLAM NUSANTARA SEBAGAI WUJUD

MODERASI ISLAM DI INDONESIA: KAJIAN SOSIO-HISTORIS

Kode Jurnal : L
Disusun Oleh : RIFKY AMALIA ANNISA

HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM


KOMISARIAT EKONOMI DAN BISNIS
KORKOM BRAWIJAYA
CABANG MALANG
1443 H / 2022 M
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam yang


senantiasa memberi rahmat, taufik dan hidayah-Nya sekalian sehingga kita dapat
beraktivitas dan senantiasa menebar kebermanfaatan bagi sesama. Shalawat serta
salam selalu tercurahkan pada nabi kita Muhammad SAW. serta keluarga dan para
sahabat beliau yang mengantarkan kita semua dalam nikmat berislam dan
beriman.
Terlepas dari itu kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan
dalam jurnal ini baik dari segi kalimat maupun tata bahasa. Oleh karena itu kami
menerima dengan tangan terbuka segala saran dan kritik dari pembaca. Akhir kata
kami berharap semoga jurnal LK II dengan judul “PENGARUSUTAMAAN
ISLAM NUSANTARA SEBAGAI WUJUD MODERASI ISLAM DI
INDONESIA: KAJIAN SOSIO-HISTORIS” dapat memberi manfaat serta
menginspirasi pembaca.

Malang, 26 July 2022

Penulis
ABSTRAK
Islam merupakan ajaran yang rahmatan lil alamin yakni pembawa rahmat bagi
seluruh alam justru mengalami pergeseran makna hari ini. Islam hari ini menjadi
ajaran yang penuh amarah dan kaku yang dekat dengan konflik-konflik sosial.
Islam Nusantara yang lahir dan berasal dari hasil akulturasi nilai-nilai islam dan
nilai-nilai yang ada pada masyarakat Indonesia sebelumnya, menciptakan paham
Islam yang moderat, yakni syarat akan makna nilai perdamaian dan maslahat.
Nilai moderasi Islam tersebut dapat membawa kembali wajah Islam penuh rahmat
di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim namun tetap
menjunjung sifat pluralisme.

Kata Kunci: Islam Nusantara, Eksternalisasi, Objektifikasi, Internalisasi

ABSTRACT
Islam is a religion that is rahmatan lil alamin which is the bearer of mercy for all
nature, in fact, it is experiencing a shift in meaning today. Islam today has become
an angry and rigid teaching that is close to social conflicts. Islam Nusantara which
was born and originated from the acculturation of Islamic values and values that
existed in Indonesian society before, created a moderate Islamic understanding,
namely the requirements for the meaning of the value of peace and benefit. The
value of Islamic moderation can bring back the face of Islam full of grace in
Indonesia as a country with a majority Muslim population but still upholds the
nature of pluralism.

Keywords: Islam Nusantara, Externalization, Objectification, Internalization

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pemaknaan istilah Nusantara jika dilihat dari konteks
Peradaban Islam merujuk pada daerah - daerah dalam Asia
Tenggara yang telah disentuh Islam seperti Indonesia, Malaysia,
Selatan Filipina, Brunei, Selatan Thailand. Islam hadir di
Nusantara dalam kondisi pergolakan antar agama dan budaya. Pada
abad ke-13 sampai ke-16 Masehi, merupakan masa kejayaan
perkembangan Islam di kepulauan Nusantara. Islam kemudian
mampu perlahan berakulturasi dan menjadi ciri khas keagamaan
Islam di Nusantara, hal ini dikarenakan Islamisasi yang terjadi di
Nusantara masuk tanpa memaksakan ajaran yg dibawa (Islam itu
sendiri) dan peperangan untuk meninggalkan ajaran kepercayaan
lama (nenek moyang). Seperti halnya Islam di Jawa yang tanpa
meninggalkan budaya „Kejawen‟ yang mengakar dalam
masyarakat ataupun orang-orang Minangkabau yang juga tidak
diharuskan membuang adat budaya „Perpatih‟ mereka. Pola
Islamisasi tersebut mempertemukan irisan antara nilai-nilai
keislaman dan kebudayaan yang kemudian melahirkan ciri khas
karakteristik islam yang sesuai dengan lingkungan masyarakat,
atau disebut sebagai Islam Nusantara. 1
Islam Nusantara dalam pembahasan kali ini merujuk
kepada Indonesia sendiri sebagai negara dengan mayoritas
penduduknya seorang muslim. Dewasa ini, diskursus mengenai
tema Islam Nusantara mengalami pergeseran makna karena erat
konotasinya dengan suatu aliran keagamaan tertentu. Semakin
kompleksnya problematika keagamaan di Indonesia hari ini baik
ditinjau dari aspek teologis bahkan sampai politik diperkirakan
dapat membawa masyarakat Islam di Indonesia terpecah-belah dan
mampu mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa. Hal
tersebut diprediksi melalui kajian historis masyarakat Islam di
Arab yang mengalami perpecahan golongan dikarenakan
permasalahan politik pada masa kekhalifahan. Sementara untuk
problematika teologis Islam masa sekarang adalah keberagaman
paham-paham Islam yang saling berbenturan. Wajah-wajah aliran
islam yang berkembang di Indonesia hari ini justru cenderung
fundamentalis, para intelektual menyebut golongan islam ini
1
Siddiq Fadzil, “Pertembungan Islam dengan Budaya Peribumi: Pengalaman Alam Melayu”, Kertas Kerja
Seminar Hukum Islam Semasa III, Akademi Pengajian Islam , Universiti Malaya, 2000, 1-2.
sebagai transnasionalis. Pemahaman Islam yang dibawa
kebanyakan golongan islam baru di Indonesia hari ini tidak lahir
dari Islam yang berkembang di Nusantara, melainkan dari ideologi-
ideologi keislaman timur yang rawan konflik. Selain itu,
masyarakat Islam Indonesia berhadapan dengan ideologi barat
yang condong pada liberalisme serta kebebasan sebebas-bebasnya,
hal ini mampu menggerus akidah masyarakat Islam itu sendiri.
Islam Nusantara hadir menjadi sebuah alternatif konsep
pemikiran, pemahaman, dan pengaplikasian islam yang moderat,
jauh dari paham fundamentalis dan liberalis. Konsep Islam
Nusantara dapat membawa keharmonisan sosial, budaya, agama,
serta masyarakat berperadaban Islam di Indonesia.

2. Rumusan Masalah
Secara Eksplisit ada 2 pokok permasalahan yang akan
dibahas dalam jurnal penelitian ini;
● Bagaimana Islam Nusantara bertransisi dari
rahmatan lil alamin menjadi ideologi penuh konflik,
ditinjau dari analisis sosio-historis?
● Bagaimana mengembalikan wajah rahmatan Islam
Nusantara, ditinjau dari analisis sosio-historis?
3. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis;
● Menelaah perubahan Islam Nusantara dari ajaran
rahmatan lil alamin menjadi agama penuh konflik
● Mengembalikan makna Islam Nusantara untuk
membangun kembali Islam moderat di Indonesia
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan dengan metode tinjauan pustaka artinya
sumber data yang dipakai dalam penelitian ini bersumber dari kepustakaan
baik primer maupun sekunder, yaitu berupa buku fisik, jurnal ilmiah,
artikel ilmiah, dan lain-lain yang mampu menunjang tulisan ini.
C. PEMBAHASAN
1. Islam Nusantara : Bentuk Islam Moderat di Indonesia
Islam Nusantara merupakan Islam yang hadir dan
berkembang dalam koridor tradisi dan kebudayaan Indonesia,
Islam yang ramah, damai dan sarat akan toleransi. Abdurrahman
Wahid atau yang biasa disebut dengan Gus Dur memiliki gagasan
“Pribumisasi Islam” yang merepresentasikan Islam Nusantara
sebagai hal preskriptif yang berasal dari Tuhan, kemudian
mengalami akulturasi dengan kebudayaan yang berasal dari
masyarakat Nusantara tanpa kehilangan identitas dan nilainya
2
masing-masing. Islam Nusantara merupakan wujud moderat dari
persilangan dua paham liberal dan fundamental.
Karakteristik khas yang dimiliki Islam Nusantara
menjadikannya berbeda dengan Islam yang lahir di Arab ataupun
Islam yang berkembang di dunia-dunia sekuler (Barat). Terdapat 5
karakter dasar Islam Nusantara, yaitu :
● Toleran, mengakui segala bentuk cara pengajaran Islam dan
bagaimana bentuk akulturasi antara islam dan budaya yang
ada di seluruh Indonesia
● Kontekstual, memahami Islam secara universal dengan
pemaknaan akan nilai-nilai inti yang dibawa Islam dan
bukan cuma sekedar penguatan hal-hal simbolik semata
● Berakulturasi, Islam yang ada di Nusantara lahir dari irisan
nilai keislaman dan nilai kebudayaan yang memiliki
kesamaan arti nilai dan tidak kontraproduktif satu dengan
yang lain.
● Progresif, selaras dan tidak kontra dengan perkembangan
zaman untuk menuju peradaban yang lebih baik
● Kebebasan, dalam artian Islam adalah sebuah Islam
menjadi ajaran yang mampu menyelesaikan persoalan-
persoalan dalam kehidupan bermasyarakat. Islam tidak
2
M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Jakarta:
Erlangga, 2007), xx.
mensegmentasikan atau memarginalisasikan golongan
tertentu. Dalam kacamata Islam, manusia memiliki
kesamaan derajat, yaitu selaku makhluk ciptaan Tuhan.
Islam Nusantara adalah representasi dari Islam yang
memberikan kebebasan pemeluknya untuk mencari jalan
hidup dan hukumnya, memilih taat atau tidak, dengan
catatan semua pilihan diikuti oleh konsekuensi yang harus
ditanggung.
Lima karakter Islam Nusantara tersebut pada hakikatnya
akan melahirkan sebuah ajaran Islam yang tengah-tengah
(moderat), yaitu satu ajaran yang menganggap penting kedamaian,
kerukunan, dan saling toleransi dalam beragama tanpa
menghapuskan nilai-nilai inti yang dikandung Islam. Islam
moderat adalah ciri khas dari keislaman masyarakat Indonesia,
yang lain dari keislaman Islam di Arab atau di dunia barat. Islam
Nusantara adalah Islam yang aman, damai dan sejahtera. Aman
pada pemaknaan tidak senang berkonflik yang sampai dapat
mengganggu stabilitas negara dan agama lain yang ada.
Menjunjung perdamaian yang mengacu pada kondisi masyarakat
Indonesia yang multikultural, terdiri dari beragam agama, budaya,
dan ras. Sejahtera yang merupakan Kelima karakteristik tersebut
pada akhirnya akan membentuk sebuah ajaran Islam yang moderat,
yaitu suatu ajaran yang lebih mementingkan perdamaian,
kerukunan, dan toleransi dalam beragama tanpa menghilangkan
nilai-nilai Islam di dalamnya. Islam moderat merupakan ciri khas
dari keberislaman bangsa Indonesia, yang berbeda dengan keadaan
Islam di Arab atau belahan dunia lainnya. Islam di Indonesia
adalah Islam yang aman, damai dan sejahtera. Aman dalam artian
tidak terdapat konflik yang sampai mengancam stabilitas agama
dan negara, walaupun tidak menafikkan adanya gesekan-gesekan
yang berujung konflik. Damai dalam konteks masyarakat Indonesia
yang multikultural, terdiri dari berbagai ras, agama dan budaya
yang beragam. Sejahtera yang merupakan konsekuensi logis dari
berkehidupan yang damai dan aman tersebut.
Terdapat dua golongan dalam aliran Kalam yang
mendominasi dasar pemikiran Islam sejak dulu sampai hari ini,
yakni Mu'tazilah dan Asy‟ariyah. Mu‟tazilah adalah aliran kalam
paling besar dan paling tua menurut sejarah Islam. Aliran ini
didirikan pada awal abad ke-2 Hijriyah di Basrah. Penamaan aliran
Mu‟tazilah ini sebenarnya tidak bersumber dari golongan
Mu‟tazilah, tetapi masyarakat dari golongan luarlah (golongan
selain Mu‟tazilah) yang menamai dengan kata Mu‟tazilah.
Golongan Mu‟tazilah sendiri menyebut kelompok mereka dengan
sebutan “Ahli keadilan dan keesaan” (ahlul adli wat-tauhid).
Alasan mengapa kelompok-kelompok lain menyebutnya dengan
sebutan Mu‟tazilah, dikarenakan Washil bin Ata‟ yang telah
mendirikan aliran ini berbeda paham dengan gurunya, Hasan al-
Basri, yang kemudian Washil bin Ata‟ tidak mengaminkan lagi
paham gurunya dan mendirikan sebuah paham aliran baru.
Kemudian Hasan al-Basri, guru Washil, mengumumkan bahwa
Washil telah memisahkan diri dari golongannya, maka sejak saat
itulah Wasil bin Ata‟ dan golongannya disebut Mu‟tazilah yg
artinya “Golongan yang memisahkan diri”.3
Selanjutnya sementara itu golongan Asy‟ariyah muncul
sebagai oposisi dari golongan Mu‟tazilah. Nama Asy‟ariyah
merupakan nama pendiri golongan tersebut yaitu Abu al-Hasan Ali
bin Ismail Al-Asy‟ari. Al-Asy‟ari pada awalnya mempercayai
paham Mu‟tazilah, ia menuntut ilmu pada tokoh Mu‟tazilah, Abu
Hasyim Al-Jubba‟i yang adalah ayah tirinya. Al-Asy‟ari
mempercayai paham Mu‟tazilah sampai pada sekitar umur 40
tahunan, Namun sejak menginjak 40 tahun ia sering termenung
sendiri dan memikirkan pemikiran pemikiran Mu‟tazilah dengan
pikirannya. Tidak lama setelah mempertimbangkan hal tersebut,

3
Hanafi, 44.
Al-Asy‟ari mengatakan di hadapan masyarakat golongan
Mu‟tazilah di Basrah, bahwa dirinya telah keluar dari golongan
Mu‟tazilah dan melanjutkan dengan menyebutkan kekurangan-
4
kekurangan yang ada dalam paham Mu‟tazilah. Harus dipahami
bahwa golongan Asy‟ariyah ialah golongan yang berdiri di tengah-
tengah golongan tekstualis dan rasionalis. Al-Asy‟ari yang
merupakan pendiri aliran Asy‟ariyah mengusahakan untuk tetap
berada pada titik tengah dari dua paham yang kontras itu. Al-
Asy‟ari sadar benar bahwa kedua pemikiran tersebut dapat
dikatakan sangat berbahaya bagi kestabilan umat Islam pada waktu
itu, yang bisa menghancurkan Islam sendiri kalau tidak segera
diselesaikan. Ia juga sangat mengkhawatirkan alQuran dan Hadis
menjadi korban pemahaman yang salah dari aliran Mu‟tazilah,
karena golongan Mu‟tazilah memahami Al-Qur‟an dan Hadis
dengan pengglorifikasian terhadap akal-pikiran pendirinya. Lain
halnya dari golongan Mu‟tazilah, oleh golongan tekstualis
pemahaman tentang alquran dan hadis, dipahaminya dengan
pemikiran yang sempit, sehingga dikhawatirkan umat Islam banyak
menjadi taklid juga jumud yang tidak dibenarkan oleh ajaran Islam.
Jalan tengah dari dua hal tersebut, maka lahirlah suatu paham baru
yakni Asy‟ariyah, dan paham pemikiran ini dapat masuk dan
diterima oleh mayoritas umat Islam di Dunia termasuk umat Islam
di Indonesia.5
Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam yang santun
dan ramah. Hal ini termanifestasikan dalam setiap individu muslim
di Indonesia yang selalu senantiasa hidup gotong royong di
kehidupan masyarakat, saling bahu membahu antar sesama, dan
saling menghargai keberagaman (toleransi), menghormati guru dan
ulama‟. Itulah merupakan bukti nyata bahwa Islam di Indonesia

4
Wiji Hidayati, Ilmu Kalam : Pengertian, Sejarah, Dan Aliran-Alirannya (Yogyakarta: Program Studi
Manajemen Pendidikan Islam UIN Yogyakarta, 2017), 134.
5
Hanafi, Theology Islam, 67.
adalah Islam yang membawa rahmat bagi lingkungannya, damai,
santun, aman, sejahtera atau dalam kata lain Islam moderat.6

2. Kajian Eksternalisasi Islam Nusantara


Penyebaran Islam di Nusantara dilakukan melalui beberapa cara
dan strategi oleh beberapa tokoh, sehingga ajaran Islam dapat lebih
gampang masuk dan berkembang daripada agama-agama lain.
Penyebaran Islam yang dilakukan melalui jalan perdamaian dan
tanpa adanya pemaksaan. Diantaranya beberapa strategi
penyebaran islam di Indonesia adalah, Pertama, Islam masuk
melalui jalur perdagangan. Para penyiar agama Islam yang dalam
teori ini dibawah oleh seorang pedagang, menyiarkan ajarannya
melalui aktivitas perdagangan melalui interaksi dari berbagai
negeri seperti Persia, Cina, Anak Benua India, Arab, dan Melayu
yang berkesinambungan, membuat komunitas Islam di kalangan
pedagang semakin memiliki wibawa, dan akhirnya melahirkan
masyarakat muslim. Kedua, masuk dengan jalur dakwah bi al-hāl
yang disebarkan oleh para mubaligh yang sekaligus adalah seorang
pedagang. Prosesi dakwah yang dilakukan pada mulanya dilakukan
perseorangan atau dari individu ke individu. Mereka melakukan
aturan-aturan syari‟at Islam dengan memperhatikan aspek
kebersihan, dan dalam bermasyarakat para mubaligh
memperlihatkan sikap sederhana. Ketiga, dengan cara melakukan
pernikahan, yaitu pernikahan antara pedagang Muslim, mubaligh
dengan anak bangsawan di Nusantara. Bermula dari kepiawaian
dalam bidang ilmu pengetahuan dan pengobatan yang dipelajari
dari teks-teks hadis Nabi Muhammad Saw. Terdapat di antara
kaum muslim yang memiliki keberanian mengikuti sayembara
yang diselenggarakan oleh raja dengan janji imbalan, bahwa
siapapun yang mampu mengobati putrinya, jika orang tersebut
perempuan akan diangkat sebagai saudara, sedangkan jika seorang

6
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 48.
laki-laki akan dijadikan sebagai menantu. Melalui pernikahan
dengan putri-putri raja dan bangsawan lah Islam menjadi lebih
berwibawa dan punya kekuatan. Keempat, melalui pendidikan.
Setelah kedudukan dan posisi para pedagang strategis, mereka
menyebar pengaruh kekuatan dalam ranah ekonomi di bandar-
bandar atau pelabuhan daerah pesisir. Pusat-pusat perekonomian
tersebut kemudian mengalami perkembangan dan menjadi pusat
pendidikan sekaligus penyebaran Islam. Pusat-pusat dakwah dan
pendidikan di kerajaan Samudra Pasai memiliki peran sebagai
episentrum dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan
mengirim para mubaligh lokal, seperti contohnya mengirim
Maulana Malik Ibrahim untuk berekspedisi menyebarkan visi
dakwah islam di tanah jawa.7
Kelima, melalui jalur akulturasi kebudayaan. pada mulanya
kegiatan islamisasi selalu berhadapan dengan benturan-benturan
tradisi masyarakat Jawa yang sarat akan pengaruh Hindu Budha.
Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit yang kemudian digantikan
oleh kerajaan-kerajaan Islam yang ekspansif dan produktif dalam
penyebaran pengaruh. Di tanah Jawa ajaran Islam menyesuaikan
dengan budaya lokal sedangkan di pulau Sumatera adat istiadatnya
menyesuaikan dengan ajaran Islam.8
Islam terus mengalami perkembangan dan menyebar dari
waktu ke waktu sampai hari ini melalui berbagai tahapan hal
tersebut merupakan jasa dari para mubaligh. Di Jawa sendiri, para
ulama yang menyebarkan agama Islam tergabung dalam Wali
Songo (Sembilan Wali), yang terdiri dari Maulana Malik Ibrahim
(Sunan Gresik) yang menyebarkan Islam di daerah pesisir Gresik,
Raden Rahmat (Sunan Ampel) yang menyebarkan Islam di daerah
Ampel Denta Surabaya, Maulana Makdum Ibrahim (Sunan

7
Hawwin Muzakki dan Khoirul Mudawinun Nisa, “Basis Transformasi Tradisi Pesantren Salaf di
Era Modern (Kajian Semiotika Barthes dan Dekonstruksi Derrida),” QALAMUNA: Jurnal
Pendidikan, Sosial, dan Agama 12, no. 1 (2020): 91–105
8
Achmad Syafrizal, “SEJARAH ISLAM NUSANTARA,” Islamuna: Jurnal Studi Islam 2, no. 2 (5
Desember 2015): 241–42, https://doi.org/10.19105/islamuna.v2i2.664.
Bonang) menyebar Islam di daerah pesisir Tuban, Raden Sahid
(Sunan Kalijaga) menyebarkan di daerah Jawa Barat, Syarif
Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) , Raden Qosim (Sunan Drajat),
Raden Paku (Sunan Giri), Ja'far Shadiq (Sunan Kudus), Raden
Umar Said (Sunan Muria).9
2. Kajian Objektivitas Islam Nusantara
Terdapat dua sumber objektivitas Islam Nusantara yang
berasal dari kondisi internal masyarakat di Indonesia sendiri. Yakni
ajaran tentang pluralitas dan etika yang dijunjung masyarakat jawa.
Yang pertama, yakni ajaran paham atas keberagaman yang
diajarkan oleh nenek moyang terdahulu bangsa Indonesia.
Indonesia ditinjau dari sisi sejarah bangsa, tentunya telah
memperoleh pengaruh besar dari Hindu dan Budha yang telah
masuk terlebih dahulu ke Nusantara sebelum masuk dan
berkembangnya agama Islam. Hindu dan Budha pada waktu itu,
juga dapat hidup berdampingan dan selaras dengan nilai kedamaian
di Nusantara, yang diabadikan dalam semboyan bangsa “Bhinneka
Tunggal Ika”. Bhinneka Tunggal Ika itu sendiri merupakan sebuah
bentuk karya sastra agama yang dikutip dari kitab Sutasoma karya
Mpu Tantular, kalimat tersebut berbunyi: “Rwaneka dhatu
winuwus Buddha Wiswa, Bhinnêki rakwa ring apan kena
parwanosen, Mangka ing Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” Kalimat tersebut
menyatakan bahwasannya ajaran Hindu-Buddha merupakan ajaran
dengan bentuk yang berbeda, tetapi nilai-nilai yang dikandung
dalam ajarannya sama. Artinya tidak terdapat suatu pergolakan
dalam kebenaran. Ajaran yang luhur peninggalan nenek moyang
terdahulu tersebut menanamkan nilai kepada bangsa Indonesia
tentang arti dari sebuah perbedaan dan keberagaman, serta mampu

9
Ashadi Ashadi, “Dakwah Wali Songo Pengaruhnya Terhadap Perkembangan Perubahan Bentuk
Arsitektur Mesjid Di Jawa (Studi Kasus : Mesjid Agung Demak),” Nalars 12, no. 2 (31 Juli 2013): 3,
https://doi.org/10.24853/nalars.12.2.%p.
mengatasi perbedaan tersebut dengan jalan yang damai, yakni
persatuan.
Selanjutnya, berkenaan dengan moral atau etika Jawa yang
terkhususnya memiliki pengaruh terhadap agama Islam. Uniknya,
kebudayaan jawa ini semakin mengukuhkan identitas dan
kekhasannya ketika saling berinteraksi dengan ajaran lain.
Kebudayaan Jawa, ketika mendapatkan masukan baru dari budaya
hindu, budha dan Islam, proses akulturasi yang terjadi didalamnya
makin beragam dan memunculkan ciri khas tersendiri. Contoh
konkritnya adalah slametan, piton-piton, islam kejawen,
merupakan bukti dari itu semua. Hal ini dikarenakan etika jawa
yang berlaku muncul dengan prinsip harmoni (keseimbangan).
Kebahagiaan dalam pandangan Jawa dapat terwujud jika terjadi
keseimbangan dalam 3 hal, yaitu: masyarakat, alam dan adikodrati
(hal-hal diluar kemanusiaan dan alam). 10
3. Kajian Internalisasi Islam Nusantara
Kondisi objektivitas yang mempengaruhi yaitu pemahaman
akan keberagaman bangsa Indonesia dan sumber etika dari jawa
melahirkan pemahaman-pemahaman baru tentang ajaran agama
Islam, yaitu Islam moderat. Moderat ini sendiri adalah bentuk
manifestasi ajaran Islam sebagai agama rahmatan lil „alamin
(rahmat bagi seluruh alam). Pada akhirnya menciptakan sebuah
gagasan tentang moderasi Islam Nusantara dengan karakteristik
nilai sebagai berikut:11
● Tawassuth, atau yang disebut mengambil jalan tengah,
dalam artian tidak berlebihan dalam segala sesuatu

10
Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa (
Jakarta: Gramedia, 1984), 85, http://www.bukabuku.com/browses/ product/9789794030059/etika-
jawa-sebuah-analisa-falsafi-tentang-kebijaksanaan-hidupjawa.html. Lihat juga Musthofa Musthofa,
“Islam Nusantara Dalam Tinjauan Tafsir Izwaji,” An-Nuha : Jurnal Kajian Islam, Pendidikan, Budaya
dan Sosial 5, no. 2 (20 Desember 2018),
http://ejournal.staimadiun.ac.id/index.php/annuha/article/view/267.
11
Afrizal Nur, “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran;(Studi Komparatif Antara Tafsir AlTahrir Wa
At-Tanwir Dan Aisar At-Tafasir),” Jurnal An-Nur 4, no. 2 (2016): 5. Lihat juga Khoirul Mudawinun,
“Integrasi Nilai-Nilai Moderasi pada Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Living Values Education
(LVE),” dalam Proceedings of Annual Conference for Muslim Scholars, 2018, 726.
● Tawazun, memiliki konsep keseimbangan meliputi seluruh
aspek kehidupan
● I’tidal, yakni tegas dalam pelaksanaan hak dan kewajiban
secara proporsional
● Tasamuh, memahami keberagaman atau toleransi
● Musawah atau egaliter dan tidak diskriminatif
● Syura atau musyawarah mufakat
● Ishlah atau reformasi demi kepentingan perkembangan
peradaban yang lebih baik
● Aulawiyah, kemampuan mengidentifikasi perihal-perihal
yang harus didahulukan demi kepentingan bersama
● Tathawwur wa Ibtikar, bersikap dinamis dan inovatif
● Tahadhdhur, menjunjung tinggi etika atau akhlakul
karimah

D. KESIMPULAN DAN SARAN


1. Kesimpulan
Ajaran Islam masuk dan berkembang di Indonesia melalui
jalan perdamaian melalui strategi dan cara-cara seperti pernikahan,
perdagangan, dakwah, pendidikan bahkan adat istiadat yang sudah
ada di masyarakat Nusantara sebelumnya. Ajaran Islam pada
akhirnya mengalami objektifikasi oleh masyarakat Indonesia yang
syarat akan nilai pluralisme pada waktu itu dan juga dipengaruhi
oleh sumber utama nilai-nilai adat berupa “etika”. Sehingga dalam
kehidupan sehari-harinya menjunjung tinggi nilai-nilai moderasi
dan menghindari konflik sosial. Selanjutnya, sifat memahami
keberagaman dan menjaga keharmonisan dalam etika jawa tersebut
tertanam nilai nilai moderasi yakni: Tawassuth, Tawâzun, I‟tidâl,
Tasâmuh, Musâwah, Syûra, Ishlâh, Aulawiyah, Tathawwur wa
Ibtikâr dan Tahadhdhur. Korelasi nilai Islam yang di ada di zaman
nabi dan Islam Nusantara adalah nilai kedamaian dan moderasi.
Sedangkan hal-hal yang berubah dari ajaran-ajaran Islam yang
membawa ideologi-ideologi seperti ekstremisme,
fundamentalisme, radikalisme hal ini semata dipengaruhi oleh
konflik sosial dan berbagai kepentingan individu tertentu atau
keinginan untuk berkuasa bagi beberapa orang, yang terjadi saat
masa dinasti-dinasti Islam dan fenomena bermunculannya aliran
ideologi Islam transnasional hari ini.
2. Saran
Oleh karena hasil penelitian yang masih belum sempurna,
maka diperlukan peninjauan lanjutan dan pengamatan fundamental
aspek-aspek yang mempengaruhi dan terjadi di masyarakat, maka
dirasa penting untuk pembaca memberikan saran terhadap
penelitian ini agar dapat dimaksimalkan.

DAFTAR PUSTAKA

Ashadi, Ashadi. “Dakwah Wali Songo Pengaruhnya Terhadap Perkembangan


Perubahan Bentuk Arsitektur Mesjid Di Jawa (Studi Kasus : Mesjid Agung
Demak).” Nalars 12, no. 2 (31 Juli 2013): 153467. https://
doi.org/10.24853/nalars.12.2.%p.
Fadzil, Siddiq. (2000), “Pertembungan Islam dengan Budaya Peribumi:
Pengalaman Alam Melayu”, Kertas Kerja Seminar Hukum Islam Semasa
III, Akademi Pengajian Islam, Universiti Malaya.
Hidayati, Wiji. Ilmu Kalam : Pengertian, Sejarah, Dan Aliran-Alirannya.
Yogyakarta: Program Studi Manajemen Pendidikan Islam UIN
Yogyakarta, 2017.
Hanafi, Ahmada. Theology Islam. Jakarta: Cv. Bulan Bintang, 1982.
Muzakki, Hawwin, dan Khoirul Mudawinun Nisa. “Basis Transformasi Tradisi
Pesantren Salaf di Era Modern (Kajian Semiotika Barthes dan
Dekonstruksi Derrida).” QALAMUNA: Jurnal Pendidikan, Sosial, dan
Agama 12, no. 1 (2020): 91–105.
Nur, Afrizal. “Konsep Wasathiyah Dalam Al-Quran;(Studi Komparatif Antara
Tafsir Al-Tahrir Wa At-Tanwir Dan Aisar At-Tafasir).” Jurnal An-Nur 4,
no. 2 (2016).
Rahmat, M. Imdadun. Islam Pribumi : Mendialogkan Agama Membaca Realitas.
Jakarta: Erlangga, 2007.
Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
Syafrizal, Achmad. “SEJARAH ISLAM NUSANTARA.” Islamuna: Jurnal Studi
Islam 2, no. 2 (5 Desember 2015): 235–53. https://doi.
org/10.19105/islamuna.v2i2.664.
FORM CURRICULUM VITAE PESERTA
DATA DIRI
Nama Lengkap : Rifky Amalia Annisa
Nama Panggilan : Amalia/Kya
Tempat Tanggal Lahir : Gresik, 09 Oktober
Tahun Angkatan Kuliah / LK 1 : 2019/ LK 1 2021
Perguruan Tinggi : Universitas Brawijaya
Fakultas / Jurusan /Angkatan : FEB/Ekonomi Pembangunan/2019
Asal Komisariat / Cabang : KOMEKBIS/MALANG
Alamat : Jl. Mt. Haryono Gg. 1 No.21
No HP/ Whatssapp : 081217296282
Email : rifkychusdiania@gmail.com
Facebook :-
Instagram : amalia.chuson
Pengalaman Perkaderan/ Pelatihan :
Internal HMI
1. LK 1
2. Sekolah IDEOPOLITORSTRATAK
3. LKK Surabaya
Eksternal HMI
1. LKMM-TD
2. LKMM-TM

Hormat Saya,

Foto 3 X 4

(Rifky Amalia Annisa)

Anda mungkin juga menyukai