Anda di halaman 1dari 16

Nama Kelompok :

1. Yolanda Mergi Dwi Aprilia – 201710360311020


2. Anisa Tri Cahyanti – 201710360311021
3. Azianty Shafira – 201710360311030

Kelas : Demokrasi dan Civil Society – D

Konsep Pretorian dan Hubungan Masyarakat Sipil dan Militer

A. Rumusan Masalah
a) Bagaimana penjelasan mengenai konsep pretorian serta contoh negara yang
menerapkan konsep pretorian?
b) Bagaimana penjelasan mengenai hubungan masyarakat sipil dan militer?
c) Sebutkan dan Jelaskan salah satu study case mengenai hubungan masyarakat
sipil dan militer?

B. Pembahasan
 Konsep Pretorian
Pretorian sendiri dalam dunia perpolitikan memiliki keterkaitan dalam aspek
militer sendiri. Hal ini dikarenakan jika kita melihat dari sejarahnya sendiri, istilah
pretorian mulai diperkenalkan pada saat masa romawi. Dimana pada saat itu,
pretorian ini sendiri merupakan sebuah sebutan bagi pasukan yang berstandar tinggi
untuk melindungi para kaisar dan beserta keluarganya. Hal ini dikarenakan pretorian
sendiri diambil dari bahasa latin yang berarti penjaga.
Dalam prakternya kini, istilah pretorian dihubungkan dengan situasi dimana
dalam sebuah pemerintahan negara, militer memiliki peran atau pun hak untuk terjun
langsung dalam hal perpolitikkan. Dimana yang biasanya kita melihat militer
merupakan sebuah lembaga yang bersifat netral, maka berbeda dalam konsep
pretorian ini sendiri. Dimana militer akan terjun langsung dalam dunia politik apabila
mereka merasa terjadi sebuah kejanggalan atau adanya ketidakpuasan dari pihak
militer terhadap kursi pemerintahan. (Perlmutter 1984)
Seperti contohnya saja kita melihat dari peristiwa di masa Romawi. Dimana
pada saat itu pasukan pretorian sendiri tidak puas terhadap kebijakkan dari kekaisaran
Nero. Dimana pasukan pretorian pada saat itu menganggap jika semasa pemerintahan
kaisar Nero bersifat kejam dan congkak. Oleh sebab itu, pasukan pretorian membunuh
kaisar Nero. Dari sejarah peristiwa tersebutlah, akhirnya istilah pretorian digunakan
kedalam isu politik. Dimana dalam suatu isu tersebut, pihak militer akan mencampuri
urusan politik disuatu negara.
Jika pada umumnya militer suatu negara akan berfokus pada aspek keamanan
dan pertahanan saja, lain halnya dengan konsep pretorian ini. Dimana militier dalam
konsep pretorian ini juga memperhatikan aspek lainnya yang terjadi dalam suatu
negara.
 Jenis – Jenis Pretorian
Dalam pembagiannya sendiri, konsep pretorian dibagi kedalam tiga jenis. 1 Jenis –
jenis dari pretorian antara lain :
a. Pretorian Penengah (Moderator)
Dalam pasukan pretorian tipe penengah atau moderator ini merupakan tipe
pretorian yang tidak memiliki niatan untuk menyingkirkan sistem atau
kebijakan politik yang terjadi. Dalam jenis pretorian penengah ini sendiri
memiliki tujuan yang dimana untuk menghilangkan kebijakan – kebijakan
yang mengganggu dan mencari solusi untuk memperbaiki sistem politik sipil
yang dianggap sudah keluar dari jalurnya. Pasukan pretorian penengah ini
sendiri memilih untuk ikut serta dalam hal perpolitikkan karena dipicu oleh
adanya sistem politik yang berjalan tidak sesuai dengan sistem awalnya.
Sehingga, pasukan pretorian penengah ini memutuskan untuk menyelesaikan
hal tersebut. Dan mereka akan lepas tangan lagi setelah isu tersebut telah
terperbaiki.
Selain itu, pasukan pretorian penengah atau moderator ini juga terdiri dari
kaum pretorian setengah moderator. Dalam sistem kinerjanya sendiri, pasukan
pretorian setengah moderator lebih bertuju pada bentuk pencegahan terhadap
kekuasaan partai politik yang memiliki kecenderungan sebagai musuh dari
pihak militer itu sendiri. sedangkan untuk tipe pretorian moderator lebih
bertuju pada situasi – situasi yang telah dianggap sebagai sebuah ancaman

1
Amos Perlmutter, “Militer dan Politik”, Terjemahan oleh Sahat Simamora, CV Rajawali, Jakarta, 1984.
atau keadaan darurat bagi sebuah negara serta adanya konsensus dari pihak
militer dan masyarakat sipil.
Pasukan pretorian penengah atau moderator ini akan mundur kembali pada
fokus aspek militernya apabila permasalahan yang dianggap sudah selesai dan
tidak membahayakan kedudukan dari pihak militer ini sendiri.
b. Pretorian Penjaga (Guardian)
Tipe yang kedua ini adalah pretorian penjaga atau guardian. Dimana pretorian
pada jenis ini baru akan mengikutcampuri urusan ranah politik suatu negara
apabila militernya merasa jika negara sudah berjalan bertolak belakang dari
prinsip – prinsip dasarnya. Selain itu, pretorian penjaga akan bertindak hanya
pada saat jika mereka merasa negara telah mengkhianati nilai – nilai dasar
negara yang telah menjadi pedoman sebuah negara. Saat pretorian penjaga
turun kedalam ranah politik, mereka akan membuat beberapa tindakan korektif
dan apabila hal tersebut sudah selesai, mereka baru akan kembali ke fungsi
utama mereka sebagai militer. Perubahan yang dilakukan oleh pretorian
penjaga ini terjadi pada tingkatan super struktur yang ada ditingkat politik dan
konstitusional. Oleh sebab itu, mereka berorientasi pada status quo dan
melahirkan syndrom kolektif baru dengan melakukan kudeta baru mereka
kembali ke barak atau militer.
c. Pretorian Penguasa (Rezim Militer)
Pada pretorian jenis ini memiliki sudut pandang berpikir untuk terus
menguasai pemerintahan tanpa kembali pada aspek militer. Dimana nantinya
mereka tidak hanya untuk menguasai pemerintahan, melainkan juga untuk
menguasai rezim, memiliki kendali untuk menguasai kehidupan di aspek
politik, ekonomi, dan sosial dengan membentuk struktur yang dimobilisasi.
Dalam melakukan kudetanya, pretorian penguasa tidak mengatakan kepada
sipil mengenai jangka waktu dari kudeta tersebut. Namun, terdapat beberapa
kemungkinan bagi pretorian tipe ini untuk kembali ke militer. Hal ini sendiri
diakibatkan karena adanya keletihan yang dirasakan oleh militer untuk
mewujudkan tujuan kudetanya dan pudarnya rasa semangat. Biasanya hal ini
terjadi karena mereka menyadari jika opini mengenai pemerintahan yang
efektif sangat sulit untuk direalisasikan.
Pretorian ini sendiri kerap terjadi karena kondisi perpolitikan suatu negara. Berawal
dari adanya ketidakstabilan kondisi politik atau adanya rasa curiga dari pihak militer kepada
pihak pemerintahan. Dan tidak sedikit juga terdapat perwira militer yang memanfaatkan
kondisi politik negaranya untuk mengambil kesempatan agar dapat memiliki kendali terhadap
politik di negaranya. Dari sini kita dapat menilai, jika hubungan antar kursi pemerintahan
haruslah kerap berjalan baik dengan setiap lembaga yang ada dalam negara tersebut. Karena
saat pretorian ini terjadi, negara dapat mengalami beberapa dampak negatif. Dampak negatif
tersebut antara lain adanya gangguan kondufisitas dari negara itu sendiri. Meskipun tidak
sedikit kasus pretorian yang terjadi di dunia ini memiliki dampak yang positif.

 Contoh Negara yang Menerapkan Konsep Pretorian

Contoh negara yang kerap terjadi konsep pretorian ini adalah negara Turki. Dimana
dalam sejarahnya, Turki kerap mengalami kudeta – kudeta militer. Dimana kudeta militer
pertama di Turki terjadi pada tahun 1952 dan kudeta terakhir terjadi pada tahun 2016. 2
Kudeta militer ini sendiri terjadi karena ada rasa ketidakpuasan dari pihak militer terhadap
kinerja pemerintah. Dari kesekian kudeta militer yang terjadi di Turki, kudeta militer yang
terjadi pada tahun 1960, 1980, dan 2016 memiliki pola kudeta yang sama.3

Dalam ketiga kudeta militer tersebut, tidak keseluruhan anggota militer setuju
terhadap aksi kudeta ini. Dalam pasukan militer terjadi perpecahan faksi dan menyebabkan
kekuatan militer yang turut serta dalam kudeta tidaklah 100%. Pada ketiga kudeta tersebut
yang berbeda hanyalah terletak direspon masyarakat Turki. Pada tahun 1960, masyarakat
Turki tidak melakukan perlawanan berbeda dengan yang terjadi pada tahun 2016.

Salah satu bentuk pretorian yang kami bahas disini yaitu, peristiwa kudeta militer di
Turki pada tahun 2016. Seperti yang kita ketahui, aksi kudeta militer di Turki bukanlah hal
yang baru lagi. Negara Turki sendiri merupakan salah satu negara yang menggunakan konsep
pretorian. Dimana pihak kemiliteran Turki dapat sewaktu – waktu turun kepihak politik dan
pemerintahan Turki. Seperti kasus kudeta militer yang terjadi pada tahun 2016. Berbeda pada
kudeta militer sebelumnya, masyarakat Turki secara kompak menunjukkan penolakan. Dan
ini menjadi faktor utama penyebab gagalnya kudeta militer ini.

2
VOA Indonesia, “Sejarah Kudeta Militer di Turki”, diakses dari https://www.voaindonesia.com/a/kronologi-
kudeta-militer-di-turki/3420473.html, diakses pada Senin, 28 Oktober 2019 pada pukul 12.49
3
Aulia Bintang Pratama, “Pengamat Sebut Pola Kudeta Turki Selalu Sama”, diakses dari
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160716151954-20-145132/pengamat-sebut-pola-kudeta-turki-
selalu-sama, diakses pada Senin, 28 Oktober 2019 pada pukul 13.50
Kudeta militer yang terjadi pada tahun 2016 ini bertujuan untuk menggulingkan
Presiden Erdogan. Dimana kelompok pemberontak berusaha menyandra Presiden Erdogan
pada saat berlibur disalah satu resor yang bertempat di Kepulauan Aegea. Tapi misi ini gagal
dikarenakan Presiden Erdogan telah pergi meninggalkan Kepulauan Aegea 15 menit sebelum
penyanderaan terjadi. Dan kudeta ini digagalkan oleh masyarakat dan pihak militer yang setia
pada Presiden Erdogan.

Kudeta militer ini sendiri terjadi masih belum jelas mengenai alasan dan latar
belakangnya. Akan tetapi kudeta ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor seperti latar
belakang Presiden Erdogen. Presiden Erdogen memiliki sejarah dengan menjadi anggota
organisasi Ikhwanul Muslimin yang lahir di wilayah Mesir. Oleh sebab itu, semasa
kepemimpinan Ikhwanul Muslimin ini memiliki kesamaan dengan sifat organisasi Ikhwanul
Muslimin. Dimana rezim Erdogen ini dikenal dengan kebijakannya yang tidak menyukai
kebebasan pers, hak individu, dan adanya pemisahan antara agama dengan negara. Dan dari
sini, dapat dikatan masa rezim Presiden Erdogen ini bersifat otoriter.

Dari sini, militer menilai prinsip Presiden Erdogen dinilai berlawanan belakang
dengan prinsip Kemal Ataturk yang merupakan pendiri negara Turki. Dimana Kemal Ataturk
sendiri mengutamakan prinsip negara sekularisme demokratis dan menjunjung tinggi hak
kebebasan individu, dan kebebasan pendapat. Selain adanya perbedaan visi dari kedua tokoh
ini, terdapat pula isu – isu korupsi dikursi pemerintah. Dari sinilah pihak militer merasa
kecewa dengan rezim kepemerintahan Presiden Erdogen dan berusaha menggulingkannya.

Dari sini kita dapat mengelompokkan konsep pretorian yang terjadi di Turki
merupakan sebagai jenis pretoria penguasa. Dimana militer disini tidak hanya sekedar untuk
menyelesaikan permasalahan yang ada. Hal ini dikarenakan kudeta militer yang terjadi di
Turki bertujuan juga untuk menguasai pemerintahan. Dan memperhatikan keseluruhan aspek
yang ada di pemerintahan.

Karena kudeta militer ini gagal, akhirnya berdampak pada para pemberontak militer
ini. Terdapat sekitar 104 mantan prajurit militer yang dijatuhi hukuman seumur hidup yan
berat. Selain itu terdapat korban jiwa sebanyak 260 orang dan terdapat 2.200 orang yang
mengalami luka – luka. Dan dari kudeta tersebut, pemerintah juga menangkap sekitar 50.000
orang dan memecat lebih dari 1.500 orang pegawai negeri. Bahkan Presiden Erdogen
berencana untuk memberlakukan kembali hukuman mati bagi para dalang kudeta yang telah
dihapuskan sejak tahun 2004. 4

 Hubungan Masyarakat Sipil dan Militer

Pada masa perang dingin, ideologi politik dunia mulai memperbolehkan adanya
keterlibatan militer dalam politik yang berakibat pada mendominasi nya militer dalam
pengambilan kekuasaan di banyak negara di dunia. Tetapi, pasca-perang dingin peran militer
secara perlahan mulai menurun dan mulai muncul seruan bahwa militer harus kembali ke
barat. Hal ini dapat kita lihat di berbagai negara di Amerika Latin seperti contohnya Brasil,
Argentina, dan Chili. Lalu kudeta militer berevolusi dan berkembang menjadi sebuah
5
demokrasi. Tingkat kepercayaan antara elit sipil dan militer sangatlah penting, definisi
supremasi sipil membuat kesan tidak adanya keseimbangan antara sipil dan militer. Padahal
definisi kontrol sipil / supremasi sipil sulit diterapkan , faktor keseimbangan antara instrumen
militer dengan non – militer perlu digaris bawahi agar tidak ada kekuatan dominan, hubungan
antara elit militer dan elit sipil, hubungan antar keduanya perlu difokuskan agar
menghasilkan keputusan tentang keamanan nasional yang baik.6 Dinamika hubungan sipil-
militer bisa diartikan dalam pengertiannya yang lebih sederhana dan luas sebagai hubungan
antara masyarakat dengan lembaga-lembaga militer, di mana masyarakat lebih melihat ada
harapan dan peluang militer akan bertindak untuk melindungi kepentingan publik/
masyarakat terhadap serangan dari luar. 7The soldier and the state memiliki fokus bahwa
hubungan sipil – militer adalah hubungan antara korps perwira militer dengan negara,
sedangkan pusat utama dari hubungan sipil militer adalah konsep keperwiraan sebagai fokus
profesinya.8

Hubungan sipil-militer sejak dicetuskan oleh negara-negara Barat dengan konsep


reformasi sektor keamanan (SSR) yang sekarang menjadi manajemen sektor keamanan
(SSM), maka perbincangan terkait hubungan sipil-militer semakin gencar bahkan di
Indonesia semenjak reformasi bergulir terlihat jelas bagaimana ingin diterapkan lebih cepat
4
BBC News, “Kudeta Turki 2016 : 104 Bekas Prajurit Divonis Penjara Seumur Hidup”, diakses dari
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-44206395, diakses pada Minggu, 27 Oktober 2019 pada pukul
21.38
5
Sundari, Srii,Kerjasama Sipil – Militer Dalam Mendukung Sistem Pertahanan Negara, Jakarta:TeraKata,
2017,Hal.39
6
Ibid,Hal. 38. Diakses Pada 1 November 2019
7
Ibid ,Hal.40. Diakses Pada 1 November 2019
8
Supriyatno, Makmur, Tentang Ilmu Pertahanan, Jakarta:Yayasan Pustaka Obor Indonesia,2014,Hal.111
tanpa pertimbangan budaya dan lingkungan internal atau eksternal yang meningkatkan sektor
pertahanan / TNI pada saat itu, yaitu ingin segera menggunakan militer di bawah pada saat
itu pihak sipil (mengambil) tidak siap untuk mengambil tanggung jawab. Namun demikian,
pada saat ini telah banyak berubah dan memiliki banyak kemajuan, perlu adanya kesiapan
kedua belah pihak untuk sama-sama menerima diri sendiri. 9Model idealis dalam hubungan
antara sipil dan militer disebutkan bahwa kepala demokratis di tetapkan kebijakannya dan
angkatan bersenjata bertugas untuk mengkoordinasi, proses – proses ini disebut sebagai
starategi yang berulang dimana untuk tercapainya starategi tersebut diperlukan kompromi dan
menghasilkan kebijakan dan dapat diimplementasikan. Model pemerintahan sipil liberal juga
didasarkan pada prinsip pihak sipil harus menghormati pihak militer. Di dalam tindakan dan
pelaksanaannya, pemerintah menghargai kedudukan, kepakaran, dan netralitas pihak militer.
Pemerintah tidak merendahkan peran para perwira militer ataupun mencampuri urusan
profesional militer dan memasukkan pertimbangan politik ke dalam angkatan bersenjata,
seperti menaikkan pangkat perwira karena kesetiaan mereka di bidang politik atau melibatkan
militer untuk kepentingan politik domestik Jika pihak sipil menghargai keabsahan militer,
maka semakin kecil alasan militer untuk melakukan intervensi.10 Pembedaan antara sipil dan
militer dalam pemahaman konvensional kemudian menjadi penting karena dalam hukum
perang yang konvensional "sipil" dianggap sebagai "nonkombatan" yang umum dimengerti
adalah orang yang tidak ikut ambil bagian dalam peperangan militer. Menurut hukum perang
konvensional, "sipil" adalah orang yang bukan anggota angkatan dari negara atau milisi dan
tidak ikut ambil bagian dalam pertempuran permusuhan di mana saja. Selanjutnya masalah
hubungan sipil - militer dalam pertahanan rakyat semesta merupakan hal yang sangat penting
bagi bangsa karena menyangkut besar terhadap ketahanan nasionalnya.11

Dalam perspektif barat, hubungan sipil-militer ditandai dengan kontrol dan supremasi
sipil. Posisi militer bukan hanya tantangan, tetapi juga dihalangi untuk mengembangkan
perebutan kekuasaan politik. Dengan cara demikian, sistem politik Barat berhasil
mempertahankan level "kultur sipil", sementara anggota-anggota militer tidak pernah
diharapkan atau diorietasikan melakukan intervensi dalam politik pemilihan. Perlmutter
(2000) mengkaji tentang politik dan militer, hubungan khusus sipil-militer dan prajurit

9
Thomas C Bruneau, Florina Cristiana Matei,Journal “Towards a New Conceptualization of Democratization
and Civil – Military Relations” Vol.15 No.5. Diakses pada 01 November 2019
10
Suryokusumo,Suryanto,Konsep sistem Pertahanan Non Militer: Suatu Sistem Pertahanan Komplemen,
Pustaka Obor Indonesia,2016,Hal.30
11
Sirry A, Munim,Membendung Militansi Agama : Iman dan Politik Dalam Masyarakat Modern, Erlangga
2003,Hal.107
12
profesional. Dalam menjelaskan hubungan sipil-militer dan korporatisme militer,
Perlmutter menggunakan teori fusimist (pembauran atau percampuran) yang menghubungkan
tentara dengan birokrasi. Menurut nya, militer modern adalah korporasi dalam hal
eksklusivitas, birokrasi dalam hal hierarki, dan profesional dalam hal semangat militer.
Perlmutter juga menyatakan, pro- fesionalisme militer akan memiliki kebijakan politik.
Karena dengan demikian, militer profesional condong untuk campur tangan dalam politik.
Bagi Perlmutter, profesionalisme militer bukan aspek yang positif bagi hubungan sipil-
militer, dan bukan pula aspek positif bagi kastabilan politik. Hubungan sipil-militer lebih
tergantung pada kekuatan internal pemerintahan sipil. Hanya dinamika hubungan antara
perwira profesional dan pemerintahlah yang menentukan ada-tidaknya campur tangan militer.
Korporatisme militer menurut Perlmutter, selalu bermuka dua Profesionalisme dan
eksklusivitas militer sering merupakan penghalang utama bagi perkembangan politik dan
politik yang stabil, sehingga membuat militer mendukung politik. Namun, Perlmutter juga
menyatakan bahwa korporatisme sering juga memberikan persetujuan kepada orde politik.
Menurutnya, hubungan politik dan militer ditentukan oleh baik dan buruknya hubungan
perwira militer dengan pemerintah , ia juga menyatakan bahwa profesionalisme dan
eksklusivisme militer merupakan penghalang utama bagi perkembangan politik dan orde
politik yang stabil.

Profesionalisme militer yang meningkatkan pembangunan di negara-negara Barat


13
memiliki pengaruh dalam hubungan nya dengan kekuatan sipil. Pengambil alihan militer
(pretorianisme) untuk menggantikan pemerintahan sipil telah disetujui tidak menjadi anggota
dasar sama sekali. Supremasi sipil telah semakin kokoh dan terarah militer lebih diarahkan
pada penguasaan teknis, perluasan ilmu, teknologi dan keterampilan militer. Hal itu sangat
kontras dengan negara-berkembang yang mendominasi dominasi militer dalam bidang
politik. Perban- dingan hubungan militer-sipil antara negara maju dengan Dunia Ketiga yang
dilakukan Bilver Singh membuktikan perbedaaan itu ia mengatakan bahwa : “Sementara
Barat nampak telah mencapai tingkat tertentu dalam hubungan sipil militer di mana peran
militer jelas ditempatkan di bawah otoritas sipil di dalam beberapa bidang kebijakan nasional
tentang militer di Barat telah memainkan peran lebih besar dengan demikian membantu
dengan Dunia Ketiga. Kecenderungan di Dunia Ketiga sangat bertolak belakang, di mana
pihak-pihak militer semakin terliver dalam politik melalui bermacam-macam bentuk, dari

12
Fattah, Abdoel,Demiliterisasi Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,Lkis Pelangi Aksara, 2005,
Hal.35
13
Sirait, Saut Hamonangan, Politik Kristen Di Indonesia,Jakarta:Gunung Mulia 2006, hal.216
dominasi yang terang-terangan melalui kudeta, sampai pemilihan sukarela per orang-orang
militer ke dalam-pemilihan posisi-posisi kunci aparat politik pemerintahan.”

Dalam batasannya, hubungan sipil – militer diartikan sebagai interaksi dan hubungan
timbal balik antara angkatan perang dan komponen dalam masyarakat dimana militer tersebut
berfungsi. Menurut, Dr. Eliot A Cohen terdapat tiga tingkat dalam hubungan sipil dengan
militer. Yang pertama adalah hubungan militer dengan masyarakat secara keseluruhan. Yang
kedua, hubungan lembaga militer dengan lembaga yang lain baik lembaga pemerintahan
maupun swasta. Dan yang ketiga adalah hubungan antar perwira militer senior dengan politisi
dan negarawan. 14Berkonsentrasi pada cara dimana institusi militer dapat mewujudkan tujuan
perusahannya, Finer membedakan beberapa jenis hubungan sipil – militer. Kategori pertama,
ia menejlaskan bahwa militer menggunakan pengaruh konstitusional nya pada warga sipil
pemerintah seperti kelompok penekan untuk mencapai tujuan seperti peningkatan anggaran
militer. Lalu ia juga menggunakan ancaman / sanksi untuk mencapai tujuan serupa. Ia juga
menggusur rezim sipil , lalu memutuskan hubungan dengan sipil dan mengambil alih
15
pemerintahan itu sendiri. Tetapi, Lucham berbeda pendapat dengan mengemukakan model
lainnya yaitu adanya tipologi hubungan sipil militer dimana terdapat 3 faktor. Pertama,
kekuatan atau kelemahan insititusi sipil, kekuatan atau kelemahan intitusi militer dan sumber
daya koersif, politis dan organisasional , dan sifat batas anatara kemapanan militer dengan
lingkungan sosial politiknya. Lucham mengklasifikan tipologi ini, menurutnya hubungan
sipil – militer berdasarkan pada peran yang dimiliki, seperti contohnya intitusi militer yang
berperan dalam kehidupan politik suatu negara. Kedua, model harus mempertimbangkan efek
dari sosial domestik, ekonomi, dan lingkungan politik dimana adanya kehidupan dan fungsi
institusi militer. Ketiga, peran faktor internasional harus lebih khusus memperhatikan
pengaruh yang dilakukan asing pada kekuatan militer dan domestik negara. Untuk
mewujudkan kerjasama sipil-militer untuk kepentingan bersama sebagai bagian dari fungsi
negara (state security), dalam menyediakan sistem pertahanan yang tangguh sebagai barang
16
public (public goods) harus dapat dirasakan oleh seluruh warga negara. Dalam pemahaman
Pertahanan negara sebagai barang publik, pemerintah senantiasa dituntut untuk menjaga
keseimbangan antara kebebasan (liberty) dan keamanan (security). Dengan kata lain,

14
Gerassimos Karabelias,Journal ”Civil Military Relations: A Comparative Analysis Of The Role Of the Military In
The Political Transformation Of Post War Turkey And Greece: 1980 – 1995”, Report To NATO, 1998. Diakses
Pada 01 November 2019.
15
Ibid,hal.15. Diakses Pada 1 November 2019
16
Sundari, Srii,Kerjasama Sipil – Militer Dalam Mendukung Sistem Pertahanan Negara, Jakarta:TeraKata,
2017,hal. 34
kerjasama sipil-militer harus dilihat dalam konteks kerjasama secara keseluruhan
(comprehensive security) keseimbangan antara kepentingan keamanan negara (state security)
di satu pihak dan keamanan insani (human security) di lain pihak sebagai aktivitas milik
bersama baik dalam perspektif organisasi maupun administrasi publik, fungsi kolaboratif ini
memiliki beberapa kesamaan yang didapat yaitu adanya aktivitas stakeholders anggota
organisasi untuk saling membantu dan saling memahami aktivitas masing- masing serta
adanya kerjasama yang dilakukan antar organisasi untuk mencapai tujuan bersama.

 Study Case (Hubungan Sipil- Militer di Chile Pasca Pinochet


(1990-2006))

Hubungan sipil dan militer diwilayah Chile, diawali dengan terjadinya peristiwa
kudeta militer pada tahun 1973, untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Alleanda yang
memimpin secara otoriter. Bukan hanya itu dimasa kepemimpinan Alleanda, Chile
mengalami penurunan tajam disektor perekonomian negara, karena banyaknya pinjaman luar
negeri yang sulit untuk dibayarkan. Selain itu Allenda juga memiliki kecondongan
pemerintahan yang berpedoman pada Uni Soviet, Eropa Timur dan Kuba, yang menganut
komunisme. Hal ini menimbulkan perlawanan dari kelompok non-sosialis di Chile, karena
dianggap sudah tidak relevan dengan pedoman dasar Chile. Melihat ketidak stabilan tersebut,
secara terbuka Mahkamah Agung Chile, melayangkan protes terhadap Presiden Alleanda,
dengan menuduh bahwa Presisden telah melangar peraturan konstitusi dan hukum yang telah
berlaku di Chile. Bersamaan dengan Dikeluarkannya protes terbuka tersebut pada tanggal 11
september 1973, militer yang dipimpin oleh Jendral Pinochet mengerahkan seluruh kekuatan
Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), Angkatan Udara (AU), dan Kepolosian
Cabinores untuk melakukan kudeta besar-besaran terhadap Pemerintahan Alleande. Kudeta
ini dilakukan dengan cara menduduki Istana Kepresiden Chile, dan dalam waktu 24 jam
Pemerintahan Chile jatuh ditangan militer. Dengan ditandai tewasnya Alleanda yang menjadi
korban bom yang sengaja diledakan di Istana Kepresidenan.

Terlepas dari dari itu, Militer juga memiliki kepentingan untuk lembaganya sendiri
atau yang disebut dengan Coorperate Interest. Salah satu tokoh dunia Bengrit Abraham
bahwa militer sama dengan lembaga lain, yang menginkan tujuannya dan visi-misnya harus
diwujudkan dan mendapatkan tempat dipemerintahan. Amos Perlmutter juga berpandangan
bahwa pada dasrnya militer juga seperti lembaga lainnya, militer melakukan intervensi
karena ingin mempertahankan kedaulatan lembaganya, karena pada dasarnya militer berusaha
agar lembaganya tidak dicampuri pihak luar, dan apabila kepentingannya lembaga terancam
maka militer berhak untuk menyerang.Pada intinya militer memiliki tujuan untuk
mempertahankan kemampuan untuk memaksa pemerintah, dan menghadapi musuh dari
eksternal dan internal negara. Selain itu untuk mengontrol segala anggaran, peralatan dan
apapun, segala yang berurusan dengan lembaga militer secara independen, tanpa ada paksaan
atau intervensi dari pemerintah. Alasan itu menjadi kunci dasar bagaimana hubungan sipil
dan militer terbentuk. Dibawah kepemimpinan Jendral Pinocher, mengemukakan lima interst
cooperate. Hak prerogative militer Chile,otonomi lembaga militer, mempertahankan amnesty
law 1978, pengusutan pelanggaran HAM sebagai isu yang low profile, dan yang terahir
Agusto Pinochet dengan militer. Hal ini dianggap sebagai penghambat supremasi sipil
Chile.17

 Hubungan sipil- militer Era Patricio Aylwin (1990-1994)


Pada masa kepemimpinan Patrico Aywlin membuat kebijakan non-
cooperation, yaitu sebuah strategi yang tidak mengikut sertakan militer dalam
pengambilan kebijakan dipemerintahan. Sipil menuntut agar militer untuk fokus pada
profesionalitas terhadap areanya saja, dan tidak masuk kedalam ranah sipil. Hal ini
menimbulkan sebuah perlawanan dari militer dengan mengadakan gerakan Ejercicio
de Enlace dan Boinazo. Hal ini juga dilakukan karena pemerintahan Aywlin
mengadakan investigasi kepada anak dari Pinochet, tentang penjualan senjata kepada
Kroasia dan hasil dari penjualan tersebut masuk kedalam pendapatan pribadi dari
anak Pinochet, kasus ini juga dikenal dengan kasus cek. Sebelum melakukan
penyerangan tersebut, Pinochet mengirimkan utusanya untuk menemui pihak menteri
keamanan untuk mendiskusikan tentang permasalahan cek yang melibatkan anaknya
tersebut. Perundingan tersebut tidak memiliki titik temu, hingga menteri pertahanan
mengirimkan kembali utusan Pinochet untuk mengabarkan bahwa Pinochet harus
segara turun dari jabatannya sebagai jendral tinggi militer di Chile.
Mendapatkan tanggapan seperti secara langsung Pinochet mengerahkan
kekuatan militer AD (Angkatan Darat) untuk memberontak melawan pemerintahan
Aywlin, dan berdampaknya pada kekacuan di Chile pada tahun tersebut. Menanggapi
hal tersebut Jose Antonio Vierra Gallo sebagai presiden house of deputi, mengambil
kebijakan untuk setuju agar tidak dilanjutkan kembali pengusutan kasus cek yang

17
David Pion Berlin, “Tipping the Civil-Military Balance : Institutions and Human Rights Policy in Democratic
Argentina and Chile”. SAGE Journal, Comparative Political Studies. Vol.31 No.5, 1998. Diakses pada 01
November 2019
dilakukukan oleh anak Pinochet, tetapi pada realitanya pengusutan tersebut tetap
dilakukan dan lebih mendalam lagi, hingga menguak permasalahan pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh Pinochet, dengan harapan dewan keamanan nasional Chile
dapat menjatuhkan sanksi terhadap Pinochet. Pengusutan tersebut ditanggapi oleh
Kononel Juan Emilio Cheyre yang menjabat sebagai direktur akademi perang Chile,
bahwa militer akan tetap setiap dan membela jendral Poinchet, dan apapila sikap dan
pengaruh dari pemerintah tetap berlangsung, maka militer tidak segan-segan untuk
mengancaman keamanan nasional Chile.
Hingga pada tanggal 28 mei 1993, militer melakukan gerakan Boinazo, dan
mengumumkan keadaan siaga di Chile. Mendengar seruan tersebut pihak pemerintah
sipil memberikan penawaran kepada militer untuk menghentikan gerakan yang
mereka lakukan, kesempatan itu dimanfaatkan oleh pihak dengan memberikan dua
perintah. Pertama, penghentian pengusutan dan ivestigasi tengtang masalah cek dan
pelanggaran HAM yang dilakukan, dan perintah terahir yang diberikan militer kepada
pemerintah adalah, agar Menteri Pertahan mengundurkan diri dari jabatanya.
Pemerintah merespon perintah tersebut, dengan mengabulkan penawaran dari pihak
militer kecuali untuk pengunduran diri menteri pertahan Chile. 18
 Era Edu Ardo Frei (1994-2000)
Pada masa kepresiden Edu, pemerintah mengeluarkan kebijakan engagement
yaitu mengikut sertakan militer dalam proses pengambilan dan pembuatan kebijakan.
Edu percaya apabila pemerintah sipil berkerjasama dengan militer, maka akan
terbentuk sebuah hubungan yang harmonis antar dua lembaga ini. Edu memberikan
peran kepada militer dan sipil seperti porsinya masing-masing. Militer memiliki peran
untuk menjadi partisipan politik Chile dan juga Militer harus meningkatkan
profesionalitas kelembagaan, sedangkan sipil diperbolehkan untuk mengambil peran
dalam pertahanan negara. Selain itu Badan Keamanan Nasional (COSENA)
mendapatkan kewenangan untuk mengumumkan keadaan darurat di Chile yang
sebelumnya dipegang oleh Presiden. Pada era Edu, militer mendapatkan tempat yang
sangat tinggi dipemerintahan Chile. Pemeberian kewenangan tersebut tidak
menjamin, bahwa konflik antara sipil dan militer akan berahir.
Konflik antara sipil dan militer kembali muncul, dipicu pemberian hukuam
terhadap Manuel dan Perdo yang merupakan anggota militer atas kasus pembunuhan

18
Ibid hal 645. Diakses pada 01 November 2019.
mantan duta besar Amerika Serikat. Menanggapi hal tersebut militer meminta
pemerintah sipil untuk memberikan hak istimewa yaitu pengadilan kepada dua orang
tersebut dilakukan secara militer, permintaan tersebut ditolak oleh pemerintah, dan
berahir pecahnya demontrasi dari kalangan militer dan menimbulkan kekacauan yang
sangat parah di Chile. Melihat permasalahan ini, Presiden Edu mengambil sebuah
sikap agar demontrasi tersebut tidak dilanjutkan. Sikap tersebut dicerminkan dengan
perintah presiden agar pihk sipil berhenti untuk mengusut kasus cek dan HAM,
dengan konsekuensi militer menghentikan demonstrasi tersebut. Sikap tersebut
disambut baik oleh militer yang berdampak pada penarikan pasukan yang membuat
keadaan Chile menjadi kondusif kembali, walaupun konflik tersebut dapat tenang
tetapi disini pemerintah sipil gagal untuk mengatur power dari militer.
Peristiwa demonstrasi ini juga sebagai penanda berahirnya kekuasaan militer
Pinochet, dan digantikan oleh Jendral Ricardo Izureta yang memiliki karakter
berbeda dari pendahulunya Pinochet. Izureta berpandangan bahwa kasus pelanggaran
HAM akan merusak citra dari militer sehingga harus diselesaikan secara tuntas.
Penyelesaian tersebut dilaksakan dengan Izureta membuat sebuah pertemuan Mesa de
Dialogo pada tahun 2000. Pertemuan ini menyatukan pihak sipil dan pihak militer
untuk membahas permasalahan pelanggaran HAM, dan diperoleh hasil militer akan
menyelesaikan dan menguak kembali kasus pelanggaran HAM pada masa Pinochet. 19
 Era Ricardo Lagos (2000-2006)
Pada masa Ricardo, pemerintahan sipil sudah tidak mencampuri urusan
kemiliteran, selain itu Ricardo juga memiliki hubungan baik dengan jendral Izureta,
yang berdampak pada tidak adanya kecenderungan untuk melawan pemerintah
sebaliknya Jendral Izureta ingin membangun militer yang bersih dari permasalahan
HAM. Ricardo juga mengamandemen konstitusi Chile pada tahun 2005 dengan
mengembalikan kekuatan atau supremasi dari pihak sipil. Seperti Presiden
mendapatkan wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan jendral militer yang
berkuasa, serta presiden mendaptakan wewenangnya kembali untuk mengumumkan
keadaan darurat negara yang sebelumnya dipegang oleh pihak militer.

Puncak kesuksesan dari Presiden Ricardo adalah ketika militer dan sipil merumuskan
peran dan fokus dari mereka masing. Sipil berfokus pada urusan negara dan militer berfokus

19
Gregory Weeks, “Democratic Instituniolism And Civil-Military Relations: The Case of Chile” Journal of Third
World Studies, Vol. XVIII No.01, 2001. Diakses pada 01 November 2019.
pada pengamanan eksternal nasional terhadap ancaman dari dunia Internasional. Pemerintah
juga memberikan dukungan profesionalitas kepada militer dengan menggatikan peralatan-
peralatan militer yang telah using dengan yang baru dan lebih canggih, dengan tujuan agar
militer semakin meningkatkan keahlian pengamanannya. Kesuksesan Ricardo tidak hanya
sampai disitu, pasukan militer dari Chile dipilih oleh dewan keamanan PBB untuk menjadi
salah satu dari pasukan penjaga perdamaian utusan PBB diwilayah konflik. 20

C. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kita ambil kesimpulan jika konsep Pretorian sendiri
merupakan sebuah konsep yang didalamnya membahas mengenai jenis – jenis bentuk kudeta
yang dilakukan oleh militer terhadap pemerintah. Yang dimana hal ini dilakukan apabila
militer memiliki rasa ketidakpuasaan terhadap kinerja pemerintah. Sedangkan dalam konsep
hubungan sipil militer ini terjadi karena 3 faktor. Pertama, kekuatan atau kelemahan insititusi
sipil dan kekuatan atau kelemahan intitusi militer juga sumber daya koersif, politis dan
organisasional , dan sifat batas antara kemapanan militer dengan lingkungan sosial
politiknya. hubungan sipil – militer ada berdasarkan pada peran yang dimiliki, seperti
contohnya intitusi militer yang berperan dalam kehidupan politik suatu negara. Kedua, model
harus mempertimbangkan efek dari sosial domestik, ekonomi, dan lingkungan politik dimana
adanya kehidupan dan fungsi institusi militer. Ketiga, peran faktor internasional harus lebih
khusus memperhatikan pengaruh yang dilakukan asing pada kekuatan militer dan domestik
negara. Untuk mewujudkan kerjasama sipil-militer dibutuhkan kepentingan bersama sebagai
bagian dari fungsi negara (state security), dalam menyediakan sistem pertahanan yang baik
sebagai barang public (public goods) harus dapat dirasakan oleh seluruh warga negara.
Dalam pemahaman Pertahanan negara sebagai public goods, pemerintah senantiasa dituntut
untuk menjaga keseimbangan antara kebebasan (liberty) dan keamanan (security). Dengan
kata lain, kerjasama sipil-militer harus dilihat dalam konteks kerjasama secara keseluruhan
(comprehensive security) keseimbangan antara kepentingan keamanan negara (state security)
di satu pihak dan keamanan insani (human security) di lain pihak sebagai aktivitas milik
bersama baik dalam perspektif organisasi maupun administrasi publik, fungsi kolaboratif ini
memiliki beberapa kesamaan yang didapat yaitu adanya aktivitas stakeholders anggota

20
Marcos Robledo, “Global Politic of Defense Reform”, Part II (Case Studies and Conclusion) “Democratic
Consolidation in Chilean Civil- Military Relations :1990-2005”, PLAGRAVE MACMILLAN, New York 2018, hal
107-108. Diakses pada 2019
organisasi untuk saling membantu dan saling memahami aktivitas masing- masing serta
adanya kerjasama yang dilakukan antar organisasi untuk mencapai tujuan bersama.

Dan jika kita menghubungkannya dengan study case yang kita ambil, dari kasus di
Chile, kita dapat melihat bahwa Hubungan Sipil-Militer memerlukan waktu atau proses yang
sangat panjang, yang pada awalnya terjalin hubungan yang buruk menjadi jalinan hubungan
yang baik, yang menempatkan sipil dan militer pada wilayah profesionalnya masing-masing.
Proses ini diharapkan dapat menjadi contoh bagi negara-negara yang pernah diperintah oleh
Militer, bahwa terjadinya hubungan yang baik antara Sipil dan Militer bukan suatu hal yang
mustahil terjadi, asalkan pemerintah sipil mampu membuat strategi yang menempatkan
Militer untuk kembali kepada tugas yang seharusnya mereka naungi.
Bibliography

Perlmutter, Amos. Militer dan Politik. Jakarta: CV Rajawali, 1984.

Sundari, Srii. Kerjasama Sipil – Militer Dalam Mendukung Sistem Pertahanan Negara,
Jakarta: TeraKata, 2017.

Sirait, Saut Hamonangan. Politik Kristen Di Indonesia,Jakarta: Gunung Mulia, 2006.

Suryokusumo,Suryanto. Konsep sistem Pertahanan Non Militer: Suatu Sistem Pertahanan


Komplemen, Pustaka Obor Indonesia,2016.

Sirry A, Munim. Membendung Militansi Agama : Iman dan Politik Dalam Masyarakat
Modern, Erlangga 2003.

Fattah, Abdoel. Demiliterisasi Tentara : Pasang Surut Politik Militer 1945-2004,Lkis Pelangi
Aksara, 2005.
Supriyatno, Makmur. Tentang Ilmu Pertahanan, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia,2014.

Pion-berlin, D., & Arceneaux, C. (1998). Comparative Political Studies.


https://doi.org/10.1177/0010414098031005004

Weeks, B. Y. G. (2001). CIVIL-MILITARY RELATIONS : THE CASE OF CHILE. XVIII(1),


65–86.

Marcos-Robledo, (2018). Global Politic of Defense Reform. PLAGRAVE MACMILLAN,


New York.

Anda mungkin juga menyukai