Anda di halaman 1dari 15

POLITIK HUKUM ISLAM PADA ERA KEMERDEKAAN

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah :

‘’ Politik Hukum Islam Di Indonesia ‘’

Dosen Pengampu :

Wahyu Saputra, S. H.I, M.H.LI.

Disusun oleh :

Kelompok 05/ Kelas SA.A

1. Dian Candra (210117017)


2. Karisma Desy Insiana (210117015)
3. Yudi Widarwanto (210117018)

JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH 5/A

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PONOROGO

2019
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI......................................................................................................................1

BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................................2
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................2

BAB II: LANDASAN TEORI

A. Politik Hukum Islam dalam Perumusan Pancasila..................................................3


B. Sejarah Pembentukan UUD 1945............................................................................5
C. Dinamika bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan di Indonesia...........................7

BAB III: ANALISIS .........................................................................................................11

BAB IV: PENUTUP..........................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................14

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama dan politik tidak dapat dipisahkan. Menurut pemahaman Islam, Al-
Quran memperlakukan kehidupan manusia sebagai suatu keseluruhan yang organik.
Artinya, semua bidang kehidupan manusia harus dibimbing oleh petunjuk-petunjuk
yang bersumber dari Al-Quran, termasuk di dalamnya adalah kehidupan politik.
Karena itu perkembangan politik di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari pergulatan
politik Islam di Indonesia.
politik Islam di Indonesia mengalami pasang dan surut Pada masa
kemerdekaan, Karena terdapat berbagai macam kepercayaan pada setiap masyarakat.
Suatu aturan harus disamakan agar tidak terdapat perselisihan. Dalam suatu
pembuatan aturan disebuah negara pasti tentunya diarahkan pada apakah aturan itu
cocok diterapkan ataukah tidak. Karena suatu hukum digunakan sebagai pengendali
masyarakat dan sebagai sarana rekayasa masyarakat. Maka, dari sini politik hukum
Islam yang ada di Indonesia tedapat perkembangan dari masa ke masa. Berangkat dari
itu penulis ingin mengupas bagaimana sesungguhnya dinamika politik Islam di
Indonesia pada masa kemerdekaan?
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Politik Hukum Islam Dalam Perumusan Pancasila ?
2. Bagaimana Sejarah Pembentukan UUD 1945 ?
3. Bagaimana Dinamika Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Politik Hukum Islam Dalam Perumusan Pancasila.
2. Untuk Mengetahui Sejarah Pembentukan UUD 1945.
3. Untuk Mengetahui Dinamika Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan di
Indonesia.

2
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Politik Hukum Islam dalam Perumusan Pancasila


Sebagai suatu konsep yang terumuskan secara sistematis Pancasila baru
muncul pada tahun 1945, khususnya dalam sidang BPUPKI. Jepang yang di tahun
1945 makin mendesak dalam perang melawan sekutu berusaha mengambil hati
bangsa Indonesia. Pada tanggal 29 April 1945 dibentuk Badan Penyelidik Usaha-
usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang dalam bahasa Jepang disebut dengan
istilah Dokurizsu Zyunbi Tyoosakai yang beranggotakan 62 orang yang diketuai Dr.
Radjiman Wediodiningrat. Itibangase Tosio Tekisan dan R.P sueroso ditunjuk sebagai
ketua muda (Haoekoe kaityoo). Pembagian ini terdapat tugas mempertimbangkan
masalah-masalah pokok bagi persiapan Indonesia merdeka dikemudian hari.1
Di BPUPKI ini pula pengalaman pertama perdebatan ideologis dalam tataran
praktis terjadi ketika akan menyusun dasar negara bagi Indonesia pada 1945, beberapa
bulan menjelang kemerdekaan. Dalam sidang-sidangnya, para pengusung Islam
sebagai dasar negara berhadapan dengan golongan masionalis sekuler yang netral
agama dan kelompok kebudayaan Jawa yang berasal dari Jawa Tengah termasuk dari
dua kerajaan, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Bahkan kelompok terakhir ini pernah
mengadakan rapat tertutup di Magelang untuk membicarakan pembentukan kerajaan
(Indonesia) dengan sultan Yogyakarta sebagai kepala negaranya. Namun demikian,
mereka akhirnya sadar bahwa ide ini akan mengalami resistensi yang kuat dan mereka
lebih memilih bergabung dengan kekuatan kelompok nasionalis netral agama.
Menurut Prawoto, salah satu tokoh Masyumi, dari keseluruhan anggota BPUPKI
hanya 15 orang yang benar-benar mewakili aspirasi golongan Islam, selebihnya
menolak Islam sebagai dasar negara. Tokoh-tokoh yang memperjuangkan Islam
antara lain adalah K.H.A. Sanusi, Ki Bagus Hadi Kusumo, KH. Mas Mansjur, K.H.A
Wachid Hasjim, Sukiman Wirjo Sandjojo dan Hj. Agus Salim. Adapun tokoh-tokoh
pendukung pemisahan agama dari negara antara lain Soekarno, Muhammad Hatta,
Radjiman Wediodiningrat, Ahmad subardjo, Muhammad Yamin, Soepomo dan
Wongso Negoro.
Masing-masing pihak mengajukan argumentasinya untuk memuluskan
pendirian mereka. Akhirnya, lewat panitia sembilan yang terdiri dari Abi Kusno
1
Hariyono, Ideologi Pancasila Roh Progresif Nasionalisme Indonesia, (Malang: Intrans Publishing, 2014), 138.

3
Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wachid Hasim dari golongan
nasionalis Islami; Soekarno, Muhammad Hatta, Muhammad Yamin, dan Ahmad
Subardjo dari golongan nasionalis netral agama; serta A.A. Maramis dari golongan
kristen, dicapailah kesepakatan Piagam Jakarta yang di dalam sila pertamanya
berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Kesepakatan ini dicapai melalui sidang pada tanggal 2 Juni 1945.
Namun kesepakatan ini “mentah” kembali karena adanya keberatan dari pihak
Kristen dibagian Timur Indonesia. Mereka akan mengundurkan diri dari NKRI yang
akan diproklamasikan, apabila tujuh kata dari Piagam Jakarta tersebut tetap
dipertahankan. Hal ini mencuat dalam sidang panitia Undang-Undang Dasar pada 11
Juli 1945. Latuharhary yang merupakan wakil kelompok Kristen Indonesia bagian
Timur menyatakan keberatannya dengan ungkapan “dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ia menyatakan bahwa hal demikian dapat
menimbulkan akibat besar bagi pengaruh agama minoritas dan menimbulkan
masalah-masalah dengan hukum adat.
Keberatan ini dijawab oleh Agus Salim. Ia menyatakan bahwa menganut
agama selain Islam akan dapat menjalankan agamanya sesuai dengan kepercayaan
mereka dan tidak perlu merasa khawatir dengan mayoritas Islam. Sementara itu,
menurut Agus Salim, hukum adat dan hukum Islam adalah masalah lama yang pada
umumnya sudah dapat diselesaikan. Selain keberatan Latuhahary di atas, masih ada
lagi keberatan tokoh-tokoh nasionalis sekuler lainnya seperti Wongso Negoro dan
Husain Djajadingrat. Mereka memandang bahwa pencantuman tujuh kata ini
menimbulkan sikap fanatisme dan kelihatanya umat Islam akan dipaksa menjalankan
agamanya.
Singkat kata, untuk golongan nasionalis Islami merasa lega karena pandangan
mereka tetap diterima. Namun pada 18 Agustus 1945, tujuh kata tersebut dihapuskan
dari konstitusi. Penghapusan ini berawal dari inisiatif Hatta untuk meninjau kembali
rumusan tujuh kata tersebut yang mengatakan telah mendapatkan informasi dari
seorang perwira angkatan laut Jepang bahwa rakyat Kristen di Indonesia bagian
Timur tidak akan ikut serta dalam negara Indonesia apabila tujuh kata tersebut tetap
dipertahankan dalam konstitusi orang-orang Kristen memang menyadari bahwa
rumusan tersebut tidak mempengaruhi kehidupan mereka sedikitpun, tetapi mereka
merasa rumusan tersebut merupakan diskriminasi. Hatta sendiri sebenarnya
berpendapat bahwa itu bukanlah merupakan bentuk diskriminasi. Disamping itu A.A

4
Maramis yang merupakan wakil Kristen dalam panitia sembilan juga ikut
menyetujuinya. Namun ia khawatir kalau apa yang dikhawatirkan perwira Jepang
tersebut benar-benar menjadi kenyataan. Karena itulah, pada tanggal 18 Agustus 1945
pagi, sebelum sidang PPKI dimulai, Hatta mengundang tokoh-tokoh Islam yang
serentak menyuarakan tujuh kata tersebut untuk meninjau kembali rumusan dalam
Piagam Jakarta. Adapun 4 tokoh Islam yang diundang Hatta yaitu, Bagus Hadi
Kusumo, K.H.A Wachid Hasjim, Kasman Singo Dimedjo, dan Muhammad Hasan
dari Sumatera.
Dari dialog dengan Hatta ini akhirnya wakil Islam tersebut menerima saran
tersebut. Ini memang sesuatu yang aneh, karena tiba-tiba mereka “menyerah” pada
keinginan Hatta. Padahal selama ini mereka dikenal sebagai tokoh-tokoh yang
memiliki integritas keIslaman yang tinggi dan memperjuangkan Islam sebagai dasar
negara. Adapun faktor yang dipandang sebagai pendorong mereka menerima saran
Hatta yaitu pertama, Hatta adalah tokoh yang memiliki moralitas dan kejujuran yang
tidak terbataskan. Kedua, kenyataanya bahwa bangsa Indonesia harus dipertahankan
mati-matian demi persatuan dan kesatuan seluruh komponen bangsa Indonesia.
Ketiga, setelah proklamasi, wakil Islam berharap akan memperjuangkan kembali cita-
cita mereka dilembaga konstitusional dalam situasi normal dan demokratis.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa pada awal kemerdekaan Indonesia, umat
Islam mengalami kegagalan perjuangan mereka menjadikan Islam Integral dalam
kehidupan berbangsa. Meskipun pada awalnya syariat Islam sempat menjadi acuan
dalam kehidupan bernegara, umat Islam harus rela mengorbankan keinginan mereka
dan menerima putusan yang lain, yaitu Ketuhanan yang maha Esa. Memang,
sebagaimana pandangan tokoh Islam, rumusan tersebut mencerminkan ekspresi
Tauhid umat Islam. Namun ada saja rasa kurang puas dari sebagian lainnya, sehingga
mereka berupaya terus menerus untuk memperjuangkannya.2
B. Sejarah Pembentukan UUD 1945
Sidang pertama BPUPKI telah berhasil merumuskan dasar negara yaitu
diperolehnya Pancasila sebagai dasar negara. Panitia Sembilan berhasil mencapai
kesepakatan tanggal 22 Juni 1945 dengan menyetujui sebuah naskah “Mukaddimah”
UUD yang dikenal sebagai Piagam Jakarta. Pemberian nama itu untuk pertama kali
digunakan oleh Yamin. Hasil kesepakatan Panitia Sembilan dinyatakan diterima

2
Muhammad Iqbal & Amin Husain Nasution, Pemikiran Politik Islam dari Masa Klasik Hingga Indonesia
Kontemporer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010), 257-261.

5
dalam sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Setelah itu, Soekarno membentuk
panitia kecil yang diketuai oleh Soepomo untuk menyusun rancangan UUD pada
tanggal 31 Juli 1945. Panitia ini menyampaikan rancangan UUD pada tanggal 13 Juli
1945. Isi materi hampir sama dengan rancangan yang diusulkan Yamin pada tanggal
29 Mei 1945. Setelah diperdebatkan selama empat hari, akhirnya tanggal 16 Juli 1945
BPUPKI menyetujui rancangan UUD yang akan dijadikan konstitusi tertulis
Indonesia Merdeka. BPUPKI bubar setelah mencapai kesepakatan dasar Negara dan
rancangan UUD. Tugas berikutnya diserahkan kepada panitia yang jumlahnya lebih
kecil, yakni PPKI.
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dibentuk tanggal 7 Agustus
1945 yang diketuai oleh Soekarno dan wakil Moh. Hatta. Panitia ini semula
beranggotakan 21 orang termasuk ketua dan wakil ketua namun kemudian, atas
inisiatif Soekarno, ditambah 6 orang anggota. Di Dalat3 sebelah utara Saigon Jendral
Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945, menerima Soekarno, Hatta dan Radjiman
untuk menyampaikan kembali tentang kemerdekaan Indonesia.
Akan tetapi, ketika Jepang terpaksa menyerah kepada Sekutu pada tanggal 5
Agustus 1945, Jepang tidak dapat meneruskan usahanya memberi kemerdekaan
kepada Indonesia. Kejadian ini membawa konsekuensi bahwa usaha memerdekakan
Indonesia menjadi tanggung jawab para pemimpin Indonesia sendiri. Maka pada
tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia atas nama Soekarno-Hatta menyatakan
kemerdekaanya.
Untuk melengkapi kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamasi, PPKI
menyelenggarakan sidang yang mengambil keputusan pokok mengesahkan
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD yang disahkan itu adalah naskah Mukaddimah
dan Rancangan UUD. Keduanya telah disetujui pada sidang II BPUPKI, tetapi dengan
beberapa perubahan yang dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu juga. Demikian
sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah ditetapkan berlakunya UUD 1945 untuk negara
Republik Indonesia.4
Dalam perumusan suatu undang-undang terdapat terdapat beberapa faktor
yang mempengaruhi. Faktor yang pertama yaitu, meliputi lingkungan kebijakan di
mana lingkungan ini membatasi ruang gerak sekaligus memberikan intruksi apa yang
pembuat kebijakan dapat dilakukan dengan efektif. Lingkungan kebijakan ini

3
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), 37.
4
Ibid., 38.

6
mencakup faktor geografis, faktor kependudukan, faktor budaya politik, faktor
struktur sosial dan sistem ekonomi. Budaya Politik, setiap masyarakat mempunyai
budaya yang membedakan nilai dan gaya hidup anggotanya dengan masyarakat lain.
Suatu budaya akan mewujudkan nilai kepercayaan dan sikap perhatian terhadap apa
yang pemerintah harus lakukan dan bagaimana pemerintah harus mengoperasikannya
serta hubungan masyarakat dengan pemerintah. Kondisi Sosial- Ekonomi, dalam
tingkat pertumbuhan ekonomi masyarakat akan menemukan batasan yang dapat
dilakukan oleh pemerintah dalam penyedian barang dan jasa bagi masyarakatnya.5
C. Dinamika Bentuk Negara dan Sistem Pemerintahan di Indonesia
Sejarah singkat sistem pemerintahan di Indonesia dibedakan menjadi beberapa
periode, sebagai berikut:
1. Periode tahun 1945-1949
Untuk pertama kalinya, presiden Indonesia dipilih oleh PPKI. Dalam masa
peralihan ini kekuasaan MPR, DPR, DPA sebelum lembaga itu terbentuk
dijalankan oleh presiden dengan bantuan suatu komite nasional Indoneia pusat
(NIP).
Pada tanggal 16 Oktober 1945 sistem pemerintahan menjadi parlementer
dengan diangkatnya perdana menteri. Perdana menteri tidak bertanggung jawab
kepada presiden melainkan kepada badan komite. Pada tanggal 29 Januari 1948
sampai 27 Desember 1949 kabinet kembali bersifat presidensiil. Para menteri
bertanggung jawab pada presiden.
2. Periode tahun 1949-1950
Pada periode ini negara Indonesia berbentuk negara serikat. Indonesia terdiri
atas negara-negara bagian dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada
saat ini berlaku konstitusi RIS 1949 tepatnya pada rentan waktu antara 27
Desember 1945- 15 Agusutus 1950.6
Belum berumur setahun Indonesia, Belanda datang kembali untuk
melanjutkan kolonialismenya dengan menggandeng tentara sekutu yang
sebenarnya bertugas untuk melucuti tentara Jepang yang telah kalah, Belanda
secara sepihak menduduki beberapa tempat, terutama kota-kota di Indonesia dan
mendirikan kembali pemerintahan Belanda.

5
Esty Kartika Zahriyah & Afiati Indri Wardani, Faktor-Faktor Penghambat Perumusan Rancangan Undang-
Undang Perdagangan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, (Jakarta: VISIT UI, 2013),
6
Didi Suminta, Sistem Pemerintahan Indonesia, (Jakarta: multi kreasi satu delapan, 2010), 43.

7
Rakyat Indonesia tentu saja tidak membiarkan pendudukan sewenang-wenang
itu. Di mana-mana timbul perlawanan yang harus dihadapi secara berat oleh
Belanda. Perlawanan rakyat yang menggelora sehingga menyadarkan pihak
Belanda bahwa “revolusi” rakyat tak akan dapat diselesaikan hanya dengan
perang konvensional biasa. Maka dipilihlah taktik adu domba. Dengan
menjadikan Indonesia sebagai Repulik Indonesia Serikat. Di atas sehingga
Republik Indonesia yang dulunya didirikan di atas susunan kesatuan (unitaris)
diarahkan menjadi negara federal (serikat) yang terdiri dari negara-negara bagian.
Selanjutnya Belanda menerapkan taktik adu domba sehingga jika terjadi krisis
Belanda dapat mengambil kesempatan untuk menguasai Indonesia kembali.7
Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran NKRI
tanggal 27 Desember 1949 itu menganut bentuk republik federasi. Sistem
pemerintahannya parlementer disertai kebijaksanaan, bahwa parlemennya tidak
dapat menjatuhkan pemerintah. Dari sudut konstitusi dapat dikualifikasikan
bahwa konfigurasi yang dianut pada jaman RIS adalah demokratis.8
3. Periode tahun 1950-1959
Pada periode ini diberlakukan konstitusi sementara yang disebut UUDS 1950.
Konstitusi ini merupakan perpaduan antara konstitusi RIS dan UUD 1945. Periode
ini berlangsung dari tanggal 15 Agustus 1950- 5 Juli 1959.
Jabatan presiden pada periode ini merupakan hasil persetujuan dari RIS dan
RI. Sedangkan tokoh wakil presiden untuk pertama kalinya diangkat oleh presiden
dari tokoh yang diajukan DPR.
4. Periode 1959-1999
Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, negara Indonesia kembali ke UUD 1945.
Pemerintahan orde lama kemudian berakhir pada tanggal 11 Maret 1966 ketika
dikeluarkan Super Semar. Sejak saat itu kekuasaan pemerintahan dikendalikan
oleh Soeharto. Soeharto kemudian menjadi pejabat presiden Indonesia 1967-1968
dan presiden Indonesia 1968-1998. Periode ini adalah periode diberlakukannya
kembali UUD 1945. Secara tepatnya periode ini berlangsung dari 5 Juli 1959- 19
Oktober 1999.
5. Periode 1999- sekarang

7
Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia,... 44
8
Ibid., 45.

8
Periode ini muncul sebagai akibat dari gerakan reformasi 1998. Pada tahun
1999 sebagai akibat perubahan pertama UUD 1945, maka terdapat perubahan
kekuasaan tugas dan wewenang, serta hak dan kewajiban lembaga kepresidenan di
antaranya adalah sebagai berikut:
a. Masa jabatan presiden dibatasi hanya untuk dua kali masa jabatan.
b. Presiden dan wakil presiden dapat bersumpah di depan pimpinan MPR dan
Mahkamah Agung jika MPR tidak dapat bersidang.
c. Presiden tidak dapat membentuk UU, tetapi mengajukan RUU kepada DPR
dan ikut membahasnya.
d. Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama DPR.
Pada tahun 2002 sebagai akibat perubahan ke 4 UUD 1945 terdapat perubahan
kekuasaan presiden di antaranya sebagai berikut: Proses pemillihan presiden dan
wakil presdien dengan persyaratan tertentu, Pelaksanaan tugas kepresidenan dan
pemilihan serta pengangkatan presiden dan wakil yang baru oleh MPR. Presiden
membentuk dewan pertimbangan, Presiden memegang kekuasaan pemerintahan
negara, Presiden dibantu oleh seorang wakil presiden dalam menjalan pemerintahan
negara., Wakil presiden menggantikan presiden jika presiden tidak dapat menjalankan
kewajibannya, Presiden mengusulkan dua calon presiden untuk dipilih MPR jika
terjadi kekosongan jabatan, Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab
kepadanya, Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas militer, Presiden
menyatakan keadaan bahaya, Presiden menyatakan perang dan membuat perdamaian
serta perjanjian dengan negara lain dan atas persetujuan DPR, Presiden harus
mendengarkan pertimbangan DPR saat mengangkat dan menerima misi diplomatik,
Presiden harus mendengarkan pertimbangan Mahkamah Agung saat memberi grasi
dan rehabilitasi serta DPR saat memberi amnesti dan abolisi, Presiden tidak
dapatmembekukan dan membubarkan DPR atau MPR, Presiden mengajukan RUU
APBN kepada DPR, Presiden harus mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama
dengan DPR dan hanya dapat menunda pengesahan RUU yang telah disetujui
bersama dengan parlemen paling lama 30 hari, Presiden menetapkan hakim Agung
pada Mahkamah Agung yang diusulkan Komisi Yudisial dan telah disetujui DPR,
Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial dengan
persetujuan DPR, Presiden menetapkan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi

9
yang diusulkan oleh MA, DPR, dan Presiden, Presiden meresmikan anggota BPK
yang telah dipilih DPR9

BAB III
9
Didi suminta, Sistem Pemerintahan Indonesia...., 43-45.

10
ANALISIS

Dalam perumusan suatu peraturan perundang-undangan terdapat berbagai faktor yang


muncul, seperti perbedaan sosial budaya dan kondisi sosial ekonomi. maka pada era
kemerdekaan muncul beberapa peraturan perundang-undangan seperti UU No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, UU No 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan agama, Inpres No. 1 tahun
1991.

Pada pasal 1 UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki tujuan peraturan
perundangan yaitu memberikan kesaksian legal terhadap upaya membentuk keluarga melalui
pencatatan di catatan sipil dan pengakuan hukum dari negara. Fungsi dari UU No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan adalah mengesahkan tindak perkawinan baik yang dilaksanakan
secara agama tertentu maupun secara adat. Beberapa ketentuan dari UU No.1 tahun 1974
tentang Perkawinan masih dikritisi sebagai tidak adil di antaranya Pasal 3 ayat (1)
menyatakan pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami, hal ini bertentangan
dengan Pasal 3 ayat (2) yang menyatakan Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang
suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan.
UU No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan masih didominasi oleh ketentuan Hukum Islam
yang mana menyulitkan pemeluk agama lain yang memiliki perbedaan wacana mengenai
perkawinan, misalnya Katolik tidak mengenal adanya poligami. pada pasal 10 menyatakan
“Apabila suami dan istri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi
untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tida boleh dilangsungkan perkawinan lagi,
sepanjang hukum, masing-masing agama dan kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain” tetapi realitanya berbanding terbalik yang kerap terjadi di masyarakat
dimana masih terjadi pernikahan lagi stelah cerai yang kedua kali.

Dengan dilegalkannya UU No. 7 tahun 1989 tentang peradilan agama, hal ini
menunjukkan bahwa kedudukan peradilan agama setara dengan peadilan umum, peradilan
militer dan peradilan tata usaha negara. PA merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakinab bagi rakyat yang mencari keadilan dalam perkara tertentu, yang beragama Islam.
Kesetaraan PA dengan pengadilan yang lain ini masih terdapat ketidakadilan, seperti dalam
Pasal 49 Ayat (3) bahwa dalam penjelasan umum disebutkan bahwa para pihak dapat
mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian harta
waris.

11
KHI disusun sebagai upaya untuk mewujudkan kesatuan hukum di bidang
perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang berlaku di Indonesia. KHI disusun dan
disebarluaskan “untuk digunakan oleh Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang
memerlukannya”, sebagaimana yang diinstruksikan oleh Presiden kepada Menteri Agama
pada tahun 1991. KHI mengatur hal tersebut dimana memiliki kepekaan yang sangat tinggi.
hal tersebut memiliki kedekatan dengan keyakinan dan peribadatan, yang juga bersinggungan
dengan sistem kekerabatan masyarakat bangsa Indonesia. Institusi perkawinan dan kewarisan
merupakan institusi utama dalam kehidupan manusia, terutama dalam masyarakat Muslim,
karena dalam beberapa hal diatur secara rinci di dalam Qur’an dan Hadis. Dengan ini Inpres
No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, yang Merupakan solusi awal meredakan
bahkan menghilangkan perdebatan masalah-masalah yang selalu menimbulkan pertikaian dan
perdebatan di kalangan ulama.

BAB IV

12
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebagai suatu konsep yang terumuskan secara sistematis Pancasila baru
muncul pada tahun 1945, khususnya dalam sidang BPUPKI. Di BPUPKI ini pula
pengalaman pertama perdebatan ideologis dalam tataran praktis terjadi ketika akan
menyusun dasar negara bagi Indonesia pada 1945, beberapa bulan menjelang
kemerdekaan.
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD yang disahkan itu adalah naskah
Mukaddimah dan Rancangan UUD. Keduanya telah disetujui pada sidang II BPUPKI,
tetapi dengan beberapa perubahan yang dilakukan pada tanggal 18 Agustus 1945 itu
juga. Demikian sejak tanggal 18 Agustus 1945 telah ditetapkan berlakunya UUD
1945 untuk negara Republik Indonesia.
Sejarah singkat sistem pemerintahan di Indonesia dibedakan menjadi beberapa
periode, sebagai berikut:
Periode tahun 1945-1949, sistem pemerintahan menjadi parlementer dengan
diangkatnya perdana menteri.
Periode tahun 1949-1950, Pada periode ini negara Indonesia berbentuk negara serikat.
Indonesia terdiri atas negara-negara bagian dengan nama Republik Indonesia Serikat
(RIS).
Periode tahun 1950-1959, Pada periode ini diberlakukan konstitusi sementara yang
disebut UUDS 1950. Konstitusi ini merupakan perpaduan antara konstitusi RIS dan
UUD 1945.
Periode 1959-1999, Setelah dekrit presiden 5 Juli 1959, negara Indonesia kembali ke
UUD 1945. Pemerintahan orde lama kemudian berakhir pada tanggal 11 Maret 1966.
Periode 1999- sekarang, Periode ini muncul sebagai akibat dari gerakan reformasi
1998.

DAFTAR PUSTAKA

13
Hariyono, Ideologi Pancasila Roh Progresif Nasionalisme Indonesia. Malang: Intrans
Publishing. 2014.
Iqbal, Muhammad & Amin Husain Nasution. Pemikiran Politik Islam dari Masa
Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media
Grup. 2010.
Kartika Zahriyah, Esty & Afiati Indri Wardani. Faktor-faktor Penghambat
Perumusan Rancangan Undang Undang Perdagangan di Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia. Jakarta: VISIT UI. 2013.
MD, Mahfud. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2012.
Suminta, Didi. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: multi kreasi satu delapan.
2010.

14

Anda mungkin juga menyukai