Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/357429317

ERA PRA KEMERDEKAAN INDONESIA (Perdebatan Relasi Agama dan Negara)

Article · December 2021

CITATIONS READS

0 8,253

7 authors, including:

Mohammad Ilham Faizi Kamsi Kamsi


Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
2 PUBLICATIONS   0 CITATIONS    20 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Politik Islam View project

Perdebatan Badan Konstituante Tentang Dasar Negara Era 1955-1959 View project

All content following this page was uploaded by Mohammad Ilham Faizi on 30 December 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


ERA PRA KEMERDEKAAN INDONESIA
(Perdebatan Relasi Agama dan Negara)

Mohammad Ilham Faizi


Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Email: 20203012045@student.uin-suka.ac.id

Dosen Pengampuh:
Prof. Dr. H. Kamsi, MA.
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Abstrak: Polemik relasi agama dan negara dalam perumusan konstitusi Negara
secara forum resmi dapat dijumpai sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) dan didalam Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) adalah badan yang dibentuk untuk menyatakan kemerdekaan
Negara. Dalam perdebatan itu, awalnya kelompok Islam mendukung ide Islam
sebagai dasar negara, sementara kelompok nasionalis mendukung ide negara
sekuler. Soekarno berpendapat bahwa antara negara dan agama harus dipisah;
agama bukanlah urusan negara. Sementara Natsir berpendapat, agama harus
ditempatkan menjadi satu dengan negara; negara harus mengurus agama dan
berjalan sesuai dengan ketentuan agama. Temuan penting dalam penelitian ini
ialah bahwa Negara Indonesia dalam perdebatan relasi agama dan negara
kemudian melahirkan pancasila sebagai kesepakatan dan konstitusi negara.
Namun sebelum itu, begitu panjang sejarahnya dan perbebatan sengit untuk pada
akhirnya mencapai kesepakatan.
Kata Kunci: Agama, Negara, Kemerdekaan, Konstitusi.

A. Pendahuluan

Polemik relasi agama dengan negara dalam perumusan konstitusi Negara ini

sebenarnya memiliki akar historis yang cukup lama. Ia tidak hanya bermula ketika
badan perumus UUD 1945 dibentuk. Persoalan ini sudah mengemuka sejak lama

sebelum kemerdekaan Indonesia.1

Pembahasan persoalan hubungan agama dan negara ini. Pertama, secara

historis, Negara Indonesia adalah masyarakat yang mendiami wilayah yang pasca

kolonial yang sesungguhnya sangat lekat dengan agama, keagamaan atau sistem

kepercayaan tertentu. Sebelum masuk agama Hindu maupun Buddha, masyarakat

Nusantara menganut kepercayaan tertentu. Kemudian Islam datang, maka

semakin memperkuat rasa kebatinan masyarakat Indonesia terhadap ajaran

ketuhanan. Sehingga tidak salah jika masyarakat Indonesia dikatakan sebagai

masyarakat yang religius.

Kedua, secara filosofis dan dasar kenegaraan, Indonesia mengakui dan

menjadikan agama sebagai bagian dari prinsip-prinsip dalam berbangsa dan

bernegara. Dalam dasar negara Pancasila, sila pertama “Ketuhanan yang Maha

Esa” menunjukkan Indonesia mengakui tentang kehidupan berbangsa dan

bernegara yang didasarkan pada Ketuhanan. Pada umumnya, dalam soal

hubungan agama dan negara, negara akan bersikap tegas dengan mendasarkan

pada agama tertentu (biasa disebut negara agama) atau malah sebaliknya tidak

dikait-kaitkan dengan agama (disebut negara sekuler). Sementara Indonesia tidak

mengakui agama tertentu sebagai agama resmi negara, secara bersamaan

mengakui adanya keberadaan sekaligus mendukung berkembangnya sejumlah

agama, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kongkhucu. Dengan

1
Ahmad Sadzali. “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia: Polemik dan Implikasinya
dalam Pembentukan dan Perubahan Konstitusi”. Undang: Jurnal Hukum. Vol. 3 No. 2 (2020):
341-375, DOI: 10.22437/ujh.3.2.341-375.. hlm. 351.
demikian Indonesia bukanlah negara agama dan sekaligus juga bukan negara

sekuler.

Kemudian, pasca kolonialisme, persoalan agama dan Negara masih kerap

mewarnai dan bahkan menjadi persolan serius dalam kehidupan sosial politik di

Indonesia. Polemik agama dan Negara kerap kali muncul dalam kontestasi politik,

yang memperlihatkan upaya politisasi. Jika polemik ini terus dipelihara hanya

untuk kepentingan politik praktis sektoral, tidak menutup kemungkinan akan

terjadi polarisasi berkepanjangan di tengah masyarakat, yang berujung pada

disintegrasi bangsa.

B. Pembahasan

Persoalan wacana dan perdebatan tentang konsep kebangsaan pada masa sebelum

kemerdekaan Negara Indonesia yang sebagaian kelompok membawa gagasan

islam sebagai dasar negara dan kelompok lain yang menghendaki berlakunya

negara dan hukum lain yang juga berakar dalam kehidupan rakyat Indonesia.2

Perdebatan secara formal dan sengit tentang hubungan agama dengan

negara, dapat dijumpai pada sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan (BPUPKI) yang dibentuk pada bulan April tahun 1945 maupun

dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) adalah badan yang

dibentuk untuk menyatakan kemerdekaan negara, melakukan pengalihan

kekuasaan, mensahkan konstitusi, dan membentuk pemerintahan bagi Indonesia

2
Moh. Mahfud MD, “Perjuangan dan Politik Hukum Islam di Indonesia” dalam Kamsi,
“Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara,” Jurnal In Right Jurnal Agama dan
Hak Azazi Manusia, Vol.2, No.1, (2012), hlm. 54.
jika akan merdeka.3 Pada masa inilah puncak pertentangan semakin tampak jelas

ketika proses pembentukan Dasar Negara Republik Indonesia. Pertentangan

seperti ini selain memang telah ada sebelum Jepang datang, sebenarnya ini hasil

maksimal dari proses devide et empera yang dilakukan Jepang untuk memperkuat

kedudukannya.4

Maksud lain Jepang membentuk BPUPKI dan sidang-sidangnya ketika

membahas dasar Negara, dengan bentuk kolaborasi dengan beberapa kelompok

bangsa lainya suapaya membuat ketegangan antara golongan islam dan nasionalis.

Setidaknya kemudian bangsa Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga macam

kelompok yaitu elite nasionalis, elite priyayi, dan elite islam5. Dalam

melangsungkan kolaborasinya, ketiga kelompok ini diakomodasi secara

bergantian, sehingga sejak itu hubungan politik islam dan negara terjadi saling

curiga-mencurigai atau hubungan antagonistik.6

Dalam perdebatan itu, awalnya kelompok Islam mendukung ide Islam

sebagai dasar negara, sementara kelompok nasionalis mendukung ide negara

sekuler. Pengakuan eksistensi agama dalam kehidupan bernegara akan

diwujudkan terutama dalam bentuk pengakuan resmi lembaga-lembaga

3
Ibid., hlm. 55.
4
Kamsi, Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara, hlm. 56.
5
Kamsi, “Citra Gerakan Politik Islam Dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan Bangsa
Indonesia (Studi Era Pra Kemerdekaan sampai dengan Era Orde Baru)”, Jurnal Millah, Vol. XIII,
No. 1, (Agustus 2013), hlm. 113.
6
Hubungan Antagonistik, adalah pola hubungan yang mencerminkan hubungan yang
hegemonik antara islam dengan pemerintah. Dapat dilihat dalam M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan
Aksi Islam Indonesia: Sebuah kajian Politik tentang Cendekian Muslim Orde Baru, (Jakarta:
Paramadina, 1995), hlm. 9.
keagamaan tertentu dalam negara serta mengadopsi sebagian nilai-nilai dan

norma-norma agama dalam sistem nasional dan pengambilan kebijakan publik.7

Diskursus dan perdebatan terbuka mengenai dasar negara yang berkaitan

dengan relasi agama dan negara tersebut sudah terjadi sebelum kemerdekaan

Negara Indonesia. Sebelum Negara Indonesia merdeka, syari’at islam ini sudah

ada dan populer diperdebatkan. Berdasarkan sejarah, yang sangat mungkin dapat

dijadikan rujukan, terutama pada masa sejarah awal kemerdekaan, perjuangan

kelompok islam untuk menjadikan syari’at islam sebagai ideologi negara, inilah

inti semangat perjuangan politik islam terhadap Negara Indonesia.8

Kemudian adu pendapat antara Soekarno dan Muhammad Natsir. Kedua

tokoh ini memiliki posisi terkait definisi yang berbeda persoalan bagaimana

negara menempatkan agama. Soekarno berpendapat bahwa antara negara dan

agama harus dipisah; agama bukanlah urusan negara.9 Sementara Natsir

berpendapat, agama harus ditempatkan menjadi satu dengan negara; negara harus

mengurus agama dan berjalan sesuai dengan ketentuan agama. Pendukung cara

pandang Soekarno ini selanjutnya sering disebut sebagai golongan nasionalis,

7
Maharani Sartika Dewi, Dinie Anggraeni Dewi. “Penerapan Nilai Pancasila Dari Arus
Sejarah Perjuangan Dan Dampak Globalisasi”. Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan Undiksha
Vol. 9 No. 2 (Mei, 2021), hlm. 307.
8
Kamsi, Pergulatan hukum Islam dan politik dalam sorotan, (Yogyakarta: Pustaka Imu
Group, 2014), hlm. 55-56.
9
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi ( Jakarta: Panitia Penerbitan Di Bawah Bendera
Revolusi, 1964), hlm. 407.
sedangkan pendukung ide Natsir kerap disebut sebagai golongan modernis Islam,

yang berpendirian agama Islam juga mengatur negara.10

Pendapat Soekarno tentang lebih menekankan pemisahan negara dan

agama. Pendapat ini dapat dikatakan pemikiran sekuler. Yang mana paham ini

mempunyai cita-cita politik menjadikan negara sekuler. Pradigma fikir mereka

berdasar pada teori yang menyatakan bahwa agama sama sekali tidak menekankan

kewajiban mendirikan negara. Agama, dalam pandangan mereka hanya

memberikan nilai etik-moral dalam membangun tatanan masyarakat dan negara.

Kerangka teologis dari kelompok ini, bahwa pembentukan pemerintahan dan

negara Islam tidak termasuk dalam tugas sebagaimana diwahyukan Tuhan kepada

Nabi Muhammad SAW. 11

Soekarno mengajak umat Islam untuk menengok sejenak kepada

beberapa pemikiran Islam yang berkembang di beberapa negara Muslim lainnya,

seperti Mesir, Turki, Palestina, dan India. Saat merujuk Turki, Soekarno

menyampaikan kekaguman dan dukungannya kepada Mustafa Kamal (Kemal

Attaturk) pada tahun 1928 yang melakukan sekularisasi. Namun menurut

Soekarno, dengan diletakkannya pada urusan personal, bukan berarti Islam telah

dihapuskan. Jadi tidak tepat jika menyebut Turki pada pemerintahan Mustafa

Kamal sebagai negara yang anti-agama atau anti-Islam.12 Meskipun dalam

perkembangan pemerintahannya kelompok Kemalis telah berhasil terorganisir


10
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Yogyakarta: UII
Press, 1993), hlm. 4-5.
11
Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara,” Jurnal In Right
Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol.2, No.1, 2012, hlm. 46.
12
Sofyan Hadi. “Relasi Dan Reposisi Agama Dan Negara (Tatapan Masa Depan
Keberagamaan Di Indonesia)” Jurnal Millah Vol. X, No 2, (Februari 2011), hlm. 229.
sejak permulaan tahun 1920-an, dalam kenyataan politik menghasilkan

konfigurasi politik yang tidak produktif bagi kelanjutan cita-cita menjadi negara

sekuler.13 Kemudian ia memberi bantahan atas pendapat-pendapat yang

menganjurkan agar agama dan negara harus menyatu. Sepintas Soekarno menilai

bahwa upaya untuk membentuk Negara Islam itu terlalu memaksakan kehendak

atas kaum minoritas beragama, bahkan menuduh sebagai upaya membentuk

negara yang diktator.14

Menurut Muhammad Natsir, kebanyakan orang lupa bahwa ajaran Islam

itu sempurna dan dengan demikian juga meliputi persoalan tentang kenegaraan. Ia

menyayangkan pandangan yang cenderung menganggap agama hanyalah soal

relasi antara manusia dan Tuhan saja (ibadah). Dalam pemahamannya, Islam

sudah mencakup semua aspek kehidupan manusia, mulai dari perihal keyakinan

atau aqidah, hingga hubungan antar sesama manusia. Dengan begitu, kedudukan

negara sangat penting bagi agama, begitu penting kedudukan agama bagi negara.

Lebih lanjut ia juga mengomentari soal deskripsi Islam yang cenderung distortif

yang muncul di kalangan bangsa Barat, di mana negara Islam digambarkan

dengan begitu naif.15

Dalam sejarah Bangsa Indonesia, hubungan antara agama islam dan

negara berkembang menjadi empat golongan. Pertama, golongan yang

mengintegrasikan antara agama dan negara sebagai dua hal yang tidak

13
Kamsi, Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara, hlm. 48.
14
Budiyono. “Hubungan Negara dan agama dalam Negara pancasila” Jurnal Fiat Justisia
Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 No. 3 (Juli-September 2014).
15
Ibid.
terpisahkan. Sejarah integrasi agama dan negara berjalan dengan intensif pada

masa pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam, seperti Kerajaan Islam Perelak,

Kerajaan Islam Samudera dan Pasai di Aceh. Dalam sistem ketatanegaraan

tersebut, hukum negara menjadi hukum agama dan hukum agama juga menjadi

hukum negara. Relasi agama dan negara tersebut berjalan aman dan damai tanpa

adanya konflik. Kedua, golongan yang berpendapat bahwa agama dan negara

berjalan dalam pusaran konflik dan saling menafikan di antara keduanya

sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Konflik kaum agamawan memiliki

kehendak untuk menerapkan norma-norma agama/Islam secara totalitas,

sedangkan warga masyarakat lokal menolak pemberlakuan norma agama tersebut.

Kejadian tersebut menimbulkan perang terbuka yang dikenal dengan perang

Paderi (perang para pemuka agama). Dari kejadian itu kemudian muncul

semboyan “adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi Kitābullah” yang artinya;

eksistensi hukum adat diakui selama tidak bertentangan dengan ketentuan syariat

agama Islam.16

Ketiga, golongan yang membangun hubungan dinamis-dialektis antara

agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan secara gradual dalam

sistem hukum nasional dan berjalan tanpa konflik sebagaimana sistem

ketatanegaraan kerajaan Goa. Keempat, golongan yang membangun hubungan

sekular-ritualistik antara agama dan negara. Norma-norma agama diberlakukan

dalam tradisi ritual keagamaan oleh pemerintah sebagai simbol pengayoman

kepada warganya, sehingga masyarakat merasa diayomi dengan kedatangan

16
Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia,.
pemimpin, sebagaimana tradisi kerajaan Jawa. Para raja Jawa menghadiri kegiatan

ritual keagamaan hanya dua kali setahun di Masjid atau sekatenan. Para raja Jawa

memberikan kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama tertentu, yang

penting juga taat kepada raja.17

Dari segi gerakan politik, hubungan antara agama dan negara di

Indonesia mengalami perkembangan dalam bentuk oposisi, alienasi dan integrasi.

Tiga tipologi gerakan agama tersebut telah mengalami dinamika yang progresif

dan silih berganti. Islam sebagai agama memainkan peran politik oposisi terhadap

pemerintahan Majapahit, sejak awal berdirinya Kerajaan Islam Demak.

Sedangkan pada masa pemerintahan kerajaan Islam Demak, Islam dan politik

kenegaraan terbangun secara terintegrasi, tetapi ketika pusat kekuasaan Islam

beralih kepada kerajaan Mataram, maka tipologi hubungan Islam tidak mengambil

pola integrasi sebagaimana praktik kerajaan Islam Demak, tetapi kerajaan

Mataram Islam mengambil model moderat yang berkarakter sinkretis. Peran raja

sebagai simbol keagamaan cukup hadir dua kali selama setahun, walaupun

kesehariannya tidak datang ke Masjid.

Sementara itu, kekuatan politik agama mengambil peran oposisi yang

ketat ketika Belanda datang menjajah Nusantara. Para ulama dan pemangku

agama berjuang melawan kekuatan kolonial Belanda dengan membentuk

organisasi-organisasi keagamaan. seperti Serikat Islam pimpinan HOS

Cokroaminoto tahun 1911, pada tahun 1912 juga berdiri orgnanisasi

17
Wahid, ”Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara”, Komaruddin Hidayat dan Ahmad
Gaus AF (ed.), Passing Over, hlm. 164-166
Muhammadiyah pimpinan KH Ahmad Dahlan, dan pada tahun 1926 di kalangan

ulama Nusantara lahir Jamiyah Nahdlatul Ulama pimpinan KH Hasyim Asy’ari.18

Usaha-usaha kaum agamawan dalam berjuang melawan kolonial Belanda tersebut

akhirnya membuahkan hasil Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus

1945. Pada masa awal kemerdekaan, agama dan neara mengalami masa-masa

krusial, mengingat persepsi hubungan agama dan negara masih belum tuntas di

kalangan tokoh agama pejuang kemerdekaan. Mereka memiliki tafsir berbeda-

beda mengenai hubungan agama dan negara yang ideal, sehingga sebagian

kelompok menganggap bahwa yang dimaksud hubungan agama dan negara yang

ideal adalah Piagam Jakarta, tetapi hal itu setelah melalui perdebatan dan diskusi

yang serius, maka KH A Wahid Hasyim sebagai salah satu tim mengakomodir

dan menerima penghapusan tujuh kata dengan hasil sebagaimana termaktub dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD-NRI) Tahun 1945

dengan ideologi Pancasila. Dalam rumusan ideologi dan konstitusi tersebut,

substansi negara Indonesia adalah berbentuk negara yang religius (religious nation

state). Negara tidak menafikan peran agama, dan agama juga tidak menolak

eksistensi negara. Antara agama dan negara memiliki peran penting dalam

menyukseskan cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu mewujudkan

kesejahteraan sosial dan mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam

wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Keputusan KH Wahid Hasyim tersebut telah melampaui pemahaman

keagamaan pada masanya, dimana ia telah berhasil mencari nilai-nilai

18
M. Yusuf Musa, Politik dan Negara dalam Islam, terj. M. Thalib (Surabaya: Al-Ikhlas,
1990), hlm. 26-27.
transendental yang bisa menjadi dasar pijak semua agama dan golongan, sehingga

pandangan keagamaan yang berbeda-beda -yang dapat memicu konflik dan

pertikaian- dapat dinetralisir dan dikompromikan. Keputusan ini memiliki

kesamaan dengan hasil penelitian R R Alford yang berjudul “Agama dan Politik”,

yang menyebutkan bahwa paham keagamaan yang plural jika masuk ke arena

politik praktis akan menimbulkan pertikaian dan jauh dari kompromi, sehingga

jalan pencarian nilai-nilai transendental menjadi keniscayaan.

C. Kesimpulan

Polemik yang terjadi di Indonesia mengenai relasi antara agama dan negara sudah

lama terjadi bahkan jauh sebelum kemerdekaan. Polemik ini terjadi antara

golongan islamis dan golongan nasionalis. Golongan Islamis menginginkan agar

negara dan agama dapat melebur menjadi satu nafas, sehingga negara dapat

berjalan sesuai agama dan ajaran agama dapat dilakukan oleh negara. Sedangkan

golongan nasionalis menginginkan agar agama terpisah dari negara. Polemik ini

terjadi sebelum, menjelang, dan setelah kemerdekaan Indonesia. Sebelum

kemerdekaan, sudah terjadi polemik terbuka di media massa antara Soekarno dan

Natsir. Menjelang kemerdekaan, golongan islamis dan nasionalis terlibat

perdebatan sengit terkait dengan penentuan bentuk negara yang akan dirumuskan

di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Perdebatan sengit terulang kembali di

dalam Konstituante, dan yang terakhir pada amandemen UUD 1945 di era

reformasi.
Polemik agama dan negara ini berimplikasi pada lahirnya sebuah

kesepakatan mulia berupa Pancasila sebagai dasar negara. Konsep Pancasila

menjadi sintesis dari ideologi yang berseberangan mengenai relasi agama dan

negara. Selain itu, dalam isi atau batang tubuh Konstitusi, polemik ini

berimplikasi lebih lanjut pada pengakuan negara terhadap eksistensi agama-agama

tertentu; perlakuan secara sama terhadap semua agama yang diakui; pemberian

jaminan kebebasan penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama;

pengakuan dan penghormatan hak-hak asasi yang mempertimbangkan nilai-nilai

agama; dan pengembangan pendidikan nasional yang berbasis dan berorientasi

pada peningkatan aspek spiritual keagamaan.


DAFTAR PUSTAKA

Budiyono, “Hubungan Negara dan agama dalam Negara pancasila”, Jurnal Fiat

Justisia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 8 No. 3 Juli-September 2014.

Dewi, Maharani Sartika. Dewi, Dinie Anggraen, “Penerapan Nilai Pancasila Dari

Arus Sejarah Perjuangan Dan Dampak Globalisasi”, Jurnal Pendidikan

Kewarganegaraan Undiksha, Vol. 9 No. 2. Mei, 2021.

Hadi, Sofyan, “Relasi Dan Reposisi Agama Dan Negara (Tatapan Masa Depan

Keberagamaan Di Indonesia)”, Jurnal Millah Vol. X, No 2. Februari

2011.

Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama dan Negara”, Jurnal In

Right Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, Vol.2, No.1, 2012.

----, “Citra Gerakan Politik Islam Dalam Lintasan Sejarah Perpolitikan Bangsa

Indonesia (Studi Era Pra Kemerdekaan sampai dengan Era Orde Baru)”,

Jurnal Millah, Vol. XIII, No. 1, Agustus 2013.

----, Pergulatan hukum Islam dan politik dalam sorotan, Yogyakarta: Pustaka Imu

Group, 2014.

MD, Moh Mahfud, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Yogyakarta:

UII Press, 1993.

Musa, M. Yusuf, Politik dan Negara dalam Islam, terj. M. Thalib, Surabaya: Al-

Ikhlas, 1990.
Soekarno, Di Bawah Bendera Revolusi, Jakarta: Panitia Penerbitan Di Bawah

Bendera Revolusi, 1964.

Wahid, ”Kebebasan Beragama dan Hegemoni Negara”, Komaruddin Hidayat dan

Ahmad Gaus AF (ed.).

Sadzali, Ahmad, “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia: Polemik dan

Implikasinya dalam Pembentukan dan Perubahan Konstitusi”, Undang:

Jurnal Hukum, Vol. 3 No. 2 2020: 341-375, DOI: 10.22437/ujh.3.2.341-

375.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai