Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

PEMIKIRAN FILSAFAT AL-GHAZALI

Sebagai tugas Filsafat Manusia

Dosen pengampu: Bapak Akhmad Rifandi, M.Psi

Disusun oleh:

KELOMPOK 1

1. Gusti Muhammad Rizqi Y. N. M. (2173201110011)


2. Hesty Yuliah (2173201110012)
3. Khairunnisa (2173201110015)
4. Soraya (2173201110067)
5. Ramadhani (2173201110071)

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BANJARMASIN

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “PEMIKIRAN
FILSAFAT AL-GHAZALI” dengan baik dan lancar.

Penulisan dan pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Manusia. Adapun yang kami bahas dalam makalah ini mengenai Ontologi, Aksiologi
dan Epistemologi. Dengan adanya makalah ini, harapan saya semoga dapat menambah
pengetahuan tentang materi yang dibahas.

Kami menyadari pula bahwa dalam proses penulisan makalah ini tidak terlepas dari
bantuan banyak buku dan jurnal refrensi yang telah kami baca dan kami rangkum sedemikian
rupa dan menjadi makalah yang kami buat ini. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca selalu kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah senantiasa meridhai segala
urusan kita. Aamiin.

Banjarmasin, 04 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar …………………………………………………………………….………….…i

Daftar Isi ………………………………………………..…………………………….………….ii

BAB I Pendahuluan ……..…………………………………………….………….……………..1

1.1 Latar Belakang ………………………………………………………………………..1

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………………...……..1

1.3 Tujuan Penulisan ……………………………………………………………………...2

BAB II Pembahasan ……………………………………….………………………………...….3

A. Biografi Al-Ghazali ……………………………………………………………………3

B. Fase Pencarian Ilmu Al-Ghazali ………………………………………………..…….4

C. Pemikiran Filsafat Menurut Al-Ghazali ……………………………………..………..6

2.3.1 Bentuk dan Sifat Realitas Al-Ghazali ………………………………………6

2.3.2 Konsep Partikular dan Universal Menurut Al-Ghazali ……………...….…10

2.3.3 Sumber dan Alat Memperoleh Ilmu ……..…………………………..……11

D. Sanggahan Al-Ghazali Terhadap Filosof …………………………………………….18

BAB III Penutup ………………..………………………………………………………..…….21

A. Kritik Dari Teori ……………………………………………………………………..21

B. Kesimpulan …………………………………………………………………………...21

Daftar Pustaka ………………….……………………………………………………………...22

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Kata filsafat berasal dari kata Yunani, yaitu Philosophia, terdiri dari kata “philos” yang
berarti cinta ataupun teman, kemudian kata “sophia” yang berarti kebijaksanaan, kearifan atau
pengetahuan. Jadi, Philosophia berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada kebenaran,
dalam hal ini kebenaran ilmu pengetahuan. Setiap manusia dengan segala potensi yang
dimilikinya mampu untuk berfilsafat hendak tetapi tidak semua orang senang dan mau berfilsafat
karena untuk berfilsafat suatu individu membutuh dari pertanyaan-pertanyaan sederhana namun
membutuhkan proses berpikir yang mendalam, sistematis dan umum, misalnya pertanyaan-
pertanyaan “Siapakah saya?, Darimanakah saya?, Darimana datangnya dunia? Mengapa dunia
itu terdapat?"

Dibalik sikap terpancarnya suatu pemikiran bahwa untuk sampai kepada kebenaran
secara epistemologik, manusia memiliki kebebasan, tetapi juga terdapat keterbatasan. Artinya
potensi manusia tidak sampai kepada kebenaran mutlak, melainkan terbatas kepada kebenaran
relatif atau semu. Al-Ghozali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme Islam, bahwa
menurutnya banyak sekali terdapat kesalahan filosof, karena mereka tidak teliti, seperti halnya
dalam logika dan matematika. Al-Ghozali meyerang dalil-dalil filsafat (Aristotoles) tentang
azalinya alam dan dunia. Disini Al-Ghozali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak
ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a. Siapa itu Al-Ghozali?


b. Apa pengertian filsafat menurut al-ghozali?
c. Bagaimana fase pencarian ilmu, pemikiran, dan metode berpikir filsafat menurut al-
ghozali?
d. Kenapa Al-Ghozali menyanggah pendapat para filsuf?

1
1.3 TUJUAN PENULISAN

a. Untuk mengetahui siapa itu Al-Ghozali


b. Untuk mengetahui pengertian filsafat menurut Al- Ghozali.
c. Untuk mengetahui bagaimana fase pencarian ilmu, pemikirannya, dan metode
berpikirnya menurut Al-Ghazali.
d. Untuk mengetahui alasan Al-Ghozali menyanggah pendapat para filsuf.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI AL-GHAZALI

Abu Hamid Muhammad Ibnu Muhammad Al-Ghazali adalah nama lengkap Al-Ghazali
yang bergelar Hujjatul Islam, beliau lahir di Thausi, Khusrasan, pada tahun 450 hijriyah (1058
M) dan beliau juga wafat di tanah kelahirannya pada tahun 505 hijriyah. Ayahnya adalah seorang
yang warai dan salih. Kerja beliau adalah seorang pemintal benang wol dan menjualnya di toko
miliknya berada di Thausi. Ia adalah seorang yang berkehidupan sederhana serta menekuni sufi
dan ahli dalam bidang ilmu tasawuf.

Awalnya Al-Ghazali belajar macam-macam ilmu di Thusi dengan Syekh Ahmad bin
Muhammad Al-Razakani yaitu orang tua asuh Al-Ghazali, lalu ia pindah ke Jurjan dan menimba
ilmu dengan Imam Abi Nasar Al-Ismaili. Kemudian setelah belajar di Jurjan ia berpindah ke
Naishabur untuk menimba ilmu pada Imam Dhiya al-Din al-Juwaini (Imam Al-Haramain.). Saat
belajar dengan Imamal-Juwaini, Al-Ghazali mendalami ilmu fiqih madzhab, ushul fiqih,
manthiq, ilmu kalam, sampai filsafat.

Pada tahun 478 H, Al-Ghazali berpindah ke Mu’askar, serta jadi seseorang guru di
madrasah Al-Nizhamiyah tahun 484 H sepanjang 4 tahun. Pada tahun 488 H, ia mengidap
penyakit jiwa yang membuat dirinya secara fisik tidak bisa lagi menjadi seorang guru yang
membuat Al-Ghazali mengundurkan diri dari jabatan guru besarnya.

Al-Ghazali mulai melaksanakan banyak kritik terhadap bermacam kehancuran yang


dicoba oleh ulama pada masa itu dan meragukan kebenaran dari hasil pengetahuan yang
diperoleh lewat panca indera serta akal pikiran. Seluruh keraguannya tersebut menuju pada para
mutakalimun (teolog), filosof, serta kalangan Syiah Bathiniyyah. Menurutnya, kebenaran yang
dicarinya sepanjang ini tidak ditemui di dalam kalam, filsafat serta kalangan Syiah Bathiniyyah,
tetapi Al-Ghazali menciptakan kebenaran tersebut di dalam tasawuf. Al-Ghazali merasakan
dengan tasawuf akan memperoleh kejernihan pikiran sehingga terbukalah ilmu yang tidak
sempat didapat. Tidak hanya itu, tasawuf membuat hati jadi cerah, perilakunya jadi sabar, dan
mendapatkan kepastian tentang ilmu.

3
Al- Ghazali setelah itu meninggalkan seluruh kemewahan, harta benda, kehormatan,
jabatan dan keluarga yang terdapat di Baghdad untuk berangkat ke Suriah di tahun 489 H. Di
Suriah, Damaskus dia tinggal sepanjang 11 tahun, yang sepanjang itu banyak perihal dilaluinya.
Mulai dari pertaubatannya dengan melaksanakan khalwat, beritikhtikaf, serta menyucikan diri
serta jiwanya, mensterilkan akhlak serta budi pekertinya, dan senantiasa mengingat Allah
semata. Dari Damaskus ini al- Ghazali setelah itu melanjutkan pengembaraannya ke Yuressalem,
yang setelah itu menetap serta berkhalwat di Masjid Baitul Maqdis. Kemudian ia juga kembali
ke Damaskus serta terakhir ke Baghdad. Dia hidup dengan berpindah-pindah untuk mendalami
pengetahuan serta mengajarkan pengetahuan.

Al-Ghazali banyak meninggalkan karya tulis. Menurut riset dari Saiful Anwar, paling
tidak terdapat 72 karya tulis yang diwariskan Al- Ghazali, yang secara universal bisa dipecah
dalam berbagai tema. Karyanya dalam bidang filsafat serta logika adalah antara lain Mi`yâr al-
`Ilm (Standar Pengetahuan), Tahâfut al-Falâsifah (Kerancuan Para Filsuf), serta Mihak al-
Nadzarfîal Manthiq (Batu Uji Pemikiran Logis), serta dalam bidang teologi merupakan Qawâ’ id
al-`Aqâ`id (Prinsip- prinsip Keimanan), serta al- Iqtishâdfî al- I`tiqâd (Muara Keyakinan).

B.. FASE PENCARIAN ILMU AL-GHAZALI

1. Fase Skeptis
Al- Ghazali terdorong buat mencari tahu kebenaran hakiki guna mencari pemecahan
atas kasus yang terdapat pada saat itu, yang lebih mendasar dalam menekuni keberadaan
ilmu pengetahuan. Dia meragukan bermacam argumentasi kelompok yang saat itu silih
bersilang komentar, sehingga terbentuknya bid’ah menyesatkan. Keraguan ini timbul atas
persoalan Al-Ghazali yaitu “Manakah dari kelompok-kelompok ini yang sangat benar?"
2. Fase Validitas
Dalam fase ini Al- Ghazali menyelidiki fitur pengetahuan yaitu Indera serta Akal,
tetapi keduanya masih mempunyai kelemahan dalam mencari kebenaran hakiki. Setelah
itu dia menekuni Ilmu Kalam, sehabis mengalaminya dia memandang kalau ilmu kalam
bertujuan cuma buat merumuskan asumsi atas lawan polemik mereka serta melecehkan
mereka dengan memakai dalil-dalil mereka sendiri, hingga ini sangat jauh dari mencari
kebenaran hakiki.

4
Ketika cita-citanya dalam ilmu kalam tidak terpenuhi, dia berupaya mencari ilmu
filsafat, tetapi dalam menekuni ilmu metafisika, Al-Ghazali menolak para filosof. Dengan
alibi kalau ilmu metafisika tidak bisa dicapai dengan ide semata. Hingga dia membuat
novel catatan tentang kerancuan para filosof ialah Tahafut al- Falasifah, yang mengkritik
metafisika. Setelah itu al-Ghazali berupaya mencari kebenaran kepada kalangan
Bathiniyah, dengan terlebih dulu menekuni segala aspek ajarannya.
Bagi Al-Ghazali kelompok ini menolak kredibilitas ide dalam permasalahan
agama, sebab kontradiksi komentar yang dihasilkannya, serta mereka cuma berpegang
pada ajaran imam Masum (leluasa dari kesalahan), yang menerima ajarannya langsung
dari Allah lewat Nabi Muhammad.
Berikutnya Al-Ghazali menekuni tasawuf, sehingga ia memiliki permasalahan
dilema, di mana ia wajib memilah salah satu dari 2 kemungkinan yaitu: mengamalkan
tasawuf dengan konsekuensi meninggalkan kemewahan, atau mempertahankan peran
serta fasilitasnya dengan konsekuensi tidak menambah pengalaman tasawufnya,
sebaliknya tasawuf sendiri diyakini sebagai jalur untuk menggapai kebenaran hakiki.
Setelah itu dia memilih buat mengamalkan tasawuf serta meninggalkan jabatannya.
3. Fase Evolusi
Pada fase ini, Al- Ghazali yang telah dirundung keraguan serta kegelisahan
intelektual sepanjang 2 bulan, memperoleh kesimpulan bahwa suatu yang dicarinya
sepanjang ini, ialah kebenaran hakiki lewat tata cara tasawuf. Al-Ghazali sudah
menggapai keadaan ataupun maqam makrifat dimana sinar Allah memancar ke hati, serta
sinar merupakan kunci ilmu yang hakiki. Sinar seperti itu diucap Al-Ghazali sebagai Ilmu
Laduni. Keadaan inilah yang melatarbelakangi pergantian epistemologi AL-Ghazali
dalam menulis karya-karya besar selama hayatnya. Sehabis menghadapi keadaan
tersebut, Al-Ghazali mengedepankan faktor spiritualitas, dibanding dengan faktor
teologis serta filosofis.

5
C. PEMIKIRAN FILSAFAT MENURUT AL-GHAZALI

Plato (429–347 SM) serta Neo-platonik yang idealis menyangka kalau yang substantive
merupakan suatu yang terdapat dalam ilham, metafisik, serta partikular (bertabiat umum).
Kebalikannya, Aristoteles (384–322 SM) memperhitungkan kalau yang esensial merupakan yang
objektif, empiris, sertapartikular. Al-Ghazali menerima kedua prinsip pemikiran ini sekalian
menggabungkannya selaku satu kesatuan tetapi pula menolak masing-masingnya, sehingga
lahirlah konsep baru ialah kenyataan yang empiris sekalian metafisik, serta partikular sekalian
umum. Namun, kesatuan kenyataan tersebut tidak bertabiat “satu” ataupun “sama” namun
berbeda, serta lapisan hierarki pada tiap-tiap kenyataan itu didetetapkan oleh nilai serta
hubungannya dengan yang maha nilai.

Bagi Tajuddin Al- Subki (w. 1379M), Al- Juwaini inilah yang mengenalkan Al-Ghazali
pada filsafat logika serta filsafat alam melalui disiplin teologi. Tidak hanya mendalami fiqh serta
teologi di Nisabur, Al- Ghazali pula belajar serta melaksanakan aplikasi tasawuf dengan
dibimbing oleh Abu Ali Al- Farmadzi (w. 1084 M) ialah seseorang tokoh sufi asal Thus, murid
Al- Qusyairi (986–1072 M). Dia pula menekuni doktrin-doktrin Ta`limiyahsampai Al
Mustadzhirjadi khalifah (1094–1118 M). Pada 1091 M, Al- Ghazali diundang oleh Nidham Al-
Mulk (1063–1092M), wazir dari Sultan Malik Syah I (1072–1092 M) buat jadi guru besar di
Nidhamiyah, Baghdad.

Sepanjang di Baghdad, Al-Ghazali sukses menyelesaikan kajiannya tentang teologi,


filsafat, ta`limiyah, sertatasawuf. Masa- masa di Baghdad ialah periode penyusunan sangat
produktif. Namun, di sisi lain, perkenalannya dengan 4 aliran ini nyatanya malah menimbulkan
Al- Ghazali menghadapi krisis epistemologis yang setelah itu memaksanya mengundurkan diri
dari jabatannya.

2.3.1 BENTUK DAN SIFAT REALITAS AL-GHAZALI

Bagi Al- Ghazali, seluruh kenyataan yang terdapat dari segi wujudnya, bisa
dipecah dalam 2 bagian, ialah empirik atau alam indriawi (`alam al- syahâdah) serta
metafisik atau pun alam tak kasat mata (`alam al- malakût ataupun`alam al- ghaib).

6
Alam empirik merupakan alam dasar sadar, alam jasmani, serta alam hitam,
sedangkan alam metafisik adalah alam atas, alam rohani, serta alam nurani. 2 wujud
kenyataan ini tak sama serta tak sederajat, namun berbeda secara hierarki. Perbandingan
antara 2 alam ini semacam kulit dengan isinya, wujud luar dari suatu dengan ruhnya,
kegelapan dengan sinar, ataupun kerendahan dengan ketinggian.

Al- Ghazali lebih lanjut mempunyai perumpamaan terhadap perbandingan serta


tingkatan kedua alam ini dengan sinar bulan yang menerobos masuk rumah dengan
melewati ventilasi serta jatuh di atassuatu kaca yang setelah itu membiaskan sinar
tersebut kepada bilik di depannya kemudian membiaskan lebih lanjut kelantai sehingga
meneranginya. Dalam perumpamaan ini, sinar di lantai berasal dari bilik, yang di bilik
berasal dari kaca, yang di kaca berasal dari bulan, serta yang di bulan berasal dari
matahari yang ialah sumber dari sinar bulan. Keempat sinar ini berturut- turut yakni
sebagian lebih besar serta lebih sempurna dibandingkan yang lain.

Bagi Al-Ghazali, kenyataan yang terdapat ini pula tersusun secara hierarki
sebagaimana hierarki sinar di atas, di mana sinar yang sangat dekat dengan sumber sinar
awal dinilai lebih utama serta sempurna dibandingkan cahaya- cahaya yang di bawahnya.
Diawali dari alam indra yang ialah kenyataan sangat dasar serta rendah, setelah itu naik
pada alam gaib awal, berikutnya naik pada alam gaib kedua, serta seterusnya hingga pada
alam sangat gaib serta berjumpa dengan sumber awal serta utamanya ialah, Tuhan yang
seluruh kenyataan terdapat dalam kekuasaan sertaperintah-Nya.

Gagasan tentang hierarki kenyataan yang terdiri atas alam gaib serta indriawiini,
di mana alam gaib dinilai lebih besar sebab dekat dengan sumber awalialah Tuhan yang
sebetulnya tidak berbeda dengan gagasan hierarki bentuk Al-Farabi (870–950 M) yang
tecermin dalam teori emanasinya. Tentang alam gaib sendiri yang diucap pula alam
ilahiyah, walaupun tidak dapat disaksikan dengan mataindra, namun dia dapat disaksikan
dengan matahati yang sudah disucikan. Bagi Al-Ghazali, ketidakmampuan mata indra
untuk menangkap kenyataan gaib diakibatkan terdapatnya kelemahan yang terdapat pada
dirinya, antara lain:

7
1. Mata hati sanggup meresap dirinya dengan suatu yang di luar dirinya. Mata hati
meresap dirinya selaku “yang mempunyai pengetahuan serta keahlian”,
“pengetahuan yang dimilikinya”, “pengetahuan tentang pengetahuan yang
dimiliki nya tentang dirinya”, serta seterusnya hingga tak terhingga. Inilah
kekhasan yang sama sekali tidak dipunyai oleh benda-benda lain dengan
mempergunakan fasilitas lahiriah semacam mata.
2. Mata indra tidak bisa memandang suatu yang sangat dekat ataupun sangat jauh,
sedang kan untuk mata hati, soal jauh serta dekat merupakan sama. Dalam
sekejap, mata hati bisa terbang kelangit serta pada kejapan selanjutnya dia
meluncur turun kebumi.
3. Mata indra tidak bisa menangkap suatu yang dibalik jilbab (tabir) sedangkan mata
hati dapat bergerak leluasa, apalagi di dekat `arâsy (singgasana Tuhan), kursy,
serta seluruh suatu yang terletak dibalik selubung langit. Apalagi, tidak terdapat
suatu pun hakikat seluruh suatu yang terhijab untuk mata hati, kecuali mata hati
menghijab dirinya sendiri sebagaimana mata indra menutup dirinya dengan
kelopak matanya.
4. Mata indra cuma bisa menangkap bagian luar dan bagian permukaan sesuatu serta
bukan bagian dalamnya atau pun hakikatnya, sedangkan mata hati sanggup
menerobos bagian dalam sesuatu serta rahasianya, menangkap hakikat-hakikat
serta ruh-ruhnya, merumuskan sebab-sebab, sifat-sifat, dan hukum- hukumnya.

Mata indra cuma sanggup menangkap sebagian kecil dari kenyataan. Dia tidak
sanggup menangkap suatu yang terjangkau nalar serta perasaan, semacam rasa cinta,
rindu, senang, risau, bingung, serta seterusnya. Dia pula tidak sanggup menangkap bunyi-
bunyian, bau, rasa, serta sejenisnya. Jelasnya, mata indra tidak memiliki jangkauan yang
luas, namun cuma terbatas pada alam warna serta wujud sesuatu yang jadi bagian dari
kenyataan sangat rendah.

Sedangkan itu dari segi sifatnya, kenyataan bisa dipecah menjadi 2, ialah aktual
serta potensial.

1. Bentuk aktual ialah seluruh kenyataan yang memiliki eksistensi di luar mental
ataupun anggapan manusia yang memiliki hakikat pada dirinya sendiri.

8
Kenyataan ini mencakup seluruh partikular, baik yang sensual ialah seluruh
modul dengan seluruh watak fisiknya, semacam warna, wujud, serta dimensi,
ataupun partikular yang non-sensual ialah seluruh suatu yang terdapat dalam diri
kita sendiri yang dikenal secara apriori, semacam kemampuan panca indra,
keahlian, kehendak, ide, serta seterusnya.
2. Bentuk potensial ialah seluruh kenyataan yang eksistensinya cuma terdapat dalam
mental ataupun benak serta anggapan. Bentuk ini dibagi dalam 3 bagian, ialah
bentuk al-hissi, bentuk al-khayali, serta bentuk al-‘aqli.
a. Bentuk al-hissi : suatu dalam kemampuan indra selaku ‘sense datum’,
artinya merupakan hasil anggapan langsung indra terhadap objek, serta
penampakan dunia luar pada indra yang penampakan tersebut tidaklah
ialah substansi objek yang sebetulnya melainkan Cuma halusinasi,
semacam apa yang dilihat orang tidur serta orang sakit.
b. Bentuk al-khayali : foto suatu objek yang terdapat dalam kemampuan
khayal (commonsense). Artinya sesuatu informasi yang telah
terinternalisasi atau pun penghayatan dalam mental serta ditaruh dalam
kemampuan memori seorang. Kedua bentuk ini ditatap oleh kalangan
realis mekritis selaku ‘sense informasi’ yang menghubungkan benak
subjek dengan objek.
c. Bentuk al-‘aqli : arti abstrak yang ditangkap oleh rasio dari suatu objek
bersumber pada “sense informasi’ (bentuk al-hissi serta bentuk al-khayali)
namun telah terlepas dari pengaruh indra serta khayal, semacam uraian
kalau hakikat manusia merupakan semacam hewan yang berpikir.

Bagi Saiful Anwar, konsep Al-Ghazali tentang bentuk aktual serta potensial
tersebut diambil dari pemikiran Al-Farabi serta Ibn Sina, yang saat ini di besarkan oleh
pemeluk realism kritis di Barat. Bagi mereka, eksistensi objek leluasa dari pengetahuan
namun mempunyai ikatan langsung di antara subjek dengan objek sehingga terdapat 3
komponen dalam proses pembuatan pengetahuan yaitu, pikiran atau pun subjek yang
mengenali, objek yang dikenal dengan seluruh mutu primernya, serta sense informasi
yang menghubungkan benak subjek dengan objek. Teori ini membolehkan kita buat

9
menarangkan soalilusi, halusinasi, serta berbagai anggapan sensual, sebab sense
informasi dapat mengalamai distorsi.

Berikutnya, dalam kaitannya dengan ontologis, bentuk aktual serta potensial ini
berhubungan dengan “kontingensi” serta “necessitas”. Bagi Al- Ghazali, bentuk aktual
merupakan suatu yang sudah terdapat secara konkret, nyata. Sedangkan bentuk potensial
merupakan suatu yang masih terdapat dalam konsep ataupun ilham serta siap buat jadi
bentuk konkret yang memahami ruang sertawaktu.

Tetapi, bentuk potensial ini masih dalam posisi kontingensi, yang mungkin
terdapat nya tidak lebih kokoh dari tidak terdapatnya, sehingga dia hendak senantiasa
dalam keadaan semacam itu sepanjang belum berganti jadi kenyataan yang aktual.
Perkara kontingensi, necessitas, serta kemustahilan hukum rasio yang tidak wajib
memiliki objek secara aktual. Karena, bila kontingensi perluasan dan kenyataan aktual
berbentuk modul, hingga kemustahilan juga membutuhkannya terhadap suatu yang tidak
dapat diterima oleh nalar.

2.3.2 KONSEP PARTIKULAR DAN UNIVERSAL AL-GHAZALI

Partikular merupakan bentuk rinci yang diklasifikasikan bersumber pada atas 2


jenis dan salah satunya terbagi menjadi 9, sehingga ada 10 jenis klasifikasi oleh
Aristoteles, antara lain:

1. Substansi ( jauhar)
2. 9 aksiden (`aradh):
1) Kuantitas (kammiyah) 6) Bentuk badan (wadha’)
2) Mutu (kaifiyah) 7) Posesi (lahu)
3) Kedekatan (idhafah) 8) Aksi (anyaf`ala), dan
4) Di mana (aina) 9) Passi (anyanfa`ila)
5) Kapan (mata)

Kategori- kategori ini ditolak oleh kalangan neo-platonik sebab dikira mereduksi
genus serta spesies. Tetapi jenis ini malah diterima Al-Ghazali secara mutlak, bukan
sebab taklid melainkan bersumber pada alasan rasional, 10 jenis tersebut ialah kenyataan

10
objektif yang dikenal oleh ide ataupun indra, serta tidak juga dalam bentuk yang tidak
tercakup di dalamnya. Sebab itu, tidak terdapat objek pengetahuan yang tidak masuk di
dalam jenis ini serta tidak terdapat kata ataupun barang kecuali menampilkan salah
satunya.

Ada pula kenyataan universal (umum), Al- Ghazali membagi dalam 2 bagian:

1. Universal Esensial, merupakan arti abstrak tanpa memandang atribut-atribut luar


yang menyertainya, yang mencakup genus, spesies, serta diferense.
2. Universal Aksi Dental, merupakan konsep abstrak yang ialah generalisasi dari
terdapatnya kesamaan- kesamaan dari partikular-partikular, baik yang spesial
semacam tertawa pada manusia ataupun yang universal semacam watak bergerak
pada modul.

Misalnya dalam suatu proses, indra membagikan data-data kepada energi khayal
berbentuk copy-an atas objek-objek sensual yang cocok dengan kenyataan yang terdapat.
Copy-an ini setelah itu diolah oleh energi khayal, diklasifikasi unsur-unsur persamaan
serta perbedaannya dengan yang lain sehingga dikenal sifat-sifat esesial serta
aksidentalnya, watak universal serta spesialnya. Dari satuan-satuan konsep ini, bila hanya
berkaitan dengan satu objek tertentu dengan seluruh atribut yang menyertainya hendak
menciptakan artipartikular serta bila berkaitan dengan objek-objek yang lain serta lepas
dari atribut-artribut aksinya menciptakan arti umum.

Al- Ghazali memakai konsep ini tidak hanya dalam metafisis namun pula
menjadikannya selaku landasan untuk hierarki ilmu serta prinsip-prinsip yurisprudensi
(ushûl al- fiqh) yang digagasnya, yang setelah itu dibesarkan lebih jauh serta sungguh-
sungguh oleh Al-Syathibi (1336–1388 M) dalam karyanya, al-Muwâfaqât.

2.3.3 SUMBER DAN ALAT MEMPEROLEH ILMU

Kewajiban untuk dapat mencari pengetahuan tentang ketiga aspek kehidupan ini
disyaratkan oleh timbulnya perkembangan-perkembangan baru serta lingkungan-
lingkungan yang berganti dalam kehidupan orang.

11
1) Fardhu kifâyah, yakni seluruh ilmu yang sama sekali tidak boleh diabaikan dalam
upaya penegakan urusan duniawi, semacam fiqh (yurisprudensi) dan medis. Ilmu-
ilmu ini bila tidak dipahami dapat membuat warga menghadapi kesusahan, sedangkan
bila telah dipahami hingga kewajiban pencariannya pada orang lain sudah gugur.
Bagi Al-Ghazali, pengetahuan yang masuk dalam jenis fardhu kifayah wajib dicari
dalam sesuatu batasan tertentu ialah batasan kecukupan, batasan kecukupan ini
bermacam-macam bagi orang, disiplin, serta kebutuhan warga yang berganti. Yang
diartikan batasan kecukupan dalam perihal ilmu-ilmu fardhu kifayah secara universal
yakni meliputi 3 perihal berikut:
a. Ilmu-ilmu dalam jenis fardhu kifayah ini tidak boleh dipelajari melebihi
batasnya. Artinya, orang yang menekuni ilmu fardhu kifayah wajib tetap
melindungi keunggulannya serta prioritas ilmu yang masuk dalam jenis
fardhu`ain.
b. Menekuni ilmu-ilmu kifayah wajib betul-betul hadapi kemajuan bertahap
dalam riset yang sudah dicoba.
c. Harus dapat menahan diri dalam menekuni ilmu- ilmu tersebut bila sudah
dipelajari orang lain dalam jumlah yang lumayan.

Dalam pemikiran Al-Ghazali, perolehan suatu ilmu terdiri atas 3 tingkatan


yaitu terbatas (iqtishâr), lumayan (îqtishâd), serta tingkatan lanjut (istiqshâ’).
Ilmu-ilmu yang terdapat dalam jenis fardhu kifayah tidak boleh dikejar sampai
keluar dari batasan 2 derajat yang awal.

Bagi Al-Ghazali, ilmu-ilmu yang masuk dalam jenis fardhu kifayah terdiri
atas 4 tipe, ialah: ushl (pokok), furû` (cabang), muqaddimât (prasarana), serta
mutammimât (aksesoris/pelengkap).

a. Ilmu prinsip/ pokok (ushûl): tafsir, hadis, ijma, serta atsar teman.
b. Ilmu cabang (furû`): ilmu- ilmu yang jadi bagian ilmu prinsip (ushûl)
namun tidak dapat dimengerti secara langsung (tekstual) namun dapat
diserap oleh ide.
c. Ilmu muqaddimât (prasarana): ilmu bahasa serta ilmu nahwu yang ialah
perlengkapan buat menguasai kitab Allah ialah Al- Quran.

12
d. Ilmu mutammimât (pelengkap): pengetahuan tentang nâsikh serta
mansûkh`âm serta khâs, ilmu tentang para periwayat hadis serta
sejenisnya.

Di samping 4 tipe keilmuan tersebut, terdapat sebagian ilmu lain bagi Al- Ghazali
yang secara eksplisit sebagai jenis fardhu kifayah. Ilmu-ilmu tersebut adalah medis
(al- thib), aritmetika (al-hisâb), politik (al- siyâsah), logika (al- manthiq), ilmuteologi
(`ilm al- kalâm), serta metafisika. Sebagian keahlian serta industri yang masuk dalam
jenis fardhu kifayah semacam pertanian (al-fallâhah), tekstil (al-hiyâkah), serta
desain busana (al-khiyâyah).

2) Ilmu-ilmu dalam jenis fadhîlah (memiliki keutamaan) namun tidak menggapai


tingkatan fardhu. Misalnya, spesialisasi aritmetika, yang tidak sering sekali
diperlukan namun berguna serta menguatkan kandungan yang dibutuhkan.
3) Pengetahuan dalam jenis netral, tidak dilarang (mubâh). Misalnya, ilmusyair-
syair dengan tidak memakai perkata vulgar ataupun tidak senonoh, ilmu sejarah
buat mencatat peristiwa- peristiwa berarti serta sejenisnya. Ilmu- ilmu lain yang
diucap selaku ilmu yang diperbolehkan (mubâh) merupakan geometri, astronomi.
4) Pengetahuan dalam jenis tercela (madzmûmah). Bagi Al- Ghazali, seluruh ilmu
pada dasarnya tidak terdapat yang tercela namun diadapat jadi tercela dalam
kaitannya dengan manusianya, dengan terdapatnya salah satu dari 3 sebab, yaitu:
a. Ilmu ini menimbulkan sesuatu kehancuran, baik untuk orang yang
mempraktikkan maupun tidak, semacam ilmu sihir serta jimat. Dari
sisi ilmunya sendiri, ilmu semacam ini sesungguhnya tidak tercela
namun ilmu ini tidak menciptakan apa juga kecuali buat mencelakakan
orang lain pula tercantum perlengkapan kejahatan untuk yang
mempraktikkan. Oleh sebab itu, ilmu- ilmu semacam ini dikira tercela
di samping dari aspek praktisnya yang banyak berlawanan dengan
syariat agama.
b. Pengetahuan dikira tercela bila bahaya yang ditimbulkan lebih besar
dibandingkan khasiat yang dapat diambil misalnya, horoskop (ilmu

13
ramalan bintang). Ketercelaan horoskop didasarkan atas sebagian alibi,
antara lain:
• Horoskop mengarahkan kalau bintang-bintang tertentu
memiliki pengaruh atas bermacam peristiwa di bumi.
Menghubungkan sesuatu kebaikan ataupun kejahatan dengan
pengaruh bintang- bintang dapat membahayakan akidah orang
awam.
• Adanya ramalan horoskop tentang peristiwa masa depan
dengan bawah sebab-sebab tertentu. Ramalan tersebut sekedar
murni dugaan serta tidak dapat didetetapkan dengan
kepercayaan atau pun apalagi dengan mungkin sekali pun;
kalau pun nyatanya ramalan tersebut benar atau pun teruji,
hingga itu cuma kebetulan sifatnya.
• Horoskop dikira tercela sebab dia sama sekali tidak bermanfaat
serta cuma membuang- buang waktu serta hidup suatu yang
berharga untuk manusia. Sebab itu, syariat agama melindungi
kesejahteraan religius serta spiritual muslim dengan
melaporkan kalau horoskop tercantum ilmu yang tercela.

Suatu ilmu dikira tercela bila pencarian tipe pengetahuan itu tidak membagikan
kenaikan pengetahuan secara nyata kepada orang yang menekuni atau pun
mempraktikkannya. Al-Ghazali membagikan contoh dengan belajar ilmu yang
gampang saat sebelum ilmu- ilmu yang berarti, menekuni rahasia- rahasia Ilahi untuk
orang yang belum memiliki ketentuan serta keahlian buat itu, yang kesimpulannya
malah membingungkan serta membahayakan keimanan yang diyakininya.

Dalam filsafat ilmu Al-Ghazali terdapat sedikitnya tujuh prinsip penerapan ilmu,
yaitu:

1) Prinsip objektivitas-kontekstualitas (namun tetap mempertimbangkan konteks


sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis),
2) Prinsip ilmu untuk amal dan kebahagiaan,
3) Prinsip prioritas,

14
4) Prinsip proporsionalitas,
5) Prinsip ikhlas,
6) Prinsip tanggung jawab moral dan profesional, dan
7) Prinsip kerja sama ilmu dengan politik.

Menurut Al-Ghazali epistemologi filsafat terbadi menjadi 2, yaitu:

1. Religious experience (pengalaman keagamaan)


2. Nasionalisme kritis (logika deduktif)

“…Epistemology of science is essentially a combination of thinking rationally and


thinking empirically. Both ways of thinking are combined in studying natural phenomena
to discover the truth because the epistemology of science utilizes both human capacities
in studying nature, namely the mind and the senses.”

(…Epistemologi ilmu pada dasarnya adalah kombinasi dari pemikiran rasional dan
berpikir empiris. Kedua cara berpikir digabungkan dalam mempelajari fenomena alam
untuk menemukan kebenaran karena epistemologi ilmu memanfaatkan kedua kapasitas
manusia dalam belajar alam, yaitu pikiran dan indera.)

Dibalik sikap terpancarnya suatu pemikiran bahwa untuk sampai kepada


kebenaran, secara epistemologik, manusia memiliki kebebasan, tetapi juga terdapat
keterbatasan. Artinya potensi manusia tidak sampai kepada kebenaran mutlak, melainkan
terbatas kepada kebenaran relatif atau semu. Sejalan dengan ayat QS. Al Nisa':113, al-
Ghazali secara jelas mengakui bahwa manusia memiliki potensi untuk memperoleh dan
mencapai ilmu. Ia menjelaskan ada tiga macam ilmu yang dapat dituntut oleh manusia,
yakni ilmu-ilmu indrawi, ilmu-ilmu akal dan ilmu laduni.

Gagasan Al-Ghazali tentang pengetahuan serta seluruh yang berkaitan dengannya


tidak lepas dari pemikirannya tentang kenyataan yang bertabiat hierarkis. Baginya,
pengetahuan bersumber pada 3 perihal, ialah kasyf (intuisi), wahyu (al-Qur’an serta
Sunnah Rasul), serta `aql (rasio). Ketiga sumber pengetahuan ini, walaupun dikira satu
kesatuan, berbeda dari segimutu sehingga membentuk hierarki sumber pengetahuan yang
pada gilirannya juga membentuk hierarki pengetahuan yang dihasilkan. Pengetahuan

15
lewat kasyf dinilai lebih jelas dibandingkan pengetahuan bersumber pada wahyu (naql)
serta rasio.

Perbandingan antara kasyf di satu sisi dengan naql serta rasio di sisi yang lain
adalah sama dengan orang yang memandang bulan purnama secara langsung dengan
orang yang melihatnya lewat bayangannya di dalam air. Sejalan dengan itu, bersumber
pada pertimbangan atas tingkatan khasiat serta pula kemudaratan terhadap suatu disiplin
ilmu dalam perspektifreligius, sehingga Al-Ghazali membagi ilmu dalam 5 hierarki
hukum dalam pencariannya, ialah:

2) Fardhu `ain, ialah ilmu yang wajib dipunyai oleh tiap orang Islam, tidak boleh tidak,
sebab demi kebaikan serta keselamatannya di kehidupan kemudian ialah akhirat. Ilmu
yang masuk dalam jenis ini mengacu pada ilmu- ilmu yang menuju pada jalur mengarah
pada keselamatan hidup setelah mati (`ilm tharîq al-âkhirah). Ilmu- ilmu fardhu`ain
berkenaan dengan 3 perihal:

a. I`tiqad (keyakinan)
Menimpa keyakinan (i`tiqâd), ialah doktrin-doktrin bawah yang wajib
dipelajari oleh seseorang yang senantiasa ataupun sama selama hayatnya,
walaupun pengetahuan tersebut mungkin dapat berganti, kian mendalam
maupun timbulnya kebingungan. Dalam perihal ini, bila keimanan seorang
timbul keraguan, dia harus mencari pengetahuan yang bisa melenyapkan
keraguan tersebut. Al-Ghazali membagi ilmu-ilmu yang masuk dalam jenis
fardhu`ain ini dalam 2 bagian, ialah:
• Ilmu Esoterik ialah ilmu batin yang berupaya buat menyingkap atau pun
menguasai makna-makna yang tersembunyi, semacam arti kenabian,
wahyu, malaikat, mizan, shirat, gimana setan berbenturan dengan
malaikat, serta seterusnya. Walaupun demikian, sebab dia bertabiat
esoterik, pencariannya tidak diharuskan atas tiap orang Muslim, namun
cuma diperuntukan kepada minoritas orang yang layak serta cakap dalam
jalur spiritual.
• Ilmu Eksoterik ialah ilmu yang mengendalikan praktik-praktik kebaktian
(ibadah) yang mencakup doktrin dan aplikasi sekalian. Ilmu yang

16
berhubungan dengan doktrin merupakan ilmu- ilmu yang berkaitan dengan
rukun iman ataupun tiang-tiang mendasar dari iman Islam serta doktrin-
doktrin fundamental yang diturunkan darinya. Ilmu ini dicari sebab
menyelamatkan jiwa serta demi kebahagiaan di harinanti. Sedangkan itu,
ilmu aplikasi kebaktian yang berhubungan dengan aplikasi religious ialah
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan rukun Islam serta hal- hal tentang
kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri.
b. Amalan (yang wajib dikerjakan)
c. Larangan (penghindaran diri)

Pemahaman aksiologi (tujuan dan kegunaan) ilmu dalam pandangan al-Ghazali


erat kaitanya dengan klasifikasi ilmu yang diajukan secara makro, yakni ilmu Syariah
dan Ghairu Syariah. Namun tidak terbatas pada kedua klasifikasi tersebut, al-Ghazali
membagi ilmu-ilmu Ghairu Syariah kepada tiga jenisnya: ilmu terpuji, tercela dan yang
dibolehkan bagi manusia menuntutnya.

Klasifikasi secara mendetail tentang ilmu yang dikemukakan al Ghazali dapat


dipahami dalam makna aksiologionya, bahwa setiap ilmu itu memiliki tujuan dan
kemanfaatan bagi kehidupan manusia, sekalipun ilmu tersebut dalam pendangan al-
Ghazali tercela tetapi pada dasamya memiliki tujan dan kegunaan bagi penuntutnya,
terlepas baik maupun buruk. Al-Ghazali menegaskan adanya keterbatasan manusia,
artinya manusia secara jasmani apalagi rohani sangat terbatas untuk memperoleh ilmu itu
khususnya ilmu ghairu syariah. Sedangkan dari aspek substansinya, ilmu syariah
merupakan ilmu yang sudah balm dan sudah jelas (Qath'i). Oleh karena itu wajib untuk
dicapai sebab manusia tidak banyak memerlukan penalaran pemikiran.

Menurut al-Ghazali, ilmu-ilmu yang terpuji adalah setiap ilmu yang tidak
diabaikan dalam menegakkan urusan llmu yang jelas memiliki kegunaan dan lahirnya
kedunia secara pasti ada tujuannya. Tujuan terwujudnya ilmu itu dalam pandangan al-
Ghazali sangat terpengaruh oleh pemikiran kalamnya yang bersifat teosentrik. Semua
ilmu menurut al-Ghazali adalah untuk ibadah (pengabdian kepada al-Khalik). Hal ini
dilihat dari posisi ilmu Syariah yang semata-mata berisikan ilmu agama yang sangat sarat
dengan nuansa ukhrawi. Sedangkan ilmu ghaim Jariah dimensinya pada ilmu yang terpuji

17
(ilmu duniawi untuk kemaslahatan umat), semisal ilmu kedokteran juga ilmu hitung,
pertemuan-pertemuan, politik dan lain-lain.

Jadi hukum mempelajari ilmu menurut al-Ghazali ditujukan kepada tujuan dan
kegunaan ilmu itu. Karena setiap ilmu memiliki tujuan dan kegunaan bagi penuntutnya.
Oleh karena itu al-Ghazali memaknai hadis Baihaqi sebagai fardhu dalam arti kewajiban
muslim. Artinya setiap muslim wajib menuntut dan mencapainya.

D. SANGGAHAN AL-GHAZALI TERHADAP FILOSOF

Menurut Al Ghazali, wujud yaitu ada, dalam arti tertentu eksistensi, merupakan konsep
dasar yang paling umum meliputi semua maujud (yang ada). Lain halnya dengan metafisika
(ketuhanan), Al-Ghazali memberikan reaksi keras terhadap Neo-Platonisme Islam, menurutnya
banyak sekali terdapat kesalahan filosof, karena mereka tidak teliti seperti halnya dalam
lapangan logika dan matematika. Al-Ghazali meyerang dalil-dalil filsafat (Aristotoles) tentang
azalinya alam dan dunia. Disini Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak
ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.

Al-Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam, ia


berpendapat bahwa soal keabdian alam itu terserah kepada Tuhan semata-mata. Mungkin saja
alam itu terus menerus tanpa akhir andai kata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi, bukanlah
suatu kepastian harus adanya keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri diluar iradat
Tuhan.

a. Klasifikasi Wujud “ada”. Ada 4 kategori “ada”, sebagai berikut:

1) Ada hakiki (zati);


2) Ada dalam mental subjek yang mengetahui;
3) Ada dalam lafadz lisan; dan,
4) Ada dalam tulisan.

18
b. Al Ghazali membedakan antara “ada” dalam realitas aktual (ada objektif) dengan
“ada” dalam konsep mental (ada subjektif).

1) Ada objektif merupakan refleksi dari asumsi ontologis bahwa segala sesuatu
mempunyai esensi.
2) Ada subjektif merupakan refleksi dari asumsi epistemologis bahwa esensi segala
sesuatu itu dapat ditangkap manusia.

c. Allah dan alam. Menurut konsep dualisme islami, ada dua realitas fundamental yaitu
Allah dan selain Allah, yakni seluruh alam termasuk manusia dengan prinsip tauhid
(meng-Esakan Tuhan). Ontologi Ghazali merupakan sebuah kombinasi 3 unsur utama
yaitu:

1) Teologi Islam (kalam);


2) Ontologi filsuf; dan,
3) Teosofi sufi.

d. Wujud Allah dalam alam. Menurut Al Ghazali, alam fisis tidak mempunyai wujud
yang sejati seperti yang dimiliki alam malaikut, yang nisbah antara keduanya ibarat
bayang-bayang dengan materi, sehingga alam fisis adalah alam tiruan atau alam khayal.
Ada tiga jenis kelompok manusia tentang wujud Allah:

1) Penyangkal (Jahidun) adalah kaum monistik yang hanya mengakui alam, tidak
mengakui adanya Tuhan;
2) Kaum Dualis adalah kaum yang mengakui keduanya dan menyetarakan keluarga
(syirik); dan,
3) Penganut tauhid murni adalah yang hanya melihat satu maujud yaitu Allah.

e. Hukum Kausalitas. Menurut Al Ghazali terbagi menjadi 2 yaitu:

1) Al Ghazali menganut kausalisme atau determinisme kausal.


2) Al Ghazali menolak hukum kausalitas sebagai hukum alam dan keabsolutanya.
3) Ada 4 teori dari Al Ghazali:
• Teori Takdir • Teori Mu’tazilah
• Teori Asy’ariah • Teori Filosof

19
Tekanan pokok dari keempat teori tersebut adalah menolak prinsip bahwa
alam dan fenomena-fenomenanya diatur oleh hukum alam yang dibuatnya sendiri,
dan mempertahankan prinsip bahwa alam dan fenomena-fenomenanya diatur oleh
Allah penciptanya. Al Ghazali mengakui adanya tiga realistis:

1. Adanya hukum kausalitas natural;


2. Adanya kausalitas moral; dan,
3. Adanya para malaikat.

Konsep sebab-akibat al-Ghazzali menjadi popular karena ia merupakan bagian (masalah


ke-17) dalam Tahafut al-Falasifah. Kritikan Ibn Rusyd terhadap Tahafut al-Falasifah khususnya
dalam soal sebab-akibat dipersetujui oleh beberapa cendekiawan Muslim kontemporer. Sehingga
al-Ghazali pun dituduh sebagai pembawa kemunduran sains dan falsafah dalam Islam. Padahal
disertasi kedoktoran Michael Marmura telah membuktikan bahwa Ibn Rushd salah faham
terhadap al-Ghazali. Malangnya kesalah fahaman ini dipakai lagi untuk menyimpulkan bahwa
pemikiran Ibn Rushd di ambil pihak Barat sehingga Barat menjadi maju, sedangkan pemikiran
al-Ghazali diambil oleh umat Islam yang terjadinya kemunduran.

20
BAB III
PENUTUP
A. KRITIK PADA TEORI
Tiap teori memiliki kekurangan dan juga kritik yang diberikan untuk teori tersebut,
berikut beberapa kritik pada teori-teori Al-Ghazali :
1. Al-Ghazali lebih dekat dengan konsepsi kaum Sufi, di mana dalam batasan-batasan
tertentu mengesampingkan kehidupan dunia dan hanya menfokuskan kehidupan
akhiratnya, sehingga dalam kondisi yang seperti ini seakan menjadi benih kemunduran di
kalangan umat Islam.

2. Pemikiran al-Ghazali, memuat ajaran yang komprehensif untuk menjaga jiwa dari
kesalahannya, melindungi dan mengurusi anggaota tubuh, menyempurnakan akhlak dan
memeliharanya, dengan demikian perjalanan sufistik itu sangat mempengaruhi pemikiran
al-Ghazali dalam hal pembentukan akhlak yang mulia.
B. KESIMPULAN
Bersumber pada penjelasan di atas, terdapat sebagian perihal butuh di informasikan.
Awal pembagian tentang wujud serta tingkatan mutu alam oleh Al- Ghazali jadi 2 bagian, ialah
alam atas serta dasar, yang tiap-tiapnya termanifestasikan oleh alam malakût yang bersih dan
mulia serta alam dunia yang kasat mata serta rendahsesungguhnya, bukan ilham baru. Para filsuf
tadinya pula sudah melaporkan perihal itu, walaupun dengan format yang berbeda. Tetapi, yang
berbeda dari Al- Ghazali, tingkatan ini tidak tersusun secara emanasi sebagaimana pemikiran
filsafat, namun bersumber pada teori imkân yang biasa dikaji dalam teologi, ialah kalau alam
dicipta dari suatu yang tiada (creatio ex nihilo).

Pemikiran Al- Ghazali tentang 2 kenyataan, partikular serta umum, yang keduanya
bersama ialah substansi yang memiliki bangunan tertentu tetapi saling berkaitan, merupakan
gagasan yang genius. Dengan pemikiran ini, doktrin kalangan teolog bahwa semesta diciptakan
dari suatu yang tiada, creatio ex nihilo, dapat dipaparkan sehingga perbandingan antara doktrin
teologi serta filsafat dapat dituntaskan. Tetapi, gagasan bukan tidak dapat dipersoalkan. Pada
saatnya, konsep Al- Ghazali ini dapat dikira syirik, ketika dihadapkan pada konsep kesatuan
bentuk Ibn Arabi (1165- 1240 M).

21
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, (1979), 1/jyd' Ulrim ad-Din, jilid I, diedit oleh Badawy Thabanah, Mesir: Dar Ihya ·
al-Kutub al-Arabiyah Isa al-Baby. al-Halaby wa Syirkati

Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004,

Al-Ghazali, Tahafut Al-Falasifah, Terjemah: Akhmad Maimun, Kerancuan Filsafat,


(Yogyakarta: Islamika, 2003), h. xxxii

Boer, T.J, De. The History of Philosophy in Islam. New York: Dover Publikation Inc.

Anwar, Saeful. 2007. Filsafat Ilmu Al-Ghazali: Dimensi Ontologi dan Aksiologi. Bandung,
Pustaka Setia
Madkour, Ibrahim. 1995. Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tatbiqub al-Juz al-Sani.
Terjemahan oleh Yudian Wahyudi Asmin dengan Judul Aliran dan Teori Filsafat Islam.
Jakarta: Bumi Aksara
Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia Upaya Membangkitkan Humanisme, (Yogyakarta: Pustaka
Filsafat, 2009).

22

Anda mungkin juga menyukai