Anda di halaman 1dari 14

PEMIKIRAN PARA FILOSOF ISLAM KLASIK

Makalah Ini Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Islam Kontemporer

Dosen Pengampu : Havidz C. Pratama, S.Pd.I,.,M.Pd.

Haula Qohi Funu

2006010084

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan banyak kenikmatan dan
kemudahan kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini
dengan baik. Sholawat serta salam selalu kita haturkan kepada Nabi Muhammad ‫ ﷺ‬yang semoga
syafaatnya dapat menolong kita di hari akhir kelak.

Terimakasih kami ucapkan kepada dosen pengampu yang telah membantu kami dalam
penyusunan makalah ini. Semoga dengan disusunnya makalah ini dapat menambah wawasan kita
sekaligus kita semua dapat memahami dengan baik tentang pemikiran para filosof islam klasik.

Kami menyadari bahwa tidak ada hal yang sempurna begitu juga mmakalah ini, sehingga
kami mengharapkan kritik dan saran yang dapat dijadikan motivasi bagi kami, dan semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca, aamiin.

Purwokerto, 9 maret 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………… 2

DAFTAR ISI …………………………………………………………………….. 3

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 4

A. Latar Belakang …………………………………………………………… 4


B. Rumusan Masalah ……………………………………………………….. 4
C. Tujuan ……………………………………………………………………. 4

BAB II ISI ……………………………………………………………………….. 5

A. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina …………………………………………….. 5


B. Pemikiran Filsafat Al Ghazali …………………………………………… 8
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd …………………………………………... 10

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………… 14

A. Kesimpulan ………………………………………………………………. 14
B. Saran ……………………………………………………………………… 14

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu pembendaharaan ilmu dalam Islam adalah Filsafat Islam, ilmu ini
merupakan produk sumbangan pemikiran para filosof muslim, yang berusaha
merekonsilidasikan pemikiran filsafat dengan ajaran Islam yang sarat dengan muatan-
muatan intitusi ilmiah.
Para filosof muslim yang corak berfikir filsafatnya, memang di satu segi
terpengaruh oleh cara berfikir para filosof Yunani (khususnya), namun demikian, mereka
tidak begitu saja menerima pemikiran filsafat para filosof Yunani tersebut. Untuk
itu, mereka secara intens berupaya menyelaraskan antara agama dengan logika wahyu
dan filsafat dengan logika rasio. Perpaduan antara “bahasa langit” dengan “bahasa bumi”
ini telah dikenal dengan sedemikian rupa, sehingga membentuk seperangkat ilmu
dengan metode logisnya yang khas pada masa perkembangan pemikiran rasional
dalam Islam
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana pemikiran filsafat Ibnu Sina ?
2. Bagaimana pemikiran filsafat Al Ghazali ?
3. Bagaimana pemikiran filsafat Ibnu Rusyd ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pemikiran filsafat Ibnu Sina
2. Untuk mengetahui pemikiran filsafat Al Ghazali
3. Untuk mengetahui pemikiran filsafat Ibnu Rusyd

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA


1. Biografi Singkat Ibnu Sina

Riwayat Hidup Singkat Ibnu SinaNaman Lengkepnya adalah Abu Ali Al-Husain
Bin Abdullah Bin Sina, lahir di Afsyana dekat kawasan Bukhara pada tahun 370 H
(980 M). Ia dibesarkan di Bukhara pada umur 10 tahun, Ibnu Sina telah
mempelajari ilmu-ilmu agama, kesusasteraan, serta telah hapal Al-Qur‟an. Ibnu
Sina wafat dalam usia 58 tahun (1037 M) dan dikebumikan di Hamazan. Di Barat ia
lebih poluler dengan nama sebutan Avicenna akibat dari terjadinya metamorfoose
Yahudi-Spayol-Latin. Dengan lida Spanyol kata Ibn di ucapkan Aben atau Aven.
Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha menterjemahkan naskah-naskah Arab
ke dalam bahasa latin pada pertengahan abad kedua belas di Spanyol

Ayahnya bernama Abdullah adalah seorang Ismailliyah. Lewat usaha ayahnya,


Ibnu Sina tertarik untuk mempelajari ilmu filsafat dengan menekuni alam fikiran
Yunani, Islam dan berbagai perangkat materi filsafat lainnya. Selain itu, ia juga
mempelajari ilmu logika, geometri, dan astronomi dari Abu Abdillah dan secara
otodidak, ia belajar ilmu kedokteran, fisika dan metafisika serta memperoleh
pengetahuan secara mendalam dari jenis ilmu yang disebut terakhir ini. dalam usia
enam belas tahun, ia telah dikenal sebagai seorang dokter yang ahli dalam berbagai
penyakit. Dan dalam usia delapan belas tahun, ia telah menguasai berbagai macam
ilmu pengetahuan, seperti filsafat, matematika, logika, astronomi, musik, mistik, bahasa,
dan ilmu hukum Islam

2. Konsep Dasar Pemikiran Filsafat Ibnu Sina

a) Wajib al wujud dan mukmin al wujud

Ibnu Sina dalam tulisannya berupaya menjelaskan pengertian wajib al-wujud


(yang mesti ada) dan mukmin al-wujud (yang boleh ada). Wajib al-wujud adalah
wujud yang menurut akal mestilah ada, dan mustahil tidak ada; sedang mukmin al-
wujud adalah wujud yang menurut akal tidak mesti ada, tidak mesti tidak ada (tidak
mustahil ada), tapi boleh ada dan boleh pula tidak ada. Wajib al-wujud dapat pula dibagi
dua kategori, yaitu: wajib al-wujud zatih (yang mesti ada dan mesti selamanya ada
karena dirinya sendiri) danwajib al-wujudbi gayrih (yang mesti ada karen yang lain).
Yang akhir ini (wajib al-wujud bi gayrih,; yang mesti ada karena yang lain) mestilah
ada bila yang lain ada; tapi bila yang lain tidak ada, ia tidak mesti ada karena ia
sebenarnya juga adalah mukmin al-wujud bi zaatih (wujud yang diliha dari sudut
dirinya boleh ada, boleh tidak ada, tidak mesti ada, tidak mesti tidak ada, atau tidak

5
mustahil ada). Sebagai contoh, bila ada dua dan tiga, maka mestilah ada lima karena
adanya dua dan tiga itu. Bila dua dan tiga tidak ada, maka lima tidak mesti ada.

Wajib al-wujud karena dirinya sendiri tidak bisa sesuatu himpunan, dan tidak
bisa sesuatu yang mengandung bagian-bagian atau mengandung kejamakan. Ia haruslah
sesuatu yang simpel, kebaikan yang sempurna, dan tidak bersifat materi/potensi. Ia
sepenuhnya „aqil (yang berpikir), „aql (daya pikir), dan ma‟qul (yang dipikirkan)
sekaligus. Ia haruslah kebenaran semata (absolut) dan esa hakiki (absolut).Iradahnya
tidaklah berbeda dari ilmunya, dan tidak berbeda dari kekuasaanya. Semua sifat-sifatnya
atau salah satu sifatnya tidak memestikan adanya kejamakan dan keberlainan pada
dirinya. Wajib al-wujud karena dirinya sendiri itu tidak lain dari Allah swt. Sedangkan
wajib al-wujud karena yang lain, atau mukmin al-wujud karena dirinya sendiri, tidaklah
lain dari segenap alam yang diciptakan Tuhan.

b) Qodim dan muhdas

Ibnu Sina dalam tulisannya berupaya menjelaskan pengertian qadim


(sesuatu yang tidak ada awalnya) dan muhdas (sesuatu yang dijadikan/diciptakan).
Menurutnya ada dua macam qadim, yaitu qadim dari segi substansi dan qadim dari segi
waktu. Qadim dari segi substansi berarti substansinya itu ada dengan sendirinya,
tidak bersal dari substansi yang lain, Qodim dari segi waktu berarti substansinya
tidak pernah tidak ada di masa lalu, atau tidak di dahului oleh waktu. Muhdas juga
dua macamnya, yaitu Muhdas dari segi substansi dan muhdas dari segi waktu. Muhdas
dari segi substansi berarti substansinya diciptakan atau keberadaan substansinya
bergantung pada substansi yang lain. Muhdas, dari segi waktu berarti suatu yang
pernah tidak ada dan kemudian ada karena diciptakan/diwujudkan, atau dengan kata
lain: pada awalnya ia tidak ada, kemudian ada. Menurut Ibnu Sina, seperti menurut
Al-Farabi juga, Tuhan adalah satu-satunya wujud yang qadim dari segi substansi dan
dari segi waktu, sedang totalitas alam ciptaan-Nya adalah muhadas dari segi substansi,
tapi qadim dari segi waktu.Itu berarti bahwa totalitas alam, substansinya bukanlah ada
dengan sendirinya, tapi bergantung pada substansi Tuhan, adanya karena
diciptakan Tuhan; kendati demikian, penciptaannya berlangsung sejak qadim,
sehingga dari segi waktu-alam, yang diciptakan itu juga qadim. Ibnu Sina
menegaskan bahwa penciptaan alam itu berlangsung sepanjang masa (terus
menerus), dan tidak mungkin bahwa alam itu muncul sesudah pernah ia tidak ada.
Kemunculannya mustahil tdak didahului oleh materi/potensi yang darinya alam itu
muncul/dijadikan.

6
c) Teori emanasi

Dalam teori emanasi Ibnu Sina hampir tidak berbeda sama sekali dengan
teori emanasi yang telah lebih dahulu dikemukakan Al-Farabi. Dari Tuhan
memancar 10 akal (Akal I sampai dengan akal X), 10 jiwa (9 jiwa langit dan satu jiwa
bumi), dan10 raga (9 raga langit dan saturaga bumi). Emanasi itu adalah akibat
aktivitas mengetahui atau berpikir. Tuhan berpikir tentang diri-Nya, maka
memancar Akal I. Akal I memiliki tiga aktivitas berpikir, yaitu: (i) berpikir tentang
Tuhan, (ii) berpikir tentang dirinya sebagai wajib al-wujud karena Tuhan, dan (iii)
berpikir tentang dirinya sebagai mukmin wujud dari segi substansi sendiri. Sebagai
akibat aktivitas pertama, memancar Akal II; sebagai akibat aktivitas kedua,
memancar jiwa langit pertama; dan sebagai akibat aktivitas ketiga, memancar raga
langit pertama. Akal II juga memiliki tiga aktivitas seperti tersebut di atas, dan
akibatnya juga tiga, yaitu meuncul Akal III, jiwa langit kedua, dan raga langit
kedua. Demikian seterusnya sampai muncul Akal X, jiwa langit kesembilan
(bulan),dan raganya. Dari Akal X hanya memancar jiwa dan raga bumi. Akal IX
tidak cukup kuat untuk memancarkan Akal berikutnya. Pada bumi banyak muncul raga-
raga tumbuhan, binatang, dan manusia, yang masing-masing raga itu ditempati oleh
satu jiwa individual.

d) Tuhan, akal, jiwa dan tubuh

Baik Tuhan, maupun akal-akal („uqul), dan jiwa-jiwa (nufus) adalah


substansi-substansi yang imateri. Tuhan dan akal-akal, selain imateri, juga
selamanya terpisah dari materi/tubuh. Tuhan mengatur segenap alam melalui akal-
akal. Akal-akal adalah pengatur materi/tubuh secara tidak langsung, sedang yang
langsung mengatur/mengendalikan materi/tubuh. Dalam pemahaman Ibnu Sina, Akal
I adalah pengatur raga langit pertama secara tidak langsung. Pengaturnya
langsung adalah jiwa langit pertama itu sendiri. Akal II adalah pengatur tidak
langsung terhadap raga langit kedua, sedang pengatur terhadap raga langit kedua
adalah jiwa langit kedua itu sendiri. Demikianlah seterusnya dengan akal-akal
berikutnya. Akal X adalah pengatur tidak langsungterhadap raga-raga yang terdapat
di bumi, tapi pengendali masing-masing raga itu secara langsungadalah jiwa
masing-masing. Manusia, misalnya sebagai makhluk yang terdiri dari tubuh dan
jiwa rasional, maka yang diminta pertanggungjawaban aktivitasnya adalah jiwanya,
karena jiwanya itulah menjadi pengendali langsung terhadap tubuhnya. Tuhan dan
Akal X hanyalah pengendali/pengatur secara tidak langsung terhadap tubuh manusia.
Akal X yang berhubungan langsung dengan jiwa-jiwa di bumi, termasung dengan
jiwa-jiwa manusia, disebut dalam falsafah Ibnu Sina sebagai Akal Aktif, yang
menggerakkan sesuatu yang potensil di bumi menjadi sesuatu yang aktual

7
B. PEMIKIRAN FILSAFAT AL GHAZALI
1. Biografi Singkat Al Ghazali

Nama asli Imam al-Ghazali ialah Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu
Hamid Ath Thusi Al-Ghazali. Lahir di Thusi daerah Khurasan wilayah Persia tahun 450
H (1058 M). Pekerjaan ayah Imam Ghazali adalah memintal benang dan menjualnya di
pasar-pasar. Ayahnya termasuk ahli tasawuf yang hebat, sebelum meninggal dunia, ia
berwasiat kepada teman akrabnya yang bernama Ahmad bin Muhammad Ar Rozakani
agar dia mau mengasuh al-Ghazali. Maka ayah Imam Ghazali menyerahkan hartanya
kepada ar-Rozakani untuk biaya hidup dan belajar Imam Ghazali. Ia wafat di Tusia,
sebuah kota tempat kelahirannya pada tahun 505 H (1111 M) dalam usianya yang ke 55
tahun.

Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh
Ahmad bin Muhammad Ar-Rozakani (teman ayahnya yang merupakan orang tua asuh al-
Ghazali), kemudian ia belajar pada Imam Abi Nasar Al-Ismaili di negeri Jurjan. Setelah
mempelajri beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Naishabur dan belajar pada
Imam Al-Haromain. Di sinilah ia mulai menampakkantanda-tanda ketajaman otaknya
yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu
seperti ilmu matiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi‟i. Karena kecerdasannya
itulah Imam Al-Haromain mengatakan bahwa al-Ghazali itu adalah ”lautan tak bertepi...”

2. Pemikiran Filsafat Al Ghazali


a) Metafisika

Untuk pertama kalinya Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat


terutama karangan Ibnu Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil
kesimpulan bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah
seperti mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.

Al-Ghazali dalam Al-Munqidz min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara


mengenai ketuhanan (metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan
mereka (para filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-
syarat yang telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.

Al-Ghazali meneliti kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang
mengandalkan akal untuk memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun
menekuni bidang filsafat secara otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang
mengangkatnya sebagai filsuf. Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada
kesimpulan bahwa metode rasional para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan
suatu pengetahuan yang meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika
(ilahiyyat) dan sebagian dari bidang fisika (thabi‟iyat) yang berkenaan dengan akidah

8
Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap
kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat
metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para
filosof dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.

b) Iradat Tuhan

Mengenai kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu
berasal dari iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang
berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan zarah-
zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang abstrak
dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang kita lihat ini.

Iradat tuhan adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang
diciptakan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan adalah
transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab
hakiki dari segala kejadian.

Pengikut Aristoteles, menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan
akibat (hukum kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy‟ari berpendapat
bahwa suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk
menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai contoh,
kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain. Semua ini hanya
merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian. Terjadinya segala sesuatu di
dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah semata. Begitu juga dengan kasus tidak
terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak
mungkin, kecuali dengan menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri
(zat) Nabi Ibrahim menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.

c) Etika

Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori
tasawufnya dalam buku Ihya‟ „Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali
adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita temui pada
semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi „Ala Thaqah al-Basyariyah,
atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman „Ala Thaqah al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar
manusia sejauh kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti
pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.

9
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta
yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan) bagi
sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap bahwa
Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu
pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama
sekali.

Al-Ghazali sesuai dengan prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di


mana-mana, juga dalam materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi
nafsu dan jangan berlebihan.

Bagi Al-Ghazali, taswuf bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari
syari‟at, hal ini nampak dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya‟nya yang
merupakan perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti
kewajiban agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam
melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna
yang terkandung di dalamnya.

C. PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU RUSYD


1. Biografi Singkat Ibnu Rusyd

Nama lengkapnya, Abu Walid Muhammad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd


dilahirkan di Cordova sebuah kota di Andalus. Ia terlahir pada tahun 510 H/126 M,
Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd. Orang barat menyebutnya dengan
sebuah nama Averrois. Sebutan ini sebenarnya di ambil dari nama kakeknya.
Keturunannya berasal dari keluarga yang alim dan terhormat, bahkan terkenal
dengan keluarga yang memiliki banyak keilmuan. Kakek dan ayahnya mantan hakim di
Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville
dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 1173
M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.

2. Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd

Sebagai komentator Aristoteles tidak mengherankan jika pemikiran Ibnu


Rusyd sangat dipengaruhi oleh filosof Yunani kuno. Ibnu Rusyd menghabiskan waktunya
untuk membuat syarah atau komentar atas karya-karya Aristoteles, dan berusaha
mengembalikan pemikiran Aristoteles dalam bentuk aslinya. Di Eropa latin, Ibnu Rusyd
terkenal dengan nama Explainer (asy-Syarih) atau juru tafsir Aristoteles. Sebagai juru
tafsir martabatnya tak lebih rendah dari Alexandre d‟Aphrodise (filosof yang menafsirkan
filsafat Aristoteles abad ke-2 Masehi) dan Thamestius.6Dalam beberapa hal Ibnu Rusyd
tidak sependapat dengan tokoh-tokoh filosof muslim sebelumnya, seperti al-Farabi dan
Ibnu Sina dalam memahami filsafat Aristoteles, walaupun dalam beberapa persoalan
filsafat ia tidak bisa lepas dari pendapat dari kedua filosof muslim tersebut. Menurutnya

10
pemikiran Aristoteles telah bercampur baur dengan unsur-unsur Platonisme yang
dibawa komentator-komentator Alexandria. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd dianggap
berjasa besar dalam memurnikan kembali filsafat Aristoteles. Atas saran gurunya
Ibnu Thufail yang memintanya untuk menerjemahkan fikiran-fikiran Aristoteles
padamasa dinasti Muwahhidun tahun 557-559 H.

Namun demikian, walaupun Ibnu Rusyd sangat mengagumi Aristoteles bukan


berarti dalam berfilsafat ia selalu mengekor dan menjiplak filsafat Aristoteles. Ibnu
Rusyd juga memiliki pandangan tersendiri dalam tema-tema filsafat yang
menjadikannya sebagai filosof Muslim besar dan terkenal pada masa klasik hingga
sekarang.

a) Pemikiran Epistemologi Ibn Rusyd

Dalam kitabnya Fash al Maqal ini, ibn Rusyd berpandangan bahwa mempelajari
filsafat bisa dihukumi wajib. Dengan dasar argumentasi bahwa filsafat tak ubahnya
mempelajari hal-hal yang wujud yang lantas orang berusaha menarik pelajaran /
hikmah / ‟ibrah darinya, sebagai sarana pembuktian akan adanya Tuhan Sang Maha
Pencipta. Semakin sempurna pengetahuan seseorang tentang maujud atau tentang ciptaan
Tuhan , maka semakin sempurnalah ia bisa mendekati pengetahuan tentang adanya
Tuhan. Bahkan dalam banyak ayat-ayat-Nya Tuhan mendorong manusia untuk senantiasa
menggunakan daya nalarnya dalam merenungi ciptaan-ciptaan-Nya. Jika kemudian
seseorang dalam pemikirannya semakin menjauh dengan dasar-dasar Syar‟iy maka
ada beberapa kemungkinan, pertama, ia tidak memiliki kemampuan / kapasitas yang
memadai berkecimpung dalam dunia filsafat, kedua, ketidakmampuan dirinya
mengendalikan diri untuk untuk tidak terseret pada hal-hal yang dilarang oleh agama
dan yang ketiga adalah ketiadaan pendamping/guru yang handal yang bisa
membimbingnya memahami dengan benar tentang suatu obyek pemikiran tertentu.

Oleh karena itu tidak mungkin filsuf akan berubah menjadi mujtahid, tidak
mempercayai eksistensi Tuhan/ meragukan keberadaaan Tuhan, Kalaupun ia berada
dalam kondisi semacam itu bisa dipastikan ia mengalami salah satu dari 3 faktor di atas,
atau terdapat dalam dirinya gabungan 2 atau 3 faktor-faktor tersebut. Sebab
kemmapuan manusia dalam menenrima kebenaran dan bertindak dalam mencari
pengetahuan berbeda-beda. Ibn Rusyd berpendapat ada 3 macam cara manusia
dalam memperoleh pengetahuan yakni :

1) Lewat metode al- Khatabiyyah (Retorika)


2) lewat metode al-Jadaliyyah (dialektika)
3) Lewat metode al-Burhaniyyah (demonstratif)

11
Pertama, Metode Khatabi digunakan oleh mereka yang sama sekali tidak
termasuk ahli takwil , yaitu orang-orang yang berfikir retorik, yang merupakan
mayoritas manusia. Sebab tidak ada seorangpun yang berakal sehat kecuali dari
kelompok manusia dengan kriteria pembuktian semacam ini (khatabi).

Kedua, Metode Jadali dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli dalam
melakukan ta‟wil dialektika. Mereka itu secara alamiyah atau tradisi mampu berfikir
secara dialektik.

Ketiga, Metode Burhani dipergunakan oleh mereka yang termasuk ahli


dalam melakukan ta‟wil yaqini. Mereka itu secara alamiah mampu karena latihan,
yakni latihan filsafat, sehingga mampu berfikir secara demonstratif. Ta‟wil yang
dilakukan dengan metode Burhani sangat tidak layak untuk diajarkan atau disebarkan
kepada mereka yang berfikir dialektik terlebih orang-orang yang berfikir retorik.
Sebab jika metode ta‟wil burhani diberikan kepada mereka justru bisa
menjerumuskan kepada kekafiran . Penyebabnya adalah karena tujuan ta‟wil itu tak
lain adalah membatalkan pemahaman lahiriyah dan menetapkan pemahaman secara
interpretatif

b) Metafisika

Dalam masalah ketuhanan, Ibn Rusyd berpendapat bahwa Allah adalah Penggerak
Pertama (muharrik al-awwal). Sifat posistif yang dapat diberikan kepada Allah ialah
”Akal”, dan ”Maqqul”. Wujud Allah ia;ah Esa-Nya. Wujud dan ke-Esa-an tidak berbeda
dari zat-Nya. Konsepsi Ibn Rusyd tentang ketuhanan jelas sekali merupakan pengaruh
Aristoteles, Plotinus, Al-Farabi, dan Ibn Sina, disamping keyakinan agama Islam yang
dipeluknya. Mensifati Tuhan dengan ”Esa” merupakan ajaran Islam, tetapi menamakan
Tuhan sebagai penggerak Pertama, tidak pernah dijumpai dalam pemahaman Islam
sebelumnya, hanya di jumpai dalam filsafat Aristoteles dan Plotinus, Al-Farabi, dan
Ibnu Sina

Dalam pembuktian terhadap Tuhan, Ibn Rusyd menerangkan dalil-dalil yang


menyakinkan:

i. Dalil wujud Allah.

Dalam membuktikan adanya Allah, Ibn Rusyd menolak dalil-dalil yang pernah
dkemukakan oleh beberapa golongan sebelumnya karena tidak sesuai dengan apa yang
telah digariskan oleh Syara‟, baik dalam berbagai ayatnya, dan karena itu Ibn Rusyd
mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya sesuai dengan al-Qur‟an dalam berbagai
ayatnya, dan karena itu, Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang dipandangnya
sesuai, tidak saja bagi orang awam, tapi juga bagi orang –orang khusus yang terpelajar.

12
ii. Dalil „inayah al-Ilahiyah (pemeliharan Tuhan).

Dalil ini berpijak pada tujuan segala sesuatu dalam kaitan dengan manusi.
Artinya segala yang ada ini dijadikan untuk tujuan kelangsungan manusia. Pertama
segala yang ada ini sesuai dengan wujud manusia. Dan kedua, kesesuaian ini bukanlah
terjadi secara kebetulan, tetapi memang sengaj diciptakan demikian oleh sang
pencipta bijaksana.

iii. Dalil Ikhtira‟ (dalil ciptaan)

Dalil ini didasarkan pada fenomena ciptaan segala makhluk ini, seperti ciptaan
pada kehidupan benda mati dan berbagai jenis hewan, tumbuh-tumbuhan dan
sebagainya. Menurut Ibn Rusyd, kita mengamati benda mati lalu terjadi
kehidupan padanya,sehingga yakin adanya Allah yang menciptakannya. Demikian juga
berbagai bintang dan falak di angkasa tundujk seluruhnya kepada ketentuannya. Karena
itu siapa saja yang ingin mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui
hakikat segala sesuatu di alam ini agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua
realitas ini.

iv. Dalil Harkah (Gerak.)

Dalil ini berasal dari Aristoteles dan Ibn Rusyd memandangnya sebagi dalil
yang meyakinkan tentang adanya Allah seperti yang digunakan oleh Aristoteles
sebelumnya. Dalil ini menjelaskan bahwa gerak ini tidak tetap dalam suatu keadaan,
tetapi selalu berubah-ubah. Dan semua jenis gerak berakhir pada gerak pada ruang, dan
gerak pada ruang berakhir pada yang bergerak pad dzatnya dengan sebab penggerak
pertama yang tidak bergerak sama sekali, baik pada dzatnya maupun pada sifatnya. Akan
tetapi, Ibn Rusyd juga berakhir pada kesimpulan yang dikatakan oleh Aristoteles bahwa
gerak itu qadim.

v. Sifat-sifat Allah.

Adapun pemikiran Ibn Rusyd tentang sifat-sifat Allah berpijak pada perbedaan
alam gaib dan alam realita. Untuk mengenal sifat-sifat Allah, Ibn Rusyd
mengatakan, orang harus menggunakan dua cara: tasybih dan tanzih (penyamaan dan
pengkudusan). Berpijak pada dasar keharusan pembedaan Allah dengan manusia,
maka tidak logis memperbandingkan dua jenis ilmu itu.

13
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan
diatas segala sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat
dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang
dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh
sebab itu wujud lebih penting dari essensi.

Menurut al-Ghazali, pemikiran filsafat Yunani seperti filsafat Socrates, Plato, dan
Aristoteles, bahkan juga filsafat Ibnu Sina dan al-Farabi tidak sesuai dengan yang dicarinya,
bahkan kacau (tahafut) dan bahkan ada yang bertentangan dengan ajaran agama.

Jika menilai dengan jujur, maka usaha pendamaian agama dan filsafat yang dilakukan
Ibnu Rusyd melebihi upaya yang dilakukan para filosof Muslim seperti al-kindi, al-Farabi
dan lain-lain. Dalam rumusannya terlihat, perpaduan utuh kebenaran agama dan filsafat
dengan argumentasi yang kokoh dan sepenuhnya berangkat dari ajaran agama Islam. Maka
dari itu terlihat sikap tegas, jujur, terbuka dan penguasaan serta kedalaman ilmu pengetahuan
pada diri Ibnu rusyd. Dari sikap dan pandangannya demikian pula kemudian Ibnu Rusyd
terlihat seorang filsuf Islam yang paling dekat pandangan keagamaannya dengan golongan
orthodoks. Dan dari riwayat hidupnya diketahui bahwa diantara filsuf Islam, tidak ada yang
menyamainya dalam keahliannya dalam bidang figh Islam.

B. SARAN

Diharapkan bagi pendidik khususnya pada pemikiran islam kontemporer agar mampu
membimbing para peserta didik dengan baik.

14

Anda mungkin juga menyukai