Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kata Tuhan merujuk kepada suatu dzat abadi dan supranatural, biasanya
dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal
ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip
dengan ini, misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam
semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada;
kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang
tak bisa dimengerti atau dijelaskan.[1]

Secara bahasa, manusia berarti makhluk yang berakal budi. Secara istilah,
manusia dapat diartikan sebuah kelompok atau seorang individu. Secara biologis,
manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens, sebuah spesies primata dari
golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam antropologi
kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasinya
dalam masyarakat majemuk, serta perkembangan terknologinya. Terumata berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan stau sama
lain serta pertolongan.[2]

Kata Universe (Semesta) biasanya didefinisikan mencakup keseluruhan.


Namun, dengan menggunakan definisi alternatif, beberapa kosmolog berspekulasi
bahwa Universe hanya merujuk pada alam dimana keberadaan kita berada. Hal ini
terkait dengan pemaknaan alam semesta kita yang hanya merupakan satu dari banyak
"semesta" yang secara kolektif disebut multiverse. Sebagai contoh, dalam banyak
hipotesis dunia semesta baru yang melahirkan dengan setiap gagasan kutipan
pengukuran kuantum, semesta ini biasanya dianggap benar-benar terputus dari kita
sendiri dan tidak mungkin dapat diamati memalui indra kontektual manusia.
Pengamatan bagian yang lebih tua dari alam semesta (yang jauh) menunjukkan bahwa
alam semesta telah diatur oleh hukum fisika yang sama dan konstan di sebagian besar
wilayah luas yang mengandung sejarah. Namun, dalam teori gelembung alam semesta,
mungkin ada variasi tak terbatas semesta yang dibuat dalam berbagai cara, dan mungkin
masing-masing memiliki konstanta fisik yang berbeda.[3]
Ilmu pengetahuan jika dimaknai secara terpisah, dapat diartikan dari kata
dasar ilmu. Dalam perspektif bahasa Indonesia, ilmu adalah pengetahuan tentang
bidang tertentu yang dibuat secara sistematis. Jika ilmu dan pengetahuan digabung,
maka secara sederhana dapat disimpulkan sebagai ilmu yang menyelidiki,
meningkatkan, menemukan demi tujuan memberikan pengertian kepada para
pembacanya. Dimana manusia itu sendiri memiliki rasa penasaran sebagai bentuk
kebutuhan. Maka, lahirlah ilmu pengetahuan dari berbagai pandangan yang sifatnya
memberikan informasi, memberi pengetahuan dan memberi pengalaman bagi yang
mau menerima ilmu itu sendiri. Ilmu pengetahuan secara global, dapat diartikan
sebagai kumpulan ilmu pengetahuan yang disusun secara metodologi dan sistem.
Tujuannya untuk mencapai ilmu secara universal dan dari segi kebenarannya dapat
diverifikasi. Ilmu pengetahuan itu sendiri sebenarnya bersifat terbuka, dapat dijadikan
sebagai problem solving terhadap masalah dan bersifat plural. [4]

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana pemikiran Ibnu Sina?


2. Bagaimana pemikiran Al Ghazali?
3. Bagaimana pemikiran Muhammad Iqbal?
4. Bagaimana pemikiran Santo Agustinus?
5. Bagaimana pemikiran Sigmund Freud?
6. Bagaimana pemikiran Nietzscahe?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pandangan filsuf Barat dan Islam terhadap Tuhan.


2. Mengetahui pandangan filsuf Barat dan Islam terhadap manusia.
3. Mengetahui pandangan filsuf Barat dan Islam terhadap alam semesta.
4. Mengetahui pandangan filsuf Barat dan Islam terhadap ilmu pengetahuan.

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Ibnu Sina

Ibnu Sina merupakan salah satu ilmuwan dan filsuf muslim yang
menerapkan logika filsafat dalam teologi Islam. Sejarah mencatat, Ibnu Sina telah
menghasilkan ratusan karya tulisan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan termasuk
matematika, geometri, astronomi, fisika, kimia, metafisika, filologi, bahkan musik dan
sastra. Bernama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al Husain bin Abdullah bin Sina,
dunia Barat lebih mengenalnya dengan nama Avicenna. Ibnu Sina tidak pernah
menikah sepanjang hidupnya. Ia mengembuskan nafas terakhir pada bulan Ramadhan
1037 Masehi pada 57 tahun dan dimakamkan di Hamadan, Persia (kini wilayah Iran).
"Saya memilih umur pendek tapi penuh makna dan karya, daripada umur panjang yang
hampa," ucapnya sebelum wafat.[5]

a) Pandangannya Terhadap Tuhan

Dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah), Ibnu Sina


berargumentasi dengan dalil wajib al-wujud dan mumkin al-wujud. Wajib al-
wujud, yaitu esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini
esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu.
Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan
harus berwujud selama-lamanya. Ibnu Sina membagi Wajib al-Wujud ke
dalam dua pembagian, yaitu:
1. Wajib al-wujud bi dzatihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya disebabkan
olah zatnya sendiri. Dalam hal ini esensi itu tidak bisa diceraikan dengan
wujud, karena keduanya adalah satu dan wujudnya tidak didahului oleh
ketiadaan (ma’dum), ia akan tetap ada selamanya. Wajib bi dzatihi ini biasanya
disebut oleh Ibnu Sina dengan Al-Wajib saja, yaitu Allah Yang Maha Esa,
Yang Hak dan ia adalah Aqlul-Mahdh (akal murni) yang tidak berkaitan denan
materi apa pun.
2. Wajib al-wujud bi ghairihi, yakni sesuatu yang kepastian wujudnya
disebabkan oleh yang lain. Misalnya: Adanya basah disebabkan oleh adanya
air, kebakaran disebabkan oleh api, dan sebagainya.

3
Tentang sifat-sifat Allah, Ibnu Sina pun menyucikan Allah dari segala
sifat yang dikaitkan dengan esensinya, karena Allah Maha Esa dan Maha
Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah
dipisahkan dari zatnya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas
(ta’addud al-qudama’).[6]

b) Pandangannya Terhadap Manusia

Terdapat tiga objek kajian yang dibahas Ibnu Sina menyangkut


manusia, yaitu: wujud manusia, jiwa manusia, akal pada manusia dan ruh
manusia. Dalam menjelaskan tentang wujud manusia ini Ibnu Sina
menggunakan Filsafat Wujudiah-nya untuk menjelaskan dari mana wujud
manusia itu ada, yaitu pada teori Mumkin al-Wujud, yang penjelasannya
adalah: Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud.
Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia
tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.[6]

c) Pandangannya Terhadap Alam Semesta

Filsafat emanasi ini bukan renungan Ibnu Sina, tetapi berasal dari
“ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini pancaran dari Yang Esa
(The One). Filsafat Plotinus ini kemudian diaktualisasikan oleh Ibnu Sina,
bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Dengan demikian, walaupun
prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh
karena itu, dapat dikatakan Yang Esa-nya Plotinus sebagai penyebab yang pasif
bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif dalam filsafat Ibnu Sina. Ibnu Sina
memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh
karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini
secara langsung. Jika Allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini
tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra
tauhid. Dalam Islam, emanasi ini menjelaskan cara Allah menciptakan alam.
Karena alam adalah ciptaan Allah, dalam agama Islam termasuk ajaran pokok.[6]

4
d) Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Sina itu ada dua jenis, yakni ilmu
nadhory (teoritis) dan ilmu amaly (praktis). Yang tergolong dalam ilmu
nadhory ialah ilmu alam, dan ilmu riyadhy (ilmu urai atau matematika), juga
ilmu Ilahi (Ketuhanan) yaitu ilmu yang mengandung i’tibar tentang wujud
kejadian alam dan isinya melalui penganalisaan yang jelas dan jujur sehingga
diketahui siapa Penciptanya. Adapun ilmu yang amaly (praktis) adalah ilmu
yang membahas tentang tingkah laku manusia dilihat dari segi tingkah laku
individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak. Dan bila dilihat dari segi
tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, maka ilmu ini termasuk
ilmu siasat (politik).[7]

2.2 Al Ghazali

Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad


bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi as-Syafi’i al-Ghazali. Mendapat gelar imam besar
Abu Hamid al-Ghazali Hujatul Islam. Lahir di Thus, Khurasan, Iran, dekat Masyhad
sekarang, pada tahun 1058 Masehi. Pendidikannya dimulai di Thus. Lalu, al-Ghazali
pergi ke Jurjan. Dan sesudah satu periode di Thus, Al Ghazali pergi ke Naisabur,
tempatnya menjadi murid al-Juwaini Imam al-Haramain hingga ia meninggal pada
tahun 1085 Masehi. Al-Ghazali adalah ahli pikir ulung Islam yang menyandang gelar
“Pembela Islam” (Hujjatul Islam), “Hiasan Agama” (Zainuddin), “Samudra yang
Menghanyutkan” (Bahrun Mughriq), dan lain-lain.[8]

a) Pandangannya Terhadap Tuhan

Bagi Al-Ghazali, Tuhan itu mawjud (ada) tidak melalui tubuh dan
substansi yang terbatas. Dalam konteks tersebut, tampak Al-Ghazali sebagai
penganut Asy'ariyah, mazhab teologis yang banyak dianut Islam Nusantara.
Asyariyah memandang eksistensi Tuhan sebagai kayfa, yang tidak dapat
digambarkan dengan apapun. Sekalipun demikian, wujud Tuhan adalah wujud
yang paling paripurna. Manusia, binatang, dan segala yang ada berasal dari-
Nya dan akan kembali kepada-Nya.[9]

5
b) Pandangannya Terhadap Manusia

Al-Ghazali dalam Mushthafa (1970, J.2:100), menjelaskan bahwa


manusia itu terdiri atas dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (al-jism) dan jiwa
(al-nafs). Al-jism yaitu unsur yang berwatak gelap, kasar dan termasuk di
bawah alam bumi ini yang tidak berbeda dengan benda-benda lainnya. Al-jism
merupakan bagian yang tidak sempurna pada manusia tanpa unsur-unsur
lainnya. Ia terdiri atas unsur materi yang bersifat rusak. Al-nafs yaitu substansi
yang tersendiri, yang mempunyai daya mengetahui, bergerak dengan
kemauannya dan penyempurna bagi bagian-bagian lainnya. Al-nafs yang
dimaksud al Ghazali di sini merupakan substansi yang sempurna, yang
tersendiri, yang mempunyai kemampuan daya ingat, daya pikir, daya simpan,
daya mempertimbangkan dan dapat menerima berbagai ilmu. Substansi
tersebut merupakan pimpinan roh hayawan dan roh thabi'i dan rajanya segala
kekuatan. Semuanya melayani al-nafs dan melaksanakan perintahnya. Dan
itulah esensi manusia.[10]

c) Pandangannya Terhadap Alam Semesta

Pendapat al-Ghazali ini sama seperti pendapat para teolog dari


kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Menurut para teolog, alam semesta
ini merupakan ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan, ia bersifat baru, dengan ciri-
ciri berupa jism, jauhar, dan ‘arad. Para teolog juga menegaskan bahwa alam
semesta ini diciptakan Tuhan dari ‘tiada’ kepada ‘ada’ (al-ijad min al’adam).
Menurut Al Ghazali, sifat barunya alam semesta merupakan bukti ontologis
terhadap adanya Tuhan. Alam ini bersifat baru, dan setiap yang baru harus ada
pembarunya. Jadi, pembaru alam ini adalah Tuhan. Jika alam ini tidak baru,
maka ia qadim. Berarti menghilangkan makna “menjadikan” alam bagi Tuhan,
dan ini bertentangan dengan akidah Islam.[11]

d) Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan

Al-Ghazali mengatakan, bahwa ilmu pengetahuan itu dasar dari


segala kebahagiaan di dunia sekarang maupun di dunia yang akan datang
(akhirat). Oleh karena kebahagiaan adalah capaian tertinggi yang mungkin
diperoleh oleh manusia, maka pengetahuan pun, sebagai dasarnya pastilah

6
merupakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Al-Ghazali juga menyatakan,
bahwa ilmu pengetahuan memiliki dua aspek, yaitu aspek teoritis dan aspek
praktis. Pengetahuan yang bersifat teoritis dapat menolong manusia dalam
memahami dimensi transendental dari dunia ini secara komprehensif, yaitu
pengetahuan tentang Tuhan dan sebagainya. Sedangkan pengetahuan yang
bersifat praktis menjadi pelengkap untuk membangun teori-teori ilmu
pengetahuan, yang fungsinya nampak dalam perilaku manusia.[12]

2.3 Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal lahir Sialkot, Punjab, India pada tanggal 9 November


1877. Ia dikenal juga dengan nama ‘Allama Iqbal. Pendidikan pertama Iqbal diperoleh
dari ayahnya dengan belajar al-Qur’an sekaligus menghafalnya. Kemudian dilanjutkan
dengan sekolah pertamanya di The Scottish Mission College dikampung halamannya di
Sialkot. Guru-gurunya selalu memberikan dorongan bagi kemajuan Iqbal yang sangat
tertarik pada sastra dan agama. Gurunya antara lain ialah Mir Hasan, seorang ulama
besar dan guru dalam ilmu sastra Persia dan Arab. Dialah yang pertama kali menempa
pelajaran agama ke dalam jiwa Muhammad Iqbal. Sejak itu, Muhammad Iqbal gemar
menggubah syair-syiar dalam bahasa Urdu, dan bakatnya itu semakin berkembang
setelah ia tinggal di Delhi, pusat intelektualisme kawasan Pakistan saat itu.[13]

a) Pandangannya Terhadap Tuhan

Pemikiran ketuhanan Muhammad Iqbal, bisa dikatakan sebagai


filsafat khudi (diri), konsep ketuhanan. Menurut Muhammad Iqbal mengalami
beberapa fase-fase, yang pertama, God as good, yang kedua, God as Will dan
yang ketiga adalah God as the whole dan pada tahap terakhir metafisika
ketuhanan Iqbal disebut Panenteisme. Panenteisme dipahami sebagai tuhan
ada di dalam sebagaimana jiwa berada di dalam tubuh. Dalam fase yang
pertama pada tahun 1901, konsep ketuhanan Iqbal adalah bahwa Tuhan itu
harus diyakini sebagai keindahan abadi. Keberadaan Tuhan ada tergantung
pada sesuatu hal apapun di dunia, dan sesungguhnya eksistensi Tuhan lebih
dahulu daripada yang lain, yang diciptakan. Tuhan adalah yang awal dan yang

7
akhir dan Tuhan menampakkan dirinya pada segala sesuatu. Dalam fase yang
kedua pada tahun 1908-1920, pemikiran Muhammad Iqbal tentang Tuhan
tidak dipahami sebagai yang menampakkan diri dalam realitas dunia yang
tercerap. Akan tetapi, upaya aktualisasi diri dan potensi diri yang terbatas ini
sebagai bentuk penyadaran akan adanya Tuhan. Dalam fase yang ketiga pada
tahun 1920-1938, Muhamad Iqbal banyak dipengaruhi oleh Whitehead, yang
artinya, pada proses dan pengalaman religius itulah yang memungkinan
manusia dapat memahami Tuhan. Pengalaman religius ini merupakan bagian
dari proses seseorang mencari hakikat Tuhan. Dalam fase yang terakhir,
Muhammad Iqbal memandang melalui filsafat diri dan bahkan dengan
menggunakan paham panteisme, dengan mengembangkan bahwa
sesungguhnya diri-diri tak terbatas, dalam artian diri yang mutlak, yakni
Tuhan, selalu kreatif menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia.[14]

b) Pandangannya Terhadap Manusia

Pada pemikirannya mengenai manusia Iqbal lebih mengkaitkannya


dengan filsafat eksistensialisme. Dimana manusia tidak terpaku dengan
gagasan mengenai gambar tunggal mengenai realitas kehidupan manusia,
sebab eksistensi manusia terus bergerak dan berkembang serta masih dalam
proses menjadi. Iqbal memulai pemikiran eksistensialismenya dengan
menunjukan sikap ketidaksetujuan pada pemikiran-pemikiran yang
mengajarkan bahwa eksistensi ada dimengerti sama dengan konsep-konsep
tentang ada. Dalam hal Iqbal menggulirkan ontologi barunya yaitu bahwa ada
selalu bernilai kedirian, keunikan, atau terumuskan dalam ungkapan being is
egohood. Egohood Iqbal sangat mewakili tema-tema eksistensialisme. Iqbal
mencatat bahwa individualitas yang terkandung didalam kesatuan kesadaran
manusia yang merupakan pusat dari personalitas manusia tidak pernah
sungguh-sungguh menjadi perhatian sejarah filsafat islam. Iqbal mengganggap
filsafat Iqbal selalu berspekulasi tentang realitas dan manusia, dan cenderung
membuat generalisasi-generalisasi.[15]

8
c) Pandangannya Terhadap Alam Semesta

Iqbal menegaskan bahwa penciptaan alam semesta oleh Tuhan


bukanlah tindakan spesifik dalam sejarah hidup Tuhan. Alam terus
berkembang. Jika muncul pandangan yang menyatakan bahwa Tuhan telah
selesai menciptakan alam semesta maka cara pandang ini memberikan
pemahaman kepada kita seakan-akan struktur alam ini telah selesai diciptakan.
Dengan demikian alam semesta seakan-akan tidak membutuhkan Tuhan lagi,
dan alam berdiri menjadi sesuatu yang lain, terpisah dari Tuhan. Menurut
Iqbal, cara pandang yang tepat adalah dengan melihat penciptaan sebagai
kegiatan kreatif yang berkelanjutan. Untuk menggenapkan pemikiran ini Iqbal
menyatakan bahwa tindakan mengetahui pada Tuhan adalah sama dengan
tindakan penciptaan. Artinya, alam semesta masih terbuka untuk terus
berkembang dan kebebasan Tuhan tetap melekat pada Diri-Nya selama
berlangsung proses penciptaan. Iqbal berpendapat bahwa kegiatan penciptaan
alam oleh Tuhan adalah proses yang berlangsung secara terus menerus dan
tidak pernah berhenti. Iqbal meyakini bahwa alam bukan “sesuatu yang lain”
di hadapan Tuhan karena kejadian Alam adalah satu fase dari kesadaran
Tuhan. Alam—juga manusia—berada di dalam Tuhan. Tuhan bersifat
immanen karena Tuhan memahami seluruh alam semesta, tetapi juga bersifat
transenden karena Tuhan tidak identik dengan dunia ciptaan-Nya. Alam
semesta, menurut Iqbal, bukanlah ciptaan yang sudah final. Sebaliknya, proses
penciptaan oleh Tuhan masih terus berjalan hingga kini.[16]

d) Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan

Pendidikan menurut Muhammad Iqbal sesungguhnya bertujuan


membentuk “manusia sejati”. Dalam hal ini, Muhammad Iqbal memandang
sistem pendidikan yang ada telah gagal mencapai tujuannya. Pendidikan ideal
menurutnya adalah pendidikan yang mampu memadukan dualism (antara
aspek keduniaan dan aspek keakhiratan) secara sama dan seimbang. Dua
sistem pendidikan yang ada, yaitu sistem pendidikan tradisional (Islam) dan
sistem pendidikan Barat (Kristen), dalam persfektif Iqbal, belum dapat
mewujudkan pendidikan yang ideal ini. Muhammad Iqbal mencoba
merumuskan sistem pendidikan yang merupakan sintesis dari sistem

9
pendidikan Barat dan sistem pendidikan Timur. Inilah yang dimaksud Iqbal
dengan rekonstruksi pendidikan Islam. Muhammad Iqbal memunculkan
gagasan rekonstruksi pendidikan Islam yang merupakan sintesis di antara
keduanya. Dengan demikian, pendidikan Islam, dalam pandangan Iqbal,
merupakan pendidikan yang bukan Barat dan bukan pula Timur,
tetapi pendidikan yang berada diantara keduanya. [17]

2.4 Nietzscahe

Friedrich Wilhelm Nietzsche lahir pada 15 Oktober 1844, di Röcken bei


Lützen, sebuah desa kecil di Prusia. Nietzsche menghadiri sekolah persiapan swasta di
Naumburg dan kemudian menerima pendidikan klasik di sekolah bergengsi
Schulpforta. Setelah lulus pada tahun 1864, ia kuliah di Universitas Bonn selama dua
semester. Dia pindah ke Universitas Leipzig, di mana dia belajar filologi, kombinasi
sastra, linguistik, dan sejarah. Dia sangat dipengaruhi oleh tulisan-tulisan filsuf Arthur
Schopenhauer. Friedrich Nietzsche dikenal karena tulisannya tentang kebaikan dan
kejahatan, akhir agama dalam masyarakat modern dan konsep "manusia super".
Friedrich Nietzsche menerbitkan banyak karya besar filsafat, termasuk Twilight of the
Idols dan Such Spoke Zarathustra. Nietzsche mengalami keruntuhan pada tahun 1889
saat tinggal di Turin, Italia. Dalam dekade terakhir hidupnya, ia menderita kegilaan,
yang dikaitkan oleh para sejarawan dengan berbagai penyebab seperti sifilis, penyakit
otak bawaan, tumor, dan penggunaan obat penenang yang berlebihan, dan kemudian
meninggal pada 25 Agustus 1900. [18]

a) Pandangannya Terhadap Tuhan

Konsep Tuhan bagi Nietzsche berasal dari keterikatan suatu perasaan.


Bila manusia tiba-tiba dihadapkan kepada suatu perasaan yang lebih besar dari
dirinya maka keamanannya akan terancam, ia was-was akan dirinya dan
mengarahkan pandangannya kepada orang yang lebih besar yang ia sebut
Tuhan. Agama muncul karena manusia mengalami perpecahan dalam dirinya.
Di satu pihak manusia itu lemah, di lain pihak merasa kuat, lalu kuasa
dipersonifikasikan menjadi Tuhan. Dalam melancarkan kritik-kritiknya

10
terhadap agama, ia meli-hat kenyataan ketika itu, terutama para pemimpin
agama mengajarkan tentang ajarannya. Nietzsche merasa muak kepada para
pendeta yang mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa. Dan
Nietzsche memperingatkan kepada manusia agar waspada terhadap bangunan
yang dinamakan dengan gereja. Bagi Nietzsche semua ini adalah palsu, karena
agama sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa,
manusia yang mau menjalami hidup dalam serba penuh dosa ini, adalah
manusia yang bodoh, yang tidak berharga.[19]

b) Pandangannya Terhadap Manusia

Bagi Nietzsche nilai manusia adalah suatu tindakan yang


menonjolkan nilai-nilai biologia seperti kekuatan, keberanian dan keganasan.
Situasi kebudayaan Jerman ketika itulah yang mempengaruhi jalan pikiran
Nietzsche, dan ia ingin membebaskan manusia dari segala hal yang membuat
manusia menjadi lemah dan tidak berdaya, dengan demikian Nietzsche
menemukan arti kehidupan manusia. Dalam pandangannya tentang manusia,
ia melihat manusia dalam kehidupan yang nyata, eksistensial. Manusia dalam
bentuk konkrit adalah badan. Badan mempunyai arti yang penting bagi
kehidupan manusia, dan berkat badannya manusia dapat menyempurnakan
dirinya. Tetapi manusia bukanlah semata-mata terdiri dari badan saja, tetapi
juga mempunyai jiwa, dan jiwa hanya sebuah nama saja dalam badan manusia.
Dalam badan manusia terdapat unsur kekuatan, keberanian dan kehendak
untuk berkuasa, yang merupakan daya pendorong hidup atau hawa nafsu yang
universal yang juga merupakan ukuran tingkah laku manusia.[19]

c) Pandangannya Terhadap Alam Semesta

Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki
pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di
dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan
untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan
kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dengan kehendak untuk
berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia

11
adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna
karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir,
memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human). Nietzsche
terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan
supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan
kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki
kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan
ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan
digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain
dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik.[20]

d) Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan

Nietzsche menyatakan bahwa pengetahuan merupakan suatu alat


untuk mencapai kekuasaan. Kehendak untuk mendapatkan pengetahuan, atau
kehendak untuk tahu, tergantung akan besar kecilnya kehendak untuk
berkuasa. Tujuan mendapatkan pengetahuan bukanlah semata-mata untuk
tahu, dalam arti menguasai kebenaran dari suatu ilmu, tetapi juga untuk tujuan
kebenaran.[21]

2.5 Santo Agustinus

Santo Agustinus adalah seorang Pujangga Besar Gereja yang lahir pada
tanggal 13 November 354 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara dan diberi nama Aurelius
Augustinus. Ia dibesarkan dan dididik di Karthago, dan dibaptis di Italia. Agustinus
memilih menganut aliran Manikeanisme, yaitu aliran yang menolak Allah dan sangat
mengagungkan rasionalisme. Pada tanggal 24 April 387 Agustinus dipermandikan oleh
Uskup St. Ambrosius. Ia memutuskan untuk mengabdikan diri pada Tuhan dan dengan
beberapa teman dan saudara hidup bersama dalam doa dan meditasi. Pada tahun 388,
setelah ibunya wafat, Agustinus tiba kembali di Afrika. Ia menjual segala harta
miliknya dan membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin. Ia sendiri mendirikan
sebuah komunitas religius. Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus

12
bersedia menjadi imam. Empat tahun kemudian Agutinus diangkat menjadi Uskup kota
Hippo. Semasa hidupnya Agustinus adalah seorang pengkhotbah yang ulung (lebih dari
350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik), dan dikenang akan perjuangannya
melawan ajaran sesat Manikeanisme yang pernah dianutnya. Ia juga merupakan
pahlawan iman Gereja melawan bidaah Donatis yang telah banyak meyesatkan umat
beriman. Agustinus berusaha sekuat tenaga untuk membendung aliran sesat itu. Dalam
sebuah debat terbuka dengan para Donatis, Agustinus mematahkan semua argumen
mereka sehingga membuat banyak orang telah disesatkan berbalik kembali ke
pangkuan Gereja Katolik. [22]

a) Pandangannya Terhadap Tuhan

Ajaran Agustinus dapat dikatakan berpusat pada dua pool: Tuhan dan
manusia. Akan tetapi, dapat juga dikatakan seluruh ajaran Agustinus berpusat
pada Tuhan. Kesimpulan terakhir ini diambil karena ia mengatakan bahwa ia
hanya ingin mengenal Tuhan, tidak lebih dari itu. Ia yakin benar bahwa
pemikiran dapat mengenal kebenaran, setelah ia yakin bahwa ia ada, setelah ia
yakin bahwa ia mampu mengenal Tuhan, maka mulailah mempelajari Tuhan.
Bagimana kita bisa tahu tentang Tuhan? Menurut Agustinus, dalam kita
mencari kebenaran, keindahan, kebaikan, kita sebenarnya dibimbing oleh
konsep ada kebenaran, ada keindahan, dan ada kebaikan, yang absolut.
Maksud argumen ini adalah bahwa banyak kebenaran tentang benar, banyak
kebenaran tentang indah, banyak kebenaran tentang baik. Menghadapi
keadaan ini manusia didesak pada harus adanya yang absolut serta abadi itulah
Tuhan.Menurut Agustinus, keesaan itu adalah Tuhan. Jadi, Tuhan itu
ditemukan dengan rasa, bukan dengan proses pemikiran.[23]

b) Pandangannya Terhadap Manusia

Dalam pemikirannya, Agustinus dipengaruhi oleh platonisme. Ia


tidak menerima dualisme ekstrem Plato tentang manusia (jiwa terkurung
dalam tubuh), tetapi tidak disangkal bahwa ia masih menganut semacam
dualisme, misalnya bila ia melukiskan jiwa sebagai substansi yang
menggunakan tubuh. Tetapi tubuh (dan materi) tidak merupakan sumber
kejahatan. Satu-satunya kejahtan adalah dosa yang berasal dari kehendak
bebas, lagi hukuman untuk dosa. Agustinus tidak pernah mengatasi keraguan

13
tentang masalah asal-usul jiwa manusiawi. Satu kali ia berkecenderungan
kepada pikiran bahwa jiwa langsung diciptakan oleh Tuhan pada saat
konsepsi. Lain kali ia mengatakan bahwa jiwa anak berasal dari jiwa
orangtuanya, sebagaimana dahulu sudah dikatakan Tertullianus. Dengan
pendapat terakhri ini menjadi lebih gampang untuk mengartikan adanya dosa
asal, yaitu bersama dengan jiwa dosa diturunkan juga.[24]

c) Pandangannya Terhadap Alam Semesta

Alam semesta ini menurut pendapatnya memerlukan pencipta. Fisik


alam yang tidak teratur ini, tidak berketentuan ini, memerlukan pencipta dan
pengatur. Yang dimaksud tidak berketentuan ialah tidak tentu asalnya,
keadaanya sekarang, riwayat alam ini selanjutnya. Keadaan alam seperti ini
menurut Agustinus memerlukan pencipta dan pengatur. Ia sependapat dengan
Plotinus yang mengatakan bahwa Tuhan itu di atas segala jenis. Sifat Tuhan
yang paling penting ialah kekal, bijaksana, mahakuasa, tidak terbatas, maha
tahu, maha sempurna, dan tidak dapat diubah. Tuhan adalah suatu kebenaran
yang abadi.[23]

d) Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan

Agustinus meyakini bahwa manusia memiliki guru yang disebut


teacher’s within, yaitu Kristus di dalam diri manusia, yang mengajarkan
pengetahuan. Teacher’s within menunjukkan langsung ke dalam pikiran
manusia, hal-hal yang kita pelajari, sehingga kita mampu memahami
pengetahuan, misalnya dalam mengerjakan soal pada pelajaran matematika,
seringkali kita tidak memahami mengapa pembuktian matematika harus
seperti itu. Ada ruang dimana kita tidak mengerti, namun setelah beberapa
waktu, kita mendapatkan aha moment dan mengerti soal-soal matematika.
Dalam hal ini, ada perbedaan pemahaman kognitif sebelum dan sesudah aha
moment. Bagi Agustinus, inilah situasi dimana teacher’s within dalam diri
manusia, yaitu Kristus, berperan memberikan penerangan akan apa yang tidak
dipahami sebelumnya.[25]

14
2.6 Sigmund Freud

Sigmund Freud, lahir di kota kecil Freiberg, Moravia 6 Mei 1856. Ayahnya
adalah seorang pedagang wol dengan pemikiran yang maju dan selera humor yang baik.
Ibunya, seorang wanita yang aktif dan merupakan istri kedua Ayahnya dengan usia 20
tahun lebih muda. Pada saat ia berusia 4 atau 5 tahun, keluarganya pindah ke Wina,
dimana dia menghabiskan sebagian besar hidupnya. Sebagai anak cerdas dan selalu
mendapat nilai tertinggi di kelasnya, dia melanjutkan pendidikan ke fakultas
kedokteran di Universitas Wina tahun 1881. Semasa kuliah, dia terlibat dalam berbagai
penelitian di bawah arahan profesor fisiologis bernama Brucke. Freud adalah seorang
perokok cerutu berat sepanjang hidupnya. Hal itu menyebabkan dirinya mengidap
kanker mulut. Pada tahun 1939, setelah operasi kanker yang ke sekian kalinya, Freud
meminta dokter untuk membantu dia melakukan bunuh diri. Dokter memberikan tiga
kali dosis morfin dan Freud akhirnya meninggal pada 23 September 1939.[26]

a) Pandangannya Terhadap Tuhan

Bagi psikoanalisis Freud, Tuhan merupakan objek yang dibangun


manusia untuk memuaskan hasratnya dalam penguasaan atas segala sesuatu.
Dalam analisis Freud, Tuhan menjadi objek sementara subjek utamanya
adalah manusia. Walaupun Tuhan diagungkan, namun pengagungan itu
merupakan sikap yang diberlakukan, diberikan pada Tuhan. Hal ini
memperlihatkan bahwa kepercayaan ini merupakan kepercayaan yang
artifisial yang lahir dari dorongan psikologi libidinal manusia dalam
menjawab kebutuhannya. Semakin seseorang membutuhkan mengakuan atas
kekuatannya terhadap alam atau lingkungannya, semakin seseorang tersebut
membutuhkan Tuhan, yang akhirnya dimanifestasikan dalam agama. [27]

b) Pandangannya Terhadap Manusia

Manusia dalam pandangan Sigmund Freud dijelaskan dalam tiga


bahasan, yaitu sebagai berikut:
1. Manusia ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis
Manusia dijelaskan oleh Freud bahwasanya tingkah laku seorang
bersumber atau dipengaruhi oleh hal-hal yang berada dalam diri individu
itu sendiri atau berasal dari bawaan yang tersimpan dalam diri manusia

15
tersebut. Faktor atau dorongan lain tidak terlalu dipandang memberikan
pengaruh dalam pembentukan kepribadian atau tingkah laku seseorang
seperti kondisi lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Selanjutnya seperti
yang telah diungkapkan oleh Freud bahwa faktor-faktor interpesonal yang
menjadi penentu bagi tingkah laku manusia adalah hal-hal atau pengalaman
yang selama ini tersimpan dalam alam bawah sadarnya.
2. Manusia pada tingkah lakunya cenderung untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan instink-instinknya
Manusia cenderung hanya untuk memenuhi dorongan biologis atau
instinknya yang akan memberikan rasa kepuasan berupa kenyamanan pada
diri manusia. Akan tetapi Freud mengungkapkan bahwa dorongan instink
manusia bukan hanya tentang seksualitas dalam artian pemuasan hasrat atas
organ-organ seksual saja, melainkan juga dorongan-dorongan naluriah lain
yang sifatnya akan memberikan kenyamanan pada diri manusia.
3. Manusia dipandangan pesimistik karena tidak mampu memegang
nasibnya sendiri
Freud mengungkapkan bahwa kepribadian manusia terbentuk dari
pengalaman atau peristiwa yang ia alami dari masa lalunya, dengan kata
lain Freud menyatakan bahwa manusia itu dikendalikan oleh masa lalunya.
Sehingga manusia tidak akan mampu mengendalikan bahkan merubah
takdirnya, melainkan hanya menerima atas apa yang telah ada pada dirinya
dari masa lalu. Alasan lain yang melatar belakangi Freud mengungkapkan
manusia sangat pesimistik dapat dilihat pada penjelasannya dalam teori
tingkat kesadaran manusia yang menurutnya memiliki tiga tingkat
kesadaran, yaitu: sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tidak
sadar (unconscious).[28]

16
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pandangan Filsuf Barat dan Islam Terhadap Tuhan

Dalam membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud Allah), Ibnu Sina


berargumentasi dengan dalil wajib al-wujud, yaitu esensi yang tidak dapat tidak mesti
mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah
sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia
wajib dan harus berwujud selama-lamanya.
Bagi Al-Ghazali, Tuhan itu mawjud (ada) tidak melalui tubuh dan substansi
yang terbatas. Dalam konteks tersebut, tampak Al-Ghazali sebagai penganut
Asy'ariyah, yang memandang eksistensi Tuhan sebagai kayfa, yang tidak dapat
digambarkan dengan apapun. Sekalipun demikian, wujud Tuhan adalah wujud yang
paling paripurna. Manusia, binatang, dan segala yang ada berasal dari-Nya dan akan
kembali kepada-Nya.
Pemikiran ketuhanan Muhammad Iqbal, bisa dikatakan sebagai filsafat
khudi (diri), konsep ketuhanan. Menurut Muhammad Iqbal, konsep ketuhanan
mengalami beberapa fase-fase, yang pertama, God as good, yang kedua, God as Will
dan yang ketiga adalah God as the whole dan pada tahap terakhir metafisika ketuhanan
Iqbal disebut Panenteisme, yang dipahami sebagai tuhan ada di dalam sebagaimana
jiwa berada di dalam tubuh.
Konsep Tuhan bagi Nietzsche berasal dari keterikatan suatu perasaan. Bila
manusia tiba-tiba dihadapkan kepada suatu perasaan yang lebih besar dari dirinya maka
keamanannya akan terancam, ia was-was akan dirinya dan mengarahkan pandangannya
kepada orang yang lebih besar yang ia sebut Tuhan. Agama muncul karena manusia
mengalami perpecahan dalam dirinya. Di satu pihak manusia itu lemah, di lain pihak
merasa kuat, lalu kuasa dipersonifikasikan menjadi Tuhan.
Ajaran Agustinus berpusat pada dua pool: Tuhan dan manusia. Akan tetapi,
dapat juga dikatakan bahwa seluruh ajaran Agustinus berpusat pada Tuhan.
Kesimpulan terakhir ini diambil karena ia mengatakan bahwa ia hanya ingin mengenal
Tuhan, tidak lebih dari itu. Ia yakin benar bahwa pemikiran dapat mengenal kebenaran,

17
setelah ia yakin bahwa ia ada, setelah ia yakin bahwa ia mampu mengenal Tuhan, maka
mulailah mempelajari Tuhan. Menurut Agustinus, keesaan itu adalah Tuhan. Jadi,
Tuhan itu ditemukan dengan rasa, bukan dengan proses pemikiran.
Bagi psikoanalisis Freud, Tuhan merupakan objek yang dibangun manusia
untuk memuaskan hasratnya dalam penguasaan atas segala sesuatu. Dalam analisis
Freud, Tuhan menjadi objek sementara subjek utamanya adalah manusia. Walaupun
Tuhan diagungkan, namun pengagungan itu merupakan sikap yang diberlakukan,
diberikan pada Tuhan. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan ini merupakan
kepercayaan yang artifisial yang lahir dari dorongan psikologi libidinal manusia dalam
menjawab kebutuhannya.

3.2 Pandangan Filsuf Barat dan Islam Terhadap Manusia

Terdapat tiga objek kajian yang dibahas Ibnu Sina menyangkut manusia,
yaitu: wujud manusia, jiwa manusia, akal pada manusia dan ruh manusia. Dalam
menjelaskan tentang wujud manusia ini Ibnu Sina menggunakan Filsafat Wujudiah-nya
untuk menjelaskan dari mana wujud manusia itu ada, yaitu pada teori Mumkin al-
Wujud, yang penjelasannya adalah: Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh
pula tidak berwujud.
Al-Ghazali dalam Mushthafa (1970, J.2:100), menjelaskan bahwa manusia
itu terdiri atas dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs). Al-jism
yaitu unsur yang berwatak gelap, kasar dan termasuk di bawah alam bumi ini yang tidak
berbeda dengan benda-benda lainnya. Al-nafs yaitu substansi yang tersendiri, yang
mempunyai daya mengetahui, bergerak dengan kemauannya dan penyempurna bagi
bagian-bagian lainnya.
Pada pemikirannya mengenai manusia Iqbal lebih mengkaitkannya dengan
filsafat eksistensialisme. Dimana manusia tidak terpaku dengan gagasan mengenai
gambar tunggal mengenai realitas kehidupan manusia, sebab eksistensi manusia terus
bergerak dan berkembang serta masih dalam proses menjadi.
Bagi Nietzsche nilai manusia adalah suatu tindakan yang menonjolkan
nilai-nilai biologia seperti kekuatan, keberanian dan keganasan. Situasi kebudayaan
Jerman ketika itulah yang mempengaruhi jalan pikiran Nietzsche, dan ia ingin
membebaskan manusia dari segala hal yang membuat manusia menjadi lemah dan tidak

18
berdaya, dengan demikian Nietzsche menemukan arti kehidupan manusia. Dalam
pandangannya tentang manusia, ia melihat manusia dalam kehidupan yang nyata,
eksistensial. Manusia dalam bentuk konkrit adalah badan.
Dalam pemikirannya, Agustinus dipengaruhi oleh platonisme. Ia tidak
menerima dualisme ekstrem Plato tentang manusia (jiwa terkurung dalam tubuh), tetapi
tidak disangkal bahwa ia masih menganut semacam dualisme, misalnya bila ia
melukiskan jiwa sebagai substansi yang menggunakan tubuh. Tetapi tubuh (dan materi)
tidak merupakan sumber kejahatan. Satu-satunya kejahtan adalah dosa yang berasal
dari kehendak bebas, lagi hukuman untuk dosa.
Manusia dalam pandangan Sigmund Freud dijelaskan dalam tiga bahasan,
yaitu (a) Manusia ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis; (b)
Manusia pada tingkah lakunya cenderung untuk memenuhi kebutuhan biologis dan
instink-instinknya; (c) Manusia dipandangan pesimistik karena tidak mampu
memegang nasibnya sendiri.

3.3 Pandangan Filsuf Barat dan Islam Terhadap Alam Semesta

Filsafat emanasi ini bukan renungan Ibnu Sina, tetapi berasal dari “ramuan
Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini pancaran dari Yang Esa (The One). Filsafat
Plotinus ini kemudian diaktualisasikan oleh Ibnu Sina, bahwa Allah menciptakan alam
secara emanasi. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama,
namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan Yang Esa-nya
Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif dalam
filsafat Ibnu Sina.
Pendapat al-Ghazali ini sama seperti pendapat para teolog dari kalangan
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Menurut para teolog, alam semesta ini merupakan
ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan, ia bersifat baru, dengan ciri-ciri berupa jism, jauhar,
dan ‘arad. Para teolog juga menegaskan bahwa alam semesta ini diciptakan Tuhan dari
‘tiada’ kepada ‘ada’ (al-ijad min al’adam).
Iqbal menegaskan bahwa penciptaan alam semesta oleh Tuhan bukanlah
tindakan spesifik dalam sejarah hidup Tuhan. Alam terus berkembang. Jika muncul
pandangan yang menyatakan bahwa Tuhan telah selesai menciptakan alam semesta

19
maka cara pandang ini memberikan pemahaman kepada kita seakan-akan struktur alam
ini telah selesai diciptakan. Alam semesta seakan-akan tidak membutuhkan Tuhan lagi,
dan alam berdiri menjadi sesuatu yang lain, terpisah dari Tuhan.
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki
pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Dunia dan
kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki
awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah milik
manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri.
Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik.
Alam semesta ini menurut pendapatnya memerlukan pencipta. Fisik alam
yang tidak teratur ini, tidak berketentuan ini, memerlukan pencipta dan pengatur. Yang
dimaksud tidak berketentuan ialah tidak tentu asalnya, keadaanya sekarang, riwayat
alam ini selanjutnya. Keadaan alam seperti ini menurut Agustinus memerlukan
pencipta dan pengatur.

3.4 Pandangan Filsuf Barat dan Islam Terhadap Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Sina itu ada dua jenis, yakni ilmu nadhory
(teoritis) dan ilmu amaly (praktis). Yang tergolong dalam ilmu nadhory ialah ilmu
alam, dan ilmu riyadhy (ilmu urai atau matematika), juga ilmu Ilahi (Ketuhanan).
Adapun ilmu yang amaly (praktis) adalah ilmu yang membahas tentang tingkah laku
manusia dilihat dari segi tingkah laku individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak.
Dan ilmu ini termasuk ilmu siasat (politik).
Al-Ghazali mengatakan, bahwa ilmu pengetahuan itu dasar dari segala
kebahagiaan di dunia sekarang maupun di dunia yang akan datang (akhirat). Al-Ghazali
juga menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan memiliki dua aspek, yaitu aspek teoritis dan
aspek praktis. Pengetahuan yang bersifat teoritis dapat menolong manusia dalam
memahami dimensi transendental dari dunia ini secara komprehensif. Sedangkan
pengetahuan yang bersifat praktis menjadi pelengkap untuk membangun teori-teori
ilmu pengetahuan.
Pendidikan menurut Muhammad Iqbal sesungguhnya bertujuan
membentuk “manusia sejati”. Dalam hal ini, Muhammad Iqbal memandang sistem
pendidikan yang ada telah gagal mencapai tujuannya. Pendidikan ideal menurutnya
adalah pendidikan yang mampu memadukan dualism (antara aspek keduniaan dan

20
aspek keakhiratan) secara sama dan seimbang. Dua sistem pendidikan yang ada, yaitu
sistem pendidikan tradisional (Islam) dan sistem pendidikan Barat (Kristen), dalam
persfektif Iqbal, belum dapat mewujudkan pendidikan yang ideal ini.
Nietzsche menyatakan bahwa pengetahuan merupakan suatu alat untuk
mencapai kekuasaan. Kehendak untuk mendapatkan pengetahuan, atau kehendak untuk
tahu, tergantung akan besar kecilnya kehendak untuk berkuasa. Tujuan mendapatkan
pengetahuan bukanlah semata-mata untuk tahu, dalam arti menguasai kebenaran dari
suatu ilmu, tetapi juga untuk tujuan kebenaran.
Agustinus meyakini bahwa manusia memiliki guru yang disebut teacher’s
within, yaitu Kristus di dalam diri manusia, yang mengajarkan pengetahuan. Teacher’s
within menunjukkan langsung ke dalam pikiran manusia, hal-hal yang kita pelajari,
sehingga kita mampu memahami pengetahuan, misalnya dalam mengerjakan soal pada
pelajaran matematika, seringkali kita tidak memahami mengapa pembuktian
matematika harus seperti itu. Ada ruang dimana kita tidak mengerti, namun setelah
beberapa waktu, kita mendapatkan aha moment dan mengerti soal-soal matematika.

21
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

a) Tentang Tuhan

Menurut Ibnu Sina; Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah
tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian.
Menurut Al-Ghazali; Tuhan itu mawjud (ada) tidak melalui tubuh dan
substansi yang terbatas.
Menurut Muhammad Iqbal; konsep ketuhanan bisa dikatakan sebagai
filsafat khudi (diri), konsep ketuhanan.
Menurut Nietzsche; konsep Tuhan berasal dari keterikatan suatu perasaan.
Menurut Santo Agustinus; bahwa pemikiran dapat mengenal kebenaran,
setelah ia yakin bahwa ia ada, setelah ia yakin bahwa ia mampu mengenal
Tuhan, maka mulailah mempelajari Tuhan.
Menurut Sigmund Freud; Tuhan merupakan objek yang dibangun manusia
untuk memuaskan hasratnya dalam penguasaan atas segala sesuatu.

b) Tentang Manusia

Menurut Ibnu Sina; manusia itu boleh mempunyai wujud dan boleh pula
tidak berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau
diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil.
Menurut Al Ghazali; manusia itu terdiri atas dua unsur yang berbeda, yakni
tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs).
Menurut Muhammad Iqbal; manusia tidak terpaku dengan gagasan
mengenai gambar tunggal mengenai realitas kehidupan manusia.
Menurut Nietzsche; ia melihat manusia dalam kehidupan yang nyata,
eksistensial. Manusia dalam bentuk konkrit adalah badan.
Menurut Santo Agustinus; ia melukiskan jiwa sebagai substansi yang
menggunakan tubuh.

22
Menurut Sigmund Freud; Manusia ditentukan oleh faktor-faktor
interpersonal dan intrapsikis, tingkah lakunya cenderung untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan instink-instinknya, dipandangan pesimistik karena
tidak mampu memegang nasibnya sendiri.

c) Tentang Alam Semesta

Menurut Ibnu Sina; alam ini terjadi karena adanya pancaran dari Yang Esa
(The One). Namun, Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah
unsurnya ini secara langsung.
Menurut Al Ghazali; alam semesta ini merupakan ciptaan Tuhan. Sebagai
ciptaan, ia bersifat baru, dengan ciri-ciri berupa jism, jauhar, dan ‘arad.
Menurut Muhammad Iqbal; penciptaan alam semesta oleh Tuhan bukanlah
tindakan spesifik dalam sejarah hidup Tuhan.
Menurut Nietzsche; dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki
pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri.
Menurut Santo Agustinus; Fisik alam semesta yang tidak teratur ini, tidak
berketentuan ini, memerlukan pencipta dan pengatur.

d) Tentang Ilmu Pengetahuan

Menurut Ibnu Sina; ilmu pengetahuan itu ada dua jenis, yakni ilmu
nadhory (teoritis) dan ilmu amaly (praktis).
Menurut Al Ghazali; ilmu pengetahuan itu dasar dari segala kebahagiaan di
dunia sekarang maupun di dunia yang akan datang (akhirat).
Menurut Muhammad Iqbal; Pendidikan sesungguhnya bertujuan
membentuk “manusia sejati”.
Menurut Nietzsche; pengetahuan merupakan suatu alat untuk mencapai
kekuasaan.
Menurut Santo Agustinus; manusia memiliki guru yang disebut teacher’s
within, yaitu Kristus di dalam diri manusia, yang mengajarkan
pengetahuan.

23
DAFTAR PUSTAKA

[1]
Wulandari, Aryenti. Pengertian Tuhan. Diakses pada 8 November 2022, dari
https://www.academia.edu/36362008/Pengertian_Tuhan

[2]
Makplus, Om. (2015). Pengertian Manusia serta Definisi Manusia menurut
Para Ahli. Diakses pada 8 November 2022, dari http://www.definisi-
pengertian.com/2015/12/pengertian-manusia-definisi-menurut-ahli.html

[3]
Pengertian Lengkap Alam Semesta, Ruang dan Waktu. Diakses pada 8 November
2022, dari https://belajarsemesta.blogspot.com/2018/09/pengertian-lengkap-
alam-semesta-ruang.html

[4]
Abdhul, Yusuf. (2022). Pengertian Ilmu Pengetahuan: Hakikat, Ciri-Ciri dan
Macam. Diakses pada 8 November 2022, dari
https://deepublishstore.com/materi/ilmu-
pengetahuan/#Pengertian_Ilmu_Pengetahuan_Secara_Umum

[5]
Maarif, Syamsul Dwi. (2022). Biografi Ibnu Sina: Sejarah Ilmuwan Muslim,
Karya, & Penemuannya. Diakses pada 8 November 2022, dari
https://tirto.id/biografi-ibnu-sina-sejarah-ilmuwan-muslim-karya-penemuannya-
gqTX

[6]
36, Wananwar. (2014). Alam dan Tuhan di Mata Ibnu Sina. Diakses pada 8
November 2022, dari https://redrosela.wordpress.com/2014/12/09/alam-dan-
tuhan-di-mata-ibnu-sina/

[7]
Rohmah, Lailatu. (2013). Pemikiran Ibnu Sina tentang Epistemologi: Landasan
Filosofis Keilmuan dalam Islam. Diakses pada 8 November 2022, dari
https://jurnalannur.ac.id/index.php/An-Nur/article/view/38/37

[8]
Biografi Imam Al-Ghazali. (2022). Diakses pada 10 Januari 2023, dari https://an-
nur.ac.id/riwayat-hidup-imam-al-ghazali/#_ftn1

[9]
Najib, Muhammad. (2010). Wisata Pemikiran Al-Ghazali. Diakses pada 10
Januari 2023, dari https://news.detik.com/kolom/d-5179426/wisata-pemikiran-
al-ghazali

24
[10]
Fahrudin. Konsep Manusia enurut Al Ghazali. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195910081988031-
FAHRUDIN/konsep_manusia_al-ghazali.pdf

[11]
Marpaung, Irwan Malik. (2014). Alam dalam Pandangan Abu Hamid al-Ghazali.
Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://www.researchgate.net/publication/304465673_Alam_dalam_Pandangan
_Abu_Hamid_al-Ghazali

[12]
Pemikiran Imam Al Ghazali tentang Konsep Pendidikan Islam. Diakses pada 10
Januari 2023, dari
https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB314121110090.pdf

[13]
Muhammad Iqbal Tokoh Pembaharu Islam. (2022). Diakses pada 10 Januari
2023, dari https://an-nur.ac.id/muhammad-iqbal-tokoh-pembaharu-islam/

[14]
Kirom, Syahrul. (2022). Pemikiran Muhammad Iqbal dalam Perspektif Filsafat
Ketuhanan. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/aqlania/article/view/3795/3754

[15]
Sawitri, Lailatul. (2021). Filsafat Muhammad Iqbal tentang Manusia. Diakses
pada 10 Januari 2023, dari
http://repository.iainbengkulu.ac.id/5783/1/SKRIPSI%20LAILATUL%20SAW
ITRI%20NIM.%201611440003.pdf

[16]
Maftukhin. (2017). Reposisi Konsep Ketuhanan: Tanggapan Muhammad Iqbal
dan Said Nursi atas Perjumpaan Islam dan Sains. Diakses pada 10 Januari 2023,
dari https://media.neliti.com/media/publications/178224-ID-reposisi-konsep-
ketuhanan-tanggapan-muha.pdf

[17]
Sahidi, Arian. Pemikiran Pendidikan Muhammad Iqbal. Diakses pada 10 Januari
2023, dari
https://www.academia.edu/34960936/Pemikiran_Pendidikan_Muhammad_Iqbal

25
[18]
Biografi Friedrich Nietzsche: Filsafat dengan Tulisan Terkenalnya tentang
Individualitas dan Motalitas dalam Peradaban Kontemporer. (2021). Diakses
pada 10 Januari 2023, dari https://populis.id/read6798/biografi-friedrich-
nietzsche-filsafat-dengan-tulisan-terkenalnya-tentang-individualitas-dan-
motalitas-dalam-peradaban-kontemporer

[19]
Wiryawan, Zahrida. Penyangkalan adanya Tuhan dalam pandangan Friedrich
Wilhelm Nietzsche. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20159666.pdf

[20]
Pratama, Aril. (2013). Pemikiran Friedrich Nietzsche. Diakses pada 10 Januari
2023, dari
https://www.kompasiana.com/arilpratama/552c360d6ea834c21c8b456e/pemikir
an-friedrich-nietzsche

[21]
Pemikiran Filosofis Nietzsche. (2021). Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://spada.uns.ac.id/mod/assign/view.php?id=169882#:~:text=Nietzsche%20
menyatakan%20bahwa%20pengetahuan%20merupakan,besar%20kecilnya%20
kehendak%20untuk%20berkuasa

[22]
Santo Agustinus. (2020). Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://katakombe.org/para-kudus/agustus/agustinus.html

[23]
Ardiansyah, Rahmad. (2015). Pemikiran dan Kontribusi dari Santo Agustinus.
Diakses pada 10 Januari 2023, dari https://idsejarah.net/2015/09/pemikiran-dan-
kontribusi-dari-santo.html

[24]
Bertens, K. (2010). Ringkasan Sejarah Filsafat (hlm. 24-26). Yogakarta: Penerbit
PT Kanisius.

[25]
Susanti. (2020). Pengaruh Pemikiran Agustinus terhadap Pendidikan. Diakses
pada 10 Januari 2023, dari https://www.suarakristen.com/2020/12/03/pengaruh-
pemikiran-agustinus-terhadap-pendidikan/

26
[26]
Profil Sigmund Freud. (2014). Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://www.merdeka.com/sigmund-freud/profil

[27]
Bodung, Felix. (2019). Tuhan yang Dikenali. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://lsfdiscourse.org/tuhan-yang-
dikenali/#:~:text=Bagi%20psikoanalisis%20Freud%2C%20Tuhan%20merupak
an,sementara%20subjek%20utamanya%20adalah%20manusia.

[28]
Pebrianti, Nia Putri. (2022). Dehumanisasi Pandangan Sigmund Freud tentang
Manusia. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
http://repository.iainbengkulu.ac.id/8922/1/NIA%20PUTRI%20PEBRIANTI.p
df

27

Anda mungkin juga menyukai