PENDAHULUAN
Kata Tuhan merujuk kepada suatu dzat abadi dan supranatural, biasanya
dikatakan mengawasi dan memerintah manusia dan alam semesta atau jagat raya. Hal
ini bisa juga digunakan untuk merujuk kepada beberapa konsep-konsep yang mirip
dengan ini, misalkan sebuah bentuk energi atau kesadaran yang merasuki seluruh alam
semesta, di mana keberadaan-Nya membuat alam semesta ada; sumber segala yang ada;
kebajikan yang terbaik dan tertinggi dalam semua makhluk hidup; atau apapun yang
tak bisa dimengerti atau dijelaskan.[1]
Secara bahasa, manusia berarti makhluk yang berakal budi. Secara istilah,
manusia dapat diartikan sebuah kelompok atau seorang individu. Secara biologis,
manusia diklasifikasikan sebagai Homo sapiens, sebuah spesies primata dari
golongan mamalia yang dilengkapi otak berkemampuan tinggi. Dalam antropologi
kebudayaan, manusia dijelaskan berdasarkan penggunaan bahasanya, organisasinya
dalam masyarakat majemuk, serta perkembangan terknologinya. Terumata berdasarkan
kemampuannya untuk membentuk kelompok dan lembaga untuk dukungan stau sama
lain serta pertolongan.[2]
2
BAB II
LANDASAN TEORI
Ibnu Sina merupakan salah satu ilmuwan dan filsuf muslim yang
menerapkan logika filsafat dalam teologi Islam. Sejarah mencatat, Ibnu Sina telah
menghasilkan ratusan karya tulisan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan termasuk
matematika, geometri, astronomi, fisika, kimia, metafisika, filologi, bahkan musik dan
sastra. Bernama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al Husain bin Abdullah bin Sina,
dunia Barat lebih mengenalnya dengan nama Avicenna. Ibnu Sina tidak pernah
menikah sepanjang hidupnya. Ia mengembuskan nafas terakhir pada bulan Ramadhan
1037 Masehi pada 57 tahun dan dimakamkan di Hamadan, Persia (kini wilayah Iran).
"Saya memilih umur pendek tapi penuh makna dan karya, daripada umur panjang yang
hampa," ucapnya sebelum wafat.[5]
3
Tentang sifat-sifat Allah, Ibnu Sina pun menyucikan Allah dari segala
sifat yang dikaitkan dengan esensinya, karena Allah Maha Esa dan Maha
Sempurna. Ia adalah tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian. Jika sifat Allah
dipisahkan dari zatnya, tentu akan membawa zat Allah menjadi pluralitas
(ta’addud al-qudama’).[6]
Filsafat emanasi ini bukan renungan Ibnu Sina, tetapi berasal dari
“ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini pancaran dari Yang Esa
(The One). Filsafat Plotinus ini kemudian diaktualisasikan oleh Ibnu Sina,
bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Dengan demikian, walaupun
prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh
karena itu, dapat dikatakan Yang Esa-nya Plotinus sebagai penyebab yang pasif
bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif dalam filsafat Ibnu Sina. Ibnu Sina
memajukan emanasi ini untuk mentauhidkan Allah semutlak-mutlaknya. Oleh
karena itu, Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah unsurnya ini
secara langsung. Jika Allah berhubungan langsung dengan alam yang plural ini
tentu dalam pemikiran Allah terdapat hal yang plural. Hal ini merusak citra
tauhid. Dalam Islam, emanasi ini menjelaskan cara Allah menciptakan alam.
Karena alam adalah ciptaan Allah, dalam agama Islam termasuk ajaran pokok.[6]
4
d) Pandangannya Terhadap Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Sina itu ada dua jenis, yakni ilmu
nadhory (teoritis) dan ilmu amaly (praktis). Yang tergolong dalam ilmu
nadhory ialah ilmu alam, dan ilmu riyadhy (ilmu urai atau matematika), juga
ilmu Ilahi (Ketuhanan) yaitu ilmu yang mengandung i’tibar tentang wujud
kejadian alam dan isinya melalui penganalisaan yang jelas dan jujur sehingga
diketahui siapa Penciptanya. Adapun ilmu yang amaly (praktis) adalah ilmu
yang membahas tentang tingkah laku manusia dilihat dari segi tingkah laku
individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak. Dan bila dilihat dari segi
tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, maka ilmu ini termasuk
ilmu siasat (politik).[7]
2.2 Al Ghazali
Bagi Al-Ghazali, Tuhan itu mawjud (ada) tidak melalui tubuh dan
substansi yang terbatas. Dalam konteks tersebut, tampak Al-Ghazali sebagai
penganut Asy'ariyah, mazhab teologis yang banyak dianut Islam Nusantara.
Asyariyah memandang eksistensi Tuhan sebagai kayfa, yang tidak dapat
digambarkan dengan apapun. Sekalipun demikian, wujud Tuhan adalah wujud
yang paling paripurna. Manusia, binatang, dan segala yang ada berasal dari-
Nya dan akan kembali kepada-Nya.[9]
5
b) Pandangannya Terhadap Manusia
6
merupakan sesuatu yang sangat tinggi nilainya. Al-Ghazali juga menyatakan,
bahwa ilmu pengetahuan memiliki dua aspek, yaitu aspek teoritis dan aspek
praktis. Pengetahuan yang bersifat teoritis dapat menolong manusia dalam
memahami dimensi transendental dari dunia ini secara komprehensif, yaitu
pengetahuan tentang Tuhan dan sebagainya. Sedangkan pengetahuan yang
bersifat praktis menjadi pelengkap untuk membangun teori-teori ilmu
pengetahuan, yang fungsinya nampak dalam perilaku manusia.[12]
7
akhir dan Tuhan menampakkan dirinya pada segala sesuatu. Dalam fase yang
kedua pada tahun 1908-1920, pemikiran Muhammad Iqbal tentang Tuhan
tidak dipahami sebagai yang menampakkan diri dalam realitas dunia yang
tercerap. Akan tetapi, upaya aktualisasi diri dan potensi diri yang terbatas ini
sebagai bentuk penyadaran akan adanya Tuhan. Dalam fase yang ketiga pada
tahun 1920-1938, Muhamad Iqbal banyak dipengaruhi oleh Whitehead, yang
artinya, pada proses dan pengalaman religius itulah yang memungkinan
manusia dapat memahami Tuhan. Pengalaman religius ini merupakan bagian
dari proses seseorang mencari hakikat Tuhan. Dalam fase yang terakhir,
Muhammad Iqbal memandang melalui filsafat diri dan bahkan dengan
menggunakan paham panteisme, dengan mengembangkan bahwa
sesungguhnya diri-diri tak terbatas, dalam artian diri yang mutlak, yakni
Tuhan, selalu kreatif menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia.[14]
8
c) Pandangannya Terhadap Alam Semesta
9
pendidikan Barat dan sistem pendidikan Timur. Inilah yang dimaksud Iqbal
dengan rekonstruksi pendidikan Islam. Muhammad Iqbal memunculkan
gagasan rekonstruksi pendidikan Islam yang merupakan sintesis di antara
keduanya. Dengan demikian, pendidikan Islam, dalam pandangan Iqbal,
merupakan pendidikan yang bukan Barat dan bukan pula Timur,
tetapi pendidikan yang berada diantara keduanya. [17]
2.4 Nietzscahe
10
terhadap agama, ia meli-hat kenyataan ketika itu, terutama para pemimpin
agama mengajarkan tentang ajarannya. Nietzsche merasa muak kepada para
pendeta yang mengajarkan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa. Dan
Nietzsche memperingatkan kepada manusia agar waspada terhadap bangunan
yang dinamakan dengan gereja. Bagi Nietzsche semua ini adalah palsu, karena
agama sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berdosa,
manusia yang mau menjalami hidup dalam serba penuh dosa ini, adalah
manusia yang bodoh, yang tidak berharga.[19]
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki
pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di
dalam dunia semacam ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan
untuk memperoleh pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan
kemampuan untuk menafsir (interpretation). Dengan kehendak untuk
berkuasa, manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia
11
adalah tempat yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna
karena manusia, dengan subyektivitas serta kemampuannya menafsir,
memberinya makna, dan menjadikannya “manusiawi” (human). Nietzsche
terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan
supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan
kehidupan. Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki
kebenaran, tidak memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan
ditafsirkan. Dunia bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan
digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain
dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik.[20]
Santo Agustinus adalah seorang Pujangga Besar Gereja yang lahir pada
tanggal 13 November 354 di Tagaste, Algeria, Afrika Utara dan diberi nama Aurelius
Augustinus. Ia dibesarkan dan dididik di Karthago, dan dibaptis di Italia. Agustinus
memilih menganut aliran Manikeanisme, yaitu aliran yang menolak Allah dan sangat
mengagungkan rasionalisme. Pada tanggal 24 April 387 Agustinus dipermandikan oleh
Uskup St. Ambrosius. Ia memutuskan untuk mengabdikan diri pada Tuhan dan dengan
beberapa teman dan saudara hidup bersama dalam doa dan meditasi. Pada tahun 388,
setelah ibunya wafat, Agustinus tiba kembali di Afrika. Ia menjual segala harta
miliknya dan membagi-bagikannya kepada mereka yang miskin. Ia sendiri mendirikan
sebuah komunitas religius. Atas desakan Uskup Valerius dan umat, maka Agustinus
12
bersedia menjadi imam. Empat tahun kemudian Agutinus diangkat menjadi Uskup kota
Hippo. Semasa hidupnya Agustinus adalah seorang pengkhotbah yang ulung (lebih dari
350 khotbahnya yang terlestarikan diyakini otentik), dan dikenang akan perjuangannya
melawan ajaran sesat Manikeanisme yang pernah dianutnya. Ia juga merupakan
pahlawan iman Gereja melawan bidaah Donatis yang telah banyak meyesatkan umat
beriman. Agustinus berusaha sekuat tenaga untuk membendung aliran sesat itu. Dalam
sebuah debat terbuka dengan para Donatis, Agustinus mematahkan semua argumen
mereka sehingga membuat banyak orang telah disesatkan berbalik kembali ke
pangkuan Gereja Katolik. [22]
Ajaran Agustinus dapat dikatakan berpusat pada dua pool: Tuhan dan
manusia. Akan tetapi, dapat juga dikatakan seluruh ajaran Agustinus berpusat
pada Tuhan. Kesimpulan terakhir ini diambil karena ia mengatakan bahwa ia
hanya ingin mengenal Tuhan, tidak lebih dari itu. Ia yakin benar bahwa
pemikiran dapat mengenal kebenaran, setelah ia yakin bahwa ia ada, setelah ia
yakin bahwa ia mampu mengenal Tuhan, maka mulailah mempelajari Tuhan.
Bagimana kita bisa tahu tentang Tuhan? Menurut Agustinus, dalam kita
mencari kebenaran, keindahan, kebaikan, kita sebenarnya dibimbing oleh
konsep ada kebenaran, ada keindahan, dan ada kebaikan, yang absolut.
Maksud argumen ini adalah bahwa banyak kebenaran tentang benar, banyak
kebenaran tentang indah, banyak kebenaran tentang baik. Menghadapi
keadaan ini manusia didesak pada harus adanya yang absolut serta abadi itulah
Tuhan.Menurut Agustinus, keesaan itu adalah Tuhan. Jadi, Tuhan itu
ditemukan dengan rasa, bukan dengan proses pemikiran.[23]
13
tentang masalah asal-usul jiwa manusiawi. Satu kali ia berkecenderungan
kepada pikiran bahwa jiwa langsung diciptakan oleh Tuhan pada saat
konsepsi. Lain kali ia mengatakan bahwa jiwa anak berasal dari jiwa
orangtuanya, sebagaimana dahulu sudah dikatakan Tertullianus. Dengan
pendapat terakhri ini menjadi lebih gampang untuk mengartikan adanya dosa
asal, yaitu bersama dengan jiwa dosa diturunkan juga.[24]
14
2.6 Sigmund Freud
Sigmund Freud, lahir di kota kecil Freiberg, Moravia 6 Mei 1856. Ayahnya
adalah seorang pedagang wol dengan pemikiran yang maju dan selera humor yang baik.
Ibunya, seorang wanita yang aktif dan merupakan istri kedua Ayahnya dengan usia 20
tahun lebih muda. Pada saat ia berusia 4 atau 5 tahun, keluarganya pindah ke Wina,
dimana dia menghabiskan sebagian besar hidupnya. Sebagai anak cerdas dan selalu
mendapat nilai tertinggi di kelasnya, dia melanjutkan pendidikan ke fakultas
kedokteran di Universitas Wina tahun 1881. Semasa kuliah, dia terlibat dalam berbagai
penelitian di bawah arahan profesor fisiologis bernama Brucke. Freud adalah seorang
perokok cerutu berat sepanjang hidupnya. Hal itu menyebabkan dirinya mengidap
kanker mulut. Pada tahun 1939, setelah operasi kanker yang ke sekian kalinya, Freud
meminta dokter untuk membantu dia melakukan bunuh diri. Dokter memberikan tiga
kali dosis morfin dan Freud akhirnya meninggal pada 23 September 1939.[26]
15
tersebut. Faktor atau dorongan lain tidak terlalu dipandang memberikan
pengaruh dalam pembentukan kepribadian atau tingkah laku seseorang
seperti kondisi lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Selanjutnya seperti
yang telah diungkapkan oleh Freud bahwa faktor-faktor interpesonal yang
menjadi penentu bagi tingkah laku manusia adalah hal-hal atau pengalaman
yang selama ini tersimpan dalam alam bawah sadarnya.
2. Manusia pada tingkah lakunya cenderung untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan instink-instinknya
Manusia cenderung hanya untuk memenuhi dorongan biologis atau
instinknya yang akan memberikan rasa kepuasan berupa kenyamanan pada
diri manusia. Akan tetapi Freud mengungkapkan bahwa dorongan instink
manusia bukan hanya tentang seksualitas dalam artian pemuasan hasrat atas
organ-organ seksual saja, melainkan juga dorongan-dorongan naluriah lain
yang sifatnya akan memberikan kenyamanan pada diri manusia.
3. Manusia dipandangan pesimistik karena tidak mampu memegang
nasibnya sendiri
Freud mengungkapkan bahwa kepribadian manusia terbentuk dari
pengalaman atau peristiwa yang ia alami dari masa lalunya, dengan kata
lain Freud menyatakan bahwa manusia itu dikendalikan oleh masa lalunya.
Sehingga manusia tidak akan mampu mengendalikan bahkan merubah
takdirnya, melainkan hanya menerima atas apa yang telah ada pada dirinya
dari masa lalu. Alasan lain yang melatar belakangi Freud mengungkapkan
manusia sangat pesimistik dapat dilihat pada penjelasannya dalam teori
tingkat kesadaran manusia yang menurutnya memiliki tiga tingkat
kesadaran, yaitu: sadar (conscious), prasadar (preconscious), dan tidak
sadar (unconscious).[28]
16
BAB III
PEMBAHASAN
17
setelah ia yakin bahwa ia ada, setelah ia yakin bahwa ia mampu mengenal Tuhan, maka
mulailah mempelajari Tuhan. Menurut Agustinus, keesaan itu adalah Tuhan. Jadi,
Tuhan itu ditemukan dengan rasa, bukan dengan proses pemikiran.
Bagi psikoanalisis Freud, Tuhan merupakan objek yang dibangun manusia
untuk memuaskan hasratnya dalam penguasaan atas segala sesuatu. Dalam analisis
Freud, Tuhan menjadi objek sementara subjek utamanya adalah manusia. Walaupun
Tuhan diagungkan, namun pengagungan itu merupakan sikap yang diberlakukan,
diberikan pada Tuhan. Hal ini memperlihatkan bahwa kepercayaan ini merupakan
kepercayaan yang artifisial yang lahir dari dorongan psikologi libidinal manusia dalam
menjawab kebutuhannya.
Terdapat tiga objek kajian yang dibahas Ibnu Sina menyangkut manusia,
yaitu: wujud manusia, jiwa manusia, akal pada manusia dan ruh manusia. Dalam
menjelaskan tentang wujud manusia ini Ibnu Sina menggunakan Filsafat Wujudiah-nya
untuk menjelaskan dari mana wujud manusia itu ada, yaitu pada teori Mumkin al-
Wujud, yang penjelasannya adalah: Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh
pula tidak berwujud.
Al-Ghazali dalam Mushthafa (1970, J.2:100), menjelaskan bahwa manusia
itu terdiri atas dua unsur yang berbeda, yakni tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs). Al-jism
yaitu unsur yang berwatak gelap, kasar dan termasuk di bawah alam bumi ini yang tidak
berbeda dengan benda-benda lainnya. Al-nafs yaitu substansi yang tersendiri, yang
mempunyai daya mengetahui, bergerak dengan kemauannya dan penyempurna bagi
bagian-bagian lainnya.
Pada pemikirannya mengenai manusia Iqbal lebih mengkaitkannya dengan
filsafat eksistensialisme. Dimana manusia tidak terpaku dengan gagasan mengenai
gambar tunggal mengenai realitas kehidupan manusia, sebab eksistensi manusia terus
bergerak dan berkembang serta masih dalam proses menjadi.
Bagi Nietzsche nilai manusia adalah suatu tindakan yang menonjolkan
nilai-nilai biologia seperti kekuatan, keberanian dan keganasan. Situasi kebudayaan
Jerman ketika itulah yang mempengaruhi jalan pikiran Nietzsche, dan ia ingin
membebaskan manusia dari segala hal yang membuat manusia menjadi lemah dan tidak
18
berdaya, dengan demikian Nietzsche menemukan arti kehidupan manusia. Dalam
pandangannya tentang manusia, ia melihat manusia dalam kehidupan yang nyata,
eksistensial. Manusia dalam bentuk konkrit adalah badan.
Dalam pemikirannya, Agustinus dipengaruhi oleh platonisme. Ia tidak
menerima dualisme ekstrem Plato tentang manusia (jiwa terkurung dalam tubuh), tetapi
tidak disangkal bahwa ia masih menganut semacam dualisme, misalnya bila ia
melukiskan jiwa sebagai substansi yang menggunakan tubuh. Tetapi tubuh (dan materi)
tidak merupakan sumber kejahatan. Satu-satunya kejahtan adalah dosa yang berasal
dari kehendak bebas, lagi hukuman untuk dosa.
Manusia dalam pandangan Sigmund Freud dijelaskan dalam tiga bahasan,
yaitu (a) Manusia ditentukan oleh faktor-faktor interpersonal dan intrapsikis; (b)
Manusia pada tingkah lakunya cenderung untuk memenuhi kebutuhan biologis dan
instink-instinknya; (c) Manusia dipandangan pesimistik karena tidak mampu
memegang nasibnya sendiri.
Filsafat emanasi ini bukan renungan Ibnu Sina, tetapi berasal dari “ramuan
Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini pancaran dari Yang Esa (The One). Filsafat
Plotinus ini kemudian diaktualisasikan oleh Ibnu Sina, bahwa Allah menciptakan alam
secara emanasi. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama,
namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan Yang Esa-nya
Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif dalam
filsafat Ibnu Sina.
Pendapat al-Ghazali ini sama seperti pendapat para teolog dari kalangan
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Menurut para teolog, alam semesta ini merupakan
ciptaan Tuhan. Sebagai ciptaan, ia bersifat baru, dengan ciri-ciri berupa jism, jauhar,
dan ‘arad. Para teolog juga menegaskan bahwa alam semesta ini diciptakan Tuhan dari
‘tiada’ kepada ‘ada’ (al-ijad min al’adam).
Iqbal menegaskan bahwa penciptaan alam semesta oleh Tuhan bukanlah
tindakan spesifik dalam sejarah hidup Tuhan. Alam terus berkembang. Jika muncul
pandangan yang menyatakan bahwa Tuhan telah selesai menciptakan alam semesta
19
maka cara pandang ini memberikan pemahaman kepada kita seakan-akan struktur alam
ini telah selesai diciptakan. Alam semesta seakan-akan tidak membutuhkan Tuhan lagi,
dan alam berdiri menjadi sesuatu yang lain, terpisah dari Tuhan.
Bagi Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki
pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Dunia dan
kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak memiliki
awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia bukanlah milik
manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki nilai pada dirinya sendiri.
Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan tak semata antropomorfik.
Alam semesta ini menurut pendapatnya memerlukan pencipta. Fisik alam
yang tidak teratur ini, tidak berketentuan ini, memerlukan pencipta dan pengatur. Yang
dimaksud tidak berketentuan ialah tidak tentu asalnya, keadaanya sekarang, riwayat
alam ini selanjutnya. Keadaan alam seperti ini menurut Agustinus memerlukan
pencipta dan pengatur.
Ilmu pengetahuan menurut Ibnu Sina itu ada dua jenis, yakni ilmu nadhory
(teoritis) dan ilmu amaly (praktis). Yang tergolong dalam ilmu nadhory ialah ilmu
alam, dan ilmu riyadhy (ilmu urai atau matematika), juga ilmu Ilahi (Ketuhanan).
Adapun ilmu yang amaly (praktis) adalah ilmu yang membahas tentang tingkah laku
manusia dilihat dari segi tingkah laku individualnya. Ilmu ini menyangkut ilmu akhlak.
Dan ilmu ini termasuk ilmu siasat (politik).
Al-Ghazali mengatakan, bahwa ilmu pengetahuan itu dasar dari segala
kebahagiaan di dunia sekarang maupun di dunia yang akan datang (akhirat). Al-Ghazali
juga menyatakan, bahwa ilmu pengetahuan memiliki dua aspek, yaitu aspek teoritis dan
aspek praktis. Pengetahuan yang bersifat teoritis dapat menolong manusia dalam
memahami dimensi transendental dari dunia ini secara komprehensif. Sedangkan
pengetahuan yang bersifat praktis menjadi pelengkap untuk membangun teori-teori
ilmu pengetahuan.
Pendidikan menurut Muhammad Iqbal sesungguhnya bertujuan
membentuk “manusia sejati”. Dalam hal ini, Muhammad Iqbal memandang sistem
pendidikan yang ada telah gagal mencapai tujuannya. Pendidikan ideal menurutnya
adalah pendidikan yang mampu memadukan dualism (antara aspek keduniaan dan
20
aspek keakhiratan) secara sama dan seimbang. Dua sistem pendidikan yang ada, yaitu
sistem pendidikan tradisional (Islam) dan sistem pendidikan Barat (Kristen), dalam
persfektif Iqbal, belum dapat mewujudkan pendidikan yang ideal ini.
Nietzsche menyatakan bahwa pengetahuan merupakan suatu alat untuk
mencapai kekuasaan. Kehendak untuk mendapatkan pengetahuan, atau kehendak untuk
tahu, tergantung akan besar kecilnya kehendak untuk berkuasa. Tujuan mendapatkan
pengetahuan bukanlah semata-mata untuk tahu, dalam arti menguasai kebenaran dari
suatu ilmu, tetapi juga untuk tujuan kebenaran.
Agustinus meyakini bahwa manusia memiliki guru yang disebut teacher’s
within, yaitu Kristus di dalam diri manusia, yang mengajarkan pengetahuan. Teacher’s
within menunjukkan langsung ke dalam pikiran manusia, hal-hal yang kita pelajari,
sehingga kita mampu memahami pengetahuan, misalnya dalam mengerjakan soal pada
pelajaran matematika, seringkali kita tidak memahami mengapa pembuktian
matematika harus seperti itu. Ada ruang dimana kita tidak mengerti, namun setelah
beberapa waktu, kita mendapatkan aha moment dan mengerti soal-soal matematika.
21
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
a) Tentang Tuhan
Menurut Ibnu Sina; Allah Maha Esa dan Maha Sempurna. Ia adalah
tunggal, tidak terdiri dari bagian-bagian.
Menurut Al-Ghazali; Tuhan itu mawjud (ada) tidak melalui tubuh dan
substansi yang terbatas.
Menurut Muhammad Iqbal; konsep ketuhanan bisa dikatakan sebagai
filsafat khudi (diri), konsep ketuhanan.
Menurut Nietzsche; konsep Tuhan berasal dari keterikatan suatu perasaan.
Menurut Santo Agustinus; bahwa pemikiran dapat mengenal kebenaran,
setelah ia yakin bahwa ia ada, setelah ia yakin bahwa ia mampu mengenal
Tuhan, maka mulailah mempelajari Tuhan.
Menurut Sigmund Freud; Tuhan merupakan objek yang dibangun manusia
untuk memuaskan hasratnya dalam penguasaan atas segala sesuatu.
b) Tentang Manusia
Menurut Ibnu Sina; manusia itu boleh mempunyai wujud dan boleh pula
tidak berwujud. Dengan kata lain, jika ia diandaikan tidak ada atau
diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil.
Menurut Al Ghazali; manusia itu terdiri atas dua unsur yang berbeda, yakni
tubuh (al-jism) dan jiwa (al-nafs).
Menurut Muhammad Iqbal; manusia tidak terpaku dengan gagasan
mengenai gambar tunggal mengenai realitas kehidupan manusia.
Menurut Nietzsche; ia melihat manusia dalam kehidupan yang nyata,
eksistensial. Manusia dalam bentuk konkrit adalah badan.
Menurut Santo Agustinus; ia melukiskan jiwa sebagai substansi yang
menggunakan tubuh.
22
Menurut Sigmund Freud; Manusia ditentukan oleh faktor-faktor
interpersonal dan intrapsikis, tingkah lakunya cenderung untuk memenuhi
kebutuhan biologis dan instink-instinknya, dipandangan pesimistik karena
tidak mampu memegang nasibnya sendiri.
Menurut Ibnu Sina; alam ini terjadi karena adanya pancaran dari Yang Esa
(The One). Namun, Allah tidak bisa menciptakan alam yang banyak jumlah
unsurnya ini secara langsung.
Menurut Al Ghazali; alam semesta ini merupakan ciptaan Tuhan. Sebagai
ciptaan, ia bersifat baru, dengan ciri-ciri berupa jism, jauhar, dan ‘arad.
Menurut Muhammad Iqbal; penciptaan alam semesta oleh Tuhan bukanlah
tindakan spesifik dalam sejarah hidup Tuhan.
Menurut Nietzsche; dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki
pencipta, namun bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri.
Menurut Santo Agustinus; Fisik alam semesta yang tidak teratur ini, tidak
berketentuan ini, memerlukan pencipta dan pengatur.
Menurut Ibnu Sina; ilmu pengetahuan itu ada dua jenis, yakni ilmu
nadhory (teoritis) dan ilmu amaly (praktis).
Menurut Al Ghazali; ilmu pengetahuan itu dasar dari segala kebahagiaan di
dunia sekarang maupun di dunia yang akan datang (akhirat).
Menurut Muhammad Iqbal; Pendidikan sesungguhnya bertujuan
membentuk “manusia sejati”.
Menurut Nietzsche; pengetahuan merupakan suatu alat untuk mencapai
kekuasaan.
Menurut Santo Agustinus; manusia memiliki guru yang disebut teacher’s
within, yaitu Kristus di dalam diri manusia, yang mengajarkan
pengetahuan.
23
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Wulandari, Aryenti. Pengertian Tuhan. Diakses pada 8 November 2022, dari
https://www.academia.edu/36362008/Pengertian_Tuhan
[2]
Makplus, Om. (2015). Pengertian Manusia serta Definisi Manusia menurut
Para Ahli. Diakses pada 8 November 2022, dari http://www.definisi-
pengertian.com/2015/12/pengertian-manusia-definisi-menurut-ahli.html
[3]
Pengertian Lengkap Alam Semesta, Ruang dan Waktu. Diakses pada 8 November
2022, dari https://belajarsemesta.blogspot.com/2018/09/pengertian-lengkap-
alam-semesta-ruang.html
[4]
Abdhul, Yusuf. (2022). Pengertian Ilmu Pengetahuan: Hakikat, Ciri-Ciri dan
Macam. Diakses pada 8 November 2022, dari
https://deepublishstore.com/materi/ilmu-
pengetahuan/#Pengertian_Ilmu_Pengetahuan_Secara_Umum
[5]
Maarif, Syamsul Dwi. (2022). Biografi Ibnu Sina: Sejarah Ilmuwan Muslim,
Karya, & Penemuannya. Diakses pada 8 November 2022, dari
https://tirto.id/biografi-ibnu-sina-sejarah-ilmuwan-muslim-karya-penemuannya-
gqTX
[6]
36, Wananwar. (2014). Alam dan Tuhan di Mata Ibnu Sina. Diakses pada 8
November 2022, dari https://redrosela.wordpress.com/2014/12/09/alam-dan-
tuhan-di-mata-ibnu-sina/
[7]
Rohmah, Lailatu. (2013). Pemikiran Ibnu Sina tentang Epistemologi: Landasan
Filosofis Keilmuan dalam Islam. Diakses pada 8 November 2022, dari
https://jurnalannur.ac.id/index.php/An-Nur/article/view/38/37
[8]
Biografi Imam Al-Ghazali. (2022). Diakses pada 10 Januari 2023, dari https://an-
nur.ac.id/riwayat-hidup-imam-al-ghazali/#_ftn1
[9]
Najib, Muhammad. (2010). Wisata Pemikiran Al-Ghazali. Diakses pada 10
Januari 2023, dari https://news.detik.com/kolom/d-5179426/wisata-pemikiran-
al-ghazali
24
[10]
Fahrudin. Konsep Manusia enurut Al Ghazali. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/M_K_D_U/195910081988031-
FAHRUDIN/konsep_manusia_al-ghazali.pdf
[11]
Marpaung, Irwan Malik. (2014). Alam dalam Pandangan Abu Hamid al-Ghazali.
Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://www.researchgate.net/publication/304465673_Alam_dalam_Pandangan
_Abu_Hamid_al-Ghazali
[12]
Pemikiran Imam Al Ghazali tentang Konsep Pendidikan Islam. Diakses pada 10
Januari 2023, dari
https://sc.syekhnurjati.ac.id/esscamp/risetmhs/BAB314121110090.pdf
[13]
Muhammad Iqbal Tokoh Pembaharu Islam. (2022). Diakses pada 10 Januari
2023, dari https://an-nur.ac.id/muhammad-iqbal-tokoh-pembaharu-islam/
[14]
Kirom, Syahrul. (2022). Pemikiran Muhammad Iqbal dalam Perspektif Filsafat
Ketuhanan. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/aqlania/article/view/3795/3754
[15]
Sawitri, Lailatul. (2021). Filsafat Muhammad Iqbal tentang Manusia. Diakses
pada 10 Januari 2023, dari
http://repository.iainbengkulu.ac.id/5783/1/SKRIPSI%20LAILATUL%20SAW
ITRI%20NIM.%201611440003.pdf
[16]
Maftukhin. (2017). Reposisi Konsep Ketuhanan: Tanggapan Muhammad Iqbal
dan Said Nursi atas Perjumpaan Islam dan Sains. Diakses pada 10 Januari 2023,
dari https://media.neliti.com/media/publications/178224-ID-reposisi-konsep-
ketuhanan-tanggapan-muha.pdf
[17]
Sahidi, Arian. Pemikiran Pendidikan Muhammad Iqbal. Diakses pada 10 Januari
2023, dari
https://www.academia.edu/34960936/Pemikiran_Pendidikan_Muhammad_Iqbal
25
[18]
Biografi Friedrich Nietzsche: Filsafat dengan Tulisan Terkenalnya tentang
Individualitas dan Motalitas dalam Peradaban Kontemporer. (2021). Diakses
pada 10 Januari 2023, dari https://populis.id/read6798/biografi-friedrich-
nietzsche-filsafat-dengan-tulisan-terkenalnya-tentang-individualitas-dan-
motalitas-dalam-peradaban-kontemporer
[19]
Wiryawan, Zahrida. Penyangkalan adanya Tuhan dalam pandangan Friedrich
Wilhelm Nietzsche. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://lib.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-20159666.pdf
[20]
Pratama, Aril. (2013). Pemikiran Friedrich Nietzsche. Diakses pada 10 Januari
2023, dari
https://www.kompasiana.com/arilpratama/552c360d6ea834c21c8b456e/pemikir
an-friedrich-nietzsche
[21]
Pemikiran Filosofis Nietzsche. (2021). Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://spada.uns.ac.id/mod/assign/view.php?id=169882#:~:text=Nietzsche%20
menyatakan%20bahwa%20pengetahuan%20merupakan,besar%20kecilnya%20
kehendak%20untuk%20berkuasa
[22]
Santo Agustinus. (2020). Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://katakombe.org/para-kudus/agustus/agustinus.html
[23]
Ardiansyah, Rahmad. (2015). Pemikiran dan Kontribusi dari Santo Agustinus.
Diakses pada 10 Januari 2023, dari https://idsejarah.net/2015/09/pemikiran-dan-
kontribusi-dari-santo.html
[24]
Bertens, K. (2010). Ringkasan Sejarah Filsafat (hlm. 24-26). Yogakarta: Penerbit
PT Kanisius.
[25]
Susanti. (2020). Pengaruh Pemikiran Agustinus terhadap Pendidikan. Diakses
pada 10 Januari 2023, dari https://www.suarakristen.com/2020/12/03/pengaruh-
pemikiran-agustinus-terhadap-pendidikan/
26
[26]
Profil Sigmund Freud. (2014). Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://www.merdeka.com/sigmund-freud/profil
[27]
Bodung, Felix. (2019). Tuhan yang Dikenali. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
https://lsfdiscourse.org/tuhan-yang-
dikenali/#:~:text=Bagi%20psikoanalisis%20Freud%2C%20Tuhan%20merupak
an,sementara%20subjek%20utamanya%20adalah%20manusia.
[28]
Pebrianti, Nia Putri. (2022). Dehumanisasi Pandangan Sigmund Freud tentang
Manusia. Diakses pada 10 Januari 2023, dari
http://repository.iainbengkulu.ac.id/8922/1/NIA%20PUTRI%20PEBRIANTI.p
df
27