Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Islam
Disusun oleh:
Dosen Pembimbing:
Segala puji bagi AllahSWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT. atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Studi Islam dengan judul
“Akhlak Tasawuf”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
Studi Islam kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.
Pemakalah
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………………………………………i
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………………ii
BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………..1
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………..20
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan yang penuh dengan teknologi berkembang saat ini, manusia
semakin mengetahui sesuatu hal yang belum diketahui oleh para pendahulunya melalui
teknologi yang diciptakannya. Jika kita pikirkan sejenak, terlintas di benak kita kekuasaan
serta keagungan Tuhan yang Maha Esa dan begitu kecil dan terbatasnya pengetahuan kita
tentang ciptaan-Nya.
Atas dasar tersebut, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya harus mencintai dan mengabdikan diri
kepada Allah swt. Dengan kedua hal tersebut kita dapat selalu berada didekatNya.Tasawuf
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara bagaimana orang dapat berada sedekat
mungkin dengan Tuhannya. Selain itu, tasawuf dapat menjadikan agama lebih dihayati serta
dijadikan sebagai suatu kebutuhan bahkan suatu kenikmatan.Pada perkembangannya, tasawuf
yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang
menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf
yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak
dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us
Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-
Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di
Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad.1
Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qura’an dan As-
Sunnah Nabi Muhammad SAW. ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah.
Dari paham tasawufnya, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi
para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia
menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan
sehingga dapat dikatan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat
dalam karya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, Ayuhal Walad.2
Al-Ghazali menilai negative terhadap syatahat karena dianggapnya mempunyai dua
kelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata
yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah
SWT. dapat disaksikan. Kedua, syatahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil
imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semi-filsafat meskipun ia mau
memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al-Busthami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah
menyebabkan orang-orang Nasrani salah dalam menilai Tuhannya.3
Al-Ghazali menolak paham hulul dan itihad. Untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang
makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah SWT. (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti
2
penatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara
buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan
jalan menuju Allah SWT. Makrifat menurut versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan
jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-
tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal)4
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orangyang
mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yaitu tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam,
yang sebelumnya mengalami ketegangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga
sampai pada makrifat yang membantu menciptakan (sa’adah).5
4 Ibid, h. 247
5 Ibid, h. 248
6 Cecep Alba, Tasawuf dan tarekat: dimensi esoteris ajaran Islam, Cetakan pertama (Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, 2014), 70.
7 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),
3
Ibn Khaldun berpendapat bahwa objek utama yang menjadi perhatian tasawuf falsafi
ada empat perkara. Keempat perkara itu adalah sebagai berikut:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul dari dirinya.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alm gaib, misalnya sifat-sifat rabbani,
‘arasy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud,
terutama tentang penciptaan serta penciptaannya.
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan..
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syatahiyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya, menyetujui, atau menginterprestasikannya.8
1. Ibnu Arabi
A. Biografi Singkat
Abu Bakar Muhyiddin ibn ‘Arabi dilahirkan di Mersia Spanyol pada tahun 598 H.
(1102 M.). Ibnu ‘Arabibelajar agama filsafat di Sevilla, Mesir, Hijaz, Irak, dan Asia Minor.
Damaskus (Siria) sebagai tempat tinggal terakhir Ibnu ‘Arabi hingga dia meninggal dunia
pada tahun 639 H. (1240 M.). Hingga kini banyak orang berziarah kuburnya.
Ibnu ‘Arabi biasa dipanggil oleh murid-muridnya dengan sebutan “Syaikh al-Akbar
(Guru Besar) dan Kibrit al-Ahmar (Belerang Merah)”. Ajarannya yang paling terkenal adalah
“wihdat al-wujud (panteisme)”. Yaitu kesatuan wujud, segala yang tampak ini hanya
bayangan dari yang Haq. Hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Tiada jarak antara Tuhan
dengan hamba; dan “wihdat al-adyan”. 9
Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya,
tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah, tokoh yang paling keras dalam
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang
8 Cecep Alba, Tasawuf dan tarekat: dimensi esoteris ajaran Islam, Cetakan pertama (Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, 2014)hlm 70.
9 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf (Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 132.
4
telah berjasa mempopulerkannya ke tengah masayarakat Islam, meskipun tujuannya
negatif.10
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada
hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan anatara keduanya (khaliq dan
makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan
makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang
terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari
kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan
Ibnu Arabi.11
سبحان من أظهر األشياء و هو عينها
Artinya:
“Mahasuci tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia adalah hakikat
segala sesuatu itu”.
Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat
alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khaliq dan wujud yang
baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud
(yang disembah). Bahkan, antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu.
Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu.12
Selanjutnya, Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam, ala mini adalah
bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam itu tidak mempunyai wujud
yang sebenarnya. Oleh karna itu, alam ini merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan)
Tuhan.
Menurut Ibnu Arabi, ketika Allah SWT. menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat
ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang
tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah SWT. menciptakan manusia untuk memperjelas
cermin itu. Dengan pernyataan lain, ala mini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan
sifat Allah SWT. yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya akan kehilangan
10 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 280.
11 Ibid.hlm 280
12 Ibid
5
maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang ditinggal dalam ke-mujarrad-an
(kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.13
Dari konsep wahdat al-wujud Ibnu Arabi, muncul lagi dua konsep yang sekaligus merupakan
lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud tersebut, yaitu konsep al-hakikat al-
muhammadiyyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama)
Menurut Ibnu Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya
adalah sebagai berikut:
Selain itu, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya ala mini tidak bisa dipisahkan dari
ajaran hakikat Muhammad atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian
proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada
suatu apapun;
2. wujud hakikat Muhammadiyah merupakan emanasi (perlimpahan) pertama dari
wujud Tuhan. Dari sini, kemudian muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-
tahapannya sebagaimana yang dikemukakan di atas.
Dengan demikian, Ibnu Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini
diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Selanjutnya,ia mengatakan bahwa Nur Muhammad
itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan
amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan
terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan insan
6
kamil (manusia sempurna). Ibnu Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyah
dengan quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.15
Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibnu Arabi
memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikatMuhammadiyyah.
Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah SWT.
Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah SWT. dalam setiap
bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar
hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup
realitas Dzat Tuhan Yang Tunggal sebagaimana yang dikemukakannya dalam syairnya
berikut ini.
Menurut para penulis, pernyataan Ibnu Arabi terlalu berlebihan dan tidak mempunyai
landasan yang kuat sebab agama berbeda-beda satu sama lain.16
2. As-Suhrawardi al-Maqtul
A. Biografi Singkat
Suhrawardi, nama lengkapnya Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’
Suhrawardi Al-Maqtul, lahir di desa Suhraward, sebuah desa kecil dekat Zinjan di Timur
Laut Iran, tahun 545 H/1153 M. Istilah “al-Maqtul” ini digunakan untuk membedakannya
dengan dua tokoh Suhrawardi yang yang sama-sama bernama Suhrawardi. Dua tokoh yang
dimaksud adalah (1) ‘Abd Al-Qadir Abu Najib Suhrawardi (1907-1168 M), pendiri tarekat
7
Suhrawardiyah. Ia adalah murid Ahmad Al-Ghazali (w.1126 M), adik kandung Hujjah al-
Islam Muhammad Al-Ghazali (1058-1111 M), penulis Ihya Ulum al-Din; (2) Syihab Al-Din
Abu Hafs ‘Umar Suhrawardi (1144-1234 M), keponakan sekaligus murid Suhrawardi
pertama. Ia lebih berpengaruh dibanding pamannya dan menjadi mahaguru (syaikh al-
syuyukh) ajaran sufi Baghdad pada masa kahlifah Al-Nasir (1180-1125 M. Tokoh ini adalah
pengarang kitab Awarif al-Ma’arif yang terkenal dalam sufisme.17
17 Ibrahim, Filsafat Islam Masa Awal (Makassar: Carabaca Makassar, 2016), 178.
18 Ibrahim, Filsafat Islam Masa Awal (Makassar: Carabaca Makassar, 2016),h. 136.
19 Ibid
8
A. Biografi Singkat
Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365
M di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di seblah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M.
Nama Al-Jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal
dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber
mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M, kemudian belajar
tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin Tarekat
Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syekh Syafaruddin Isma’il
bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.21
B. Ajaran Tasawuf Abdul Karim Al-Jili
Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Secara
umum pengertian insan kamil menurut Al-Jili dapat dilihat dari kutipan berikut:
اإلنسان الكامل واحد منذ كان الوجود الى ابد األبدين اال ان له تنوعات و صوار في كل
فاالنسان الكامل هو اصل. واإلنسان الكامل هو النبي محمد عليه الصالة والسالم.زمان
اخرهز الوجود او هو (القطب) الذي تدور عليه روح الوجود من اوله الى
Artinya:
“ Insan Kamil pertama sejak adanya wujud hingga akhir lamanya, yang mengkristal pada
setiap zaman. Dan insan kamil adalah Nabi Muhammad SAW. Maka insan kamil merupakan
asal wujud atau menjadi poros/kutub yang kemudian berkembang atasnya roh wujud dari
awal hingga akhir.22
Berkaitan dengan definisi yang diberikan Al-Jili di atas, maka R.A Nicholson memberikan
batasan konsep insan kamil Al-Jili secara umum sebagai berikut:
Barangkali kita boleh menerangkan insan kamil sebagai seorang yang sepenuhnya mampu
mencapai kesatuan dengan Tuhan, yang ia menjadi serupa dengan Tuhan. Pengalaman ini
dicapai oleh para nabi dan wali untuk selanjutnya terbayang dalam bentuk simbol-simbol
oleh orang lain, yang itu merupakan sendi dasar falsafah bagi kaum sufi. Oleh sebab itu,
tingkat insan kamil tidak saja terdiri dari para nabi sejak Adam sampai Muhammad, tetapi
9
juga orang-orang pilihan (khusus lagi khusus) di antara para sufi, yaitu orang-orang yang
disebut awliya’, jamak dari wali.)
Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa pengertian akhir dari insan kamil adalah roh Nabi
Muhammad yang mengkristal dari sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad sendiri
dan seterusnya sampai kepada para wali dan orang-orang yang saleh, sebagai cermin Tuhan
untuk refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya.23
Selanjutnya, insan kamil menurut Al-Jili merupakan Nuskha Tuhan, sehingganya sifat Allah:
Hidup, Mengetahui, Tinggi, Berkehendak, Mendengar, Melihat dan sebagainya, juga dimiliki
oleh manusia (Adam). Kemudian setelah Tuhan menciptakan substansi, maka sifat-sifat-Nya
kemudian dikonfrontasikan dengan sifat Adam. Ke Dia-an (huwiyah) yang Ilahi
dikonfrontasikan dengan kediaan Adam, ke-Aku-an Ilahi dengan kesadaran aku Adam, dan
esensi Ilahi dengan esensi Adam. Sehingganya, Adam berhadapan dengan Allah dengan
segala hakikat-Nya. Dalam perspektif ini, Adam dari sisi penciptaannya merupakan salah
seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat
dan nama-nama Ilahi24
Menururut Al-Jili, duplikasi al-kamal (kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh setiap
manusia, yaitu potensi menerima tajalli Allah dari Nur Muhammad. Namun, tidak semuanya
mencapai kedudukan yang sama. Beranjak dari hal itu, maka Al-Jili membagi insan kamil
atas tiga tingkatan: tingkat pertama disebut dengan tingkat permulaan (al-bidayah). Pada
tingkat ini insan kamil baru dapat merealisasikan asma dan sifat Ilahi dirinya. Tingkat kedua
disebut dengan tingkat menengah (al-tawassuth). Pada tingkat ini manusia sebagai orbit
kehalusan sifat kemanusiaan dan sebagai realitas kasih sayang Tuhan. Ketiga adalah tingkat
terakhir (al-khitam), yaitu manusia telah bisa merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Pada
tingkat ini sering terjadi hal-hal yang luar biasa pada diri insan kamil, karena telah
mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.25
Akan tetapi, insan kamil yang muncul di setiap zaman, sejak Adam a.s tidak pernah mencapai
derajat tertinggi dari tingkatan di atas, kecuali Nabi Muhammad SAW. dia satu-satunya yang
mencapai tingkat yang paling sempurna, sehingga menurut Al-Jili Nabi Muhammad SAW
yang benar-benar insan kamil secara hakiki. Manusia lain tepatnya insan kamil baik Nabi
23 Ibid
24 Selamat dan Sanusi, Akhlak Tasawuf: Upaya Meraih Kehalusan Budi dan Kedekatan Ilahi.
25 Ibid
10
atau wali bila dibandingkan dengan Nabi Muhammad bagaikan al-kamil dengan al-akmal
atau yang al-fadhl dengan yang al-afdhal.
Selanjutnya, Al-Jili juga memenadang insan kamil sebagi khalifah di muka bumi. Hal itu
karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan melebihi manusia kebanyakan, baik dari
segi kepribadian maupun pengetahuannya. Menurut Al-Jili, Nabi Muhammad adalah khalifah
yang paling utama dan merupakan tipe ideal bagi setiap manusia, karena pada dirinya citra
Tuhan dalam bentuk yang paling sempurna dan utuh, dan sifat-sifat dan asma Tuhan itu
terealisasi dalam tata kehidupan yang teratur, aman dan makmur di kota Madinah.26
Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan membawa filsafat insan kamil merumuskan beberapa
maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah atau
jenjang (tingkat). Tingkat-tingkat tersebut adalah:27
Pertama : Islam
Kedua : Iman
Ketiga : Shalah
Keempat : Ihsan
Kelima : Syahadah
Keenam : Shiddiqiyya
Ketujuh : Qurbah
1. Sejarah Perkembangannya
26 Ibid
27 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),h 292.
11
maupun bahasa Melayu, berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf
merupakan unsure yang dominan dalam masyarakat pada masa itu.
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyiaran
agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di
ranah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan (w. 1693 M), murid Abd Rauf
Singkel, yang terkenal sebagai Syekh Tarekat Syattariyah.28
Perkembangan Islam di Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali
Sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat taawuf
yang sudah sampai pada derajat “wali.” Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam,
melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi
itu, mereka mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu,
mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elite keratin dalam menyebarkan
dan memantapkan penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.29
Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-
lahan terjadi proses akulturasi sufisme denga kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang
berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh model spiritualis
nonreligius. Karena faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, kehidupan sufisme di
Indonesia secara berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi
terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya. Sekalipun
demikian, sebenarnya sufisme adalah semacam “sebuah pohon” yang berakar kuat dan dalam
pada Islam, seirama dengan semangat gerakan pembaruan Islam, dunia sufisme juga
mengalami gagasan pembaruan.30
1. Hamzah Fansuri
a. Biografi Singkat
Menurut catatan sejarah, Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang
oleh seorang Arab pada zaman itu dinamai Fansur, inilah yang kemudian laqab yang
menempel pada nama Hamzah adalah al-Fansuri. Kota Fansur terletak di pantai barat
Provinsi Sumatera Utara, di antara Sinkil dan Sibolga. Ada pendapat yang mengatakan
12
Haamzah Fansuri berasal dari Bandar Ayudhi, ibukota Kerajaan Siam, tepatya di suatu desa
yang bernama Syahru Nawi di Siam, yaitu Thailand sekarang. Tidak diketahui dengan pasti
tentangt tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri, tetapi masa hidupnya diperkirakan
sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin As-Sumatrani yang menjadi pengikutnya dan
komentator buku dalam Syarh Rub Hamzah al-Fansuri, meninggal pada tahun 1630.31
Hamzah Fansuri memiliki pandangan tasawuf yang berbau Phanteisme. Ibnu Arabi
dianggap sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam permikiran tasawuf Hamzah Fansuri
melalui karya-karyanya. Bahkan Hamzah Fansuri dianggap orang pertama yang menjelaskan
paham “wihdat al-wujud” Ibnu Arabi untuk kawasan Asia Tenggara.32
13
(kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang
haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam
yang tidak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan.
Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap,
asap, awan kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la
ta’ayyun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada
Tuhan (taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan, sungai, dan kembali
ke lautan.34
2. Syamsuddin al-Sumatrani
a. Biografi Singkat
b. Ajaran Tasawufnya
34 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 56.
Ibid, h. 343
35 Andi Miswar, “CORAK PEMIKIRAN TAFSIR PADA PERKEMBANGAN AWAL TRADISI TAFSIR DI NUSANTARA (
Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel),” t.t., 15.
14
karangannya yang menunjukkan hal itu adalah Jauhar al-Haqai’iq (permata kebenaran) dan
Risalat Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah, Kitab al-
Harakah dan Mir’at al-Mu’minun.36
Tuhan dalam pengertian Syamsuddin Al-Sumatrani adalah wujud yang tidak ada satu
pun yang seperti Dia, dan tidak ada suatu pun yang berdiri menyertai-Nya, namun Dia adalah
yang menyebabkan perubahan pada zat dan sifat-Nya. Dia adalah yang pertama (al-Awwal),
yang Akhir (al-Akhir) yang Tampak (al-Zahir), dan Yang Tersembunyi (al-Bathin) karena
keberadaan-Nya meliputi segala sesuatu. Dengan-Nya berdiri segala sifat-sifat, yaitu Hidup
(al-Hayy), Yang Berdiri Sendiri (al-Qayyum), Yang Berkehendak (al-Murid), Mahakuasa (al-
Qadir), Yang Mengetahui (al-Alim), Yang Mendengar (al-Sama’), Yang Melihat (al-Bashir),
dan Yang Berbicara (al-Mutakallim) dengan zat-Nya sendiri. Wujud yang sebenarnya adalah
wujud Tuhan, sedangkan alam lain hanyalah bayang-bayang dari wujud tuhan yang hakiki.37
Semua penganut dari doktrin wujudiyah ini tampak berangkat dari titik pandangan yang
sama, bahwa sesungguhnya wujud hakiki itu hanyalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan alam
semesta yang beraneka ini hanyalah bayang-bayang dari wujud Tuhan yang satu tersebut.
Demikian juga yang disampaikan oleh Syamsuddin tentang ajaran Tuhan dan ala mini.
Sementara perbedaan meskipun hanya secara teknis yang sering terlihat adalah terkait dengan
urutan-urutan atau peringkat-peringkat terjadinya penampakan bayang-bayang Tuhan dari
Yang Mahaghaib sehingga menjadi beraneka seperti yang terlihat.38
Terkait dengan tajalli al-haqq, Syamsuddin al-Sumatrani mengikuti konsep Martabat Tujuh
yang dirumukan oleh Fadlullah Al-Burhanpuri, yang membagi penampakn wujud Tuhan ke
dalam tujuh tingkatan. Tingkatan pertama adalah ahadiyyat, kedua adalah wahdah, ketiga
martabat wahidiyyah, keempat martabat ‘alam arwah, kelima martabat ‘alam mitsal, keenam
adalah martabat alam ajsam, dan ketujuh adalah martabat ‘alam insan (alam al-syahadah).39
a. Biografi Singkat
36 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 54–55.
37 Ibid, hlm 55
38 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 56..
39 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 56.
15
Syekh Yusuf Al-Maqassari adalah seorang tokoh sufi agug yang berasal dari
Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M,
yang berarti belum berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar Islam ke Sulawesi,
(yaitu Datuk Ri Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau). Dalam salah satu
karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-Maqassari”, yaitu nama
kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang). Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah
menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia
tamat mempelajari Al-Qur’an 30 juz. Setelah benar-benar lancar tentang Al-Qur’an dan
mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan untuk mempelajari pengetahuan-
pengetahuan lain, seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu ma’ani, ilmu badi’, ilmu
balaghah, dan ilmu manthiq. Ia pun belajar ilmu fiqih, ilmu ushuluddin, dan ilmu tasawu.
Ilmu yang terakhir ini tampaknya lebih serasi pada pribadinya.
40 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 142
16
Dia tidak dapat diperbandingkan dengan apapun selain-Nya. Tuhan adalah wujud yang
mutlak, sementara selain-Nya adalah majazi belaka.41
Dalam Mathalib al-Salikin Al-Maqassari membedakan dua macam tauhid. Pertama,
tauhid yang dimiliki oleh para sufi muhaqqiq yang telah memiliki pemahaman yang
mendalam tentang ketuhanan. Mereka ini telah mencapai derajat sufi yang tertinggi
sehingga mengalami penyaksian (kasyf) dan fana dalam Tuhannya. Kedua, tauhid orang
biasa yang meyakini bahwa Allah itu Esa, Allah tempat bergantung segala sesuatu, tidak
beranak dan diperanakkan, serta tiada seorang pun yang setara dengan Dia.42
Al-Maqassari menegaskan bahwa orang yang telah mencapai maqam tertinggi dalam
jalan sufi tidak akan pernah sekali-kali meninggalkan syariat. Jika orang yang mengaku
telah sampai kepada maqam tersebut tetapi meninggalkan syariat mak ia adalah sufi
gadungan. Dalam keseluruhan tulisannya Al-Maqassari menegaskan pentingnya syariat
untuk mencapai jalan mistis, dan jalan mistis hanya dapat dilalui dengan kesetiaan penuh
kepada syariat. Dia menegaskan bahwa orang yang hanya bersandar kepada syariat lebih
baik daripada orang yang mengamalkan tasawuf tetapi mengabaikan syariat, dan
menggolongkan orang yang meyakini bisa mendekati Tuhan tanpa melalui jalan syariat
sebagai orang yang sesat dan ateis.43
Tidak seperti ulama Palembang lainnya, Al-Palimbani lewat dua karya utamanya (Siyar
al-Salikin dan Hidaya al-Salikin) mencoba melakukan seperti yang diperbuat oleh
Abdurrauf Al-Sinkili, yaitu melakukan kompromi dan penafsiran terhadap doktrin-
doktrin yang dianggap sesat. 44
Dalam pandangannya tentang ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani, Al-
Palimbani justru memasukkan kitab-kitab kedua orang ini ke dalam golongan muntahi,
artinya kitab bacaan tasawuf bagi salik yang sudah mencapai tingkatan spiritual yang
tinggi dan mendalam. Dalam hal ini, Al-Palimbani membagi penganut tasawuf menjadi
41 Ibid, h. 143
42 Ibid, h. 144
43 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 144
44 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 95
17
tiga golongan, yaitu mubtadi’, matawasith, dan muntahi, disertai dengan kitab-kitab
standar yang menjadi bacaan masing-masing golongan ini.45
Pemilahan dan pembedahan kitab-kitab dilakukan secara sadar oleh Al-Palimbani untuk
menghindarkan para penganut tasawuf dari kebingungan intelektual. Oleh sebab itu, al-
Palimbani menyarankan hanya golongan yang telah mencapai tingkatan muntahi-lah yang
dianjurkan membaca kitab-kitab yang filosofis, rumit, dan terkadang controversial.
Sebab, jika kitab-kitab ini dibaca oleh orang-orang yang belum mapan, dikhawatirkan
akan terjerumus kepada kesesatan dan menjadi golongan wujudiyah mulhidah.46
Tampaknya Al-Palimbani tidak puas dengan penjelasa yang diberikan oleh Al-Ghazali
sehingga kemudian ia menyempurnakan tingkatan manusia menjadi tujuh tingkatan. Ia
ingin memadukan konsep martabat tujuh dalam mencapai martabat insan kamil ke dalam
mazhab Ghazalian. Menurut Al-Palimbani, jiwa manusia memiliki tujuh peringkat, yaitu
nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, nafs al-mulhamah, nafs al-muthmainah, nafs al-
45 Ibid, h. 96
46 Ibid, h. 98
47 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 99
48 Ibid, h.100
18
radhiyyah, nafs al-mardhiyyah, dan nafs al-kamilah. Peringkat pertama sampai dengan
peringkat tujuh menggambarkan tingkatan-tingkatan dalam martabat tujuh, tetapi
dibungkus dalam perspektif ghazalian. Tampaknya Al-Palimbani mencoba memadukan
metafisika Arabian dengan pelaksanaan syariat dalam tasawuf Al-Ghazali.49
Menurut Al-Palimbani, sebetulnya paham wahdat al-wujud dalam perspektif Ibnu Arabi
merupakan tingkatan tauhid palin tinggi yang merupakan tujuan kaum sufi jika dilihat
dalam perspektif Al-Ghazali. Menurut Al-Palimbani dengan mengutip Al-Ghazali
menyatakan bahwa tingkatan tauhid ada empat. Pertama, orang yang mengatakan la ilaha
illa Allah tetapi hatinya lalai. Kedua, orang yang mengucapkan kalimat laa ilah illa Allah
serta mengimani makna. Ketiga, tauhid orang yang dekat dengan Allah (muqarrabin),
yang memandang dengan mata hati bahwasanya alam dan isinya sebagai ciptaan Allah
Swt. Keempat, tauhidnya orang shiddiqin, yaitu orang yang memandang dengan mata
hatinya tiada yang lain selain zat Allah yang wajib al-wujud, dinamakan pula dengan
istilah fana di dalam tauhid maka ia tidak lagi melihat dirinya, karena batinnya telah
tenggelam dalam memandang (syuhud) Tuhan yang Esa yang sebenar-benarnya.50
Hasil muktamar tasawuf yang diadakan di Pekalongan tahun 1960 menyatakan bahwa
tarekat masuk ke Indonesia pertama kali pada abad ke-7. Perkembangan tarekat kemudian
menyebar pesat di Nusantara setelah periode abad ke-13. Banyaknya para ulama Jawi yang
belajar ke Haramain menjadi faktor utama. Ulama Jawi yang pulang ke Nusantara membawa
ijazah dari para guru mereka di Haramain untuk menyebarkan Islam ke daerah mereka
masing-masing.51
1. Tarekat Al-Naqsyabandiyyah
Tarekat Naqsabandiyyah didirikan oleh Muhammad bin Baha’ al-Din al-‘Uwaisi al-
Bukhari al-Naqsabandi yang hidup di tahun 717-719 H. Dia terkenal dengan keahliannya
49 Ibid, h. 101
50 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 102
51 Rifai Shodiq Fathoni, “Tarekat-Tarekat Yang Berkembang Di Indonesia,” Wawasan Sejarah (blog), 12
Oktober 2016, http://wawasansejarah.com/tarekat-tarekat-yang-berkembang-di-indonesia/.
19
melukiskan kehidupan yang gaib dan menyelam dalam kesatuan dan kefanaan. Naqsabandi
berarti “lukisan”.52
52 M Solihin, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim, Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan makna hidup
(Bandung: Nuansa, 2005), 247–48.
20
dari Banjarmasin dan daerah-daerah lain yang dimuat dalam kitab kecil yang berisi fatwa
Sulaiman al-Zuhdi al-Khalidi.53
2. Tarekat Al-Qadiriyah
Tarekt Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir
Jailani. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih
Zangi Dost Al-Jailani (470 H/1077 M – 561 H/ 1166 M). Dia dikenal dengan kekuatan
ma’rifat-nya. Dasar-dasar pokoknya ialah tinggi cita-citanya, menjaga kehormatan, baik
pelayanan, kuat pendirian, dan membesarkan nikmat Tuhan.
Tarekat Qadiriyah dieknal luwes, yaitu apabila sudah mencapai derajat syekh, murid
tidak mempunyai keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan, dia berhak
melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal tersebut tampak pada
ungkapan Abdul Qadir Jailani, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, dia
menjadi mandiri sebagi syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”54
Tarekat qadiriyah berpengaruh luas di daerah timur sampai ke Jawa dan Tiongkok.
Abdul Qadir Jailani, pendirinya, sangat berpengaruh pada masyarakat luas lewat manaqib
yang sering dibacakn pada momen-momen tertentu, seperti pernikahan, kelahiran bayi,
khitanan, dan upacara-upacara keagamaan lainnya.55
3. Tarekat Syadziliyyah
Pendiri tarekat Syadziliyah adalah Abu al-Hasan al-Syadzili yang terkenal dengan
wirid dan kekuatan ilmunya. Pokok-pokok ajarannya, antara lain:56
53 M Solihin, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim, Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan makna hidup
(Bandung: Nuansa, 2005) hlm248.
54 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),, 314.
55 Solihin, Anwar, dan Hakim, Akhlak tasawuf, 249.
56 M Solihin, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim, Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan makna hidup
(Bandung: Nuansa, 2005) 315.
21
Terekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Sudan, suriah dan
semenanjung Arabiyah, masuk Indonesia khususnya di Wilayah Jawa tengah dan Jawa
Timur.57
Tarekat ini didirikan oleh seorang sufi besar Masjid al-Haram Makkah al-
Mukarramah bernama Ahmad Khathib ibn Abd. Ghaffar al-Sambasi al-Jawi, wafat di
Makkah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah, tetapi ada
yang menyebutkan bahwa beliau juga mursyid dalam Tarekat Naqsabandiyah. Namun beliau
hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah. Sampai sekarang
belum diketemukan, dari sanad mana beliau menerima bai’at Tarekat Naqsabandiyah .
Sebagai seorang mursyid yang sangat ‘alim dan ‘arif billah, beliau memiliki otoritas untuk
membuat modifikasi tersendiri dari tarekat yang dipimpinnya, karena dalam Tarekat
Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mencapai derajat mursyid.
Untuk itu beliau menggabungkan inti ajaran kedua tarekat, yaitu Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya, khusus yang berasal dari Indonesia.
Tujuan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah sama dengan tujuan Islam, yaitu menuntun
manusia agar mendapatkan ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan
TQN tergambar dalam mukadimah yang mesti dibaca oleh setiap ikhwan manakala ia akan
melakukan dzikrullah. Kalimat yang dimaksud adalah:
“Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan-Mu yang aku cari. Beriah aku
kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan makrifat kepada-Mu.”
Doa tersebut wajib dibaca oleh para ikhwan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah setiap
selesai sholat minimal dua kali sebagai mukadimah dan akhir pengalaman dzikir. Dalam doa
tersebut terkandung empat macam tujuan TQN, yaitu:
1. Taqarub ilallah SWT.Ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan
dzikrullah yang mana dalam hal ini dapat dikatakan tak ada sesuatupun yang
menjadi tirai penghalang antara abid dengan ma’bud, antara khalik dengan
makhluk.
2. Menuju jalan mardhatillah.Ialah menujualan yang diridhai Alah SWT. Baik
dalam ‘ubudiyyah maupun di luar ubudiyyah. Maka dalam segala gerak-gerik
22
manusia diharuskan mengikuti/menaati perintah-perintah Tuhan dan
menjauhi/meninggalkan larangan-larangan-Nya.
3. Kemakrifatan (al-makrifat); melihat Tuhan dengan mata hati.
4. Kecintaan (mahabbah) terhadap Allah “Dzat Laisa Kamislihi Syaiun”, yang
mana
dalam mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati.58
5. Tarekat Rifa’iyah
Tarekat Rifa’iyah didirikan di Irak pada abad ke-6 H oleh Ahmad bin Ali Abdul
Abbas Ar-Rifa’I, seorang tokoh sufi besar yang saleh, ahli hukum (Islam), dan penganut
Madzhab Syafi’i. Ia hidup sezaman dengan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri Tarekat
Qadiriyah. Ajaran dasar Tarekat Rifa’iyah ada tiga, yaitu tidak meminta sesuatu, tidak
menolak, dan tidak menunggu.
Sebagaimana tarekat lain, Tarekat Rifa’iyah juga berkembang di berbagai pelosok
dunia Islam, seperti Turki, Suriah, Mesir dan Indonesia. Penyebar utama tarekat ini adalah
seorang murid Ahmad Rifa’I, yaitu Abu Al-Fath Al-Wasiti terutama dilakukan di Mesir
sampai sekarang. Al-Wasiti sendiri wafat di Iskandariyah pada tahun 580 H.
Di, Indonesia, Tarekat Rifa’iyah terkenal dengan permainan debus dan tabuhan
rebana yang dikenal di Aceh dengan nama Rapa’I dan di Sumatera Barat dengan nama
Badabuih.59
6. Tarekat Tsamaniyah
Tarekat Tsamaniyah didirikan oleh Muhammad Tsaman yang meninggal tahun 1720
M di Madinah. Tarekat ini tersebar di wilayah Sumatera, khususnya Palembang. Di Aceh dan
Jakarta (khususnya di pinggiran kota), Tarekat Tsamaniyah memiliki pengaruh dan penganut
yang cukup luas.
Para penganut tarekat Tsamaniyah biasa berdzikir dengan suara keras da melengking.
Seaktu melantunkan zikir La ilaha illallah dalam intensitas yang semakin cepat maka yang
terdengar dari mulut mereka hanya kata “hu” yang artinya “Dia Allah”. Tarekat ini mengajari
para pengikutnya untuk memperbanyak shalat dan zikir, menolong orang miskin, tidak
58 Cecep Alba, Tasawuf dan tarekat: dimensi esoteris ajaran Islam, Cetakan pertama (Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, 2014) hlm 95.
59 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 316.
23
diperbudak oleh kesenangan duniawi, menukar akal basyariyah dengan akal rabaniyah, dan
beriman secara tulus hanya kepada Allah.60
60 M Solihin, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim, Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan makna hidup
(Bandung: Nuansa, 2005)Akhlak tasawuf, 250.
24
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa:
1. Ajaran tasawuf Al-Ghazali adalah tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qura’an
dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. ditambah dengan doktrin Ahlu As-
Sunnah wa Al-Jamaah.
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.
25
DAFTAR PUSTAKA
Alba, Cecep. Tasawuf dan tarekat: dimensi esoteris ajaran Islam. Cetakan pertama.
Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2014.
Arifin, Miftah. Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf. Cetakan I.
Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Selamat, Kasmuri, dan Ihsan Sanusi. Akhlak Tasawuf: Upaya Meraih Kehalusan Budi dan
Kedekatan Ilahi. Kalam Mulia, t.t.
Solihin, M, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim. Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan
makna hidup. Bandung: Nuansa, 2005.
Syamsun Ni’am. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014.
26