Anda di halaman 1dari 29

AKHLAK TASAWUF 3

Tugas ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Studi Islam

Disusun oleh:

Taufik Nur Fauzi (11190210000049)

Indah Irawanti (11190210000070)

Dosen Pembimbing:

Dra. Rd. Siti Sa’adah, M. Ag.

Bahasa dan Sastra Arab

Fakultas Adab dan Humaniora

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi AllahSWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT. atas limpahan nikmat sehat-Nya,
baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Studi Islam dengan judul
“Akhlak Tasawuf”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada dosen
Studi Islam kami yang telah membimbing dalam menulis makalah ini.

Ciputat, Oktober 2019

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………………………………………i

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………………………………ii

BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………………………………………………………………..1

1.1 LATAR BELAKANG…………………………………………………………………………………………1


1.2 RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………………………………1

BAB II. PEMBAHASAN………………………………………………………………………………………………………2

2.1 TASAWUF AL-GHAZALI………………………………………………………………………………….2

2.2 TASAWUF FALSAFI……………………………………………………………………………………….3

2.3 TASAWUF DI NUSANTARA…………………………………………………………………………….8

2.4 TAREKAT DI INDONESIA………………………………………………………………………………..13

BAB III. PENUTUP……………………………………………………………………………………………………………19

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………………………………..20

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan yang penuh dengan teknologi berkembang saat ini, manusia
semakin mengetahui sesuatu hal yang belum diketahui oleh para pendahulunya melalui
teknologi yang diciptakannya. Jika kita pikirkan sejenak, terlintas di benak kita kekuasaan
serta keagungan Tuhan yang Maha Esa dan begitu kecil dan terbatasnya pengetahuan kita
tentang ciptaan-Nya.
Atas dasar tersebut, kita sebagai makhluk ciptaan-Nya harus mencintai dan mengabdikan diri
kepada Allah swt. Dengan kedua hal tersebut kita dapat selalu berada didekatNya.Tasawuf
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari cara bagaimana orang dapat berada sedekat
mungkin dengan Tuhannya. Selain itu, tasawuf dapat menjadikan agama lebih dihayati serta
dijadikan sebagai suatu kebutuhan bahkan suatu kenikmatan.Pada perkembangannya, tasawuf
yang berorientasi ke arah pertama sering disebut sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang
menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan oleh kaum salaf. Adapun tasawuf
yang berorientasi ke arah kedua disebut sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak
dikembangkan para sufi yang berlatar belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep ajaran tasawuf Al-Ghazali?

2. Apa pengertian tasawuf falsafi dan siapakah tokoh-tokohnya?

3. Bagaimana perkembangan tasawuf di Nusantara?

4. Siapakah tokoh-tokoh tasawuf di Nusantara?

5. Apa saja tarekat yang ada di Indonesia?

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 TASAWUF AL-GHAZALI

1. Biografi singkat Al-Ghazali

Nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta’us
Ath-Thusi Asy-Syafi’I Al-Ghazali. Secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu Hamid Al-
Ghazali. Ia dipanggil Al-Ghazali karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di
Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad.1

2. Pemikiran Tasawuf Imam al-Ghazali

Dalam tasawufnya, Al-Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qura’an dan As-
Sunnah Nabi Muhammad SAW. ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa Al-Jamaah.
Dari paham tasawufnya, ia menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang memengaruhi
para filsuf Islam, sekte Ismailiyah, aliran Syi’ah, Ikhwan Ash-Shafa, dan lain-lainnya. Ia
menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan
sehingga dapat dikatan bahwa tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Corak
tasawufnya adalah psikomoral yang mengutamakan pendidikan moral. Hal ini dapat dilihat
dalam karya-karyanya, seperti Ihya’ Ulum Ad-Din, Minhaj Al-Abidin, Mizan Al-Amal,
Bidayah Al-Hidayah, Mi’raj As-Salikin, Ayuhal Walad.2
Al-Ghazali menilai negative terhadap syatahat karena dianggapnya mempunyai dua
kelemahan. Pertama, kurang memerhatikan amal lahiriah, hanya mengungkapkan kata-kata
yang sulit dipahami, mengemukakan kesatuan dengan Tuhan, dan menyatakan bahwa Allah
SWT. dapat disaksikan. Kedua, syatahat merupakan hasil pemikiran yang kacau dan hasil
imajinasi sendiri. Dengan demikian, ia menolak tasawuf semi-filsafat meskipun ia mau
memaafkan Al-Hallaj dan Yazid Al-Busthami. Ungkapan-ungkapan yang ganjil itu telah
menyebabkan orang-orang Nasrani salah dalam menilai Tuhannya.3
Al-Ghazali menolak paham hulul dan itihad. Untuk itu ia menyodorkan paham baru tentang
makrifat, yaitu pendekatan diri kepada Allah SWT. (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti

1 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 242


2 Ibid, h. 246.
3 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),

2
penatuan dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara
buahnya adalah moralitas. Ringkasnya, Al-Ghazali patut disebut berhasil mendeskripsikan
jalan menuju Allah SWT. Makrifat menurut versi Al-Ghazali diawali dalam bentuk latihan
jiwa, lalu diteruskan dengan menempuh fase-fase pencapaian rohani dalam tingkatan-
tingkatan (maqamat) dan keadaan (ahwal)4
Oleh karena itu, Al-Ghazali mempunyai jasa besar dalam dunia Islam. Dialah orangyang
mampu memadukan antara ketiga kubu keilmuan Islam, yaitu tasawuf, fiqh, dan ilmu kalam,
yang sebelumnya mengalami ketegangan.
Al-Ghazali menjadikan tasawuf sebagai sarana untuk berolah rasa dan berolah jiwa, sehingga
sampai pada makrifat yang membantu menciptakan (sa’adah).5

2.2 TASAWUF FALSAFI

1. Pengertian dan Perkembangan Tasawuf Falsafi

Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori


tasawuf dan falasafah. Tasawuf falsafi ini tentu saja dikembangkan oleh para sufi yang
filosof.6 Berbeda dengan tasawuf akhlaki, tasawuf falsafi menggunakan terminologis
filosofis dalam pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-
macam ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya
Menurut At-Taftazani, tasawuf falsafi mulai muncul dengan jelas dalam khazanah
Islam sejak abad ke-6 H, meskipun tokohnya baru dikenal seabad kemudian. Sejak itu,
tasawuf jenis ini terus hidup dan berkembang, terutama dikalangan para sufi yang juga
filosof, sampai menjelang akhir-akhir ini. Adanya pemaduan antara tasawuf dan filsafat
dalam ajaran tasawuf falsafi ini dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajaran tasawuf jenis
ini bercampur dengan sejumlah ajaran filsafat di luar Islam, seperti Yunani, Persia, India, dan
agama Nasrani. Akan tetapi, orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Sebab,
meskipun mempunyai latar belakang kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan
beragam, seiring dengan ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, para tokohnya
tetap berusaha menjaga kemandirian ajaran aliran mereka, terutama bila dikaitkan dengan
kedudukannya sebagai umat Islam.7

4 Ibid, h. 247
5 Ibid, h. 248
6 Cecep Alba, Tasawuf dan tarekat: dimensi esoteris ajaran Islam, Cetakan pertama (Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, 2014), 70.
7 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),

3
Ibn Khaldun berpendapat bahwa objek utama yang menjadi perhatian tasawuf falsafi
ada empat perkara. Keempat perkara itu adalah sebagai berikut:
1. Latihan rohaniah dengan rasa, intuisi, serta introspeksi diri yang timbul dari dirinya.
2. Iluminasi atau hakikat yang tersingkap dari alm gaib, misalnya sifat-sifat rabbani,
‘arasy, kursi, malaikat, wahyu, kenabian, ruh, hakikat realitas segala yang wujud,
terutama tentang penciptaan serta penciptaannya.
3. Peristiwa-peristiwa dalam alam maupun kosmos yang berpengaruh terhadap berbagai
bentuk kekeramatan atau keluarbiasaan..
4. Penciptaan ungkapan-ungkapan yang pengertiannya sepintas samar-samar
(syatahiyat) yang dalam hal ini telah melahirkan reaksi masyarakat berupa
mengingkarinya, menyetujui, atau menginterprestasikannya.8

2. Tokoh-Tokoh dan Ajaran-Ajaran Tasawuf Falsafi

1. Ibnu Arabi
A. Biografi Singkat

Abu Bakar Muhyiddin ibn ‘Arabi dilahirkan di Mersia Spanyol pada tahun 598 H.
(1102 M.). Ibnu ‘Arabibelajar agama filsafat di Sevilla, Mesir, Hijaz, Irak, dan Asia Minor.
Damaskus (Siria) sebagai tempat tinggal terakhir Ibnu ‘Arabi hingga dia meninggal dunia
pada tahun 639 H. (1240 M.). Hingga kini banyak orang berziarah kuburnya.
Ibnu ‘Arabi biasa dipanggil oleh murid-muridnya dengan sebutan “Syaikh al-Akbar
(Guru Besar) dan Kibrit al-Ahmar (Belerang Merah)”. Ajarannya yang paling terkenal adalah
“wihdat al-wujud (panteisme)”. Yaitu kesatuan wujud, segala yang tampak ini hanya
bayangan dari yang Haq. Hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Tiada jarak antara Tuhan
dengan hamba; dan “wihdat al-adyan”. 9

B. Ajaran Tasawuf Ibn ‘Arabi

Ajaran sentral Ibnu Arabi adalah tentang wahdat al-wujud (kesatuan wujud).
Meskipun demikian, istilah wahdat al-wujud yang dipakai untuk menyebut ajaran sentralnya,
tidaklah berasal darinya, tetapi berasal dari Ibnu Taimiyyah, tokoh yang paling keras dalam
mengecam dan mengkritik ajaran sentralnya tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang

8 Cecep Alba, Tasawuf dan tarekat: dimensi esoteris ajaran Islam, Cetakan pertama (Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, 2014)hlm 70.
9 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf (Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), 132.

4
telah berjasa mempopulerkannya ke tengah masayarakat Islam, meskipun tujuannya
negatif.10
Menurut Ibnu Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada
hakikatnya adalah wujud khaliq pula. Tidak ada perbedaan anatara keduanya (khaliq dan
makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud khaliq dan
makhluk ada perbedaan, hal itu dilihat dari sudut pandang pancaindra lahir dan akal yang
terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada Dzat-Nya dari
kesatuan dzatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan
Ibnu Arabi.11
‫سبحان من أظهر األشياء و هو عينها‬

Artinya:

“Mahasuci tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia adalah hakikat
segala sesuatu itu”.

Menurut Ibnu Arabi, wujud alam pada hakikatnya adalah wujud Allah. Allah adalah hakikat
alam. Tidak ada perbedaan antara wujud yang qadim yang disebut khaliq dan wujud yang
baru yang disebut makhluq. Tidak ada perbedaan antara ‘abid (menyembah) dengan ma’bud
(yang disembah). Bahkan, antara yang menyembah dan yang disembah adalah satu.
Perbedaan itu hanya pada rupa dan ragam dari hakikat yang satu.12

Selanjutnya, Ibnu Arabi menjelaskan hubungan antara Tuhan dan alam, ala mini adalah
bayangan Tuhan atau bayangan wujud yang hakiki dan alam itu tidak mempunyai wujud
yang sebenarnya. Oleh karna itu, alam ini merupakan tempat tajali dan mazhar (penampakan)
Tuhan.

Menurut Ibnu Arabi, ketika Allah SWT. menciptakan alam ini, ia juga memberikan sifat-sifat
ketuhanan pada segala sesuatu. Alam ini seperti cermin yang buram dan seperti badan yang
tidak bernyawa. Oleh karena itu, Allah SWT. menciptakan manusia untuk memperjelas
cermin itu. Dengan pernyataan lain, ala mini merupakan mazhar (penampakan) dari asma dan
sifat Allah SWT. yang terus menerus. Tanpa alam, sifat dan asma-Nya akan kehilangan

10 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 280.
11 Ibid.hlm 280
12 Ibid

5
maknanya dan senantiasa dalam bentuk zat yang ditinggal dalam ke-mujarrad-an
(kesendirian)-Nya yang mutlak yang tidak dikenal oleh siapapun.13

Dari konsep wahdat al-wujud Ibnu Arabi, muncul lagi dua konsep yang sekaligus merupakan
lanjutan atau cabang dari konsep wahdat al-wujud tersebut, yaitu konsep al-hakikat al-
muhammadiyyah dan konsep wahdat al-adyan (kesamaan agama)

Menurut Ibnu Arabi, Tuhan adalah pencipta alam semesta. Adapun proses penciptaannya
adalah sebagai berikut:

1. Tajalli Dzat Tuhan dalam bentuk a’yan tsabitah


2. tanazul Dzat Tuhan dari alam ma’ani kea lam (ta’ayyunat) realitas-realitas rohaniah,
yaitu alam arwah yang mujarrad;
3. tanazul pada realitas-realitas nafsiah, yaitu alam nafsiah berpikir;
4. tanazul Tuhan dalam bentuk ide materi yang bukan materi, yaitu alam mitsal (ide)
atau khayal;
5. alam materi, yaitu alam indriawi.14

Selain itu, Ibnu Arabi menjelaskan bahwa terjadinya ala mini tidak bisa dipisahkan dari
ajaran hakikat Muhammad atau Nur Muhammad. Menurutnya, tahapan-tahapan kejadian
proses penciptaan alam dan hubungannya dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan sebagai
berikut:

1. wujud Tuhan sebagai wujud mutlak, yaitu Dzat yang mandiri dan tidak berhajat pada
suatu apapun;
2. wujud hakikat Muhammadiyah merupakan emanasi (perlimpahan) pertama dari
wujud Tuhan. Dari sini, kemudian muncul segala yang wujud dengan proses tahapan-
tahapannya sebagaimana yang dikemukakan di atas.

Dengan demikian, Ibnu Arabi menolak ajaran yang mengatakan bahwa alam semesta ini
diciptakan dari tiada (cretio ex nihilio). Selanjutnya,ia mengatakan bahwa Nur Muhammad
itu qadim dan merupakan sumber emanasi dengan berbagai macam kesempurnaan ilmiah dan
amaliah yang terealisasikan pada diri para nabi semenjak Adam sampai Muhammad dan
terealisasikan dari Muhammad pada diri para pengikutnya dari kalangan para wali dan insan

13 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 284.


14 Ibid, h. 286

6
kamil (manusia sempurna). Ibnu Arabi kadang-kadang menyebut hakikat Muhammadiyah
dengan quthb dan kadang-kadang pula dengan ruh al-khatam.15

Adapun yang berkenaan dengan konsepnya wahdat al-adyan (kesamaan agama), Ibnu Arabi
memandang bahwa sumber agama adalah satu, yaitu hakikatMuhammadiyyah.
Konsekuensinya, semua agama adalah tunggal dan semua itu kepunyaan Allah SWT.
Seorang yang benar-benar arif adalah orang yang menyembah Allah SWT. dalam setiap
bidang kehidupannya. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa ibadah yang benar
hendaknya seorang abid memandang semua apa saja sebagai bagian dari ruang lingkup
realitas Dzat Tuhan Yang Tunggal sebagaimana yang dikemukakannya dalam syairnya
berikut ini.

“Kini kalbuku bisa menampung semua

ilalang perburuan kijang atau biara pendeta

Kuil pemuja berhala atau kabah

Lauh Taurah dan mashaf Al-Qur’an

Aku hanya memeluk agama cinta ke mana pun kendaraan-

kendaraanku menghadap. Karena cinta adalah agamaku dan imanku”

Menurut para penulis, pernyataan Ibnu Arabi terlalu berlebihan dan tidak mempunyai
landasan yang kuat sebab agama berbeda-beda satu sama lain.16

2. As-Suhrawardi al-Maqtul
A. Biografi Singkat

Suhrawardi, nama lengkapnya Syihab al-Din Yahya ibn Habasy ibn Amira’
Suhrawardi Al-Maqtul, lahir di desa Suhraward, sebuah desa kecil dekat Zinjan di Timur
Laut Iran, tahun 545 H/1153 M. Istilah “al-Maqtul” ini digunakan untuk membedakannya
dengan dua tokoh Suhrawardi yang yang sama-sama bernama Suhrawardi. Dua tokoh yang
dimaksud adalah (1) ‘Abd Al-Qadir Abu Najib Suhrawardi (1907-1168 M), pendiri tarekat

15 15 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),h. 286


16 Ibid

7
Suhrawardiyah. Ia adalah murid Ahmad Al-Ghazali (w.1126 M), adik kandung Hujjah al-
Islam Muhammad Al-Ghazali (1058-1111 M), penulis Ihya Ulum al-Din; (2) Syihab Al-Din
Abu Hafs ‘Umar Suhrawardi (1144-1234 M), keponakan sekaligus murid Suhrawardi
pertama. Ia lebih berpengaruh dibanding pamannya dan menjadi mahaguru (syaikh al-
syuyukh) ajaran sufi Baghdad pada masa kahlifah Al-Nasir (1180-1125 M. Tokoh ini adalah
pengarang kitab Awarif al-Ma’arif yang terkenal dalam sufisme.17

B. Pemikiran As-Suhrawardi al-Maqtul

Pemikiran Suhrawardi dikenal sebagai filsafat iluminasi (al-Isyraq). Pemikiran ini


adalah pemikiran yang didasarkan pada iluminasi, yaitu terbitnya cahaya rasional,
kecemerlangannya, dan kelimpahannya pada jiwapada sewaktu jiwa menjadi bebas. Himah
orang-orang Persia, seperti dikemukakan Qhutbuddin al-Syirazi, memang berdasar pada
iluminasi. 18
Model-model pemikiran dari filsafat iluminasi misalnya berpendapat tentang wujud.
Bagi Suhrawardi, wujud adalah cahaya dari segala cahaya, yang mirip matahari, yang sama
sekali tidak kehilangan cahayanya sekalipun ia bersinar terus menerus. Menurutnya, terdapat
tiga alam yang melimpah, yakni alam akal budi, alam jiwa dan alam tubuh. Alam pertama
meliputi cahaya-cahaya yang suci. Alam kedua mrupakan jiwa-jiwa yang mengendalikan
bintang-bintang di langit maupun manusia. Alam ketiga meliputi tubuh-tubuh elemental,
yaitu tubuh-tubuh yang berada di bawah planet bulan, dan tubuh eter, yaitu tubuh-tubuh dari
benda langit.19
Ditambahkan pula bahwa “Dalam pandangan kaum iluminasionis, seperti
dikemukakan Qhuthbuddin al-Syirazi, alam terdiri dari dua. Yang pertama, alam makna,
yang terbagi menjadi alam ketuhanan (rububiyah) dan alam akal budi; dan yang kedua alam
gambar, yang terbagi menjadi gambar yang menubuh, yaitu alam bintang dan anasir, serta
gambar yang mengambang, yaitu alam ideal yang tergantung.” Hal ini sebagaimana
dikemukakan ulang oleh Drs. Mustafa dalam bukunya filsafat Islam.20
3. Abdul Karim al-Jili

17 Ibrahim, Filsafat Islam Masa Awal (Makassar: Carabaca Makassar, 2016), 178.
18 Ibrahim, Filsafat Islam Masa Awal (Makassar: Carabaca Makassar, 2016),h. 136.
19 Ibid

8
A. Biografi Singkat

Nama lengkapnya adalah ‘Abdul Karim bin Ibrahim Al-Jili. Ia lahir pada tahun 1365
M di Jilan (Gilan), sebuah provinsi di seblah selatan Kasfia dan wafat pada tahun 1417 M.
Nama Al-Jili diambil dari tempat kelahirannya di Gilan. Ia adalah seorang sufi yang terkenal
dari Baghdad. Riwayat hidupnya tidak banyak oleh para ahli sejarah, tetapi sebuah sumber
mengatakan bahwa ia pernah melakukan perjalanan ke India tahun 1387 M, kemudian belajar
tasawuf di bawah bimbingan Abdul Qadir Al-Jailani, seorang pendiri dan pemimpin Tarekat
Qadiriyah yang sangat terkenal. Di samping itu, berguru pula pada Syekh Syafaruddin Isma’il
bin Ibrahim Al-Jabarti di Zabid (Yaman) pada tahun 1393-1403 M.21
B. Ajaran Tasawuf Abdul Karim Al-Jili

Ajaran tasawuf Al-Jili yang terpenting adalah paham insan kamil (manusia sempurna). Secara
umum pengertian insan kamil menurut Al-Jili dapat dilihat dari kutipan berikut:

‫اإلنسان الكامل واحد منذ كان الوجود الى ابد األبدين اال ان له تنوعات و صوار في كل‬
‫ فاالنسان الكامل هو اصل‬.‫ واإلنسان الكامل هو النبي محمد عليه الصالة والسالم‬.‫زمان‬
‫اخرهز‬ ‫الوجود او هو (القطب) الذي تدور عليه روح الوجود من اوله الى‬

Artinya:

“ Insan Kamil pertama sejak adanya wujud hingga akhir lamanya, yang mengkristal pada
setiap zaman. Dan insan kamil adalah Nabi Muhammad SAW. Maka insan kamil merupakan
asal wujud atau menjadi poros/kutub yang kemudian berkembang atasnya roh wujud dari
awal hingga akhir.22

Berkaitan dengan definisi yang diberikan Al-Jili di atas, maka R.A Nicholson memberikan
batasan konsep insan kamil Al-Jili secara umum sebagai berikut:

Barangkali kita boleh menerangkan insan kamil sebagai seorang yang sepenuhnya mampu
mencapai kesatuan dengan Tuhan, yang ia menjadi serupa dengan Tuhan. Pengalaman ini
dicapai oleh para nabi dan wali untuk selanjutnya terbayang dalam bentuk simbol-simbol
oleh orang lain, yang itu merupakan sendi dasar falsafah bagi kaum sufi. Oleh sebab itu,
tingkat insan kamil tidak saja terdiri dari para nabi sejak Adam sampai Muhammad, tetapi

21 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),h. 288.


22 Kasmuri Selamat dan Ihsan Sanusi, Akhlak Tasawuf: Upaya Meraih Kehalusan Budi dan Kedekatan Ilahi
(Kalam Mulia, t.t.).

9
juga orang-orang pilihan (khusus lagi khusus) di antara para sufi, yaitu orang-orang yang
disebut awliya’, jamak dari wali.)

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa pengertian akhir dari insan kamil adalah roh Nabi
Muhammad yang mengkristal dari sejak Nabi Adam sampai dengan Nabi Muhammad sendiri
dan seterusnya sampai kepada para wali dan orang-orang yang saleh, sebagai cermin Tuhan
untuk refleksi gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya.23

Selanjutnya, insan kamil menurut Al-Jili merupakan Nuskha Tuhan, sehingganya sifat Allah:
Hidup, Mengetahui, Tinggi, Berkehendak, Mendengar, Melihat dan sebagainya, juga dimiliki
oleh manusia (Adam). Kemudian setelah Tuhan menciptakan substansi, maka sifat-sifat-Nya
kemudian dikonfrontasikan dengan sifat Adam. Ke Dia-an (huwiyah) yang Ilahi
dikonfrontasikan dengan kediaan Adam, ke-Aku-an Ilahi dengan kesadaran aku Adam, dan
esensi Ilahi dengan esensi Adam. Sehingganya, Adam berhadapan dengan Allah dengan
segala hakikat-Nya. Dalam perspektif ini, Adam dari sisi penciptaannya merupakan salah
seorang insan kamil dengan segala kesempurnaannya, sebab pada dirinya terdapat sifat-sifat
dan nama-nama Ilahi24

Menururut Al-Jili, duplikasi al-kamal (kesempurnaan) pada dasarnya dimiliki oleh setiap
manusia, yaitu potensi menerima tajalli Allah dari Nur Muhammad. Namun, tidak semuanya
mencapai kedudukan yang sama. Beranjak dari hal itu, maka Al-Jili membagi insan kamil
atas tiga tingkatan: tingkat pertama disebut dengan tingkat permulaan (al-bidayah). Pada
tingkat ini insan kamil baru dapat merealisasikan asma dan sifat Ilahi dirinya. Tingkat kedua
disebut dengan tingkat menengah (al-tawassuth). Pada tingkat ini manusia sebagai orbit
kehalusan sifat kemanusiaan dan sebagai realitas kasih sayang Tuhan. Ketiga adalah tingkat
terakhir (al-khitam), yaitu manusia telah bisa merealisasikan citra Tuhan secara utuh. Pada
tingkat ini sering terjadi hal-hal yang luar biasa pada diri insan kamil, karena telah
mengetahui rincian dari rahasia penciptaan takdir.25

Akan tetapi, insan kamil yang muncul di setiap zaman, sejak Adam a.s tidak pernah mencapai
derajat tertinggi dari tingkatan di atas, kecuali Nabi Muhammad SAW. dia satu-satunya yang
mencapai tingkat yang paling sempurna, sehingga menurut Al-Jili Nabi Muhammad SAW
yang benar-benar insan kamil secara hakiki. Manusia lain tepatnya insan kamil baik Nabi

23 Ibid
24 Selamat dan Sanusi, Akhlak Tasawuf: Upaya Meraih Kehalusan Budi dan Kedekatan Ilahi.
25 Ibid

10
atau wali bila dibandingkan dengan Nabi Muhammad bagaikan al-kamil dengan al-akmal
atau yang al-fadhl dengan yang al-afdhal.

Selanjutnya, Al-Jili juga memenadang insan kamil sebagi khalifah di muka bumi. Hal itu
karena pada diri insan kamil terdapat kemampuan melebihi manusia kebanyakan, baik dari
segi kepribadian maupun pengetahuannya. Menurut Al-Jili, Nabi Muhammad adalah khalifah
yang paling utama dan merupakan tipe ideal bagi setiap manusia, karena pada dirinya citra
Tuhan dalam bentuk yang paling sempurna dan utuh, dan sifat-sifat dan asma Tuhan itu
terealisasi dalam tata kehidupan yang teratur, aman dan makmur di kota Madinah.26

Sebagai seorang sufi, Al-Jili dengan membawa filsafat insan kamil merumuskan beberapa
maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut istilahnya ia sebut al-martabah atau
jenjang (tingkat). Tingkat-tingkat tersebut adalah:27

Pertama : Islam

Kedua : Iman

Ketiga : Shalah

Keempat : Ihsan

Kelima : Syahadah

Keenam : Shiddiqiyya

Ketujuh : Qurbah

2.3 Tasawuf di Nusantara

1. Sejarah Perkembangannya

Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses islamisasi di


kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di Nusantara merupakan jasa para sufi.
Dari sekian banyak naskah lama yang berasal dari Sumatera, baik yang ditulis bahasa Arab

26 Ibid
27 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),h 292.

11
maupun bahasa Melayu, berorientasi sufisme. Hal ini menunjukkan bahwa pengikut tasawuf
merupakan unsure yang dominan dalam masyarakat pada masa itu.
Sejak berdirinya kerajaan Islam Pasai, kawasan Pasai menjadi titik sentral penyiaran
agama Islam ke berbagai daerah di Sumatera dan pesisir utara Pulau Jawa. Islam tersebar di
ranah Minangkabau atas upaya Syekh Burhanuddin Ulakan (w. 1693 M), murid Abd Rauf
Singkel, yang terkenal sebagai Syekh Tarekat Syattariyah.28
Perkembangan Islam di Jawa selanjutnya digerakkan oleh Wali Songo atau Wali
Sembilan. Sebutan itu sudah cukup menunjukkan bahwa mereka adalah penghayat taawuf
yang sudah sampai pada derajat “wali.” Para wali bukan saja berperan sebagai penyiar Islam,
melainkan mereka juga ikut berperan kuat pada pusat kekuasaan kesultanan. Karena posisi
itu, mereka mendapat gelar Susuhunan yang biasa disebut Sunan. Dari peranan politik itu,
mereka dapat “meminjam” kekuasaan sultan dan kelompok elite keratin dalam menyebarkan
dan memantapkan penghayatan Islam sesuai dengan keyakinan sufisme yang mereka anut.29
Semenjak penyiaran Islam di Jawa diambil oleh kerabat elite keraton, secara perlahan-
lahan terjadi proses akulturasi sufisme denga kepercayaan lama dan tradisi lokal, yang
berakibat bergesernya nilai keislaman sufisme karena tergantikan oleh model spiritualis
nonreligius. Karena faktor-faktor internal dan eksternal tersebut, kehidupan sufisme di
Indonesia secara berangsur-angsur bergeser dari garis lurus yang diletakkan para sufi
terdahulu sehingga warna kejawen lebih tampil ke depan daripada sufismenya. Sekalipun
demikian, sebenarnya sufisme adalah semacam “sebuah pohon” yang berakar kuat dan dalam
pada Islam, seirama dengan semangat gerakan pembaruan Islam, dunia sufisme juga
mengalami gagasan pembaruan.30

2. Tokoh-Tokoh Sufi di Indonesia

1. Hamzah Fansuri

a. Biografi Singkat

Menurut catatan sejarah, Hamzah Fansuri dilahirkan di kota Barus, sebuah kota yang
oleh seorang Arab pada zaman itu dinamai Fansur, inilah yang kemudian laqab yang
menempel pada nama Hamzah adalah al-Fansuri. Kota Fansur terletak di pantai barat
Provinsi Sumatera Utara, di antara Sinkil dan Sibolga. Ada pendapat yang mengatakan

28 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 337–338.


29 Ibid
30 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm 338.

12
Haamzah Fansuri berasal dari Bandar Ayudhi, ibukota Kerajaan Siam, tepatya di suatu desa
yang bernama Syahru Nawi di Siam, yaitu Thailand sekarang. Tidak diketahui dengan pasti
tentangt tahun kelahiran dan kematian Hamzah Fansuri, tetapi masa hidupnya diperkirakan
sebelum tahun 1630-an, karena Syamsuddin As-Sumatrani yang menjadi pengikutnya dan
komentator buku dalam Syarh Rub Hamzah al-Fansuri, meninggal pada tahun 1630.31
Hamzah Fansuri memiliki pandangan tasawuf yang berbau Phanteisme. Ibnu Arabi
dianggap sebagai tokoh yang sangat berpengaruh dalam permikiran tasawuf Hamzah Fansuri
melalui karya-karyanya. Bahkan Hamzah Fansuri dianggap orang pertama yang menjelaskan
paham “wihdat al-wujud” Ibnu Arabi untuk kawasan Asia Tenggara.32

b. Ajaran Tasawuf Hamzah al-Fansuri

Pemikiran-pemikiran Al-Fansuri tentang tasawuf banyak dipengaruhi Ibnu Arabi


dalam paham dalam paham Wahdat Al-Wujud-nya. Sebagai seorang sufi, ia mengajarkan
bahwa Tuhan lebih dekat daripada leher manusia sendiri dan Tuhan tidak bertempat,
sekalipun sering dikatakan bahwa Dia ada di mana-mana. Ketika menjelaskan ayat “fainama
tuwallu fa tsamma wajhu’llah” ia katakana bahwa kemungkinan untuk memandang wajah
Allah SWT. di mana-mana merupakan uniomistica. Para sufi menafsirkan “wajah Allah
SWT.” sebagai sifat-sifat Tuhan, seperti Pengasih, Penyayang, Jalal, Jamal. Dalam salah satu
Syairnya, Al-Fansuri berkata
“Manbubmu itu tiada berha’il

Pada ayna ma tuwallu jangan kau ghafil,

Fa tsamma wajhullah sempurna wasil.

Inilah jalan orang yang kamil.”

Hamzah Al-Fansuri menolak ajaran pranayama dalam agama Hindu yang


membayangkan Tuhan berada di bagian tertentu dari tubuh , seperti ubun-ubun yang
dipandang sebagai jiwa da dijadikan titik konsentrasi dalam usaha mencapai persatuan.33
Di antara ajaran tasawuf Al-Fansuri yang lain berkaitan dengan hakikat wujud dan
penciptaan. Menurutnya , wujud itu hanyalah satu walaupun kelihatan banyak. Dari wujud
yang satu ini, ada yang merupakan kulit (mazhar, kenyataan lahir) dan ada yang berupa isi

31 Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies, 166.


32 Ibid, hlm 166.
33 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),h 342–343.

13
(kenyataan batin). Semua benda yang ada sebenarnya merupakan manifestasi dari yang
haqiqi yang disebut Al-Haqq Ta’ala. Ia menggambarkan wujud Tuhan bagaikan lautan dalam
yang tidak bergerak, sedangkan alam semesta merupakan gelombang lautan wujud Tuhan.
Pengaliran dari Dzat yang mutlak ini diumpamakan gerak ombak yang menimbulkan uap,
asap, awan kemudian menjadi dunia gejala. Itulah yang disebut ta’ayyun dari Dzat yang la
ta’ayyun. Itu pulalah yang disebut tanazul. Kemudian, segala sesuatu kembali lagi kepada
Tuhan (taraqqi) yang digambarkan bagaikan uap, asap, awan, lalu hujan, sungai, dan kembali
ke lautan.34

2. Syamsuddin al-Sumatrani

a. Biografi Singkat

Syamsuddin al-Sumatrani hidup pada masa kejayaan kesultanan Aceh, di bawah


kekuasaan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Ia adalah tokoh sufi terkemuka di Aceh.
Sayang sekali sumber-sumber yang mencatat tentang perjalanan hidupnya sangat langkah.
Beliau adalah murid Hamzah al-Fansuri. Ia meninggal pada tahun 1630 M. Tentang asal-
usulnya tidak diketahui secara pasti kapan dan di mana ia lahir. Sebutan al-Sumatrani yang
selalu digandengkan di belakang namanya adalah penisbahan dirinya kepada negeri Sumatra
alias Samudra Pasai. Sebab di kepulauan sumatra ini, tempo doeloe pernah berdiri sebuah
kerajaan yang cukup ternama, yakni Samudra Pasai. Itulah sebabnya terkadang disebut
dengan Syamsuddin Pasai. Menurut para sejarawan, penisbahan namanya dengan sebutan al-
Sumatrani ataupun Pasai mengisyaratkan adanya dua kemungkinan. Kemungkinan pertama,
orang tuanya adalah orang Sumatra (Pasai), sehingga bisa diduga ia sendiri lahir dan
dibesarkan di Pasai. Kalaupun ia tidak lahir di Pasai kemungkinan telah lama bermukim di
sana dan bahkan meninggal di sana.35

b. Ajaran Tasawufnya

Syamsuddin Al-Sumatrani merupakan seorang ulama-penulis yang cukup kreatif dan


telah menghasilkan beberapa tulisan. Dari beberapa karyanya tersebut dapat diketahui
bahwasanya Syamsuddin Al-Sumatrani adalah pengikut dari aliran wujudiyah. Di antara

34 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 56.
Ibid, h. 343
35 Andi Miswar, “CORAK PEMIKIRAN TAFSIR PADA PERKEMBANGAN AWAL TRADISI TAFSIR DI NUSANTARA (
Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel),” t.t., 15.

14
karangannya yang menunjukkan hal itu adalah Jauhar al-Haqai’iq (permata kebenaran) dan
Risalat Tubayyin Mulahazhat al-Muwahhidin wa al-Mulhidin fi Dzikr Allah, Kitab al-
Harakah dan Mir’at al-Mu’minun.36
Tuhan dalam pengertian Syamsuddin Al-Sumatrani adalah wujud yang tidak ada satu
pun yang seperti Dia, dan tidak ada suatu pun yang berdiri menyertai-Nya, namun Dia adalah
yang menyebabkan perubahan pada zat dan sifat-Nya. Dia adalah yang pertama (al-Awwal),
yang Akhir (al-Akhir) yang Tampak (al-Zahir), dan Yang Tersembunyi (al-Bathin) karena
keberadaan-Nya meliputi segala sesuatu. Dengan-Nya berdiri segala sifat-sifat, yaitu Hidup
(al-Hayy), Yang Berdiri Sendiri (al-Qayyum), Yang Berkehendak (al-Murid), Mahakuasa (al-
Qadir), Yang Mengetahui (al-Alim), Yang Mendengar (al-Sama’), Yang Melihat (al-Bashir),
dan Yang Berbicara (al-Mutakallim) dengan zat-Nya sendiri. Wujud yang sebenarnya adalah
wujud Tuhan, sedangkan alam lain hanyalah bayang-bayang dari wujud tuhan yang hakiki.37
Semua penganut dari doktrin wujudiyah ini tampak berangkat dari titik pandangan yang
sama, bahwa sesungguhnya wujud hakiki itu hanyalah satu, yaitu Tuhan, sedangkan alam
semesta yang beraneka ini hanyalah bayang-bayang dari wujud Tuhan yang satu tersebut.
Demikian juga yang disampaikan oleh Syamsuddin tentang ajaran Tuhan dan ala mini.
Sementara perbedaan meskipun hanya secara teknis yang sering terlihat adalah terkait dengan
urutan-urutan atau peringkat-peringkat terjadinya penampakan bayang-bayang Tuhan dari
Yang Mahaghaib sehingga menjadi beraneka seperti yang terlihat.38
Terkait dengan tajalli al-haqq, Syamsuddin al-Sumatrani mengikuti konsep Martabat Tujuh
yang dirumukan oleh Fadlullah Al-Burhanpuri, yang membagi penampakn wujud Tuhan ke
dalam tujuh tingkatan. Tingkatan pertama adalah ahadiyyat, kedua adalah wahdah, ketiga
martabat wahidiyyah, keempat martabat ‘alam arwah, kelima martabat ‘alam mitsal, keenam
adalah martabat alam ajsam, dan ketujuh adalah martabat ‘alam insan (alam al-syahadah).39

3. Syekh Yusuf Al-Maqassari

a. Biografi Singkat

36 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 54–55.
37 Ibid, hlm 55
38 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 56..
39 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), 56.

15
Syekh Yusuf Al-Maqassari adalah seorang tokoh sufi agug yang berasal dari
Sulawesi. Ia dilahirkan pada tanggal 8 Syawal 1036 H atau bersamaan dengan 3 Juli 1629 M,
yang berarti belum berapa lama setelah kedatangan tiga orang penyebar Islam ke Sulawesi,
(yaitu Datuk Ri Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau). Dalam salah satu
karangannya, ia menulis ujung namanya dengan bahasa Arab “Al-Maqassari”, yaitu nama
kota di Sulawesi Selatan (Ujung Pandang). Naluri fitrah pribadi Syekh Yusuf sejak kecil telah
menampakkan bahwa ia cinta akan pengetahuan keislaman. Dalam tempo relatif singkat, ia
tamat mempelajari Al-Qur’an 30 juz. Setelah benar-benar lancar tentang Al-Qur’an dan
mungkin termasuk seorang penghafal, ia melanjutkan untuk mempelajari pengetahuan-
pengetahuan lain, seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu bayan, ilmu ma’ani, ilmu badi’, ilmu
balaghah, dan ilmu manthiq. Ia pun belajar ilmu fiqih, ilmu ushuluddin, dan ilmu tasawu.
Ilmu yang terakhir ini tampaknya lebih serasi pada pribadinya.

b. Pembaruan Tasawuf Syekh Yusuf Al-Maqassari


Al-Maqassari adalah salah satu ulam terpenting Nusantara pada abad ketujuh belas.
Seperti ulama yang lain, seperti ulama yang lain, seperti Al-Sinkili ataupun Al-Raniri,
gagasan pembaruan Al-Maqassari berpusat kepada pemurnian tauhid atas paham wahdat
al-wujud yang ketika itu sangat popular di Nusantara. Seperti hal Al-Sinkili, Al-
Maqassari juga tidak mau terjebak kepada penafsiran doktrin wahdat al-wujud Ibnu
Arabi yang ditafsirkan orang secara salah sehingga cenderung kepada phanteisme. Al-
Maqassari mencoba meluruskan pemahaman yang salah ini dan menafsirkan dengan
berlandaskan syari’at kepada komunitas Muslim Nusantara.40
Dalam berbagai karyanya, terlihat kecendrungan tasawuf dari Al-Maqassari. Ia juga
mengutip pendapat-pendapat ulama yang dianggap kontroversial seperti Ibnu Arabi,
ataupun Al-Jili, di samping ia juga mengutip ulama sufi yang moderat. Tampaknya hal
ini dilakukan agar ia tidak terjebak phanteisme. Al-Maqassari dalam menjelaskan tentang
Tuhan menggunakan terma al-ihathah (melingkupi) dan al-ma’iyah (kebesertaan),
bahwasanya Tuhan melingkupi segala sesuatu tanpa adanya percampuran dan perpaduan
sekaligus Tuhan menyertai segala sesuatu tiada sesuatu pun yang menyerupainya. Hal ini
mengandung pengertian imanensi Tuhan sebab Tuhan bisa diartikan ada dimana-mana.
Teteapi, Al-Maqassari tidak ingin terjebak kepada paham imanensi tuhan maka
selanjutnya dikatakan meskipun Tuhan itu melingkupi dan beserta segala sesuatu tetapi

40 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 142

16
Dia tidak dapat diperbandingkan dengan apapun selain-Nya. Tuhan adalah wujud yang
mutlak, sementara selain-Nya adalah majazi belaka.41
Dalam Mathalib al-Salikin Al-Maqassari membedakan dua macam tauhid. Pertama,
tauhid yang dimiliki oleh para sufi muhaqqiq yang telah memiliki pemahaman yang
mendalam tentang ketuhanan. Mereka ini telah mencapai derajat sufi yang tertinggi
sehingga mengalami penyaksian (kasyf) dan fana dalam Tuhannya. Kedua, tauhid orang
biasa yang meyakini bahwa Allah itu Esa, Allah tempat bergantung segala sesuatu, tidak
beranak dan diperanakkan, serta tiada seorang pun yang setara dengan Dia.42
Al-Maqassari menegaskan bahwa orang yang telah mencapai maqam tertinggi dalam
jalan sufi tidak akan pernah sekali-kali meninggalkan syariat. Jika orang yang mengaku
telah sampai kepada maqam tersebut tetapi meninggalkan syariat mak ia adalah sufi
gadungan. Dalam keseluruhan tulisannya Al-Maqassari menegaskan pentingnya syariat
untuk mencapai jalan mistis, dan jalan mistis hanya dapat dilalui dengan kesetiaan penuh
kepada syariat. Dia menegaskan bahwa orang yang hanya bersandar kepada syariat lebih
baik daripada orang yang mengamalkan tasawuf tetapi mengabaikan syariat, dan
menggolongkan orang yang meyakini bisa mendekati Tuhan tanpa melalui jalan syariat
sebagai orang yang sesat dan ateis.43

4. Abdul Samad Al-Palimbani


A. Pembaruan Wujudiyah Abdul Samad Al-Palimbani

Tidak seperti ulama Palembang lainnya, Al-Palimbani lewat dua karya utamanya (Siyar
al-Salikin dan Hidaya al-Salikin) mencoba melakukan seperti yang diperbuat oleh
Abdurrauf Al-Sinkili, yaitu melakukan kompromi dan penafsiran terhadap doktrin-
doktrin yang dianggap sesat. 44

Dalam pandangannya tentang ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Al-Sumatrani, Al-
Palimbani justru memasukkan kitab-kitab kedua orang ini ke dalam golongan muntahi,
artinya kitab bacaan tasawuf bagi salik yang sudah mencapai tingkatan spiritual yang
tinggi dan mendalam. Dalam hal ini, Al-Palimbani membagi penganut tasawuf menjadi

41 Ibid, h. 143
42 Ibid, h. 144
43 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 144
44 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 95

17
tiga golongan, yaitu mubtadi’, matawasith, dan muntahi, disertai dengan kitab-kitab
standar yang menjadi bacaan masing-masing golongan ini.45

Pemilahan dan pembedahan kitab-kitab dilakukan secara sadar oleh Al-Palimbani untuk
menghindarkan para penganut tasawuf dari kebingungan intelektual. Oleh sebab itu, al-
Palimbani menyarankan hanya golongan yang telah mencapai tingkatan muntahi-lah yang
dianjurkan membaca kitab-kitab yang filosofis, rumit, dan terkadang controversial.
Sebab, jika kitab-kitab ini dibaca oleh orang-orang yang belum mapan, dikhawatirkan
akan terjerumus kepada kesesatan dan menjadi golongan wujudiyah mulhidah.46

Sementara untuk menjelaskan kemajemukan alam semesta, Al-Palimbani mengadopsi


konsep martabat tujuh Al-Burhanpuri dengan beberapa modifikasi. Menurut Al-
Palimbani, wujud Allah yang Esa tersebut dapat dikenal dengan tujuh tahapan. Martabat
yang pertama adalah adalah martabat al-ahadiyah. Martabat kedua adalah martabat al-
wahidah. Martabat ketiga adalah martabat al-wahidiyah. Ketiga martabat ini menurut Al-
Palimbani adalah qadim dan azali karena ketika itu belum ada yang maujud kecuali zat
Allah semata, sementara alam semesta sudah ada dalam ilmu Allah tetapi belum zhahir di
dalam wujud luar (kharij). Kemudian martabat keempat adalah alam arwah. Martabat
kelima adalah alam mitsal. Martabat keenam adalah alam ajsam. Dan martabat ketujuh
adalah martabat insan.47

Meski Al-Palimbani mengadopsi konsep martabat tujuh al-Burhanpuri, ia menafsirkan


doktrin ini dalam perspektif ghazalian. Menurut Al-Palimbani, Al-Ghazali membagi tiga
tingkatan manusia dalam menuju makrifah kepada Tuhan-Nya. Martabat pertama
dinamakan nafs al-ammarah. Martabat kedua dinamakan nafs al-lawwamah. Martabat
ketiga adalah nafs al-mutmainah.48

Tampaknya Al-Palimbani tidak puas dengan penjelasa yang diberikan oleh Al-Ghazali
sehingga kemudian ia menyempurnakan tingkatan manusia menjadi tujuh tingkatan. Ia
ingin memadukan konsep martabat tujuh dalam mencapai martabat insan kamil ke dalam
mazhab Ghazalian. Menurut Al-Palimbani, jiwa manusia memiliki tujuh peringkat, yaitu
nafs al-ammarah, nafs al-lawwamah, nafs al-mulhamah, nafs al-muthmainah, nafs al-

45 Ibid, h. 96
46 Ibid, h. 98
47 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 99
48 Ibid, h.100

18
radhiyyah, nafs al-mardhiyyah, dan nafs al-kamilah. Peringkat pertama sampai dengan
peringkat tujuh menggambarkan tingkatan-tingkatan dalam martabat tujuh, tetapi
dibungkus dalam perspektif ghazalian. Tampaknya Al-Palimbani mencoba memadukan
metafisika Arabian dengan pelaksanaan syariat dalam tasawuf Al-Ghazali.49

Menurut Al-Palimbani, sebetulnya paham wahdat al-wujud dalam perspektif Ibnu Arabi
merupakan tingkatan tauhid palin tinggi yang merupakan tujuan kaum sufi jika dilihat
dalam perspektif Al-Ghazali. Menurut Al-Palimbani dengan mengutip Al-Ghazali
menyatakan bahwa tingkatan tauhid ada empat. Pertama, orang yang mengatakan la ilaha
illa Allah tetapi hatinya lalai. Kedua, orang yang mengucapkan kalimat laa ilah illa Allah
serta mengimani makna. Ketiga, tauhid orang yang dekat dengan Allah (muqarrabin),
yang memandang dengan mata hati bahwasanya alam dan isinya sebagai ciptaan Allah
Swt. Keempat, tauhidnya orang shiddiqin, yaitu orang yang memandang dengan mata
hatinya tiada yang lain selain zat Allah yang wajib al-wujud, dinamakan pula dengan
istilah fana di dalam tauhid maka ia tidak lagi melihat dirinya, karena batinnya telah
tenggelam dalam memandang (syuhud) Tuhan yang Esa yang sebenar-benarnya.50

2.4 Tarekat di Nusantara

Hasil muktamar tasawuf yang diadakan di Pekalongan tahun 1960 menyatakan bahwa
tarekat masuk ke Indonesia pertama kali pada abad ke-7. Perkembangan tarekat kemudian
menyebar pesat di Nusantara setelah periode abad ke-13. Banyaknya para ulama Jawi yang
belajar ke Haramain menjadi faktor utama. Ulama Jawi yang pulang ke Nusantara membawa
ijazah dari para guru mereka di Haramain untuk menyebarkan Islam ke daerah mereka
masing-masing.51

Adapun aliran tarekat yang berkembang di Indonesia:

1. Tarekat Al-Naqsyabandiyyah

Tarekat Naqsabandiyyah didirikan oleh Muhammad bin Baha’ al-Din al-‘Uwaisi al-
Bukhari al-Naqsabandi yang hidup di tahun 717-719 H. Dia terkenal dengan keahliannya

49 Ibid, h. 101

50 Miftah Arifin, Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf, Cetakan I (Sleman,
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), h. 102
51 Rifai Shodiq Fathoni, “Tarekat-Tarekat Yang Berkembang Di Indonesia,” Wawasan Sejarah (blog), 12
Oktober 2016, http://wawasansejarah.com/tarekat-tarekat-yang-berkembang-di-indonesia/.

19
melukiskan kehidupan yang gaib dan menyelam dalam kesatuan dan kefanaan. Naqsabandi
berarti “lukisan”.52

Ciri-ciri tarekat Naqsabandiyyah, antara lain:

1. Berpegang teguh kepada akidah ahlussunnah.


2. Meninggalkan rukhsah.
3. Memilih hukum-hukum yang azimah.
4. Senantiasa dalam muraqabah
5. Tetap berhadapan dengan Tuhan
6. Menghasilkan malakah hudhur (menghadirkan tuhan dalam hati).
7. Menyendiri di tengah keramaian serta menghiasi diri dengan hal-hal yang member
faedah
8. Mengambil faedah dari ilmu-ilmu agama.
9. Berpakaian dengan pakaian Mukmin biasa.
10. Selalu mengatur nafas dengan menyebut asma Allah.
11. Zikir tanpa suara.
12. Berakhlak dengan akhlak Nabi Muhammad SAW.

Tarekat Naqsabandiyyah mempunyai kedudukan yang istimewa karena berasal dari


Abu Bakar. Dan, tentang Abu Bakar, nabi Muhammad pernah bersabda, “Tidak ada
sesuatupun yang dicurahkan Allah dalam dadaku melainkan aku curahkan ke dada Abu
Bakar”.
Tarekat Naqsabandiyyah banyak tersebar di Sumatera, Jawa, Sulawesi, juga Sumatera
Barat, tepatnya Minangkabau. Penyebar tarekat Naqsabandiyyah di Indonesia, terutama di
Sumatera Barat, adalah Syaikh Isma’il al-Khalid al-Kurdi, sehingga terkenal dengan sebutan
tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyyah. Ada juga yang meriwayatkan bahwa tarekat
Naqsabandiyyah-Khalidyah ini didirikan oleh Syaikh Sulaiman al-Zuhdi al-Khalidi. Tarekat
ini mengajarkan tentang zikir adab dan zikir, tawasul dalam tarekat, adab suluk, tentang saik
dan maqam-nya, juga tentang ribath. Aliran tarekat ini berkembang luas di Indonesia dan
mempunyai Syaikh Khalifah dan Mursyid yang diketahui dari beberapa surat yang berasal

52 M Solihin, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim, Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan makna hidup
(Bandung: Nuansa, 2005), 247–48.

20
dari Banjarmasin dan daerah-daerah lain yang dimuat dalam kitab kecil yang berisi fatwa
Sulaiman al-Zuhdi al-Khalidi.53

2. Tarekat Al-Qadiriyah

Tarekt Qadiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syekh Abdul Qadir
Jailani. Nama lengkapnya adalah Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir bin Abi Shalih
Zangi Dost Al-Jailani (470 H/1077 M – 561 H/ 1166 M). Dia dikenal dengan kekuatan
ma’rifat-nya. Dasar-dasar pokoknya ialah tinggi cita-citanya, menjaga kehormatan, baik
pelayanan, kuat pendirian, dan membesarkan nikmat Tuhan.
Tarekat Qadiriyah dieknal luwes, yaitu apabila sudah mencapai derajat syekh, murid
tidak mempunyai keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan, dia berhak
melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal tersebut tampak pada
ungkapan Abdul Qadir Jailani, “Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, dia
menjadi mandiri sebagi syekh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya.”54
Tarekat qadiriyah berpengaruh luas di daerah timur sampai ke Jawa dan Tiongkok.
Abdul Qadir Jailani, pendirinya, sangat berpengaruh pada masyarakat luas lewat manaqib
yang sering dibacakn pada momen-momen tertentu, seperti pernikahan, kelahiran bayi,
khitanan, dan upacara-upacara keagamaan lainnya.55

3. Tarekat Syadziliyyah

Pendiri tarekat Syadziliyah adalah Abu al-Hasan al-Syadzili yang terkenal dengan
wirid dan kekuatan ilmunya. Pokok-pokok ajarannya, antara lain:56

a. Bertakwa kepada Allah di tempat sunyi dan ramai.


b. Mengikuti Sunnah dalm setiap perkataan dan perbuatan.
c. Berpaling hati dari makhluk waktu berhadapan dan waktu membelakangi.
d. Kembali kepada Allah di waktu senang dan susah.

53 M Solihin, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim, Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan makna hidup
(Bandung: Nuansa, 2005) hlm248.
54 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010),, 314.
55 Solihin, Anwar, dan Hakim, Akhlak tasawuf, 249.
56 M Solihin, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim, Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan makna hidup
(Bandung: Nuansa, 2005) 315.

21
Terekat ini berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Sudan, suriah dan
semenanjung Arabiyah, masuk Indonesia khususnya di Wilayah Jawa tengah dan Jawa
Timur.57

3. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah

Tarekat ini didirikan oleh seorang sufi besar Masjid al-Haram Makkah al-
Mukarramah bernama Ahmad Khathib ibn Abd. Ghaffar al-Sambasi al-Jawi, wafat di
Makkah pada tahun 1878 M. Beliau adalah seorang mursyid Tarekat Qadiriyah, tetapi ada
yang menyebutkan bahwa beliau juga mursyid dalam Tarekat Naqsabandiyah. Namun beliau
hanya menyebutkan silsilah tarekatnya dari sanad Tarekat Qadiriyah. Sampai sekarang
belum diketemukan, dari sanad mana beliau menerima bai’at Tarekat Naqsabandiyah .
Sebagai seorang mursyid yang sangat ‘alim dan ‘arif billah, beliau memiliki otoritas untuk
membuat modifikasi tersendiri dari tarekat yang dipimpinnya, karena dalam Tarekat
Qadiriyah memang ada kebebasan untuk itu, bagi yang telah mencapai derajat mursyid.
Untuk itu beliau menggabungkan inti ajaran kedua tarekat, yaitu Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah dan mengajarkan pada murid-muridnya, khusus yang berasal dari Indonesia.
Tujuan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah sama dengan tujuan Islam, yaitu menuntun
manusia agar mendapatkan ridha Allah, sejahtera di dunia dan bahagia di akhirat. Tujuan
TQN tergambar dalam mukadimah yang mesti dibaca oleh setiap ikhwan manakala ia akan
melakukan dzikrullah. Kalimat yang dimaksud adalah:
“Tuhanku, Engkaulah yang aku maksud dan keridhaan-Mu yang aku cari. Beriah aku
kemampuan untuk bisa mencintai-Mu dan makrifat kepada-Mu.”
Doa tersebut wajib dibaca oleh para ikhwan Tharekat Qodiriyah Naqsabandiyah setiap
selesai sholat minimal dua kali sebagai mukadimah dan akhir pengalaman dzikir. Dalam doa
tersebut terkandung empat macam tujuan TQN, yaitu:
1. Taqarub ilallah SWT.Ialah mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan
dzikrullah yang mana dalam hal ini dapat dikatakan tak ada sesuatupun yang
menjadi tirai penghalang antara abid dengan ma’bud, antara khalik dengan
makhluk.
2. Menuju jalan mardhatillah.Ialah menujualan yang diridhai Alah SWT. Baik
dalam ‘ubudiyyah maupun di luar ubudiyyah. Maka dalam segala gerak-gerik

57 mashajirismail, “SEJARAH PERKEMBANGAN THARIQAT DI INDONESIA,” mashajirismail (blog), 2 Februari


2011, https://mashajirismail.wordpress.com/2011/02/02/10/.

22
manusia diharuskan mengikuti/menaati perintah-perintah Tuhan dan
menjauhi/meninggalkan larangan-larangan-Nya.
3. Kemakrifatan (al-makrifat); melihat Tuhan dengan mata hati.
4. Kecintaan (mahabbah) terhadap Allah “Dzat Laisa Kamislihi Syaiun”, yang
mana
dalam mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati.58

5. Tarekat Rifa’iyah
Tarekat Rifa’iyah didirikan di Irak pada abad ke-6 H oleh Ahmad bin Ali Abdul
Abbas Ar-Rifa’I, seorang tokoh sufi besar yang saleh, ahli hukum (Islam), dan penganut
Madzhab Syafi’i. Ia hidup sezaman dengan Syekh Abdul Qadir Al-Jailani, pendiri Tarekat
Qadiriyah. Ajaran dasar Tarekat Rifa’iyah ada tiga, yaitu tidak meminta sesuatu, tidak
menolak, dan tidak menunggu.
Sebagaimana tarekat lain, Tarekat Rifa’iyah juga berkembang di berbagai pelosok
dunia Islam, seperti Turki, Suriah, Mesir dan Indonesia. Penyebar utama tarekat ini adalah
seorang murid Ahmad Rifa’I, yaitu Abu Al-Fath Al-Wasiti terutama dilakukan di Mesir
sampai sekarang. Al-Wasiti sendiri wafat di Iskandariyah pada tahun 580 H.
Di, Indonesia, Tarekat Rifa’iyah terkenal dengan permainan debus dan tabuhan
rebana yang dikenal di Aceh dengan nama Rapa’I dan di Sumatera Barat dengan nama
Badabuih.59

6. Tarekat Tsamaniyah
Tarekat Tsamaniyah didirikan oleh Muhammad Tsaman yang meninggal tahun 1720
M di Madinah. Tarekat ini tersebar di wilayah Sumatera, khususnya Palembang. Di Aceh dan
Jakarta (khususnya di pinggiran kota), Tarekat Tsamaniyah memiliki pengaruh dan penganut
yang cukup luas.
Para penganut tarekat Tsamaniyah biasa berdzikir dengan suara keras da melengking.
Seaktu melantunkan zikir La ilaha illallah dalam intensitas yang semakin cepat maka yang
terdengar dari mulut mereka hanya kata “hu” yang artinya “Dia Allah”. Tarekat ini mengajari
para pengikutnya untuk memperbanyak shalat dan zikir, menolong orang miskin, tidak

58 Cecep Alba, Tasawuf dan tarekat: dimensi esoteris ajaran Islam, Cetakan pertama (Bandung: Penerbit PT
Remaja Rosdakarya, 2014) hlm 95.
59 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 316.

23
diperbudak oleh kesenangan duniawi, menukar akal basyariyah dengan akal rabaniyah, dan
beriman secara tulus hanya kepada Allah.60

60 M Solihin, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim, Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan makna hidup
(Bandung: Nuansa, 2005)Akhlak tasawuf, 250.

24
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa:
1. Ajaran tasawuf Al-Ghazali adalah tasawuf sunni yang berdasarkan Al-Qura’an
dan As-Sunnah Nabi Muhammad SAW. ditambah dengan doktrin Ahlu As-
Sunnah wa Al-Jamaah.

2. Konsep tasawuf falsafi ialah menggunakan terminologis filosofis dalam


pengungkapannya. Terminologi falsafi tersebut berasal dari bermacam-macam
ajaran filsafat yang telah memengaruhi para tokohnya

3. Perkembangan tasawuf di Indonesia, tidak lepas dari pengkajian proses


islamisasi di kawasan ini. Sebab, sebagian besar penyebaran Islam di
Nusantara merupakan jasa para sufi.
4. Tarekat yang berkembang di Indonesia: 1)Tarekat Naqsabandiyah, 2)Tarekat
Qadiriyah, 3)Tarekat Syadziliyah, 4)Tarekat Syadziliyah, 5)Tarekat Rifa’iyah,
dan 6) Tarekat Tsamaniyah.
4.2 SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak
sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan di atas.

25
DAFTAR PUSTAKA

Alba, Cecep. Tasawuf dan tarekat: dimensi esoteris ajaran Islam. Cetakan pertama.
Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya, 2014.

Anwar, Rosihon. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Arifin, Miftah. Sufi Nusantara: biografi, karya intelektual & pemikiran tasawuf. Cetakan I.
Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.

Fathoni, Rifai Shodiq. “Tarekat-Tarekat Yang Berkembang Di Indonesia.” Wawasan Sejarah


(blog), 12 Oktober 2016. http://wawasansejarah.com/tarekat-tarekat-yang-
berkembang-di-indonesia/.

Ibrahim. Filsafat Islam Masa Awal. Makassar: Carabaca Makassar, 2016.

mashajirismail. “SEJARAH PERKEMBANGAN THARIQAT DI INDONESIA.”


mashajirismail (blog), 2 Februari 2011
https://mashajirismail.wordpress.com/2011/02/02/10/.

Miswar, Andi. “CORAK PEMIKIRAN TAFSIR PADA PERKEMBANGAN AWAL


TRADISI TAFSIR DI NUSANTARA ( Hamzah al-Fansuri, Syamsuddin al-
Sumatrani dan Abd Rauf al- Singkel),” t.t., 15.

Selamat, Kasmuri, dan Ihsan Sanusi. Akhlak Tasawuf: Upaya Meraih Kehalusan Budi dan
Kedekatan Ilahi. Kalam Mulia, t.t.

Solihin, M, M. Rosyid Anwar, dan M. Arief Hakim. Akhlak tasawuf: manusia, etika, dan
makna hidup. Bandung: Nuansa, 2005.

Syamsun Ni’am. Tasawuf Studies: Pengantar Belajar Tasawuf. Sleman, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014.

26

Anda mungkin juga menyukai