Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MAKALAH

Hulul, Ittihad, Fana

Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah

Tasawuf

Dosen Pengampu : M. Muchlis, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Kelompok 2

Fitri Kurnia : 1801010043

Kiki Andriansyah : 1801011072

Tika Mailani : 1801010109

KELAS D

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO

T.A 2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami hanturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat
dan hidayahnya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul hulul ittihad dan
fana.Penyusunan makalah ini untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi
Perkembangan.Kami berharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta pembaca
dapat mengetahui tentang apa saja pemahaman mengenai hulul, ittihad, dan fana.Kami
menyadari banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini.Karna itu kami sangat
mengharapkan kritikan dan saran dari para pembaca untuk melengkapi segala kekurangan
dan kesalahan dari kami ini.

Kami juga mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu


selama proses penyusunan makalah ini.

Metro, 11 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii

DAFTAR ISI............................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN

A. Perkembangan ajran tasawuf. ........................................................................ 3


B. Al-Hulul. ........................................................................................................ 4
C. Ittihad. ............................................................................................................ 5
D. Fana. ............................................................................................................... 6

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ................................................................................................... 9
B. Saran .............................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ilmu tasawuf yang merupakan salah satu cabang ilmu yang sangat kontroversi
dikalangan para ahli sufi, dikarenakan di dalamnya mengandung berbagai permasalahan
yang menyangkut dengan aqidah dan keimanan seseorang. Dalam sejarah
perkembangannya, para ahli membagi tasawuf menjadi dua, yaitu tasawuf yang
mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf yang mengarah pada teori-teori yang
rumit dan memerlukan pemahaman mendalam.
Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke arah pertama sering disebut
sebagai tasawuf akhlaqi. Ada yang menyebutnya sebagai tasawuf yang banyak
dikembangkan oleh kaum salaf.Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut
sebagai tasawuf falsafi. Tasawuf ini banyak dikembangkan para sufi yang berlatar
belakang sebagai filosof di samping sebagai sufi.
Perkembangan Tasawuf dan Islam telah mengalami beberapa fase.Pertama, yaitu
fase asketis (zuhud) yang tumbuh pada akad pertama dan kedua Hijriyah sikap asketis ini
dipandang sebagai pengantar tumbuhnya tasawuf. Tasawuf mempunyai perkembangan
tersendiri dalam sejarahnya.Tasawuf berasal dari gerakan zuhud yang selanjutnya
berkembang menjadi tasawuf.Meskipun tidak persis dan pasti, corak tasawuf dapat
dilihat dengan batasan- batasan waktu dalam rentang sejarah.
Corak-corak ilmu tasawuf yang berkembang menurut rentang waktu yang sangat
panjang, dengan berbagai motif dan konsep-konsep yang berbagai macam tetapi dengan
satu tujuan jua, yakni tentang keimanan dan tujuan hidup seseorang.Tasawuf sebagai
ajaran pembersihan hati dan jiwa memiliki sejarah perkembangannya dari masa ke masa.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan ajaran tasawuf?
2. Bagaimana pengertian mengenai hulul ?
3. Apa pengertian dari ittihad ?
4. Pemahaman apa yang di ketahui mengenai fana?

C. Tujuan
1. Untuk menhetahui perkembangan ajaran tasawuf.
2. Untuk memahami tentang hulul dan tujuan nya.
3. Mengatahui pemahamam tentang ittihad.
4. Mengenali serta memahami pengertian seputar fana.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. PERKEMBANGAN AJARAN TASAWUF


Benih-benih tasawwuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW.Hal ini dapat
dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi
SAW. Peristiwa dan perilaku hidup Nabi SAW.Sebelum diangkat menjadi Rasul,
berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana Nabi
SAW banyak berfikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Kemudian puncak kedekatan Nabi SAW dengan Allah SWT tercapai ketika
melakukan Isra’-Miraj. Didalam Isra’-Miraj Nabi SAW telah sampai ke sidratul muntaha
(tempat terakhir yang dicapai Nabi SAW ketika miraj di langit yang ke tujuh), bahkan
telah sampai kehadirat Ilahi dan sempat berdialok dengan Allah SWT. Karena itu
Muhammad Husain Haekal (Mesir, 20 Agustus 1888-8 Desember 1956), seorang
sastrawan dan politikus Mesir yang banyak menulis biografi, menulis dalam bukunya
Hayat Muhammad (Sejarah Hidup Muhammad), bahwa hidup sederhana yang dilakukan
oleh Nabi SAW bukanlah suatu kewajiban agama, tetapi dengan cara itulah ia
memberikan teladan tentang ketangguhan mental yang tidak lemah.
Ibadah Nabi SAW. Ibadah Nabi SAW juga merupakan cikal bakal tasawwuf.Dalam
diri Nabi SAW terkumpul sifat-sifat utama, yaitu rendah hati, lemah lembut, jujur, tidak
suka mencari-cari cacat orang lain, sabar, tidak angkuh, santun dan tidak mabuk ujian.
Nabi SAW adalah tipe ideal bagi seluruh kaum muslimin, termasuk pula bagi para sufi,
hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surah Al-Ahzab Ayat 21 yang Artinya:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi mu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
dia banyak menyak menyebut nama Allah.”[1]

3
B. Al-Hulul
1. Pengertian dan Tujuan Hulul

Al-Hulul secara bahasa berarti menempati.Dalam istilah tasawuf hulul adalah


ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu
untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaannya
dihilangkan.Doktrin Hulul adalah salah satu tipe dalam aliran tasawuf falsafi dan
merupakan perkembangan lanjut dari paham ittihad.Paham Al-Hulul ini pertama
ditampilkan atau Tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj.
Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 244 H.
(858 M.) Di negeri Baidha salah satu kota kecil yang terletak di Persia “Husain
Ibnu Mansur Al-Hallaj”. Ajaran al-hallaj adalah imbauan kepada perbaikan moral
dan kepada pengalaman persatuan dengan Yang Dicintai, yaitu Tuhan. Ungkapan
yang sangat terkenal “Ana Al-Haqq” (Aku adalah kebenaran Absolut) atau yang
kemudian sering diterjemahkan menjadi “ Aku adalah Tuhan”.al hulul mempunyai
dua bentuk, yaitu :

a. Al- Hulu Al-jawari, yakni keadaan dua esensi yang satu mengambil tempat
pada yang lain (tanpa persatuan), seperti air mengambil tempat dalam
bejana.
b. Al-Hulul As-Sarayani yakni persatuan dua esensi (yang satu mengalir
didalam yang lain) sehingga yang terlihat hanya satu esensi, seperti zat air
yang mengalir di dalam bunga.
Hulul diartikan juga sebagai penyatuan hamba dengan tuhan-nya, setelah zat-nya
lebur kedalam tubuh hamba-nya. Al-Hallaj berkali-kali menemukan kondisi ini, dan
selalu mengemukakan pernyataan aneh, yang tidak dapat di terima oleh sufi dari aliran
Sunni,
maka ia dituduh murtad, bahkan di hukum mati karena hal tersebut. Ia mengatakan,
tuhan mempunyai dua sifat dasar; yaitu sifat ketuhanan (al-lahut) dan sifat
kemanusiaan (al-nasut), begitu juga halnya manusia, memiliki kedua sifat tersebut.
Apabila manusia mampu menghilangkan sifat kemanusiaannya, dengan caramujahadah
dan riyadah, maka pasti dapat memiliki sifat ketuhanan, dan prilakunya sama dengan
prilaku tuhan-nya. Maka tidak heran kalau al-Hallaj seolah-olah merasa dirinya sebagai
tuhan, tatkala ia hulul; antara lain mengatakan:
Artinya :

4
Sesungguhnya allah dapat menempatkan diri-Nya pada diri manusia, dengan bentuk
ketuhanan-Nya.
C. Ittihad
1. Pengertian Ittihad
Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana, maka pada saat itu ia
telah dapat menyatu dengan Tuhan, sehingga rujud diyahnya kekal atau baqa. Di
dalam perpaduan itu ia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang
berasal dari tuhan, itulah yang dimaksud dengan ittihad.
Ittihad menurut bahasa berarti penyatuan atau berpadunya dua hal, artinya
perpaduan dengan tanpa di antarai sesuatu apapun. Ittihad di pandang sebagai ajaran
dokrtinal karena memadukan eksestensi dua wujud yang terpisah ( Wahdah Al-
Wujud). Hal ini bertentangan dengan konsep kesatuan wujud jika dipahami sebagai
kesatuan. Dalam tasawuf Ittihad adalah kondisi dimana seorang sufi merasa dirinya
menyatu dengan Tuhansehingga masing-masing di antara keduanya bisa memanggil
kata-kata aku.
Menurut Abu Yazid, ia tidak pernah mengaku sebagai Tuhan. Proses ittihad
adalah naiknya jiwa manusia kehadirat illahi, bukan melalui reinkarnasi. Sirnanya
segala sesuatu dari kesadaran dan pandangannya, yang disadari dan dilihat hanya
hakikat yang satu, yakni Allah. Bahkan dia tidak melihat dan tidak menyadari
sendiri karena dirinya terlebur dalam dia yang dilihat.
Ittihad dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf), tetapi bagi orang yang keras
berpengang pada agama, itu dipandang sebangai kekufuran, faham ittihad
ini selanjutnya dpat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud. Paham ijtihad
ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat Allah. Musa
berkata: “Ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai kepada-Mu?” Tuhan
berfirman: Tinggallah dirimu (lenyapkanlah dirimu) baru kamu kemari
(bersatu). Ayat dan riwayat tersebut memberi petunjuk bahwa Allah SWT. Telah
member peluang kepada manusia untuk bersatu dengan tuhan secara rohaniah dan
atau batiniah, yang caranya antara lain dengan beramal saleh, dan beribadat semata-
mata karena Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak yang buruk,
menghilangkan kesadaran sebagai manusia, meninggal dosa dan maksiat, dan
kemudian menghias diri dengan sifat-sifat Allah, yang kesemua ini tercakup dalam
konsep fana dan baqa.

5
D. Fana

1. Arti fana

Di dalam kitab ar risalah al-qusyairiah di katakana:

‫ذهاب البشرية‬

a. Arti fana ialah lenyapnya indrawi/ kebasyrian.


Maka siapa yang meliputi Hakikat Ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat daripada
Alam baharu, alam rupa dan alam wujud ini maka dikatakanlah ia telah lama fana dari
alam cipta / dari makhluk dan baqanya Allah tanpa hulul.
b. Fana, berarti hilangnya sifat-sifat buruk (maksiat lahir danmaksiat batin) dan
baqanya/ kekalnya sifat-sifat terpuji (taat lahir dan taat bathin). Bahwa “fana” itu,
ialah lenyapnya segalanya, lenyap sifat fana/ fana fissifat. Yang tinggal, ialah baqanya
Allah. Dan memang semestinya begitulah, sesuai kata Ahli-Ahli tassawuf: “ Apabila
nampaklah Nur kebaqaan, maka fanalah yang tiada dan baqalah yang kekal.” Dan
dalam pada ini , Ahli-ahli tassawuf juga berkata:
“Tassawuf itu, ialah mereka fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya karena
kehadiran hati mereka bersama Allah.”[2]
Dari segi bahasa alnafa’ berarti didalamnya berwujud sesuatu.Fana berbeda
dengan al fasad (rusak). Fana artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan rusak
adalah berubahnya sesuatu kepada sesuatu yang lain. Bukan atas dasar perubahan
bentuk yang satu kepada bentuk yang lainnya, dan hilangnya benda dalam alam itu
dengan cara fana, bukan cara rusak.[3] Selanjudnya fana yang dicari oleh orang
sufi adalah penghancuran diri ( al-fana’ alnafs), yaitu hancurnya perasaan atau
kesadaran tentang adanya kesadaran tubuh kasar manusia. Menurut qusairi, fana yang
dimaksud adalah: fananya seorang dari dirinya dan makhluk lain terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang makhluk lain itu..sebenarnya dirinya
tetap ada dan demikian pula makhluk lain ada, tapi ia tidak sadar lagi pada mererka
dan pada dirinya

6
2. Tanggapan Tentang Fana
Sahabat nabi yang paling sring memperkatakan tentang “fana” / lenyap, ialah
sayyidana Ali Bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
“ Dan di dalam leburku / fanaku leburlah kefanaanku, tetapi di dalam kefanaanku
itulah bahkan aku mendapat engkau Tuhan.”
Demikianlah Fana di tanggapi oleh para kaum sufi secara baik, bahkan fana itulah
merupakan pintu masuk untuk menemukan Allah( ‫ ) لقاء هللا‬bagi orang yang benar-
benar mempunyai keinginan dan keimanan yang kuat untuk bertemu Allah.
3. Tingkatan-tingkat fana dan Hikmahnya.
a. Tingkat I.(fana fi af-alillah).

.‫ ال فاعل االهللا‬:‫قوله‬

Tiada fi-il/ perbuatan melainkan Allah.

Dalam tingkatan pertama ini, Seseorang telah mulai dalam situasi dimana akal
fikiran mulai tidak berjalan lagi, melainkan terjadi sebagai “ ilham” tiba-tiba nur ilahi
terbit dalam hati sanubari dan telah lenyap menjadi gerak dan diamnmya Allah.

b. Tingkatan II. ( fana fis sifat).

‫ ال حي اال هللا‬: ‫قوله‬

"Tiada yang hidup sendirinya melainkan Allah.”

Dalam tingkatan ini, sseorang mulai dalam situasi putusnya diri dari alam
indrawi dan mulai lenyapnya segala sifat kebendaan artinya dalam situasi menafikan
diri dan mengisbatkan sifat Allah.

7
c. Tingkatan III.( fana fil-asma).

‫ ال محمود االهللا‬: ‫قوله‬

“ Tiada yang patut dipuji melainkan Allah.

Dalam tingkatan ini seseorang telah dalam situasi fananya segala sifat-sifat
keinsanannya, lenyap dari alam wujud yang gelap ini masuk kedalam alam ghaib/
yang penuh dengan bercahaya.

d. Tingkatan IV.( fana fizzat).

.‫ ال موجود على االطالق االهللا‬: ‫قوله‬

" Tiada wujud secara mutlak melainkan Allah.”

Dalam tingkatan ini seseorang telah beroleh perasaan batin pada suatu keadaan
yang tak berisi tiada lagi kanan kiri, tiada lagi muka dan belakang, tiada lagi atas dan
bawah pada ruang yang tak tidak bertepi.

4. Tokoh yang Mengembangkan Fana


Dalam sejarah tasawwuf Abu Yazid Al-Bustami ( w. 874 M/) disebut-sebut
sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham fana dan bakat ini. Nama
kecilnya adalah Thaifur
5. Hikmah “fana”.
a. Pentauhidan Tuhan semurninya dalam arti,tiada wujud yang mutlak melainkan
Allah
b. Pengenalan Tuhan semurninya, tidak sekedar pengakuan adanya dan satunya saja
dengan ucapan kalimat syahadat, tidak sekedar dalil atau pendapat dengan jalan
akal.

8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Benih-benih tasawwuf sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi SAW.Hal ini dapat
dilihat dalam perilaku dan peristiwa dalam hidup, ibadah, dan pribadi Nabi
SAW. Peristiwa dan perilaku hidup Nabi SAW.Sebelum diangkat menjadi Rasul,
berhari-hari ia berkhalwat di gua Hira’, terutama pada bulan Ramadhan. Di sana
Nabi SAW banyak berfikir dan bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT.
2. Al-Hulul secara bahasa berarti menempati. Dalam istilah tasawuf hulul adalah
ajaran yang menyatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia-manusia tertentu
untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaannya
dihilangkan, Hulul diartikan juga sebagai penyatuan hamba dengan tuhan-nya,
setelah zat-nya lebur kedalam tubuh hamba-nya
3. Ittihad menurut bahasa berarti penyatuan atau berpadunya dua hal, artinya
perpaduan dengan tanpa di antarai sesuatu apapun. Ittihad di pandang sebagai
ajaran dokrtinal karena memadukan eksestensi dua wujud yang terpisah ( Wahdah
Al-Wujud).
4. Fana adalah Fanahilang, hancur, sehingga dapat dipahami bahwa fana merupakan
proses menghancurkan diri sebagai seorang sufi agar dapat bersatu dengan
Tuhan.yaitu dengan hilangnya kesadaran seseorang terhadap keberadaan dirinya
dan alam sekelilingnya. Hal ini dapat terjadi karena latihan yang berat dan
perjuangan yang cukup panjang dalam pendakian rohani.

9
B. Saran

Demikianlah makalah yang dapat kami buat, kami menyadari dalam penulisan
makalah ini banyak sekali kesalahan dan kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini dan berikutnya.Besar harapan kami semoga
makalah ini bisa memberikan sedikit manfaat bagi pembaca pada umumnya dan pemakalah
khususnya. Amin…

10
DAFTAR PUSTAKA

Amir An-najar. Ilmu Jiwa Dalam Tasawuf. Jakarta: Pustaka Azzam. 2000

K. Permadi. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta:PT RINEKA CIPTA. 2004

Mustafa. Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf. Surabaya: PT. BINA ILMU: 1998.

Van-Hoeve, Ensiklopedia Islam, penerbit PT Ichtiar Baru, Jakarta, hal.77-78.

Dr. Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: PT BINA ILMU, 1998.

Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy, jilid II, (bairud: dar alkitab, 1979).

Anda mungkin juga menyukai