Anda di halaman 1dari 26

KONSEP ITTIHAD DAN HULUL

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


Akhlak Tasawuf

Dosen Pengampu:
Dr. Achmad Junaedi Sitika, M.Pd.I

Oleh:
Kelompok 8
Farah Nurfadilah NPM. 2210631110024
Indah Cahyani NPM. 2210631110031
Nadiya Meila Farhah NPM. 2210631110043

KELAS 3B
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
FAKULTAS AGAMA ISLAM (FAI)
UNIVERSITAS SINGAPERBANGSA KARAWANG
TAHUN 2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................................................1
PENDAHULUAH...................................................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG.................................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................................1
C. TUJUAN......................................................................................................................................1
BAB II......................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN......................................................................................................................................3
A. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN KEDUDUKAN ITTIHAD....................................................3
1. Dasar dan Pokok Ajarannya....................................................................................................4
2. Ittihad dalam Perspektif Historis.............................................................................................6
3. Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Paham Ittihad..............................................................6
4. Konsep Ittihad dalam Tasawuf................................................................................................8
B. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN KEDUDUKAN HULUL.....................................................10
1. Dasar dan Pokok Ajarannya..................................................................................................12
2. Hulul dalam Perspektif Historis.............................................................................................13
3. Tokoh yang Mengembangkan Paham Al-Hulul....................................................................15
4. Landasan Filosofis Hulul.......................................................................................................17
5. Konsep Hulul dalam Tasawuf................................................................................................19
C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ITTIHAD DAN HULUL...............................................21
BAB III..................................................................................................................................................23
PENUTUP.............................................................................................................................................23
A. SIMPULAN...............................................................................................................................23
B. KRITIK DAN SARAN..............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................24

ii
BAB I

PENDAHULUAH
A. LATAR BELAKANG
Sufisme adalah aliran mistik dalam Islam yang telah menjadi sumber inspirasi bagi para pencari
kebenaran dan keharmonisan spiritual selama berabad-abad. Dalam perjalanan panjangnya, Sufisme
telah menghasilkan berbagai konsep, ajaran, dan pemikiran yang mendalam tentang hubungan antara
manusia dan Tuhan. Dalam kerangka Sufisme, ada dua konsep yang memegang peranan penting
dalam memahami persatuan spiritual dengan Tuhan: Hulul dan Ittihad. Hulul dikaitkan dengan sosok
Al-Hallaj, sementara Ittihad lebih erat terkait dengan Abu Yazid al-Bistami. Kedua konsep ini,
meskipun memiliki tujuan akhir yang serupa, yaitu mencapai persatuan dengan Tuhan, mewakili dua
pendekatan yang berbeda dalam mencapai tujuan tersebut.
Artikel ini bertujuan untuk menguraikan konsep Hulul dan Ittihad dalam konteks Sufisme,
mengeksplorasi perbedaan mendasar dan persamaan di antara keduanya, serta menyajikan pandangan
beragam dari para tokoh Sufi dan ulama terkemuka mengenai kedua konsep ini. Dalam perjalanan ini,
kita akan menggali makna filosofis, latar belakang sejarah, serta relevansi praktis dari Hulul dan
Ittihad dalam kehidupan spiritual kaum Sufi dan umat Islam secara umum.
Sebelum kita masuk lebih dalam dalam konsep Hulul dan Ittihad, penting untuk memahami latar
belakang dan sejarah perkembangan Sufisme. Sufisme muncul pada abad-abad awal Islam, sebagai
reaksi terhadap perkembangan formalisme dan peraturan dalam agama. Pada awalnya, kaum Sufi
adalah individu-individu yang mencari makna spiritual melalui tindakan mereka, dengan penekanan
kuat pada ibadah dan introspeksi diri. Mereka mencari pengalaman mistik yang mendalam dan
mencoba mencapai pemahaman langsung tentang Tuhan.Kemudian, Sufisme mengalami
perkembangan dan menghasilkan berbagai aliran dan pemikiran. Salah satu aspek yang semakin
berkembang adalah konsep persatuan dengan Tuhan. Dua konsep yang menjadi perhatian utama
dalam hal ini adalah Hulul dan Ittihad.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian dari Ittihad dan Hulul?
2. Bagaimana dasar pokok ajaran Ittihad dan Hulul?
3. Bagaimana Histori dari Ittihad dan Hulul?
4. Siapakah tokoh yang mengembangkan paham Ittihad dan Hulul?
5. Bagaimana konsep dari Ittihad dan Hulul?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian dari Ittihad dan Hulul.
2. Untuk mengetahui dasar pokok ajaran Ittihad dan Hulul.

1
3. Untuk mengetahui histori dari Ittihad dan Hulul.
4. Untuk mengetahui siapa tokoh yang mengembangkan paham Ittihad dan Hulul.
5. Untuk mengetahui konsep dari Ittihad dan Hulul.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN KEDUDUKAN ITTIHAD
Ittihad dalam tasawuf berarti penyatuan atau kebersatuan di mana seorang sufi merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan. Pada tahapan ini, cinta antara individu dan Tuhan menyatu sehingga mereka
dapat memanggil Tuhan dengan perkataan “Hai aku”. Ittihad adalah tahapan lanjutan dalam tasawuf
setelah fana dan baqa, di mana seorang sufi bersatu dengan Tuhan, menyatukan yang mencintai dan
yang dicintai dalam substansi dan perbuatan. (Badrudin, 2015)
Menurut A.R. Al-Badawi, dalam ittihad, hanya satu wujud yang terlihat meskipun sebenarnya
ada dua wujud yang terpisah. Ini disebabkan oleh pengalaman di mana sufi hanya melihat dan
merasakan satu wujud, yang mengakibatkan pertukaran peran antara sufi dan Tuhan. Identitas bersatu,
dan ini terjadi karena sufi telah mencapai tingkat kesadaran di mana ia berbicara dengan nama Tuhan
setelah memasuki fana. (Mukarromah, 2015)
Ucapan-ucapan syatohat adalah kalimat yang terlihat baik tetapi sering bertentangan dengan
prinsip-prinsip syari’at Islam. Sebagian ulama syari’at menganggap bahwa ittihad, yang terkandung
dalam syatohat, bertentangan dengan Islam karena seringkali berisi kekeliruan atau penyimpangan.
Ada dua jenis syatohat yang dilontarkan oleh kaum sufi: pertama, doa panjang tentang pengalaman
dengan Tuhan, dan kedua, kata-kata yang terdengar indah tetapi sebenarnya kosong tanpa isi, yang
seringkali lebih umum. Imam al-Ghazali juga mengemukakan pandangan serupa. (Badrudin, 2015)
Ittihad, Hulul, dan Tauhid adalah konsep dalam tasawuf yang kurang terang, dan pandangan
mereka oleh para ulama syariat sering dianggap bertentangan dengan Islam. Penghentian pembahasan
tentang masalah ini mungkin disebabkan oleh kasus pembunuhan al-Hallaj yang dituduh memegang
paham “Hulul”. Oleh karena itu, banyak tokoh sufi enggan membicarakan hal ini untuk menghindari
nasib serupa. Abu Nasr Al-Tusi menjelaskan bahwa Hulul adalah pandangan bahwa Tuhan memilih
tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan di dalam
tubuh tersebut dilenyapkan. Sesuai dengan firman Allah dalam QS. Shaad: 71-72:

٧٢ ﴿ ‫﴾ َفِإَذ ا َسَّو ْيُتُه َو َنَفْخ ُت ِفيِه ِم ْن ُروِح ي َفَقُعوا َلُه َس اِج ِد يَن‬٧١ ﴿ ‫﴾ِإْذ َقاَل َر ُّبَك ِلْلَم اَل ِئَك ِة ِإِّني َخ اِلٌق َبَشًرا ِم ْن ِط يٍن‬
Artinya: “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan manusia dari tanah". [71] Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud
kepadanya". [72]”

3
Sedangkan menurut Al-Hallaj, Allah memiliki dua sifat dasar, yaitu “LAHUT” (ketuhanan) dan
“NASUT” (kemanusiaan), yang tercermin dalam teorinya tentang penciptaan makhluk. (Mustofa,
2022)

1. Dasar dan Pokok Ajarannya


Al-Ittihad (kesatuan dengan Tuhan), seperti yang dinyatakan oleh Abu Yazid Al-Bustami,
merupakan puncak pencapaian dalam ajaran tasawuf. Untuk mencapai ittihad, seorang sufi harus
melewati tahapan-tahapan penting seperti fana’ (peluruhan diri) dan baqa’ (kekekalan). Sebelum
mencapai tingkat ini, mereka harus menjalani proses penyucian diri, termasuk taubat, zuhud,
wara’, tawakkal, dan ridho. Ini adalah persiapan untuk mencapai ma’rifah (pengetahuan batin)
dan mahabbah (cinta) serta mencapai berbagai maqam (tingkatan) spiritual.
Fana’ secara etimologis berarti musnah atau lenyap, yang merujuk pada hilangnya wujud
sesuatu. Fana’ adalah ketika seseorang kehilangan kesadaran akan tindakan-tindakannya karena
mereka tunduk pada kehendak Allah. Dari fana’, mereka kemudian menuju ke penyatuan atau
kesatuan wujud di mana tidak ada lagi perbedaan antara manusia dan Allah atau antara alam dan
Allah.
Menurut Al-Junaidi, fana’ adalah ketika kesadaran hati seseorang terlepas dari hal-hal
inderawi karena fokus pada sesuatu yang dilihatnya. Situasi ini berubah ketika sesuatu yang
dilihatnya lenyap, dan siklus ini terus berlanjut hingga tidak ada lagi yang disadari oleh indera.
Fana’ dalam pandangan Muhammad Al-Abduh adalah ketika seseorang menghentikan
perhatiannya pada hal-hal selain Allah dan sepenuhnya mengabdikan dirinya pada Tuhan.
Sementara itu, kata “baqa’” berasal dari kata “baqiya”, yang berarti tetap. Ini merujuk pada
tahap ketika sifat-sifat terpuji diwujudkan dan dipertahankan dalam diri seorang sufi setelah
melalui fana’ dan pemusnahan unsur-unsur kejiwaan. Baqa’ adalah ketika yang tersisa adalah
sesuatu yang hakiki dan abadi di balik penampilan luaran.
Fana’ dan baqa’ tidak dapat dipisahkan dalam perjalanan menuju ittihad. Ada berbagai
bentuk fana’, termasuk fana’ ash-shifat (peluruhan sifat-sifat negatif), fana’ al-iradah (peluruhan
kehendak manusia), dan fana’ ‘an an-nafs (hilangnya kesadaran diri). Dalam tahap ketiga ini,
seperti yang digambarkan oleh Abu Yazid Al-Bustami, seseorang menyadari Tuhan melalui
dirinya sendiri hingga dirinya hancur. Kemudian dia menyadari Tuhan melalui Tuhan sendiri dan
hidup dalam kekekalan (baqa’). Kata-kata yang muncul dalam ittihad adalah ekspresi dari
kesatuan antara pencinta dan Yang Dicintai. Dalam tradisi tasawuf, ini dikenal sebagai syathahat,
di mana sufi meyakini bahwa kata-kata yang diucapkan adalah Tuhan sendiri melalui mereka.

Dalam hal ini, Abu Yazid menyebutnya dengan tajrid fana’ at-tauhid, ia berkata:

4
“Pada suatu ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah seraya ia berkata, Hai Abu Yazid,
makhluk-Ku ingin melihatmu. Aku menjawab, hiasilah aku dengan ke-Esaan-Mu, dan
pakaikanlah aku sifat-sifat kedirian-Mu, dan angkatlah aku ke dalam ke-Esaan-Mu sehingga
apabila makhluk-Mu melihat aku mereka akan berkata, “kami telah melihat Engkau, tetapi
sebenarnya yang mereka lihat adalah Engkau karena sesungguhnya pada saat itu aku tidak berada
di sana” (Totok Jumantoro, 2012).
Dari ungkapan tersebut, jelas bahwa al-ittihad adalah persatuan spiritual dan batin antara
seorang hamba dan Tuhan dengan cara mengangkat roh hamba ke hadirat Tuhan. Ini berbeda
dengan al-hulul, di mana persatuan rohaniah dan batiniah terjadi ketika Tuhan memilih jiwa
manusia yang telah disucikan dari sifat-sifat “kemanusiaan” yang rendah, yang berarti Tuhan
turun ke bumi.
Berdasarkan penjelasan ini, tidak mengherankan jika ada perbedaan pendapat di antara para
sufi tentang al-ittihad. Beberapa menerima konsep ini, tetapi banyak yang menolaknya.
Sepertinya mayoritas pendapat yang menolak lebih dominan daripada yang menerima paham
tersebut.
Dalam konteks al-ittihad, menurut Madkour, Al-Quran dengan tegas dan mutlak tidak merujuk
pada teori al-ittihad. Meskipun begitu, para pendukung al-ittihad masih berusaha
menghubungkannya dengan beberapa ayat Al-Quran dan hadis Nabi SAW. Diantaranya adalah
QS. Qaaf: 16,

١٦ ﴿ ‫﴾َو َلَقْد َخ َلْقَنا اِإْل ْنَساَن َو َنْع َلُم َم ا ُتَو ْس ِوُس ِبِه َنْفُسُهۖ َو َنْح ُن َأْقَر ُب ِإَلْيِه ِم ْن َح ْبِل اْلَو ِريِد‬

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang
dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya,”

QS. Al-Mujadalah: 7.

‫َاَلْم َتَر َاَّن َهّٰللا َيْع َلُم َم ا ِفى الَّسٰم ٰو ِت َوَم ا ِفى اَاْلْر ِضۗ َم ا َيُك ْو ُن ِم ْن َّنْج ٰو ى َثٰل َثٍة ِااَّل ُهَو َر اِبُعُهْم َو اَل َخ ْمَسٍة ِااَّل ُهَو َس اِد ُسُهْم َو ٓاَل َاْد ٰن ى ِم ْن‬
۷ : ‫﴾ٰذ ِلَك َو ٓاَل َاْكَثَر ِااَّل ُهَو َم َع ُهْم َاْيَن َم ا َكاُنْو اۚ ُثَّم ُيَنِّبُئُهْم ِبَم ا َع ِم ُلْو ا َيْو َم اْلِقٰي َم ِةۗ ِاَّن َهّٰللا ِبُك ِّل َش ْي ٍء َع ِلْيٌم ﴿المجادلة‬

Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di
langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah
keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan
tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia
berada bersama mereka di manapun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan
kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.

5
Dalam hubungan itu, Rasulallah SAW bersabda, yang artinya:
“Dari Abu Hurairah ra. ia berkata: telah bersabda Rasulallah SAW: “Sesungguhnya Allah telah
berfirman: Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan
perang kepadanya, dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu
ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa
seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku
mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan
untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai
tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan.
Dan jika ia meminta (sesuatu) kepada-Ku pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon
perlindungan kepada-Ku pasti Aku akan melindunginya, tidaklah Aku ragu tentang sesuatu yang
Aku lakukan seperti keraguan-Ku tentang (mencabut) nyawa seorang mu’min, dia tidak suka
kematian (kesakitan dan kesulitanny), sedangkan Aku tidak suka keburukannya (menyakitinya
karena saat lanjut usia ia akan berkurang kekuatannya, menjadi uzur dst, juga sakitnya ia
menghadapi kematian).” (HR. Bukhari)

Penganut paham al-ittihad yakin bahwa persatuan rohaniah antara Tuhan dan makhluk bisa
terjadi. Mereka mencapainya melalui proses tazkiyatun nafs. (Firmansyah, 2021)

2. Ittihad dalam Perspektif Historis


Hasil pemetaan sejarah perkembangan tasawuf menunjukkan bahwa abad pertama dan kedua
Hijriah merupakan fase awal asketisme dalam Islam, yang merupakan embrio dari tasawuf.
Asketisme dalam Islam tidak berarti total pengasingan dari dunia, seperti yang ditunjukkan oleh
tokoh seperti al-Hasan al-Bashri. Mereka lebih fokus pada upaya pembebasan dari nafsu duniawi
untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Abad ketiga Hijriah menjadi masa transisi menuju
konseptualisasi tasawuf, dengan konsep-konsep seperti ma’rifah, maqamat, dan ahwal yang
pertama kali diformulasikan oleh Dzu an-Nun al-Mishri. Ada dua arah dalam tasawuf: tasawuf
akhlaki yang mencampurkan aspek eksoterik dan esoterik Islam, dan tasawuf falsafi yang terkait
dengan filsafat metafisika. Al-Ghazali mencapai puncaknya dalam tasawuf akhlaki, sementara
Ibnu 'Arabi mencapai puncaknya dalam tasawuf falsafi. (Muniron, 2013)

3. Tokoh-Tokoh yang Mengembangkan Paham Ittihad


Abu Yazid Al-Bustami, seorang penyebar ajaran ittihad dalam tasawuf, lahir di Bistam pada
tahun 874 M. Ia hidup sederhana dan peduli pada fakir miskin. Meskipun orang tuanya
terpandang, ia memilih kehidupan yang sederhana. Abu Yazid jarang meninggalkan Bistam dan

6
memusatkan perhatiannya pada ibadah dan pencarian dekat dengan Tuhan melalui pengalaman
fana dan baqa’ dalam tasawuf. Ia mengajarkan bagaimana mendekat kepada Tuhan. Dia
menjelaskan, suatu malam ia bermimpi dengan berkata:

‫َيا ُخ َدا َكْيَف الَّطِريُق ِإَلْيَك؟ َفَقاَل َد ْع َنْفَسَك َو َتَع اَلى‬

Artinya: “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepadamu? Dia menjawab: Tinggalkan dirimu
dan datanglah”.

Abu Yazid, setelah mencapai tahap fana, mencoba mendekatkan dirinya pada Tuhan dan
menyatakan keberadaannya dengan “syatahat” atau ucapan-ucapan yang digunakan oleh seorang
sufi pada tahap ittihad, seperti ucapan dia:

‫َلْس ُت َاَتَع َّجُب ِم ْن ُحِّبى َلَك َفَأَنا َع ْبٌد َفِقيٌر َو َلِكَّن َاَتَع َّجُب ِم ْن ُحْبَك ِلى َو َاْنَت َم اِلُك َقِد ْيٌر‬

Artinya: “Aku tidak heran melihat cintaku padaMu karena aku hanyalah hamba yang hina, tetapi
aku heran melihat cintamu padaku karena Engkau adalah Raja Mahakuasa”.

Adapun paham Hulul diajarkan oleh Husein Ibnu Mansur Al-Hallaj. Ia lahir pada tahun 858
M di kota Persia. Menurut pemikiran tasawufnya ia mengatakan bahwa:

‫ُأِرْيُد َأْن اَل ُأِرْيُد‬

Artinya: “Aku ingin untuk tidak mengingini.”

‫َأَنا اَل ُأِرْيُد ِم َن ِهَّللا ِإاَّل َهَّللا‬

Artinya: “Aku tidak ingin dari Tuhan kecuali Tuhan.”

Dari ucapannya yang lebih ganjil adalah ketika ia telah mencapai ittihad:

‫ُسْبَح اِنى ُسْبَح اِنى َم ا َأْع َظَم َش ْأِنى‬

Artinya: “Maha Suci Aku, Maha suci Aku, Mahabesar Aku.”

Kemudian la menetap di kota Baghdad.

7
Saat Al-Hallaj mencapai tahap hulul, ia mengeluarkan kalimat-kalimat kontroversial, seperti
pernyataan bahwa Tuhan memiliki sifat kemanusiaan, dan manusia memiliki sifat ketuhanan
(nasut dan lahut). Ia mengambil hadits sebagai dasar pemikirannya.

‫َو َخ َلَق آَد َم َع َلى ُصوَرِتِه‬


Artinya: “Tuhan menciptakan Adam menurut bentukNya”.

Menurutnya pada Adam terdapat bentuk Tuhan dan selanjutnya dalam Tuhan terdapat pula
bentuk Adam. Atas dasar ini persatuan antara manusia dan Tuhan dapat terjadi. Filsafat persatuan
yang dibawa Al-Hallaj disebut Al-Hulul, yakni paham yang mengatakan bahwa Tuhan dapat
terjadi. Filsafat persatuan yang dibawa Al-Hallaj disebut Al-Hulul, yakni paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat
dalamnya. Yang dimaksudnya dengan Ana (Aku) di sini bukanlah dirinya, karena selanjutnya ia
mengatakan:

‫ َبْل َأَنا َح ٌّق َفَفِّر ْق َبْيَنَنا‬، ‫َاَنا ِس ُّر اْلَح ِّق َم ا اْلَح ُّق َأَنا‬

Artinya: “Aku adalah rahasia dari yang Mahabenar, bukanlah yang Mahabenar itu aku; aku
hanya salah satu yang benar, oleh karena itu bedakanlah antara kami”.

Al-Hallaj mengucapkan “Ana Al-Haq” dalam keadaan fana, dan Muhy Al-Din Ibnu Al-
Arabi membawa filsafat Wahdah Al-Wujud dengan mengubah konsep nasut Al-Hallaj menjadi
Al-Khalaq (makhluk) dan lahut menjadi Al-Haq (Tuhan). Dalam pandangan ini, setiap makhluk
memiliki dua aspek: Al-Khalaq (aspek sebelah luar) dan Al-Haq (aspek dalam), yang merupakan
esensi dari tiap makhluk. Al-Hallaj dihukum mati karena ucapan-ucapannya dianggap
menyebarkan ajaran sesat dan berhubungan dengan golongan oposisi. Ia akhirnya dieksekusi dan
jasadnya dibuang ke sungai Tigris. (Mustofa, 2022)

4. Konsep Ittihad dalam Tasawuf


Secara historis, Ittihad, atau kesatuan mistik, dapat dianggap sebagai bentuk tasawuf falsafi
yang paling awal. Dalam sejarah tasawuf, pemikiran tasawuf falsafi muncul setelah sufi (sunni)
mencapai puncak penghayatan spiritual dengan konsep ma’rifah. Oleh karena itu, wajar jika
Ittihad ditempatkan setelah ma’rifah dalam hal sejarah dan kedekatannya dengan Tuhan. Dalam
konteks tasawuf falsafi, Abdul Qadir Mahmud memandang Ittihad sebagai landasan bagi konsep
hulul Abu Mansur al-Hallaj dan wahdah al-wujud Ibn ‘Arabi. Harun Nasution, sebagai seorang
ahli tasawuf falsafi awal, mengidentifikasi beberapa aspek konseptual Ittihad yang masih
memerlukan klarifikasi.

8
Abu Yazid al-Busthami dikenal sebagai pencetus konsep fana’ dan baqa’. Meskipun dia
tidak menggunakan istilah Ittihad untuk menggambarkan pengalaman spiritual tertingginya,
konsep “tajrid fana' at-tauhid”, yaitu penyatuan hamba dengan Tuhan tanpa perantara,
menggambarkan puncak pengalaman mistiknya. Oleh karena itu, penempatan Abu Yazid al-
Busthami sebagai pencetus Ittihad lebih bersifat interpretatif oleh pihak luar yang memahami
ungkapan mistiknya sebagai medium sah untuk mengungkapkan pengalaman spiritual tertinggi
dalam tradisi tasawuf falsafi. Salah satu ungkapan mistik yang mendukung pandangan ini adalah
kisah “mi’raj” al-Busthami. Dalam konteks ini, di antara ungkapan mistis Abu Yazid al-Busthami
sehingga dia diapresiasi sebagai pencetus ittihad adalah sebuah riwayat yang mengurai dengan
terminologi “mi'raj” al-Busthami berikut ini.
Artinya: “pada suatu hari, ketika aku dinaikkan ke hadirat Tuhan dan ia berkata "Abu Yazid,
makhluk-ku ingin melihat eng- kau. Aku menjawab kekasihku aku tidak ingin melihat mereka.
Tetapi jika ini kehendak-Mu, maka aku tidak berdaya (kuasa) untuk menentang kehendakmu.
Oleh Karena itu, hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-Mu melihat aku
mereka akan berkata, telah kami lihat engkau". Karena di ke- tika itu, aku tidak ada disana".
Tuhan Berkata "semua mereka kecuali engkau adalah mahluk-Ku. Akupun berkata "Aku adalah
Engkau, Engkau adalah Aku dan Aku adalah Engkau”.
Dari riwayat mi’raj Abu Yazid al-Busthami, terdapat dua elemen penting yang berkaitan
dengan konsep Ittihad, terutama mengenai prasyarat dan makna ontologisnya. Dalam ungkapan
“wala akun hunak” (aku tidak ada di sana), fana’ ‘an nafs, yaitu kehancuran diri dari ego, muncul
sebagai prasyarat untuk Ittihad. Penjelasan oleh Simuh, berdasarkan tipologi fana’ ‘an nafs al-
Qusyairi, menguraikan bahwa Ittihad terjadi setelah sufi mengalami fana’ dari diri dan fokus pada
sifat-sifat Tuhan. Ini diikuti oleh kasyf al-hijab (pembukaan tabir gaib) dan kemudian penyaksian
spiritual terhadap ciptaan Tuhan dan Tuhan sendiri (ma;rifah dan ma’rifatullah). Akhirnya, saat
sufi mencapai puncak ma’rifah dengan fana’ al-fana’, ittihad terwujud, di mana kesadarannya
melebur sepenuhnya dalam kesadaran Tuhan.
Penting untuk dicatat bahwa dalam ittihad, ruh sufi naik untuk menyatu dengan ruh Tuhan,
bukan sebaliknya seperti dalam hulul Abu Mansur al-Hallaj di mana Tuhan turun untuk menyatu
dengan ruh hamba.
Ittihad melibatkan kehancuran diri (fana’), tetapi bukan berarti diri sufi menjadi tiada. Pada
saat ittihad, diri sufi tetap ada, hanya saja ia tidak lagi disadari, dan yang sufi sadari hanyalah
Tuhan. Hal ini merupakan pengalaman kesadaran ruhani (bi as-syu’ur) dan bukan penyatuan
hakiki, karena keduanya tetap mempertahankan esensi mereka yang berbeda. Prinsip ketauhidan
tetap terjaga.
Selama proses ittihad, yang memiliki dasar dalam cinta dan rindu, sufi dan Tuhan dapat
saling memanggil satu sama lain dengan ungkapan “hai aku” (ya ana). Ini mencerminkan
pertukaran peran antara keduanya dalam pengalaman kesatuan. Abu Yazid al-Busthami pernah

9
mencapai tahap di mana dia memanggil Tuhan dengan “hai aku” (ya ana), menggambarkan
pengalaman cinta yang mendalam dalam Ittihad, sebagaimana terungkap dalam pernyataannya
berikut ini:

,‫ قلت أنا الفرد‬,‫ أنت الفرد‬:‫ فقال لي‬,‫ فقلت به يا أنا‬,‫ يا أنت‬,‫فانقطع المناجاة فصار الكلمة واحدة وصار الكل بالكل واحدا فقال لي‬
‫ قلت أنا أنا‬,‫ أنت أنت‬,‫قال لي‬

Artinya: “Konversi pun terputus; kata menjadi satu, bahkan selu- ruhnya menjadi satu. la pun
berkata: "Hai engkau". Aku dengan perantaraan-Nya menjawab:" Wahai Aku". la berkata:
"Engkaulah yang satu". Aku menjawab: "Aku- lah yang satu". la berkata selanjutnya: "Engkau
adalah Engkau". Aku menjawab: "Aku adalah Aku".”
Poin penting dari ungkapan Abu Yazid al-Busthami adalah ketika dia mengatakan “fakultu
bih,” yang berarti “aku menjawab melalui diri-Nya.” Kata “bih,” yang berarti “melalui diri-Nya,”
menunjukkan bahwa saat itu Abu Yazid al-Busthami sedang mengalami Ittihad, di mana ruhnya
telah menyatu dengan Tuhan. Pada saat itu, dia kehilangan kesadaran terhadap dirinya sendiri dan
bahkan terhadap eksistensinya yang sebelumnya, sehingga yang disadari dan dirasakan hanyalah
keberadaan Tuhan semata. Meskipun pada kenyataannya ada dua wujud yang berpisah, namun
sufi hanya menyadari wujud Tuhan.
Jadi, ketika dia mengucapkan ungkapan mistik seperti “subhani, subhani, ma’azham sya’ini”
(Maha suci Aku, Mahasuci Aku, Mahabesar Aku), ini bukanlah upaya untuk mengklaim dirinya
sebagai Tuhan. Sebaliknya, ini adalah cara Tuhan untuk menyatakan diri-Nya melalui lisan Abu
Yazid al-Busthami, yang pada saat itu sepenuhnya dikuasai oleh kehendak Tuhan, untuk
mengekspresikan diri-Nya sebagai Tuhan. Ini adalah bentuk ekspresi ilahi melalui manusia yang
mengalami Ittihad.
Abu Yazid al-Busthami bahkan menganggap mengaku dirinya sebagai Tuhan adalah dosa
besar, bahkan dosa terbesar (musyrik), yang akan menjauhkannya dari Tuhan. Untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan, seorang sufi harus menjauhi dosa besar dan bahkan segala hal
yang ambigu. Jadi, jika Abu Yazid al-Busthami melakukan dosa besar dengan mengklaim dirinya
sebagai Tuhan, ini akan bertentangan dengan prinsip kesufiannya dan justru akan menjauhkannya
dari Tuhan. Singkatnya, sebagai seorang tokoh sufi terkenal, tidak pantas jika Abu Yazid al-
Busthami melakukan dosa besar, terutama dengan cara mengklaim dirinya sebagai Tuhan.
(Muniron, 2013)

B. PENGERTIAN, TUJUAN, DAN KEDUDUKAN HULUL


Hulul berasal dari kata “halla”, yang memiliki arti “menempati”, dan mengacu pada konsep
Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia setelah sifat-sifat kemanusiaan dilenyapkan. Ada dua
bentuk hulul, yaitu Al-Hulul Al-Jawari (dua esensi berdampingan) dan Al-Hulul As-Sarayani

10
(persatuan dua esensi), yang menciptakan persatuan rohaniah antara manusia dan Tuhan. Tujuan hulul
adalah mencapai persatuan batin di mana Tuhan (lahut) mengilhami diri manusia (nasut). (Rohmah,
2021)
Hulul adalah paham yang menyatakan bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia
tertentu setelah sifat-sifat kemanusiaannya dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan tersebut
berbunyi:
‫ِاَّن َهللا َاْص َطَفى َاْج َس اًم ا َح َّل ِفْيَها ِبَم َع اِنى الُّر ُبْو ِبَّيِة َو َاَزاَل َع ْنَها َم َع اِنى اْلَبَش ِرَّيِة‬
.
“Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan
(setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”

Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat dalam diri manusia berdasarkan pemikiran al-
Hallaj mengemukakan bahwa manusia memiliki dua sifat dasar, yakni lahut (ketuhanan) dan nasut
(kemanusiaan), yang terungkap dalam teorinya tentang penciptaan manusia. Menurut pandangannya,
sebelum menciptakan makhluk, Allah hanya menyadari diri-Nya sendiri dalam kesendirian dan cinta-
Nya pada zat-Nya sendiri menjadi penyebab penciptaan. Allah menciptakan manusia, seperti Adam,
dengan menciptakan salinan diri-Nya yang mencerminkan sifat dan nama-Nya. Allah mencintai
manusia dan hadir dalam diri manusia, memancarkan sifat-sifat-Nya. Sehingga, dalam diri manusia,
terdapat sifat-sifat yang dipancarkan oleh Tuhan dari diri-Nya sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami
dari QS. Al-Baqarah [2]: 34:

٣٤ ﴿ ‫﴾َوِإْذ ُقْلَنا ِلْلَم اَل ِئَك ِة اْسُجُدوا آِل َد َم َفَسَج ُدوا ِإاَّل ِإْبِليَس َأَبٰى َو اْسَتْك َبَر َو َك اَن ِم َن اْلَكاِفِريَن‬

Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu kepada
Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan
orang-orang yang kafir.”

Al-Hallaj meyakini bahwa Allah memerintahkan malaikat untuk bersujud kepada Nabi Adam
karena Allah mengilhami diri Adam seperti yang terjadi dalam ajaran agama Nasrani. Menurut
pandangannya, Allah juga menjelma dalam diri Isa seperti dalam konsep inkarnasi dalam agama
Nasrani. (Nata, 2017)
Pemikiran tentang hulul oleh al-Hallaj adalah hasil ijtihadnya, yang menyebabkan kontroversi di
kalangan umat Islam. Al-Hallaj, setelah mencoba mencari cara bersatu dengan Tuhan, dianggap gila
dan diancam di Mekkah. Dia kembali ke Baghdad, tetapi pandangan tasawufnya yang unik
menyebabkan konflik dengan ulama fikih, termasuk fatwa menentangnya. Al-Hallaj meyakini bahwa
untuk mencapai persatuan dengan Tuhan melalui hulul, sifat-sifat kemanusiaan harus dihilangkan

11
melalui fana. Hanya setelah sifat kemanusiaan hilang, Tuhan dapat mengambil tempat dalam diri
manusia, yang menghasilkan persatuan roh Tuhan dan manusia dalam tubuh manusia (sufi), tanpa
mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Sebab dalam sya’irnya dirinya mengatakan (Badrudin, 2015):
”Aku adalah rahasia Yang Maha Benar
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang Benar,
Maka bedakanlah antara kami.”

Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentuk-Nya, dapat pula dipahami dari isyarat yang
terdapat dalam hadis yang berbunyi:
‫ِإَّن َهَّللا َخ َلَق آَد َم َع َلى ُصوَر ِتِه‬
“Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.”

Al-Hallaj menyimpulkan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam
diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan (nasut). Hulul terjadi saat sifat ketuhanan dalam manusia
bersatu dengan sifat kemanusiaan dalam Tuhan, setelah manusia menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui al-Fana. Hulul dapat dianggap sebagai tahap di mana manusia dan Tuhan
bersatu secara rohaniah, mirip dengan konsep al-ittihad. Tujuannya adalah mencapai persatuan batin,
yang terjadi saat kebatinan seseorang telah mencapai kesucian dalam perjalanan kebatinan mereka.
(Nata, 2017)
Dalam analisis Harun Nasution, perlu dibedakan antara persatuan rohaniah yang dialami oleh
Abu Yazid melalui ittihad dan persatuan rohaniah yang dialami oleh al-Hallaj melalui hulul. Dalam
hulul, al-Hallaj tidak mengalami kehancuran diri, sementara dalam ittihad, Abu Yazid mengalami
kehancuran diri dan hanya melihat Tuhan. Dengan kata lain, dalam ittihad, hanya ada Tuhan yang
terlihat, sedangkan dalam hulul, ada dua wujud yang bersatu dalam tubuh manusia yang telah dipilih
oleh Tuhan. Meskipun berbeda, keduanya memiliki kemiripan dalam penyatuan diri manusia dengan
Tuhan. (Badrudin, 2015)

1. Dasar dan Pokok Ajarannya


Al-Hallaj mengembangkan konsep hulul yang menurutnya merujuk pada dua sifat utama
Tuhan, yakni lahut (sifat ketuhanan) dan nasut (sifat kemanusiaan). Sebelum menciptakan
makhluk, Tuhan dalam kesendirian-Nya berdialog dengan diri-Nya sendiri, dan dari cinta pada
diri-Nya muncul manusia pertama, Adam, yang diciptakan menurut bentuk-Nya sendiri, sesuai
dengan hadits “Tuhan menciptakan Adam menurut bentuk-Nya.” Ini berarti dalam diri Adam
terdapat sifat-sifat Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri. Persatuan antara manusia dan Tuhan
dalam konsep hulul terjadi dengan menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan dalam diri manusia
sehingga yang tersisa hanya sifat-sifat ketuhanan. Sehingga dalam tradisi sufi, manusia diyakini

12
diciptakan oleh Tuhan agar Tuhan dapat melihat dan menampakkan kebesaran diri-Nya melalui
penciptaan makhluk, meskipun terdapat variasi penafsiran mengenai hadits tersebut. Meski
demikian, mereka cenderung sepakat bahwa manusia adalah microcosmos yang memiliki sifat-
sifat yang menyerupai Tuhan dan paling potensial mendekati Tuhan (bandingkan QS. Al-
Fushshilat: 53)

٥٣ ﴿ ‫﴾َس ُنِريِهْم آَياِتَنا ِفي اآْل َفاِق َوِفي َأْنُفِس ِهْم َح َّتٰى َيَتَبَّيَن َلُهْم َأَّنُه اْلَح ُّق ۗ َأَو َلْم َيْك ِف ِبَرِّبَك َأَّنُه َع َلٰى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهيٌد‬

Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah
benar. Tiadakah cukup bahwa sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”

Konsep hulul Al-Hallaj ini akan jelas terlihat dalam syairnya berikut ini: “Maha Suci
Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam bentuk manusia yang makan dan
minum” (Al-Hamid, 2012).
Untuk mencapai persatuan dengan Tuhan, manusia harus menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan melalui proses fana. Setelah sifat-sifat kemanusiaan ini lenyap dan hanya sifat-sifat
ketuhanan yang tersisa dalam dirinya, inilah saat di mana Tuhan dapat mendiami dirinya. Ruh
Tuhan dan ruh manusia bersatu dalam tubuh manusia, yang oleh Al-Hallaj dinyatakan dalam
sya’irnya:
Jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air
Jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau
ia menyentuh aku pula
Ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku
aku adalah Dia yang kucintai
Dia yang kucintai adalah aku
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku engkau lihat Dia
jika engkau lihat Dia engkau lihat kami (Al-Hamid, 2012).

Dengan pendekatan ini, menurut Al-Hallaj, seorang sufi bisa mencapai persatuan dengan
Tuhan. Dalam persatuan ini, identitas pribadi Al-Hallaj tampaknya menghilang, tetapi tidak
benar-benar hancur. Saat Al-Hallaj mengucapkan “Ana Al-Haqq”, yang berarti “Aku adalah
Tuhan”, ini sebenarnya mengindikasikan bahwa Tuhan telah menyatu dengan Al-Hallaj, bukan
sebaliknya.

13
Yunasir Ali, seperti yang dikutip oleh Hairul Hudaya, menggambarkan bahwa hulul
memiliki dua bentuk, yaitu pertama, Al-Hulul Al-Jawari, yang melibatkan dua esensi yang berada
dalam satu esensi yang lain (tanpa persatuan), mirip dengan air yang mengisi bejana. Kedua, Al-
Hulul Al-Sarayani, yang merupakan persatuan dua esensi sehingga hanya satu esensi yang
terlihat, seperti zat air yang mengalir dalam bunga.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hulul adalah cara manusia untuk mencapai
persatuan rohaniah dengan Tuhan, yang hanya dapat dicapai melalui penyucian rohani melalui
fana’ (melenyapkan sifat-sifat kemanusiaan). (Firmansyah, 2021)

2. Hulul dalam Perspektif Historis


Sejarah tasawuf (sufisme) menunjukkan bahwa doktrin hulul, salah satu cabang tasawuf
falsafi, erat kaitannya dengan konsep fana’, yang pertama kali diperkenalkan oleh Abu Yazid al-
Busthami. Fana’ ‘an-nafs, atau kehancuran ego, merupakan prasyarat penting untuk mencapai
penyatuan antara ruh sufi dan Tuhan dalam berbagai bentuknya, termasuk dalam bentuk hulul.
Dengan kata lain, setelah sufi mencapai tingkat fana’ ‘an-nafs, dia tidak perlu kembali ke keadaan
“sadar” seperti yang diajarkan dalam tasawuf etis atau tasawuf sunni, melainkan dapat terus
mengalami peningkatan spiritual hingga mencapai penyatuan dengan Tuhan.
Menurut pandangan Abu Mansur al-Hallaj, penyatuan antara ruh sufi dan Tuhan terwujud
dalam bentuk hulul. Oleh karena itu, ia dikenal sebagai tokoh yang mencetuskan doktrin hulul
dalam tasawuf. Al-Hallaj, lahir pada tahun 244 H/858 M di dekat kota al-Baiza, Iran Selatan
(Persia), dan meninggal pada tahun 309 H/922 M melalui hukuman mati oleh penguasa
Abbasiyah di Baghdad. Penting untuk dicatat bahwa hukuman mati terhadapnya terjadi selama
masa pemerintahan Khalifah al-Muqtadir Billah (295 H/908 M - 320 H/932 M).
Pemposisian Abu Mansur al-Hallaj sebagai tokoh yang mencetuskan doktrin hulul tidak
hanya didasarkan pada interpretasi subjektif terhadap ungkapan-ungkapannya, tetapi juga
didasarkan pada penggunaan eksplisit istilah hulul oleh dirinya untuk merujuk pada puncak
pengalaman spiritual kesufiannya. Ini merupakan bukti yang lebih kuat dan jelas dibandingkan
dengan interpretasi subjektif terhadap pengalaman mistiknya, sebagai telah disebutkan di dalam
dua buah ungkapanya berikut ini:

‫ َكُحلوِل اَألرواِح في اَألبداِن‬،‫ ِم ثَل َج رِي الُدموِع ِم ن َأجفاني َو ُتِح ُّل الَض ميَر َج وُف ُفؤادي‬،‫َأنَت َبيَن الَشغاِف َو الَقلِب َتجري‬

Artinya: Kau antara denyut dan kalbu, yang berlalu bagaikan tetesan air mata dari kelopakku.
Bisikan (Mu) pun tinggal dalam relung hatiku bagaikan ke-hulul-an arwah ke dalam tubuh-tubuh
ataau jasad-jasad itu.

‫ َنحُن روحاِن َح َلنا َبَدنا‬،‫َأنا َم ن َأهوى َوَم ن َأهوى َأنا‬

14
Artinya: Aku adalah Dia yang kucintai, dan Dia yang kucintai adalah aku, kami adalah dua ruh
yang bertempat (halalna) dalam satu tubuh.

Abu Mansur al-Hallaj dalam perjalanan pengalaman spiritual-kesufiannya melakukan


banyak rihlah (pengembaraan) ke berbagai tempat untuk belajar dari tokoh sufi terkemuka.
Setelah berhasil menghafal al-Qur’an, dia pertama-tama belajar dari Sahal at-Tustari (200
H/815M - 282 H/896 M). Dua tahun kemudian, dia pergi ke kota Bashrah untuk berguru kepada
‘Amr al-Makki (w. 286 H), dan akhirnya ke Baghdad untuk belajar dari al-Junaid (w. 288 H/910
M). Kemudian, dia pergi ke Makkah untuk menjalani ibadah haji dan tinggal di sana sesaat untuk
mendalami praktik kesufiannya. Di Makkah, Abu Mansur al-Hallaj mencapai puncak pengalaman
spiritual yang kemudian dikenal dengan istilah hulul.
Ada dua bukti penting yang mendukung klaim bahwa Abu Mansur al-Hallaj mencapai
pengalaman hulul ketika berada di Makkah. Pertama, setelah kembali dari Makkah, dia berencana
bergabung kembali dengan gurunya, al-Junaid al-Baghdadi, di Baghdad, namun ditolak oleh al-
Junaid. Penolakan ini terjadi karena ketika al-Hallaj mengetuk pintu al-Junaid, dia menjawab
dengan ungkapan “Ana al-Haqq” (Aku adalah al-Haqq), sebuah ungkapan mistis yang merujuk
pada pengalaman hulul. Penolakan ini tampaknya disebabkan oleh perilaku arogan al-Hallaj, yang
dianggap oleh al-Junaid sebagai ancaman terhadap agama umat Islam.
Kedua, setelah ditolak oleh al-Junaid, al-Hallaj melakukan perjalanan ke India dan mulai
secara terbuka menyebarkan ajaran hulul-nya. Selama kemabukan-spiritual (sakr) cinta Ilahi, al-
Hallaj sering meneriakkan ungkapan “Ana al-Haqq”, meskipun dia sudah diberi peringatan oleh
al-Junaid dan as-Syibli.
Reaksi terhadap ajaran al-Hallaj sangat keras, terutama dari para ulama (sunni) dan penguasa
Abbasiyah. Muncul dua tuduhan terhadapnya, yaitu tuduhan doktrinal dan politis. Para ulama dan
ahli kalam menuduh bahwa al-Hallaj menyebarkan ajaran sesat, mengabaikan aturan syari’at
Islam, dan mengajarkan konsep yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sementara penguasa
memandangnya sebagai agen politik Qaramithah, sekte Syi’ah ekstrem yang menjadi rival
penguasa Abbasiyah. Seorang hakim madzhab Maliki, ‘Amru, juga mengeluarkan fatwa
terhadapnya.
Akhirnya, para fuqaha’ (ulama syari’at) sepakat dengan Hamid ibn ‘Abbas, Perdana Menteri
Baghdad, dalam menyatakan bahwa al-Hallaj telah murtad dan bisa dihukum mati menurut
hukum syari’at. Ketika kasus ini diserahkan kepada Khalifah al-Muqtadir Billah, ia menolak
memberikan persetujuan hukuman mati kecuali ada persetujuan dan tanda tangan dari al-Junaid.
Setelah beberapa upaya, al-Junaid akhirnya menyetujui hukuman mati, dengan mencatat bahwa
hukuman mati itu sesuai dengan hukum syari’at meskipun, menurut ajaran rahasia (esoterik
Islam), hanya Tuhan yang tahu lebih dalam. Dengan persetujuan al-Junaid, al-Hallaj dihukum

15
mati pada tanggal 24 Dzulqa’dah 309 H. Reaksi umat Islam terhadap hukuman mati al-Hallaj
sangat beragam, ada yang mengkafirkannya, ada yang enggan berkomentar, dan ada yang
membela dirinya dengan melakukan interpretasi terhadap syathahat-nya, Ana al-Haqq, agar sesuai
dengan ajaran Islam. (Muniron, 2013)

3. Tokoh yang Mengembangkan Paham Al-Hulul


Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham al-Hulul
adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Abal-Mghits al-Hasan Ibn Manshr Ibn Muhammad al-
Baidhawi. la lahir tahun 244 H. 858 M. di negeri Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di
Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah
belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di
negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr
al-Makki, dan pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada al-Junaid yang juga
seorang sufi. Selain itu pernah juga menunaikan ibadah haji di Makkah selamat tiga kali. Dengan
riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasar pengetahuan tentang tasawuf yang
cukup kuat dan mendalam. Dalam perjalanan hidup selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara
akibat konflik dengan ulama fikih. Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana
akan dikemukakan di bawah ini menyebabkan seorang ulama fikih bernama Ibn Daud al-Isfahani
mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pahamnya. Al-Isfahani dikenal sebagai
ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya mementingkan zahir nas ayat
belaka. Arberry lebih lanjut melukiskan kasus pembunuhan al-Hallaj ini sebagai berikut.
“Tatkala dibawa untuk disalib, dan melihat tiang salib serta paku-pakunya, ia menoleh ke arah
orang-orang seraya berdoa, yang diakhiri dengan kata-kata: “Dan hamba-hamba-Mu yang
bersama-sama membunuhku ini, demi agama-Mu dan memenangkan karunia-Mu, maka
ampunilah mereka, Ya Tuhan, dan rahmatilah mereka. Karena sesungguhnya, sekiranya telah
Kuanugerahkan kepada mereka yang telah kau anugerahkan kepadaku, tentu mereka takkan
melakukan yang mereka lakukan. Dan bila Kusembunyikan dari diriku yang telah Kau-
sembunyikan dari mereka, tentu aku tak akan menderita begini. Maha Agung Engkau dalam
segala yang Kau-lakukan, dan Maha Agung Engkau dalam segala yang Kau kehendaki.”
Masalah al-Hallaj dihukum bunuh sudah disepakati bersama, namun bagaimana proses
pembunuhannya dengan disalib sebagaimana digambarkan Arberry tersebut di atas, masih perlu
dipersoalkan, karena kalau memang demikian betapa kejamnya para penyiksa itu, dan mengapa ia
dengan tega melakukan cara yang demikian, sebagaimana kaum Bani Israil menyiksa Yesus
Kristus Yudas Iskareot. Yang dapat diterima tampaknya versi pembunuhan yang digambarkan
oleh Hamka tersebut di atas. Mengenai sebab-sebab dibunuhnya al-Hallaj hingga sekarang masih
kontroversial. Jika kebanyakan ulama mengemukakan bahwa sebab-sebab dibunuhnya al-Hallaj
karena perbedaan paham dengan paham yang dianut ulama fikih yang dilindungi oleh pemerintah,

16
maka hal ini masih juga dipertanyakan. Orang menaryakan jika al-Hallaj dibunuh karena
perbedaan paham dengan paham yang dianut oleh ulama fikih, mengapa sufi yang lainnya
sebagaimana Zun al-Nun al-Mishri, Ibn Arabi dan lainnya tidak dibunuh.
Selanjutnya untuk menempatkan al-Hallaj sebagai pembawa paham al-Hulul, dapat dipahami
dari beberapa pernyataannya di bawah ini.

‫ُم ِزَج ْت ُرْو ُحَك ِفي ُرْو ِح ى َك َم ا ُتْم َزُج الَخ ْمَر ُة ِباْلَم اِء ِلُزاَل ِل َفِإَذ ا َم َسَك َش ْي ٌء َم َّس ِني َفِإًذ ا َأْنَت َأَنا فى ُك ِّل َح اٍل‬

Jiwamu disatukan dengan jiwaku, sebagaimana anggur disatukan dengan air suci. Dan jika ada
sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula, dan ketika itu dalam tiap hal Engkau
adalah aku.

‫َاَنا َم ْن َاْهَو ى َوَم ْن َاْهَو ى َاَنا َنْح ُن ُرْو َح اِن َح َلْلَنا َبَدَنا َفِإَذ ا َاْبَص ْر َتِنى َاْبَص ْر َتُه َوِإَذ ا َاْبَص ْر َتُه َاْبَص ْر َتَنا‬

Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku. Kami adalah dua jiwa yang
bertempat dalam satu tubuh, jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia. Dan jika engkau lihat Dia
engkau lihat Kami.

Dalam paham al-Hulul yang dikemukakan al-Hallaj tersebut ada dua hal yang dapat dicatat.
Pertama, bahwa paham al-hulul merupakan pengembangan atau bentuk lain dari paham
mahabbah sebagaimana disebutkan dibawa Rabiah al-Adawiyah. Hal ini terlihat dari adanya kata-
kata cinta yang dikemukakan al-Hallaj. Kedua, al-Hulul juga menggambarkan adanya ittihad atau
kesatuan rohaniah dengan Tuhan. Namun, Harun Nasution membedakan kesatuan rohaniah yang
dialami al-Hallaj melalui al-Hulul, dengan kesatuan rohaniah yang dialami Abu Yazid dalam al-
ittihad Dalam persatuan melalui al-Hulul ini, al-Hallaj kelihatannya tak hilang. Hal ini dapat
dipahami dari syair yang dinyatakan al-Hallaj berikut ini.

‫َأَنا ِس ُّر اْلَح ِّق َم ا اْلَح ُّق َأَنا َبْل َأَنا َح ٌّق َفَفِّر ْق َبْيَنَنا‬

“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Benar itu aku. Aku hanya satu dari
yang benar, maka bedakanlah antara kami”.

Ungkapan “ana al-haqq” oleh al-Hallaj menunjukkan pemahaman mistiknya bahwa pada saat
itu, ia meyakini bahwa roh Tuhan hadir dalam dirinya (hulul), sehingga yang mengucapkan itu
bukanlah dirinya sendiri, tetapi Tuhan yang berbicara melalui dirinya. (Nata, 2017)

17
4. Landasan Filosofis Hulul
Menurut Abu Mansur al-Hallaj, konsep hulul yang diajarkannya dalam tasawuf falsafi
memiliki dasar filosofis yang didasarkan pada keyakinan bahwa Tuhan adalah dzat yang penuh
cinta dan kasih. Sebelum menciptakan makhluk, Tuhan hanya memandang diri-Nya sendiri dalam
kesendirian, dan dalam keheningan itu, terjalin dialog batin antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri.
Dalam dialog ini, Tuhan hanya melihat kemuliaan dan keagungan dzat-Nya. Ketika Tuhan
memandang dzat-Nya, Ia mencintai diri-Nya sendiri dengan cinta yang tak terungkapkan. Cinta
ini menjadi sebab penciptaan semua makhluk, termasuk manusia (Adam), yang dianggap sebagai
ciptaan paling sempurna.
Tuhan, dalam kasih-Nya yang tak terbatas, menciptakan manusia (Adam) dalam bentuk yang
sepenuhnya mencerminkan sifat dan nama-Nya. Oleh karena itu, manusia menjadi tempat di
mana Tuhan muncul dalam bentuk-Nya. Al-Hallaj memahami konsep ini dengan merujuk pada
hadis Rasulullah yang menyatakan bahwa Allah menciptakan Adam sesuai dengan shurah
(bentuk)-Nya. Berdasarkan pemahaman ini, al-Hallaj menegaskan bahwa dalam diri Tuhan
terdapat aspek ilahiah (divinity nature) dan dalam diri manusia terdapat aspek kemanusiaan
(humanity nature). Oleh karena itu, Allah memerintahkan para malaikat untuk bersujud kepada
Adam sebagai tindakan pengakuan atas dua aspek ini dalam manusia.
Untuk merujuk pada kedua aspek tersebut, al-Hallaj menggunakan istilah lahut dan nasut,
yang dipandang sebagai kontribusinya dalam memperkenalkan konsep dualitas ini. Dalam
kerangka berpikir ini, al-Hallaj memandang bahwa penyatuan manusia dengan Tuhan adalah
mungkin secara rasional. Penyatuan ini, menurutnya, terwujud dalam bentuk hulul, di mana aspek
nasut Tuhan turun (tanazzul) dan masuk ke dalam diri manusia (sufi) setelah manusia mengalami
fana’ (peluruhan diri dalam cinta Tuhan).
Inti dari pemahaman al-Hallaj adalah keyakinan bahwa dalam diri manusia terdapat potensi
untuk penyatuan dengan Tuhan, dan ini menjadi dasar bagi konsep hulul dalam tasawuf falsafi.
Konsep lahut (divinity) dan nasut (humanity) itu antara lain secara eksplisit dapat dipahami dari
ungkapan al-Hallaj berikut ini:

‫ في صوَرِة اآلِكِل َو الشاِرِب‬،‫ ِس َّر َس نا ال َهَو تِه الثاِقِب ُثَّم َبدا في َخ لِقِه ظاِهرًا‬،‫ُسبحاَن َم ن َأظَهَر ناسوُتُه‬

Artinya: “Mahasuci Dzat yang sifat humanitas (nasut)-Nya membukakan rahasia cahaya ilahiah
(lahut)-Nya yang gemilang. Kemudian la kelihatan bagi makhluk-Nya dengan nyata dalam
bentuk manusia yang makan dan minum”.

Istilah nasut (dalam konteks Tuhan) dan lahut (dalam konteks manusia) dalam filsafat hulul
mungkin perlu diperjelas, karena al-Hallaj terkadang menggunakan istilah lain, seperti “ruh”. Ini
mengindikasikan bahwa nasut (Tuhan) dan lahut (manusia) yang berdampingan dalam konsep

18
hulul, sebenarnya merujuk pada ruh yang diciptakan (lahut manusia) dan ruh yang tidak
diciptakan (nasut Tuhan). Perbedaan antara keduanya adalah kualitasnya, di mana ruh (nasut)
Tuhan bersifat tak tercipta, sementara ruh (lahut) manusia atau sufi diciptakan. Ini mengarah pada
pemahaman bahwa yang menyatu dalam filsafat hulul adalah ruh yang diciptakan dan ruh yang
tidak diciptakan.
Lebih lanjut, mengenai nasut (Tuhan) dan lahut (manusia), perlu dilakukan elaborasi lebih lanjut.
Sebuah analogi yang digunakan adalah laut yang dalam; dzat Tuhan adalah laut yang dalam yang
tenang dan damai, yang tidak bisa dicapai oleh siapa pun. Di sisi lain, sifat-sifat Tuhan (dan
nama-nama-Nya) adalah seperti ombak dan gelombang di laut tersebut. Ini menunjukkan bahwa
sufi hanya bisa mencapai sifat-sifat Tuhan, bukan dzat-Nya. Dengan kata lain, istilah nasut Tuhan
dalam hulul mengacu pada sifat-sifat (dan nama-nama) Tuhan, bukan pada dzat-Nya. Dalam
istilah Ibn ‘Arabi, sufi hanya bisa mencapai aspek eksternal Tuhan, bukan aspek internal-Nya.
Ketika kita berbicara tentang istilah lahut dan nasut manusia (sufi), dapat didekati dengan
tipologi Ali al-Mahdi, yang membagi ruh manusia menjadi dua jenis: ruh dengan kecenderungan
ilahi (hayah ruhiyyah) dan ruh dengan kecenderungan material (hayah maddiyyah). Dalam
konteks hubungan dengan Tuhan yang bersifat imaterial dan Mahasuci, hanya ruh manusia yang
suci dan bebas dari kecenderungan material yang diterima oleh Tuhan. Ini berarti bahwa istilah
lahut manusia (sufi) dalam filsafat hulul al-Hallaj sama dengan ruh manusia yang memiliki
kecenderungan ilahi (hayah ruhiyyah), terutama setelah ruh yang memiliki kecenderungan
material atau nasut sufi (hayah maddiyyah) telah mengalami peluruhan atau fana.

5. Konsep Hulul dalam Tasawuf


Mengenai makna ontologis hulul, kita dapat mengambil dua pendekatan, yaitu etimologis
(kebahasaan) dan terminologis (isthilahi). Secara etimologis, istilah hulul adalah bentuk masdar
(infinitive) dari “halla-yahullu-hulul”, yang berarti “bertempat di” atau “immanent” dalam
konteks filsafat. Namun, dalam pengertian terminologis, seringkali terjadi kebingungan dan
tumpang tindih dalam mendefinisikan hulul. Beberapa kajian, seperti yang dilakukan oleh Sarah
binti Abdul Muhsin, menunjukkan adanya campuran ontologis antara konsep hulul dan wahdah
al-wujud Ibn ‘Arabi. Bahkan, identifikasi istilah hulul dengan ungkapan “hululullah fi
makhluqatih” juga sering menyebabkan kebingungan sejenis. Sebenarnya, terkait dengan makna
hulul ini sudah ada penjelasan dari al-Hallaj sendiri, yaitu:

‫ ثم ال يزال يصفو ويرتقى في درجات المصا‬,‫من هذب نفسه في الطاعة وصبر على اللذات والشهوات ارتقى إلى مقام المقربين‬
‫ حل فيه روح اإلله الذي حل في عیسی بن مریم‬,‫ فإذا لم يبق فيه من البشرية حط‬,‫فاة حتى يصفو عن البشرية‬

Artinya: “Siapa membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas berbagai kenikmatan dan
keinginan, maka ia telah naik ke Maqam Muqarrabin. Kemudian senantiasa suci dan

19
meningkatkan dalam derajat kesucian dirinya hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaannya.
Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya sudah tidak ada yang tinggal sedikitpun, maka ruh
Tuhan mengambil tempat dalam tubuhnya sebagaimana ia telah menempati diri Isa bin Maryam.
Dan ketika itu, sufi itu tidak menghendaki ke- cuali apa yang dikehendaki ruh Tuhan itu, hingga
seluruh aktivitasnya menjadi aktivitas Tuhan”.

Pernyataan al-Hallaj mengungkapkan tiga elemen inti dalam konsep dasar hulul. Pertama,
melibatkan prakondisi yang menyangkut hakikat makna ontologis hulul. Kedua, menyoroti nilai
aksiologis dan dampak psikologis yang terkait dengan konsep ini. Identik dengan pengalaman
ittihad Abu Yazid al-Busthami, peluruhan diri atau fana’ ‘an-nafs juga berfungsi sebagai
prakondisi atau pintu masuk menuju hulul. Sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Taftazani, jika
fana’ ‘an-nafs telah membawa al-Busthami pada pemahaman tentang ittihad, maka bagi al-Hallaj,
hal ini menjadi landasan untuk mengembangkan konsep hulul. Berikut ini adalah ungkapan al-
Hallaj tentang ke-fana-annya:
Duh! Penganugerahan bagi si pemegang karunia
Terhadap diri-Mu dan diriku begitu aku terpana
Kau buat begitu dekat diriku dengan-Mu, sehingga Kau adalah aku, begitu kukira
Kini dalam wujud diriku menjadi sirna
Dengan-Mu aku Kau buat menjadi fana.

Fana’ ‘an-nafs, yang mencerminkan lenyapnya humanitas (nasut) dalam diri sufi, tidak
berarti nasut sufi benar-benar menghilang, menurut al-Hallaj. Proses ini berasal dari cinta dan
rindu kepada Tuhan. Melalui pengalaman cinta dan kemabukan cinta (sakr), sufi mencapai fana’
‘an-nafs. Al-Hallaj memandang ini sebagai rahasia penciptaan dan menganggap cinta ilahi
sebagai esensi cinta yang sejati. Meskipun istilah “cinta” sering memiliki konotasi negatif, al-
Hallaj menyatakan bahwa cinta ilahi yang dinamis menghasilkan cinta sejati. Cinta ini memuncak
pada pandangan penuh kegembiraan, tanpa gangguan dari ego.
Ketika sufi mencapai puncak fana’ ‘an-nafs, yang ditandai dengan lenyapnya sepenuhnya
sifat-sifat humanitas (nasut) dalam dirinya, ia dikendalikan sepenuhnya oleh sifat ilahiah (lahut)
dalam dirinya. Pada saat itulah, sifat ilahiah (nasut) Tuhan “turun” dan menyatu dengan sufi,
mengambil tempat dalam dirinya. Ini merupakan esensi doktrin hulul al-Hallaj, di mana Tuhan
memilih tubuh manusia tertentu untuk menjadi wadah bagi manifestasi-Nya setelah sifat-sifat
humanitas (nasut) dalam diri sufi telah lenyap, meskipun bukan berarti menjadi non-eksisten.
(Muniron, 2013)

Doktrin Hulul al-Hallaj

20
Al-Hallaj, seperti Abu Yazid al-Busthami, adalah seorang sufi yang mendalami pengalaman
fana dengan mendalam. Al-Hallaj menjelaskan pengalaman kefanaannya dengan mengatakan
bahwa jika Allah berkehendak untuk mengangkat seorang hamba sebagai seorang wali (orang
suci), Dia membukakan pintu dzikir (ingat Dia) bagi orang itu. Kemudian Allah membuka pintu
kedekatan dengan-Nya dan mengangkatnya ke atas kursi tauhid. Setelah itu, Allah membukakan
tirai dari dirinya sehingga dia dapat melihat Keesaan-Nya dengan mata kepala, dan Allah
membawa dia ke dalam realitas Keesaan tersebut.
Lebih lanjut, Allah memperlihatkan keagungan dan keindahan-Nya kepada hamba tersebut.
Ketika pandangan hamba itu tertuju pada keindahan tersebut, maka dia hampir kehilangan diri
(kefanaan), dan pada saat itu, hamba tersebut menjadi fana dalam Keberadaan Yang Maha Benar.
Dalam keadaan ini, Keberadaan Yang Maha Suci termanifestasi dalam kesadaran hamba, dan
seruan-seruan dari dirinya menjadi benar dan sah.
Dalam pernyataan terakhirnya, al-Hallaj dengan jelas menggunakan kata “hulul”. Dalam
konteks ini, hulul merujuk pada penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan, atau dengan
istilah yang digunakan al-Hallaj, hulul adalah ketika lahut menyatu dalam nasut.
Bagi al-Hallaj, hulul berarti bahwa kehendak manusia sepenuhnya menjadi bagian dari
kehendak Ilahi, sehingga setiap tindakan manusia berasal dari Allah. Menurutnya, manusia tidak
hanya tidak memiliki asal tindakan, tetapi juga tidak memiliki tindakan itu sendiri. Namun,
penting untuk diingat bahwa konsep hulul al-Hallaj tampak kontradiktif, karena kadang-kadang
dia menyatakan hulul sebagai penyatuan, tetapi di lain pihak dia menekankan penyatuan dan
dengan jelas menolak konsepsi antropomorfis tentang Tuhan (tanzih).
Ucapan-ucapan kontroversial al-Hallaj, terutama yang terkait dengan konsep hulul,
seringkali terjebak dalam interpretasi yang berbeda. Al-Ghazali, misalnya, menjelaskan bahwa
kata-kata seperti yang diucapkan oleh al-Hallaj dan al-Busthami mungkin terlontar tanpa
disengaja dalam keadaan trance, di luar kendali kesadaran. Ketika mereka mencapai keadaan ini,
mereka merasa begitu dekat dengan Allah sehingga kehadiran individu terasa samar. Dalam
kondisi ini, sebagian dari mereka mungkin mengucapkan kata-kata seperti “Aku adalah Tuhan”
(al-Hallaj) atau “Betapa Suci Aku, Maha Besar Aku” (al-Busthami), yang pada dasarnya adalah
ungkapan cinta dan kelebihan dalam keadaan trance mereka.
Namun, kata-kata ini harus diambil dengan hati-hati dan tidak boleh dianggap sebagai
realitas penyatuan sejati. Mereka mungkin menyerupai penyatuan, tetapi pada akhirnya tidak bisa
sepenuhnya menggambarkan hakikat sejati. Para pecinta dalam keadaan trance ini
mengungkapkan perasaan cinta mereka yang begitu mendalam, tetapi ketika kesadaran mereka
kembali ke kontrol akal budi, mereka tahu bahwa itu bukan penyatuan sejati. Ini adalah ucapan
yang menyerupai penyatuan dalam konteks cinta yang berlebihan.
Kontroversi seputar al-Hallaj sebagian besar berasal dari ungkapan-ungkapannya yang
sangat rahasia dan sulit dipahami oleh mereka yang tidak memiliki pemahaman yang dalam,

21
terutama para cendekiawan hukum (Fuqaha'\’). Al-Hallaj akhirnya dituduh sebagai anti syari’at
dan dihukum mati. Padahal, tujuan utamanya adalah untuk berbicara tentang hakikat kehambaan
dan Ketuhanan secara lebih transparan. Dia juga tidak pernah mengaku sebagai Allah seperti
Fir’aun yang mengaku dirinya sebagai Tuhan. Banyak ajaran tasawuf memiliki elemen-elemen
yang mirip dengan ajaran al-Hallaj, dan al-Hallaj tidak pernah mengajak orang untuk melakukan
hulul. Apa yang dia ungkapkan adalah pengalaman kesadaran di mana kesadaran dirinya hilang,
mirip dengan situasi yang dialami orang yang sedang jatuh cinta atau terkejut dalam durasi waktu
yang lama.
Al-Hallaj tetap memegang konsep Al-Fana’ (peluruhan), Fana’ul Fana’ (peluruhan dari
peluruhan), dan al-Baqa’ (kekekalan), seperti dalam ajaran tasawuf lainnya. Ia juga tidak
mengajak umat untuk melakukan hulul. Apa yang dia nyatakan lebih merupakan penyaksian
kepada Allah dan ekspresi etika sejati seorang sufi yang telah mencapai tingkat kesadaran yang
sangat dalam. (Mukarromah, 2015)

C. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ITTIHAD DAN HULUL


Ajaran hulul al-hallaj dan ajaran ittihad abu yazid sama-sama mengajarkan tentang persatuan
atara tuhn dan hamba. Dalamm ittihad dan hulul seorang sufi mengeluarkan syatahat. Adapun letak
perbedaanya adalah pada ittihad roh manusia naik dan menyatu kedalam diri tuhannya (khaliq),
sedangkan ajaran hulu roh ketuhanan telah turun dan masuk kedalam tubuh dan jasad sang hamba
(makhluk). (Faruq & Faishal, 2021)

22
BAB III

PENUTUP
A. SIMPULAN
Hulul dan Ittihad adalah dua konsep dalam Sufisme yang menggambarkan persatuan spiritual
dengan Tuhan. Hulul mengacu pada Tuhan yang masuk ke dalam makhluk-Nya, sedangkan Ittihad
mencapai persatuan melalui perjalanan mistik. Keduanya mencapai persatuan dengan Tuhan,
meskipun pendekatan dan pandangan mereka berbeda. Tokoh Sufi lainnya juga memiliki pandangan
yang beragam tentang Hulul dan Ittihad. Konsep-konsep ini menunjukkan kompleksitas dalam
pemahaman spiritualitas dalam Islam dan beragam perspektif yang berkembang dalam Sufisme.

B. KRITIK DAN SARAN

23
DAFTAR PUSTAKA

24

Anda mungkin juga menyukai