Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

ALIRAN TEOLOGI ISLAM DAN MEMAHAMI HUBUNGAN ANTARA


TEOLOGI ISLAM, FILSAFAT DAN TASAWUF

Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah: Teologi Islam

Dosen Pengampu: Syahmidi, S. Th.I., M.Pd.I.

Disusun Oleh:

Delia Putri Pramudita


NIM: 2011130016

Indri Mardiyatus Soleha


NIM: 2011130044

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

PROGRAM STUDI TADRIS FISIKA

TAHUN AKADEMIK 2020/2021

I
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Aliran Teologi Islam dan
Memahami Hubungan Antara Teologi Islam, Filsafat dan Tasawuf” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Teologi
Islam. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang “Aliran
Teologi Islam dan Memahami Hubungan Antara Teologi Islam, Filsafat dan Tasawuf” bagi
para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Syahmidi, S. Th.I., M.Pd.I., selaku dosen
dibidang studi Teologi Islam yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang penulis tekuni.

Penulis menyadari, makalah yang penulis tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Palangka Raya, 24 Maret 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................... II
DAFTAR ISI..................................................................................................................... III
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 4
A. Latar Belakang.................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah............................................................................................. 5
C. Tujuan Penulisan............................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................. 6
A. Aliran-Aliran Teologi Islam............................................................................. 6
B. Hubungan Antara Teologi Islam dengan Tasawuf dan Filsafat................... 13
BAB III PENUTUP.......................................................................................................... 15
A. Kesimpulan............................................................................................................ 15
B. Saran ...................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................... 16

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Teologi Islam atau sering disebut dengan ilmu Kalam lahir setelah Nabi
Muhammad SAW wafat. Diawali dengan permasalahan pengangkatan khalifah yang
selanjutnya setelah Rasulullah, hingga membahas soal Jabr (takdir) yang nantinya di
namai dengan kaum Jabariyyah dan Ikhtiyar (free will) yang nantinya di namai dengan
sebutan kaum Qadariyyah. Akhirnya terpecahlah beberapa aliran yang membahas antara
kedua itu dengan dalilnya masing-masing.
Teologi Islam sangatlah penting untuk diketahui oleh seorang muslim yang mana
pembahasan dalam teologi Islam ini adalah pembahasan tentang aqidah dalam Islam yang
merupakan inti dasar agama, karena persoalan aqidah Islam ini memiliki konsekuensi
yang berpengaruh pada keyakinan yang berkaitan dengan bagaimana seseorang harus
menginterpretasikan tuhan itu sebagai sembahannya hingga terhindar dari jurang
kesesatan dan dosa yang tak terampunkan (syirik). Memang, Pembahasan pokok dalam
Agama Islam adalah aqidah, namun dalam kenyataannya masalah pertama yang muncul
di kalangan umat Islam bukanlah masalah teologi, melainkan persoalan di bidang politik,
hal ini di dasari dengan fakta sejarah yang menunjukkan bahwa, titik awal munculnya
persoalan pertama ini di tandai dengan lahirnya kelompok-kelompok dari kaum muslimin
yang telah terpecah yang semuanya itu diawali dengan persoalan politik yang kemudian
memunculkan kelompok-kelompok dengan berbagai Aliran teologi dan berbagai
pendapat-pendapat yang berbeda-beda.
Seiring berjalannya waktu semakin banyaklah sekte-sekte Islam yang mencoba
menerangkan tentang Sifat Tuhan dan apa pun yang berhubungan dengan ketuhanan.
Namun sekte-sekte ini mempunyai metodologi yang berbeda, ada yang menggunakan
Filsafat secara mendominasi ada pula yang tidak memberikan kewenangan berpikir dalam
mendalami ilmu kalam ini.
Kajian agama erat hubungannya dengan kajian filosofis, lantaran agama juga
menyangkut fundamental value dan ethnic values, untuk tidak semata mata bersifat
teologis. Hal demikian dapat dimaklumi, lantaran pendekatan legal-formal dan lebih-
lebih lagi pendekatan fiqih jauh lebih dominan dari pada pendekatan yang lainnya. Baik
ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran.
Ilmu kalam, dengan metodenya berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang
berkaitan dengan-Nya. Perbedaannya terletak pada aspek metodeloginya. Ilmu kalam,
ilmu yang menggunakan logika. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (
dialog keagamaan ). Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk
memperoleh kebenaran rasional. Dan metode yang digunakan adalah rasional. Ilmu
tasawuf adalah ilmu yang menekankan rasa dari pada rasio. Sebagian pakar mengatakan
bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari
Tuhan.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu:
1. Apa saja aliran-aliran dalam teologi Islam?
2. Bagaimana hubungan antara teologi Islam dengan filsafat dan tasawuf?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
Untuk mengetahui macam-macam aliran dalam teologi Islam.
Untuk mengetahui hubungan antara teologi Islam dengan filsafat dan tasawuf.
BAB II

PEMBAHASAN
A. Aliran-aliran Teologi Agama Islam
1. Teologi aliran khawarij

Secara bahasa kata khawarij berasal dari bahasa Arab kharaja, artinya keluar.
Al-Syahrastani mengatakan bahwa khawarij adalah orang yang keluar dari imam yang
sah. Khawarij muncul secara politis setelah peristiwa tahkim (arbitrase) pada perang
saudara diShiffin, daerah perbatasan Iraq-Syiria (37 H/ 657 M) antara kelompok
pendukung Ali dan Mu‘awiyah bin Abi Sufyan.(Ryandi, 2020:21)

Nama khawarij diberikan kepada mereka yang menyatakan diri keluar dari
barisan Ali bin Abi Thalib dalam persengketaannya dengan Muawiyyah. Ada pula
pendapat lain yang menyatakan, bahwa pemberian nama khawarij tersebut didasarkan
pada surah An-Nisaa ayat 100, yang berbunyi :

“Dan barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada
Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya, maka sungguh telah tetap
pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Sehingga kaum Khawarij memandang diri mereka sebagai kaum yang
berhijrah meninggalkan rumah dan kampung halaman mereka untuk mengabdikan
diri kepada Allah dan Rasul-Nya dan untuk memperoleh pahala dari Allah SWT.
(Hasan, 2006:10)
Tindakan Utsman menjatuhkan gubernur-gubernur yang diangkat oleh Umar
Ibn al-Khattab menimbulkan reaksi-reaksi yang sangat keras terhadap Utsman,
sehingga timbullah pemberontakan-pemberontakan yang membawa kepada
terbunuhnya khalifah Utsman Ibn al-Affan. Pengangkatan Ali ibn Abi Thalib sebagai
khalifah yang keempat, mendapat tantangan hebat, terutama dari Thalhah, Zubair dan
Aisyah, bahkan juga dari Mu’awiyah. Mereka tidak mau mengakui pengangkatan Ali
sebagai khalifah. Dalam usaha mengadakan perdamaian antara Ali dengan
Mu’awiyah, ditempuh melalui arbitrase (tahkim) yang dilakukan oleh Abu Musa al-
Asy’ari, sebagai wakil dari Ali, dan Amr Ibn al-Ash, sebagai wakil dari pihak
Mu’awiyah. Karena kelicikan dan kecurangan Amr ibn al-Ash-lah, maka Abu Musa
al-Asy’ari dapat dikalahkan, sehingga Mu’awiyah diangkat sebagai khalifah.Kaum
Khawarij memandang Ali telah melakukan kesalahan karena telah menerima tahkim
dari manusia dan tidak mau berpegang kepada hukum Allah. Orang yang tidak mau
berpegang kepada hukum Allah ia adalah kafir, keluar dari Islam, karena itu boleh
dibunuh atau diperangi. Dikemudian hari kaum Khawaruj terpecah-pecah dalam
beberapa sub-sekte, di antaranya ialah Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-
Ajaridah, Al-Sufriyah, dan Al-Ibadiyah.
2. Teologi aliran murji'ah
Murji‘ah diambil dari kata al-Irja‘ memiliki dua arti: pertama, mengakhirkan,
disebutkan dalam al-Qur‘an: arjih wa akhohu, artinya berikan penangguhan ia dan
saudaranya. Kedua, memberi harapan. Makna murji‘ah yang sesuai dengan majority
mainstream adalah makna pertama, yaitu mereka yang mengakhirkan amal dari niat.
Sementara yang kedua adalah aliran yang keluar dari majority mainstream,
mengatakan bahwa kemaksiatan tidak membahayakan iman seseorang sebagaimana
ketaatan tidak bermanfaat bagi kekafiran seseorang.(Ryandi, 2020:27)
Menurut Harun Nasution, pada umumnya kaum Murji’ah itu dapat dibagi
dalam dua golongan besar, yaitu golongan Murji’ah yang moderat dan golongan
Murji’ah yang ekstrim.
Ada beberapa pendapat tentang arti arja`a, di antaranya ialah :
1) Menurut Ibn ‘Asakir, dalam uraiannya tentang asal usul kaum murji’ah
mengatakan bahwa arja`a berarti menunda. Karena mereka berpendapat bahwa
masalah dosa besar itu ditunda penyelesaiannya sampai hari perhitungan nanti.
2) Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-Islam mengatakan bahwa arja`a juga
mengandung arti membuat sesuatu mengambil tempat di belakang, dalam arti
memandang sesuatu kurang penting. Dianggap sesuatu kurang penting, sebab
yang penting adalah imannya. Amal adalah nomor dua setelah iman.
3) Selanjutnya Ahmad Amin juga mengatakan bahwa arja`a juga mengandung arti
memberi pengharapan. Karena di antara kaum Murji’ah ada yang berpendapat
bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar itu tidak berubah menjadi kafir, ia
tetap sebagai orang mukmin, dan kalau ia dimasukkan dalam neraka, maka ia
tidak kekal di dalamnya. Dengan demikian orang yang berbuat dosa besar masih
mempunyai pengharapan akan dapat masuk surga.(Hasan, 2006:24)
Menurut Harun Nasution, bahwa timbulnya kaum Murji’ah itu sebagaimana
halnya dengan kaum Khawarij, pada mulanya juga ditimbulkan karena persoalan
politik, tegasnya persoalan khilafah, yang kemudian membawa perpecahan di
kalangan umat Islam setelah terbunuhnya Utsman bin Affan.Kaum Khawarij yang
pada mulanya adalah penyokong Ali, tetapi kemudian hari berbalik menjadi
musuhnya. Karena adanya perlawanan dari golongan Khawarij ini, maka penyokong-
penyokong yang tetap setia kepada Ali bertambah keras dan fanatik dalam membela
Ali, sehingga akhirnya muncullah golongan pendukung Ali yang dikenal dengan
nama golongan Syi’ah. Kefanatikan golongan ini terhadap Ali bertambah keras,
terutama setelah Ali dibunuh oleh Ibn Muljam dari golongan Khawarij.
Menurutnya juga bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak dapat
ditetapkan hukumnya di dunia. Penyelesaian hukumnya ditunda sampai hari
perhitungan di akhirat nanti. Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mereka itu tetap
orang mukmin. Alasannya adalah bahwa walaupun mereka itu telah berbuat dosa
besar, namun mereka masih tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasul-Nya. Dengan kata lain orang serupa itu tetap mengucapkan
dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang yang
melakukan dosa besar menurut pandangan golongan ini tetap mukmin, dan bukan
kafir. Menurut Harun Nasution, pendapat seperti ini dapat membawa kepada paham
bahwa yang penting dan diutamakan dalam beragama adalah iman, sedangkan amal
perbuatan hanya merupakan soal kedua.
3. Teologi aliran Qadariyah dan Jabariyah
Nama Qadariyah diambil dari paham bahwa manusia mempunyai qadrah atau
kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya. Dinyatakan demikian karena sebagian
para pemikir teologi islam berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan untuk
berbuat dan menentukan cara hidupnya sesuai dengan yang diinginkan. Paham
qadariyah dikenal dengan nama freee wi, freedom of willingness atau freedom of
action, yaitu kebebasan untuk berkehendak atau kebebasan untuk berbuat.
Sedangkan pemikir teologi Islam lainnya berpendapat sebaliknya, bahwa
manusia tidak mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya sendiri. Semua
kehendak dan perbuatan manusia ditentukan oleh Tuhan, karena Tuhanlah yang
mempunyai kekuasaan dan kehendak yang mutlak. Manusia melakukan perbuatan-
perbuatannya dalam keadaan terpaksa, bukan kehendaknya sendiri, tetapi kehendak
tuhan. Pendapat tersebut dinamakan bagi kaum Jabariyah. Jabariyah berasal dari kata
jabara, yang berarti memaksa. Paham jabariyah dikenal dengan nama fatalisme atau
predestination, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak azalu
oleh qadha dan qadar Tuhan.(Hasan, 2006:32)
Ahmad Amin dalam kitabnya Fajr al-Islam menyebutkan bahwa paham
Qadariyah pertama kali ditimbulkan oleh Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi.
Keduanya mengambil paham ini dari seorang Kristen yang telah masuk Islam di Irak.
Pada waktu Ma’bad mati terbunuh dalam pertempuran melawan al-Hallaj, maka
Ghailan terus menyebarkan paham Qadariyah tersebut di Damaskus. Tetapi mendapat
tantangan dari khalifah Umar Ibn al-Aziz. Akhirnya di zaman Hisyam ‘Abd al-Malik,
ia harus mengalami hukuman mati. Selanjutnya Ahmad Amin menyebutkan, bahwa
paham Jabariyah ditonjolkan pertama kali oleh al-Ja’d Ibn Dirham, tetapi yang
menyiarkan adalah Jaham Ibn Safwan dari Khurasan. Jahm adalah pendiri sekte
Jahmiah dari kalangan kaum Murji’ah, yang dalam gerakannya menUmayah
kekuasaan Bani Umayah.
Menurut paham qadariyah dan jabariyah, segala perbuatan manusia tidak
merupakan sesuatu yang timbul dari kehendak dan kemauan sendiri, tetapi perbuatan
yang dipaksakan atas dirinya. Kalau seseorang membunuh orang lain, maka
perbuatannya itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi terjadi karena
qadha dan qadar Tuhanlah yang menghendaki demikian. Dengan kata lain, dia
membunuh bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi
Tuhanlah yang memaksanya ia membunuh. Manusia dalam paham ini hanya
merupakan wayang yang digerakkan oleh dalang. Manusia berbuat dan bergerak
karena digerakkan oleh Tuhan. Tanpa gerak dari Tuhan Manusia tidak dapat berbuat
apa-apa.
4. Teologi aliran mu'tazilah
Kata mu'tazilah secara etimologi berasal dari kata a'tazil, yang artinya
mmudahkan diri. Disebutkan dalam Al-Qur’an .... Artinya jika kalian tidak beriman
kepadaku maka jangan bersamaku. Maka mu'tazilah secara bahasa berarti
memisahkan diri (al-infishal wa tanahhi).(Ryandi, 2020:27)
Dinamakan golongan Muʻtazilah, karena washil memisahkan dirinya karena
berlainan pendapat dengan gurunya Al-hasan al-Bisri, tentang masalah orang Islam
yang melakukan dosa besar, yang belum taubat sebelum meninggal. Golongan ini
sendiri tidak mau dinamakan Muʻtazilah, mereka engakui dirinya golongan pembela
keadilan dan ketauhidan.(Taib Thahir, 1986:102)
Kaum Mu‟tazialah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan ersifat filosofis, sehingga mereka mendapat nama
“Kaum Rasionalis Islam”.(Harun Nasution, 2011:40)
Golongan Ahlusunnah menyebut aliran Mu’tazilah dengan sebutan Al-
Mu’atthilah. Mula-mula sebutan ini diberikan kepada aliran Jahamiah, karena aliran
ini mengosongkan Tuhan dari sifat-sifat-Nya (‘atthala = mengosongkan). Karena
sifat-sifat Tuhan dipersoalkan keberadaannya oleh aliran Mu’tazilah, maka mereka
juga disebut Mu’atthilah. Ada lima pokok ajaran (Al-Ushul Al-Khomsah) yang
menjadi prinsip utama aliran Mu’tazilah. Kelima ajaran pokok tersebut adalah, At-
Tauhid (Ke-Mahaesaan Allah), Al-Adl (Keadilan), Al-Wa’ad wa al-Wa’id (Janji dan
Ancaman), Al- Manzilah bainal Manzilatain (posisi di antara dua posisi), dan Amar
Ma’ruf Nahi Munkar (menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk)
5. Teologi aliran asy'aryah
Secara terminologis Syiah berarti pengikut dan pembela seseorang. Menurut
Ibn al-Jawzi (w. 597/ 1201), lafadz Syi‟ah dan turunannya mempunyai empat makna
berdasarkan konteksnya, antara lain:
1) Lafadz Syi’ah berarti firoq, yaitu kelompok yang berpecah-pecah.
2) Lafadz Syi’ah berarti ahl wa nasab, yaitu keluarga dan keturunan.
3) Lafadz Syi’ah berarti ahl al-millah, yaitu pemeluk agama atau ummat
4) Lafadz Syi’ah berarti al-ahwa' al-mukhtalifah, yaitu aneka ragam tendensi keliru.
(Ryandi, 2020:18)
Al-Asy’ari sebagai orang yang pernah menganut paham Mu’tazillah, tidak
dapat menjauhkan diri dari pemakaian akal dan argumentasi pikiran. Ia menentang
dengan kerasnya mereka yang mengatakan bahwa akal pikiran dalam agama atau
membahassoal-soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasulullah merupakan suatu
kesalahan. Dalam hal ini ia juga mengingkari orang yang berlebihan menghargai akal
pikiran, karena tidak mengakui sifat-sifat Tuhan.(Abdul Rozak, 2007:43)
Ciri-ciri orang yang menganut aliran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
1) Mereka berpikir sesuai dengan Undang-Undang alam dan mereka juga
mempelajari ajaran itu.
2) Iman adalah membenarkan dengan hati, amal perbuatan adalah kewajiban untuk
berbaut baik dan terbaik bagi manusia dan mereka tidak mengkafirkan orang yang
berdosa besar.
Term Ahli Sunnah wal Jamaah kelihatannya banyak dipakai setelah timbulnya
aliran Asy’ariah. Al-Asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah sekitar tahun 300 H, dan
selanjutnya membentuk aliran teologi yang dikenal dengan namanya sendiri, yaitu
Asy’ariah. Abu Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari lahir di Basrah tahun 260 H, dan
wafat di Baghdad tahun 324 H. Pada mulanya ia adalah murid Al-Jubba’i dan salah
seorang yang terkemuka dari golongan Mu’tazilah. Akan tetapi setelah sekian tahun
lamanya menjadi pengikut aliran Mu’tazilah, Al-Asy’ari meninggalkan aliran
tersebut.
Al-Asy’ari, sebagai pendiri aliran Asy’ariah adalah orang yang pernah
menganut paham Mu’tazilah, sehingga ia tidak dapat menjauhkan diri dari
penggunaan akal dan pikiran dalam mengemukakan pendapatnya. Ia menentang
dengan keras mereka yang mengatakan bahwa penggunaan akal dan pikiran dalam
soal-soal agama atau membahas soal-soal yang tidak pernah disinggung oleh Rasul
merupakan suatu kesalahan. Ia juga menentang keras orang yang berkeberatan
menggunakan ilmu kalam (teologi Islam) dan argumentasi pikiran dalam membela
agama, karena keberatan tersebut tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an maupun
Hadits. Namun ia juga tidak sependapat dengan aliran Mu’tazilah yang terlalu
berlebihan menghargai akal pikiran. Oleh karena itu hampir setiap pendapatnya
bercirikan pengambilan jalan tengah antara pendapat pihak-pihak yang bertentangan
pada masanya.Ajaran-ajaran aliran Asy’ariah dapat diketahui dari buku-buku yang
dikarang oleh Al-Asy’ari dan buku-buku yang ditulis oleh para pengikutnya.
Ajaran-ajaran Asy'ariah antara lain:(Hasan, 2006:53)
1) Tuhan mempunyai sifat yang sesuai dengan dzat-Nya, dan sifat-sifat Tuhan
tersebut berlainan dengan sifat-sifat makhluk-Nya;
2) Perbuatan manusia itu diciptakan Tuhan, tetapi manusia memiliki kemampuan
untuk melakukan perbuatan (kasb);
3) Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak;
4) Al-Qur’an (Kalamullah) adalah Qadim, sedangkan Al-Qur’an yang berupa huruf
dan suara disalin dalam mushaf bersifat baru (diciptakan);
5) Tuhan tidak berkewajiban memberi pahala bagi orang yang beriman, dan
menyiksa orang yang durhaka. Namun demikian kaum Asy'ariah percaya bahwa
orang mukmin yang berbuat dosa besar akan masuk neraka terlebih dahulu,
kemudian masuk surga;
6) Adanya syafa’at pada hari kiamat, siksa kubur, pertanyaan malaikan Munkar dan
Nakir, shirat (jembatan), dan timbangan;
7) Surga dan neraka adalah makhluk;
8) Ijma adalah suatu kebenaran yang harus diterima.
6. Teologi aliran maturidiah

Aliran Maturidiah juga muncul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah.


Oleh sebab itu, pendapat-pendapat Maturidiah memiliki kesamaan ajaran prinsip
dengan aliran Asy’ariah, karena munculnya kedua aliran tersebut untuk memenuhi
kebutuhan kedekatan yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstriminasi
kaum rasionalis.

Aliran Maturidiah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur


Muhammad bin Muhammad Al-Maturidi. Ia dilahirkan di sebuah kota kecil, yaitu
Maturid, Samarkand pada pertengahan abad ketiga hijriah, dan wafat di Samarkand
pada tahun 333 H.

Al-Maturidi dikenal sebagai pengikut Abu Hanifah. Sebagai pengikut Abu


Hanifah, ia banyak menggunakan rasio dalam pandangan keagamaan, di samping itu
ia banyak pula menggunakan akal dalam sistem teologinya. Menurut para ulama
Hanafiah hasil pemikiran Al-Maturidi, khususnya dalam bidang aqidah mirip dengan
pendapat Abu Hanifah. Dapat dikatakan bahwa pikiran-pikiran Al-Maturidi dalam hal
ini merupakan penguraian yang lebih luas dari pikiran-pikiran Abu Hanifah.

Tokoh-tokoh aliran Maturidiah terdiri dari para pengikut aliran fiqh Hanafiah.
Mereka tidak sekuat para tokoh aliran Asy’ariah. Para tokoh aliran Maturidiah antara
lain: Al-Bazdawi, Al-Taftazani, An Nasafi, dan Ibnul Hammam. Di antara mereka
yang paling terkenal adalah Al-Bazdawi, sehingga dalam aliran Maturidiah terdapat
dua golongan, yaitu golongan Maturidiah Samarkand yang dipelopori oleh Abu
Mansur Al-Maturidi dan golongan Maturidiah Bukhara oleh Abu Yusuf Muhammad
Al-Bazdawi.(Hasan, 2006:61)

Selain dari Al-Maturidi, masih ada lagi aliran-aliran Maturidiah yang lain, di
antaranya: Al-Bayadi, Al-Bazdawi, At-Taftazani, An-Nasafi dan Ibnu Hammam. Pada
ajaran-ajaran Maturidiah terdapat persamaan dan perbedaan dengan Mu’tazilah dan
ajaran Asy’ariah.

Ajaran Maturidiah antara lain:

1) Tuhan mempunyai sifat


2) Manusia mewujudkan perbuatannya sendiri
3) Al-Qur’an (Kalamullah) bersifat qadim
4) Tuhan tidak berkewajiban berbuat sesuatu, tetapi perbuatan Tuhan ada tujuannya
dalam arti tidak sia-sia
5) Orang yang berdosa besar masih tertap mukmin, soal pembalasan dari dosa besar
itu urusan Tuhan.
6) Janji dan ancaman Tuhan kelak akan terjadi
7) Akal sanggup mengetahui perbuatan baik dan buruk, namun tuntutan kewajiban
untuk melakukan dan meninggalkan suatu perbuatan datangnya dari Tuhan, bukan
dari akal itu sendiri.
B. Hubungan Antara Teologi Islam dengan Tasawuf dan Filsafat

Ilmu Kalam atau teologi Islam merupakan ilmu yang menggunakan logika di
samping argumentasi-argumentasi naqliyah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan
ajaran agama. Sehingga pada dasarnya teologi islam menggunakan metode dialektika
(jadaliyah) atau dikenal juga dengan dialog keagamaan. Sementara Tasawuf adalah ilmu
yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya
diperoleh melalui rasa, ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan
dengan pengalaman. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering terlihat aneh bila dilihat dari
aspek rasio. Karena pengalaman rasa sangat sulit dibahasakan. Sedangkan filsafat sebagai
sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang
digunakan pun adalah metode rasional. Oleh karenanya filsafat menghampiri kebenaran
dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar), integral (menyeluruh)
serta universal (mengalam), tidak merasa terikat oleh ikatan apa pun kecuali oleh ikatan
tangannya sendiri yang bernama logika.(Jamaluddin, 2020:35-26)

Teologi Islam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek
kajian teologi Islam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya,
objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan
segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah tuhan, yakni upaya-
upaya pendekatan terhadapnya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya ketiga ilmu itu
membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.

Teologi Islam filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu
kebenaran. Teologi Islam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang
Tuhan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha
menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak
dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada di luar atau di atas jangkauannya),
atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha
menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.

Pada intinya bahwa teologi Islam, filsafat maupun tasawuf memiliki kesamaan
dalam segi objek kajiannya, yaitu tentang Tuhan dan segala yang berkaitan dengan-Nya.
Namun dalam kajian objek tersebut hanya dibedakan dalam penamaannya saja. Teologi
Islam dalam objek kajiannya dikenal dengan sebutan kajian tentang Tuhan, sedangkan
dalam filsafat di kenal dengan sebutan kajian tentang Wujud dan dalam ilmu tasawuf
(irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya ketiga
ilmu tersebut mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-
Nya.(Putra Andi Eka, 2012)
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa:
 Terdapat 6 aliran dalam teologi agama Islam, yaitu:
1) Teologi aliran khawarij
2) Teologi aliran murji'ah
3) Teologi aliran Qadariyah dan Jabariyah
4) Teologi aliran mu'tazilah
5) Teologi aliran asy'aryah
6) Teologi aliran maturidiah
 Adapun hubungan antara teologi Islam dengan tasawuf dan filsafat sangatlah
berkaitan. Teologi Islam, filsafat maupun tasawuf memiliki kesamaan dalam segi
objek kajiannya, yaitu tentang Tuhan dan segala yang berkaitan dengan-Nya. Namun
dalam kajian objek tersebut hanya dibedakan dalam penamaannya saja. Teologi Islam
dalam objek kajiannya dikenal dengan sebutan kajian tentang Tuhan, sedangkan
dalam filsafat di kenal dengan sebutan kajian tentang Wujud dan dalam ilmu tasawuf
(irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya
ketiga ilmu tersebut mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan-Nya.
B. Saran

Demikian yang dapat penulis paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena keterbatasannya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan makalah ini. Maka dari itu, penulis sarankan kepada para pembaca
agar banyak membaca untuk menambah ilmu pengetahuan para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Thahir Taib. 1986. Ilmu Kalam. Jakarta: Wijaya.


Basri Hasan, dkk. 2006. Ilmu Kalam Sejarah dan Pokok Pikiran Aliran-Aliran. Bandung:
Azkia Pustaka Utama.
Jamaluddin, Anwar Shaleh Shabri. 2020. Ilmu Kalam Khasanah Intelektual Pemikiran
Dalam Islam. Bandung: PT. Indragiri Dot Com.
Nasution Harun. 2011. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah dan Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press.
Putra, Andi Eka. 2012. Tasawuf, Ilmu Kalam dan Filsafat Islam (Suatu tinjauan sejarah
tentang hubungan ketinganya). Al-AdYaN. Vol. VII, No. 2. Juli-Desember 2012.
Rozak Abdul, Rosihon Anwar. 2007. Ilmu Kalam Edisi Revisi. Bandung: Pustaka Setia.
Ryandi. 2020. Buku Ajar Ilmu Kalam. Sumatera Utara: UIN Sumut.

Anda mungkin juga menyukai