Anda di halaman 1dari 15

TASAWUF FALSAFI

(IBNU ARABI)
Makalah ini bertujuan untuk memahami tugas mata kuliah Tasawuf
Dosen Pengampu: Dr. Masykurillah, S. Ag., MA.

DISUSUN OLEH:

Kelompok 10
1. Afifah Salsa Bella (2001011005)
2. Anas Lutfiana Rahmawati (2001010003)
3. Neti Julia (1801011103)

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO LAMPUNG
TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sehingga penyusun membuat
makalah yang berjudul “TASAWUF FALSAFI” dan demikian penyusun juga
sadar masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki dalam pembuatan makalah
ini.

Penulisan makalah ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas mandiri


dalam mata kuliah Tasawuf. Penyusun menyadari dalam menyusun makalah ini
terdapat banyak hambatan dan kesulitan, namun berkat bimbingan, akhirnya
penyusun dapat menyelesaikan ini dengan baik. Oleh karena itu, penyusun akan
menerima dengan baik kritik dan saran dari pembaca. Penyusun berharap dari
makalah ini dapat memberikan manfaat yang baik bagi semua pihak. Semoga
makalah ini bisa memberikan informasi mengenai “TASAWUF FALSAFI” dapat
bermanfaat bagi para pembacanya. Atas perhatian dan kesempatan yang diberikan
untuk membuat makalah ini kami ucapkan terima kasih.

Metro, 13 september 2021

Kelompok 10

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................... I

DAFTAR ISI.......................................................................................... II

BAB I PENDAHUULUAN

A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah....................................................................... 1
C. Tujuan Masalah........................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Makna dan Esensi Tasawuf Falsafi............................................. 3


B. Pendekatan Tasawuf Falsafi........................................................ 4
C. Makna Istilah Yang Terdapat Dalam Tasawuf Falsafi................ 5
D. Biografi Ibnu Arabi dan Ajarannya............................................. 7
E. Urgensi dan Langkah Praktis Pelaksanaannya............................ 8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................. 10
B. Saran............................................................................................ 11

DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 12

II
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Salah satu ajaran dasar dalam agama Islam ialah bahwa manusia
tersusun dari dua unsur, unsur roh dan jasad. Sedangkan roh itu berasal dari
hadirat Tuhan, wa nafakhtu fihi min ruhi, dan akan kembali kepada Tuhan.
Tuhan adalah suci dan roh yang datang dari Tuhan juga suci dan akan dapat
kembali ke tempat aslinya di sisi Tuhan kalau ia tetap suci, jika ia menjadi
kotor sebab masuk ke dalam manusia yang bersifat materi itu, ia tak akan
dapat kembali ke tempat asalnya.
Dalam Islam diajarkan aturan-aturan agar manusia menjadi baik, yakni
tersimpul dalam syariat yang mengambil bentuk salat, puasa, zakat, haji, dan
ajaran-ajaran mengenai moral atau akhlak Islam. Nabi Saw. Mengatakan
bahwa beliau datang untuk menyempurnakan budi pekerti.
Dengan kata lain, hidup spiritual yang diperoleh melalui ibadah biasa
belum memuaskan kebutuhan spiritual mereka. Maka mereka mencari jalan
yang membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan, sehingga mereka merasa
dapat untuk menyempurnakan budi pekerti luhur. Melihat tuhan dengan hati
sanubari (basyirah), bahkan bersatu dengan Tuhan. Jalan yang dimaksud tidak
lain adalah jalan tasawuf atau oleh orang barat disebut dengan mistisisme
Islam, “Islam Mysticism”.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan makna dan esensi Tasawuf Falsafi?
2. Bagaimana penddekatan Tasawuf Falsafi?
3. Apa yang dimaksud dari makna istilah yang terdapat dalam Tasawuf
Falsafi?
4. Bagaimana biografi sari Ibnu Arabi dan ajarannya?

1
5. Bagaimana urgensi dna langkah praktis pelaksanaannya?

C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui makna dan esensi dari Tasawuf Falsafi
2. Untuk memahami pendekatan dari Tasawuf Falsafi
3. Mengetahui makna istilah yang terdapat pada Tasawuf Falsafi
4. Mengetahui daan memahami biografi dari Ibnu Arabi dan ajarannya
5. Mengetahui urgensi dan langkah praktis pelaksanaannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Makna dan Esensi Tasawuf Falsafi


S. H. Nasr menyatakan bahwa tasawuf pada hakikatnya adalah
dimensi terdalam dari Islam yang bersumber dari Al qur’an dan Hadist.
Dengan kedua sumber tersebut dan diseimbangkan bagi setiap muslim, agar
dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT menjadi sempurna lahir dan batin.
Sementara menurut Ibn Khaldun tasawuf adalah ilmu yang baru bagi agama
Islam. Cikal bakalnya dimulai dari generasi pertama umat Islam, baik dari
kalangan sahabat, tabi’in, maupun generasi selanjutnya. Tasawuf adalah jalan
kebenaran atau penunjuk yang asal usulnya dari pemusatan diri dalam ibadah,
pengharapan kepada Allah SWT, menjauhkan diri dari kemaksiatan, serta
memisahkan diri dari orang lain untuk berkhalwat dan beribadah.1
Sedangkan Tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang dipadukan dengan
filsafat. Dari cara memperoleh ilmu menggunakan rasa, sedang
menguraikannya menggunakan rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara
total dan tidak pula bisa disebut filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya, dan
dikenal dengan istilah tasawuf Falsafi. Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional penggasnya.
Berbeda dengan tasawuf akhlaqi, tasawuf falsafi menggunakan terminologi
filosofis dalam pengungkapannya.
1. Menurut at Taftazani, tasawuf falsafi muncul dengan jelas dalam khazanah
Islam sejak abad keenam hijriyah, meskipun tokohnya baru dikenal seabad
kemudian. Mujammil Qomar menjelaskan dalam penelitianya bahwa
tasawuf falsafi yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri yang dirangkum
dalam hasil penelitian menunjukan bahwa kefanaan yang sangat
mendalam kepada Allah Swt. Ciri umum tasawuf falsafi adalah ajarannya
1
Audah Mannan, “Esensi Tasawuf Akhlaki Di Era Modernisasi” Jurnal Aqidah-Ta Vol. IV No. 1,
2018. Hal. 37.

3
yang samar-samar akibat banyaknya istilah khusus yang hanya dapat
dipahami oleh mereka yang memahami ajaran tasawuf jenis ini. Tasawuf
falsafi tidak dapat dipandang sebagai filsafat karena ajaran dan metodenya
didasarkan pada rasa (dzuq), tetapi tidak dapat pula dikategorikan sebagai
tasawuf dalam pengertiannya yang murni, karena ajarannya sering
diungkapkan dalam bahasa filsafat dan lebih berorientasi pada panteisme.2

B. Pendekatan Tasawuf Falsafi


Pada tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
rasio atau akal pikiran, karena tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian
atau pemikiran yang terdapat dikalangan para filosof, seperti filsafat tentang
Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan dan lain sebagainya. Para
sufi yang juga filosof pendiri aliran ini mengenal dengan baik filsafat Yunani
serta berbagai alirannya misalnya Socrates, Plato, Aristoteles dan aliran Neo
Platonisme dengan ajaran filsafatnya tentang emanasi.
Adanya pemaduan antar tasawuf dan filsafat dalam ajaran tasawuf
filosofis, dengan sendirinya telah membuat ajaran-ajarannya bercampur
dengan sejumlah ajaran-ajaran filsafat di luar Islam, seperti dari Yunani, India,
Persia, dan agama Nasrani. Akan tetapi orsinalitasnya sebagai tasawuf tetap
tidak hilang, karena para tokohnya meskipun mempunyai latar belakang
kebudayaan dan pengetahuan yang berbeda dan beraneka, sejalan dengan
ekspansi Islam yang telah meluas pada waktu itu, tetap berusaha menjaga
kemandirian ajaran mereka, terutama bila dikaitkan dengan kedudukan mereka
sebagai umat Islam.
Tasawuf ini menggunakan terminologi filosofis dalam
pengungkapannyayang berasal dari berbagai macam ajaran filsafat yang telah
mempengaruhi para tokohnya. Ajarannya tasawuf falsafi lebih mengarah pada
teori-teori yang rumit dan memerlukan pemahaman yang lebih mendalam dan

2
Muhammad Anas Ma`arif, “Tasawuf Falsafi Dan Implikasinya Dalam Pendidikan Islam” Jurnal
Vicratina Vol. 3 No. 1, 2018. Hal. 6.

4
mengedepankan akal mereka serta ajarannya memadukan antara visi mistis
dan rasional.3

C. Makna Istilah Yang Terdapat Dalam Tasawuf Falsafi


Sebagian sufi memandang bahwa manusia masih dapat melewati ma'rifah.
Manusia masih mampu naik kejenjang yang lebih tinggi, yaitu persatuan
dengan Tuhan yang muncul dengan berbagai istilah, sebagai berikut.
1. Fana’ dan Baqa’
Jika dalam ma’rifah, seorang sufi dikatakan dapat melihat Tuhannya
dengan mata yang ada di hati sanubarinya, maka berarti si sufi tersebut
telah dekat oleh atuhan, hingga akhirnya ia daapat bersatu yang disebut
dengan ittihad. Tetapi sebelum terjadinya penyatuan tersebut seorang sufi
harus terlebih dahulu sikap pada diri manusiaawinya. Artinya, selama
yang bersangkutan masih sadar akan dirinya, ia tidaak akan bersatu dengan
tuhan dan penghacuran tersebut disebut dengan fana’. Dan penghacuran
ini dalam tradisi Islam selalu diiringi oleh baqa’ (tetap, terus hidup). Maka
diantara fana’ dan baqa’ dilakukan bersamaan. Terdapat sufi yang
mengatakan bahwa:
“Jika seseorang telah menghilangkan (fana’) maksiatnya, yang akan
tinggal (baqa’) ialah takwanya. Siapa yang meghancurkan (fana’) sifat-
sifat (akhlak) yang buruk, tinggal (baqa’) baginya sifat-sifat yang baik.
Siapa saja yang dapat menghilangkan (fana’) sifat-sifat
(kemanusiaaan)nya, maka kekal (baqa’)lah ia dengan sifat Tuhan.
2. Ittihad
Adalah suatu tingkatan dalam tasawuf yang mana seorang sufi telah
merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan diman yang
mencintai dan dicintai telah menjadi satu. Dalam ittihad tidaak terdapat
lagi identitas karena keduanya telah menjadi satu. Sufi yang bersangkutan

3
M. Iqbal Irham, Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf (Jakarta: Puataka Al-Ihsan,
2012), Hal. 163.

5
karena fana’ nya tidwak memiliki kesadaran lagi, dan ia berbicara atas
nama Tuhan.
3. Hulul
Secara harifah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiannya melalui fana. Al-Hallaj berkesmimpulan bahwa dalam diri
manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan terdapat
sifat ketuhanan (nasut). Jika sifat ketuhanan pada diri manusia menyatu
dengan sifat kemanusian pada diri Tuhan maka terjadilah Hulul.
4. Wahdat al-Wujud
Wahdat al-wujud adalah ungkapan yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat
dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri, tunggal atau kesatuan, sedangkan al-
wujud artinya ada. Wahdat al-Wujud mempunyai pengertian secara awam
yaitu bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau
dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan
penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta
isinya. Dia-lah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia,
Dialah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir
sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud, yaitu wahdatul
syuhud yaitu kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Tuhan
5. Isyraq
Isyraq dalam bahasa Arab berarti sama dengan kata iluminasi dan
sekaligus juga cahaya pertama pada saat pagi hari seperti cahayanya dari
timur (sharq). Tegasnya, isyraqi berkaitan dengan kebenderangan atau
cahaya yang umumnya digunakan sebagai lambang kekuatan,
kebahagiaan, keterangan, ketenangan, dan lain-lain yang membahagiakan.
Konsep tasawuf al-isyraq barangkali adalah tipe tasawuf falsafi yang
paling orisinil di antara konsep-konsep tasawuf yang sealiran perkiraan ini
cukup beralasan mengingat, bahwa Suhrawardi al-Maqtul sebagai

6
konseptornya. Al-Isyraq berarti bersinar atau memancarkan cahaya dan
nampaknya searti dengan al-kasyf.4

D. Biografi Ibnu Arabi dan Ajarannya


Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad
bin Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami Al-Andalusia. Ia terkenal dengan
panggilan Muhyiddin Ibnu Arabi. Ia lahir di Murcia, Andalusia, Spanyol,
tahun 560 Hijriah (1164 M) dari keluarga terpandang dan wafat pada tahun
638 Hijriah. Orang tuanya sendiri adalah seorang sufi yang memiliki
kebiasaan berkelana. Pada usia 8 tahun, Ibnu Arabi sudah merantau ke
Lisabon untuk belajar agama dari seorang ulama yang bernama Syaikh Abu
Bakar bin Khalaf.
Setelah selesai belajar ilmu Alquran dan hukum Islam, ia pindah lagi
ke Sevilla yang pada masa itu merupakan pusat pertemuan para sufi di
Spanyol. Di sana ia mempelajari Alquran, hadis, dan fiqh dari seorang ulama
Andalusia terkenal, yaitu Ibnu Hazm Azh-Zhahiri. Ia menetap selama 30
tahun untuk memperluas pengetahuan di bidang hukum Islam dan ilmu kalam
serta mulai belajar tasawuf.
Mesir adalah negeri pertama yang ia singgahi untuk beberapa lama,
tetapi ternyata di daerah itu aliran tasawufnya tidak diterima masyarakat. Oleh
karena itu, ia melanjutkan pengembaraannya melalui Jerussalem dan menetap
di Mekah untuk beberapa waktu. Akan tetapi ia tidak menetap di kota suci
tersebut, karena pengembaraannya berakhir di Damaskus sebagai tempat
menetapnya sampai ia meninggal tahun 638 Hijriah (1240 M) dan
dimakamkan di kaki Gunung Qasiyun. Ia mempunyai dua orang anak, pertama
namanya Sa’duddin yang dikenal sebagai penyair sufi dan anak keduanya
bernama Imaduddin, mereka dimakamkan berdekatan dengan Ibnu Arabi.

4
Faza, Abrar M. Dawud. "Tasawuf Falsafi." Al-Hikmah: Jurnal Theosofi Dan Peradaban
Islam 1.1 (2019). Hal. 62.

7
Ibnu Arabi adalah penulis produktif. Menurut Browne, ada 500 judul karya
tulis dan 90 judul di antaranya asli tulisan tangannya yang disimpan di
perpustakaan Mesir. Di antara karya monumentalnya adalah Al-Futuhat Al-
Makkiyah, Tarjuman Al-Asyuwaq, dsb.5
Dalam teori Ibnu Arabi, terjadinya alam ini tidak dapat dipisahkan
dengan ajaran tentang hakikat Muhammadiyah atau nur Muhammad. Ibnu
Arabi mengatakan bahwa nur Muhammad adalah sesuatu yang pertama wujud
dari nur Ilahi.6

E. Urgensi dan Langkah Praktis Pelaksanaannya


Pada masa Abu Yasid al-Busthami, pandangan sufi lebih condong
pada konsep kesatuan eksistensi atau kesatuan mistik. Inti dari ajaran ini
adalah bahwa dunia fenomenal ini hanyalah bayangan dari realitas nyata, yaitu
Tuhan. Satu-satunya wujud sejati adalah wujud Tuhan, dasar dan sumber
segala sesuatu. Dunia adalah bayangan yang keberadaannya bergantung pada
wujud Tuhan, sehingga realitas keberadaan itu pada hakikatnya adalah sebuah
ketegangan. Sementara antara realitas dan apa yang tampak bermacam-
macam, terdapat perbedaan, itu hanya perbedaan relatif, sedangkan perbedaan
esensial baginya adalah hasil yang timbul dari keterbatasan akal.
Keragaman hal-hal yang ada hanyalah hasil dari keterbatasan indera
dan akal budi, tidak mampu memahami sifat yang konsisten dari segala
sesuatu. Berpikir tentang Tuhan seperti itu, mereka mengklaim bahwa sifat ini
(termasuk manusia) adalah efek dari tindakan sifat ilahi. Dalam diri manusia
terdapat unsur-unsur Tuhan, karena Dia adalah penjelmaan Cahaya Ilahi,
seperti sinar matahari. Oleh karena itu, jiwa manusia selalu cenderung bersatu
kembali dengan asalnya.
Untuk sementara, para sufi menafsirkan ma`rifat sebagai pengetahuan
tentang Allah SWT. Kedalamannya melalui kekuatan mata batin (Qalbu) dan

5
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 341.
6
Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyayah, juz II, hlm. 227

8
merupakan maqam tertinggi yang dapat dicapai manusia, sehingga bagi
pandangan sufi golongan kedua ini, manusia tetap dapat melewati maqam
ma`rifat termasuk menyatu dengan Allah SWT yang disebut ittihad.
Dengan lahir dan berkembangnya tasawuf tersebut, maka pembahasan
tasawuf menjadi lebih filosofis, karena telah mencapai masalah metafisik,
yaitu masalah Tuhan di satu sisi dan sebagian kemanusiaan, bahkan masuk ke
dalam kajian tentang proses penyatuan. antara manusia dengan manusia
lainnya. The History of Sufis menegaskan bahwa tradisi spiritual Islam pada
masa awalnya merupakan ekspresi dari makna zuhud yang merasuki para sufi.
Sekitar 40110 H, tasawuf menyebar ke Basra, Koufa dan Madinah.
Saat itu, yang membangkitkan asketisme para sufi adalah rasa takut
akan neraka dan keinginan untuk masuk surga. Seiring berjalannya waktu,
tradisi kehidupan spiritual mencapai puncaknya. Kehidupan spiritual tidak lagi
dikendalikan oleh rasa takut neraka dan keinginan untuk surga, tetapi oleh
cinta yang tulus kepada Allah SWT. Mencintai tanpa mengharapkan imbalan
apapun kecuali ingin melihat Sifat Allah SWT dan keindahan abadi-Nya, dan
menjadikan cinta

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad bin
Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami Al-Andalusia. Ia terkenal dengan panggilan
Muhyiddin Ibnu Arabi. Ia lahir di Murcia, Andalusia, Spanyol, tahun 560
Hijriah (1164 M). Beliau adalah salah satu sufisme terkenal dalam
perkembangan Tasawuf dalam Islam.
Tasawuf Falsafi, yaitu tasawuf yang dipadukan dengan filsafat. Dari cara
memperoleh ilmu menggunakan rasa, sedang menguraikannya menggunakan
rasio, ia tidak bisa dikatakan tasawuf secara total dan tidak pula bisa disebut
filsafat, tetapi perpaduan antara keduanya, dan dikenal dengan istilah tasawuf
Falsafi. Tasawuf falsafi pendekatan yang digunakan adalah pendekatan rasio
atau akal pikiran, karena tasawuf ini menggunakan bahan-bahan kajian atau
pemikiran yang terdapat dikalangan para filosof, seperti filsafat tentang
Tuhan, manusia, hubungan manusia dengan Tuhan.
Istilah yang terdapat pada Tasawuf Falsafi yaitu.
1. Fana’ dan Baqa’
2. Ittihad
3. Hulul
4. Wahdat al-Wujud
5. Isyraq

Dengan lahir dan berkembangnya tasawuf , maka pembahasan tasawuf


menjadi lebih filosofis, karena telah mencapai masalah metafisik, yaitu
masalah Tuhan di satu sisi dan sebagian kemanusiaan, bahkan masuk ke
dalam kajian tentang proses penyatuan.

10
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini penyusun masih banyak kekurangan dan
kesalahan. Baik dalam segi materi atau penjelasan. Maka penyusun dengan
tangan terbuka menerima kritik dan saran dengan bertujuan dapat memberikan
penulisan dengan baik. Dan semoga dengan adanya makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi orang lain dan bagi diri sendiri.

11
DAFTAR PUSTAKA

Anas Ma`arif, Muhammad. 2018. “Tasawuf Falsafi Dan Implikasinya Dalam


Pendidikan Islam” Jurnal Vicratina Vol. 3 No. 1.
Asmaran. 1996. Pengantar Studi Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Faza, A. M. D. (2019). Tasawuf Falsafi. Al-Hikmah: Jurnal Theosofi Dan


Peradaban Islam, 1(1).

Ibnu Arabi, Al-Futuhat Al-Makkiyayah, juz II.

Iqbal Irham, M. 2012. Membangun Moral Bangsa Melalui Akhlak Tasawuf.


Jakarta: Puataka Al-Ihsan.

Mannan, Audah. 2018. “Esensi Tasawuf Akhlaki Di Era Modernisasi” Jurnal


Aqidah-Ta Vol. IV No. 1.

12

Anda mungkin juga menyukai